Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Status Gizi
2.1.1. Definisi Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumber daya
manusia dan kualitas hidup. Untuk itu program perbaikan gizi bertujuan untuk
meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi
masyarakat (Deddy Muchtadi, 2002).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat (Almatsier, 2001).
Menurut Almatsier (2009) Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, yang dibedakan antara status gizi
buruk, kurang, baik, dan lebih.
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara
jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh
untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas,
pemeliharaan kesehatan, dan lainnya) (Suyanto, 2009).
Status gizi dapat pula diartikan sebagai gambaran kondisi fisik seseorang
sebagai refleksi dari keseimbangan energy yang masuk dan yang dikeluarkan oleh
12
tubuh (Marmi, 2013). Sedangkan menurut Suhardjo, dkk (2003) status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan, dan penggunaan makanan.
Deswarni Idrus dan Gatot Kusnanto (1990), mengungkapkan bahwa ada
beberapa istilah yang berhubungan dengan status gizi. Istilah-istilah tersebut adalah :
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi
secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan,
metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan unruk mempertahankan
kehdupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan
energy.
Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik
akibat dari tersdianya zat gizi dalam seluler tubuh.
Malnutrition (Gizi salah) adalah keadaan patofisiologis akibat dari
kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi, ada
empat bentuk malnutrisi diantaranya adalah :
1) Under nutrition, kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolut untuk
periode tertentu.
2) Specific deficiency, kekurangan zat gizi tertentu.
3) Over nutrition, kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu.
13
4) Imbalance, karena disproporsi zat gizi, misalnya kolesterol terjadi karena tidak
seimbangnya LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein), dan
VLDL (Very Low Density Lipoprotein).
5) Kurang energi protein (KEP), adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari atau gangguan
penyakit tertentu. Anak dikatakan KEP bila berat badan kurang dari 80% berat badan
menurut umur (BB/U) baku WHO-NHCS.
Status gizi dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, Bachyar Bakri, dkk
(2002) mengatakan bahwa meskipun sering berkaitan dengan masalah kekurangan
pangan, pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan pengadaan
pangan. Pada kasus tertentu, seperti dalam keadaan krisis (bencana alam, perang,
kekacauan sosial, krisis ekonomi), masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh
makanan untuk semua anggotanya.
Karenanya, peningkatan status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang
menjamin setiap anggota masyarakat untuk memproleh makanan yang cukup jumlah
dan mutunya, dalam konteks itu masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah
kesehatan tapi juga masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah kesempatan kerja.
Konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks. Daly
Davis dan Robertson (1979) dalam buku Supriasa (2002) membuat model faktor-
faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu, konsumsi makanan dan tingkat
14
kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, makanan, dan
tersedianya bahan makanan. Faktor yang mempengaruhi keadaan gizi model Daly
dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keadaan Gizi (Sumber: Daly,
Davis dan Robertson,1979)
2.1.2. Klasifikasi Status Gizi
Status gizi menurut Almatsier (2003) dalam Pratiwi (2011), dibagi menjadi 4 macam
yaitu:
1. Status Gizi Buruk
Keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup
lama.
Produksi Pangan
Pengolahan Bahan
Makanan
Distribusi bahan makanan
dan faktor harga
Kemampuan keluarga
menggunakan makanan
Tersedianya bahan makanan
Dapat diperolehnya bahan
makanan
Konsumsi
makanan
Kesehatan
Keadaan
Gizi
Pendapatan, lapangan kerja,
pendidikan, kemampuan
15
2. Status Gizi Kurang
Terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial.
3. Status Gizi Baik atau Status Gizi Optimal
Terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara
efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
4. Status Gizi Lebih
Terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga
menimbulkan efek toksis atau membahayakan. IMT direkomendasikan sebagai
indikator yang baik untuk menentukan status gizi pada remaja. Cara pengukuran IMT
adalah:
IMT = Berat badan (Kg) / Tinggi badan (M²)
Tabel 2.1 : Kategori IMT berdasarkan WHO
Klasifikasi IMT kg/M²
Underweight ≤ 18,4
Normal range 18.50-23
Over weight 23,1-25
Obese ≥ 25.00
Sumber: Sutter Health Palo Alto Medical Foundation (2012)
2.1.3. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu
populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih
(Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis, yaitu :
16
1. Penilaian Langsung
a. Antropometri
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang
berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi
seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh
seseorang (Supariasa, 2001).
Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi
dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi
zat-zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan
perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan
asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di
mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh
(kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c. Biokimia
Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan biokimia
pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus
yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi
sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling
sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis. Cara lain adalah dengan
17
menggunakan uji gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur besarnya
konsekuensi fungsional dari suatu zat gizi yang spesifik Untuk pemeriksaan biokimia
sebaiknya digunakan perpaduan antara uji biokimia statis dan uji gangguan
fungsional (Baliwati, 2004).
d. Biofisik
Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan yang
dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja (Supariasa,
2001).
2. Penilaian Tidak Langsung
a. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan
melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga.
Data yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif.
Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi,
sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang
maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati,
2004).
b. Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-
data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka
18
kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik
pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan
gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c. Faktor Ekologi
Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi
dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor
fisik, dan lingkungan budaya.
Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab
kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat
berguna untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001).
d. Indeks Antropometri
Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks
antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih
pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah satu contoh
dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang disebut
dengan Body Mass Index (Supariasa, 2001).
IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka
mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia
harapan hidup yang lebih panjang. IMT hanya dapat digunakan untuk orang dewasa
19
yang berumur diatas 18 tahun. Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran
Indeks Massa Tubuh, terdiri dari :
a. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling sering
digunakan yang dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi seperti protein,
lemak, air dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa Tubuh, berat badan
dihubungkan dengan tinggi badan (Gibson, 2005).
b. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat merefleksikan
pertumbuhan skeletal (tulang) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Cara Mengukur
Indeks Massa Tubuh Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan
dalam satuan kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat (Gibson,
2005).
IMT =
Kategori Indeks Massa Tubuh
Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori ambang batas IMT yang
digunakan, seperti yang terlihat pada tabel 2.2 yang merupakan ambang batas IMT
untuk Indonesia.
20
Tabel 2.2. Kategori Batas Ambang IMT untuk Indonesia
Kategori IMT (Kg/M²)
Kurus Kekurangan berat badan
tingkat berat
˂ 17,0
Kekurangan berat badan
tingkat ringan
17,1-18,4
Normal 18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan
tingkat ringan
25,1-27,0
Kelebihan berat badan
tingkat berat
≥ 27,0
Sumber : Depkes, 2003ᵇ
Pada tabel 2.2. dapat dilihat kategori IMT berdasarkan klasifikasi yang telah
ditetapkan oleh WHO.
Tabel 2.3 Kategori IMT berdasarkan WHO (2000)
Kategori IMT (Kg/M²)
Underweight < 18,5
Normal 18,5 – 24,99
Overweight ≥ 25,00
Preobese 25,00 – 29,99
Obesitas 1 30,00 – 34,99
Obesitas 2 35,00 – 39,9
Obesitas 3 ≥ 40,0
Sumber : WHO (2000) dalam Gibson (2005)
21
3. KMS (Kartu Menuju Sehat)
a. Pengertian KMS
Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah suatu alat sederhana yang dapat digunakan untuk
mencatat setiap perubahan berat badan balita berdasarkan bentuk dan warna kurva
pertumbuhan. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari KMS, salah satunya adalah
dapat mendeteksi gizi buruk pada balita. Bedasarkan hasil pemantauan Direktorat
Bina Gizi Masyarakat selama tahun 2005 - 2009, terdapat empat propinsi yang selalu
masuk dalam daftar daerah yang mengalami kasus gizi buruk tinggi, salah satunya
adalah Propinsi Jawa Timur dimana pada tahun 2009 Propinsi Jawa Timur
menduduki posisi teratas untuk masalah gizi buruk (Siswono, 2010).
Beberapa kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur telah melakukan upaya untuk
menurunkan jumlah gizi buruk diantaranya adalah revitalisasi Posyandu, pemberian
penyuluhan gizi dan kesehatan, kunjungan rumah (sweeping), pemberian makanan
pendamping, deteksi dini masalah kurang gizi, serta menyiapkan anggaran untuk
kegiatan penanggulangan gizi buruk. (Dinas Komunikasi dan Informatika Propinsi
Jawa Timur, 2010).
Budiantara (2009) dalam penelitiannya mengenai KMS menyimpulkan bahwa
penggunaan KMS yang merupakan standar baku dari WHO yang dikeluarkan oleh
NCHS (National Center Health Statistics) kurang menggambarkan perilaku
pertumbuhan balita yang ada di Indonesia. Akibatnya, terdapat balita yang
semestinya sehat, tetapi dalam KMS terdekteksi tidak sehat, dan sebaliknya.
22
KMS adalah kartu yang memuat grafik pertumbuhan serta indikator
perkembangan yang bermanfaat untuk mencatat dan memantau tumbuh kembang
balita setiap bulan dari sejak lahir sampai berusia 5 tahun. KMS juga dapat diartikan
sebagai “ rapor “ kesehatan dan gizi (Catatan riwayat kesehatan dan gizi ) balita (
Depkes RI, 1996 ).
Di Indonesia dan negara - negara lain, pemantauan berat badan balita
dilakukan dengan timbangan bersahaja ( dacin ) yang dicatat dalam suatu sistem kartu
yang disebut “Kartu Menuju Sehat “ (KMS). Hambatan kemajuan pertumbuhan berat
badan anak yang dipantau dapat segera terlihat pada grafik pertumbuhan hasil
pengukuran periodik yang dicatat dan tertera pada KMS tersebut.
Naik turunnya jumlah anak balita yang menderita hambatan pertumbuhan di
suatu daerah dapat segera terlihat dalam jangka waktu periodik ( bulan ) dan dapat
segera diteliti lebih jauh apa sebabnya dan dibuat rancangan untuk diambil tindakan
penanggulangannya secepat mungkin. Kondisi kesehatan masyarakat secara umum
dapat dipantau melalui KMS, yang pertimbangannya dilakukan di Posyandu ( Pos
Pelayanan terpadu ), ( Sediaoetama, 1999 ).
Indikator BB / U dipakai di dalam Kartu Menuju Sehat ( KMS ) di Posyandu
untuk memantau pertumbuhan anak secara perorangan. Pengertian tentang “
Penilaian status Gizi ” dan “ Pemantauan pertumbuhan ” sering dianggap sama
sehingga mengakibatkan kerancuan. KMS tidak untuk memantau gizi, tetapi alat
pendidikan kepada masyarakat terutama orang tua agar dapat memantau pertumbuhan
anak, dengan pesan “ Anak sehat tambah umur tambah berat” ( Soekirman, 2000 ).
23
b. Tujuan Penggunaan KMS Balita
Umum : Mewujudkan tingkat tumbuh kembang dan status kesehatan anak balita
secara optimal.
Khusus : 1. Sebagai alat bantu bagi ibu atau orang tua dalam memantau tingkat
pertumbuhan dan perkembangan balita yang optimal.
2. Sebagai alat bantu dalam memantau dan menentukan tindakan –
tindakan untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
balita yang optimal.
3. Sebagai alat bantu bagi petugas untuk menentukan tindakan pelayanan
kesehatan dan gizi kepada balita. ( Depkes RI, 1996 ).
c. Fungsi KMS Balita
1. Sebagai media untuk “ mencatat / memantau ” riwayat kesehatan balita secara
lengkap.
2. Sebagai media “ penyuluhan ” bagi orang tua balita tentang kesehatan balita.
3. Sebagai sarana pemantauan yang dapat digunakan bagi petugas untuk menentukan
tindakan pelayanan kesehatan dan gizi terbaik bagi balita.
4. Sebagai kartu analisa tumbuh kembang balita ( Depkes RI, 1996 ).
Fungsi KMS ditetapkan hanya untuk memantau pertumbuhan bukan untuk
penilaian status gizi. Artinya penting untuk memantau apakah berat badan anak naik
24
atau turun, tidak untuk menentukan apakah status gizinya kurang atau baik,
(Soekirman, 2000 ).
d. Grafik pertumbuhan pada KMS
1. Dasar pembuatan
Grafik pertumbuhan KMS dibuat berdasarkan baku WHO – NCHS yang
disesuaikan dengan situasi Indonesia.
Gambar grafik pertumbuhan dibagi dalam 5 blok sesuai dengan golongan
umur balita. Setiap blok dibentuk oleh garis tegak / skala berat dalam kg dan garis
datar skala umur menurut bulan. Blok 1 untuk bayi berumur 0 – 12 bulan, blok 2
untuk anak golongan umur 13 – 24 bulan, blok 3 untuk anak golongan umur 25 – 36
bulan.
Grafik pertumbuhan untuk bayi dan anak sampai dengan umur 36 bulan
terdapat pada halaman dalam KMS. Sedangkan untuk anak umur 37 – 60 bulan
terdapat pada halaman berikutnya yang dibagi menjadi 2 blok yaitu blok ke 4 untuk
anak umur 37 – 48 bulan dan blok ke 5 untuk anak golongan yang umur 49 – 60
bulan.
Dalam setiap blok, grafik pertumbuhan dibentuk dengan garis merah
(agak melengkung) dan pita warna kuning, hijau dan hijau tua. Dasar pembuatannya
sebagai berikut :
a. Garis merah (agar melengkung) dibentuk dengan menghubungkan angka
angka yang dihitung dari 70 % median baku WHO – NCHS.
25
b. Dua pita warna kuning di atas garis merah berturut- turut terbentuk
masing - masing dengan batas atas 75 % dan 80 % median baku WHO – NCHS.
c. Dua pita warna hijau muda di atas pita kuning dibentuk masing – masing
dengan batas atas 85 % dan 90 % median baku WHO – NCHS.
d. Dua pita warna hijau tua di atasnya dibentuk msing - masing dengan batas
atas 95 % dan 100 % median baku WHO – NCHS.
e. Dua pita warna hijau muda dan kuning masing – masing pita bernilai 5 %
dari baku median adalah daerah di mana anak – anak sudah mempunyai kelebihan
berat badan.
2. Interpretasi grafik pertumbuhan dan saran tindak lanjut
a. Interpretasi pada sekali penimbangan
Tabel 2.4. Interpretasi pada sekali penimbangan
Laku berat badan Interpretasi Tindak lanjut
Di bawah garis merah Anak kurang gizi tingkat
sedang atau berat badan atau
disebut kurang energi dan
protein nyata ( KEP nyata )
- Perlu pemberian makanan
tambahan ( PMT ) yang
diselenggarakan oleh orang
tua / petugas kesehatan
- Perlu penyuluhan gizi
seimbang
- Perlu dirujuk untuk
pemeriksanan kesehatan
Pada daerah dua pita
warna kuning ( di atas
garis merah )
Harus hati – hari dan waspada
karena keadaan gizi anak
sudah kurang meskipun
tingkat ringan atau disebut
KEP tingkat ringan
- Ibu dianjurkan untuk
memberikan PMT pada anak
balitanya di rumah
- Perlu penyuluhan gizi
seimbang
26
Dua pita warna hijau
muda dan pita warna
hijau tua ( di atas pita
kuning )
Anak mempunyai beraat
badan cukup attau disebut gizi
baik
- Beri dukungan pada ibu
untuk tetap memperhatikan
dan mempertahankan status
gizi anak
- Beri penyuluhan gizi
seimbang
Dua pita warna hijau
muda, dua pita warna
kuning ( paling atas ).
Anak telah mempunyai berat
badan yang lebih, semakin ke
atas kelebihan berat badannya
semakin banyak
- Konsultasi ke dokter
- Penyuluhan gizi seimbang
- Konsultasi ke klinik gizi /
pojok gizi di puskesmas
b. Interpretasi dua kali perimbangan atau lebih
Tabel 2.5 Interpretasi dua kali perimbangan atau lebih
Kecenderungan Interpretasi Tindak lanjut
Berat badan naik atau
meningkat
Anak sehat, gizi cukup *) - Perlu penyuluhan gizi
seimbang
- Beri dukungan pada
orang tua untuk
mempertahankan kondisi
anak
Berat badan tetap Kemungkinan terganggu
kesehatannya dan atau
mutu gizi yang dikonsumsi
tidak seimbang *)
-Dianjurkan untuk
memberi makanan
tambahan
- Penyuluhan gizi
seimbang
- Konsultasi ke dokter atau
petugas kesehatan
Berat badan berkurang
atau turun
Kemungkinan terganggu
kesehatannya dan atau
mutu gizi yang dikonsumsi
tidak seimbang *)
- Dianjurkan untuk
memberi makanan
tambahan
- Penyuluhan gizi
seimbang
- Konsultasi ke dokter atau
petugas kesehatan
27
Titik – titik berat badan
dalam KMS terputus –
putus
Kurang kesadaran untuk
berpartisipasi dalam
pemantauan tumbuh
kembang anak
Penyuluhan dan
pendekatan untuk
meningkatkan kesadaran
berpartisipasi aktif
Keterangan : *) Interpretasi tersebut hanya berlaku bagi balitaa yang mempunyai
berat badan normal dan kurang. Bila balita yang sudah kelebihan
berat badan sebaiknya secara khusus dikonsultasikan ke dokter.
e. Cara Pengisian dan penggunaan KMS
1. Identitas Anak
a. Pada halaman muka KMS isilah nama anak dan nomor pendaftaran sesuai dengan
nomor registrasi yang ada di Posyandu.
b. Pada halaman pendaftaran pertama kali di Posyandu isilah semua kolom indentitas
anak yang tersedia pada halaman dalam KMS.
1) Pos Pelayanan Terpadu ( Posyandu ) = diisi dengan nama posyandu tempat di
mana anak didaftar.
Contoh:
2) Tanggal Pendaftaran = diisi dengan tanggal, bulan dan tahun anak tersebut didaftar
dan mengikuti program Posyandu pertama kali
Contoh:
3) Nama anak = diisi dengan nama jelas anak yang bersangkutan
Contoh:
Pos Pelayanan Terpadu ( Posyandu )
Gladiol 2
2 Febuari 2019
Budi
28
4) Laki – laki = kolom diisi tanda 5 apabila jenis kelamin anak tesebut adalah laki –
laki
Contoh:
5) Perempuan = kolom diisi tanda 5 apabila jenis kelamin anak tesebut adalah
perempuan
Contoh:
6) Anak ke = diisi dengan nomor urut kelahiran anak
Contoh:
7) Tanggal lahir = diisi tanggal, bulan dan tahun kelahiran anak
Contoh:
Perhatian : - Bila ada kartu kelahiran, catatlah tanggal, bulan dan tahun kelahiran
anak menurut kartu kelahiran
- Bila tidak ada kartu kelahiran, catatlah tanggal lahir anak sesuai
dengan yang diingat ibunya.
- Bila ibu lupa tanggal lahir anak dan hanya tahun umurnya, cobalah
perkirakan “ bulan dan tahun ” kelahiran anak menurut bulan Arab /
bulan Jawa atau peristiwa
– peristiwa lain yang mudah diingat yang bersamaan dengan kelahiran
akannya.
Laki-Laki √
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan √
Anak ke 2
8 Januari 2015
29
8) Berat badan waktu lahir = diisi dengan berat badan anak yang bersangkutan dalam
satuan gram pada waktu dilahirkan.
Contoh:
9) Nama ayah = diisi dengan nama ayah dari anak tersebut Pekerjaan = diisi dengan
pekerjaan ayah anak tersebut
Contoh:
10) Nama ibu = diisi dengan nama ibu dari anak tersebut
Pekerjaan = diisi dengan pekerjaan ibu anak tersebut
Contoh:
11) Alamat = diisi dengan alamat tempat tinggal keluarganya
Contoh:
Berat Badan waktu lahir = 3.500 gram
Nama Ayah: Budi
Pekerjaan: Petani
Nama Ibu: Tuti
Pekerjaan: Buruh Tani
Alamat: Kebonsari Elveka v
30
Gambar 2.2. KMS
Sumber: KMS standar baru dari WHO 2005
31
2.1.4. Masalah Gizi
a. Masalah gizi kurang
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi
baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang
digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan
otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan
makanan (Sampoerno, 1992).
Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu
zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2001). Akibat yang terjadi apabila
kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit
infeksi), terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan,
kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya
seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi (Jalal dan
Atmojo, 1998).
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh
negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat
pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum
sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan
Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi
(AGB) (Apriadji, 1986).
32
b. Masalah Gizi Lebih
Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami
kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang
disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa
masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan
dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti
diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih
banyak lagi (Soerjodibroto, 1993).
Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas IMT
untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0 kg/m2, sedangkan obesitas
adalah ≥ 27,0 kg/m2. Kegemukan (obesitas) dapat terjadi mulai dari masa bayi,
anakanak, sampai pada usia dewasa. Kegemukan pada masa bayi terjadi karena
adanya penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang
menderita kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan mengalami kegemukan
pula.
Kegemukan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua
tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami
kegemukan sampai usia dewasa. Kegemukan pada usia dewasa terjadi karena
seseorang telah mengalami kegemukan dari masa anak-anak (Suyono, 1986).
33
2.1.5. Metode Pengukuran Konsumsi Makanan
Metode pengukuran konsumsi makanan digunakan untuk mendapatkan data
konsumsi makanan tingkat individu. Ada beberapa metode pengukuran konsumsi
makanan, yaitu sebagai berikut :
1. Recall 24 jam (24 Hour Recall)
Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah makanan serta
minuman yang telah dikonsumsi dalam 24 jam yang lalu. Recall dilakukan pada saat
wawancara dilakukan dan mundur ke belakang sampai 24 jam penuh. Wawancara
menggunakan formulir recall harus dilakukan oleh petugas yang telah terlatih. Data
yang didapatkan dari hasil recall lebih bersifat kualitatif. Untuk mendapatkan data
kuantitatif maka perlu ditanyakan penggunaan URT (Ukuran Rumah Tangga).
Sebaiknya recall dilakukan minimal dua kali dengan tidak berturut-turut. Recall yang
dilakukan sebanyak satu kali kurang dapat menggambarkan kebiasaan makan
seseorang (Supariasa, 2001).
Metode recall sangat tergantung dengan daya ingat individu, sehingga
sebaiknya responden memiliki ingatan yang baik agar dapat menggambarkan
konsumsi yang sebenarnya tanpa ada satu jenis makanan yang terlupakan. Recall
tidak cocok bila dilakukan pada responden yang di bawah 7 tahun dan di atas 70
tahun. Recall dapat menimbulkan the flat slope syndrome, yaitu kecenderungan
responden untuk melaporkan konsumsinya. Responden kurus akan melaporkan
konsumsinya lebih banyak dan responden gemuk akan melaporkan konsumsi lebih
34
sedikit, sehingga kurang menggambarkan asupan energi, protein, karbohidrat, dan
lemak yang sebenarnya (Supariasa, 2001).
2. Food Record
Food record merupakan catatan responden mengenai jenis dan jumlah
makanan dan minuman dalam satu periode waktu, biasanya 1 sampai 7 hari dan dapat
dikuantifikasikan dengan estimasi menggunakan ukuran rumah tangga (estimated
food record) atau menimbang (weighed food record) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
3. Food Frequency Questionnaire (FFQ)
FFQ merupakan metode pengukuran konsumsi makanan dengan
menggunakan kuesioner untuk memperoleh data mengenai frekuensi seseorang dalam
mengonsumi makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi dapat dilakukan selama
periode tertentu, misalnya harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Kuesioner
terdiri dari daftar jenis makanan dan minuman (Supariasa, 2001).
4. Penimbangan makanan (Food Weighing)
Metode penimbangan makanan dilakukan dengan cara menimbang makanan
disertai dengan mencatat seluruh makanan dan minuman yang dikonsumsi responden
selama satu hari. Persiapan pembuatan makanan, penjelasan mengenai bahan-bahan
yang digunakan dan merk makanan (jika ada) sebaiknya harus diketahui (Gibson,
2005).
35
5. Metode Riwayat Makan
Metode riwayat makan dilakukan untuk menghitung asupan makanan yang
selalu dimakan dan pola makan seseorang dalam waktu yang relatif lama, misalnya
satu minggu, satu bulan, maupun satu tahun. Metode ini terdiri dari 3 komponen,
yaitu wawancara recall 24 jam, memeriksa kebenaran recall 24 jam dengan
menggunakan kuesioner berdasarkan frekuensi konsumsi sejumlah makanan, dan
konsumsi makanan selama tiga hari, termasuk porsi makanan (Gibson, 2005).
2.1.6. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
1. Umur
Kebutuhan energi individu disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan
tingkat aktivitas. Jika kebutuhan energi (zat tenaga) terpenuhi dengan baik maka
dapat meningkatkan produktivitas kerja, sehingga membuat seseorang lebih semangat
dalam melakukan pekerjaan. Apabila kekurangan energi maka produktivitas kerja
seseorang akan menurun, dimana seseorang akan malas bekerja dan cenderung untuk
bekerja lebih lamban. Semakin bertambahnya umur akan semakin meningkat pula
kebutuhan zat tenaga bagi tubuh. Zat tenaga dibutuhkan untuk mendukung
meningkatnya dan semakin beragamnya kegiatan fisik (Apriadji, 1986).
2. Frekuensi Makan
Frekuensi konsumsi makanan dapat menggambarkan berapa banyak makanan
yang dikonsumsi seseorang. Menurut Hui (1985), sebagian besar remaja melewatkan
satu atau lebih waktu makan, yaitu sarapan. Sarapan adalah waktu makan yang paling
36
banyak dilewatkan, disusul oleh makan siang. Ada beberapa alasan yang
menyebabkan seseorang malas untuk sarapan, antara lain mereka sedang dalam
keadaan terburu-buru, menghemat waktu, tidak lapar, menjaga berat badan dan tidak
tersedianya makanan yang akan dimakan. Melewatkan waktu makan dapat
menyebabkan penurunan konsumsi energi, protein dan zat gizi lain (Brown et al,
2005).
Pada bangsa-bangsa yang frekuensi makannya dua kali dalam sehari lebih
banyak orang yang gemuk dibandingkan bangsa dengan frekuensi makan sebanyak
tiga kali dalam sehari. Hal ini berarti bahwa frekuensi makan sering dengan jumlah
yang sedikit lebih baik daripada jarang makan tetapi sekali makan dalam jumlah yang
banyak (Suyono, 1986).
3. Asupan Energi
Energi merupakan asupan utama yang sangant diperlukan oleh tubuh.
Kebutuhan energi yang tidak tercukupi dapat menyebabkan protein, vitamin, dan
mineral tidak dapat digunakan secara efektif. Untuk beberapa fungsi metabolisme
tubuh, kebutuhan energi dipengaruhi oleh BMR (Basal Metabolic Rate), kecepatan
pertumbuhan, komposisi tubuh dan aktivitas fisik (Krummel & Etherton, 1996).
Energi yang diperlukan oleh tubuh berasal dari energi kimia yang terdapat
dalam makanan yang dikonsumsi. Energi diukur dalam satuan kalori. Energi yang
berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram, dan karbohidrat 4
kkal/ gram (Baliwati, 2004).
37
4. Asupan Protein
Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Fungsi
utama protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh
(Almatsier, 2001). Fungsi lain dari protein adalah menyediakan asam amino yang
diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolisme, mengatur
keseimbangan air, dan mempertahankan kenetralan asam basa tubuh. Pertumbuhan,
kehamilan, dan infeksi penyakit meningkatkan kebutuhan protein seseorang
(Baliwati, 2004).
Sumber makanan yang paling banyak mengandung protein berasal dari bahan
makanan hewani, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan
sumber protein nabati berasal dari tempe, tahu, dan kacang-kacangan. Catatan Biro
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1999, menunjukkan secara nasional konsumsi
protein sehari rata-rata penduduk Indonesia adalah 48,7 gram sehari (Almatsier,
2001). Anjuran asupan protein berkisar antara 10 – 15% dari total energi (WKNPG,
2004).
5. Asupan Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi kehidupan manusia yang
dapat diperoleh dari alam, sehingga harganya pun relatif murah (Djunaedi, 2001).
Sumber karbohidrat berasal dari padi-padian atau serealia, umbi-umbian,
kacangkacangan dan gula. Sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh
38
masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok adalah beras, singkong, ubi, jagung,
taslas, dan sagu (Almatsier, 2001).
Karbohidrat menghasilkan 4 kkal / gram. Angka kecukupan karbohidrat
sebesar 50-65% dari total energi. (WKNPG, 2004). WHO (1990) menganjurkan agar
55 – 75% konsumsi energi total berasal dari karbohidrat kompleks. Karbohidrat yang
tidak mencukupi di dalam tubuh akan digantikan dengan protein untuk memenuhi
kecukupan energi. Apabila karbohidrat tercukupi, maka protein akan tetap berfungsi
sebagai zat pembangun (Almatsier, 2001).
6. Asupan Lemak
Lemak merupakan cadangan energi di dalam tubuh. Lemak terdiri dari
trigliserida, fosfolipid, dan sterol, dimana ketiga jenis ini memiliki fungsi terhadap
kesehataan tubuh manusia (WKNPG, 2004).
Konsumsi lemak paling sedikit adalah 10% dari total energi. Lemak
menghasilkan 9 kkal/ gram. Lemak relatif lebih lama dalam sistem pencernaan tubuh
manusia. Jika seseorang mengonsumsi lemak secara berlebihan, maka akan
mengurangi konsumsi makanan lain. Berdasarkan PUGS, anjuran konsumsi lemak
tidak melebihi 25% dari total energi dalam makanan seharihari. Sumber utama lemak
adalah minyak tumbuh-tumbuhan, seperti minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah,
jagung, dan sebagainya. Sumber lemak utama lainnya berasal dari mentega, margarin,
dan lemak hewan (Almatsier, 2001).
39
7. Tingkat Pendidikan
Pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan pengetahuan. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka sangat diharapkan semakin tinggi pula
pengetahuan orang tersebut mengenai gizi dan kesehatan. Pendidikan yang tingggi
dapat membuat seseorang lebih memperhatikan makanan untuk memenuhi asupan
zat-zat gizi yang seimbang. Adanya pola makan yang baik dapat mengurangi bahkan
mencegah dari timbulnya masalah yang tidak diinginkan mengenai gizi dan kesehatan
(Apriadji, 1986).
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, akan mudah dalam
menyerap dan menerapkan informasi gizi, sehingga diharapkan dapat menimbulkan
perilaku dan gaya hidup yang sesuai dengan informasi yang didapatkan mengenaigizi
dan kesehatan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan
(WKNPG, 2004).
Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan status gizi seseorang.
Pada umumnya tingkat pendidikan pembantu rumah tangga masih rendah (tamat SD
dan tamat SMP). Pendidikan yang rendah sejalan dengan pengetahuan yang rendah,
karena dengan pendidikan rendah akan membuat seseorang sulit dalam menerima
informasi mengenai hal-hal baru di lingkungan sekitar, misalnya pengetahuan gizi.
Pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi sangat diperlukan oleh pembantu rumah
tangga. Selain untuk diri sendiri, pendidikan dan pengetahuan gizi yang diperoleh
dapat dipraktekkan dalam pekerjaan yang mereka lakukan.
40
8. Pendapatan ( Ekonomi )
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi status gizi,
Pembantu rumah tangga mendapatkan gaji (pendapatan) yang masih di bawah UMR
(Gunanti, 2005).
Besarnya gaji yang diperoleh terkadang tidak sesuai dengan banyaknya jenis
pekerjaan yang dilakukan. Pendapatan seseorang akan menentukan kemampuan
orang tersebut dalam memenuhi kebutuhan makanan sesuai dengan jumlah yang
diperlukan oleh tubuh. Apabila makanan yang dikonsumsi tidak memenuhi jumlah
zat-zat gizi dibutuhkan oleh tubuh, maka dapat mengakibatkan perubahan pada status
gizi seseorang (Apriadji, 1986).
Ada dua aspek kunci yang berhubungan antara pendapatan dengan pola
konsumsi makan, yaitu pengeluaran makanan dan tipe makanan yang dikonsumsi.
Apabila seseorang memiliki pendapatan yang tinggi maka dia dapat memenuhi
kebutuhan akan makanannya (Gesissler, 2005).
Meningkatnya pendapatan perorangan juga dapat menyebabkan perubahan
dalam susunan makanan. Kebiasaan makan seseorang berubah sejalan dengan
berubahnya pendapatan seseorang (Suhardjo, 1989).
Meningkatnya pendapatan seseorang merupakan cerminan dari suatu
kemakmuran. Orang yang sudah meningkat pendapatannya, cenderung untuk
berkehidupan serba mewah. Kehidupan mewah dapat mempengaruhi seseorang
dalam hal memilih dan membeli jenis makanan. Orang akan mudah membeli
41
makanan yang tinggi kalori. Semakin banyak mengonsumsi makanan berkalori tinggi
dapat menimbulkan kelebihan energi yang disimpan tubuh dalam bentuk lemak.
Semakin banyak lemak yang disimpan di dalam tubuh dapat mengakibatkan
kegemukan (Suyono, 1986).
Friedman (2004) status ekonomi seseorang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Penghasilan tipe kelas atas > Rp 3.000.000,
2. Penghasilan tipe kelas menengah Rp 2000.000 – Rp 3.000.000
3. Penghasilan tipe kelas bawah< Rp 2000.000
9. Pengetahuan
Tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi tingkat pengetahuannya
akan gizi. Orang yang memiliki tingkat pendidikan hanya sebatas tamat SD, tentu
memiliki pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan orang dengan tingkat
pendidikan tamat SMA atau Sarjana. Tetapi, sebaliknya, seseorang dengan tingkat
pendidikan yang tinggi sekalipun belum tentu memiliki pengetahuan gizi yang cukup
jika ia jarang mendapatkan informasi mengenai gizi, baik melalui media iklan,
penyuluhan, dan lain sebagainya. Tetapi, perlu diingat bahwa rendah-tingginya
pendidikan seseorang juga turut menentukan mudah tidaknya orang tersebut dalam
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Berdasarkan hal
ini, kita dapat menentukan metode penyuluhan gizi yang tepat. Di samping itu, dilihat
dari segi kepentingan gizi keluarga, pendidikan itu sendiri amat diperlukan agar
42
seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan dapat
mengambil tindakan secepatnya (Apriadji, 1986).
Pengetahuan gizi sangat penting, dengan adanya pengetahuan tentang zat gizi
maka seseorang dengan mudah mengetahui status gizi mereka. Zat gizi yang cukup
dapat dipenuhi oleh seseorang sesuai dengan makanan yang dikonsumsi yang
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan. Pengetahuan gizi dapat memberikan
perbaikan gizi pada individu maupun masyarakat (Suhardjo, 1986).
10. Pekerjaan Ibu
Pola asuh orang tua sangat berperan dalam berbagai hal untuk mencapai
tumbuh kembang yang sesuai dengan tingkat usianya. Balita merupakan bagian dari
anggota keluarga yang dalam tumbuh kembangnya tidak dapat terlepas dari pengaruh
lingkungan yang mengasuh dan merawatnya. Seorang ibu baik yang berprofesi atau
menjadi ibu rumah tangga harus mempunyai tanggung jawab dalam pengasuhan
anaknya (Oemar & Novita, 2015).
Ibu yang bekerja menjadi faktor yang berhubungan dengan keadaan gizi
balita. Ibu bekerja juga mempengaruhi pola asupan makanan balita, porsi makanan,
dan juga nutrisi apa saja yang dikonsumsi balita (Putri, Sulastri & Lestari, 2015). Saat
ini banyak ibu yang memilih bekerja dengan alasan memperbaiki kondisi
perekonomian keluarga (Putri & Kusbaryanto, 2012). Salah satu alasannya adalah
kemiskinan dan banyaknya pengangguran, sehingga ibu memilih untuk membantu
memperbaiki ekonomi keluarga dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga
(Oemar & Novita, 2015). Ibu yang bekerja tidak memiliki cukup banyak waktu
43
bersama dengan anak balitanya, namun ibu dapat meluangkan waktu untuk sekedar
memberikan makan untuk anak (Putri & Kusbaryanto, 2012). Dengan demikian
konsep pola asuh yang sesuai dengan ibu yang bekerja sangat dibutuhkan sehingga
ibu dapat bertanggung jawab dengan keadaan status gizi balitanya dan juga masih
tetap dapat bekerja (Oemar & Novita, 2015).
2.1.7. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan suatu ukuran keckupan
rata-rata zat gizi setiap hari untuk semua orang yang disesuiakan dengan golongan
umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai tingkat kesehatan
yang optimal dan mencegah terjadinya defisiensi zat gizi (Depkes, 2005b).
Angka Kecukupan Energi (AKE) merupakan rata-rata tingkat konsumsi
energi dengan pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan pengeluaran energi
pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas fisik. Angka
Kecukupan Protein (AKP) merupakan rata-rata konsumsi protein untuk
menyeimbangkan protein agar tercapai semua populasi orang sehat disesuaikan
dengan kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas fisik. Kecukupan
karbohidrat sesuai dengan pola pangan yang baik berkisar antara 50-65% total energi,
sedangkan kecukupan lemak berkisar antara 20-30% total energi (Hardinsyah dan
Tambunan, 2004).
44
2.2. Anak Balita
2.2.1. Pengertian Anak Balita
Balita merupakan anak yang berusia diatas satu tahun atau biasa juga disebut
dengan bayi di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia (2014) seorang anak dikatakan balita apabila anak berusia 12
bulan sampai dengan 59 bulan. Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa seorang
anak dari usia 1 sampai 3 tahun disebut batita atau toddler dan anak usia 3 sampai 5
tahun disebut dengan usia pra sekolah atau preschool child. Usia balita merupakan
sebuahperiode penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak
(Febry, 2008).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menjelaskan balita
merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat.
Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap individu berbeda-beda, bisa cepat
maupun lambat tergantung dari beberapa faktor diantaranya herediter, lingkungan,
budaya dalam lingkungan, sosial ekonomi, iklim atau cuaca, nutrisi dan lain-lain
(Aziz, 2006 dalam Nurjannah, 2013).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau
lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2006).
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah umum
bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita,
anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting,
45
seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah
bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.
Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik
pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun, dimana umur 5 bulan berat badan naik 2 kali
berat badan lahir dan berat badan naik 3 kali dari berat badan lahir pada umur 1 tahun
dan menjadi 4 kali pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra
sekolah kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian pertumbuhan
konstan mulai berakhir (Soetjiningsih, 2001).
Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam
pencapaian keoptimalan fungsinya, pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi
serta menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia (Supartini, 2004).
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadipenentu keberhasilan
pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang
di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang,
karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
2.2.2. Karakteristik Balita
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1– 3
tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004).
46
Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima
makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar
dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar.
Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang
mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih
besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan
frekuensi sering Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah
dapat memilih makanan yang disukainya.
Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah
playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku.
Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka
akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak
cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan
pemilihan maupun penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak
perempuan relative lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan
dengan anak laki-laki (BPS, 1999).
Septiari (2012) menyatakan karakteristik balita dibagi menjadi dua yaitu:
1. Anak usia 1-3 tahun
Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak menerima makanan
yang disediakan orang tuanya. Laju Balita pertumbuhan usia balita lebih besar dari
usia prasekolah, sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Perut yang
lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali
47
makan lebih kecil bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih besar oleh sebab
itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.
2. Anak usia prasekolah (3-5 tahun)
Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah mulai memilih
makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan anak cenderung mengalami
penurunan, disebabkan karena
anak beraktivitas lebih banyak dan mulai memilih maupun menolak makanan yang
disediakan orang tuanya.
2.2.3. Hubungan antara faktor pekerjaan ibu dengan status gizi
1. Pekerjaan ibu
Pola asuh orang tua sangat berperan dalam berbagai hal untuk mencapai
tumbuh kembang yang sesuai dengan tingkat usianya. Balita merupakan bagian dari
anggota keluarga yang dalam tumbuh kembangnya tidak dapat terlepas dari pengaruh
lingkungan yang mengasuh dan merawatnya. Seorang ibu baik yang berprofesi atau
menjadi ibu rumah tangga harus mempunyai tanggung jawab dalam pengasuhan
anaknya (Oemar & Novita, 2015).
Ibu yang bekerja menjadi faktor yang berhubungan dengan keadaan gizi
balita. Ibu bekerja juga mempengaruhi pola asupan makanan balita, porsi makanan,
dan juga nutrisi apa saja yang dikonsumsi balita (Putri, Sulastri & Lestari, 2015).
Saat ini banyak ibu yang memilih bekerja dengan alasan memperbaiki kondisi
perekonomian keluarga (Putri & Kusbaryanto, 2012).
48
Salah satu alasannya adalah kemiskinan dan banyaknya pengangguran,
sehingga ibu memilih untuk membantu memperbaiki ekonomi keluarga dalam
memenuhi kebutuhan anggota keluarga (Oemar & Novita, 2015).
Ibu yang bekerja tidak memiliki cukup banyak waktu bersama dengan anak
balitanya, namun ibu dapat meluangkan waktu untuk sekedar memberikan makan
untuk anak (Putri & Kusbaryanto, 2012).
Dengan demikian konsep pola asuh yang sesuai dengan ibu yang bekerja
sangat dibutuhkan sehingga ibu dapat bertanggung jawab dengan keadaan status gizi
balitanya dan juga masih tetap dapat bekerja (Oemar & Novita, 2015).
2. Hasil Peneliti Sebelumnya pengaruh pekerjaan terhadap status gizi balita
Berdasarkan perhitungan analisis dengan menggunakan korelasi teta diperoleh
nilai teta diperoleh 0,492. Sedangkan nilai thitung dengan df=7,58 diperoleh 0,159.
Hal ini menunjukan bahwa ada pengaruh pekerjaan terhadap status gizi balita dengan
tingkat pengaruhnya terhadap status gizi balita cukup kuat.
Bekerja akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Hambatan
ibu dalam mempertahankan status gizi balita karena para ibu banyak yang bekerja.
Mereka sangat terikat dengan waktu dan sudah memiliki jadwal tertentu. Bekerja
umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga terutama pada pola pengasuhan
anak (Sulistiani, 2008). Sehingga ibu yang bekerja biasanya memiliki mobilitas yang
tinggi karena kesibukan pekerjaan sehingga kebanyakan kebutuhan asupan nutrisi
untuk anak kurang diperhatikan. Teori ini diperkuat oleh hasil penelitian dari
49
Hammond (2004) bahwa sebagian ibu yang bekerja akan berpengaruh terhadap status
gizi anaknya.
2.2.4. Hubungan antara faktor pendidikan ibu dengan status gizi
1. Pendidikan ibu
Pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan pengetahuan. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka sangat diharapkan semakin tinggi pula
pengetahuan orang tersebut mengenai gizi dan kesehatan. Pendidikan yang tingggi
dapat membuat seseorang lebih memperhatikan makanan untuk memenuhi asupan
zat-zat gizi yang seimbang. Adanya pola makan yang baik dapat mengurangi bahkan
mencegah dari timbulnya masalah yang tidak diinginkan mengenai gizi dan kesehatan
(Apriadji, 1986).
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, akan mudah dalam
menyerap dan menerapkan informasi gizi, sehingga diharapkan dapat menimbulkan
perilaku dan gaya hidup yang sesuai dengan informasi yang didapatkan mengenaigizi
dan kesehatan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan
(WKNPG, 2004).
Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan status gizi seseorang.
Pada umumnya tingkat pendidikan pembantu rumah tangga masih rendah (tamat SD
dan tamat SMP). Pendidikan yang rendah sejalan dengan pengetahuan yang rendah,
karena dengan pendidikan rendah akan membuat seseorang sulit dalam menerima
informasi mengenai hal-hal baru di lingkungan sekitar, misalnya pengetahuan gizi.
50
Pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi sangat diperlukan oleh pembantu rumah
tangga. Selain untuk diri sendiri, pendidikan dan pengetahuan gizi yang diperoleh
dapat dipraktekkan dalam pekerjaan yang mereka lakukan.
2. Hasil Peneliti Sebelumnya pengaruh pekerjaan terhadap status gizi balita
Berdasarkan hasil peneliti sebelumnya dapat dilihat p-value = 0,355 berarti
>0,05 yang menunjukan bahwa tidak ada pengaruh pendidikan ibu terhadap status
gizi balita dengan nilai koefisien somer’d 0,066. Diperoleh dengan nilai p-value =
0,355 dapat disimpulkan bahwa pendidikan ibu tidak berpengaruh terhadap status gizi
balita.
Menurut Apriadji (2004), meskipun seseorang memiliki pendidikan yang
rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya
TV, radio, atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang
2.2.5. Hubungan antara faktor ekonomi keluarga dengan status gizi
1. Pendapatan ( Ekonomi )
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi status gizi,
Pembantu rumah tangga mendapatkan gaji (pendapatan) yang masih di bawah UMR
(Gunanti, 2005).
Besarnya gaji yang diperoleh terkadang tidak sesuai dengan banyaknya jenis
pekerjaan yang dilakukan. Pendapatan seseorang akan menentukan kemampuan
orang tersebut dalam memenuhi kebutuhan makanan sesuai dengan jumlah yang
51
diperlukan oleh tubuh. Apabila makanan yang dikonsumsi tidak memenuhi jumlah
zat-zat gizi dibutuhkan oleh tubuh, maka dapat mengakibatkan perubahan pada status
gizi seseorang (Apriadji, 1986).
Ada dua aspek kunci yang berhubungan antara pendapatan dengan pola
konsumsi makan, yaitu pengeluaran makanan dan tipe makanan yang dikonsumsi.
Apabila seseorang memiliki pendapatan yang tinggi maka dia dapat memenuhi
kebutuhan akan makanannya (Gesissler, 2005).
Meningkatnya pendapatan perorangan juga dapat menyebabkan perubahan
dalam susunan makanan. Kebiasaan makan seseorang berubah sejalan dengan
berubahnya pendapatan seseorang (Suhardjo, 1989).
Meningkatnya pendapatan seseorang merupakan cerminan dari suatu
kemakmuran. Orang yang sudah meningkat pendapatannya, cenderung untuk
berkehidupan serba mewah. Kehidupan mewah dapat mempengaruhi seseorang
dalam hal memilih dan membeli jenis makanan. Orang akan mudah membeli
makanan yang tinggi kalori. Semakin banyak mengonsumsi makanan berkalori tinggi
dapat menimbulkan kelebihan energi yang disimpan tubuh dalam bentuk lemak.
Semakin banyak lemak yang disimpan di dalam tubuh dapat mengakibatkan
kegemukan (Suyono, 1986).
Friedman (2004) status ekonomi seseorang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Penghasilan tipe kelas atas > Rp 3.000.000,
2. Penghasilan tipe kelas menengah Rp 2000.000 – Rp 3.000.000
52
3. Penghasilan tipe kelas bawah < Rp 2000.000
2. Hasil Peneliti Sebelumnya pengaruh ekonomi terhadap status gizi balita
Berdasarkan hasil peneliti sebelumnya dapat dilihat p-value = 0,009 berarti
<0,05 yang menunjukan bahwa ada pengaruh tingkat pendapatan terhadap status gizi
balita dengan nilai koefisien somer’d 0,169. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi terhadap status gizi balita.
Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi keluarga,
yang berhubungan dengan daya beli yang dimiliki oleh keluarga (Santoso, 2005).
Karena semakin tinggi penghasilan seseorang akan semakin baik terhadap status gizi
karena asupan nutrisi yang mencukupi, dan semakin rendah penghasilan seseorang
akan meningkatkan status gizi yang kurang karena penghasilan yang tipe kelas
menengah dan bawah akan samakin sulit untuk daya beli yang dibutuhkan. Teori
diatas semakin diperkuat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryadi tahun
2010 yang menunjukkan bahwa status ekonomi akan mempengaruhi status gizi balita.
53
2.3. Keaslian Penelitian
Tabel 2.6
No Judul Artikel ;
Penulis;Tahun
Metode
(Desain,Sampel,Variabel,Instrumen,Analisis)
Hasil Penelitian
1 Judul Artikel;
Faktor Yang
Mempengaruhi
Status Gizi
Balita Di
Puskesmas
Nelayan Kota
Cirebon
Penulis; Andy
Muharry, Isti
Kumalasari,
Eka
Rosmayanti
Dewi
Tahun; 2017
Penelitian ini menggunakan desain analitik
dengan pendekatan cross sectional.
Sampel berjumlah 93 orang diambil dengan
teknik proportional random sampling.
Variabel bebas yang diteliti yaitu tingkat
pendidikan ibu, pendapatan keluarga, jumlah
anak, pengetahuan ibu tentang gizi dan
keaktifan posyandu.Variabel terikat yaitu
status gizi balita.
Instrumen penelitian berupa lembar
kuesioner.
Analisis data dilakukan dengan analisis
univariabel, bivavariabel dan multivariable.
faktor yang mempengaruhi
status gizi balita usia 12-24
bulan di wilayah kerja
Puskesmas Nelayan Kota
Cirebon yaitu pengetahuan
ibu tentang gizi,
pendapatan keluarga dan
keaktifan dalam kunjungan
posyandu. Sedangkan
variabel yang paling
mempengaruhi status gizi
balita adalah keaktifan
dalam kunjungan
posyandu.
2 Judul Artikel;
Faktor-Faktor
yang
Berhubungan
dengan Status
Gizi Anak
Balita di
Wilayah Kerja
Puskesmas
Nanggalo
Padang
Penulis; Rona
Firmana,
Delmi Sulastri,
Yuniar Lestari
Tahun; 2015
Penelitian ini bersifat analitik dengan desain
Cross-sectional study.
Sampel berjumlah 227 orang yang terdiri
dari anak balita dan ibu balita diwilayah
kerja puskesmas nanggalo padang.
Variabel bebas yaitu tingkat pendidikan ibu,
tingkat pengetahuan ibu, jenis pekerjaan ibu,
pendapatan keluarga, jumlah anak dan pola
asuh ibu. Variabel terikat yaitu status gizi
anak balita.
Instrumen penelitian berupa lembar
kuesioner.
Analisis data dilakukan dengan bivariate dan
multivariat.
Terdapat hubungan yang
bermakna antara
pendidikan ibu, pekerjaan
ibu, pendapatan keluarga,
jumlah anak dan pola asuh
ibu dengan status gizi anak
balita. Pekerjaan ibu
merupakan faktor yang
paling dominan
berhubungan dengan status
gizi. Faktor pengetahuan
ibu tidak dapat dilakukan
uji statistik sehingga tidak
didapatkan hubungan.
54
3 Judul Artikel;
Analisis
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Status Gizi
Balita Suku
Anak Dalam
(SAD) (Studi
di Wilayah
Kerja
Puskesmas
Pematang
Kabau
Kecamatan Air
Hitam
Kabupaten
Sarolangun
Jambi)
Tahun; 2017
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
kuantitatif dengan desain study cross
sectional.
Sampel berjumlah 40 orang anak balita usia
12-59 bulan.
Variabel bebas pengetahuan ibu balita,
penyakit infeksi pada balita, tabu makanan,
kecukupan asupan energi, kecukupan asupan
protein. Variabel terikat status gizi anak
balita.
Instrumen penelitian lembar kuesioner dan
wawancara.
Analisis data univariat dan bivariat.
Pada penelitian ini
didapatkan hasil bahwa
adanya hubungan yang
signifikan antara
pengetahuan ibu, tabu
makanan, dengan
kecukupan asupan energi
protein balita suku anak
dalam dengan nilai
p<0,050,serta terdapat
hubungan antara asupan
energi protein, penyakit
infeksi dengan status gizi
balita suku anak dalam,
Pada variabel jumlah
anggota keluarga tidak
terdapat hubungan dengan
status gizi karena nilai
p>0,050.
4 Judul artikel;
Faktor-Faktor
Yang
Berhubungan
Dengan Status
Gizi Anak
Balita Di
Wilayah Kerja
Puskesmas
Kombos Kota
Manado
Penulis;
Krisna
Lumban Gaol,
Mauren I
Punuh, Nancy
S Malonda
Tahun; 2017
Penelitian ini menggunakan survey analitik
dengan desain Cross sectional .
Sampel berjumlah 108 orang menggunakan
teknik purposive sampling.
Variabel bebas pendidikan ibi, pendapatan
keluarga, penyakit infeksi dan kelengkapan
imunisasai. Variabel terikat status gizi balita.
Instrumen kuesioner dan antropometri.
Analisis data menggunakan uji chi-square
dan uji fisher exact.
Tidak ada hubungan
pendidikan ibu, pendapatan
keluarga, penyakit infeksi
dengan status gizi (BB/TB)
pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Kombos.
Terdapat hubungan
kelengkapan imunisasi
dengan status gizi balita
menurut indeks BB/TB
dengan p value sebesar 0,
016 (<0,05). Tetapi
kelengkapan imunisasi
dengan status gizi menurut
indeks TB/U diperoleh p
value sebesar 1,000
(>0,05) menunjukkan tidak
terdapat hubungan
kelengkapan imunisasi
dengan status gizi balita
menurut indeks TB/U di
wilayah kerja Puskesmas
Kombos.
5 Judul Artikel; Desain penelitian Korelasional. Hasil penelitian
55
Faktor-Faktor
yang
mempengaruhi
Status Gizi di
Kelurahan
Jayaraksa
Wilayah Kerja
Puskesmas
Baros Kota
Sukabumi
Penulis;
Annissa
Indriati Fauzy,
Marina
Yuniyanti,
S.SIT
Tahun;2014
Sampel sebanyak 182 responden.
Variabel bebas pengetahuan ibu, pendidikan,
pekerjaan ibu, status ekonomi, dan pola asuh.
Variabel terikat Status Gizi balita.
Instrument kuesioner.
Analisis data menggunakan koefisien
somer’d, koefisien kontingensi, dan korelasi
theta.
menunjukkan terdapat
pengaruh pengetahuan ibu,
pola asuh, pekerjaan, dan
status ekonomi terhadap
status gizi balita karena
nilai p-value ≤0,05. Tidak
terdapat pengaruh
pendidikan terhadap status
gizi balita karena nilai p-
value >0,05.Merujuk
kepada hasil penelitian
diharapkan institusi terkait
dapat memberikan
konseling lebih rutin
kepada ibu balita tentang
kebutuhan gizi balita.