Upload
oase-raa
View
152
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
alam file mantap kajian peneliti terdahulu..............................................................................................................................................................................................................................................nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnhhjhjghghhvhvhvnv n n n nnbnbnbnhjgg
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Peneliti Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain
yang dapat dipakai sebagai bahan kajian yang berkaitan dengan faktor sosial
dan personal terhadap niat beli konsumen baju bekas adalah :
a. Dwi Agung Wibowo (2001)
Penelitian yang berjudul Analisis Minat Beli Barang Bekas Di Toko
Barkas Yogyakarta Penelitian ini untuk mengidentifikasikan pengaruh
atribut produk yaitu kualitas produk, harga,dan pelayanan terhadap minat
beli barang bekas dikalangan mahasiswa. Selain itu juga menjelaskan
pengaruh yang dominan antara kualitas produk, harga, dan pelayanan
terhadap minat beli barang bekas. Untuk mengetahui pengaruh variabel
kualitas produk, harga dan pelayanan terhadap minat beli barang bekas
maka digunakan alat analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian
dengan analisis regresi menunjukkan ada pengaruh positif dan signifikan
kualitas produk, harga dan pelayanan terhadap minat beli. Secara parsial
variabel kualitas produk dan pelayanan berpengaruh pada variabel minat
beli barang bekas, hanya variabel harga yang tidak berpengaruh terhadap
minat beli. Variabel yang dominan mempengaruhi minat beli adalah
variabel kualitas produk. Secara keseluruhan dilihat dari jawaban
kuisioner responden menyatakan berminat membeli barang bekas.
6
Persamaan peneliti terdahulu dengan yang akan penulis lakukan adalah
meneliti niat beli konsumen dengan menggunakan alat analisis yang
sama yaitu regresi linear berganda.
Perbedaan peneliti terdahulu dengan yang akan penulis lakukan yaitu,
peneliti terdahulu lebih bersifat umum yaitu barang bekas, sedangkan
penelitian yang akan penulis lakukan lebih spesifik pada baju bekas
b. Tommy Hendro Trisdiarto (2012)
Penelitian yang berjudul Pengaruh Faktor Sosial Dan Personal Terhadap
Sikap Dan Niat Beli Konsumen Untuk Barang Fashion Palsu Di Kota
Denpasar Dan Kabupaten Badung. Jenis penelitian ini adalah deskriptif,
dengan desain kuesioner yang dirancang menggunakan skala numerik
dengan skala 1-5, dan dilakukan di Kota Denpasar dan Kabupaten
Badung melalui metode "mal mencegat". Teknik statistik SEM
digunakan untuk menganalisis data. Penelitian ini hanya merujuk pada
barang fashion palsu, dan temuan dalam penelitian ini adalah bahwa
Faktor Sosial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap sikap
konsumen dan juga terhadap niat beli konsumen, begitu juga dengan
Faktor Personal yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
sikap konsumen dan niat beli konsumen. Terakhir adalah sikap
konsumen juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli
konsumen. Keterbatasan Penelitian hanya terbatas untuk konsumen di
Kota Denpasar dan Kabupaten Badung yang tidak dapat digeneralisir di
seluruh Indonesia atau pasar internasional lainnya. Konteks budaya lain
7
dan kategori produk harus diselidiki di masa depan. Implikasi Praktis
penelitian ini memberikan pemahaman mendalam tentang sikap
konsumen di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung terhadap pemalsuan
barang fashion. Temuan penelitian dapat digunakan untuk merumuskan
strategi untuk akademisi, praktisi, dan lebih penting, para pembuat
kebijakan untuk membantu memberantas kegiatan pemalsuan. Studi
sebelumnya banyak dibuat pada pemalsuan dan pembajakan musik,
media, dan lainnya, sedangkan penelitian ini difokuskan secara eksklusif
pada barang fashion.
Persamaan peneliti terdahulu dengan yang akan penulis lakukan adalah
meneliti faktor sosial dan faktor personal konsumen.
Perbedaan peneliti terdahulu dengan yang akan penulis lakukan yaitu,
peneliti terdahulu objeknya adalah konsumen fashion palsu sedangkan
objek yang peneliti teliti adalah konsumen baju bekas.
2.2. Faktor Sosial
Perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor sosial. Beberapa contoh
faktor sosial adalah kelompok kecil, keluarga serta peranan dan status sosial
konsumen. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak kelompok kecil.
Definisi kelompok adalah dua orang atau lebih yang berhubungan untuk
mencapai tujuan bersama. Keluarga dapat pempengaruhi perilaku pembelian.
Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam
masyarakat. Faktor sosial merujuk kepada efek yang diberikan dari seseorang
kepada sikap konsumen individu lainnya (Ang et al., 2001). Dua bentuk yang
8
biasanya muncul adalah information susceptibility dan normative
susceptibility (Bearden et al., 1989; Wang et al., 2005).
Information susceptibility terjadi ketika sebuah keputusan pembelian
terjadi berdasarkan opini seseorang yang ahli (expert’s opinion) (Ang et al.,
2001; Wang et al., 2005). Opini dari orang lain tentunya menjadi sangat
berguna bagi seorang konsumen yang memiliki pengetahuan sangat terbatas
mengenai suatu produk. Sedangkan normative susceptibility adalah sebuah
keputusan pembelian berdasarkan harapan untuk dapat memikat orang lain
(Ang et al., 2001; Wang et al., 2005; Penz and Stottinger, 2005). Ada juga
dalam penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa derajat dari
collectivism berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, tergantung pada
lokasinya (Koch and Koch, 2007). Lebih jauh dikatakan bahwa collectivism
adalah target-specifik (Hui et al., 1991). Bisa dikatakan bahwa seorang
individu merasa lebih terkumpul pada satu group tertentu dan menjadi lebih
individualistik terhadap group lainnya. Hofstede (1991) juga mengatakan
bahwa negara yang banyak memiliki collectivism adalah negara yang
memiliki pembangunan ekonomi yang cukup lambat.
2.3.Faktor Personal
Keputusan pembelian juga dipengaruhi oleh faktor pribadi seperti
umur dan tahapan daur hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, serta
kepribadian dan konsep diri pembeli. Umur sangat mempengaruhi keputusan
seorang konsumen dalam melakukan pembelian barang atau jasa. Tentunya
seorang anak yang belum bekerja tidak akan melakukan pembelian secara
9
berlebihan. Sebaliknya, seorang yang sudah bekerja dan mempunyai
penghasilan lebih berpotensi untuk melakukan pembelian yang lebih besar.
Selain umur, pekerjaan juga mempengaruhi pembelian seorang konsumen.
Uang adalah sebuah alat untuk melakukan pembelian. Seseorang yang
bekerja dengan penghasilan lebih besar tentunya lebih berpotensi untuk
melakukan pembelian yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang
bekerja dengan penghasilan yang lebih kecil. Situasi ekonomi juga
mempengaruhi tingkat pembelian di sebuah negara. Negara yang sedang
mengalami krisis akan berdampak pada menurunnya tingkat ekonomi
masyarakatnya. Uang akan menjadi barang langka yang tentunya tidak akan
digunakan untuk keperluan yang tidak mendesak. Hal ini menyebabkan
tingkat pembelian akan cenderung menurun. Pengaruh gaya hidup konsumen
sangat tergantung pada konsumen itu sendiri.
Kebanyakan pembeli barang mewah mencari nilai untuk merek,
prestige, dan juga image namun tidak bersedia untuk membayar harga yang
mahal (Bloch et al., 1993). Pencarian novelty adalah sebuah rasa penasaran
dari konsumen untuk mencari varian dan perbedaan (Hawkins et al., 1980;
Wang et al., 2005). Konsumen yang mencari Novelty tentunya sangat tertarik
kepada produk yang memiliki resiko pembelian yang kecil (low purchase
risk). Berdasarkan teori Kohlberg akan moral competency theory (1976)
perilaku konsumen akan dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi mereka. Nilai-
nilai seperti integrity akan mempengaruhi mereka dalam melakukan kegiatan
yang tidak beretika dan tidak legal (Steenhaut and Van Kenhove, 2006).
10
Integrity ditentukan oleh standar etika pribadi dan kepatuhan terhadap
hukum. Personal gratification adalah kebutuhan seseorang untuk merasa
sukses dan berhasil, mendapatkan pengakuan dari masyarakat, dan keinginan
untuk menikmati yang terbaik dalam hidup (Ang et al., 2001; Wang et al.,
2005). Konsumen yang meiliki personal gratification yang tinggi akan
menjadi lebih sadar untuk memiliki penampilan yang sangat bailk Oleh
karena itu, ada kemungkinan besar kalau mereka sangat tidak suka untuk
membeli barang dengan standar rendah dan tentunya memiliki pandangan
yang negatif dalam melakukan pembelian baju bekas.
Status consumption telah lama didefinisikan sebagai pembelian,
penggunaan, dan konsumsi dari barang dan jasa untuk meningkatkan status
(Mason, 1981; Scitovsky 1992; Eastman et al., 1997). Status memerlukan
adanya rasa menghargai dan rasa iri yang datang dari orang lain, dan
mewakili tujuan dari sebuah budaya. Lebih lanjut, hal ini meliputi adanya
ranking sosial atau pengakuan sebuah komunitas terhadap individu (Dawson
and Cavell, 1986; Scitovsky, 1992; Eastman, 1997). Adalah sangat tidak
akurat untuk mengatakan bahwa hanya mereka yang kaya yang melakukan
status consumption (Freedman, 1991; Miller, 1991; Eastman et al., 1997;
Shipman, 2004). Status consumption dilakukan oleh konsumen yang mencari
kepuasan pribadi dan ingin memperlihatkan prestige dan status mereka
kepada lingkungan sekitar, biasanya lewat bukti-bukti yang terlihat (Eastmen
et al., 1997). Status consumers mencari merek-merek yang memiliki simbol
yang dapat menaikkan status mereka. Oleh karena itulah konstruk dari status
11
consumptin akan menggunakan scale yang dipakai oleh Eastmen et al.
(1997).
2.4.Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan yang langsung
terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan
jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini
(Engel, Blackwell, & Miniard 1994). Hawkins, Best, dan Coney (2001)
mendefinisikan perilaku konsumen sebagai studi terkait individu, kelompok,
atau organisasi dan proses yang digunakan mereka dalam menyeleksi,
menggunakan, dan menempatkan produk, jasa, pengalaman, atau ide menjadi
alat pemuas kebutuhan dan dampaknya bagi konsumen dan masyarakat.
Menurut Schiffman dan Kanuk (1983), perilaku konsumen adalah
perilaku yang ditunjukkan oleh konsumen dalam mencari, membeli,
menggunakan, mengevaluasi, dan membuang sisa-sisa produk, jasa, dan ide,
dimana mereka mengharapkan kebutuhannya terpenuhi melalui perilaku
tersebut. Lebih lanjut oleh Solomon (2002), perilaku konsumen dapat
diartikan sebagai kajian tentang proses-proses yang meliputi pemilihan,
pembelian, penggunaan, atau pembuangan sisa-sisa produk, jasa, ide, atau
pengalaman untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan yang dilakukan
secara individu atau kelompok.
Studi mengenai perilaku konsumen tidak hanya berfokus kepada apa
yang dibeli oleh kosumen, tetapi juga alasan mereka membeli, kapan,
dimana, bgaimana mereka membelinya, dan sesering apa mereka melakukan
12
pembelian (Schiffman dan Kanuk 1983). Penelitian mengenai perilaku
konsumen dapat dilakukan dalam setiap fase proses konsumsi (sebelum
pembelian, ketika membeli, dan setelah pembelian). Terdapat dua tipe
konsumen, yaitu:
1. Konsumen pribadi. Membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri,
atau untuk penggunaan di dalam rumah tangga.
2. Konsumen organisasi. Membeli barang dan jasa untuk menjalankan
organisasinya.
Sumarwan (2004) menyatakan bahwa perilaku konsumen merupakan
semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan
tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan,
menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan evaluasi.
2.5.Model Sikap Konsumen
Menurut Sumarwan (2004), sikap konsumen merupakan faktor
penting yang akan mempengaruhi keputusan konsumen. Loudon dan Bitta
(1984) mendefinisikan sikap sebagai perasaan seseorang terhadap objek
(positif atau negatif, baik atau buruk, dan pro atau kontra). Sikap memiliki
beberapa karakteristik penting, yaitu: (1) memiliki objek, (2) memiliki arah,
intensitas, dan derajat, (3) memiliki struktur, dan (4) dapat dipelajari.
Sumarwan (2004) mendefinisikan sikap sebagai ungkapan perasaan seorang
konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bisa
menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan
manfaat dari objek tersebut. Kepercayaan konsumen adalah pengetahuan
13
konsumen mengenai suatu objek, atributnya, dan manfaatnya. Menurut
allport, sikap adalah mempelajari kecenderungan memberikan tanggapan
pada suatu objek atau kelompok objek baik disenangi atau tidak disenangi
secara konsisten (Sutisna 2001). Engel, Blackwell, dan Miniard (1995b)
menyatakan bahwa sikap memiliki tiga komponen, yaitu: (1) kognitif
(pengetahuan), (2) afektif (perasaan), dan (3) konatif (tindakan). Katz (1960),
diacu dalam Sumarwan (2004), mengemukakan empat fungsi dari sikap,
yaitu utilitarian, mempertahankan ego, ekspresi nilai, dan pengetahuan.
1. Fungsi utilitarian (The Utilitarian Function)
Seseorang menyatakan sikapnya terhadap suatu objek atau produk
karena ingin memperoleh manfaat dari produk (rewards) tersebut atau
menghindari produk (punishment)
2. Fungsi mempertahankan ego (The Ego-defensive Function)
Sikap berfungsi untuk melindungi seseorang (citra diri) dari
keraguan yang muncul dari dalam dirinya sendiri atau dari faktor luar
yang mungkin menjadi ancaman bagi dirinya.
3. Fungsi ekspresi nilai (The Value-Expressive Function)
Sikap berfungsi untuk menyatakan nilai-nilai, gaya hidup, dan
identitas social seseorang. Sikap akan menggambarkan minat, hobi,
kegiatan, dan opini dari seorang konsumen.
4. Fungsi pengetahuan (The Knowledge Function)
Seringkali konsumen perlu tahu terlebih dahulu mengenai sebuah
produk, sebelum ia menyukai kemudian membeli produk tersebut.
14
Pengetahuan yang baik mengenai sebuah produk seringkali mendorong
seseorang untuk menyukai produk tersebut.
Setiadi (2008) menyatakan bahwa kepercayaan sikap, evaluasi merek,
dan maksud untuk membeli merupakan tiga komponen sikap. Setiadi (2008)
pun kemudian menjelaskan hubungan antara ketiga komponen sikap tersebut,
dimana kepercayaan dan persepsi merupakan komponen kognitif dari sikap,
komponen afektif berupa perasaan yang berhubungan dengan objek, dan
konatif yang berkaitan dengan tindakan yang berupa keinginan untuk
membeli (maksud beli).
2.6.Persepsi Konsumen
Pengambilan keputusan dalam pembelian sebuah produk seringkali
didasari oleh persepsi (Sumarwan 2004). Kotler (2000) mendefinisikan
persepsi sebagai proses yang digunakan oleh seorang individu untuk
memilih, Komponen Kognitif, Komponen Afektif, Komponen Konatif.
Menurut Schiffman dan Kanuk (1994), persepsi dapat digambarkan
sebagai ‘bagaimana kita melihat dunia disekitar kita’. Dua individu mungkin
menjadi subjek dalam menerima stimulus yang sama dan dalam kondisi yang
sama pula, namun individu tersebut memiliki proses masing-masing dalam
menyeleksi, mengorganisasi, dan menginterpretasi stimulus yang diterima
bergantung pada kebutuhan, nilai, dan harapan dari masing-masing individu
tersebut. Persepsi didefinisikan sebagai proses individu dalam menyeleksi,
mengorganisasi, dan menginterpretasikan stimulus menjadi gambaran yang
berarti dan koheren. Menurut Assael (1992), stimulus yang mempengaruhi
15
respon individu dapat berupa aspek fisik, visual, atau komunikasi verbal.
Terdapat dua tipe stimulus penting yang mempengaruhi perilaku konsumen,
yaitu stimulus lingkungan dan pemasaran. Stimulus pemasaran merupakan
stimulus fisik yang didesain untuk mempengaruhi konsumen dan terdiri dari
produk dan atribut dari produk itu sendiri. Stimulus lingkungan berupa
pengaruh sosial dan budaya.
Menurut Solomon (2002), persepsi didefinisikan sebagai proses
dimana sebuah sensasi diseleksi, diorganisasi, dan diinterpretasi. Sensasi
mengacu pada respon segera dari sensor penerima (mata, telinga, hidung,
mulut, jari-jari) terhadap stimulus dasar, seperti cahaya, warna, suara, bau,
tekstur. Dengan kata lain, input yang diterima oleh panca indera merupakan
data mentah yang akan memulai proses persepsi.
Menurut Kotler dan Keller (2008), persepsi lebih penting
dibandingkan dengan realitas, karena persepsi berpengaruh terhadap perilaku
actual konsumen. Terdapat tiga proses persepsi yang mempengaruhi
perbedaan persepsi atas objek yang sama, yaitu:
Perhatian selektif : proses menyaring stimulus. Paparan Perhatian
Interpretasi
Distorsi selektif : kecenderungan menafsirkan informasi sehingga sesuai
dengan pra-konsepsi individu.
Ingatan selektif : kecenderungan individu untuk mengingat informasi yang
mendukung pandangan dan keyakinan pribadi.
16
Menurut Hawkins, Best, dan Coney (2001), paparan terjadi ketika
suatu stimulus datang ke dalam rangkaian syaraf sensor penerima individu.
Perhatian terjadi ketika stimulus mengaktivasi satu atau lebih syaraf sensor
penerima dan menghasilkan suatu sensasi yang dibawa ke otak untuk
diproses. Sedangkan interpretasi adalah pengujian arti menjadi sensasi.
Persepsi konsumen dapat digambarkan dengan kepercayaan konsumen
terhadap suatu produk, atribut, dan manfaat produk ( Sumarwan 2004).
Kepercayaan konsumen menyangkut kepercayaan bahwa suatu produk
memiliki berbagai atribut, serta manfaat dari berbagai atribut tersebut. Oleh
karena itu, kepercayaan terhadap produk akan berbeda di antara konsumen.
2.7.Afektif
Loudon dan Bitta (1993) yang diacu dalam Hapsari (2010)
menyatakan bahwa afektif terkait dengan perasaan emosional seseorang.
Konsumen memilih tujuan menurut kriteria subyektif individu seperti
pengungkapan rasa cinta, kebanggan, status, dan keamanan. Kecenderungan
afektif menunjukkan delapan pengaruh utama pada perilaku konsumen, yaitu:
1. Tension reduction (Pengurangan ketegangan)
Konsumen yang memiliki kebutuhan akan menghasilkan ketegangan
jika mereka merasa tidak puas. Pada konteks ini, afektif digunakan untuk
menghindari atau mengurangi keresahan atau tekanan yang disebabkan
kebutuhan yang belum terpuaskan.
17
2. Self expression (Ekspresi diri)
Afektif digunakan untuk menunjukkan identitas diri kepada orang
lain. Afektif muncul untuk menggambarkan ekspresi terhadap produk.
3. Ego defensive (Pertahanan diri)
Kebanyakan orang merasa bahwa berbagai situasi kehidupan yang
muncul dapat mengancam ego mereka. Situasi ini menghasilkan rasa malu
sosial, tantangan untuk perasaan harga diri, atau bentuk lain dari bahaya
psikologis.
4. Reinforcement (Menguatkan)
Konsumen yang dipengaruhi oleh motif penguatan memiliki
kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan situasi yang telah terbukti
menguntungkan, dimana pengalaman dapat ikut mempengaruhi.
5. Assertion (Penegasan)
Fokus dari penegasan ini, konsumen lebih berorientasi ke arah
prestasi dan melebihi orang lain. Produk dan jasa layanan yang diperoleh
merupakan suatu symbol kepuasan akan keberhasilan.
6. Affiliation (Keanggotaan)
Terkait dengan motif yang menjadi dasar untuk berhubungan sosial
dengan orang lain.
7. Identification (Pembentukan identitas)
Afektif untuk membangun pengembangan identitas dan peran baru
untuk meningkatkan konsep pribadi seseorang.
18
8. Modelling (Model)
Berfokus pada kecenderungan untuk mengidentifikasi dan berempati
dengan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan perilaku yang meniru
individu-individu tertentu.
2.8.Preferensi
Kotler (2000), diacu dalam Anindita (2010), mendefinisikan
preferensi sebagai pilihan suka atau tidak suka seseorang terhadap produk
(barang dan jasa). Preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen
terhadap berbagai pilihan produk yang ada. Menurut Assael (1992), diacu
dalam Syifa (2010), preferensi terbentuk dari persepsi individu terhadap
suatu produk. Konsumen memiliki kecenderungan untuk membentuk
penetapan yang berbeda ketika melihat iklan, serta mengevaluasi produk dan
jasa. Menurut Kardes (2002), preferensi didefinisikan sebagai penetapan
evaluasi kepada objek yang beragam (dua objek atau lebih). Membandingkan
dua objek yang berbeda merupakan hal yang selalu dilibatkan dalam
preferensi. Terkadang sikap menjadi sebuah pondasi bagi preferensi, dan
preferensi terkadang menjadi dasar perbandingan antara atribut atau fitur dari
dua atau lebih produk. Lebih lanjut Kardes menyatakan bahwa preferensi
terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Attitude-based preference. Preferensi terbentuk atas dasar sikap
konsumen secara keseluruhan terhadap dua atau lebih produk.
2. Attribute-based preferences. Preferensi terbentuk atas dasar
perbandingan antara satu atau lebih atribut dari dua merek atau lebih.
19
Hasil penelitian Sanbonmatsu et al. (1991), diacu dalam Kardes
(2002), menyatakan bahwa atribut dari sebuah produk sedikit berpengaruh
terhadap penentuan preferensi. Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa
atribut unik dari sebuah produk memberikan pengaruh yang lebih besar
terhadap preferensi. Tindak lanjut hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel kepribadian dan kebutuhan juga mempengaruhi konsumen dalam
membentuk preferensi berdasarkan atribut, dibandingkan dengan preferensi
yang dibentuk oleh sikap (Mantel dan Kardes !999, diacu dalam Kardes
2002). Pengambilan keputusan yang diperluas dengan melibatkan penentuan
merek merupakan strategi preferensi. Strategi sederhana tidak cukup ketika
pengambilan keputusan diperluas dengan melibatkan beberapa merek,
sejumlah atribut, dan sumber informasi. Sebagai gantinya, dibutuhkan sebuah
struktur informasi yang akan memberikan hasil mengenai merek yang disukai
oleh konsumen. Langkah pertama dalam strategi preferensi adalah posisi
yang kuat dari atribut penting sebuah produk. Kemudian, informasi
merupakan hal penting yang harus dimiliki (Hawkins, Best, dan Coney
2001).
2.9.Niat Beli - Theory of Planned Behaviour
Menurut Theory of Planned Behaviour (TPB), perilaku membeli
ditentukan oleh niat pembelian, di mana hal tersebut ditentukan oleh sikap
(Fishbein and Ajzen, 1975). Sikap terhadap perilaku dibanding sikap
terhadap produk dianggap sebagai indikator yang yang lebih baik dibanding
perilaku (Yi, 1990). Walau demikian TPB juga mengatakan bahwa
20
opportunities dan resources seperti misalnya akses terhadap baju bekas,
harus sudah ada sebelum perilaku membeli dapat terjadi. Tanpa situasi
tersebut, terlepas dari adanya sikap yang sangat positif, maka akan sangat
sulit untuk terjadi pembelian (Chang, 1998). Keputusan yang tidak beretika
seperti misalnya membeli baju bekas dapat dijelaskan lewat sikap, terlepas
dari kelas produk (product class) tersebut (Wee et al., 1995; Chang, 1998;
Ang et al., 2001). Adanya sikap yang lebih positif dari konsumen terhadap
baju bekas maka akan meningkatkan pembelian akan baju bekas tersebut.
Sama halnya dengan semakin negatifnya sikap konsumen terhadap baju
bekas, maka akan kecil kemungkinan bagi konsumen tersebut untuk
melakukan pembelian (Wee et al., 1995). Sebagai tambahan, faktor sosial
dan personal telah lama dianggap sebagai pengaruh kepada konsumen dalam
mengambil keputusan (Miniard and Cohen, 1983) terhadap niat pembelian.
Minat beli (intention to buy) atau yang lebih dikenal dengan niat beli
berhubungan dengan rencana dan keinginan konsumen untuk membeli
produk tertentu, serta jumlah unit produk yang dibutuhkan pada periode
tertentu. Niat beli merefleksikan pernyataan mental konsumen terkait dengan
rencana pembelian sejumlah produk dengan merek tertentu. Durianto (2003),
diacu dalam Sari (2010), menyatakan bahwa niat beli terbentuk dari sikap
konsumen terhadap produk dan keyakinan konsumen terhadap kualitas
produk. Semakin rendah keyakinan konsumen terhadap suatu produk akan
berpengaruh terhadap turunnya niat beli konsumen.
Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995a), terdapat dua
21
kategori niat pembelian konsumen, yaitu: (1) produk dan merek, dan (2) kelas
produk. Kategori pertama dirujuk sebagai pembelian yang terencana
sepenuhnya, karena pada kategori ini konsumen lebih bersedia
menginvestasikan waktu dan energi dalam berbelanja dan membeli. Alhasil
keterlibatan terhadap terhadap produk pun tergolong tinggi. Kategori kedua
dirujuk sebagai pembelian yang terencana walaupun pilihan merek dibuat di
tempat penjualan.
Penting untuk memperhatikan bahwa suatu pembelian dapat
direncanakan walaupun niat untuk membeli tidak dinyatakan secara verbal
atau secara tertulis pada daftar belanja. Hal tersebut dikarenakan produk
dipajang di atas rak di tempat jual barang sebagai daftar belanja pengganti.
Adanya peragaan produk yang dipajang, mendorong konsumen untuk
mengingat kebutuhan, pembelian pun kemudian dicetuskan. Ini kerap dirujuk
sebagai pembelian berdasar impuls.
Beberapa pembelian berdasar impuls tidak didasarkan pada
pemecahan masalah konsumen dan paling baik dipandang dari perspektif
hedonik atau pengalaman. Menurut penelitian Rook (Engel, Blackwell, dan
Miniard 1995a), pembelian berdasar impuls mungkin memiliki satu atau
lebih karakteristik berikut ini:
1. Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen
untuk membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi visual
yang langsung di tempat penjualan.
22
2. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk
mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.
3. Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering
disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan”,
“menggetarkan”, atau “liar”.
4. Ketidak pedulian akan akibat. Desakan untuk membeli menjadi begitu
sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negative diabaikan.
Menurut Kotler (2000), niat pembelian seseorang dapat dipengaruhi
oleh sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain dapat mengurangi
alternatif yang disukai oleh individu bergantung kepada dua hal: (1)
intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternative yang disukai
konsumen dan (2) motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain.
Semakin besar sikap negatif orang lain terhadap suatu produk dan semakin
dekat orang tersebut dengan konsumen, maka semakin besar konsumen
mengubah niat belinya. Lebih lanjut Kotler menjelaskan bahwa dalam
melaksanakan niat pembelian, konsumen dapat membuat lima sub-keputusan
pembelian, yaitu: (1) keputusan merek, (2) keputusan pemasok, (3) keputusan
kuantitas, (4) keputusan waktu, dan (5) keputusan metode pembayaran.
Berhubungan dengan rencana dan keinginan konsumen untuk
membeli produk tertentu, serta jumlah unit produk yang dibutuhkan pada
periode tertentu. Niat beli merefleksikan pernyataan mental konsumen terkait
dengan rencana pembelian sejumlah produk dengan merek tertentu. Durianto
(2003), diacu dalam Sari (2010), menyatakan bahwa niat beli terbentuk dari
23
sikap konsumen terhadap produk dan keyakinan konsumen terhadap kualitas
produk. Semakin rendah keyakinan konsumen terhadap suatu produk akan
berpengaruh terhadap turunnya niat beli konsumen.
Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995a), terdapat dua
kategori niat pembelian konsumen, yaitu: (1) produk dan merek, dan (2) kelas
produk. Kategori pertama dirujuk sebagai pembelian yang terencana
sepenuhnya, karena pada kategori ini konsumen lebih bersedia
menginvestasikan waktu dan energy alam berbelanja dan membeli. Alhasil
keterlibatan terhadap terhadap produk pun tergolong tinggi. Kategori kedua
dirujuk sebagai pembelian yang terencana walaupun pilihan merek dibuat di
tempat penjualan. Penting untuk memperhatikan bahwa suatu pembelian
dapat direncanakan walaupun niat untuk membeli tidak dinyatakan secara
verbal atau secara tertulis pada daftar belanja. Hal tersebut dikarenakan
produk dipajang di atas rak di tempat jual barang sebagai daftar belanja
pengganti. Adanya peragaan produk yang dipajang, mendorong konsumen
untuk mengingat kebutuhan, pembelian pun kemudian dicetuskan. Ini kerap
dirujuk sebagai pembelian berdasar impuls.
Beberapa pembelian berdasar impuls tidak didasarkan pada
pemecahan masalah konsumen dan paling baik dipandang dari perspektif
hedonik atau pengalaman. Menurut penelitian Rook (Engel, Blackwell, dan
Miniard 1995), pembelian berdasar impuls mungkin memiliki satu atau lebih
karakteristik berikut ini:
24
1. Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen
untuk membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi
visual yang langsung di tempat penjualan.
2. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk
mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.
3. Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering
disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan”,
“menggetarkan”,atau “liar”.
4. Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli menjadi begitu
sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negative diabaikan.
Menurut Kotler (2000), niat pembelian seseorang dapat dipengaruhi
oleh sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain dapat mengurangi
alternatif yang disukai oleh individu bergantung kepada dua hal: (1)
intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternative yang disukai
konsumen dan (2) motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain.
Semakin besar sikap negatif orang lain terhadap suatu produk dan semakin
dekat orang tersebut dengan konsumen, maka semakin besar konsumen
mengubah niat belinya. Lebih lanjut Kotler menjelaskan bahwa dalam
melaksanakan niat pembelian, konsumen dapat membuat lima sub-keputusan
pembelian, yaitu: (1) keputusan merek, (2) keputusan pemasok, (3) keputusan
kuantitas, (4) keputusan waktu, dan (5) keputusan metode pembayaran.
2.10.Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pemikiran digunakan untuk menunjukkan arah bagi suatu
25
Niat Beli Konsumen Baju Bekas (Y)
SSFaktor Sosial ( X1)
Faktor Personal (X2)
H1
H2
penelitian agar dapat berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan atau
sebagai gambaran untuk memperoleh kesatuan jawaban kerangka pemikiran.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah Faktor Sosial (X1) dan
Faktor Personal (X2), Sedangkan Variabel dependen dalam penelitian ini Niat
beli konsumen (Y).
Berdasarkan teori-teori diatas dapat dikemukakan bahwa terdapat
hubungan faktor sosial dan personal terhadap niat beli konsumen baju bekas
pada pasar moderen Wawotobi Kabupaten Konawe, dimana dapat
digambarkan model kerangka pikir penelitian sebagai berikut:
Gambar 1.
Kerangka Pikir Penelitian
2.11. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
26
penelitian karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data (Sugiyono, 2004:51).
Berdasarkan penelitian ini, maka peneliti mengajukan hipotesis yaitu :
1. Ada pengaruh faktor sosial terhadap niat beli konsumen baju bekas pada
pasar moderen Wawotobi Kabupaten Konawe.
2. Ada pengaruh faktor personal terhadap niat beli konsumen baju bekas
pada pasar moderen Wawotobi Kabupaten Konawe.
27