37
Universitas Indonesia 25 BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM SERAT WULANGREH 3.1 Pengantar Ada beberapa ajaran atau wulang yang terdapat dalam Serat Wulangreh, salah satunya yaitu ajaran yang berkaitan dengan Religi. Seiring dengan judul dalam penelitian kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan pada aspek-aspek religiusitas yang terdapat pada serat tersebut. Pengertian religiusitas menurut Darmoko dalam buku LAKU berhubungan dengan sifat/cara pandang terhadap religi (keagamaan); yang secara lebih luas dapat diartikan sebagai kepercayaan/keyakinan orang/sekelompok orang terhadap Tuhan (2004: 30). Jadi dengan kata lain pengertian religiusitas dalam penelitian ini adalah cara pandang masyarakat Jawa terhadap hal-hal yang berhubungan dengan religi. Dalam bab ini, peneliti akan melakukan analisis secara deskriptif interperatif terhadap aspek-aspek religiusitas yang terdapat dalam Wulangreh. Tujuan analisis dengan cara itu dimaksudkan agar hasil yang tercapai dapat tersaji secara rinci dan dapat menguraikan dengan menafsirkan aspek-aspek religi yang ditemukan di dalam Wulangreh. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb) (2007:43). Kata deskriptif merupakan bentukan kata dari deskripsi yang berarti penguraian secara jelas suatu objek karya sastra, jadi pengertian deskriptif ialah penguraian secara jelas tentang sesuatu di dalam karya sastra. Adapun yang dimaksud dengan analisis deskriptif yaitu penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sedangkan interpretatif bentukan kata dari interpretasi, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu (2007:439). Jadi analisis deskriptif interpretatif yang dimaksud adalah penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra dengan cara pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis. 25 Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

25

BAB 3

ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS

DALAM SERAT WULANGREH

3.1 Pengantar

Ada beberapa ajaran atau wulang yang terdapat dalam Serat Wulangreh, salah

satunya yaitu ajaran yang berkaitan dengan Religi. Seiring dengan judul dalam

penelitian kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan pada aspek-aspek religiusitas

yang terdapat pada serat tersebut. Pengertian religiusitas menurut Darmoko dalam

buku LAKU berhubungan dengan sifat/cara pandang terhadap religi (keagamaan);

yang secara lebih luas dapat diartikan sebagai kepercayaan/keyakinan

orang/sekelompok orang terhadap Tuhan (2004: 30). Jadi dengan kata lain

pengertian religiusitas dalam penelitian ini adalah cara pandang masyarakat Jawa

terhadap hal-hal yang berhubungan dengan religi.

Dalam bab ini, peneliti akan melakukan analisis secara deskriptif interperatif

terhadap aspek-aspek religiusitas yang terdapat dalam Wulangreh. Tujuan analisis

dengan cara itu dimaksudkan agar hasil yang tercapai dapat tersaji secara rinci dan

dapat menguraikan dengan menafsirkan aspek-aspek religi yang ditemukan di

dalam Wulangreh. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk

mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb)

(2007:43). Kata deskriptif merupakan bentukan kata dari deskripsi yang berarti

penguraian secara jelas suatu objek karya sastra, jadi pengertian deskriptif ialah

penguraian secara jelas tentang sesuatu di dalam karya sastra. Adapun yang

dimaksud dengan analisis deskriptif yaitu penguraian secara jelas terhadap sesuatu

di dalam karya sastra untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sedangkan

interpretatif bentukan kata dari interpretasi, Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis

terhadap sesuatu (2007:439). Jadi analisis deskriptif interpretatif yang dimaksud

adalah penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra dengan cara

pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis.

25 Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 2: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

26

Pada bab ini, akan diuraikan secara lebih mendalam dengan cara

menginterpretasikan aspek-aspek religi yang ditemukan di dalam Serat

Wulangreh. Aspek-aspek tersebut yaitu Sasmita, Rasa, Laku, dan Tapa.

3.2 Analisis

Maksud dan tujuan analisis ini dilakukan yaitu untuk mengungkapkan

makna secara utuh terhadap aspek-aspek religi dalam serat Wulangreh.

Sebelumnya analisis ini dilakukan berdasarkan data yang sudah disajikan dalam

bab 2 yaitu aspek sasmita, rasa, laku, dan tapa. Kemudian di bawah ini akan

peneliti uraikan mengenai makna dari aspek-aspek religiusitas yang terdapat

dalam serat Wulangreh.

3.2.1 Sasmita

Kata Sasmita dalam kamus Bausastra Jawa karangan W.J.S

Poerwadaminta (polataning praen, pratanda) yang mempunyai arti sebagai tanda

atau pertanda (1939:547). Sasmita merupakan tanda-tanda kehidupan yang ada di

dalam kosmos/alam semesta, datangnya dari Tuhan dan disampaikan melalui

manusia terpilih (manusia yang telah berada pada tahap mengerti/memahami)

untuk dipahami dan diterapkan dalam kehidupan manusia. Menurut Darmoko

dalam Konsep Sasmita Dalam Kebudayaan Jawa (2007: 7), Tuhan dalam

menyampaikan tanda-tanda (Sasmita) melalui berbagai bentuk yaitu: weca, wisik,

dan wisik. Weca ialah tanda-tanda yang datangnya dari Tuhan dan disampaikan

kepada manusia dalam bentuk suara gaib. Wisik merupakan padanan kata dari

bisik ialah tanda-tanda yang diberikan kepada manusia dari Tuhan melalui bentuk

berupa bisikan (dalam hal ini yaitu indera pendengaran). Kemudian, wangsit

merupakan tanda-tanda dari Tuhan yang diberikan kepada manusia terpilih

melalui bisikan (pendengaran). Adapun mimpi seseorang dibagi menjadi tiga

abagian yaitu: titiyoni (apabila sasmita diberikan oleh Tuhan datangnya sebelum

jam 12.00 malam), gandayani (apabila sasmita datang pukul 12.00 – 03.00 dini

hari), dan puspatajem (datangnya sebuah sasmita dari Tuhan pukul 03.00-pagi

hari). Seseorang yang menjalani laku (mesu brata) dan disertai dengan rasa ikhlas

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 3: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

27

(rila) dengan mengandalikan emosi (sabar) karena manusia sadar bahwa yang

dijalani itu sebagai jalan keutamaan/ ketuhanan untuk menggapai anugerah Tuhan

yang telah dijanjikannya.

Sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas mengenai pengertian dari

Sasmita, kemudian di bawah ini akan diberikan contoh Sasmita .

Mrih padanging sasmita (Wulangreh;Dhandhanggula:1), pada bait ini

mempunyai arti tanda yaitu ajaran yang disebarluaskan oleh para pujangga dengan

cara pelan-pelan dan lembut agar tanda-tanda tersebut dapat dimengerti/dipahami

oleh manusia. Tanda-tanda yang datangnya dari Tuhan disampaikan lewat para

pujangga melalui karyanya dalam hal ini yaitu Serat Wulangreh yang diciptakan

oleh Pakubuwana IV. Dalam proses memberikan pemahaman mengenai tanda-

tanda tersebut, pujangga (Pakubuwana IV) melakukan dengan penuh rasa

kehatian-hatian agar tidak timbul rasa akan mendahului kehendak Tuhan (Bendul/

azab yang akan dikenakan bagi orang yang mendahului kehendak Tuhan)11 .

Seseorang yang telah menjalani perintahNya sesuai dengan sasmita (dalam

hal ini di serat wulangerh) yang diberikan biasanya akan mendapatkan anugerah

Tuhan berupa wahyu/pulung (Ibid..7). Wahyu menurut Kamus almunawir Arab-

Indonesia berarti:1. syariat, petunjuk; 2. tulisan, risala; 3. ilham; 4. sesuatu yang

disampaikan oleh Allah kepada nabinya; 5. perkataan yang samar (A.W Munawar,

1984:1649). Sunoto (1987:29) mengatakan bahwa wahyu dapat diperoleh/dicapai

melalui perjuangan yang ulet dan tekun. Selanjutnya, Sunoto juga membagi

wahyu/pulung menjadi dua yaitu pulung berupa cahaya, dan pulung berupa

manusia12. Sasmita yang diterima oleh manusia dalam bentuk wahyu dilakukan

11 Darmoko.2007. Dalam Buku Ajar mata kuliah Religi Jawa. FIB. 12 a. Pulung berupa cahaya, yaitu dikisahkan tentang bayi lahir dan mengandung cahaya, bayi ini kelak kalau sudah dewasa akan mempunyai kekeuasaan atau setidak0tidaknya mempunyai keturunan yang dapat menguasai kenegaraan. Peristiwa ini dialami oleh Ken Arok. b. Pulung berupa manusia, dikisahkan melalui lakon wayang yang terkenal yaitu wahyu Cakraningrat. Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa wahyu itu diperebutkan oleh berbagai ksatria yaitu putra raja Hastina yaitu Leksmana Mandra Kumara, putra raja Dwarawati yaitu Samba dan putra R.Harjuna yaitu Angkawijaya. Dan akhirnya yang mendapatkan wahyu Cakraningrat yaitu Angkawijaya setelah melalui serangkaian berbagai macam ujian yang dihadapi.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 4: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

28

sebaik-baiknya untuk menjadikan kehidupan manusia lebih sempurna. Dalam hal

ini, manusia mampu untuk bertindak dan bersikap sesuai dengan perintahNya.

Seperti yang diuraikan oleh De Jong bahwa, manusia dalam memperoleh

kepastian berupa wahyu diterima dengan rasa syukur (narima). Narima artinya

merasa puas dengan nasibnya, tidak memberontak, menerima dengan rasa terima

kasih (De jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, hal 19). Sikap narima itu

sendiri lebih menekankan kepada “apa yang ada”, maksudnya yaitu menerima

dengan segala sesuatu yang masuk dalam hidup kita salah satunya sasmita (tanda)

yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang terpilih.

Pada bait selanjutnya akan diberikan penjelasan mengenai Sasmita yaitu

sebagai tanda.

Sasmitaning ngaurip puniki (Wulangreh;Dhandhanggula:2), pada bait ini kata sasmita

mempunyai arti sebagai “tanda”, Dan juga disebutkan pula tentang perlunya

seseorang untuk weruh/mengerti tentang sasmita ini yaitu tanda yang datangnya

dari Tuhan untuk dimengerti dan dipahami serta dilaksanakan dalam kehidupan

manusia. Serta dapat mempunyai rasa yang sejati untuk mencapai kesempurnaan

dalam kehidupan. Kata weruh menurut Kamus Bausastra Jawa Poerwadaminta

(1939:661) mempunyai arti bisa migoenakake pandhelenge (dapat

mempergunakan penglihatannya), maksudnya yaitu dapat mempergunakan indera

penglihatannya dengan baik untuk memahami tanda-tanda yang diberikan oleh

Tuhan (sasmita). Tidak hanya mengerti tetapi, menurut Serat Wulangreh manusia

harus memahami makna atau ajaran yang terkandung di dalam sasmita tersebut.

Dijelaskan dalam Serat wulangreh apabila manusia tidak mengerti serta tidak

memahami petunjuk yang ada dalam kehidupan yaitu berupa rasa yang terdapat

dalam batin seseorang, maka akan dapat membingungkan manusia karena

petunjuk tersebut tidak dilakukan/ diterapkan dalam hidupnya.

Bukan hanya dalam konteks mengerti dan memahami agar kehidupan

manusia dapat menjadi sempurna, tetapi manusia juga harus mengerti mengenai

rasa yang sejati. Rasa sejati menurut Darmoko dalam Buku Ajar (2007:8) jika

perjalanan pribadi manusia telah mencapai tahapan makrifat (sembah rasa) yaitu

berpadunya diri pribadi manusia dengan Sang Pencipta serta dapat dipandang

sebagai kondisi “kembali kepada asal muasal”. Jadi, apabila manusia telah

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 5: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

29

memahami mengenai petunjuk tersebutt dan juga mengerti mengenai rasa yang

sejati maka kehidupan manusia akan dapat menjadi sempurna seperti yang telah

diuraikan pada Serat Wulangreh.

Sama seperti penjelasan di atas, pada bait ini juga akan menjelaskan arti

dari sasmita yaitu sebagai tanda. Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih

lantip(Wulangreh; Kinanthi:1) , dalam bait ini kata sasmita juga sama diartikan

sebagai tanda. Dalam hal ini manusia diperintahkan untuk melatih dengan cara

mengasah kalbu/hati, agar mampu dan pandai untuk memahami tanda-tanda yang

diberikan oleh Tuhan. Kalbu diperlukan sebagai wadah untuk pencapaian

pengetahuan tentang kehidupan13. Hal itu dapat berjalan dengan baik, apabila

manusia dapat mengendalikan makan dan tidur.

Dalam bentuk sasmita yang terdiri dari tiga bagian tersebut, dicontohkan

melalui tokoh-tokoh yang ada di dalam lakon pewayangan misalnya sebagai satu

contoh yaitu Ki Ageng Giring yang mendapatkan sasmita berupa weca dari Tuhan

melalui suara gaib dibalik suatu benda, benda yang dimaksud yaitu suara gaib

yang muncul dibalik pohon kelapa. Dalam Babad Tanah Jawi (1980:88)

diceritakan sebagai berikut:

Bahwa selain tekun dalam bertapa, ia juga mempunyai pekerjaan sebagai penyadap aren. Pada waktu pagi Ki Ageng sedang memanjat pohon, di tempat itu ada sebatang pohon kelapa, dekat dengan pohon yang dipanjat Ki Ageng. Pohon kelapa tadi sebelumnya belum pernah berbuah. Pada saat itu buahnya hanya satu masih muda (degan). Ki Ageng sedang memasang tabung bamboo di atas pohon kelapa, kemudian mendengar suara. Arah suara itu dari sebuah kelapa muda. Suara tersebut berbunyi “Ki Ageng Giring, wroehanamoe, sapa kang ngombe banyu dawegan iki, jen kongsi entek, iku saturun-turune bakal dadi Ratu Gedhe, mengko ing tanah Djawa kabeh”, arti dalam bahasa Indonesianya yaitu “Ki Ageng Giring, ketahuilah, siapa yang meminum air degan ini habis seketika, kelak seanak turunnya semua akan menjadi Raja Agung di tanah Jawa”. Singkat cerita, degan tersebut tidak sempat diminum oleh Ki Ageng Giring karena dia merasa belum haus, dan akhirnya degan itu dimunum oleh Ki Ageng Mataram kemudian dialah yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Jadi dengan demikian, dari ketiga pengertian mengenai sasmita dapat

diberikan kesimpulan bahwa mempunyai makna yang sama yaitu sebagai tanda.

Tanda tentang kehidupan yang diberikan oleh Tuhan untuk dapat dipahami dan

13 Lock out.,hal 1

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 6: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

30

dipraktekkan dalam hidupnya. Sehingga tercapai kehidupan manusia yang

sempurna dan harmonis dengan alam sekitarnya.

3.2.2 Rasa

Rasa dalam bahasa Jawa mengandung pengertian I. a. Kaananing apa-apa

nalika ditamakake ing ilat, upamane rasa pedhes, pait, gertir, lsp, b. Kaananing

apa-apa nalika tumamaing badan utawa ati, upamane rasa keri, susah, lsp, c.

Pathining teges (ing ngelmu batin lsp), d. Kadunugan rasa, sarasa = tunggal

rasa, cocog (laras) banget: rumasa, rumangsa, krasa, krasan, pangrasa. II. a.

Rahasya,rahsya, rahsa: gaib, wadi, ngelmu rasa: kawruh sing mahyakake sing

sinamar, atau dalam bahasa Indonesianya yaitu: I. a. Semua keadaan yang dialami

oleh lidah pada waktu sesuatu dicacap, misalnya rasa pedas, pahit, getir, dsb, b.

Semua keadaan yang dialami badan atau hati, misalnya geli, susah, dsb, c. Sari

pati makna (dalam ilmu batin dsb), d. Rasane = rasa-rasanya, kelihatannya,

sepertinya; mencicipi, menanggapi, memendam rasa, tunggal rasa, cocok sekali:

merasa, merasa cocok, perasaan. II. a. Rahasia, gaib, ilmu rasa: ilmu yang

membicarakan hal-hal yang gaib (Poerwadaminta, 1939:521 b). Dari beberapa

pengertian mengenai rasa yang ditemukan, bahwa konsep rasa orang Jawa

berkaitan dengan hal-hal/keadaan yang bersifat jasmani/lahiriah dan yang bersifat

rohani/batiniah (Wahyono, 2003:1). Rasa lahiriah meliputi indera yang terdapat

pada manusia (perasa, peraba, penglihatan, pembau), sedangkan rasa batiniah

berhubungan dengan rasa religius (spiritual), rasa Ketuhanan, maupun rasa

kerohaniawan, yang dalam budaya Jawa disebut sebagai rasa jati/rasa sejati14.

Wahyono mengatakan, seperti yang disunting oleh Gonda bahwa:

Dalam naskah-naskah mistik Jawa prinsip Ketuhanan juga disebut rasa, tetapi bukan rasa yang biasa, bukan rasa (perasaan) yang kita alami pada tubuh, melainkan rasa yang kita hayati dalam hati. Hati nurani yang jernih dan bersih bisa menerima rasa tertinggi yang suci dan tanpa cacad. Di satu sisi suksma dan rasa dianggap berkaitan, tetapi bukan prinsip yang identik. Di sisi lain keduanya dapat saling dipertukarkan atau suksma bisa disebut rasa sejati (Gonda, 1952,158).

14 Laporan Penelitian Darmoko.1996.Rasa Dalam Budaya Jawa.hal 23.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 7: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

31

Rasa sejati dapat dicapai oleh seseorang melalui jalan laku, yaitu usaha untuk

mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan cara mengendalikan hawa nafsu,

seperti: makan, minum, dan berhubungan dengan seksualitas. Dengan cara itu

seseorang kemudian terlatih dan terasah batinnya sehingga dapat mengendalikan

nafsu-nafsu15. Franz Magnis Suseno memberikan pengertian nafsu yaitu sebagai

perasaan-perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia dan

membelenggunya secara buta pada dunia lahir (1993:139).

Zoetmulder mengatakan dalam Yuwono (Dialog Religisuitas Karya Sastra

dalam Buku LAKU) bahwa rasa berarti hakikat, sifat dasar dari suatu benda yang

sebenarnya, atau kenyataan suatu benda yang sebenarnya, kemudian rasa

merupakan sarana pribadi untuk menuju ke wawasan yang sebenarnya, yang

merupakan hakikat seseorang dan bagian seseorang dalam hakikat yang

sebenarnya; seringkali rasa dipertukarkan dengan rahsa, rahasya yang berarti

rahasia, tersembunyi, gaib, dan dalam arti benih rasa bisa menjadi sarana

kehidupan (2004: 35).

Selanjutnya di bawah ini akan dilakukan analisis rasa yang terdapat pada

Serat Wulangreh.

Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe,

sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa,rasa

kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing

kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)

Dikatakan bahwa dalam kehidupan ini apabila manusia tidak mengerti dan

mengetahui sasmita, maka akan bingung dan tidak tahu arah maupun tujuan

dalam hidupnya. Untuk dapat mengerti akan hal tersebut, dijelaskan bahwa

manusia untuk melatih dan mengusahakan diri untuk melatih rasa agar tercapai

hidup yang sempurna. Sudah dipaparkan sebelumnya, untuk dapat melatih

kepekaan rasa yang ada dalam diri manusia yaitu dengan menjalani laku.

Darmoko dalam Buku LAKU (2004:35) mengatakan bahwa laku yaitu usaha

seseorang untuk menahan segala hawa nafsu dan yang lebih penting dari itu yaitu

prihatin (hati yang perih). Dikatakan pula dalam Etika Jawa bahwa:

15 Ibid.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 8: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

32

“Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia “mengerti”, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin ia bersatu dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya” (Franz Magnis Suseno, 1993:197).

Dengan kata lain kepekaan batin seseorang, diperlukan untuk mengukur tingkat

pemahaman diri manusia mengenai rasa.

Jroning kuran nggoning rasa jati, nanging pilih wong kang uningaa,

anjaba lawan tuduhe, nora kena binawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak

katalanjukan, temah sasar-susur, yen sira ayun waskita, kasampurnaning

badhanira puniki, sira anggeguruwa. (Pupuh Dhandhanggula; pada 3; halaman 3)

Kemudian pada bait ini dijelaskan bahwa rasa jati/rasa sejati terdapat dalam Al-

quran. Untuk dapat mengetahuinya dengan baik, pilihlah orang yang benar-benar

paham mengenai pengetahuan lahir dan batin, agar tercapainya kesempurnaan

hidup. Serat Wulangreh dalam hal ini Pakubuwana IV, memberikan Al-quran

guna untuk menemukan rasa sejati karena didalamnya terdapat berbagai macam

ajaran mengenai kehidupan. Dengan kata lain agar hidup manusia lebih terarah

dan mempunyai tujuan yang sesuai dengan petunjuknya (Al-quran).

Ing sabarang polah tingkah, ing pangucap tanapi wong alinggih, tan suka

sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan

ana kang madhanana, angrasa luhur pribadhi. (Pangkur; pada 12; halaman 7)

Pada data yang ketiga ini mengenai rasa, dijelaskan bahwa rasa yang terdapat

pada diri manusia menunjukkan sikap keangkuhannya. Hal itu dapat diketahui/

dilihat dari cara bertingkah lakunya dan segala macam ucapannya. Seperti yang

dikatakan oleh Wahyono, aja rumangsa bisa nanging bisaa rumangsa, hendaknya

manusia itu tidak sombong, tetapi selalu berendah diri andhap asor, lembah

manah, hendaknya manusia dapat merasa ngrumangsani bahwa ia hanyalah

makhluk kecil dihadapan Tuhan yang Maha Agung, hidupnya telah kinodrat,

ditentukan olehNya, oleh pandum, pasrah nanging kudu mawa setiyar, dan selalu

bersikap mensyukuri karunia Tuhan dengan selalu berusaha (2003:13). Jelaslah

bahwa, manusia hendaknya menjauhi sikap angkuh/sombong karena itu akan

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 9: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

33

membawa seseorang untuk berbuat atau terjerumus ke hal-hal yang bersifat

negatif.

Saking ibu rama margane udani, miwah maratuwa, lanang wadon den

bakteni, aweh rasa ingkang nyata. (Maskumambang; pada 13; halaman 8).

Udani menurut Bausastra ialah weroeh (Poerwadaminta,1939:435), yang dalam

bahasa Indonesianya “lihat”. Dijelaskan pada bait ini untuk menghormati orang

tua, hal ini diperkuat oleh Franz Magnis Suseno bahwa setiap orang dalam bicara

dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain,

sesuai dengan derajat dan kedudukannya (1984:60). Bait ini juga menerangkan

bahwa kedua orang tua yaitu bapak dan ibu sebagai sarana untuk memahami rasa,

dan juga terhadap mertua baik laki-laki mapun perempuan dihormati. Sikap

hormat kepada orang tua dalam “masyarakat Jawa”, diungkapkan melalui

penggunaan bahasa krama untuk berbicara. Pengertian mengenai rasa lain

mempunyai makna yang sama dijelaskan pada bait di bawahnya, terdapat pada.

Sadjatine rasa kang mencaraken wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur

tuwa ugi, milane sadulur tuwa. (maskumambang; pada 14; halaman 8-9).

Sama halnya dengan analisis bait di atasnya, bahwa untuk mendapatkan rasa yang

sejati, dengan cara menghormati atau ngajeni orang yang lebih tua dalam hal ini

saudara tua dilakukan sebagai sembah yang ketiga. Karena dijelaskan saudara tua

sebagai pengganti orang tua. Maksud dari sembah yang ketiga ialah dapat

diurutkan pertama sembah kepada orang tua, kedua kepada mertua (baik laki-laki

maupun perempuan), dan yang ketiga kepada saudara tua. Hal ini diperjelas pada

bait lanjutannya yang menerangkan saudara tua sebagai pengganti orang tua yaitu

sebagai berikut:

Pan sinembah gegentining rama ugi, pan sirnaning bapa, sadulur tuwa gumanti,

ingkang pantes sira tuta. (Maskumambang; pada 15; 9).

Jadi, melalui aspek rasa ini Pakubuwana IV menjelaskan kepada para generasi

muda untuk tidak membantah dan melawan orang tua.

Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya seya, nora kaya jaman

mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna-

batinipun, ing tyase datanpa ngrasa. (Asmaradana; pada 16; halaman 20).

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 10: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

34

Dijelaskan pada bait seperti pepatah pada bahasa Indonesia yaitu, manusia untuk

tidak lupa pada kulitnya, maksudnya apabila manusia telah mendapatkan

kekuasaan untuk tidak berprilaku seperti hewan yang serakah, seperti tidak

mempunyai akal dan perasaan. Diilustrasikan pada bait ini, yaitu pada sosok

pedagang yang selalu menghitung untung dan ruginya atau dengan kata lain, ingin

memperkaya dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang yang ada disekelilingnya.

Jadi apabila hal itu dibiarkan, akan dapat menimbulkan kehancuran tidak hanya

pada manusia itu sendiri melainkan juga kehancuran bangsa ini. Oleh karena itu,

Pakubuwana IV memberikan ajaran/wulang untuk menjadi manusia yang selalu

bersyukur dan menjaganya atas apapun yang diberikan oleh Tuhan.

Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang

ngrungokake, sinamur bari sembranan, emote yen nuruta, malah mundhak apitur,

pangrasane pan wus wignya. (Asmaradana; pada 20; halaman 21).

Bait menggambarkan tentang sikap dan perilaku anak muda pada zaman ini, yaitu

mereka sulit untuk dinasihati padahal mereka berbuat salah. Kalaupun mereka

mampu untuk melakukan sesuatu, mereka tetap sulit untuk diberi nasihat/

wejangan-wejangan. Mereka menganggap dirinya sudah mampu dan pandai untuk

mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidupnya, di sisi lain

mereka juga perlu diberi nasihat oleh orang yang sudah mampu memberikan

nasihat itu (dalam hal ini orang tua) agar hidupnya menjadi teratur dan tidak

sembrana. Ungkapan dalam bahasa Jawa yang mendukung permasalahan ini yaitu

aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa artinya janganlah merasa pandai,

namun pandai-pandailah merasa. Maksudnya yaitu manusia janganlah merasa

sombong dan angkuh akan kepandaian yang dimilikinya, tetapi pergunakanlah

kepandaian itu untuk hal-hal yang baik. Seperti yang disunting oleh Wahyono,

hendaknya manusia itu tidak sombong tetapi selalu rendah diri andhap asor,

lembah manah16 .

Pada bait ini masih saling berkaitan dengan bait di bawah ini yang terdapat pada,

Ingsun uga tan mangkana, balilu kan sun-alingi, kabisan sun-dokok

ngarsa, isin menek den arani, balilune ngluwihi, nanging temenipun cubluk

16 Makalah untuk Seminar tentang Rasa pada Program Studi Sastra Jawa FIB UI. 2003. hal 13.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 11: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

35

suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tan ngrasa prandene sugih

carita. (Sinom; pada 2; halaman 21).

Sama seperti penjelasan di atas, bahwa pada bait ini juga mengedepankan sikap

untuk tidak sombong. Dijelaskan bahwa manusia untuk menghindari sikap yang

merasa ingin pandai. Ditelisik secara lebih mendalam mengenai makna dari kata

“merasa” itu yaitu menganggap dirinya paling diantara yang lain. Dengan maksud

yaitu manusia seperti itu dapat dikategorikan angkuh dan sombong. Jadi untuk

dapat menjadi manusia sempurna yang sesuai dengan tujuan penelitian ini,

hendaknya manusia untuk dapat menghindari sikap-sikap seperti yang telah

dijelaskan di atas.

Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah,

wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore

ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada

20; halaman 23).

Pada penjelasan ini, Pakubuwana IV ingin menjelaskan mengenai sikap rendah

diri (andhap asor). Dalam ajaran rasa, sikap rendah diri dikedepankan yang

berguna untuk menghidari sikap-sikap negatif yang muncul dari dalam diri

manusia. Selain itu, juga perlu mempunyai rasa untuk mengalah dalam berbagai

hal. Karena dengan mengalah tidak akan ada perkelahian sehingga tercipta

kehidupan yang rukun. Prinsip dari rukun itu bertujuan untuk mempertahankan

masyarakat dalam keadaan yang harmonis, saling bekerja sama, dalam suasana

yang damai dan tenteram (Magnis Suseno,1984:39).

Jadi, dari beberapa bait yang telah dianalisis menurut aspek-aspek religiusitasnya

yaitu Rasa, dapat diberi simpulan bahwa rasa diperlukan manusia Jawa untuk

dapat mencapai hidup yang sempurna (kasampurnaning dumadi).

3.2.3 Laku

Laku merupakan kesadaran masyarakat Jawa untuk menuju ke kehidupan

yang sempurna (kasampurnaning dumadi). Untuk dapat menentukan jalan hidup

yang benar masyarakat Jawa menjalani laku. Laku dapat dipandang sebagai suatu

konsep, tradisi atau cara masyarakat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan

melalui berbagai sarana tertentu. Dengan menjalani laku manusia Jawa dapat

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 12: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

36

terlatih rohaninya, jiwanya, maupun batinnya sehingga hawa nafsu yang dimiliki

manusia dapat dikendalikan (Darmoko, 1996:16)17 .

Dalam kehidupan sehari-hari manusia berusaha menjaga lingkungannya,

bagaimana hubungannya dengan Tuhan, alam, dan sesamanya diusahakan agar

tetap serasi dan harmonis, sehingga terwujud situasi yang aman, tenteram, damai,

dan sejahtera18. Dalam menjalin hubungan manusia dengan Tuhan, manusia Jawa

menjalaninya melalui sarana laku. Sarana yang dimaksud yaitu ngelmu atau suatu

wulang untuk mencapai kepada kesempurnaan hidup yang sesuai dengan

ungkapan dalam bahasa Jawa ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Laku dapat dilakukan seseorang melalui berbagai macam cara, berbagai

macam tindakan maupun sikap yang dilakukannya dengan tujuan untuk dapat

mendekatkan diri kepada Tuhan. Tindakan yang dimaksud ialah tapa brata, tarak

brata, maupun lelana brata. Prinsip dari ketiganya ialah mengurangi makan,

minum, dan tidur, juga segala macam hawa nafsu seksualitas dapat

dikendalikan19.

Darmoko dalam Buku Ajar Mata Kuliah Religi Jawa (2007: 4)

mengatakan bahwa laku dapat dipandang pula sebagai keprihatinan/kepedihan

hati yang dirasakan oleh manusia, kemudian nglakoni yaitu berarti usaha

seseorang untuk mengolah batin/rasa dengan tujuan dan cara tertentu, seperti

puasa (ngrowot, mutih), ngebleng (melakukan laku dengan cara tidak makan dan

tidak minum di dalam ruang tertutup/dapat dikatakan hening selama kurun waktu

tertentu), pati geni (melakukan laku dengan cara tidak makan dan tidak minum di

dalam ruang tertutup dan gelap dalam kurun waktu tertentu), tarak brata

(menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian dan keramaian), tapa

brata (menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian dan keramaian),

dan lelana brata (menjalani laku dengan cara menjauhi keduniawian dan

keramaian dengan berkelana/ mengembara).

Kemudian di bawah ini akan dilakukan penganalisisan terhadap aspek

laku pada tiap baitnya, dapat ditemukan enam belas (16) bait yang membahas

mengenai laku yaitu sebagai berikut: 17 Laporan Penelitian tentang Rasa dalam Budaya Jawa. 18 Ibid.. 19 Ibid..

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 13: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

37

Dadiya lakunireku, cegah dahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan,

anganggowa sawatawis, ala wateke wong suka, nyuda prayitaning batin.

(Pupuh Kinanthi; pada 2; halaman 4).

Diterangkan bahwa teks tersebut mengingatkan kepada manusia untuk

mengurangi makan dan tidur yang dapat dijadikan sebagai laku, dan tidak

disarankan bersenang-senang atau menghamburkan uangnya untuk kegiatan yang

tidak bermanfaat. Makan dan tidur menurut Ciptoprawiro termasuk kedalam nafsu

aluamah (1986:26) Diperintahkan untuk segala sesuatunya itu dilakukan dengan

sederhana, dan tidak dilakukan secara berlebihan. Karena dampak yang akan

terjadi bila hal itu dilakukan ialah akan mengurangi kewaspadaan dan kehati-

hatian dalam batinnya.

Yen wus tinitah wong agung, jwa sira gumunggung diri, aja njelekken

wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngadjak-adjak, atemah anenulari.

(pupuh Kinanthi; pada 3; halaman 4).

Dapat diterangkan dan dianalisis pada bait ini, jika manusia telah mendapatkan

kedudukan dan kehormatan untuk tidak sombong, dan selalu waspada dalam

berteman dengan orang lain, karena apabila bertemu dengan teman yang tidak

baik maka secara tidak langsung akan terkena dampaknya. Laku yang dimaksud

pada bait ini yaitu untuk tidak mendekati orang yang mempunyai sifat buruk.

Sanadyan nora amilu, pasti wruh lakuning maling, kaja mangkono

sabarang, panggawe ala puniku, sok weruha gelis bisa, jeku panuntuning iblis.

(Pupuh Kinanthi; pada 6; halaman 4).

Masih berkaitan dengan bait di atasnya, untuk tidak mendekati dan menjauhi

orang yang mempunyai sifat buruk. Sifat buruk yang dimaksud pada bait ini ialah

maling/durjana, karena sifat tersebut merupakan tingkah laku iblis yang akan

menuntun atau membawa manusia ke dalam hal-hal yang negatif.

Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung

linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki.

(Pupuh Kinanthi; pada 7; halaman 4).

Aspek laku yang diterangkan pada bait ini, menjelaskan mengenai perbuatan yang

baik sangat sulit untuk dilakukan apabila belum melakukannya. Dengan semakin

sering melakukan perbuatan baik tersebut, maka akan terasa akan mudah untuk

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 14: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

38

menjalankannya. Dengan menjalankan laku yang baik akan dapat berguna bagi

diri setiap manusia.

Ingkang becik kojahipun, sira anggowa kang remit, ingkang ala

singgahana, aja niyat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa

puniki. (Pupuh Kinanthi; pada 12; halaman 5).

Dijelaskan dalam kehidupan sehari-hari ada beberapa sifat manusia yang berbeda

satu dengan yang lainnya. Ada yang sedikit bicara tapi banyak tindakan yang

dilakukannya, dan ada juga yang banyak bicara tetapi tidak ada tindakan yang

dilakukan. Oleh karena itu, bait ini memberikan ajaran untuk pandai dalam

memilih hal-hal yang pantas untuk dijadikan sebagai teladan dan pegangan bagi

hidup manusia, dicontohkan untuk dapat menerima berbagai macam nasihat yang

diberikan oleh orang lain baik itu yang benar maupun yang salah. Nasihat yang

yang benar dan baik dipergunakan, sedangkan yang buruk disimpan dan tidak

untuk dilakukan dalam hidup manusia. Aspek laku yang terkandung dalam hal ini

yaitu untuk melakukan segala macam perbuatan atau tindakan yang baik-baik dan

dapat berguna bagi manusia.

Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh

ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, den waskita solahing wong.

(Pupuh Gambuh; pada 9; halaman 6).

Manusia dalam menjalani hidupnya untuk tidak melakukan yang tiga sifat-sifat

yang dapat menggiring seseorang ke dalam pebuatan buruk, sifat yang dimaksud

yaitu adigang, adigung, dan adiguna. Adigang, adigung, adiguna ungkapan ini

berarti janganlah membanggakan keluhuran, kekuatan, dan kepandaian. Ketiga hal

tersebut merupakan suatu anugerah Tuhan yang hendaknya dijaga keberadaannya

dengan cara bijak, bukan lantas dijadikan sebagai alat untuk membanggakan diri

semata. Sifat adigang diilustrasikan sebagai mengandalkan kemampuan yang ada

dalam fisiknya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik, diumpamakan pada

hewan kijang yang mengandalkan kehebatan lompatannya, kemudian gajah yang

mengandalkan fisiknya yang besar, dan ular yang mengandalkan bisanya untuk

melumpuhkan lawan-lawannya. Adigung yaitu mengandalkan kekuasaannya

untuk melawan atau menindas orang kecil, sedangkan adiguna mengandalkan

kepandaian yang dimiliki untuk melakukan segala sesuatunya yang tidak baik.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 15: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

39

Pakubuwana IV mengiliustrasikan ketiganya tersebut, guna menjadi contoh dan

teladan bagi hidup manusia, untuk mempergunakan waktu sebaik-baiknya dengan

cara melakukan sesuatu yang dapat bermanfaat. Hal itu sejalan dengan ungkapan

bahasa Jawa yaitu urip iku mung mampir ngombe, jadi diibaratkan sungguh amat

singkat perjalanan hidup manusia di dunia ini seperti orang yang mampir hanya

untuk minum. Pergunakanlah waktu sebaik mungkin untuk dapat melakukan

sesuatu yang besar dan bermanfaat baik bagi diri manusia itu sendiri maupun

untuk orang lain. Laku yang dijelaskan pada bait ini, mengenai ajaran untuk

menghindari sifat-sifat tidak baik yang dapat merugikan manusia itu sendiri.

Pan wus wateking manusa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah

muna-munihipun, pan dadi penengeran, ingkang pinter kang bodho miwah kang

luhung, kang sugih lan kang malarat, tanapi manusa singgih. (Pangkur; Pada 5;

halaman 7).

Sudah menjadi watak dari manusia, ada yang baik dan yang buruk. Hal itu

dapat diketahui dari segala macam tindakan yang dilakukannya, misalnya dapat

diketahui dari cara berjalan maupun duduknya, kemudian dari geraknya juga

dapat menjadi tanda. Semua itu dapat menjadi tolok ukur guna untuk mengenal

karakter setiap manusia, baik itu yang kaya maupun yang miskin, dan yang pintar

dan bodoh. Hal ini dapat diperjelas lagi pada bait selanjutnya yang terdapat pada..

Tinitik ing solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku

panengeranipun, winawa ginraitan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen

amawas ing sujalma, dhatan amindho-gaweni. (Pangkur; pada 7; halaman 7).

Selain untuk dapat mengetahui baik-buruknya seseorang pada bait ini juga

menjelaskan, dapat juga diketahui melalui kata-katanya ketika berbicara. Hal ini

dapat menjadi tolok ukur karena kualitas seseorang dapat dilihat dari cara bertutur

katanya, apakah dapat dikategorikan baik atau buruk. Jadi aspek laku yang

diungkapkan pada bait ini yaitu mengenai untuk mengenal baik-buruknya

seseorang melalui cara berbicara maupun tindakan yang lainnya.

Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku

mangkono ugi, ing wekasanipun teka dadi ala. (Pucung; pada 19; halaman; 17)

Bait ini menerangkan bahwa tidak semua aktivitas laku yang dijalankan manusia

guna untuk mencapai anugerah Tuhan, mempunyai sifat yang baik maksudnya

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 16: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

40

yaitu apabila dalam melakukan laku diawali dengan niat yang buruk maka secara

tidak langsung laku itu akan berakhir dengan keburukan pula. Oleh karena itu,

agar laku dapat berakhir dengan kebaikan maka sebelum melakukannya diawali

dengan niat yang sungguh-sungguh di dalam hati guna untuk mendapatkan atau

mengharapkan anugerah dari Tuhan. Dalam menjalani laku manusia dituntut

untuk melakukannya dengan sebaik-baiknya, karena akan banyak godaan dan

cobaan yang datang untuk menguji kesungguhan manusia itu dalam menjalaninya.

Bahwa jelaslah bait ini menjelaskan mengenai niat yang baik sebelum menjalani

laku, agar dapat diperoleh hasil yang sempurna dan mencapai kasampurnaning

dumadi.

Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apan ta sakuwasane, nanging

aja tan linakwan, sapa tan nglakonana, tan wurung nemu bebendhu, mula padha

estokena. (Asmaradana; pada 3; halaman 19-20).

Bait ini menjelaskan tentang kewajiban manusia untuk melakukan rukun islam

yang berjumlah lima. Jelaslah bahwa laku yang dimaksud disini yaitu mengenai

anjuran untuk melakukan syariat agama yaitu lima rukun islam. Syariat tersebut

berupa ajaran-ajaran yang masih dalam tataran sembah raga. Menurut KBBI

syariat mempunyai arti sebagai hukum agama yang dinyatakan dengan perbuatan

(1996:1390). Kemudian bait ini juga menjelaskan apabila tidak melakukannya

akan mendapatkan siksa, akibat dari meninggalkan ajaran tersebut.

Sarta kawruhana batin, gantungana ing patrapan, darapon petel karyane,

dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya, jwa dumeh asih sireku, lamun leda

patrapana. (Asmaradana ; pada 11; halaman 20).

Bait ini menjelaskan tentang pengetahuan batin, yaitu untuk dilakukan dan

diterapkan dalam menjalani kegiatan apapun. Dalam bekerja agar melakukannya

dengan hati tidak dengan tindakan yang gegabah, yang akan berdampak pada

buruknya hasil pekerjaan itu. Manusia agar melakukan segala hal pekerjaan

dengan hati/batin selain agar memperleh hasil yang sempurna, dan juga agar giat

dalam bekerja. Gantungana ing patrapan, jadikanlah pedoman dalam

berprilaku/bertindak. Jwa dumeh asih sireku, dan jangan sombong selama dalam

penerapan dalam kehidupannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

manusia aja rumangsa bisa nanging aja bisaa rumangsa dan agar andhap asor,

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 17: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

41

lembah manah dalam kehidupan manusia. Jika dari yang telah dijelaskan dapat

diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia, maka manusia akan

selamat dan dapat mencapai kesempurnaan hidup dan juga agar senantiasa dapat

hidup rukun dan harmonis dengan manusia lain. Hidup rukun menurut F.Magnis

Suseno yaitu mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk

bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang

mungkin dapat menimbulkan perselihan dan keresahan (1984:39).

Poma aja na nglakoni, kaya pikir kang mangkana, satemah lingsem

dadine, den sami angestokena, mring pitutur kang arya, nora nacad alanipun,

wong nglakoni kabecikan. (Asmaradana; pada 19; halaman 21).

Poma aja na nglakoni, bait ini menegaskan untuk tidak melakukan hal-hal

yang buruk. Karena bila dilakukan akan dapat menjatuhkan diri sendiri, yang

dengan maksud dapat memalukan diri manusia itu sendiri. Manusia hidup ini agar

mring pitutur kang arya, memperhatikan dan mendengarkan nasihat yang baik

supaya hidup menjadi sempurna. Hidup yang sempurna menurut aspek laku ini

yaitu manusia dapat mengendalikan segala bentuk hawa nafsu yang ada pada diri

manusia sehingga akan dapat memberikan kesadaran dan pemahaman terhadap

hakekat asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Dengan

demikian, apabila manusia telah dapat memahami maka manusia akan takut dalam

melakukan tindakan-tindakan yang buruk sifatnya, sehingga akan terccapai

kesempurnaan hidup itu.

Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab,

pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan

endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula.

(Sinom; pada 19; halaman 23).

Tapane nganggo alingan, maksud dari bait tersebut ialah salah satu

tindakab dari laku yaitu tapa. Tetapi dalam hal ini dalam melakukan tapa

dilakukan dengan pura-pura sehingga berlaku seperti tani. Laku yang dimaksud pa

da hal ini ialah tapa yang dilakukan berlaku seperti tani dan dilakukan agar tidak

terlihat serta diketahui oleh orang banyak, tetapi tetap tidak bersikap sombong dan

angkuh. Hakekat dari tapa dari bait ini yaitu untuk mencapai anugerah Tuhan

yang berupa wahyu, wahyu yang dimaksud ialah wahyu Keraton Jawa. Menurut

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 18: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

42

Sunoto Wahyu Keraton akan dapat dicapai melalui perjuangan yang ulet dan

tekun, sehingga apabila manusia telah mendapatkan wahyu Keraton maka akan

dapat mengatasi segala rintangan yang dihadapi (1987:29).

Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah,

wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore

ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada

20; halaman 23).

Laku utama, maksud yang tercantum pada kata tersebut ialah manusia

dalam menjalankan lakunya tidak menunjukkan kesombongannya, rahasia yang

dimiliki tidak diberitahukan kepada orang lain, serta dalam hidupnya selalu

mengalah dan tidak mau menang sendiri. Hal itu dapat dipergunakan sebagai

teladan hidup manusia dalam menjalani segala macam bentuk kehidupan.

Pakubuwana IV juga meberikan nasihat yang terdapat pada bait ini, untuk tidak

meninggalkan ajaran laku tersebut.

Miwah lelakone padha, kang para wali sadaya, kang pada antuk

nugraha/, angsale saking punapa, miwah kang para satriya, kang digdaya ing

ayuda, lakune sira tiruwa, lelabetan kang utama. (Girisa; pada 10; halaman 25).

Maksud dari aspek laku yang dimaksudkan pada bait ini ialah lebih

ditekankan pada perjuangan yang dilakukan oleh para wali-wali dan para satria

demi untuk mencapai yang menjadi dari tujuan masing-masing. Dijelaskan bahwa

para wali berjuangan dalam menyebarkan agama islam ke seluruh umatnya

dengan tujuan untuk mendapatkan pahala20. Kemudian para satria yang

berjuangan dengan tangguh di dalam peperangan21. Dengan demikian, bait ini

menegaskan kepada para generasi penerus untuk mengikuti perjuangan seperti

yang telah dijelaskan di atas,dan supaya dapat menjadi tauladan bagi kehidupan

manusia (generasi penerus). Dalam hal ini laku yang dimaksud lebih pada

perjuangan untuk mencapai kesempurnaan.

20 Pahala menurut KBBI ialah buah, hasil, dalam hal ini ganjaran bagi yang berbuat amal kebaikan di jalan Tuhan (1996:976). 21 Peperangan ialah pertempuran, perkelahian antara dua kelompok dengan mempergunakan senjata (Ibid.,1038).

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 19: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

43

Nora susah amirungga, mungguh lakuning satriya, carita kabeh pan ana,

kang nista lan kang utama, kang asor kang luhur pada, miwah lakuning nagara,

pan kabeh ana carita, ala becik sira wruha, (Girisa; pada 11; halaman 25-26).

Makna pada bait ini sebetulnya merupakan sebuah kiasan untuk dapat

menunjukkan bahwa dalam menjalani laku hendaknya seperti seorang satria yang

sedang berjuang. Laku membutuhkan perjuangan dalam mencapai pada

kesempurnaan hidup.

Jadi, setelah menganalisis dari berbagai cerita mengenai aspek laku dapat

diperoleh kesimpulan, bahwa manusia dalam menjalani laku mempunyai tujuan

untuk mencapai kesempurnaan hidup (kasampurnaniong dumadi) dan untuk dapat

menghayati hakekat dan pemahaman tentang asal dan tujuan manusia hidup di

dunia ini (sangkan paranng dumadi). Secara umum laku dapat dipandang sebagai

kesadaran akan jalan ketuhanan, jadi segala macam tindakan manusia dalam laku

ini untuk memcapai dan memperoleh anugerah Tuhan. Dengan demikian, manusia

haruslah prihatin dalam menjalani segala macam cobaan yang dialami, dan harus

tangguh dan kuat seperti yang diibaratkan oleh para satri yang berjuang dalam

peperangan. Tidak hanya itu, dalam proses pencapaian kepada kesempurnaan

hidup, manusia untuk mempunyai ilmu/ngelmu sebagai pengetahuan akan tentang

kehidupan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan pada buku mengenai LAKU,

yang terdapat pada ungkapan bahasa Jawa yaitu ngelmu iku kalakone kanthi laku

(ilmu atau pengetahuan dapat dipraktekkan, diterapkan, bila ditindaklanjuti secara

lahir dan batin).

3.2.4 Tapa

Menurut Poerwadaminta tapa berarti – brata, nglakoni mati raga sarta

soemingkir saka ing alam rame (1939:592). Pengertian dalam bahasa

Indonesianya yaitu menjalankan mati raga atau pengheningan serta menyingkir

dan menjauhkan diri dari keramaian di dunia. Menurut Darmoko, bagi masyarakat

Jawa tapa merupakan sarana/jalan untuk menggapai anugerah Tuhan (wahyu) dan

dalam misi memayu hayuning bawana (menjaga dan melangsungkan alam

semesta, agar terhindar dari kerusakan dan bahaya) (2007:5). Wahyu merupakan

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 20: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

44

petuntuk yang datang dari Tuhan dan diberikan kepada manusia yang telah

terpilih dan terpecaya (jalma pinilih pinracaya). Wahyu/pulung tersebut dapat

diterima oleh seseorang jika telah melakukan tapa brata dengan oerjuangan yang

hebat. Dalam buku Kebudayaan Jawa koentjaraningrat (1994:372) memaparkan

tentang berbagai cara dalam menjalankan tapa yaitu sebagai berikut :

1. Tapa ngalong22, yaitu melakukan tapa dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.

2. Tapa ngluwat, yaitu bertapa di samping makam (makam nenek moyang atau orang keramat) untuk suatu jangka waktu tertentu.

3. Tapa bisu, yaitu bertapa dengan cara menahan diri untuk tidak berbicara. Cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.

4. Tapa bolot, yaitu bertapa dengan tidak mandi dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.

5. Tapa ngramban, yaitu bertapa dengan cara menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan.

6. Tapa ngidang, bertapa dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan. 7. Tapa ngambang, bertapa dengan cara merendam diri di tengah sungai

selama beberapa waktu yang sudah ditentukan. 8. Tapa ngeli, yaitu cara bertapa dengan cara membiarkan diri dihanyutkan

arus air di atas sebuah rakit. 9. Tapa tilem, bertapa dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu

tanpa makan apa-apa. 10. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk-pauk dan 11. Tapa mangan, dilakukan dengan cara tidak tidur , tetapi boleh makan.

Menurut Sunoto (1987: 36) seseorang akan mendapatkan wahyu/ pulung

setelah melakukan tapa brata dan melalui perjuanagan yang hebat. Diceritakan

dalam lakon wahyu cakraningrat bahwa:

Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa wahyu kraton itu diperebutkan oleh berbagai ksatria yaitu Putra Raja Hastina yaitu Leksmana Mandra Kumara, Putra Raja Dwarawati yaitu Samba dan Putra R. Harjuna yaitu Angkawijaya. Mereka semua bertapa dan meminta karunia Dewa menurut cara masing-masing dan semuanya itu dilakukan dengan penuh ketekunan. Wahyu Cakraningrat mula-mula memasuki tubuh Leksmana Mandra Kumara. Kemudian ia lupa karena harus mampu menahan dalam mengatasi godaan serta ujian. Atas kelengahannya itu ia tidak mampu mengatasi godaan, sehingga Wahyu Cakraningrat keluar dati dalam tubuhnya dan hilanglah untuk menurunkan raja yang dapat memerintah Tanah Jawa. Selanjutnya Wahyu Cakraningrat mendatangi R. Samba dan masuk ke dalam tubuhnya. Sama halnya dengan Leksmana Mandra Kumara juga tidak mampu mengatasi ujian berupa godaan yang dilakukan oleh wanita. Ia lupa pesan akan dapat mengatasi godaan tersebut. Kemudian Wahyu Cakraningrat itu, jatuh

22 Istilah ngalong berasal dari kata kalong. Jadi ngalong berarti bergantung seperti hewan kalong (=kelelawar).

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 21: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

45

kepada R. Angkawijaya seorang satria yang memang tekun bertapa dan membersihkan dirinya dari segala godaan dan cobaan. Wahyu Cakraningrat kemudian memasuki tubuh R. Angkawijaya dan sesaat kemudian godaan dating berupa seorang wanita yang sangat cantik. Dengan penuh cara wanita tersebut menggodan satria dan dengan tenang dan tabah pula sang satria menolak godaan tersebut. Akhirnya luluslah R. Angkawijaya dari ujian-ujian itu dan berhasil memperoleh wahyu Cakraningrat atau wahyu kraton yang mempnyai arti bahwa kelak ia akan mampu menurunkan raja-raja di atanah jawa.

Selanjutnya terdapat cerita dalam babad mengenai tapa, Babad Tanah Jawi

yaitu Jaka Tingkir yang bertapa atas rakit (dijaga oleh bajul 40 ekor) ketika

mengadakan perjalanan ke Banyubiri tiba-tiba wahyu/pulung kraton berupa caha

yang memancar (tidak menyilaukan) berada tepat di atas Jaka Tingkir dan masuk

ke dalam tubuhnya. Ki Ageng Banyubiru mengatakan bahwa wahyu/pulung krton

telah berpindah dari Sultan Trenggana kepada Jaka Tingkir. Selain itu, terdapat

juga dalam lakon wayang yaitu lakon wahyu Pncadarma, dikisahkan ketika

Yudhistira bertapa ke hutan Kandhawawakstra (hutan Kamiaka) kemudian

mendapat wahyu darma/pancadarma yang berisi tentang ajaran keutamaan sikap

dan perilaku dalam kehidupan di dunia dari Batara Darma. Terdapat juga lakon

Wahyu Makutharama yang berisi ajaran tentang keutamaan kepemimpinan

(keteladanan 8 sifat/watak alam/Dewa) (Darmoko, 2007:5).

Dengan demikian, walaupun terdapat berbagai macam cara tapa tetapi tujuan

tetap sama yaitu, untuk mencapai anugerah Tuhan sehinngga dapat memperoleh

yang dinamakan wahyu dan juga untuk menjaga serta melestarikan alam semesta

(memayu hayuning bawana).

Selanjutnya peneliti akan melakukan analisis terhadap aspek tapa yang terdapat

dalam Serat Wulangreh, dapat ditemukan dua aspek yang membahas mengenai

tapa yaitu sebagai berikut:

Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manusa kang nyata, ingkang

becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ‘ibadah lan kang wira’I, sokur

oleh wong tapa, iya kang wus mungkul, tan mikir pawewehing lyan, iku pantes

yen den guronana kaki, sartane kawruhira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 4;

halaman 3).

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 22: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

46

Sebelumnya pada bait ini berhubungan dengan yang sebelumnya terdapat

pada (dhandhanggula;bait 3:3) yang dapat dijelaskan, jika ingin berguru dalam hal

ini belajar untuk mengenal rasa sejati yang terdapat di dalam al-quran, maka untuk

memilih manusia yang baik dan yang luhur derajatnya. Kemudian juga mengerti

akan hukum, maksudnya yaitu mengerti akan hukum-hukum yang terdapat dalam

alquran. Kemudian juga tidak kalah pentingnya yaitu untuk memilih orang yang

tekun dan rajin dalam melaksanakan ibadah, baik itu shalat maupun ibadah yang

lainnya. Lebih bagus lagi apabila mendapatkan orang yang tapa, yaitu orang yang

telah takwa dan tawakal di jalan Tuhan serta tidak mengharapkan pemberian dan

balas jasa orang lain. Hal tersebut pantas untuk berguru/belajar dan diserap ilmu

pengetahuannya. Makna tapa yang terkandung dalam bait ini ialah orang yang

beriman dan bertakwa serta bertawakal di hadapan Tuhan.

Kemudian, aspek yang kedua yaitu,

Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab,

pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan

endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula.

(Sinom; pada 19; halaman 23).

Tapa yang dimaksud pada bait ini yaitu menjelaskan tentang, tapa yang

dilakukan dengan cara disembuyikan dan berpura-pura bertingkah laku seperti

tani, dan menghindari sifat sombong serta angkuh. Tujuan dari dilakukannya tapa

itu yaitu untuk mendapatkan wahyu Keraton Jawa. Wahyu Keraton menurut

Sunoto yaitu wahyu yang proses pencapaiannya dilakukan secara tekun dan ulet

dan banyak rintangan yang dihadapi, seperti yang dapat dicontohkan pada bait ini.

Jadi, setelah melakukan analisis terhadap tapa ini dapat diberikan

simpulan bahwa, dilakukannya tapa melalui berbagai macam cara dan tindakan

yaitu guna untuk mendapatkan kehadirat Tuhan/anugerah Tuhan. Bentuk

anugerah Tuhan yang telah dijelaskan di atas yaitu berupa wahyu. Wahyu ini

merupakan ajaran atau petunjuk yang datangnya dari Tuhan dan diberikan kepada

manusia yang telah terpilih dan terpecaya (jalma pinilih pinracaya). Wahyu ini

dapat dipergunakan oleh manusia untuk dapat mengatasi segala rintangan maupun

persoalan yang dihadapi dan dapat dipergunakan untuk mencapai kepada

kesempurnaan hidup (kasampurnaning dumadi).

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 23: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

47

3.2.5 Simpulan

Dalam simpulan peneliti memberikan tabel dengan tujuan, agar mudah

dalam memahami hasil dari proses analisis data. Tabel tersebut yaitu sebagai

berikut:

No Klasifikasi data Deskripsi data Analisis data

I

1

Sasmita

Pamedharing wasitaning ati, cumanthaka aniru pujangga, dahat mudha ing batine, nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, paksa ngrum-rum pustaka, basa kang kalantur, tutur kang katular-tular, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padhanging sasmita. (Pupuh Dhandhanggula; pada 1; halaman 3)

Penyampaian isi

hati yang paling

dalam, seseorang

yang merasa

congkak meniru

sebagai pujangga,

dia (Pakubuwana

IV) juga bangga

karena mampu

untuk membuat

karya sastra, namun

demikian banyak

yang mencibir

tetapi selain itu

juga tetap harus

membuat karya

yang dapat

membuat popular.

Karya tersebut

disebarluaskan

secara terus

menerus berupa

nasihat yang

Sasmita berarti tanda-

tanda dalam

kehidupan manusia.

Tanda tersebut

merupakan

pengetahuan yang

akan dicapai oleh

seseorang dan

diusahakan agar

senantiasa menjadi

terang atau mudah

dimengerti.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 24: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

48

disampaikan

kepada orang lain

dengan penuh

ketelatenan, rendah

hati, dan perlahan

agar tanda-tanda

kehidupan menjadi

terang.

2 Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)

Bait ini menceritakan tentang tanda atau gejala dalam kehidupan ini akan terasa sulit dan membingungkan jika tidak diterapkan dalam kehidupan. Tanda tersebut diterapkan untuk dapat mengetahui rasa yang sejati yang berada dalam batin atau kalbu, dan selalu mengupayakan kesempurnaan dalam kehidupan kita masing-masing.

Sasmita bait ini berarti

tanda, yaitu tanda

yang datang dari

Tuhan agar untuk

dapat dimengerti dan

dipahami dan

berkaitan dengan rasa

sejati dalam

mengupayakan

kesempurnaan diri.

3 Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kesti, pesunen sariranira, sudanen dahar lan guling. (Pupuh Kinanthi; pada

Untuk dapat

memahami suatu

tanda dapat

diperoleh dengan

cara selalu melatih

Sasmita bait ini

menunjuk pada kata

tanda, yaitu agar

manusia dapat

mengerti tanda yang

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 25: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

49

1; halaman 4)

atau mengasah

setiap kalbumu dan

mengurangi

aktivitas makan dan

tidur.

diberikan oleh Tuhan

untuk melakukan laku

dengan cara

mengurangi makan

dan tidur sehingga

akan muncul sifat

kaprawiran yaitu sifat

yang berani, berbudi,

dan pandai.

II

1

Rasa

Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)

Kata Rasa pada bait

ini menunjuk arti

kata rasa yang

sejati, yaitu suatu

perasaan yang telah

mencapai suatu

tahap keutamaan

dengan cara

memahami tanda-

tanda yang terdapat

dalam kehidupan

ini dan agar

mencapai

kesempurnaan.

Rasa yang dimaksud

bait ini yaitu rasa

sejati yang terdapat

dalam diri manusia

apabila telah mencapai

tingkatan makrifat

(sembah rasa) agar

tercapai kesempurnaan

diri.

2 Jroning kuran nggoning rasa jati, nanging pilih wong kang uningaa, anjaba lawan tuduhe, nora kena binawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak katalanjukan, temah

Rasa bait ini

mempunyai arti

sama dengan yang

diatas yaitu rasa jati

atau rasa yang

Rasa bait ini

menunjuk pada rasa

sejati yang terdapat

dalam al-quran

sebagai petunjuk dan

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 26: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

50

sasar-susur, yen sira ayun waskita, kasampurnaning badhanira puniki, sira anggeguruwa. (Pupuh Dhandhanggula; pada 3; halaman 3)

sejati. Dijelaskan

bahwa “rasa sejati”

terdapat dalam al-

quran yaitu untuk

mengertahuinya

dan mengerti ajaran

di dalamnya, perlu

dipilih orang yang

benar-benar

mengerti

pengetahuan lahir

dan batin. Agar

tidak terjerumus

serta bingung.

pedoman bagi

manusia.

3 Ing sabarang polah tingkah, ing pangucap tanapi wong alinggih, tan suka sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan ana kang madhanana, angrasa luhur pribadhi. (Pangkur; pada 12; halaman 7)

Kata Rasa ini

menceritakan

mengenai rasa diri,

yaitu rasa dimana

manusia tidak

boleh diungguli

atau direndahkan

dan tidak ada yang

dapat mampu

menandinginya.

Rasa yang dimaksud

yaitu rasa

kesombongan yang

terdapat dalam diri

manusia, merasa

dirinya pling unggul

diantara yang lain.

4 Saking ibu rama margane udhani, miwah maratuwa, lanang wadon den bakteni, aweh rasa ingkang nyata. (Maskumambang; pada 13; halaman 8)

Kata Rasa bait ini

menceritakan

mengenai rasa yang

nyata atau rasa

yang sejati, yaitu

diperoleh dari

orang-orang yang

kita hormati

Rasa disini dapat

diartikan sebagai rasa

yag sejati didapatkan

dengan cara berbakti

kepada orang tua

maupun kepada

mertua kita baik yang

laki-laki atau

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 27: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

51

diantaranya ayah

ibu, mertua baik

yang laki-laki

maupun yang

perempuan

perempuan.

5 Sadjatine rasa kang mencaraken wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa. (maskumambang; pada 14; halaman 8-9)

Kata Rasa bait ini

menceritakan

mengenai rasa yang

memancarkan

benih, yaitu dengan

maksud

menghormati dan

menaati saudara-

saudara tua atau

sesepuh, karena

nantinya saudara

tua akan manjadi

pengganti orang tua

kita

Rasa yang terkandung

dalam bait ini

mempunyai makna

yaitu rasa sejati

didapatkan dengan

cara menghormati

saudara tua , karena

sebagai pengganti

orang tua.

6 Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya seya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna-batinipun, ing tyase datanpa ngrasa. (Asmaradana; pada 16; halaman 20)

Kata Rasa bait ini

menunjuk pada

pengertian

mengenai rasa

untuk menjadi

murid yang sejati,

yaitu tidak

dilakukan dengan

cara yang tidak

baik seperti

mempunyai sifat

yang sombong dan

congkak.

Rasa yang dimaksud

yaitu rasa untuk tidak

sombong apabila telah

mendapatkan

kedudukan atau

jabatan dalam

kehidupan

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 28: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

52

7 Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembranan, emote yen nuruta, malah mundhak apitur, pangrasane pan wus wignya. (Asmaradana; pada 20; halaman 21)

Rasa dapat

diartikan sebagai

rasa yang sombong,

karena diceritakan

khususnya pada

anak muda

sekarang ini jika

dinasihati tidak

mau ada yang

mendengarkan dan

berlaku semaunya

bahkan merasa

dirinya sudah

pandai dan mampu.

Rasa mempunyai

makna sebagai rasa

sombong khusunya

kepada generasi muda

karena merasa sudah

mampu dan pandai

menghadapi

kehidupan ini.

8 Ingsun uga tan mangkana, balilu kan sun-alingi, kabisan sun-dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune ngluwihi, nanging temenipun cubluk suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tan ngrasa prandene sugih carita. (Sinom; pada 2; halaman 21)

Rasa mengandung

pengertian yaitu

menganggap

dirinya pandai dan

banyak bercerita,

sesungguhnya hal

seperti itu memang

bodoh karena

hanya ingin dirinya

dihargai.

Rasa yang dimaksud

yaitu rasa yang ingin

dirinya disanjung oleh

orang lain.

9 Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada 20; halaman 23)

Dan aspek-aspek

religi terakhir pada

kata Rasa

mengandung

pengertian rasa

yang dilakukan

dengan tujuan

untuk sebuah

Rasa dilakukan untuk

sebuah tujuan akhir

yaitu kesempurnaan

hidup.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 29: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

53

pencapaian

(kesempurnaan)

dengan berbuat

rendah diri yaitu

dengan mengalah,

rahasianya ditutupi,

dan segala tingkah

lakunya baik untuk

ditiru.

III

1

Laku

Dadiya lakunireku, cegah dahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala wateke wong suka, nyuda prayitaning batin. (Pupuh Kinanthi; pada 2; halaman 4)

Laku dapat

dilakukan dengan

cara mengurangi

nafsu makan dan

tidur, kemudian

janganlah terlalu

banyak bersenang-

senang, bersikaplah

prihatin dalam

hidup ini, karena

jika akan

menggiring

seseorang untuk

berprilku kurang

prayitna, yaitu

kurang waspada

dan kurang hati-

hati dalam

berprilaku.

Laku berarti cara

untuk mengekang

hawa nafsu. Hal ini

dapat dilakukan

dengan cara

mengurangi makan

dan tidur, serta

bertindak dengan

penuh hati-hati dalam

kehidupan.

2 Yen wus tinitah wong agung, jwa sira gumunggung diri, aja njelekken wong ala, kang ala lakunireki,

Apabila seseorang

telah menjadi orang

terhormat,

Laku berarti suatu

tindakan untuk

menjauhi hal-hal yang

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 30: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

54

nora wurung ngadjak-adjak, atemah anenulari. (pupuh Kinanthi; pada 3; halaman 4)

janganlah menjadi

“gila hormat”, dan

jangan kemudian

berteman dengan

orang jahat karena

orang tersebut akan

mempengaruhi

untuk berbuat

buruk.

buruk.

3 Sanadyan nora amilu, pasti wruh lakuning maling, kaja mangkono sabarang, panggawe ala puniku, sok weruha gelis bisa, jeku panuntuning iblis. (Pupuh Kinanthi; pada 6; halaman 4)

Walaupun

seseorang tidak

mengikuti jejak

maling, akan tetapi

pasti mengetahui

tindakan apa yang

dilakukannya.

Perbuatan buruk itu

akan menggiring

seseorang untuk

dekat dengan

tingkah laku

iblis/setan.

Laku disini berarti

tindakan untuk

menjauhi perbuatan

buruk yang akan

berdampak buruk bagi

siapa saja yang

melakukannya.

4 Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki. (Pupuh Kinanthi; pada

7; halaman 4)

Suatu perbuatan

baik terasa sulit

untuk dijangkau

oleh seseorang, jika

belum dilakukan

dan diterapkan

dalam

kehidupannya. Hal

ini dapat

ditekankan, agar

Laku di sini berarti

manusia untuk

melakukan dan

melaksanakan

perbuatan baik di

dalam kehidupannya.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 31: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

55

senantiasa

dilaksanakan

karena akan

berguna dan

mempunyai faedah

bagi diri manusia.

5 Ingkang becik kojahipun, sira anggowa kang remit, ingkang ala singgahana, aja niyat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki. (Pupuh Kinanthi; pada 12; halaman 5)

Manusia diberi akal

oleh Tuhan untuk

dapat memilih yang

bermanfaat bagi

dirinya. Seperti

yang dijelaskan

pada bait ini untuk

menyaring segala

nasihat baik yang

buruk maupun yang

bagus, dan agar

senantiasa selalu

berhati-hati dalam

bertindak di

kehidupan ini.

Laku berarti

kemampuan seseorang

untuk dapat memilah-

milah mana yang

terbaik dan bermanfaat

bagi dirinya di dalam

kehidupan.

6 Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, den waskita solahing wong. (Pupuh Gambuh; pada

9; halaman 6)

Manusia dalam

menjalani

kehidupannya, agar

dapat menghindari

sifat dari adigang,

adigung, dan

adiguna karena

akan membawa

manusia ke dalam

sikap yang buruk.

Manusia dalam

Laku berarti usaha

seseorang untuk dapat

meninggalkan sifat

buruk, yang akan

membuat manusia

menjadi hina baik di

hadapan manusia yang

lain maupn di hadapan

Tuhan.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 32: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

56

bertindak di

kehidupan ini untuk

bersikap waspada

dan penuh dengan

kehati-hatian.

7 Pan wus wateking manusa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna-munihipun, pan dadi penengeran, ingkang pinter kang bodho miwah kang luhung, kang sugih lan kang malarat, tanapi manusa singgih. (Pangkur; Pada 5; halaman 7)

Sudah menjadi

watak dari manusia,

apabila ingin

mengetahui sikap

dan perilaku yang

terdapat pada diri

seseorang yaitu

dapat diketahui dari

cara bicaranya

maupun jalannya

karena hal itu sudah

menjadi tolok ukur

bagi setiap

manusia.

Laku berarti sikap dan

cara berjalan manusia

dalam melakukan

aktivitasnya, untuk

dapat mengetahui

watak dari setiap

manusia. Apakah baik

atau buruk.

8. Tinitik ing solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku panengeranipun, winawa ginraitan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujalma, dhatan amindho-gaweni. (Pangkur; pada 7; halaman 7)

Selain untuk dapat

mengetahui watak

dari manusia dari

cara berjalan dan

duduknya, juga

dapat dipahami

melalui kata-

katanya, sikap

berjalan, dan

duduknya. Hal itu

dilakukan pada

orang-orang masa

lalu apabila dalam

Laku berarti

kemampuan manusia

untuk mengetahui baik

atau buruk watak dari

orang lain.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 33: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

57

memahami

seseorang.

9 Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono ugi, ing wekasanipun teka dadi ala. (Pucung; pada 19; halaman; 17)

Orang dalam

menjalani laku

pada awalnya ada

yang berakhir

dengan kebaikan,

tetapi ada pula yang

berakhir dengan

keburukan.

Laku berarti usaha

seseorang dalam

menjalani/melakukan

aktivitas pendekatan

diri kepada Tuhan ada

yang berakhir dengan

kebaikan dan

keburukan.

10 Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apan ta sakuwasane, nanging aja tan linakwan, sapa tan nglakonana, tan wurung nemu bebendu, mula padha estokena. (Asmaradana; pada 3; halaman 19-20)

Dalam kehidupan

ini, manusia

diperintahkan

untuk melakukan

rukun (islam) yang

berjumlah lima.

Dijelaskan bahwa

siapa yang tidak

melaksanakan,

maka akan

menrima

ganjarannya yaitu

siksa.

Laku di sini berarti

usaha seseorang dalam

melakukan perintah

Tuhan, dalam

melaksanakan rukun

(islam) yang lima itu.

11 Sarta kawruhana batin, gantungana ing patrapan, darapon petel karyane, dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya, jwa dumeh asih sireku, lamun leda patrapana. (Asmaradana ; pada 11; halaman 20)

Manusia

diperintahkan

untuk mengenali

batin yang terdapat

dalam diri manusia.

Hal itu dilakukan

agar dalam

beprilaku/bertindak

di kehidupan ini

Laku berarti manusia

disarankan untuk

melakukan pengenalan

terhadap batin, karena

hal itu dapat dilakukan

berprilaku maupun

bertindak.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 34: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

58

tidak gegabah serta

juga agar tidak

sombong. Oleh

karena itu, supaya

manusia

menerapkan di

dalam

kehidupannya agar

tercapai kehidupan

yang sempurna.

12 Poma aja na nglakoni, kaya pikir kang mangkana, satemah lingsem dadine, den sami angestokena, mring pitutur kang arya, nora nacad alanipun, wong nglakoni kabecikan. (Asmaradana; pada 19; halaman 21)

Dalam menjalani

kehidupan ini,

manusia

diperintahkan

untuk tidak

melakukan

perbuatan yang

buruk karena akan

membuat malu

dirinya sendiri, dan

agar melakukan

perbuatan yang

baik.

Laku berarti perintah

manusia untuk

meninggalkan dan

tidak melakukan

perbuatan yang buruk

di dalam kehidupanya.

13 Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab, pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula. (Sinom; pada 19; halaman 23)

Tapa yang tidak

lain merupakan

salah satu dari

tindakan laku,

dilakukan agar

dekat dengan

Tuhan untuk

memperoleh

kesempurnaan.

Laku berarti usaha

seseorang dalam

melakukan tapa, untuk

tidak melakukannya

dengan kebohongan.

Agar inti dari laku

dapat tercapai yaitu

kesempurnaan.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 35: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

59

Dalam bait ini, tapa

yang dilakukan

dengan sungguh-

sungguh, dengan

cara berpura-pura

agar tidak diketahui

oleh orang lain dan

agar tidak

dikatakan sombong

dan angkuh, serta

mempunyai tujuan

untuk

mendapatkan

wahyu keraton.

14 Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada 20; halaman 23)

Seseorang dalam

menjalani

kehidupannya

senantiasa untuk

berprilaku yang

baik, salah satunya

dengan cara rendah

hati, dan hal ini

dapat dijadikan

sebagai pedoman

dalam berprilaku.

Laku di sini

mempunyai makna

ialah laku yang utama,

yaitu bertindak dengan

kehati-hatian dan

waspada.

15 Miwah lelakone padha, kang para wali sadaya, kang pada antuk nugraha, angsale saking punapa, miwah kang para satriya, kang digdaya ing ayuda, lakune sira tiruwa, lelabetan kang utama. (Girisa; pada 10; halaman 25)

Diceritakan

mengenai

perjalanan para

wali dalam

mendapatkan

pahala, dengan cara

mensyiarkan

Laku berarti untuk

mencontoh dan

meneladani sikap dari

para wali dalam

mendapatkan sesuatu

yang dicapai yaitu

pahala.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 36: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

60

agama. Hal itu

dapat dijadikan

tauladan dalam

menjalani

kehidupan ini.

16 Nora susah amirungga, mungguh lakuning satriya, carita kabeh pan ana, kang nista lan kang utama, kang asor kang luhur pada, miwah lakuning nagara, pan kabeh ana carita, ala becik sira wruha, (Girisa; pada 11; halaman 25-26)

Sikap para satria

yang menunjukkan

keberanian dalam

berperang, untuk

dapat diketahui dan

dipahami agar

dapat berimbas

dalam kehidupan

manusia yaitu

usaha untuk meraih

sesuatu perlu

dengan

pengorbanan dan

perjuangan yang

tidak ringan.

Laku berarti

perjuangan para satria

yang pemberani dalam

berperang (dalam

perjalanan negeri)

melawan keangkara

murkaan demi untuk

menegakkan

kebenaran.

IV

1

Tapa

Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manusa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ‘ibadah lan kang wira’I, sokur oleh wong tapa, iya kang wus mungkul, tan mikir pawewehing lyan, iku pantes yen den guronana kaki, sartane kawruhira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 4; halaman 3)

Jika ingin berguru

pilihlah orang yang

benar, dalam arti

mempunyai

martabat yang baik,

serta mengerti akan

peraturan (hukum)

dan hal yang paling

penting yaitu orang

yang rajin dalam

beribadah apalagi

Tapa berarti orang

(pertapa) yang tidak

memikirkan

pemberian dari orang

lain, dan hal ini dapat

dijadikan sebagai guru

untuk menggapai

pengetahuan.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009

Page 37: BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM …digilib.ui.ac.id/file?file=digital/123467-RB02D161a-Aspek-aspek...Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ... dijalani

Universitas Indonesia

61

seorang yang

pertapa yang

senantiasa akan

selalu tidak

memikirkan

pemberian orang

lain (rila).

2 Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab, pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula. (Sinom; pada 19; halaman 23)

Tapa yang dengan pura-pura, maksudnya yaitu tidak diketahui oleh orang lain. Hal ini dilakukan untuk agar mendapatkan wahyu kerajaan Jawa (keraton). Sikap sombong dan angkuh, serta congkak dihindari dalam bertindak di kehidupan ini.

Tapa berarti dilakukan

seseorang agar tidak

diketahui oleh orang

lain. Hal ini

dimaksudkan untuk

menghindari sikap

sombong dan

congkak, serta

melakukannya dengan

penuh kerendah hatian

dan bersikap pasrah

kepada Tuhan.

Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009