Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diabetes Militus
2.1.1 Pengertian Diabetes Militus
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”
(siphon). Militus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes
melitus bisa diartikan individu yang mengalirkan volume urine banyak dengan kadar glukosa
tinggi. Diabetes Militus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang
progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo dkk, 2012).
Diabetes Mellitus adalah kondisi abnormalitas metabolisme karbohidrat yang
disebabkan oleh defisiensi (kekurangan) insulin, baik secara absolute (total) maupun sebagian
(Dalimartha. 2012).
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa diabetes militus merupakan
penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar gula dalam darah akibat gangguan sekresi
insulin.
2.1.2 Etiologi Diabetes Militus
Etiologi diabetes tipe I (Insulin Depedent Diabetes Melitus )
1. Faktor genetik, penderita diabetes tidak mewarisi diabetes Tipe-1 itu sendiri tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes Tipe-1.
2. Faktor immunologi, pada diabetes Tipe-1 terdapat bukti adanya suatu proses respon
autoimun.
3. Faktor lingkungan, virus ataau vaksin menurut hasil penelitian dapat memicu destruksi sel
beta atau dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel beta (Aru,
et al. 2011)
Etiologi diabetes tipe II (Non Insulin Depedent Diabetes Melitus)
1. Pola Makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh
dapat memacu timbulnya diabetes melitus. Hal ini disebabkan jumlah/kadar insulin oleh
sel β pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu,
mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin dalam
jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan meyebabkan
diabetes melitus (Aru, et al. 2011).
2. Obesitas
Orang dengan berat badan berlebih mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk
terserang diabetes melitus dibanding dengan orang yang tidak gemuk (Aru, et al. 2011).
3. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Bahan kimia tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang pankreas.
Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan pankreas tidak berfungsi secara optimal
dalam mensekresikan hormon yang diperlukan unuk metabolisme dalam tubuh, termasuk
hormon insulin (Aru, et al. 2011).
2.1.3 Klasifikasi Diabetes Militus (DM)
1. Diabetes Militus Tipe-1
DM Tipe-1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “Insulin
dependent” atau “Ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam
beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah “juvenile onset” sendiri diberikan
karena onset DM Tipe-1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 11-
13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau menjelang 40 (Brooks dan
Fahey. 2011).
Karakteristik dari DM Tipe-1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah,
kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap
stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin. DM Tipe-1 sekarang banyak
dianggap sebagai penyakit autoimun. Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan
agen infeksius/lingkungan, di mana sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik
tertentu, menyerang molekul sel beta pankreas yang ‘menyerupai’ protein virus sehingga
terjadi destruksi sel beta dan defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu
serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia,
sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa bayi. Selain akibat autoimun, sebagaian kecil
DM Tipe-1 terjadi akibat proses yang idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta atau
aktivitas HLA. DM Tipe-1 yang bersifat idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor
keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan Asia (Brooks dan Fahey. 2011).
2. Diabetes Militus Tipe-2
Diabetes militus tipe II disebabkan oleh faktor keturunan dan juga gaya hidup yang
kurang sehat. Hampir seluruh penderita diabetes menderita tipe kedua ini. Meskipun
mengenai dihampir semua penderita diabetes, gejalanya sangatlah lambat. Sehingga
perkembangan penyakit ini membutuhkan waktu bertahun-tahun. Kerja insulin di dalam
tubuh tidak lagi efektif meskipun tidak perlu ada suntikan insulin dari luar untuk
membantu menjalani hidupnya. Tidak seperti pada DM Tipe-1, DM Tipe-2 tidak memiliki
hubungan dengan aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai
sel beta yang masih berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak
bergantung seumur hidup). DM Tipe-2 ini bervariasi mulai dari yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin, (American Diabetes Association (ADA) tahun
2011).
Pada DM Tipe-2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat
respons yang inadekuat pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak
bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan produksi glukosa hati
dan peningkatan lipolisis. Efek yang terjadi pada DM Tipe-2 disebabkan oleh gaya hidup
yang diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang rendah, obesitas).
Nilai BMI yang dapat memicu terjadinya DM Tipe-2 adalah berbeda-beda untuk setiap ras.
3. Diabetes Kehamilan/gestasional
Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan onset pada
waktu kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan komplikasi pada sekitar 1-14% kehamilan.
Biasanya toleransi glukosa akan kembali normal pada trimester ketiga (American Diabetes
Association (ADA) tahun 2011)
4. Diabetes Insipidus
Kondisi yang cukup langka, dengan gejala selalu merasa haus dan pada saat
bersamaan sering membuang air kecil dalam jumlah yang sangat banyak. Jika sangat
parah, penderitanya bisa mengeluarkan air kencing sebanyak 20 liter dalam sehari
(American Diabetes Association (ADA) tahun 2011).
2.1.4 Manifestasi Klinis Diabetes Militus
1. Banyak makan (poliphagia).
2. Banyak minum (polidipsia).
3. Banyak kencing (poliuria).
4. Mudah lelah.
5. Kesemutan.
6. Rasa tebal di kulit.
7. Kram, (Slamet dan Suyono. 2013)
2.1.5 Patofisiologi Diabetes Militus
Diabetes militus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam darah tinggi karena
tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup. Sehingga
mengakibatkan hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu
dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin merupakan
hormon yang diproduksi pankreas dan mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan
mengatur produksi dan penyimpanannya. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama
yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel sehingga terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Adanya resistensi insulin
pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel membuat insulin tidak efektif
dalam menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Sylvia, A. P, 2011).
Peningkatan risiko terjadinya diabetes Tipe-2 dipengaruhi oleh hormon insulin dan
adrenalin karena Hormon insulin berfungsi untuk menurunkan kadar glukosa darah Sistem
kerjanya adalah dengan cara mengubah glukosa di dalam darah menjadi glikogen kemudian
menyimpan glikogen ini sebagai gula cadangan di hati. Sedangkan hormon adrenalin
berfungsi untuk menaikkan kadar glukosa darah saat kondisi tubuh tercekam atau stress.
Sistem kerjanya adalah dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa. Pada saat
mengkonsumsi glukosa seperti makanan dan minuman manis, maka kadar glukosa darah di
tubuh akan naik dan melampaui kadar glukosa normal. Saat kadar glukosa darah terlalu tinggi
hormon insulin akan dikeluarkan oleh pancreas untuk bertugas menurunkan kadar glukosa
darah sampai ke batas normalnya. Sedangkan glikogen yang menjadi gula cadangan di tubuh
akan dibongkar suatu hari nanti saat tubuh sedang kekurangan glukosa darah misalnya saat
sedang berpuasa. Kadar glukosa darah akan turun di bawah normal saat berpuasa sehingga
perlu dinaikkan dengan cara membongkar gula cadangan yang berbentuk glikogen. untuk
kondisi stress, maka tubuh dipaksa untuk mengeluarkan energi yang besar misalnya untuk
menaikkan detak jantung, maka tubuh juga dipaksa untuk menaikan kadar glukosa darah.
Nantinya glukosa tersebut akan diubah menjadi energi untuk memenuhi kebutuhan energi
besar, maka glukosa yang dibutuhkan juga sangat banyak (FKUI 2011)
Orang yang mengalami obesitas, kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. Leptin
adalah hormon yang berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus
untuk mengatur tingkat lemak tubuh, kemampuan untuk membakar lemak menjadi energi, dan
rasa kenyang. Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan.
Leptin akan menghambat pengambilan glukosa. Sehingga mengalami peningkatan kadar gula
dalam darah (D’Adamo, 2012).
2.1.6 Komplikasi Diabetes Militus
1. Serangan jantung
Kadar gula darah tak terkendali membuat darah mengental serta menyebabkan
pengerasan dan penyempitan pembuluh darah. Sumbatan pembuluh darah mudah terjadi,
jantung kurang darah, akhirnya otot jantung berhenti (infark) (Slamet dan Suyono. 2013).
2. Hipertensi
Diabetes dan tekanan darah tinggi adalah penyakit yang berhubungan erat. Kedua kondisi
ini terjadi bersama-sama. penyakit yang mungkin muncul pada pasien yang
sama. Peningkatan volume cairan pada diabetes militus meningkatkan jumlah total cairan
dalam tubuh, yang cenderung meningkatkan tekanan darah (Slamet dan Suyono. 2013).
3. Gangguan pada fungsi ginjal
Ginjal dipacu bekerja lebih berat dan penyempitan pembuluh darah kapiler dalam ginjal
(Slamet dan Suyono. 2013).
4. Gangguan mata
Kadar gula darah tak terkendali menyebabkan penebalan selaput dan kelainan bentuk sel
yang menyebabkan terjadi perdarahan di retina, kecembungan lensa terganggu, glukoma
dan juga katarak (Slamet dan Suyono. 2013).
5. Luka dengan kesembuhan yang lama
Kekebalan penderita umumnya menurun sehingga mudah terkena infeksi. Abses akibat
infeksi akan menekan pembuluh darah lainnya sehingga aliran darah yang membawa
makan dan oksigen berkurang (Slamet dan Suyono. 2013).
2.1.7 Diagnosis Diabetes Militus
Kriteria Diagnostik Diabetes Militus :
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu 200mg/dl
2. Gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (Sumber, Perkeni 2012).
2.1.8 Pengendalian Diabetes Militus
Tujuan pengendalian Diabetes Militus dibagi menjadi tujuan jangka panjang dan tujuan
tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan gejala/keluhan dan mempertahankan rasa nyaman
dan tercapainya target pengendalian darah. Prinsip Pengendalian Diabetes Militus meliputi 5
pilar yaitu:
1. Edukasi :
a. Penyakit DM dan perlunya pengendalian dan pemantauan penyakit
b. Pengobatan secara farmakologis dan non farmakologis
c. Tanda – tanda hipoglikemia (kadar gula darah terlalu rendah) dan cara pencegahan
hipoglikemia. Tanda-tanda hipoglikemia, antara lain sakit kepala, berdebar-debar,
gemetaran, lapar, mual dan muntah, berkeringat, bahkan dapat juga berupa penurunan
kesadaran.
d. Perawatan kaki pada pasien diabetes dan pencegahan timbulnya kaki diabetes.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya luka pada kaki
penderita DM, yaitu: penderita harus selalu menjaga kebersihan kakinya, mengetahui
sedini mungkin jika ada luka, bengkak, atau perdarahan pada kaki, sesering mungkin
menggunakan alas kaki, meskipun di dalam rumah, untuk mencegah trauma pada kaki,
tidak menggunakan alas kaki yang terlalu sempit, menjaga agar kaki tidak lembab, dan
segera ke dokter jika terdapat luka pada kaki atau kaki menjadi kurang terasa (PERKENI
2015).
2. Diet Nutrisi
Untuk perencanaan makan atau diet nutrisi, diperlukan keterlibatan secara
menyeluruh dari dokter, ahli gizi, dan pasien itu sendiri serta keluarga pasien. Perencanaan
makan harus disesuaikan menurut kebiasaan dan kebutuhan masing-masing individu. Pada
prinsipnya, pada pasien DM diperlukan makanan yang seimbang (karbohidrat, protein,
lemak, serat, vitamin, dan mineral) dan sesuai dengan kebutuhan kalori pasien. Selain itu,
pada pasien DM juga diperlukan pengaturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama bagi pasien DM yang telah mengkonsumsi obat penurun gula darah atau insulin
(PERKENI 2015).
3. Aktivitas Fisik (Olahraga)
Pada dasarnya, Pasien DM disarankan untuk berolahraga minimal 3 kali seminggu
selama paling sedikit 30 menit. Olahraga yang disarankan adalah olahraga aerobik, seperti:
jalan kaki, bersepeda, jogging, dan berenang.Olahraga disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani individu. Untuk pasien DM yang masih sehat, intensitas olahraga dapat
ditingkatkan, namun untuk pasien yang telah mengalami komplikasi,olahraga dapat
dikurangi Hal ini selain dimaksudkan untuk menjaga kebugaran tubuh, juga untuk
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga dapat
memperbaiki kadar gula dalam darah (PERKENI 2015).
4. Obat-obatan
Apabila pengendalian diabetesnya tidak berhasil dengan pengaturan diet dan
aktivitas fisik, pasien DM akan diberikan obat penurun gula darah. Obat-obatan tersebut
harus dikonsumsi secara teratur, sesuai anjuran dokter. Selain itu, obat-obatan tersebut juga
harus diminum seimbang dengan jumlah makanan yang dikonsumsi. Obat-obatan ini akan
selalu diperlukan oleh pasien DM untuk mengontrol kadar gula dalam darah. Obat-obatan
DM bersifat individual artinya jenis dan dosis yang diberikan oleh dokter hanya berlaku
untuk satu pasien DM itu saja, tidak bisa digunakan pada pasien DM lainnya. Setiap pasien
DM harus meminumnya dengan teratur sesuai anjuran dokter dan tidak boleh
diberhentikan sendiri oleh pasien DM (PERKENI 2015).
5. Monitor Kadar Gula Darah
Pasien DM harus dipantau secara menyeluruh dan teratur. Pemeriksaan pada
dasarnya untuk memantau apakah dosis pengobatan sudah cukup dan apakah target
pengobatan yang berikan sudah tercapai. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan kadar
gula darah, pemeriksaan HbA1C, dan beberapa pemeriksaan lain. Pemeriksaan HbA1C
dimaksudkan untuk menilai kadar gula darah selama 3 bulan terakhir. Pasien DM yang
menggunakan insulin atau obat untuk memperbanyak pengeluaran insulin juga disarankan
untuk melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri dilakukan dengan menggunakan
alat pengukur yang mudah untuk digunakan. Selain itu, pemeriksaan lain yang dianjurkan
adalah pemeriksaan untuk mendeteksi adanya komplikasi DM, yaitu: pemeriksaan mata,
pemeriksaan urin, dan sebagainya. Jika kelima pilar tersebut diterapkan dengan baik, maka
DM Tipe I DM Tipe II
Reaksi Autoimun Idiopatik usia, genetik, dll
Sel Jmh sel pancreas menurun
Definisi Insulin
Hiperglikemia Katabolisme protein meningkat Liposis meningkat
Fleksibel darah merah
Katabolisme protein meningkat
Intake tidak adekuat
Poliuria Defisit volume cairan
Katabolisme protein meningkat Resiko nutrsi kurang
Penurunan BB
Pelepasan O2
Hipoksia perifer
Nyeri
Perfusi jaringan perifer tidak efektif
komplikasi penyakit DM akan dapat dicegah dan kualitas hidup pasien DM akan menjadi
lebih baik (PERKENI 2015).
Gambar 2.1 WOC Diabetes Militus (Aru W dan Sylvia A, Lorraine, 2011)
2.2 Konsep IMT
Ketidakseimbangankadar gula dalam
darah
2.2.1 Pengertian Indeks Massa Tubuh
Indeks adalah rasio antara dua unsur kebahasaan tertentu yang mungkin menjadi ukuran
atau ciri tertentu, penunjuk (Depkes RI. 2013). Massa adalah ukuran sejumlah materi yang
dimiliki oleh suatu benda yang didefinisikan baik oleh sifat benda itu maupun pengaruh
gravitasi bumi pada benda-benda lain dalam fisika (Lies Purnawati, 2015). Tubuh adalah
keseluruhan jasad yang kelihatan dari ujung kaki sampai ujung rambut (Depkes RI. 2013).
Jadi dalam penelitian ini yang dimaksud dengan indeks masa tubuh adalah rasio antara berat
badan dan tinggi badan yang diukur dari ujung rambut sampai ujung kaki. Indeks Massa
Tubuh (Body Mass Index) merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan
(membandingkan) berat badan dengan tinggi badan. Walaupun dinamakan “indeks”, IMT
sebenarnya adalah rasio atau nisbah yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram)
dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter) (Depkes RI. 2013).
Tabel 2.1 Rumus penghitungan Body Mass Index (WHO 2013)
BMI = Weight / (Height)2
Keterangan :
BMI (Body mass index) : Indeks Massa Tubuh(kg.m-2)
Weight : Berat badan (kg)
Height : Tinggi badan (m)
Dengan IMT, akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus
atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan tidak dapat
diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Batas ambang IMT
ditentukan dengan merujuk ketentuan WHO.
Tabel 2.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (WHO, 2013)
Classificasion BMI (kg/m2)
Underweight Principal cut-off points
Severe thinness < 18,50
Moderate thinness < 16,00
Mild thinness 16,00 – 16,99
Normal Range 17,00 – 18,49
Pre Obese 18,50 – 25,99
Obese 25,00 – 29,99
Obese class I >30,00
Obese class II 30,00 – 34,99
Obese class III 35,00 – 39,99 >40,00
Pada tahun 2012, National Institutes of Health dikutip oleh Depkes 2015 oleh
mengeluarkan laporan untuk mengidentifikasi dan menangani masalah mengenai berat badan.
Banyak studi ilmiah penelitian yang memberikan rekomendasi untuk paramedis dan
masyarakat tentang pentingnya manajemen berat. Dalam mengembangkan penelitian, lebih
dari 43.627 artikel penelitian diperoleh dari literatur ilmiah dan ditinjau dari panel para
peneliti telah meneliti tentang pentingnya pengurangan berat badan pada orang dengan
kolesterol darah tinggi, tekanan darah tinggi, diabetes melitus, kanker, dan osteoartritis.
Dimana hasilnya menunjukkan fakta bahwa penurunan berat badan dapat mengurangi risiko
penyakit tersebut diatas. Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi
berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang.
Tabel 2.3. Batas Ambang IMT Indonesia (Depkes, 2013)
Kategori IMT (Kg/m2)
Kurus Normal Obesitas
<17,0 – 18,4 18,5 – 27,0 >27,0
Keterangan :
1. IMT <17,0 – 18,4: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan
tingkat ringan atau KEK ringan (Kurang Energi Kronis)
2. IMT 18,5 – 27,0: keadaan orang tersebut termasuk kategori normal.
3. >27,0: keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan (Direktorat
Gizi Masyarakat RI, 2013).
2.2.2 Klasifikasi IMT
1. Indeks Massa Tubuh (IMT) kategori kurus
Indeks massa tubuh di kategorikan kurus jika pembagian berat per kuadrat tingginya
kurang dari 18 kg/m2. Penyebabnya rata-rata dikarenakan konsumsi energi lebih rendah dari
kebutuhan yang mengakibatkan sebagian cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan
digunakan. Kerugiannya jika seseorang masuk dalam kategori ini antara lain : (1) Penampilan
cenderung kurang menarik, (2) Mudah letih, (3) Resiko sakit tinggi, beberapa resiko sakit
yang dihadapi antara lain : penyakit infeksi, depresi, anemia dan diare. (4) Wanita kurus kalau
hamil mempunyai resiko tinggi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, (5) Kurang
mampu bekerja keras (Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2012).
2. Indeks Massa Tubuh (IMT) kategori normal
Indeks massa tubuh masuk ketegori normal jika pembagian berat per kuadrat tingginya
antara 18 sampai 25 kg/m2. Kategori ini bisa diwujudkan dengan mengkonsumsi energi sesuai
dengan jumlah yang dibutuhkan tubuh. Sehingga tidak terjadi penimbunan energi dalam
bentuk lemak, maupun penggunaan lemak sebagai sumber energi.Keuntungan dari IMT yang
normal ini antara lain (1) Penampilan menarik, proporsional, dan lincah, (2) Resiko penyakit
bisa di minimalisir menjadi lebih rendah. (Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2012).
3. Indeks Massa Tubuh (IMT) kategori berlebihan (kegemukan)
Kegemukan atau obesitas digolongkan menjadi dua kategori, yaitu (1) kelebihan berat
badan tingkat ringan, (2) kelebihan berat badan tingkat berat. Obesitas berpotensi menjadi
faktor primer kasus degeneratif dan metabolik sindrom. Beberapa studi menunjukkan bahwa
obesitas adalah risiko yang paling tinggi untuk penyakit jantung, DM, dan beberapa jenis
kanker. Adapun kerugian atau resiko dari kategori ini adalah (1) Penampilan kurang menarik,
(2) Gerakan tidak gesit dan lambat, (3) Merupakan faktor resiko penyakit: Jantung dan
pembuluh darah, Kencing manis (diabetes mellitus), Tekanan darah tinggi, Gangguan sendi
dan tulang (degeneratif), Gangguan fungsi ginjal, Kanker, Pada wanita dapat mengakibatkan
gangguan haid (haid tidak teratur), faktor penyulit pada saat persalinan (Smeltzer, S.C & Bare,
B.G, 2012).
Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan
(WHO, 2011). Seseorang yang dikatakan obesitas apabila terjadi pertambahan atau
pembesaran sel lemak tubuh mereka. Obesitas dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat
meningkatkan prevalensi intoleransi glukosa (Alwi, 2009). Banyak hal yang dapat
menyebabkan seseorang memiliki berat badan berlebih atau obesitas, diantaranya adalah:
1. Ketidakseimbangan antara asupan kalori dari makanan dengan penggunaan kalori
sebagai energi pada aktivitas fisik.
2. Lingkungan tempat tinggal dan tempat bekerja.
3. Faktor genetik.
4. Faktor lain seperti obat-obatan. Orang yang menggunakan steroid jangka panjang akan
mengalami penambahan berat badan. (WHO, 2009).
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh beberapa ahli fisiologi, dimana salah
satu faktor yang dapat menyebabkan kegemukan adalah dikarenakan kurangnya olahraga.
Faktor lainnya adalah gangguan emosi dengan makan berlebihan yang menggantikan rasa
puas lainnya, pembentukan sel-sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat pemberian makan
yang berlebihan pada saat usia anak, gangguan pusat pengatur selera makan (satiety-apetite
centre) di hipotalamus dan kelezatan makanan yang tersedia. Selain itu, makanan yang
dimakan sebelum tidur lebih besar kemungkinan akan disimpan sebagai cadangan makanan
atau disebut glikogen. Dalam hal ini, makanan yang dimakan sebelum tidur lebih
menyebabkan seseorang menjadi gemuk jika dibandingkan dengan makanan yang dimakan
lebih awal (Sherwood, 2010)
2.3 Konsep Glukosa Darah
2.3.1 Pengertian Glukosa Darah
Glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada kadar glukosa dalam darah yang
konsentrasinya diatur ketat oleh tubuh. Glukosa yang dialirkan melalui darah adalah sumber
utama energi untuk sel-sel tubuh. Umumnya tingkat glukosa dalam darah bertahan pada batas-
batas 4-8 mmol/L/hari (70-150 mg/dl). Kadar gula meningkat setelah makan dan biasanya
berada pada level terendah di pagi hari sebelum orang-orang mengkonsumsi makanan
(Supariasa, et al. 2011).
2.3.2 Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah makan
dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah yang normal pada pagi hari
setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar glukosa darah
biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang
mengandung glukosa maupun karbohidrat lainnya (Lies Purnawati. 2015) Kadar glukosa
darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi bertahap setelah usia 50 tahun,
terutama pada orang-orang yang tidak aktif bergerak. Peningkatan kadar glukosa darah setelah
makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah
kenaikan kadar glukosa darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar glukosa darah
menurun secara perlahan (Rosalina. 2015).
Tabel 2.4 Kriteria diagnosis untuk gangguan kadar glukosa darah
(Sumber:Perkeni,2011)
Metode Kadar Glukosa Darah
Pengukuran Normal DM IGT IFG
Glukosa darah
Puasa<6,1 mmol/L ≥ 7,0 mmol/L
< 7.0 mmol/L
< 6,1mmol/L
glukosa darah
acak(<110 mg/dL) (≥126 mg/dL) (<126mg/dL) (< 10mg/dL)
Gluko sa darah
2jam setelah
Makan
nilai yang sering
dipakai tidak
spesifik <7,8
mmol/L (<140
mg/dl)
≥ 11,1 mmol/L (≥200mg/dL)
≤11,1mmol/L (≤200mg/dL)
(<140 g/dL)
Keterangan :
DM : Diabetes Militus
IGT : Impairing Glucose Tolerance
IFG : Impairing Fasting Glucose
1. Kadar glukosa darah normal (Normoglycaemia) adalah kondisi dimana kadar glukosa
darah yang ada mempunyai resiko kecil untuk dapat berkembang menjadi diabetes
(Perkeni,2011)
2. (Impairing Glucose Tolerance) didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang
mempunyai resiko tinggi untuk terjangkit diabetes walaupun kadar glukosa darah dapat
kembali ke keadaan normal. Kondisi IGT terjadi karena adanya kerusakan dari produksi
hormon insulin (Perkeni,2011).
3. IFG (Impairing Fasting Glucose) batas bawah untuk IFG tidak berubah untuk pengukuran
glukosa darah puasa yaitu 110 mg/dL. IFG sendiri mempunyai kedudukan hampir sama
dengan IGT. Kondisi dimana tubuh tidak dapat memproduksi insulin secara optimal dan
terdapatnya gangguan mekanisme penekanan pengeluaran glukosa dari hati ke dalam darah
(Perkeni,2011).
2.3.3 Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Macam-macam pemeriksaan glukosa darah
1. Glukosa darah sewaktu
Pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan setiap waktu sepanjang hari tanpa memperhatikan
makanan terakhir yang dimakan dan kondisi tubuh orang tersebut (Depkes RI, 2013).
2. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
Pemeriksaan glukosa darah puasa adalah pemeriksaan glukosa yang dilakukan setelah pasien
berpuasa selama 8-10 jam, sedangkan pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan adalah
pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung setelah pasien menyelesaikan makan (DepkesRI,
2013).
2.3.4 Sampel Pemeriksaan
1. Jenis sampel
Dahulu pengukuran glukosa darah dilakukan terhadap darah lengkap, tetapi sekarang
laboratorium melakukan pengukuran kadar glukosa dalam serum. Hal ini disebabkan karena
eritrosit memiliki kadar protein (yaitu hemoglobin) yang lebih tinggi dari pada serum,
sedangkan serum memiliki kadar air yang lebih tinggi sehingga bila dibandingkan dengan
darah lengkap serum melarutkan lebih banyak glukosa. (D’adamo, Peter, 2012). Serum atau
plasma harus segera dipisahkan dari sel-sel darah sebabsel darah walaupun telah berada di
luar tubuh tetap memetabolisme glukosa. Darah yang berisi sangat banyak lekosit dapat
menurunkan kadar glukosa. Pada suhu lemari pendingin kadar glukosa dalam serum tetap
stabil kadarnya sampai 24 jam, tanpa kontaminasi bakterial kadar glukosa dapat bertahan
lebih lama dari 24 jam (Constantinides, P. 2012).
2.3.5 Metode Pemeriksaan
Untuk mengukur kadar glukosa dipakai terutama dua macam teknik. Cara-cara kimia
memanfaatkan sifat mereduksi molekul glukosa yang tidak spesifik. Pada cara-cara enzimatik,
glukosa oksidase bereaksi dengan substrat spesifiknya, yakni glukosa, dengan membebaskan
hidrogen peroksida yang banyaknya diukur secara tak langsung. Nilai-nilai yang ditemukan
dalam cara reduksi adalah 5-15 mg/dl lebih tinggi dari yang didapat dengan cara-cara
enzimatik, karena disamping glukosa terdapat zat-zat mereduksi lain dalam darah. Sistem
indikator yang dipakai pada berbagai metode enzimatik yang otomatik berpengaruh kepada
hasil penetapan, jadi juga kepada nilai rujukan (Constantinides, P. 2012).
Metode-metode pemeriksaan glukosa darah :
1. Metode Folin
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah filtrat darah bebas protein dipanaskan dengan larutan
CuSO4 alkali. Endapan CuO yang dibentuk glukosa akan larut dengan penambahan larutan
fosfat molibdat. Larutan ini dibandingkan secara kolorimetri dengan larutan standart
glukosa (Constantinides, P. 2012).
2. Metode Samogyi-Nelson
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah filtrat mereduksi Cu dalam larutan alkali panas dan Cu
direduksi kembali oleh arseno molibdat membentuk warna ungu kompleks
(Constantinides, P. 2012).
3. Glukosa oksidase/peroksidae
Glukosa oksidase adalah suatu enzim bakteri yang merangsang oksidasi dengan
menghasilkan H2O2. Dengan adanya enzim peroksidase oksigen dari peroksid ini
dialihkan ke acceptor tertentu menghasilkan suatu ikatan berwarna. (Constantinides, P.
2012).
2.4 Konsep Obesitas
2.4.1 Defenisi Obesitas
Obesitas didefenisikan sebagai kelebihan lemak yang tidak normal dan dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan. Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah indeks berat
badan terhadap tinggi badan yang digunakan untuk menentukan batas kegemukan dan obesitas
bagi orang dewasa, baik populasi ataupun individu. Dikatakan obesitas jika seseorang
mempunyai berat badan diatas (20%) dari berat badan normal. Obesitas dapat terjadi akibat
ketidakseimbangan antara asupan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan
lemak. Dikatakan obesitas apabila perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat
badan adalah sekitar (25-30%) pada wanita dan (18-23%) pada pria. Wanita dengan lemak tubuh
lebih dari (30%) dan pria dengan lemak tubuh lebih dari (25%) dianggap mengalami obesitas.
Seseorang yang memiliki berat badan (20%) lebih tinggi dari berat badan yang normal dianggap
mengalami obesitas (WHO, 2013).
2.4.2 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Obesitas
1. Umur
Obesitas sering dianggap sebagai kelainan pada umur pertengahan. Obesitas yang muncul
pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai perkembangan rangka yang cepat dan anak
menjadi besar untuk umurnya. Anak-anak yang mengalami obesitas cenderung menjadi orang
dewasa yang juga obesitas. Obesitas pada anak muda sering dijumpai pada keluarga miskin.
Keadaan semacam ini misalnya keluarga pedagang pegawai ataupun karyawan menengah
keatas. Jadi, dalam hal ini umur bukan merupakan penentu utama timbulnya obesitas
(Sherwood, 2010)
2. Jenis Kelamin
Meskipun dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi obesitas lebih umum dijumpai pada
wanita terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause. Mungkin saja obesitas pada
wanita disebabkan karena pengaruh faktor endokrin, karena kondisi ini muncul pada saat-saat
adanya perubahan hormonal tersebut diatas (Sherwood, 2010)
3. Tingkat sosial
Menarik sekali bahwa di Negara-negara barat, obesitas banyak dijumpai
pada sosial-ekonomi rendah. Salah satu survei di Manhattan menunjukkan bahwa obesitas
dijumpai 30% pada kelas sosial-ekonomi rendah, 17% pada kelas menengah, dan 5% pada
kelas atas. Obesitas banyak dijumpai pada wanita keluarga miskin barangkali karena sulitnya
membeli makanan yang tinggi kandungan protein. Mereka hanya mampu membeli makanan
murah yang umumnya mengandung banyak hidrat arang. Obesitas yang dijumpai pada
kalangan eksekutif atau usahawan, barangkali timbul karena makanan berlemak tinggi disertai
penggunaan minuman beralkohol (Sherwood, 2010)
4. Aktivitas fisik
Setiap orang memerlukan masukan tenaga untuk memenuhi kebutuhan tenaga untuk
aktivitas fisik. Obesitas banyak dijumpai pada orang yang kurang melakukan aktivitas fisik
dan kebanyakan duduk. Dengan meningkatnya mekanisasi dan kemudahan transportasi, orang
cenderung kurang gerak atau menggunakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari
(Sherwood, 2010).
5. Kebiasaan makan
Tampaknya memang ada kebiasaan makan yang berbeda pada orang yang mengalami
obesitas. Obesitas sering dijumpai pada orang yang senang masak atau bekerja di dapur.
Disamping itu juga dijumpai pada orang yang memiliki gejala suka makan pada waktu
malam. Ini biasa menyertai insomnia dan hilangnya nafsu makan pada waktu pagi hari Ada
seorang beranggapan bahwa semua orang gemuk adalah orang yang suka makan. Ternyata
beberapa peneliti menunjukkan bahwa orang gemuk tidak makan lebih banyak dibanding
orang kurus. Bahkan terkadang orang kurus menyatakan sudah makan banyak tetapi tetap
kurus (Sherwood, 2010).
6. Faktor psikologis
Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. Salah satu bentuk
gangguan emosi adalah persepsi diri yang negative. Gangguan ini merupakan masalah yang
serius pada banyak wanita muda yang menderita obesitas, dan bisa menimbulkan kesadaran
yang berlebihan tentang kegemukannya serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial
(Sherwood, 2010).
7. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang juga berperan dalam timbulnya obesitas.
Telah lama diamati bahwa anak-anak obesitas umumnya berasal dari keluarga dengan
orangtua obesitas. Bila salah satu orang tua obesitas, kira-kira 40-50% anak-anaknya akan
menjadi obesitas, sedangkan bila kedua orangtua obesitas, 80% anak-anaknya akan menjadi
obesitas (Sherwood, 2010)
2.4.3 Dampak dari Obesitas
Dampak obesitas dapat terjadi dalam jangka panjang maupun jangka pendek, berikut adalah
dampak dampak yang dapat terjadi pada obesitas :
1. Gangguan psikososial, rasa rendah diri, depresif dan menarik diri dari lingkungan. Hal ini
karena anak obesitas sering menjadi korban bahan olok-olokan. Dapat pula karena
ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu tugas atau kegiatan terutama olahraga akibat
adanya hambatan pergerakan oleh obesitasnya (Sherwood, 2010)
2. Pertumbuhan fisik atau linier yang lebih cepat dan usia tulang yang lebih lanjut dibanding
usia biologinya (Sherwood, 2010)
3. Gangguan pernafasan seperti infeksi saluran nafas, tidur ngorok, sering mengantuk siang hari
(Sherwood, 2010).
2.4.4 Penatalaksanaan Obesitas
Pembatasan asupan kalori dan peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen yang paling
penting dalam pengaturan berat badan.
Kedua komponen ini juga penting dalam mempertahankan berat badan setelah terjadi penurunan
berat badan serta harus dilakukan perubahan dalam pola aktivitas fisik dan mulai menjalani
kebiasaan makan yang sehat. Langkah awal dalam mengobati obesitas adalah menaksir lemak
tubuh penderita nya dengan cara menhitung IMT (Depkes RI, 2013).
2.5 Konsep Prolanis
2.5.1 Definisi Prolanis
Prolanis merupakan upaya promotif dan preventif yang dilakukan oleh BPJS kesehatan.
Pada buku panduan praktis program pengelolaan penyakit kronis yang diterbitkan oleh BPJS
sudah dijelaskan secara detail mengenai konsep prolanis. Prolanis adalah suatu sistem pelayanan
kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan
peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS
yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Kegiatan Prolanis ini tentunya sangat bermanfaat
bagi kesehatan para pengguna peserta BPJS. Selain itu kegiatan Prolanis dapat membantu BPJS
kesehatan dalam meminimalisir kejadian PTM, dimana pembiayaan untuk pasien dengan
penyakit kronis sangat tinggi, maka perlu dilakukan upaya pencegahan terkait penyakit kronis.
Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan Prolanis mendorong peserta penyandang penyakit kronis
mencapai kualitas hidup optimal. Sasaran dari kegiatan prolanis adalah seluruh peserta BPJS
Kesehatan penyandang penyakit kronis khusunya Diabetes Militus (DM) Tipe II dan hipertensi
dikarenakan penyakit tersebut dapat ditangani ditingkat primer dan dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Kegiatan yang dilaksanakan Prolanis meliputi aktifitas konsultasi
medis/edukasi, Home Visit, Reminder SMS gateway, aktifitas klub dan pemantauan status
kesehatan. Penanggung jawab dalam kegiatan Prolanis adalah kantor cabang BPJS Kesehatan
bagian manajemen pelayanan primer, Adapun kegiatan prolanis adalah sebagai berikut :
1. Konsultasi Medis Peserta Prolanis
Konsultasi medis ini berkaitan dengan peserta yang ingin berkonsultasi mengenai keluhan
yang dialami dengan dokter. Jadwal konsultasi medis disepakati bersama dengan peserta
dengan fasilitas kesehatan pengelola. (BPJS Kesehatan, 2014).
1. Edukasi Kelompok Peserta Prolanis
Kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam upaya memulihkan penyakit dan
mencegah timbulnya kembali penyakit serta meningkatkan status kesehatan bagi peserta
prolanis. (BPJS Kesehatan, 2014)
2. Reminder Melalui SMS Gateway
Reminder adalah kegiatan untuk memotivasi peserta untuk melakukan kunjungan rutin
kepada Faskes Pengelola melalui pengingatan jadwal konsultasi ke fasilitas kesehatan
pengelola tersebut. Sasaran dari kegiatan reminder SMS gateway adalah tersampaikannya
reminder jadwal konsultasi peserta ke masing-masing fasilitas kesehata pengelola (BPJS
Kesehatan, 2014)
3. Home Visit
Kegiatan pelayanan kunjungan ke rumah Peserta Prolanis untuk pemberian edukasi kesehatan
diri dan lingkungan bagi peserta Prolanis dan keluarga. Adapun sasaran dari kegiatan Home
Visit adalah peserta prolanis dengan kriteria peserta baru terdaftar, peserta tidak hadir terapi di
puskesmas, peserta dengan kadar gula darah tidak terkontrol dan tekanan darah tidak
terkontrol 3 bulan berturut-turut, dan peserta pasca opname. (BPJS Kesehatan, 2014)
5. Aktivitas Klub
Aktivitas klub dilakukan sesuai tujuan dengan inovasi yang berbeda beda. Salah satu aktivitas
klub yang dilaksanakan adalah senam. (BPJS Kesehatan, 2014)
6. Pemantauan Status Kesehatan
Pemantaun status kesehatan dilakukan kepada peserta terdaftar yang meliputi pemeriksaan
tekanan darah dan pemeriksaan kadar gula darah oleh tenaga kesehatan. Jadwal pemeriksaan
disesuaikan dan ditetapkan setiap sebulan sekali (BPJS Kesehatan, 2014)
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan Prolanis dilakukan pencatatan dan pelaporan terkait hasil
dari pelaksanan Prolanis tersebut untuk dijadikan dokumentasi dan pertanggungjawaban kepada
pihak penyelenggara yaitu BPJS (BPJS Kesehatan, 2014)