Upload
trinhhanh
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Indonesia
25
BAB 3
ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS
DALAM SERAT WULANGREH
3.1 Pengantar
Ada beberapa ajaran atau wulang yang terdapat dalam Serat Wulangreh, salah
satunya yaitu ajaran yang berkaitan dengan Religi. Seiring dengan judul dalam
penelitian kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan pada aspek-aspek religiusitas
yang terdapat pada serat tersebut. Pengertian religiusitas menurut Darmoko dalam
buku LAKU berhubungan dengan sifat/cara pandang terhadap religi (keagamaan);
yang secara lebih luas dapat diartikan sebagai kepercayaan/keyakinan
orang/sekelompok orang terhadap Tuhan (2004: 30). Jadi dengan kata lain
pengertian religiusitas dalam penelitian ini adalah cara pandang masyarakat Jawa
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan religi.
Dalam bab ini, peneliti akan melakukan analisis secara deskriptif interperatif
terhadap aspek-aspek religiusitas yang terdapat dalam Wulangreh. Tujuan analisis
dengan cara itu dimaksudkan agar hasil yang tercapai dapat tersaji secara rinci dan
dapat menguraikan dengan menafsirkan aspek-aspek religi yang ditemukan di
dalam Wulangreh. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb)
(2007:43). Kata deskriptif merupakan bentukan kata dari deskripsi yang berarti
penguraian secara jelas suatu objek karya sastra, jadi pengertian deskriptif ialah
penguraian secara jelas tentang sesuatu di dalam karya sastra. Adapun yang
dimaksud dengan analisis deskriptif yaitu penguraian secara jelas terhadap sesuatu
di dalam karya sastra untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sedangkan
interpretatif bentukan kata dari interpretasi, Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis
terhadap sesuatu (2007:439). Jadi analisis deskriptif interpretatif yang dimaksud
adalah penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra dengan cara
pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis.
25 Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
26
Pada bab ini, akan diuraikan secara lebih mendalam dengan cara
menginterpretasikan aspek-aspek religi yang ditemukan di dalam Serat
Wulangreh. Aspek-aspek tersebut yaitu Sasmita, Rasa, Laku, dan Tapa.
3.2 Analisis
Maksud dan tujuan analisis ini dilakukan yaitu untuk mengungkapkan
makna secara utuh terhadap aspek-aspek religi dalam serat Wulangreh.
Sebelumnya analisis ini dilakukan berdasarkan data yang sudah disajikan dalam
bab 2 yaitu aspek sasmita, rasa, laku, dan tapa. Kemudian di bawah ini akan
peneliti uraikan mengenai makna dari aspek-aspek religiusitas yang terdapat
dalam serat Wulangreh.
3.2.1 Sasmita
Kata Sasmita dalam kamus Bausastra Jawa karangan W.J.S
Poerwadaminta (polataning praen, pratanda) yang mempunyai arti sebagai tanda
atau pertanda (1939:547). Sasmita merupakan tanda-tanda kehidupan yang ada di
dalam kosmos/alam semesta, datangnya dari Tuhan dan disampaikan melalui
manusia terpilih (manusia yang telah berada pada tahap mengerti/memahami)
untuk dipahami dan diterapkan dalam kehidupan manusia. Menurut Darmoko
dalam Konsep Sasmita Dalam Kebudayaan Jawa (2007: 7), Tuhan dalam
menyampaikan tanda-tanda (Sasmita) melalui berbagai bentuk yaitu: weca, wisik,
dan wisik. Weca ialah tanda-tanda yang datangnya dari Tuhan dan disampaikan
kepada manusia dalam bentuk suara gaib. Wisik merupakan padanan kata dari
bisik ialah tanda-tanda yang diberikan kepada manusia dari Tuhan melalui bentuk
berupa bisikan (dalam hal ini yaitu indera pendengaran). Kemudian, wangsit
merupakan tanda-tanda dari Tuhan yang diberikan kepada manusia terpilih
melalui bisikan (pendengaran). Adapun mimpi seseorang dibagi menjadi tiga
abagian yaitu: titiyoni (apabila sasmita diberikan oleh Tuhan datangnya sebelum
jam 12.00 malam), gandayani (apabila sasmita datang pukul 12.00 – 03.00 dini
hari), dan puspatajem (datangnya sebuah sasmita dari Tuhan pukul 03.00-pagi
hari). Seseorang yang menjalani laku (mesu brata) dan disertai dengan rasa ikhlas
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
27
(rila) dengan mengandalikan emosi (sabar) karena manusia sadar bahwa yang
dijalani itu sebagai jalan keutamaan/ ketuhanan untuk menggapai anugerah Tuhan
yang telah dijanjikannya.
Sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas mengenai pengertian dari
Sasmita, kemudian di bawah ini akan diberikan contoh Sasmita .
Mrih padanging sasmita (Wulangreh;Dhandhanggula:1), pada bait ini
mempunyai arti tanda yaitu ajaran yang disebarluaskan oleh para pujangga dengan
cara pelan-pelan dan lembut agar tanda-tanda tersebut dapat dimengerti/dipahami
oleh manusia. Tanda-tanda yang datangnya dari Tuhan disampaikan lewat para
pujangga melalui karyanya dalam hal ini yaitu Serat Wulangreh yang diciptakan
oleh Pakubuwana IV. Dalam proses memberikan pemahaman mengenai tanda-
tanda tersebut, pujangga (Pakubuwana IV) melakukan dengan penuh rasa
kehatian-hatian agar tidak timbul rasa akan mendahului kehendak Tuhan (Bendul/
azab yang akan dikenakan bagi orang yang mendahului kehendak Tuhan)11 .
Seseorang yang telah menjalani perintahNya sesuai dengan sasmita (dalam
hal ini di serat wulangerh) yang diberikan biasanya akan mendapatkan anugerah
Tuhan berupa wahyu/pulung (Ibid..7). Wahyu menurut Kamus almunawir Arab-
Indonesia berarti:1. syariat, petunjuk; 2. tulisan, risala; 3. ilham; 4. sesuatu yang
disampaikan oleh Allah kepada nabinya; 5. perkataan yang samar (A.W Munawar,
1984:1649). Sunoto (1987:29) mengatakan bahwa wahyu dapat diperoleh/dicapai
melalui perjuangan yang ulet dan tekun. Selanjutnya, Sunoto juga membagi
wahyu/pulung menjadi dua yaitu pulung berupa cahaya, dan pulung berupa
manusia12. Sasmita yang diterima oleh manusia dalam bentuk wahyu dilakukan
11 Darmoko.2007. Dalam Buku Ajar mata kuliah Religi Jawa. FIB. 12 a. Pulung berupa cahaya, yaitu dikisahkan tentang bayi lahir dan mengandung cahaya, bayi ini kelak kalau sudah dewasa akan mempunyai kekeuasaan atau setidak0tidaknya mempunyai keturunan yang dapat menguasai kenegaraan. Peristiwa ini dialami oleh Ken Arok. b. Pulung berupa manusia, dikisahkan melalui lakon wayang yang terkenal yaitu wahyu Cakraningrat. Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa wahyu itu diperebutkan oleh berbagai ksatria yaitu putra raja Hastina yaitu Leksmana Mandra Kumara, putra raja Dwarawati yaitu Samba dan putra R.Harjuna yaitu Angkawijaya. Dan akhirnya yang mendapatkan wahyu Cakraningrat yaitu Angkawijaya setelah melalui serangkaian berbagai macam ujian yang dihadapi.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
28
sebaik-baiknya untuk menjadikan kehidupan manusia lebih sempurna. Dalam hal
ini, manusia mampu untuk bertindak dan bersikap sesuai dengan perintahNya.
Seperti yang diuraikan oleh De Jong bahwa, manusia dalam memperoleh
kepastian berupa wahyu diterima dengan rasa syukur (narima). Narima artinya
merasa puas dengan nasibnya, tidak memberontak, menerima dengan rasa terima
kasih (De jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, hal 19). Sikap narima itu
sendiri lebih menekankan kepada “apa yang ada”, maksudnya yaitu menerima
dengan segala sesuatu yang masuk dalam hidup kita salah satunya sasmita (tanda)
yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang terpilih.
Pada bait selanjutnya akan diberikan penjelasan mengenai Sasmita yaitu
sebagai tanda.
Sasmitaning ngaurip puniki (Wulangreh;Dhandhanggula:2), pada bait ini kata sasmita
mempunyai arti sebagai “tanda”, Dan juga disebutkan pula tentang perlunya
seseorang untuk weruh/mengerti tentang sasmita ini yaitu tanda yang datangnya
dari Tuhan untuk dimengerti dan dipahami serta dilaksanakan dalam kehidupan
manusia. Serta dapat mempunyai rasa yang sejati untuk mencapai kesempurnaan
dalam kehidupan. Kata weruh menurut Kamus Bausastra Jawa Poerwadaminta
(1939:661) mempunyai arti bisa migoenakake pandhelenge (dapat
mempergunakan penglihatannya), maksudnya yaitu dapat mempergunakan indera
penglihatannya dengan baik untuk memahami tanda-tanda yang diberikan oleh
Tuhan (sasmita). Tidak hanya mengerti tetapi, menurut Serat Wulangreh manusia
harus memahami makna atau ajaran yang terkandung di dalam sasmita tersebut.
Dijelaskan dalam Serat wulangreh apabila manusia tidak mengerti serta tidak
memahami petunjuk yang ada dalam kehidupan yaitu berupa rasa yang terdapat
dalam batin seseorang, maka akan dapat membingungkan manusia karena
petunjuk tersebut tidak dilakukan/ diterapkan dalam hidupnya.
Bukan hanya dalam konteks mengerti dan memahami agar kehidupan
manusia dapat menjadi sempurna, tetapi manusia juga harus mengerti mengenai
rasa yang sejati. Rasa sejati menurut Darmoko dalam Buku Ajar (2007:8) jika
perjalanan pribadi manusia telah mencapai tahapan makrifat (sembah rasa) yaitu
berpadunya diri pribadi manusia dengan Sang Pencipta serta dapat dipandang
sebagai kondisi “kembali kepada asal muasal”. Jadi, apabila manusia telah
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
29
memahami mengenai petunjuk tersebutt dan juga mengerti mengenai rasa yang
sejati maka kehidupan manusia akan dapat menjadi sempurna seperti yang telah
diuraikan pada Serat Wulangreh.
Sama seperti penjelasan di atas, pada bait ini juga akan menjelaskan arti
dari sasmita yaitu sebagai tanda. Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih
lantip(Wulangreh; Kinanthi:1) , dalam bait ini kata sasmita juga sama diartikan
sebagai tanda. Dalam hal ini manusia diperintahkan untuk melatih dengan cara
mengasah kalbu/hati, agar mampu dan pandai untuk memahami tanda-tanda yang
diberikan oleh Tuhan. Kalbu diperlukan sebagai wadah untuk pencapaian
pengetahuan tentang kehidupan13. Hal itu dapat berjalan dengan baik, apabila
manusia dapat mengendalikan makan dan tidur.
Dalam bentuk sasmita yang terdiri dari tiga bagian tersebut, dicontohkan
melalui tokoh-tokoh yang ada di dalam lakon pewayangan misalnya sebagai satu
contoh yaitu Ki Ageng Giring yang mendapatkan sasmita berupa weca dari Tuhan
melalui suara gaib dibalik suatu benda, benda yang dimaksud yaitu suara gaib
yang muncul dibalik pohon kelapa. Dalam Babad Tanah Jawi (1980:88)
diceritakan sebagai berikut:
Bahwa selain tekun dalam bertapa, ia juga mempunyai pekerjaan sebagai penyadap aren. Pada waktu pagi Ki Ageng sedang memanjat pohon, di tempat itu ada sebatang pohon kelapa, dekat dengan pohon yang dipanjat Ki Ageng. Pohon kelapa tadi sebelumnya belum pernah berbuah. Pada saat itu buahnya hanya satu masih muda (degan). Ki Ageng sedang memasang tabung bamboo di atas pohon kelapa, kemudian mendengar suara. Arah suara itu dari sebuah kelapa muda. Suara tersebut berbunyi “Ki Ageng Giring, wroehanamoe, sapa kang ngombe banyu dawegan iki, jen kongsi entek, iku saturun-turune bakal dadi Ratu Gedhe, mengko ing tanah Djawa kabeh”, arti dalam bahasa Indonesianya yaitu “Ki Ageng Giring, ketahuilah, siapa yang meminum air degan ini habis seketika, kelak seanak turunnya semua akan menjadi Raja Agung di tanah Jawa”. Singkat cerita, degan tersebut tidak sempat diminum oleh Ki Ageng Giring karena dia merasa belum haus, dan akhirnya degan itu dimunum oleh Ki Ageng Mataram kemudian dialah yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Jadi dengan demikian, dari ketiga pengertian mengenai sasmita dapat
diberikan kesimpulan bahwa mempunyai makna yang sama yaitu sebagai tanda.
Tanda tentang kehidupan yang diberikan oleh Tuhan untuk dapat dipahami dan
13 Lock out.,hal 1
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
30
dipraktekkan dalam hidupnya. Sehingga tercapai kehidupan manusia yang
sempurna dan harmonis dengan alam sekitarnya.
3.2.2 Rasa
Rasa dalam bahasa Jawa mengandung pengertian I. a. Kaananing apa-apa
nalika ditamakake ing ilat, upamane rasa pedhes, pait, gertir, lsp, b. Kaananing
apa-apa nalika tumamaing badan utawa ati, upamane rasa keri, susah, lsp, c.
Pathining teges (ing ngelmu batin lsp), d. Kadunugan rasa, sarasa = tunggal
rasa, cocog (laras) banget: rumasa, rumangsa, krasa, krasan, pangrasa. II. a.
Rahasya,rahsya, rahsa: gaib, wadi, ngelmu rasa: kawruh sing mahyakake sing
sinamar, atau dalam bahasa Indonesianya yaitu: I. a. Semua keadaan yang dialami
oleh lidah pada waktu sesuatu dicacap, misalnya rasa pedas, pahit, getir, dsb, b.
Semua keadaan yang dialami badan atau hati, misalnya geli, susah, dsb, c. Sari
pati makna (dalam ilmu batin dsb), d. Rasane = rasa-rasanya, kelihatannya,
sepertinya; mencicipi, menanggapi, memendam rasa, tunggal rasa, cocok sekali:
merasa, merasa cocok, perasaan. II. a. Rahasia, gaib, ilmu rasa: ilmu yang
membicarakan hal-hal yang gaib (Poerwadaminta, 1939:521 b). Dari beberapa
pengertian mengenai rasa yang ditemukan, bahwa konsep rasa orang Jawa
berkaitan dengan hal-hal/keadaan yang bersifat jasmani/lahiriah dan yang bersifat
rohani/batiniah (Wahyono, 2003:1). Rasa lahiriah meliputi indera yang terdapat
pada manusia (perasa, peraba, penglihatan, pembau), sedangkan rasa batiniah
berhubungan dengan rasa religius (spiritual), rasa Ketuhanan, maupun rasa
kerohaniawan, yang dalam budaya Jawa disebut sebagai rasa jati/rasa sejati14.
Wahyono mengatakan, seperti yang disunting oleh Gonda bahwa:
Dalam naskah-naskah mistik Jawa prinsip Ketuhanan juga disebut rasa, tetapi bukan rasa yang biasa, bukan rasa (perasaan) yang kita alami pada tubuh, melainkan rasa yang kita hayati dalam hati. Hati nurani yang jernih dan bersih bisa menerima rasa tertinggi yang suci dan tanpa cacad. Di satu sisi suksma dan rasa dianggap berkaitan, tetapi bukan prinsip yang identik. Di sisi lain keduanya dapat saling dipertukarkan atau suksma bisa disebut rasa sejati (Gonda, 1952,158).
14 Laporan Penelitian Darmoko.1996.Rasa Dalam Budaya Jawa.hal 23.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
31
Rasa sejati dapat dicapai oleh seseorang melalui jalan laku, yaitu usaha untuk
mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan cara mengendalikan hawa nafsu,
seperti: makan, minum, dan berhubungan dengan seksualitas. Dengan cara itu
seseorang kemudian terlatih dan terasah batinnya sehingga dapat mengendalikan
nafsu-nafsu15. Franz Magnis Suseno memberikan pengertian nafsu yaitu sebagai
perasaan-perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia dan
membelenggunya secara buta pada dunia lahir (1993:139).
Zoetmulder mengatakan dalam Yuwono (Dialog Religisuitas Karya Sastra
dalam Buku LAKU) bahwa rasa berarti hakikat, sifat dasar dari suatu benda yang
sebenarnya, atau kenyataan suatu benda yang sebenarnya, kemudian rasa
merupakan sarana pribadi untuk menuju ke wawasan yang sebenarnya, yang
merupakan hakikat seseorang dan bagian seseorang dalam hakikat yang
sebenarnya; seringkali rasa dipertukarkan dengan rahsa, rahasya yang berarti
rahasia, tersembunyi, gaib, dan dalam arti benih rasa bisa menjadi sarana
kehidupan (2004: 35).
Selanjutnya di bawah ini akan dilakukan analisis rasa yang terdapat pada
Serat Wulangreh.
Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe,
sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa,rasa
kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing
kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)
Dikatakan bahwa dalam kehidupan ini apabila manusia tidak mengerti dan
mengetahui sasmita, maka akan bingung dan tidak tahu arah maupun tujuan
dalam hidupnya. Untuk dapat mengerti akan hal tersebut, dijelaskan bahwa
manusia untuk melatih dan mengusahakan diri untuk melatih rasa agar tercapai
hidup yang sempurna. Sudah dipaparkan sebelumnya, untuk dapat melatih
kepekaan rasa yang ada dalam diri manusia yaitu dengan menjalani laku.
Darmoko dalam Buku LAKU (2004:35) mengatakan bahwa laku yaitu usaha
seseorang untuk menahan segala hawa nafsu dan yang lebih penting dari itu yaitu
prihatin (hati yang perih). Dikatakan pula dalam Etika Jawa bahwa:
15 Ibid.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
32
“Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia “mengerti”, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin ia bersatu dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya” (Franz Magnis Suseno, 1993:197).
Dengan kata lain kepekaan batin seseorang, diperlukan untuk mengukur tingkat
pemahaman diri manusia mengenai rasa.
Jroning kuran nggoning rasa jati, nanging pilih wong kang uningaa,
anjaba lawan tuduhe, nora kena binawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak
katalanjukan, temah sasar-susur, yen sira ayun waskita, kasampurnaning
badhanira puniki, sira anggeguruwa. (Pupuh Dhandhanggula; pada 3; halaman 3)
Kemudian pada bait ini dijelaskan bahwa rasa jati/rasa sejati terdapat dalam Al-
quran. Untuk dapat mengetahuinya dengan baik, pilihlah orang yang benar-benar
paham mengenai pengetahuan lahir dan batin, agar tercapainya kesempurnaan
hidup. Serat Wulangreh dalam hal ini Pakubuwana IV, memberikan Al-quran
guna untuk menemukan rasa sejati karena didalamnya terdapat berbagai macam
ajaran mengenai kehidupan. Dengan kata lain agar hidup manusia lebih terarah
dan mempunyai tujuan yang sesuai dengan petunjuknya (Al-quran).
Ing sabarang polah tingkah, ing pangucap tanapi wong alinggih, tan suka
sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan
ana kang madhanana, angrasa luhur pribadhi. (Pangkur; pada 12; halaman 7)
Pada data yang ketiga ini mengenai rasa, dijelaskan bahwa rasa yang terdapat
pada diri manusia menunjukkan sikap keangkuhannya. Hal itu dapat diketahui/
dilihat dari cara bertingkah lakunya dan segala macam ucapannya. Seperti yang
dikatakan oleh Wahyono, aja rumangsa bisa nanging bisaa rumangsa, hendaknya
manusia itu tidak sombong, tetapi selalu berendah diri andhap asor, lembah
manah, hendaknya manusia dapat merasa ngrumangsani bahwa ia hanyalah
makhluk kecil dihadapan Tuhan yang Maha Agung, hidupnya telah kinodrat,
ditentukan olehNya, oleh pandum, pasrah nanging kudu mawa setiyar, dan selalu
bersikap mensyukuri karunia Tuhan dengan selalu berusaha (2003:13). Jelaslah
bahwa, manusia hendaknya menjauhi sikap angkuh/sombong karena itu akan
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
33
membawa seseorang untuk berbuat atau terjerumus ke hal-hal yang bersifat
negatif.
Saking ibu rama margane udani, miwah maratuwa, lanang wadon den
bakteni, aweh rasa ingkang nyata. (Maskumambang; pada 13; halaman 8).
Udani menurut Bausastra ialah weroeh (Poerwadaminta,1939:435), yang dalam
bahasa Indonesianya “lihat”. Dijelaskan pada bait ini untuk menghormati orang
tua, hal ini diperkuat oleh Franz Magnis Suseno bahwa setiap orang dalam bicara
dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain,
sesuai dengan derajat dan kedudukannya (1984:60). Bait ini juga menerangkan
bahwa kedua orang tua yaitu bapak dan ibu sebagai sarana untuk memahami rasa,
dan juga terhadap mertua baik laki-laki mapun perempuan dihormati. Sikap
hormat kepada orang tua dalam “masyarakat Jawa”, diungkapkan melalui
penggunaan bahasa krama untuk berbicara. Pengertian mengenai rasa lain
mempunyai makna yang sama dijelaskan pada bait di bawahnya, terdapat pada.
Sadjatine rasa kang mencaraken wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur
tuwa ugi, milane sadulur tuwa. (maskumambang; pada 14; halaman 8-9).
Sama halnya dengan analisis bait di atasnya, bahwa untuk mendapatkan rasa yang
sejati, dengan cara menghormati atau ngajeni orang yang lebih tua dalam hal ini
saudara tua dilakukan sebagai sembah yang ketiga. Karena dijelaskan saudara tua
sebagai pengganti orang tua. Maksud dari sembah yang ketiga ialah dapat
diurutkan pertama sembah kepada orang tua, kedua kepada mertua (baik laki-laki
maupun perempuan), dan yang ketiga kepada saudara tua. Hal ini diperjelas pada
bait lanjutannya yang menerangkan saudara tua sebagai pengganti orang tua yaitu
sebagai berikut:
Pan sinembah gegentining rama ugi, pan sirnaning bapa, sadulur tuwa gumanti,
ingkang pantes sira tuta. (Maskumambang; pada 15; 9).
Jadi, melalui aspek rasa ini Pakubuwana IV menjelaskan kepada para generasi
muda untuk tidak membantah dan melawan orang tua.
Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya seya, nora kaya jaman
mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna-
batinipun, ing tyase datanpa ngrasa. (Asmaradana; pada 16; halaman 20).
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
34
Dijelaskan pada bait seperti pepatah pada bahasa Indonesia yaitu, manusia untuk
tidak lupa pada kulitnya, maksudnya apabila manusia telah mendapatkan
kekuasaan untuk tidak berprilaku seperti hewan yang serakah, seperti tidak
mempunyai akal dan perasaan. Diilustrasikan pada bait ini, yaitu pada sosok
pedagang yang selalu menghitung untung dan ruginya atau dengan kata lain, ingin
memperkaya dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang yang ada disekelilingnya.
Jadi apabila hal itu dibiarkan, akan dapat menimbulkan kehancuran tidak hanya
pada manusia itu sendiri melainkan juga kehancuran bangsa ini. Oleh karena itu,
Pakubuwana IV memberikan ajaran/wulang untuk menjadi manusia yang selalu
bersyukur dan menjaganya atas apapun yang diberikan oleh Tuhan.
Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang
ngrungokake, sinamur bari sembranan, emote yen nuruta, malah mundhak apitur,
pangrasane pan wus wignya. (Asmaradana; pada 20; halaman 21).
Bait menggambarkan tentang sikap dan perilaku anak muda pada zaman ini, yaitu
mereka sulit untuk dinasihati padahal mereka berbuat salah. Kalaupun mereka
mampu untuk melakukan sesuatu, mereka tetap sulit untuk diberi nasihat/
wejangan-wejangan. Mereka menganggap dirinya sudah mampu dan pandai untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidupnya, di sisi lain
mereka juga perlu diberi nasihat oleh orang yang sudah mampu memberikan
nasihat itu (dalam hal ini orang tua) agar hidupnya menjadi teratur dan tidak
sembrana. Ungkapan dalam bahasa Jawa yang mendukung permasalahan ini yaitu
aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa artinya janganlah merasa pandai,
namun pandai-pandailah merasa. Maksudnya yaitu manusia janganlah merasa
sombong dan angkuh akan kepandaian yang dimilikinya, tetapi pergunakanlah
kepandaian itu untuk hal-hal yang baik. Seperti yang disunting oleh Wahyono,
hendaknya manusia itu tidak sombong tetapi selalu rendah diri andhap asor,
lembah manah16 .
Pada bait ini masih saling berkaitan dengan bait di bawah ini yang terdapat pada,
Ingsun uga tan mangkana, balilu kan sun-alingi, kabisan sun-dokok
ngarsa, isin menek den arani, balilune ngluwihi, nanging temenipun cubluk
16 Makalah untuk Seminar tentang Rasa pada Program Studi Sastra Jawa FIB UI. 2003. hal 13.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
35
suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tan ngrasa prandene sugih
carita. (Sinom; pada 2; halaman 21).
Sama seperti penjelasan di atas, bahwa pada bait ini juga mengedepankan sikap
untuk tidak sombong. Dijelaskan bahwa manusia untuk menghindari sikap yang
merasa ingin pandai. Ditelisik secara lebih mendalam mengenai makna dari kata
“merasa” itu yaitu menganggap dirinya paling diantara yang lain. Dengan maksud
yaitu manusia seperti itu dapat dikategorikan angkuh dan sombong. Jadi untuk
dapat menjadi manusia sempurna yang sesuai dengan tujuan penelitian ini,
hendaknya manusia untuk dapat menghindari sikap-sikap seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah,
wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore
ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada
20; halaman 23).
Pada penjelasan ini, Pakubuwana IV ingin menjelaskan mengenai sikap rendah
diri (andhap asor). Dalam ajaran rasa, sikap rendah diri dikedepankan yang
berguna untuk menghidari sikap-sikap negatif yang muncul dari dalam diri
manusia. Selain itu, juga perlu mempunyai rasa untuk mengalah dalam berbagai
hal. Karena dengan mengalah tidak akan ada perkelahian sehingga tercipta
kehidupan yang rukun. Prinsip dari rukun itu bertujuan untuk mempertahankan
masyarakat dalam keadaan yang harmonis, saling bekerja sama, dalam suasana
yang damai dan tenteram (Magnis Suseno,1984:39).
Jadi, dari beberapa bait yang telah dianalisis menurut aspek-aspek religiusitasnya
yaitu Rasa, dapat diberi simpulan bahwa rasa diperlukan manusia Jawa untuk
dapat mencapai hidup yang sempurna (kasampurnaning dumadi).
3.2.3 Laku
Laku merupakan kesadaran masyarakat Jawa untuk menuju ke kehidupan
yang sempurna (kasampurnaning dumadi). Untuk dapat menentukan jalan hidup
yang benar masyarakat Jawa menjalani laku. Laku dapat dipandang sebagai suatu
konsep, tradisi atau cara masyarakat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan
melalui berbagai sarana tertentu. Dengan menjalani laku manusia Jawa dapat
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
36
terlatih rohaninya, jiwanya, maupun batinnya sehingga hawa nafsu yang dimiliki
manusia dapat dikendalikan (Darmoko, 1996:16)17 .
Dalam kehidupan sehari-hari manusia berusaha menjaga lingkungannya,
bagaimana hubungannya dengan Tuhan, alam, dan sesamanya diusahakan agar
tetap serasi dan harmonis, sehingga terwujud situasi yang aman, tenteram, damai,
dan sejahtera18. Dalam menjalin hubungan manusia dengan Tuhan, manusia Jawa
menjalaninya melalui sarana laku. Sarana yang dimaksud yaitu ngelmu atau suatu
wulang untuk mencapai kepada kesempurnaan hidup yang sesuai dengan
ungkapan dalam bahasa Jawa ngelmu iku kalakone kanthi laku.
Laku dapat dilakukan seseorang melalui berbagai macam cara, berbagai
macam tindakan maupun sikap yang dilakukannya dengan tujuan untuk dapat
mendekatkan diri kepada Tuhan. Tindakan yang dimaksud ialah tapa brata, tarak
brata, maupun lelana brata. Prinsip dari ketiganya ialah mengurangi makan,
minum, dan tidur, juga segala macam hawa nafsu seksualitas dapat
dikendalikan19.
Darmoko dalam Buku Ajar Mata Kuliah Religi Jawa (2007: 4)
mengatakan bahwa laku dapat dipandang pula sebagai keprihatinan/kepedihan
hati yang dirasakan oleh manusia, kemudian nglakoni yaitu berarti usaha
seseorang untuk mengolah batin/rasa dengan tujuan dan cara tertentu, seperti
puasa (ngrowot, mutih), ngebleng (melakukan laku dengan cara tidak makan dan
tidak minum di dalam ruang tertutup/dapat dikatakan hening selama kurun waktu
tertentu), pati geni (melakukan laku dengan cara tidak makan dan tidak minum di
dalam ruang tertutup dan gelap dalam kurun waktu tertentu), tarak brata
(menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian dan keramaian), tapa
brata (menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian dan keramaian),
dan lelana brata (menjalani laku dengan cara menjauhi keduniawian dan
keramaian dengan berkelana/ mengembara).
Kemudian di bawah ini akan dilakukan penganalisisan terhadap aspek
laku pada tiap baitnya, dapat ditemukan enam belas (16) bait yang membahas
mengenai laku yaitu sebagai berikut: 17 Laporan Penelitian tentang Rasa dalam Budaya Jawa. 18 Ibid.. 19 Ibid..
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
37
Dadiya lakunireku, cegah dahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan,
anganggowa sawatawis, ala wateke wong suka, nyuda prayitaning batin.
(Pupuh Kinanthi; pada 2; halaman 4).
Diterangkan bahwa teks tersebut mengingatkan kepada manusia untuk
mengurangi makan dan tidur yang dapat dijadikan sebagai laku, dan tidak
disarankan bersenang-senang atau menghamburkan uangnya untuk kegiatan yang
tidak bermanfaat. Makan dan tidur menurut Ciptoprawiro termasuk kedalam nafsu
aluamah (1986:26) Diperintahkan untuk segala sesuatunya itu dilakukan dengan
sederhana, dan tidak dilakukan secara berlebihan. Karena dampak yang akan
terjadi bila hal itu dilakukan ialah akan mengurangi kewaspadaan dan kehati-
hatian dalam batinnya.
Yen wus tinitah wong agung, jwa sira gumunggung diri, aja njelekken
wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngadjak-adjak, atemah anenulari.
(pupuh Kinanthi; pada 3; halaman 4).
Dapat diterangkan dan dianalisis pada bait ini, jika manusia telah mendapatkan
kedudukan dan kehormatan untuk tidak sombong, dan selalu waspada dalam
berteman dengan orang lain, karena apabila bertemu dengan teman yang tidak
baik maka secara tidak langsung akan terkena dampaknya. Laku yang dimaksud
pada bait ini yaitu untuk tidak mendekati orang yang mempunyai sifat buruk.
Sanadyan nora amilu, pasti wruh lakuning maling, kaja mangkono
sabarang, panggawe ala puniku, sok weruha gelis bisa, jeku panuntuning iblis.
(Pupuh Kinanthi; pada 6; halaman 4).
Masih berkaitan dengan bait di atasnya, untuk tidak mendekati dan menjauhi
orang yang mempunyai sifat buruk. Sifat buruk yang dimaksud pada bait ini ialah
maling/durjana, karena sifat tersebut merupakan tingkah laku iblis yang akan
menuntun atau membawa manusia ke dalam hal-hal yang negatif.
Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung
linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki.
(Pupuh Kinanthi; pada 7; halaman 4).
Aspek laku yang diterangkan pada bait ini, menjelaskan mengenai perbuatan yang
baik sangat sulit untuk dilakukan apabila belum melakukannya. Dengan semakin
sering melakukan perbuatan baik tersebut, maka akan terasa akan mudah untuk
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
38
menjalankannya. Dengan menjalankan laku yang baik akan dapat berguna bagi
diri setiap manusia.
Ingkang becik kojahipun, sira anggowa kang remit, ingkang ala
singgahana, aja niyat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa
puniki. (Pupuh Kinanthi; pada 12; halaman 5).
Dijelaskan dalam kehidupan sehari-hari ada beberapa sifat manusia yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Ada yang sedikit bicara tapi banyak tindakan yang
dilakukannya, dan ada juga yang banyak bicara tetapi tidak ada tindakan yang
dilakukan. Oleh karena itu, bait ini memberikan ajaran untuk pandai dalam
memilih hal-hal yang pantas untuk dijadikan sebagai teladan dan pegangan bagi
hidup manusia, dicontohkan untuk dapat menerima berbagai macam nasihat yang
diberikan oleh orang lain baik itu yang benar maupun yang salah. Nasihat yang
yang benar dan baik dipergunakan, sedangkan yang buruk disimpan dan tidak
untuk dilakukan dalam hidup manusia. Aspek laku yang terkandung dalam hal ini
yaitu untuk melakukan segala macam perbuatan atau tindakan yang baik-baik dan
dapat berguna bagi manusia.
Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh
ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, den waskita solahing wong.
(Pupuh Gambuh; pada 9; halaman 6).
Manusia dalam menjalani hidupnya untuk tidak melakukan yang tiga sifat-sifat
yang dapat menggiring seseorang ke dalam pebuatan buruk, sifat yang dimaksud
yaitu adigang, adigung, dan adiguna. Adigang, adigung, adiguna ungkapan ini
berarti janganlah membanggakan keluhuran, kekuatan, dan kepandaian. Ketiga hal
tersebut merupakan suatu anugerah Tuhan yang hendaknya dijaga keberadaannya
dengan cara bijak, bukan lantas dijadikan sebagai alat untuk membanggakan diri
semata. Sifat adigang diilustrasikan sebagai mengandalkan kemampuan yang ada
dalam fisiknya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik, diumpamakan pada
hewan kijang yang mengandalkan kehebatan lompatannya, kemudian gajah yang
mengandalkan fisiknya yang besar, dan ular yang mengandalkan bisanya untuk
melumpuhkan lawan-lawannya. Adigung yaitu mengandalkan kekuasaannya
untuk melawan atau menindas orang kecil, sedangkan adiguna mengandalkan
kepandaian yang dimiliki untuk melakukan segala sesuatunya yang tidak baik.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
39
Pakubuwana IV mengiliustrasikan ketiganya tersebut, guna menjadi contoh dan
teladan bagi hidup manusia, untuk mempergunakan waktu sebaik-baiknya dengan
cara melakukan sesuatu yang dapat bermanfaat. Hal itu sejalan dengan ungkapan
bahasa Jawa yaitu urip iku mung mampir ngombe, jadi diibaratkan sungguh amat
singkat perjalanan hidup manusia di dunia ini seperti orang yang mampir hanya
untuk minum. Pergunakanlah waktu sebaik mungkin untuk dapat melakukan
sesuatu yang besar dan bermanfaat baik bagi diri manusia itu sendiri maupun
untuk orang lain. Laku yang dijelaskan pada bait ini, mengenai ajaran untuk
menghindari sifat-sifat tidak baik yang dapat merugikan manusia itu sendiri.
Pan wus wateking manusa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah
muna-munihipun, pan dadi penengeran, ingkang pinter kang bodho miwah kang
luhung, kang sugih lan kang malarat, tanapi manusa singgih. (Pangkur; Pada 5;
halaman 7).
Sudah menjadi watak dari manusia, ada yang baik dan yang buruk. Hal itu
dapat diketahui dari segala macam tindakan yang dilakukannya, misalnya dapat
diketahui dari cara berjalan maupun duduknya, kemudian dari geraknya juga
dapat menjadi tanda. Semua itu dapat menjadi tolok ukur guna untuk mengenal
karakter setiap manusia, baik itu yang kaya maupun yang miskin, dan yang pintar
dan bodoh. Hal ini dapat diperjelas lagi pada bait selanjutnya yang terdapat pada..
Tinitik ing solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku
panengeranipun, winawa ginraitan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen
amawas ing sujalma, dhatan amindho-gaweni. (Pangkur; pada 7; halaman 7).
Selain untuk dapat mengetahui baik-buruknya seseorang pada bait ini juga
menjelaskan, dapat juga diketahui melalui kata-katanya ketika berbicara. Hal ini
dapat menjadi tolok ukur karena kualitas seseorang dapat dilihat dari cara bertutur
katanya, apakah dapat dikategorikan baik atau buruk. Jadi aspek laku yang
diungkapkan pada bait ini yaitu mengenai untuk mengenal baik-buruknya
seseorang melalui cara berbicara maupun tindakan yang lainnya.
Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku
mangkono ugi, ing wekasanipun teka dadi ala. (Pucung; pada 19; halaman; 17)
Bait ini menerangkan bahwa tidak semua aktivitas laku yang dijalankan manusia
guna untuk mencapai anugerah Tuhan, mempunyai sifat yang baik maksudnya
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
40
yaitu apabila dalam melakukan laku diawali dengan niat yang buruk maka secara
tidak langsung laku itu akan berakhir dengan keburukan pula. Oleh karena itu,
agar laku dapat berakhir dengan kebaikan maka sebelum melakukannya diawali
dengan niat yang sungguh-sungguh di dalam hati guna untuk mendapatkan atau
mengharapkan anugerah dari Tuhan. Dalam menjalani laku manusia dituntut
untuk melakukannya dengan sebaik-baiknya, karena akan banyak godaan dan
cobaan yang datang untuk menguji kesungguhan manusia itu dalam menjalaninya.
Bahwa jelaslah bait ini menjelaskan mengenai niat yang baik sebelum menjalani
laku, agar dapat diperoleh hasil yang sempurna dan mencapai kasampurnaning
dumadi.
Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apan ta sakuwasane, nanging
aja tan linakwan, sapa tan nglakonana, tan wurung nemu bebendhu, mula padha
estokena. (Asmaradana; pada 3; halaman 19-20).
Bait ini menjelaskan tentang kewajiban manusia untuk melakukan rukun islam
yang berjumlah lima. Jelaslah bahwa laku yang dimaksud disini yaitu mengenai
anjuran untuk melakukan syariat agama yaitu lima rukun islam. Syariat tersebut
berupa ajaran-ajaran yang masih dalam tataran sembah raga. Menurut KBBI
syariat mempunyai arti sebagai hukum agama yang dinyatakan dengan perbuatan
(1996:1390). Kemudian bait ini juga menjelaskan apabila tidak melakukannya
akan mendapatkan siksa, akibat dari meninggalkan ajaran tersebut.
Sarta kawruhana batin, gantungana ing patrapan, darapon petel karyane,
dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya, jwa dumeh asih sireku, lamun leda
patrapana. (Asmaradana ; pada 11; halaman 20).
Bait ini menjelaskan tentang pengetahuan batin, yaitu untuk dilakukan dan
diterapkan dalam menjalani kegiatan apapun. Dalam bekerja agar melakukannya
dengan hati tidak dengan tindakan yang gegabah, yang akan berdampak pada
buruknya hasil pekerjaan itu. Manusia agar melakukan segala hal pekerjaan
dengan hati/batin selain agar memperleh hasil yang sempurna, dan juga agar giat
dalam bekerja. Gantungana ing patrapan, jadikanlah pedoman dalam
berprilaku/bertindak. Jwa dumeh asih sireku, dan jangan sombong selama dalam
penerapan dalam kehidupannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
manusia aja rumangsa bisa nanging aja bisaa rumangsa dan agar andhap asor,
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
41
lembah manah dalam kehidupan manusia. Jika dari yang telah dijelaskan dapat
diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia, maka manusia akan
selamat dan dapat mencapai kesempurnaan hidup dan juga agar senantiasa dapat
hidup rukun dan harmonis dengan manusia lain. Hidup rukun menurut F.Magnis
Suseno yaitu mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk
bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang
mungkin dapat menimbulkan perselihan dan keresahan (1984:39).
Poma aja na nglakoni, kaya pikir kang mangkana, satemah lingsem
dadine, den sami angestokena, mring pitutur kang arya, nora nacad alanipun,
wong nglakoni kabecikan. (Asmaradana; pada 19; halaman 21).
Poma aja na nglakoni, bait ini menegaskan untuk tidak melakukan hal-hal
yang buruk. Karena bila dilakukan akan dapat menjatuhkan diri sendiri, yang
dengan maksud dapat memalukan diri manusia itu sendiri. Manusia hidup ini agar
mring pitutur kang arya, memperhatikan dan mendengarkan nasihat yang baik
supaya hidup menjadi sempurna. Hidup yang sempurna menurut aspek laku ini
yaitu manusia dapat mengendalikan segala bentuk hawa nafsu yang ada pada diri
manusia sehingga akan dapat memberikan kesadaran dan pemahaman terhadap
hakekat asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Dengan
demikian, apabila manusia telah dapat memahami maka manusia akan takut dalam
melakukan tindakan-tindakan yang buruk sifatnya, sehingga akan terccapai
kesempurnaan hidup itu.
Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab,
pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan
endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula.
(Sinom; pada 19; halaman 23).
Tapane nganggo alingan, maksud dari bait tersebut ialah salah satu
tindakab dari laku yaitu tapa. Tetapi dalam hal ini dalam melakukan tapa
dilakukan dengan pura-pura sehingga berlaku seperti tani. Laku yang dimaksud pa
da hal ini ialah tapa yang dilakukan berlaku seperti tani dan dilakukan agar tidak
terlihat serta diketahui oleh orang banyak, tetapi tetap tidak bersikap sombong dan
angkuh. Hakekat dari tapa dari bait ini yaitu untuk mencapai anugerah Tuhan
yang berupa wahyu, wahyu yang dimaksud ialah wahyu Keraton Jawa. Menurut
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
42
Sunoto Wahyu Keraton akan dapat dicapai melalui perjuangan yang ulet dan
tekun, sehingga apabila manusia telah mendapatkan wahyu Keraton maka akan
dapat mengatasi segala rintangan yang dihadapi (1987:29).
Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah,
wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore
ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada
20; halaman 23).
Laku utama, maksud yang tercantum pada kata tersebut ialah manusia
dalam menjalankan lakunya tidak menunjukkan kesombongannya, rahasia yang
dimiliki tidak diberitahukan kepada orang lain, serta dalam hidupnya selalu
mengalah dan tidak mau menang sendiri. Hal itu dapat dipergunakan sebagai
teladan hidup manusia dalam menjalani segala macam bentuk kehidupan.
Pakubuwana IV juga meberikan nasihat yang terdapat pada bait ini, untuk tidak
meninggalkan ajaran laku tersebut.
Miwah lelakone padha, kang para wali sadaya, kang pada antuk
nugraha/, angsale saking punapa, miwah kang para satriya, kang digdaya ing
ayuda, lakune sira tiruwa, lelabetan kang utama. (Girisa; pada 10; halaman 25).
Maksud dari aspek laku yang dimaksudkan pada bait ini ialah lebih
ditekankan pada perjuangan yang dilakukan oleh para wali-wali dan para satria
demi untuk mencapai yang menjadi dari tujuan masing-masing. Dijelaskan bahwa
para wali berjuangan dalam menyebarkan agama islam ke seluruh umatnya
dengan tujuan untuk mendapatkan pahala20. Kemudian para satria yang
berjuangan dengan tangguh di dalam peperangan21. Dengan demikian, bait ini
menegaskan kepada para generasi penerus untuk mengikuti perjuangan seperti
yang telah dijelaskan di atas,dan supaya dapat menjadi tauladan bagi kehidupan
manusia (generasi penerus). Dalam hal ini laku yang dimaksud lebih pada
perjuangan untuk mencapai kesempurnaan.
20 Pahala menurut KBBI ialah buah, hasil, dalam hal ini ganjaran bagi yang berbuat amal kebaikan di jalan Tuhan (1996:976). 21 Peperangan ialah pertempuran, perkelahian antara dua kelompok dengan mempergunakan senjata (Ibid.,1038).
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
43
Nora susah amirungga, mungguh lakuning satriya, carita kabeh pan ana,
kang nista lan kang utama, kang asor kang luhur pada, miwah lakuning nagara,
pan kabeh ana carita, ala becik sira wruha, (Girisa; pada 11; halaman 25-26).
Makna pada bait ini sebetulnya merupakan sebuah kiasan untuk dapat
menunjukkan bahwa dalam menjalani laku hendaknya seperti seorang satria yang
sedang berjuang. Laku membutuhkan perjuangan dalam mencapai pada
kesempurnaan hidup.
Jadi, setelah menganalisis dari berbagai cerita mengenai aspek laku dapat
diperoleh kesimpulan, bahwa manusia dalam menjalani laku mempunyai tujuan
untuk mencapai kesempurnaan hidup (kasampurnaniong dumadi) dan untuk dapat
menghayati hakekat dan pemahaman tentang asal dan tujuan manusia hidup di
dunia ini (sangkan paranng dumadi). Secara umum laku dapat dipandang sebagai
kesadaran akan jalan ketuhanan, jadi segala macam tindakan manusia dalam laku
ini untuk memcapai dan memperoleh anugerah Tuhan. Dengan demikian, manusia
haruslah prihatin dalam menjalani segala macam cobaan yang dialami, dan harus
tangguh dan kuat seperti yang diibaratkan oleh para satri yang berjuang dalam
peperangan. Tidak hanya itu, dalam proses pencapaian kepada kesempurnaan
hidup, manusia untuk mempunyai ilmu/ngelmu sebagai pengetahuan akan tentang
kehidupan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan pada buku mengenai LAKU,
yang terdapat pada ungkapan bahasa Jawa yaitu ngelmu iku kalakone kanthi laku
(ilmu atau pengetahuan dapat dipraktekkan, diterapkan, bila ditindaklanjuti secara
lahir dan batin).
3.2.4 Tapa
Menurut Poerwadaminta tapa berarti – brata, nglakoni mati raga sarta
soemingkir saka ing alam rame (1939:592). Pengertian dalam bahasa
Indonesianya yaitu menjalankan mati raga atau pengheningan serta menyingkir
dan menjauhkan diri dari keramaian di dunia. Menurut Darmoko, bagi masyarakat
Jawa tapa merupakan sarana/jalan untuk menggapai anugerah Tuhan (wahyu) dan
dalam misi memayu hayuning bawana (menjaga dan melangsungkan alam
semesta, agar terhindar dari kerusakan dan bahaya) (2007:5). Wahyu merupakan
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
44
petuntuk yang datang dari Tuhan dan diberikan kepada manusia yang telah
terpilih dan terpecaya (jalma pinilih pinracaya). Wahyu/pulung tersebut dapat
diterima oleh seseorang jika telah melakukan tapa brata dengan oerjuangan yang
hebat. Dalam buku Kebudayaan Jawa koentjaraningrat (1994:372) memaparkan
tentang berbagai cara dalam menjalankan tapa yaitu sebagai berikut :
1. Tapa ngalong22, yaitu melakukan tapa dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2. Tapa ngluwat, yaitu bertapa di samping makam (makam nenek moyang atau orang keramat) untuk suatu jangka waktu tertentu.
3. Tapa bisu, yaitu bertapa dengan cara menahan diri untuk tidak berbicara. Cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4. Tapa bolot, yaitu bertapa dengan tidak mandi dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5. Tapa ngramban, yaitu bertapa dengan cara menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan.
6. Tapa ngidang, bertapa dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan. 7. Tapa ngambang, bertapa dengan cara merendam diri di tengah sungai
selama beberapa waktu yang sudah ditentukan. 8. Tapa ngeli, yaitu cara bertapa dengan cara membiarkan diri dihanyutkan
arus air di atas sebuah rakit. 9. Tapa tilem, bertapa dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu
tanpa makan apa-apa. 10. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk-pauk dan 11. Tapa mangan, dilakukan dengan cara tidak tidur , tetapi boleh makan.
Menurut Sunoto (1987: 36) seseorang akan mendapatkan wahyu/ pulung
setelah melakukan tapa brata dan melalui perjuanagan yang hebat. Diceritakan
dalam lakon wahyu cakraningrat bahwa:
Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa wahyu kraton itu diperebutkan oleh berbagai ksatria yaitu Putra Raja Hastina yaitu Leksmana Mandra Kumara, Putra Raja Dwarawati yaitu Samba dan Putra R. Harjuna yaitu Angkawijaya. Mereka semua bertapa dan meminta karunia Dewa menurut cara masing-masing dan semuanya itu dilakukan dengan penuh ketekunan. Wahyu Cakraningrat mula-mula memasuki tubuh Leksmana Mandra Kumara. Kemudian ia lupa karena harus mampu menahan dalam mengatasi godaan serta ujian. Atas kelengahannya itu ia tidak mampu mengatasi godaan, sehingga Wahyu Cakraningrat keluar dati dalam tubuhnya dan hilanglah untuk menurunkan raja yang dapat memerintah Tanah Jawa. Selanjutnya Wahyu Cakraningrat mendatangi R. Samba dan masuk ke dalam tubuhnya. Sama halnya dengan Leksmana Mandra Kumara juga tidak mampu mengatasi ujian berupa godaan yang dilakukan oleh wanita. Ia lupa pesan akan dapat mengatasi godaan tersebut. Kemudian Wahyu Cakraningrat itu, jatuh
22 Istilah ngalong berasal dari kata kalong. Jadi ngalong berarti bergantung seperti hewan kalong (=kelelawar).
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
45
kepada R. Angkawijaya seorang satria yang memang tekun bertapa dan membersihkan dirinya dari segala godaan dan cobaan. Wahyu Cakraningrat kemudian memasuki tubuh R. Angkawijaya dan sesaat kemudian godaan dating berupa seorang wanita yang sangat cantik. Dengan penuh cara wanita tersebut menggodan satria dan dengan tenang dan tabah pula sang satria menolak godaan tersebut. Akhirnya luluslah R. Angkawijaya dari ujian-ujian itu dan berhasil memperoleh wahyu Cakraningrat atau wahyu kraton yang mempnyai arti bahwa kelak ia akan mampu menurunkan raja-raja di atanah jawa.
Selanjutnya terdapat cerita dalam babad mengenai tapa, Babad Tanah Jawi
yaitu Jaka Tingkir yang bertapa atas rakit (dijaga oleh bajul 40 ekor) ketika
mengadakan perjalanan ke Banyubiri tiba-tiba wahyu/pulung kraton berupa caha
yang memancar (tidak menyilaukan) berada tepat di atas Jaka Tingkir dan masuk
ke dalam tubuhnya. Ki Ageng Banyubiru mengatakan bahwa wahyu/pulung krton
telah berpindah dari Sultan Trenggana kepada Jaka Tingkir. Selain itu, terdapat
juga dalam lakon wayang yaitu lakon wahyu Pncadarma, dikisahkan ketika
Yudhistira bertapa ke hutan Kandhawawakstra (hutan Kamiaka) kemudian
mendapat wahyu darma/pancadarma yang berisi tentang ajaran keutamaan sikap
dan perilaku dalam kehidupan di dunia dari Batara Darma. Terdapat juga lakon
Wahyu Makutharama yang berisi ajaran tentang keutamaan kepemimpinan
(keteladanan 8 sifat/watak alam/Dewa) (Darmoko, 2007:5).
Dengan demikian, walaupun terdapat berbagai macam cara tapa tetapi tujuan
tetap sama yaitu, untuk mencapai anugerah Tuhan sehinngga dapat memperoleh
yang dinamakan wahyu dan juga untuk menjaga serta melestarikan alam semesta
(memayu hayuning bawana).
Selanjutnya peneliti akan melakukan analisis terhadap aspek tapa yang terdapat
dalam Serat Wulangreh, dapat ditemukan dua aspek yang membahas mengenai
tapa yaitu sebagai berikut:
Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manusa kang nyata, ingkang
becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ‘ibadah lan kang wira’I, sokur
oleh wong tapa, iya kang wus mungkul, tan mikir pawewehing lyan, iku pantes
yen den guronana kaki, sartane kawruhira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 4;
halaman 3).
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
46
Sebelumnya pada bait ini berhubungan dengan yang sebelumnya terdapat
pada (dhandhanggula;bait 3:3) yang dapat dijelaskan, jika ingin berguru dalam hal
ini belajar untuk mengenal rasa sejati yang terdapat di dalam al-quran, maka untuk
memilih manusia yang baik dan yang luhur derajatnya. Kemudian juga mengerti
akan hukum, maksudnya yaitu mengerti akan hukum-hukum yang terdapat dalam
alquran. Kemudian juga tidak kalah pentingnya yaitu untuk memilih orang yang
tekun dan rajin dalam melaksanakan ibadah, baik itu shalat maupun ibadah yang
lainnya. Lebih bagus lagi apabila mendapatkan orang yang tapa, yaitu orang yang
telah takwa dan tawakal di jalan Tuhan serta tidak mengharapkan pemberian dan
balas jasa orang lain. Hal tersebut pantas untuk berguru/belajar dan diserap ilmu
pengetahuannya. Makna tapa yang terkandung dalam bait ini ialah orang yang
beriman dan bertakwa serta bertawakal di hadapan Tuhan.
Kemudian, aspek yang kedua yaitu,
Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab,
pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan
endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula.
(Sinom; pada 19; halaman 23).
Tapa yang dimaksud pada bait ini yaitu menjelaskan tentang, tapa yang
dilakukan dengan cara disembuyikan dan berpura-pura bertingkah laku seperti
tani, dan menghindari sifat sombong serta angkuh. Tujuan dari dilakukannya tapa
itu yaitu untuk mendapatkan wahyu Keraton Jawa. Wahyu Keraton menurut
Sunoto yaitu wahyu yang proses pencapaiannya dilakukan secara tekun dan ulet
dan banyak rintangan yang dihadapi, seperti yang dapat dicontohkan pada bait ini.
Jadi, setelah melakukan analisis terhadap tapa ini dapat diberikan
simpulan bahwa, dilakukannya tapa melalui berbagai macam cara dan tindakan
yaitu guna untuk mendapatkan kehadirat Tuhan/anugerah Tuhan. Bentuk
anugerah Tuhan yang telah dijelaskan di atas yaitu berupa wahyu. Wahyu ini
merupakan ajaran atau petunjuk yang datangnya dari Tuhan dan diberikan kepada
manusia yang telah terpilih dan terpecaya (jalma pinilih pinracaya). Wahyu ini
dapat dipergunakan oleh manusia untuk dapat mengatasi segala rintangan maupun
persoalan yang dihadapi dan dapat dipergunakan untuk mencapai kepada
kesempurnaan hidup (kasampurnaning dumadi).
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
47
3.2.5 Simpulan
Dalam simpulan peneliti memberikan tabel dengan tujuan, agar mudah
dalam memahami hasil dari proses analisis data. Tabel tersebut yaitu sebagai
berikut:
No Klasifikasi data Deskripsi data Analisis data
I
1
Sasmita
Pamedharing wasitaning ati, cumanthaka aniru pujangga, dahat mudha ing batine, nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, paksa ngrum-rum pustaka, basa kang kalantur, tutur kang katular-tular, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padhanging sasmita. (Pupuh Dhandhanggula; pada 1; halaman 3)
Penyampaian isi
hati yang paling
dalam, seseorang
yang merasa
congkak meniru
sebagai pujangga,
dia (Pakubuwana
IV) juga bangga
karena mampu
untuk membuat
karya sastra, namun
demikian banyak
yang mencibir
tetapi selain itu
juga tetap harus
membuat karya
yang dapat
membuat popular.
Karya tersebut
disebarluaskan
secara terus
menerus berupa
nasihat yang
Sasmita berarti tanda-
tanda dalam
kehidupan manusia.
Tanda tersebut
merupakan
pengetahuan yang
akan dicapai oleh
seseorang dan
diusahakan agar
senantiasa menjadi
terang atau mudah
dimengerti.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
48
disampaikan
kepada orang lain
dengan penuh
ketelatenan, rendah
hati, dan perlahan
agar tanda-tanda
kehidupan menjadi
terang.
2 Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)
Bait ini menceritakan tentang tanda atau gejala dalam kehidupan ini akan terasa sulit dan membingungkan jika tidak diterapkan dalam kehidupan. Tanda tersebut diterapkan untuk dapat mengetahui rasa yang sejati yang berada dalam batin atau kalbu, dan selalu mengupayakan kesempurnaan dalam kehidupan kita masing-masing.
Sasmita bait ini berarti
tanda, yaitu tanda
yang datang dari
Tuhan agar untuk
dapat dimengerti dan
dipahami dan
berkaitan dengan rasa
sejati dalam
mengupayakan
kesempurnaan diri.
3 Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kesti, pesunen sariranira, sudanen dahar lan guling. (Pupuh Kinanthi; pada
Untuk dapat
memahami suatu
tanda dapat
diperoleh dengan
cara selalu melatih
Sasmita bait ini
menunjuk pada kata
tanda, yaitu agar
manusia dapat
mengerti tanda yang
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
49
1; halaman 4)
atau mengasah
setiap kalbumu dan
mengurangi
aktivitas makan dan
tidur.
diberikan oleh Tuhan
untuk melakukan laku
dengan cara
mengurangi makan
dan tidur sehingga
akan muncul sifat
kaprawiran yaitu sifat
yang berani, berbudi,
dan pandai.
II
1
Rasa
Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)
Kata Rasa pada bait
ini menunjuk arti
kata rasa yang
sejati, yaitu suatu
perasaan yang telah
mencapai suatu
tahap keutamaan
dengan cara
memahami tanda-
tanda yang terdapat
dalam kehidupan
ini dan agar
mencapai
kesempurnaan.
Rasa yang dimaksud
bait ini yaitu rasa
sejati yang terdapat
dalam diri manusia
apabila telah mencapai
tingkatan makrifat
(sembah rasa) agar
tercapai kesempurnaan
diri.
2 Jroning kuran nggoning rasa jati, nanging pilih wong kang uningaa, anjaba lawan tuduhe, nora kena binawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak katalanjukan, temah
Rasa bait ini
mempunyai arti
sama dengan yang
diatas yaitu rasa jati
atau rasa yang
Rasa bait ini
menunjuk pada rasa
sejati yang terdapat
dalam al-quran
sebagai petunjuk dan
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
50
sasar-susur, yen sira ayun waskita, kasampurnaning badhanira puniki, sira anggeguruwa. (Pupuh Dhandhanggula; pada 3; halaman 3)
sejati. Dijelaskan
bahwa “rasa sejati”
terdapat dalam al-
quran yaitu untuk
mengertahuinya
dan mengerti ajaran
di dalamnya, perlu
dipilih orang yang
benar-benar
mengerti
pengetahuan lahir
dan batin. Agar
tidak terjerumus
serta bingung.
pedoman bagi
manusia.
3 Ing sabarang polah tingkah, ing pangucap tanapi wong alinggih, tan suka sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan ana kang madhanana, angrasa luhur pribadhi. (Pangkur; pada 12; halaman 7)
Kata Rasa ini
menceritakan
mengenai rasa diri,
yaitu rasa dimana
manusia tidak
boleh diungguli
atau direndahkan
dan tidak ada yang
dapat mampu
menandinginya.
Rasa yang dimaksud
yaitu rasa
kesombongan yang
terdapat dalam diri
manusia, merasa
dirinya pling unggul
diantara yang lain.
4 Saking ibu rama margane udhani, miwah maratuwa, lanang wadon den bakteni, aweh rasa ingkang nyata. (Maskumambang; pada 13; halaman 8)
Kata Rasa bait ini
menceritakan
mengenai rasa yang
nyata atau rasa
yang sejati, yaitu
diperoleh dari
orang-orang yang
kita hormati
Rasa disini dapat
diartikan sebagai rasa
yag sejati didapatkan
dengan cara berbakti
kepada orang tua
maupun kepada
mertua kita baik yang
laki-laki atau
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
51
diantaranya ayah
ibu, mertua baik
yang laki-laki
maupun yang
perempuan
perempuan.
5 Sadjatine rasa kang mencaraken wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa. (maskumambang; pada 14; halaman 8-9)
Kata Rasa bait ini
menceritakan
mengenai rasa yang
memancarkan
benih, yaitu dengan
maksud
menghormati dan
menaati saudara-
saudara tua atau
sesepuh, karena
nantinya saudara
tua akan manjadi
pengganti orang tua
kita
Rasa yang terkandung
dalam bait ini
mempunyai makna
yaitu rasa sejati
didapatkan dengan
cara menghormati
saudara tua , karena
sebagai pengganti
orang tua.
6 Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya seya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna-batinipun, ing tyase datanpa ngrasa. (Asmaradana; pada 16; halaman 20)
Kata Rasa bait ini
menunjuk pada
pengertian
mengenai rasa
untuk menjadi
murid yang sejati,
yaitu tidak
dilakukan dengan
cara yang tidak
baik seperti
mempunyai sifat
yang sombong dan
congkak.
Rasa yang dimaksud
yaitu rasa untuk tidak
sombong apabila telah
mendapatkan
kedudukan atau
jabatan dalam
kehidupan
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
52
7 Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembranan, emote yen nuruta, malah mundhak apitur, pangrasane pan wus wignya. (Asmaradana; pada 20; halaman 21)
Rasa dapat
diartikan sebagai
rasa yang sombong,
karena diceritakan
khususnya pada
anak muda
sekarang ini jika
dinasihati tidak
mau ada yang
mendengarkan dan
berlaku semaunya
bahkan merasa
dirinya sudah
pandai dan mampu.
Rasa mempunyai
makna sebagai rasa
sombong khusunya
kepada generasi muda
karena merasa sudah
mampu dan pandai
menghadapi
kehidupan ini.
8 Ingsun uga tan mangkana, balilu kan sun-alingi, kabisan sun-dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune ngluwihi, nanging temenipun cubluk suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tan ngrasa prandene sugih carita. (Sinom; pada 2; halaman 21)
Rasa mengandung
pengertian yaitu
menganggap
dirinya pandai dan
banyak bercerita,
sesungguhnya hal
seperti itu memang
bodoh karena
hanya ingin dirinya
dihargai.
Rasa yang dimaksud
yaitu rasa yang ingin
dirinya disanjung oleh
orang lain.
9 Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada 20; halaman 23)
Dan aspek-aspek
religi terakhir pada
kata Rasa
mengandung
pengertian rasa
yang dilakukan
dengan tujuan
untuk sebuah
Rasa dilakukan untuk
sebuah tujuan akhir
yaitu kesempurnaan
hidup.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
53
pencapaian
(kesempurnaan)
dengan berbuat
rendah diri yaitu
dengan mengalah,
rahasianya ditutupi,
dan segala tingkah
lakunya baik untuk
ditiru.
III
1
Laku
Dadiya lakunireku, cegah dahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala wateke wong suka, nyuda prayitaning batin. (Pupuh Kinanthi; pada 2; halaman 4)
Laku dapat
dilakukan dengan
cara mengurangi
nafsu makan dan
tidur, kemudian
janganlah terlalu
banyak bersenang-
senang, bersikaplah
prihatin dalam
hidup ini, karena
jika akan
menggiring
seseorang untuk
berprilku kurang
prayitna, yaitu
kurang waspada
dan kurang hati-
hati dalam
berprilaku.
Laku berarti cara
untuk mengekang
hawa nafsu. Hal ini
dapat dilakukan
dengan cara
mengurangi makan
dan tidur, serta
bertindak dengan
penuh hati-hati dalam
kehidupan.
2 Yen wus tinitah wong agung, jwa sira gumunggung diri, aja njelekken wong ala, kang ala lakunireki,
Apabila seseorang
telah menjadi orang
terhormat,
Laku berarti suatu
tindakan untuk
menjauhi hal-hal yang
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
54
nora wurung ngadjak-adjak, atemah anenulari. (pupuh Kinanthi; pada 3; halaman 4)
janganlah menjadi
“gila hormat”, dan
jangan kemudian
berteman dengan
orang jahat karena
orang tersebut akan
mempengaruhi
untuk berbuat
buruk.
buruk.
3 Sanadyan nora amilu, pasti wruh lakuning maling, kaja mangkono sabarang, panggawe ala puniku, sok weruha gelis bisa, jeku panuntuning iblis. (Pupuh Kinanthi; pada 6; halaman 4)
Walaupun
seseorang tidak
mengikuti jejak
maling, akan tetapi
pasti mengetahui
tindakan apa yang
dilakukannya.
Perbuatan buruk itu
akan menggiring
seseorang untuk
dekat dengan
tingkah laku
iblis/setan.
Laku disini berarti
tindakan untuk
menjauhi perbuatan
buruk yang akan
berdampak buruk bagi
siapa saja yang
melakukannya.
4 Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki. (Pupuh Kinanthi; pada
7; halaman 4)
Suatu perbuatan
baik terasa sulit
untuk dijangkau
oleh seseorang, jika
belum dilakukan
dan diterapkan
dalam
kehidupannya. Hal
ini dapat
ditekankan, agar
Laku di sini berarti
manusia untuk
melakukan dan
melaksanakan
perbuatan baik di
dalam kehidupannya.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
55
senantiasa
dilaksanakan
karena akan
berguna dan
mempunyai faedah
bagi diri manusia.
5 Ingkang becik kojahipun, sira anggowa kang remit, ingkang ala singgahana, aja niyat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki. (Pupuh Kinanthi; pada 12; halaman 5)
Manusia diberi akal
oleh Tuhan untuk
dapat memilih yang
bermanfaat bagi
dirinya. Seperti
yang dijelaskan
pada bait ini untuk
menyaring segala
nasihat baik yang
buruk maupun yang
bagus, dan agar
senantiasa selalu
berhati-hati dalam
bertindak di
kehidupan ini.
Laku berarti
kemampuan seseorang
untuk dapat memilah-
milah mana yang
terbaik dan bermanfaat
bagi dirinya di dalam
kehidupan.
6 Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, den waskita solahing wong. (Pupuh Gambuh; pada
9; halaman 6)
Manusia dalam
menjalani
kehidupannya, agar
dapat menghindari
sifat dari adigang,
adigung, dan
adiguna karena
akan membawa
manusia ke dalam
sikap yang buruk.
Manusia dalam
Laku berarti usaha
seseorang untuk dapat
meninggalkan sifat
buruk, yang akan
membuat manusia
menjadi hina baik di
hadapan manusia yang
lain maupn di hadapan
Tuhan.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
56
bertindak di
kehidupan ini untuk
bersikap waspada
dan penuh dengan
kehati-hatian.
7 Pan wus wateking manusa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna-munihipun, pan dadi penengeran, ingkang pinter kang bodho miwah kang luhung, kang sugih lan kang malarat, tanapi manusa singgih. (Pangkur; Pada 5; halaman 7)
Sudah menjadi
watak dari manusia,
apabila ingin
mengetahui sikap
dan perilaku yang
terdapat pada diri
seseorang yaitu
dapat diketahui dari
cara bicaranya
maupun jalannya
karena hal itu sudah
menjadi tolok ukur
bagi setiap
manusia.
Laku berarti sikap dan
cara berjalan manusia
dalam melakukan
aktivitasnya, untuk
dapat mengetahui
watak dari setiap
manusia. Apakah baik
atau buruk.
8. Tinitik ing solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku panengeranipun, winawa ginraitan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujalma, dhatan amindho-gaweni. (Pangkur; pada 7; halaman 7)
Selain untuk dapat
mengetahui watak
dari manusia dari
cara berjalan dan
duduknya, juga
dapat dipahami
melalui kata-
katanya, sikap
berjalan, dan
duduknya. Hal itu
dilakukan pada
orang-orang masa
lalu apabila dalam
Laku berarti
kemampuan manusia
untuk mengetahui baik
atau buruk watak dari
orang lain.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
57
memahami
seseorang.
9 Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono ugi, ing wekasanipun teka dadi ala. (Pucung; pada 19; halaman; 17)
Orang dalam
menjalani laku
pada awalnya ada
yang berakhir
dengan kebaikan,
tetapi ada pula yang
berakhir dengan
keburukan.
Laku berarti usaha
seseorang dalam
menjalani/melakukan
aktivitas pendekatan
diri kepada Tuhan ada
yang berakhir dengan
kebaikan dan
keburukan.
10 Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apan ta sakuwasane, nanging aja tan linakwan, sapa tan nglakonana, tan wurung nemu bebendu, mula padha estokena. (Asmaradana; pada 3; halaman 19-20)
Dalam kehidupan
ini, manusia
diperintahkan
untuk melakukan
rukun (islam) yang
berjumlah lima.
Dijelaskan bahwa
siapa yang tidak
melaksanakan,
maka akan
menrima
ganjarannya yaitu
siksa.
Laku di sini berarti
usaha seseorang dalam
melakukan perintah
Tuhan, dalam
melaksanakan rukun
(islam) yang lima itu.
11 Sarta kawruhana batin, gantungana ing patrapan, darapon petel karyane, dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya, jwa dumeh asih sireku, lamun leda patrapana. (Asmaradana ; pada 11; halaman 20)
Manusia
diperintahkan
untuk mengenali
batin yang terdapat
dalam diri manusia.
Hal itu dilakukan
agar dalam
beprilaku/bertindak
di kehidupan ini
Laku berarti manusia
disarankan untuk
melakukan pengenalan
terhadap batin, karena
hal itu dapat dilakukan
berprilaku maupun
bertindak.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
58
tidak gegabah serta
juga agar tidak
sombong. Oleh
karena itu, supaya
manusia
menerapkan di
dalam
kehidupannya agar
tercapai kehidupan
yang sempurna.
12 Poma aja na nglakoni, kaya pikir kang mangkana, satemah lingsem dadine, den sami angestokena, mring pitutur kang arya, nora nacad alanipun, wong nglakoni kabecikan. (Asmaradana; pada 19; halaman 21)
Dalam menjalani
kehidupan ini,
manusia
diperintahkan
untuk tidak
melakukan
perbuatan yang
buruk karena akan
membuat malu
dirinya sendiri, dan
agar melakukan
perbuatan yang
baik.
Laku berarti perintah
manusia untuk
meninggalkan dan
tidak melakukan
perbuatan yang buruk
di dalam kehidupanya.
13 Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab, pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula. (Sinom; pada 19; halaman 23)
Tapa yang tidak
lain merupakan
salah satu dari
tindakan laku,
dilakukan agar
dekat dengan
Tuhan untuk
memperoleh
kesempurnaan.
Laku berarti usaha
seseorang dalam
melakukan tapa, untuk
tidak melakukannya
dengan kebohongan.
Agar inti dari laku
dapat tercapai yaitu
kesempurnaan.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
59
Dalam bait ini, tapa
yang dilakukan
dengan sungguh-
sungguh, dengan
cara berpura-pura
agar tidak diketahui
oleh orang lain dan
agar tidak
dikatakan sombong
dan angkuh, serta
mempunyai tujuan
untuk
mendapatkan
wahyu keraton.
14 Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada 20; halaman 23)
Seseorang dalam
menjalani
kehidupannya
senantiasa untuk
berprilaku yang
baik, salah satunya
dengan cara rendah
hati, dan hal ini
dapat dijadikan
sebagai pedoman
dalam berprilaku.
Laku di sini
mempunyai makna
ialah laku yang utama,
yaitu bertindak dengan
kehati-hatian dan
waspada.
15 Miwah lelakone padha, kang para wali sadaya, kang pada antuk nugraha, angsale saking punapa, miwah kang para satriya, kang digdaya ing ayuda, lakune sira tiruwa, lelabetan kang utama. (Girisa; pada 10; halaman 25)
Diceritakan
mengenai
perjalanan para
wali dalam
mendapatkan
pahala, dengan cara
mensyiarkan
Laku berarti untuk
mencontoh dan
meneladani sikap dari
para wali dalam
mendapatkan sesuatu
yang dicapai yaitu
pahala.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
60
agama. Hal itu
dapat dijadikan
tauladan dalam
menjalani
kehidupan ini.
16 Nora susah amirungga, mungguh lakuning satriya, carita kabeh pan ana, kang nista lan kang utama, kang asor kang luhur pada, miwah lakuning nagara, pan kabeh ana carita, ala becik sira wruha, (Girisa; pada 11; halaman 25-26)
Sikap para satria
yang menunjukkan
keberanian dalam
berperang, untuk
dapat diketahui dan
dipahami agar
dapat berimbas
dalam kehidupan
manusia yaitu
usaha untuk meraih
sesuatu perlu
dengan
pengorbanan dan
perjuangan yang
tidak ringan.
Laku berarti
perjuangan para satria
yang pemberani dalam
berperang (dalam
perjalanan negeri)
melawan keangkara
murkaan demi untuk
menegakkan
kebenaran.
IV
1
Tapa
Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manusa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ‘ibadah lan kang wira’I, sokur oleh wong tapa, iya kang wus mungkul, tan mikir pawewehing lyan, iku pantes yen den guronana kaki, sartane kawruhira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 4; halaman 3)
Jika ingin berguru
pilihlah orang yang
benar, dalam arti
mempunyai
martabat yang baik,
serta mengerti akan
peraturan (hukum)
dan hal yang paling
penting yaitu orang
yang rajin dalam
beribadah apalagi
Tapa berarti orang
(pertapa) yang tidak
memikirkan
pemberian dari orang
lain, dan hal ini dapat
dijadikan sebagai guru
untuk menggapai
pengetahuan.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
61
seorang yang
pertapa yang
senantiasa akan
selalu tidak
memikirkan
pemberian orang
lain (rila).
2 Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab, pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula. (Sinom; pada 19; halaman 23)
Tapa yang dengan pura-pura, maksudnya yaitu tidak diketahui oleh orang lain. Hal ini dilakukan untuk agar mendapatkan wahyu kerajaan Jawa (keraton). Sikap sombong dan angkuh, serta congkak dihindari dalam bertindak di kehidupan ini.
Tapa berarti dilakukan
seseorang agar tidak
diketahui oleh orang
lain. Hal ini
dimaksudkan untuk
menghindari sikap
sombong dan
congkak, serta
melakukannya dengan
penuh kerendah hatian
dan bersikap pasrah
kepada Tuhan.
Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009