Upload
nguyendiep
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 3
ANALISIS DATA
3.1 Masuknya Agama Khonghucu di Indonesia
Agama Khonghucu sudah ada di Indonesia sejak berabad-abad yang lalu, yaitu
sejak masuknya para pedagang atau para perantau China ke tanah air Indonesia.
Dimana abad ke-3 Masehi pada masa Sam Kok, agama Khonghucu telah menjadi
salah satu diantara tiga agama besar di China pada waktu itu, yaitu Khonghucu,
Taoisme dan Budha. Lebih-lebih pada masa Dinasti Han dimana Khonghucu dijadikan
sebagai agama negara (Tjhie Tjai Ing dalam: Konfusianisme di Indonesia Pergulatan
Mencari Jati Diri, 1995: 41 dan Nahar Nahrawi, 2003: 19). Selain itu ideologi
Khonghucu ini dijadikan dasar dan fondasi bagi kerajaan Dinasti Han, kemudian kitab
sucinya menjadi materi pokok ujian kerajaan sehingga hampir tiap orang disana
merasa berkepentingan memahaminya (Hariyono, 1993: 19 dan Tjhie Tjai Ing dalam:
Pergulatan Mencari Jati Diri, 1995: 42).
Pada saat itu orang-orang perantauan China datang ke kepulauan Nusantara ini
secara individual sebagai pedagang, petani atau nelayan tanpa membuat komunitas
sendiri, melainkan beradaptasi dengan masyarakat dan budaya setempat. Penyebaran
agama Khonghucu tersebut lebih meluas ke Semenanjung Malaka dan kepulauan
Nusantara, seperti di kota Banten, Sriwijaya, Cirebon, Demak, Tuban, Makasar,
Ternate dan Kalimantan Barat (Nahar Nahrawi, 2003: 19).
Sebutan agama Khonghucu di Indonesia ini diberikan oleh para misionaris
Barat, seperti Matteo Ricci yang datang ke China pada abad ke-17. Sedangkan di
negara asalnya agama Khonghucu ini dikenal dengan sebutan Ru Xue ( 儒学 ).
Khonghucu atau Kong Fu Zi ini diambil dari ejaan Pin Yin (拼音) yang merupakan
ejaan baku dari Bahasa China. Istilah Khonghucu atau Kong Fu Zi yang ada di
Indonesia ini diambil dari dialek Hokkian (Fujian), dimana dialek Hokkian ini cukup
berkembang baik di Pulau Jawa.
Masuknya agama Khonghucu di Indonesia cukup diterima dengan baik oleh
penduduk setempat, meskipun di dalam perjalannya mengalami sedikit hambatan.
Ajaran Nabi Khongcu dijadikan sebagai salah satu agama yang diakui oleh negara
Indonesia. Agama Khonghucu dianggap layak sebagai agama, karena memiliki kitab
suci (四书), nabi (Nabi Khongcu), percaya akan Tian (Tuhan Yang Maha Esa), serta
memiliki tata agama dan ibadah bagi pengikutnya (dimana kebaktian dilaksanakan
setiap minggu di litang). Selain itu, sebagian besar orang China peranakan
mempercayai ajaran Nabi Khongcu sebagai suatu agama.
Mengenai masalah agama atau bukan, tergantung dari pemahaman masing-
masing orang, ada yang memahaminya sebagai agama dan ada juga sebagai filsafat.
Seperti penulis buku “The World Religions”, Huston Smith, yang memahami ajaran
Nabi Khongcu sebagai agama, karena dia menganggap ajaran Nabi Khongcu tersebut
ada unsur ke-Tuhanannya.
Pada tanggal 18 Juni 1946 di Yogyakarta, terdapat Penetapan Pemerintah
tentang Hari Raya No. 2/OEM-46 yang ditandatangi oleh Presiden Republik Indonesia
dan Menteri Agama pada waktu itu, yaitu hari wafat dan hari lahir Nabi Khongcu
diakui sebagai hari besar umatnya.
Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya agama Khonghucu di Indonesia,
berdiri pula lembaga-lembaga agama Khonghucu, seperti rumah abu untuk
menghormati arwah leluhur dan klenteng-klenteng (Miao). Klenteng Thian Ho Kiong
di Makasar telah didirikan pada tahun 1688. Ban Hing Kiong di Manado didirikan
pada tahun 1819 beserta rumah abunya (Kong Tik Su) yang didirikan tahun 1839.
Klenteng-klenteng yang tua di pulau Jawa terdapat di Semarang, Tuban dan
sebagainya.
Pada tahun 1729, di Jakarta telah berdiri Shu Yuan, semacam pesantren yang
memberikan pendidikan tentang agama Khonghucu yang bernama Ming Cheng Shu
Yuan, yang artinya Taman Kitab (Akademi) Pendidikan Menggemilangkan Iman.
Selanjutnya, terdapat Kitab Hikayat Khonghucu yang disusun oleh Lie Kiem
Hok diterbitkan pada tahun 1886 di Jakarta, serta kitab suci Da Xue (大学) dan Zhong
Yong (中庸) terjemahan Tan Ging Tiong dan Yoe Tjai Siang diterbitkan di Sukabumi
pada tahun 1900 (Tjhie Tjai Ing dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri, 1995: 42).
Kemudian menjelang akhir abad ke XIX dan menjelang awal abad ke XX,
orang China peranakan yang beragama Khonghucu mulai merasakan perlunya
lembaga yang membina kehidupan agama Khonghucu secara lebih terorganisir. Oleh
karena itu, mulailah berdiri organisasi-organisasi yang bernaung untuk mengurusi hal
tersebut. Organisasi tersebut terus berkembang hingga saat ini, dikenal dengan sebutan
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
3.2 Perkembangan Perhimpunan Agama Khonghucu Indonesia
3.2.1 Tiong Hoa Hwee Koan
Menjelang abad ke-20, ketika negara China sedang mengalami kegoncangan,
terutama setelah tentara Manchu menderita kekalahan dalam perang China-Jepang
pada tahun 1894. Kekalahan ini disebabkan karena kebobrokan mental dan politik
yang telah melanda pemerintahan. Pada waktu itu munculah seorang pemimpin yang
bertekad menegakkan kembali Bangsa China, yaitu Kang You Wei (康有为) yang
hidup pada tahun 1858-1927. Kang You Wei sejak kecil sudah hidup di lingkungan
sarjana-sarjana Konfusianis. Ia memilih bentuk Reformasi untuk memperbaiki keadaan
di China, dengan cara menjalankan dan menerapkan ajaran-ajaran Khonghucu dengan
tepat.
Semangat gerakan reformasi di China ini telah menyebar dan mempengaruhi
daerah sekitarnya, khususnya kawasan Asia Tenggara. Kemudian berdirilah suatu
perkumpulan Khonghucu di Singapura yang digunakan sebagai pusat oleh Kang You
Wei ketika gerakannya mengalami kegagalan di China. Kehadiran Kang You Wei di
Singapura ini membawa dampak yang sangat besar pada orang-orang China
perantauan, baik itu di Singapura sendiri, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Hindia
(Leo Suryadinata, 1988: 40).
Pada tanggal 1 Maret 1900 semua pimpinan peranakan China berkumpul di
Batavia (sekarang Jakarta) untuk mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan
Tiong Hoa Hwee Koan (中华会馆). Adapun tujuan utama dari didirikannya THHK ini
adalah untuk memperbaharui adat istiadat China yang sudah keluar dari ajaran-ajaran
yang telah dibawakan oleh Nabi Khongcu. Tujuan lainnya adalah untuk
mempromosikan ajaran Khonghucu itu sendiri di kalangan masyarakat keturunan
China yang sudah tidak bisa lagi berbahasa China. Untuk mewujudkan maksud dan
tujuan tersebut, maka THHK mendirikan sekolah-sekolah guna memperlancar Bahasa
China mereka yang didasarkan pada ajaran etika dari agama Khonghucu (Ikhsan
Tanggok, 2005: 91-92).
Buku pertama tentang agama Khonghucu dalam Bahasa Melayu Betawi
(Jakarta) ditulis oleh Lie Kim Hok dan diterbitkan pada tahun 1886 di Jakarta. Ia
adalah salah satu pendiri THHK, yang mengenyam pendidikan Belanda di sekolah-
sekolah misionaris Belanda di Jawa Barat. Kemudian pengetahuannya tentang budaya
China, khususnya tentang budaya Khonghucu diperoleh melalui sumber-sumber
berbahasa Belanda (Leo Suryadinata, 1988: 43). Hal ini dikarenakan ia tidak dapat
membaca huruf China, dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekurangannya ini
dapat memperkecil pengetahuan mengenai budaya China tersebut yang berasal dari
sumber asli yang berbahasa China.
Setelah diterbitkan buku karangan dari Lie Kim Hok tersebut, mulailah
bermunculan beberapa buku dan mingguan lain tentang agama Khonghucu. Kemudian
pada tahun 1900 dua orang China peranakan, yaitu Tan Ging Tiong dan Yoe Tjai Siang
menerbitkan terjemahan kitab Da Xue (大学) dan kitab Zhong Yong (中庸) dalam
Bahasa Melayu (Leo Suryadinata, 1988: 43).
Alasan mengapa perlu diterjemahkannya kitab Khonghucu tersebut ke dalam
Bahasa Melayu adalah orang China peranakan pada saat itu umumnya sudah tidak
paham lagi dengan Bahasa China. Orang China peranakan pada saat itu sudah berbaur
dengan situasi dan budaya masyarakat setempat serta sedikitnya kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan berbahasa pengantar China.
Berdirinya organisasi THHK ini didasarkan pada ajaran Khonghucu dan
adapun salah satu tujuannya adalah untuk memperbaharui adat istiadat orang China
peranakan terutama di Pulau Jawa. Meskipun demikian, gerakan reformasi China di
Jawa ini sedikit mengalami hambatan. Hambatan ini terjadi terutama ketika mereka
berhadapan dengan orang China totok yang tua yang lebih tertarik pada kepercayaan
keagamaan tradisional dan menyembah berbagai dewa di klenteng daripada Nabi
Khongcu. Selain itu, orang China peranakan seperti yang disebutkan diatas umumnya
sudah tidak lagi paham akan Bahasa China. China totok adalah merujuk pada kalangan
China kelahiran di China, tetapi menetap di Indonesia. Kalangan totok masih berbicara
dalam dialek China. Keturunan dekat mereka, meskipun kelahiran Indonesia, dianggap
totok jika bahasanya masih China (Ikhsan Tanggok, 2005: 94).
Ketika THHK didirikan, Lie Kim Hok berusaha mewujudkan keinginannya
untuk membentuk sebuah organisasi yang dapat menyebarkan agama Khonghucu.
Itulah sebabnya mengapa THHK kemudian didirikan atas dasar agama Khonghucu.
Lie Kim Hok dikenal sebagai seorang jurnalis, pengarang dan penyair. Ia belajar
agama Kristen pada seorang pendeta yang telah membuka sekolah misi Bahasa Sunda
di Biutenzorg dan pada D.J. Van den Linden yang mengajar Bahasa Melayu di sekolah
tersebut, dapat dikatakan pemahamannya tentang agama Kristen lebih menonjol.
Meskipun demikian, Lie Kim Hok tidak menjadi seorang Kristen. Sebaliknya, ia
bersama dengan teman-temannya mendirikan THHK (Ikhsan Tanggok, 2005: 95-96).
Ajaran-ajaran Khonghucu tidak hanya dimanfaatkan untuk memperkenalkan
berbagai informasi tentang ajaran-ajaran Khonghucu tetapi juga untuk dijadikan suatu
badan dari ilmu pengetahuan agama untuk orang-orang China peranakan di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, didirikanlah sekolah-sekolah dengan guru-guru
terbaik untuk mengajarkan anak-anak China peranakan Bahasa China. Untuk
memperoleh guru-guru yang memenuhi syarat dalam mengajarkan Bahasa China di
sekolah-sekolah yang dikelola oleh THHK dibantu oleh Dr. Lim Boen Keng,
penyelenggara dari pergerakan agama Khonghucu.
Untuk mencapai tujuan sebaik mungkin, selain melalui pendidikan di sekolah-
sekolah, sarana lain yang dipilih adalah berupa penerbitan majalah-majalah. Melalui
media massa inilah ajaran Khonghucu disebarkan ke wilayah yang lebih luas. Adapun
media massa yang dimaksud adalah: majalah mingguan Li Po (理报) tahun 1901 di
Sukabumi, disusul oleh majalah Ik Po (益报) tahun 1903 di Surakarta, kemudian Ho
Po (和报) di Bogor dan Loen Boen (论文) tahun 1930 di Surabaya (Leo Suryadinata,
1988: 43).
Dalam perkembangannya, dunia pendidikan lebih mendapatkan perhatian
dibandingkan yang lain. Kemudian THHK semakin disibukan dengan urusan
pendidikan, sehingga di kemudian hari THHK nampak menonjol sebagai perkumpulan
sosial yang mengurus bidang pendidikan (Leo Suryadinata, 1988: 55). Asosiasi THHK
ini mulai menghilang atau lenyap setelah tahun 1965, hal ini disebabkan karena situasi
politik yang kurang mendukung.
3.2.2 Khong Kauw Hwee
Perkembangan THHK seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu lebih
cenderung hanya menggeluti masalah pendidikan umum, hal-hal yang berkaitan
dengan masalah agama Khonghucu mulai terabaikan. Oleh karena itu, seksi
keagamaan dalam tubuh THHK berkembang dan memisahkan diri, selanjutnya
mendirikan sebuah lembaga agama di Solo yang diberi nama Khong Kauw Hwee (孔
教会) pada tahun 1918. Kemudian di banyak tempat mulai berdiri Khong Kauw Hwee,
karena itu pada tahun 1923 diadakan Kongres di Yogyakarta dan dibentuk Khong
Kauw Tjong Hwee (Kong Jiao Zong Hui atau Majelis Pusat Agama Khoghucu), serta
menetapkan kota Bandung sebagai pusat lembaga tersebut. Khong Kauw Hwee
memandang Khongcu sebagai seorang Nabi dan karya-karya klasik Khongcu dianggap
sebagai kitab suci agama Khonghucu. Kendala yang sama dengan yang dialami oleh
THHK, yaitu kebanyakan orang China peranakan sudah tidak dapat membaca Bahasa
China lagi, maka dengan alasan yang sama Khong Kauw Hwee menerjemahkan karya
klasik Khonghucu tersebut ke dalam Bahasa Melayu. Kitab-kitab yang diterjemahkan
ke dalam Bahasa Melayu antara lain adalah kitab Da Xue (大学), kitab Zhong Yong (中
庸) dan kitab Xiao Jing (孝经) (Leo Suryadinata, 1988: 55 dan MATAKIN, 2005: 12-
13).
Terdapat ide pembaharuan dari Khong Kauw Hwee yang sejalan dengan
THHK, yaitu memperbaharui adat istiadat orang China peranakan yang sudah jauh
menyimpang dari ajaran Khonghucu. Untuk mewujudkan ide pembaharuan ini,
diharapkan orang China peranakan dapat memahami ajaran Khonghucu, baik itu
dengan bahasa aslinya maupun melalui bahasa terjemahan dalam Bahasa Melayu.
Sejak sepuluh tahun didirikannya Khong Kauw Hwee di Bandung, telah
mengundang banyaknya jumlah orang China peranakan yang berpendidikan Barat
untuk bersikap kritis terhadap ajaran Khonghucu, tetapi tidak dengan orang-orang tua
peranakan. Dapat disimpulkan bahwa, tidak semua pihak setuju dengan ide
pembaharuan dari Khong Kauw Hwee tersebut.
Salah satu yang menentang adalah Kwee Hing Tjiat pada tahun 1926. Ia adalah
seorang orang China peranakan nasionalis dan merupakan pemimpin redaksi surat
kabar Sin Po. Sin Po adalah surat kabar harian yang diiterbitkan oleh kalangan China
peranakan di Jakarta, yaitu tahun 1910-1959. Surat kabar ini memiliki pandangan
nasionalis China dan merupakan aliran utama dalam politik China peranakan sebelum
Perang Dunia II. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi Warta Bhakti tahun
1959 dan ditutup tahun 1965. Pada tahun 1923 ia diusir ke Tiongkok karena
pandangannya yang bertolak belakang dengan pemerintahan kolonial. Meskipun
demikian, ia tetap menulis artikel untuk surat-surat kabar di Hindia (Leo Suryadinata,
1988: 56). Serangan yang dilakukan oleh Kwee Hing Tjiat sebenarnya hanya ditujukan
kepada Khong Kauw Hwee dan bukan ajaran Khonghucu itu sendiri, beliau ingin
merombak ajaran Khonghucu yang dianggapnya sudah menyimpang. Kwee Tek Hoay,
seorang penulis peranakan yang terkemuka mengatakan bahwa Kwee Hing Tjiat hanya
mengecam para pemimpin Khong Kauw Hwee yang salah mengkhotbahkan ajaran
Khonghucu, yaitu terutama terhadap ajaran “bakti pada orangtua”. Khong Kauw Hwee
berpandangan, jika orang-orang muda tidak ingin disebut sebagai anak yang “tak
berbakti”, menjadi takut menentang pandangan orang tua, baik itu benar atau salah.
Akibatnya, seluruh masyarakat China peranakan menjadi ketinggalan zaman (Leo
Suryadinata, 1988: 58 dan Leo Suryadinata, 2005: 107).
Sejak tahun 1920-an dapat dikatakan Khong Kauw Hwee tidak dapat
berkembang sebagaimana yang diharapkan. Menurut Leo Suryadinata dalam bukunya
yang berjudul “Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia” terdapat beberapa
penyebab utama, yaitu: pertama, adanya ketidakcocokkan ajaran Khonghucu dengan
nasionalis China. Hal ini dapat dilihat dari THHK yang awalnya dibentuk untuk
mempromosikan ajaran Khonghucu, pada tahun 1928 kemudian mengesahkan sebuah
anggaran dasar baru dimana dinyatakan bahwa tujuan himpunan itu adalah
mempromosikan pendidikan nasionalis China. Kedua, Konfusianisme tidak
dilembagakan, sehingga hampir tidak efektif dalam penyebaran injilnya. Ketiga,
Konfusianisme tidak benar-benar membantu memecahkan masalah-masalah sosial
ekonomi dan sosial politik orang China peranakan Indonesia dan merugikan
masyarakat penganut ajaran Khonghucu.
Tidak mengherankan bahwa dari tahun 1928 sampai dengan 1954, tidak sedikit
organisasi sosial ekonomi dan politik berkembang di Indonesia, diantaranya adalah
Siang Hwee (Zhong Hua Shang Hui), Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), Chung Hwa
Hui (Masyarakat Tionghoa), Partai Tionghoa Indonesia (PTI), Baperki (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan lain-lain. Namun demikian,
dilakukan upaya oleh Khong Kauw Hwee di Indonesia untuk mempromosikan ajaran
Khonghucu. Kemudian pada tahun 1955 di Jakarta didirikanlah sebuah federasi baru
orang China peranakan penganut Khonghucu, yaitu Perserikatan Khong Kauw Tjong
Hwee/ Perserikatan Kung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) (Leo Suryadinata, 1988: 65
dan MATAKIN, 2005: 16).
Kemudian untuk memurnikan ajaran Khonghucu itu sendiri, dirumuskan cara
bagaimana agar tata agama Khonghucu dapat seragam di seluruh Indonesia.
Penyeragaman tata cara keagamaan Khonghucu ini terus direvisi, hingga keputusan
akhir terjadi pada tahun 1975. Adapun garis besar dari penyeragamanan tata cara
agama Khonghucu tersebut antara lain :
1. Seluruh umat Khonghucu melangsungkan ibadah di tempat ibadah umat
Khonghucu, yang disebut dengan Litang (礼堂),
2. Pimpinan dalam upacara agama Khonghucu dibagi menjadi tiga, yaitu:
• Haksu (学师), yang dapat menjadi seorang Haksu adalah seorang
laki-laki yang sudah beristeri atau sudah berusia 30 tahun,
mempunyai pengetahuan mendalam tentang agama Khonghucu atau
berpengalaman menjabat sebagai guru agama (Bunsu) atau menjadi
penebar agama (Kauwsing). Untuk seorang wanita terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan dari suami atau keluarganya,
• Bunsu (文士), yang dapat menjadi seorang Bunsu atau guru agama
adalah seorang laki-laki atau perempuan yang telah berusia 21 tahun,
mempunyai pengetahuan luas tentang agama Khonghucu atau
pernah mengikuti pendidikan agama Khonghucu,
• Kausing ( 教生 ), yang dapat menjadi seorang Kauwsing atau
penyebar agama adalah seorang laki-laki atau perempuan yang telah
berusia 13 tahun.
3. Kitab Si Shu (四书) dan Wu Jing (五经) sebagai Alkitab agama Khonghucu,
4. Setelah beribadat mengucapkan “Sian Cai” yang sebanding dengan “Amin”
dalam agama Kristen (Leo Suryadinata, 1988: 65-67 dan Ikhsan Tanggok,
2005: 102-103).
Kemudian melalui kegiatan kongres-kongres yang dilakukan, terjadilah
pergantian nama dalam perkumpulan agama Khonghucu, dari Perserikatan Kung
Chiao Hui Indonesia (PKCHI) menjadi Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia
(LASKI) yang terjadi pada Kongres ke-IV di Solo. Selanjutnya pada tahun 1963,
mengubah nama LASKI menjadi Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-
Indonesia (GAPAKSI). Kemudian pada tahun 1964, Gabungan Perkumpulan Agama
Khonghucu se-Indonesia diubah menjadi Perhimpunan Agama Khonghucu se-
Indonesia dengan singkatan tetap GAPAKSI. Akhirnya, pada Kongres ke-VI tahun
1967 tercapai kesepakatan untuk menyempurnakan nama gabungan perhimpunan
agama Khonghucu menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN),
yang hingga saat ini masih bertahan (MATAKIN, 2005: 16-19).
3.2.3 MATAKIN
Sejarah mencatat bahwa MATAKIN (印尼孔教中央理事会) didirikan di
Jakarta pada tanggal 16 April 1955, dengan nama Perserikatan Kung Chiao Hwee
Indonesia (PKCHI). Meski kalau ditilik secara cermat, jauh sebelumnya sudah ada
lembaga semacam ini, sedikit tidak berjalan lancar pada zaman Jepang.
Pada tahun 1971, MATAKIN melaksanakan penerangan agama keluar pulau
Jawa untuk membina umat agama Khonghucu yang ada di daerah-daerah lainnya di
seluruh pelosok Nusantara, agar lebih aktif berpartisipasi dalam Pembangunan Bangsa
dan Negara Indonesia. Kemudian hasil dari penerangan agama keluar Jawa ini
menghasilkan sesuatu yang cukup besar artinya, yaitu berturut-turut terbentuk Majelis
Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) di daerah-daerah luar pulau Jawa (MATAKIN,
2005: 20).
Usaha-usaha yang dilakukan oleh MATAKIN untuk mempertahankan dan
menyebarkan ajaran Khonghucu tidaklah sedikit dan dalam memperjuangkannya tidak
sedikit rintangan yang dihadapi. Salah satu contohnya adalah, pada tahun 1971,
MATAKIN menyelenggarakan Kongres ke-VIII di Semarang. Salah satu keputusan
penting dari kongres tersebut adalah suatu permohonan agar Pemerintah Republik
Indonesia mau memperlakukan agama Khonghucu sama seperti lima agama lain di
Indonesia. Kemudian pada saat menyelenggarakan Kongres ke-IX pada tahun 1979,
terjadi hal yang sangat memprihatinkan, mendadak ada intruksi dari penguasa di
Jakarta agar acara kongres ditangguhkan.
Selain memperjuangkan status agama Khonghucu, MATAKIN juga
memperjuangkan masalah pendidikan agama Khonghucu, salah satunya adalah dengan
mendirikan Yayasan Pendidikan MATAKIN (MATAKIN, 2005: 21-26).
Dalam kepemimpinan MATAKIN, pertama kalinya dalam sejarah diadakannya
perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2551 di Jakarta, pada tanggal 17 Februari 2000,
yang dihadiri oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden
Megawati Soekarnoputri, serta pejabat-pejabat penting pemerintah lainnya. Perjuangan
yang dilakukan MATAKIN sangat banyak dan mereka tidak pernah putus asa didalam
memperjuangkan hak-hak umat Khonghucu hingga saat ini. MATAKIN juga
merupakan suatu lembaga yang membantu pemerintah dan golongan-golongan
masyarakat dalam memecahkan setiap prasangka-prasangka negatif mengenai agama
Khonghucu.
3.3 Hak-hak Sipil Umat Khonghucu Indonesia, khususnya di Kota Tangerang
3.3.1 Pada Masa Orde Lama
Di Indonesia seharusnya tidak ada undang-undang yang mengatur banyaknya
jumlah agama yang boleh dianut atau tidak dianut oleh warganya. Agama adalah
merupakan urusan pemeluknya, apakah ia mau mengakui atau tidak agama yang
dianutnya. Perlu diingat pula bahwa agama itu sudah ada lebih awal sebelum negara
itu ada. Mengingat negara Indonesia merupakan negara hukum, oleh karena itu
selayaknya pemerintah di dalam melakukan sesuatu tindakan, harus bersumber pada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Surat Edaran itu hanyalah memberikan
petunjuk teknis atas peraturan diatasnya dan tidak boleh bertentangan dengan UUD
1945 pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Mengingat pula negara kita bukanlah negara agama, jadi sudah sepantasnya
dan selayaknya tidak diperbolehkan adanya pembatasan agama, tetapi kenyataan
memang lain, jika demikian berarti negara telah menodai azas mereka sendiri, yakni
Pancasila, alangkah baiknya apabila negara tidak ikut campur didalam mengurusi
agama yang dianut oleh masyarakatnya, asalkan agama tersebut tidak melanggar
norma-norma yang berlaku dan bukan aliran sesat.
Pada prinsipnya pengakuan kebenaran akan suatu agama selalu didasarkan
pada keyakinan dari masing-masing individu, dan bukan didasarkan atas fatwa dari
penguasa. Dengan meyakini suatu agama dari pribadi masing-masing inilah yang dapat
menumbuhkan kesadaran untuk menghormati dan tidak mencela agama orang lain.
Karena memeluk suatu agama merupakan hak yang paling asasi yang dimiliki setiap
individu. Seperti yang ditegaskan di dalam Penjelasan Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang
mengatakan bahwa “Kebebasan beragama adalah hak yang paling asasi di antara hak-
hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber pada martabat
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.”
Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk pada masa pemerintahan
Soekarno (1945-1965). Istilah “Orde Lama” tentu saja tidak digunakan pada saat itu,
dan baru dicetuskan pada masa pemerintahan Soeharto yang disebut dengan Orde Baru.
Untuk menghindarkan negara Indonesia sebagai negara atheis, pada tahun
1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965
mengenai pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pada tahun 1969,
melalui Undang-Undang No. 5 1969 yang mengakui kembali berbagai Penetapan
Presiden dan Peraturan Presiden yang sudah ada, yaitu salah satunya adalah Penpres
No. 1/PNPS/1965 sebagai UU (UU No. 1/PNPS/1965), yang di dalam penjelasannya
menyatakan bahwa agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Pemilihan keenam agama tersebut
didasarkan pada definisi agama seperti yang diusulkan oleh Menteri Agama, terdapat
minimum empat persyaratan:
1. Memiliki Kitab Suci,
2. Memiliki Nabi,
3. Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan Yang Maha Esa),
4. Memiliki tata agama dan tata ibadah bagi pengikutnya.
Tetapi perlu ditekankan disini, bahwa penyebutan ke-6 agama ini bukan berarti
adanya pembatasan didalam memeluk suatu agama, melainkan tentang banyaknya
agama yang dianut oleh penduduk Indonesia pada umumnya. Penjelasan dari UU No.
1 ini bukan berarti pula agama-agama lain di luar enam agama tersebut tidak diakui,
seperti Shinto, Yahudi, Taoisme dan lain-lain. Agama-agama dan aliran kepercayaan
di luar dari enam agama tersebut juga mendapat jaminan dari pemerintah seperti yang
telah dinyatakan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2, yang menyatakan
bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut (UU
No.1/PNPS/1965), lebih membuka dan mempermudah jalan bagi umat Khonghucu
untuk menjalankan ibadahnya. Tempat ibadah pun telah didirikan di Tangerang pada
tahun 1969, tempat ibadah umat Khonghucu ini disebut dengan Litang (礼堂 ).
Kemudian mengenai pelayanan administrasi atas Hak Sipil umat Khonghucu-pun tidak
mengalami kesulitan, seperti, pendidikan agama Khonghucu, Kartu Tanda Penduduk
(KTP), pencatatan akte perkawinan dan sebagainya.
Perkawinan merupakan hak yang paling mendasar untuk menjalin tali
kekerabatan dan memperoleh keturunan. Kantor Catatan Sipil (KCS) yang masih
belum mau melakukan pencatatan mungkin disebabkan masih berlakunya sistem
Staatsblood yang membagi-bagi manusia menjadi golongan Eropa, China, Indonesia
Kristen dan non-Kristen (Jawa Pos, 25 agustus 2002).
Dalam Hukum Perkawinan Agama Khonghucu Indonesia yang disahkan
dalam Munas III Rohaniawan Agama Khonghucu se-Indonesia di Tangerang pada
tanggal 21 Desember 1975, pada Pasal 1: hubungan pria dengan seorang wanita
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan melangsungkan
keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2: dasar perkawinan umat
Khonghucu adalah seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Tjandra R. Muljadi dalam: Hak Asasi
Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 91).
Dalam penjelasan umum dari Hukum Perkawinan itu, disebutkan tujuan dari
perkawinan itu; perkawinan adalah salah satu tugas suci manusia yang memungkinkan
manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Firman Tian
atau Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam
dirinya serta selanjutnya memungkinkan manusia membimbing putra-putranya.
Demikianlah hendaknya manusia berbuat di dalam rumah tangganya, bahagiakanlah
istri/suami dan anak-anak karena keselarasan hidup bersama anak/istri/suami itu
laksana alat musik yang ditabuh harmonis. Kemudian kerukunan dalam rumah tangga
itu membangun damai serta bahagia. Perkawinan tidak bermaksud menceraikan
seseorang dari ayah-bunda dan keluarganya karena telah membangun mahligai baru,
melainkan menyatukan keluarga yang satu dengan yang lain, memupuk rasa
persaudaraan yang luas diantara manusia sehingga akhirnya dapat dirasakan bahwa di
empat penjuru lautan semua umat bersaudara (Tjandra R. Muljadi dalam: Hak Asasi
Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 91).
Kemudian perihal pencatatan agama dalam kolom Kartu Tanda Penduduk
(KTP) ini merupakan salah satu syarat administrasi sebagai Warga Negara Indonesia
yang baik. Kolom agama dalam KTP tersebut hendaknya diisi sesuai dengan agama
yang diyakini oleh setiap masyarakat itu sendiri.
Pada masa Orde Lama, pencatatan perkawinan dan KTP dengan agama
Khonghucu tidak mengalami adanya suatu kesulitan, karena didukung adanya UU No.
1/PNPS/1965 yang memasukkan agama Khonghucu sebagai salah satu agama yang
diakui oleh negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari data hasil sensus penduduk
yang terakhir untuk umat Khonghucu, yaitu pada tahun 1971. Berdasarkan data sensus
penduduk tahun 1971, terdapat 972 ribu penduduk agama Khonghucu, yang terdiri dari
0,82% jumlah penduduk Indonesia (Leo Suryadinata, Evi Nurvida Arifin dan Aris
Ananta, 2003: 128).
Selain membahas akte perkawinan dan KTP, akan dibahas pula mengenai
pendidikan agama Khonghucu. Pendidikan merupakan suatu upaya yang amat penting
dilaksanakan untuk membantu dalam pembentukan manusia-manusia yang
berkepribadian dalam membangun jiwanya, sehingga memiliki mental spiritual yang
utuh, dapat mengenal siapa dirinya dan Tuhannya, serta dapat menjadi manusia yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, pendidikan dapat mengarahkan manusia agar dapat menjaga
keseimbangan alam, mengamalkan, serta melaksanakannya dengan penuh kesadaran
tentang segala bentuk hak dan kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara sehingga menjadi manusia yang Pancasilais.
Sebelum abad kedua puluh berdasarkan dari sumber catatan yang tersedia,
tercatat bahwa orang China peranakan awal tidak banyak memperhatikan pendidikan
anak-anaknya, hal ini mungkin disebabkan karena ayah mereka datang dari kelas yang
tak berpendidikan dan kebanyakan hanya tertarik mencari uang. Hanya terdapat
beberapa orang kaya yang dapat menggaji guru China hanya untuk mengajar anak
laki-lakinya bahasa dan karya-karya klasik China, karena pada masa itu laki-laki
dianggap lebih layak mengenyam pendidikan dibandingkan wanita.
Sejak tahun 1729 telah dibentuk sebuah taman pendidikan agama Khonghucu
(semacam pesantren) yang bernama Ming Cheng Shu Yuan yaitu taman kitab
(Akademi) pendidikan menggemilangkan iman (MATAKIN, 2005: 11). Terdapat
sekitar tiga puluh siswa, namun segera ditutup karena salah urus.
Sekolah China tradisional meningkat dalam perempat terakhir abad kesembilan
belas, misalnya pada tahun 1899, yaitu terdapat 217 sekolah China tradisional di Jawa
dan Madura dengan 4.452 siswa dan 152 sekolah di luar Jawa dengan 2.170 siswa.
Sekolah-sekolah China tradisional ini kurikulumnya didasarkan pada kitab-kitab
Khonghucu (Leo Suryadinata, 1988: 3-4).
Kemudian pada tahun 1901 Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) mulai mendirikan
sekolah-sekolah yang bertujuan untuk mempromosikan agama Khonghucu dan budaya
China, serta mendirikan sekolah-sekolah berbahasa pengantar China untuk mencapai
tujuan tersebut. Asosiasi THHK ini berakhir pada tahun 1965, yang diakibatkan karena
situasi politik pada saat itu yang kurang mendukung.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
a) Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yang beragama
Khonghucu berlangsung cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari UU No.
1/PNPS/1965 yang isinya antara lain memasukkan agama Khonghucu
sebagai salah satu dari agama yang diakui oleh negara Indonesia.
b) Adanya hubungan timbal balik antara pihak yang membuat peraturan
dengan pihak yang melaksanakan peraturan tersebut. Peraturan yang telah
dikeluarkan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya.
Salah satu contohnya adalah pelaksanaan UU No. 1/PNPS/1965, yang
dapat dilihat lebih lanjut dengan adanya data akurat dari Biro Pusat Statistik,
yang menyatakan bahwa pada tahun 1971 umat Khonghucu masih terdata
dalam sensus penduduk.
c) Pencatatan agama Khonghucu dalam kolom KTP dan pencatatan akte
perkawinan tidak mengalami masalah, berdasarkan data dari Biro Pusat
Statistik tersebut mereka semua sudah tercatat sebagai Warga Negara
Indonesia yang beragama Khonghucu. Kemudian mengenai masalah
pencatatan akte perkawinan khususnya, karena pada saat itu belum ada
peraturan resmi yang mengatur tentang perkawinan, jadi pencatatan akte
perkawinan jelas tidak mengalami masalah.
d) Masalah pendidikan agama Khonghucu pun tidak mengalami masalah. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya pendirian sekolah pada tahun 1901 oleh
perhimpunan agama Khonghucu yang bertujuan mempromosikan agama
Khonghucu yang berakhir pada tahun 1965. Untuk tahun-tahun berikutnya
tidak dijelaskan dengan terperinci mengenai pendidikan agama Khonghucu
yang masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah, pengajaran agama
Khonghucu tetap ada dan berlangsung pada masa Orde Lama, hanya saja
pelaksanaannya yang kurang menonjol.
3.3.2 Pada Masa Orde Baru
Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dapat dikatakan
sebagai masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Dimana kepentingan
nomor satu dari penguasa Orde Baru semasa itu adalah menjaga “Kelestarian
Kekuasaan” yang baru saja digenggamnya (Tan Swie Ling, Akar Masalah Umat
Khonghucu Indonesia. http://www.budaya-tionghoa.org, 26 Oktober 2006).
Untuk itu, Presiden Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia politik Indonesia
dan secara dramatis mengubah kebijakan-kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari
jalan yang ditempuh oleh Soekarno pada masa akhir jabatannya dengan dalih demi
keamanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Warga China peranakan
juga dilarang mengekspresikan diri mereka melalui budaya-budaya tradisi yang
dimiliki. Sejak tahun 1967, warga China peranakan dianggap sebagai warga negara
asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, hal ini secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Pemerintah memandang budaya, adat dan agama yang berasal dari China
merupakan suatu penghambat bagi pembauran etnik ke dalam budaya nasional
Indonesia, yang dimaksudkan dengan budaya, adat dan agama dari China tersebut
adalah: kesenian Barongsai, hari raya Imlek, agama Khonghucu, Bahasa China itu
sendiri dan lain-lain. Pemerintah juga mengkhawatirkan adanya campur tangan
komunis China untuk menguasai Indonesia. Karena itu pemerintah mengeluarkan
Inpres No. 14 tahun 1967 yang isinya tentang larangan adanya adat, budaya dan
kepercayaan berbau China aktif di Indonesia serta larangan pembangunan klenteng.
Kebijakan pemerintah ini diperkuat lagi dengan keputusan Sidang Kabinet yang
memutuskan Khonghucu bukan agama. Keputusan ini dikembangkan lagi dengan
dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95
tanggal 18 November 1978 perihal Petunjuk Pengisian Kolom Agama, yang antara lain
menyatakan bahwa hanya ada lima agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu
Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.
Pada masa ini, permasalahan Khonghucu adalah agama atau bukan menjadi
persoalan yang cukup hangat untuk diperbincangkan. Pemerintah tetap kukuh pada
pendiriannya bahwa Khonghucu itu bukanlah agama. Sehingga pada masa ini umat
Khonghucu dilarang untuk beribadat.
Berhubung masa Orde Baru ini lahir dari runtuhnya Orde Lama yang
dipersepsikan dengan bertulangpunggungkan PKI, maka PKI dikualifikasikan sebagai
“Musuh Negara dan Bangsa Indonesia”. Demi menjaga stabilitas keamanan bangsa
dan negara Indonesia, para pemimpin Orde Baru melakukan berbagai pembersihan
terhadap “Musuh Negara dan Bangsa Indonesia” tersebut. Dalam rangka pembersihan
ini, Bung Karno beserta para pendukungnya terkena getahnya, hingga meninggal
dalam status sebagai Tahanan Politik. Tidak hanya Bung Karno, bahkan Pemerintah
Republik Rakyat China (RRC) beserta pendukung utamanya, Partai Komunis China
juga terkena getahnya.
Pemerintah masa Orde Baru menganggap Republik Rakyat China (RRC) terus-
menerus membela PKI, hal ini membuat emosi dan kemarahan Orde Baru menjadi tak
terkendali. Sehingga mengakibatkan seluruh WNI etnik China terkena ampasnya juga.
Hal ini semata-mata karena orang China peranakan Indonesia memiliki kesamaan
etnik, yaitu China, yang kemudian seenaknya dianggap berpotensi untuk menjadi kaki
tangan komunis China, yang dapat menguasai negara Indonesia. Dengan kata lain,
orang-orang China itu berambisi untuk menjadi penguasa dunia. Dengan adanya
argumentasi semacam itu, tentu saja dapat membuat pemerintah Orde Baru
beranggapan bahwa orang-orang China dengan budaya Khonghucu dan komunisme itu
dapat membahayakan bangsa Indonesia.
Pengkaitan antara Khonghucu dengan komunisme yang sudah ada di Indonesia
sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI itulah yang menyebabkan negara secara tidak adil
memperkosa HAM umat Khonghucu khususnya dan orang China peranakan Indonesia
pada umumnya. Terlihat dengan jelas bahwa pada masa Orde Baru ini terdapat banyak
sekali pembatasan ruang gerak umat Khonghucu, dengan dilarangnya pembangunan
klenteng, secara tidak langsung hal itu menghambat umat Khonghucu dalam
melaksanakan ibadahnya dengan Tian (Tuhan Yang Maha Esa) yang diyakininya.
Kemudian bagaimana dengan UU No. 1/PNPS/1965 yang pernah dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno pada masa pemerintahannya? Sebenarnya tidak pernah ada
peraturan yang secara khusus ditetapkan untuk menghapus atau menghilangkan
kebijakan tersebut. Tetapi entah mengapa UU No. 1/PNPS/1965 tersebut seperti
menghilang ditelan bumi begitu saja.
Tetapi perlu adanya klarifikasi disini, bahwa persamaan diantara dua ajaran
yang berbeda itu tidak bisa dianggap sebagai suatu yang identik, begitu pula hubungan
antara agama Khonghucu dengan komunisme. Ajaran Khonghucu sudah berkembang
di bumi ini kurang lebih 5 abad Sebelum Masehi, sedangkan ajaran komunisme baru
ada pada pertengahan abad 19. Agama Khonghucu merupakan suatu ajaran tentang
kebajikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan pada masa dinasti Han
pernah dijadikan sebagai agama dan falsafah negara. Sebaliknya paham komunisme
tidak mengenal adanya kepercayaan akan suatu agama. Demikian pula tidak perlu
dikaitkan lagi dengan RRC yang berpaham komunis ini, karena negara komunis tidak
ada kepercayaan akan suatu agama, semua agama di RRC dianggap sebagai filsafat
hidup. Tetapi RRC tidak melarang warganya untuk memilih dan memeluk suatu agama.
Jadi perlu ditekankan sekali lagi bahwa antara Khonghucu dan komunisme itu tidak
ada hubungan sama sekali, yang ada hanyalah sama-sama sebuah produk sejarah dari
negeri tirai bambu yang terjadi pada zaman yang berbeda.
Dengan adanya pengkaitan antara Khonghucu dengan komunisme yang ada di
Indonesia sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI telah mendatangkan suatu musibah
yang besar bagi semua orang China peranakan Indonesia pada umumnya dan umat
Khonghucu khususnya, yang kemudian menyebabkan negara secara tidak adil
memperkosa HAM, salah satunya adalah Hak Sipil mereka. Terlihat dengan jelas
bahwa pada masa Orde Baru ini terdapat banyak sekali pembatasan ruang gerak umat
Khonghucu, terutama pelayanan administrasi yang seharusnya didapatkan oleh mereka
menjadi sedikit dibatasi.
Mulai adanya undang-undang yang mengatur tentang perkawinan terjadi pada
masa Soeharto, yakni dengan dikeluarkannya UU No. 1/1974. Demi mengikuti
peraturan yang ada, lembaga Khonghucu pun mulai menyusun Hukum Perkawinan
dan Pedoman Pelaksanaan Upacaranya yang disesuaikan dengan Undang-Undang RI
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dilakukan melalui Musyawarah Nasional
III pada tahun 1975 di Tangerang.
Meskipun peraturan telah diikuti dan ditaati, namun pada kenyataannya tetap
saja pencatatan akte perkawinan umat Khonghucu tidak dapat terlaksana sebagaimana
mestinya. Kasus penolakan pencatatan perkawinan yang dilakukan secara agama
Khonghucu oleh KCS tetap terjadi, terutama di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan
alasan Khonghucu bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Padahal
Presiden Soeharto pernah berkata “Kita tidak memilih-milih agama-agama yang ada
menjadi agama-agama resmi dan agama-agama tidak resmi, agama-agama diakui dan
agama-agama yang tidak diakui” (Suara Pembaruan, 28 Maret 1989).
Hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama (30 tahun lebih), tidak
sedikit umat Khonghucu yang dipersulit. Terutama mengenai masalah perkawinan,
sudah menjadi kewajiban KCS untuk mencatatkan perkawinan yang dilakukan oleh
umat Khonghucu, karena hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 2 UU No.
1/1974, yang menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan
Perundangan yang berlaku”. Selain itu berdasarkan Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975
berbunyi “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan menurut
agamanya dan kepercayannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat
perkawinan pada KCS sebagaimana dimaksud dalam berbagai macam perundangan
mengenai pencatatan perkawinan.”
Dalam praktek, setiap orang yang tidak mencatatkan perkawinannya pasti
dianggap tidak sah, sehingga keturunan mereka pun dianggap tidak sah. Dapat
digambarkan betapa sulit menyatukan peraturan perkawinan dalam suatu hukum
nasional, yang dikarenakan keanekaragaman budaya, adat istiadat, agama, aliran
kepercayaan dan pengakuan hak-hak asasi manusia yang mewarnai kehidupan mereka
di tanah air Indonesia.
Kelemahan pemerintah dalam mencampuri urusan sah tidaknya suatu
perkawinan, yang dalam pelaksanaanya kadang-kadang dilakukan oleh golongan
tertentu dirasakan mempersulit pencatatan yang dapat membuka peluang negatif untuk
hidup bersama tanpa nikah, sehingga menimbulkan problema sosial baru. Tugas
pemerintah seharusnya adalah hanya mencatat dan mengesahkan perkawinan mereka
tanpa harus mempersulit.
Salah satu contoh perlakuan yang kurang adil pada masa Orde Baru yang
dialami umat Khonghucu dalam pencatatan perkawinan di KCS adalah pasangan Budi
Wijaya dan Lany Guito. Pernikahan mereka berlangsung di rumah ibadah Boen Bio
Surabaya pada tanggal 23 Juli 1995, yang dilakukan dengan harapan perkawinan
mereka ini mendatangkan kebahagiaan. Tetapi sangat disayangkan kenyataan berkata
sebaliknya, perkawinan mereka ditolak di KCS dengan alasan Khonghucu itu bukanlah
agama yang diakui dan dibina oleh Departemen Agama. KCS mengusulkan dua
alternatif, yaitu: pertama, mengganti surat nikah dengan agama lain dan mengaku
beragama salah satu agama resmi pemerintah. Kedua, MAKIN (Majelis Agama
Khonghucu Indonesia) Boen Bio yang mengeluarkan surat nikah dengan cara
menghilangkan kata agama di dalam stempel MAKIN. Hal ini tentu saja ditolak oleh
Budi dan Lany, karena bertentangan dengan hati nurani mereka sebagai umat
Khonghucu yang taat (Budi Wijaya dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan
Khonghucu, 1998: 16-17).
Banyak sekali usaha yang telah dilakuan Budi untuk dapat mendaftarkan
perkawinannya di KCS, tetapi selalu mengalami jalan buntu. Kemudian Budi dan Lany
menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah mereka tersebut dengan
bantuan seorang pengacara, yaitu Bapak Trimoelja D. Soerjadi SH, seorang tokoh
humanis dan termasuk pengacara senior di Surabaya unuk memasukkan gugatan ke
PTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara). Meskipun sudah melayangkan gugatan
beberapa kali, hasilnya masih saja tetap mengecewakan (Budi Wijaya dalam: Hak
Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 21).
Akhirnya Menteri Kehakiman dalam rapat kerja dengan Komisi Tiga DPR RI
mengatakan bahwa pemerintah sedang mengkaji tiga alternatif untuk memecahkan
persoalan tersebut. Pertama, menyatakan Khonghucu sebagai salah satu agama yang
diakui. Kedua, melakukan pranata pencatatan semata-mata sebagai catatan
administratif atau laporan bahwa telah terjadi perkawinan. Ketiga, dibuatkan
pencatatan khusus bagi mereka yang tidak menikah menurut agama yang diakui
(Kompas, 18 September 1996).
Kemudian Depdagri melaui surat No. 474.2/704/UMPEM tanggal 30 Mei 2001
yang didasari surat Menag No. 178K/TUN/1997 tanggal 30 Maret 2000 perkara Kasasi
Budi Wijaya dan Lany Guito dikabulkan dalam kasasi, MA memerintahkan Kantor
Catatan Sipil Kotamadya Surabaya untuk mencatat perkawinan tersebut secara agama
Khonghucu karena putusan tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap dan wajib
ditaati oleh pemerintah dan masyarakat (Anly Cenggana, Jaminan Konstitusi Agama
Khonghucu, http://www.harianbatampos.com, 7 Maret 2006).
Demikian pula dengan pencatatan Khonghucu sebagai agama di dalam KTP
(Kartu Tanda Penduduk) mulai dihilangkan yang dimulai di DKI Jakarta pada tahun
1978. Terdapat dua alternatif yang dapat dilakukan umat Khonghucu, yaitu umat
Khonghucu harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui oleh negara, dan
kedua, umat Khonghucu harus rela kalau pada kolom agama mereka diisi dengan tanda
(-) atau kurung buka garis pendek mendatar kurung tutup saja. (Tjandra R. Muljadi
dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 83). Dengan kata lain,
mereka dianggap sebagai seorang komunis yang tidak memiliki agama.
Tidak sedikit umat Khonghucu yang harus dengan terpaksa mengisi kolom
agama mereka dengan lima agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Katolik,
Kristen, Hindu dan Budha. Sebagian besar agama yang dicantumkan dalam KTP
mereka adalah agama Budha. Sungguh ironis sekali memang, agama mereka cuma
sekedar agama di KTP saja. Kenyataannya mereka tidak meyakini dan mengerti
tentang agama yang dicatatkan dalam KTP mereka.
Hal ini dilakukan karena seluruh umat Khonghucu merasa mereka adalah
Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik dan memiliki hak yang sama pula dengan
yang lain, hanya saja hak mereka sedikit dibatasi. Selain itu mereka takut jika sensus
penduduk tidak mendata mereka sebagai WNI.
Selain itu, terjadi pula peristiwa penghapusan mata pelajaran agama
Khonghucu di sekolah-sekolah, yaitu sejak dikeluarkannya Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Lanjutan tahun 1975. Mengakibatkan para siswa umat Khonghucu mulai
dari tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran agama lain demi tuntutan kurikulum
yang berlaku. Hal ini dikaitkan dengan Inpres 14/1967 yang menyatakan bahwa segala
kegiatan yang berhubungan dengan budaya China dilarang, hal ini menyebabkan umat
Khonghucu tidak dapat merayakan hari suci mereka, yang kemudian mengakibatkan
agama Khonghucu bukan lagi sebagai salah satu agama yang dianut oleh Negara
Indonesia sebagaimana seperti yang tercantum dalam UU No. 1/ PNPS/ 1965.
Meskipun dilarang di dunia pendidikan formal di Indonesia, namun pada
kenyataannya di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ajaran Khonghucu
dijadikan sebagai salah satu mata kuliah agama. Mata kuliah yang diberikan unversitas
tertua di Indonesia ini, memang diberikan khusus untuk mahasiswa/i yang memeluk
agama Khonghucu sejak tahun 1997. Lain halnya dengan di Bogor, ada beberapa
sekolah negeri yang menyerahkan pelajaran agama Khonghucu tersebut pada MAKIN
setempat. Ujian dilakukan oleh MAKIN kemudian nilainya diserahkan pada sekolah
masing-masing. Di luar Pulau Jawa pun mata kuliah Khonghucu masih diterapkan di
Universitas lain, seperti di Universitas Bung Hatta Padang dan beberapa universitas di
Jambi (Suara Indonesia, 15 November 1997).
Selain itu, di Kota Tangerang sendiri terdapat sebuah sekolah yang
berlandaskan pada ajaran Khonghucu dan diambil dari nama nabi Khongcu itu sendiri,
yaitu TK “Confucius” yang didirikan pada tahun 1973. Seiring dengan perubahan
waktu adanya harapan dan kebutuhan masyarakat agar disediakan gedung sekolah lain
selain TK itu sendiri. Kemudian pada tahun 1974 didirikanlah gedung sekolah untuk
tingkat sekolah dasar, tetapi karena situasi politik yang kurang baik pada saat itu,
untuk pendirian sekolah tingkat dasar tersebut diganti dengan nama SD Setia Bhakti.
Kemudian berlanjut pada SLTP Setia Bhakti (tahun 1978), SMK Setia Bhakti (tahun
1999) dan SMU “Unggul“ Setia Bhakti (tahun 2003). Tenaga pengajar agama
Khonghucu itu sendiri, didapatkan melalui pihak MAKIN Tangerang.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
a) Hubungan pemerintah Orde Baru dengan masyarakat Indonesia yang
beragama Khonghucu tidaklah berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat
dari Inpres No. 14 tahun 1967 yang isinya tentang larangan adanya adat,
budaya dan kepercayaan berbau China aktif di Indonesia serta larangan
pembangunan klenteng. Kebijakan pemerintah ini diperkuat lagi dengan
keputusan Sidang Kabinet yang memutuskan Khonghucu bukan agama.
Keputusan ini dikembangkan lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18
November 1978 perihal Petunjuk Pengisian Kolom Agama, yang antara
lain menyatakan bahwa hanya ada lima agama yang diakui oleh negara
Indonesia, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.
b) Tidak adanya ketegasan pemerintah Orde Baru di dalam menjalankan
pemerintahannya, hanya mementingkan kekuasaan yang telah diraihnya
pada saat itu. Hal ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang telah
dikeluarkan diatas, tanpa memperdulikan UU No.1/PNPS/1965 yang
pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Lama. Pemerintah Orde Baru
tanpa dasar hukum yang kuat menghilangkan UU No. 1/PNPS/1965
tersebut. Hal ini dilakukan dengan dalih untuk melindungi negara Indonesia
dari serangan komunis, dimana orang peranakan China pada saat itu
terkena imbasnya dan dianggap sebagai kaki tangan komunis. Karenanya
ruang lingkup mereka menjadi terbatas, termasuk penganut agama
Khonghucu. Perlu ditekankan sekali lagi, bahwa UU No. 1/PNPS/1965
tersebut kenyataannya tidak pernah dihapuskan.
c) Dengan adanya Inpres No. 14 tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tersebut, tentu saja mempengaruhi
pencatatan akte perkawinan, KTP dan pendidikan umat Khonghucu.
Pencatatan akte perkawinan khususnya, prosedurnya menjadi lebih sulit,
karena adanya UU No. 1/1974 tentang perkawinan.
d) Meskipun pendidikan agama Khonghucu mengalami masalah, tetapi di
Kota Tangerang itu sendiri pada masa itu terdapat sebuah sekolah yang
berlandaskan pada ajaran Khonghucu. Sekolah ini tidak mengalami
persoalan meskipun keberadaannya sudah ada sejak Orde Baru.
3.3.3 Pada Masa Reformasi
Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, yaitu
tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan
oleh Presiden BJ Habibie. Hal yang melatarbelakangi peristiwa ini adalah saat tragedi
Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari
setelahnya, kemudian gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia.
Karena berada di bawah tekanan yang besar baik dari dalam maupun luar negeri,
akhirnya Soeharto memilih untuk mengundurkan diri.
Indonesia telah mengalami sebanyak enam kali pergantian Presiden,
diantaranya terjadi sebanyak empat kali pada masa Reformasi ini. Dimulai dari
Presiden BJ Habibie (1998-1999), Presiden Gus Dur (1999-2001), Presiden Megawati
(2001-2004) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-saat ini).
Pelan namun pasti, waktu berputar dan masa pun berganti, masa Reformasi
mendatangkan suatu kebaikan untuk umat Khonghucu pada khususnya dan orang
China peranakan pada umumnya. Hal ini dimulai dari mantan Presiden BJ Habibie
yang dalam Inpres No. 26/1998 menginstruksikan agar penghentian penggunaan istilah
“Pribumi dan Non Pribumi” dalam sebuah perumusan dan penyelenggaraan kebijakan,
perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
Kemudian tiba pada giliran pemerintahan yang dipimpin oleh mantan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dimana terjadi hubungan yang baik antara agama
Khonghucu dan pemerintahan. Kesadaran akan pengakuan terhadap hak-hak dasar
umat Khonghucu pun mulai dihargai. Gus Dur kemudian membatalkan Inpres No. 14
tahun 1967 serta mencabut Surat Edaran Mendagri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95
tahun 1978. Pembatalan Inpres serta SE Mendagri tersebut dituangkan dalam
Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 tahun 2000. Tetapi lagi-lagi umat Khonghucu
harus mengalami kesulitan, pembatalan dan pencabutan kedua surat tersebut,
ditafsirkan oleh Departemen Agama (Depag) bukan sebagai pengakuan pemerintah
terhadap Khonghucu sebagai agama.
Dengan pembatalan kedua surat tersebut, budaya China seperti barongsai sudah
mulai dipertunjukkan kembali. Dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Agama No.
13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur dan diteruskan dengan pencabutan
larangan penggunaan bahasa China baik lisan maupun tulisan. Kemudian pada masa
pemerintahan Megawati melalui Keputusan Presiden No. 19, dikatakan bahwa sejak
tahun 2003 Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai hari raya Nasional.
Sebuah jalan terbuka kembali, yaitu ketika Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada pidato perayaan Imlek 2557 secara nasional di Jakarta Convention
Centre (JCC) Hotel Hilton Jakarta, 4 Februari 2006 lalu, mengatakan: Menteri Agama
pada tanggal 24 Januari 2006 melalui Surat Menteri Agama No. 12/MA/2006, telah
menegaskan bahwa berdasarkan Penpres Nomor 1 tahun 1965 yang kemudian
dinyatakan oleh UU Nomor 5 tahun 1969, maka Departemen Agama harus melayani
umat Khonghucu sebagai umat penganut agama Khonghucu.
Kemudian untuk memperhatikan dan melanjuti surat Menteri Agama No.
12/MA/2006 tanggal 24 Januari 2006 mengenai penjelasan mengenai status
perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu, Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Mendagri No. 470/336/SJ mengenai
pelayanan administrasi kependudukan penganut agama Khonghucu pada tanggal 24
Februari 2006.
Ditilik dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, umat Khonghucu dapat
menjalankan ibadah mereka tanpa ada hambatan lagi. Mereka pun dapat merayakan
Hari Raya Agama Khonghucu dengan leluasa, sebagaimana agama lain merayakan
hari raya mereka.
Jalan yang telah diberikan oleh Presiden Yodhoyono tersebut, telah
mempermudah umat Khonghucu untuk mengurus semua keperluan administrasi
kependudukan umat Khonghucu yang sempat tertunda dan terhambat, khususnya
kasus pencatatan akte perkawinan. Presiden mengatakan, berkaitan dengan ketentuan
UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Perkawinan
adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.” Maka
Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu
yang dipimpin oleh pendeta Khonghucu adalah sah menurut ketentuan UU Perkawinan.
Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada Kantor Catatan
Sipil (KCS) di seluruh tanah air, untuk tidak ragu-ragu mencatatkan perkawinan bagi
pemeluk agama Khonghucu, begitu pula dengan pencatatan perkawinan pemeluk
agama lain.
Sekretaris Presidium Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN)
Chandra Setiawan mengungkapkan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
perayaan Imlek 4 Februari yang lalu telah diikuti dengan Surat Edaran yang
dikeluarkan Mendagri pada 24 Februari lalu, bahwa Mendagri memberi waktu hingga
1 April sebagai batas waktu pengaplikasian aturan tersebut. Sehingga paling lambat 1
April seluruh umat Khonghucu telah dapat mencantumkan nama agamanya dalam
seluruh berkas kependudukan. Jika masih ada beberapa wilayah dan pejabat yang
bersangkutan belum melaksanakan SE Mendagri tersebut, maka akan dikenai sanksi
yang berlaku (Iis Zatnika, 1 April Khonghucu Diakui Administrasi Kependudukan,
http://www.media-indonesia.com, 26 Maret 2006).
Tetapi sangat disayangkan SE Mendagri tersebut belum dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Daerah-daerah yang belum menjalankan SE tersebut adalah
wilayah Tangerang, Surabaya dan Jakarta Barat (Perkawinan Khonghucu Harus
Dicatat: SE Mendagri Belum Dilaksanakan, http://kompas.com, 6 Maret 2006).
Banyak sekali alasan yang dikemukakan, seperti belum ada perintah dari Walikota,
demikian pula alasan yang dikemukakan oleh pihak KCS Tangerang. Sedangkan SE
Mendagri tersebut merupakan suatu amanat dari pemerintah pusat yang harus segera
dilaksanakan oleh kalangan para pejabat daerah setempat. Bahkan mereka harus
berinisiatif mencari serta mengkopi surat tersebut. Penerapan SE Mendagri yang
belum merata di daerah-daerah, mungkin dikarenakan oleh kecepatan dalam
menanggapi dan menidaklanjuti surat tersebut berbeda-beda.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
a) Di masa Reformasi ini terjadi hubungan yang jauh lebih baik antara
pemerintah dengan umat Khonghucu. Hal ini dibuktikan dari pencabutan
Inpres No. 14/1967 yang selama ini membelenggu seluruh umat
Khonghucu. Kemudian diaktifkannya kembali UU No. 1/PNPS/1965 yang
memasukkan agama Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui oleh
negara Indonesia.
b) Tidak adanya komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, serta kurangnya ketegasan sikap dari pemerintah pusat.
Karena meskipun pemerintah pusat telah mengeluarkan amanat, tetapi
masih ada beberapa pemerintah daerah yang masih belum menjalankan
mandat tersebut. Sehingga umat Khonghucu di beberapa daerah tersebut
kesulitan untuk mendapatkan Hak Sipil mereka, seperti pencatatan akte
perkawinan, KTP dan pendidikan. Untuk Kota Tangerang mengenai
masalah pendidikan tidak menemui kesulitan, karena sudah terdapat
sekolah yang berlandaskan ajaran Khonghucu, yang disebut dengan sekolah
Setia Bhakti.
3.3.4 Hasil wawancara di Kota Tangerang
Seperti yang telah disebutkan diatas, meskipun agama Khonghucu telah diakui
sebagai agama resmi yang diakui oleh negara Indonesia, tetapi kenyataannya masih
terdapat beberapa daerah yang masih belum melaksanakan amanat tersebut. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan jawaban dari masalah tersebut, maka penulis
melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait di Kota Tangerang, berikut adalah
hasil dari wawancara tersebut:
1. Pada tanggal 6 Mei 2006 melakukan wawancara dengan pihak MAKIN Tangerang,
didapatkan data tiga pasang umat Khonghucu yang telah secara resmi mencatatkan
perkawinan mereka di KCS untuk tingkat Kabupaten Tangerang, yaitu pasangan Jo
Sin Siang dengan Vivi Sagita Chandra, Kwouw Anton dengan Taraniyani
Hernando dan Andi Lokaria dengan Melian Sunardi.
2. Pada tanggal 17 Mei 2006 melakukan wawancara dengan Bapak Koesnara serta
pihak lain dari Kantor Catatan Sipil (KCS) tingkat Kotamadya, didapatkan
informasi bahwa hingga saat itu belum ada pasangan umat Khonghucu yang belum
mendaftarkan diri untuk dicatat. Tetapi disebutkan bahwa, pihak KCS Kotamadya
Tangerang tersebut akan selalu siap dan bersedia melayani pasangan umat
Khonghucu yang ingin mencatatkan perkawinan mereka dengan agama
Khonghucu. Alasan tersendatnya pencatatan perkawinan tersebut terlebih
dikarenakan penyampaian SE Mendagri yang kurang efektif dan efisien, dikatakan
oleh Bapak Koesnara sendiri bahwa pihak mereka baru menerima SE Mendagri
tersebut pada akhir bulan Maret. Selain itu, terdapat masalah teknis lainnya, yaitu
sistem komputer yang belum terpogram dengan enam agama. Hal ini dikarenakan
adanya benturan dana, karena anggaran dari pemerintah tersebut memiliki skala
prioritas. Jadi, harus menunggu giliran untuk dilayani dengan dana tersebut,
demikianlah alasan yang dikatakan oleh pihak KCS Kotamadya Tangerang.
3. Pada tanggal 17 Mei 2006 melakukan wawancara dengan Bapak Muchtar dari
kantor Kecamatan Kota Tangerang, mengatakan hal yang sama, yaitu pihak mereka
hingga saat itu masih belum tahu dan belum menerima kebijakan pemerintah yang
baru tersebut. Dalam program komputer di kantor kecamatan tersebut masih
terprogram dengan lima agama. Meskipun masih belum menerima SE Mendagri
tersebut, pihak Kecamatan Kota Tangerang sudah mencatatkan kolom agama
dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu, demikianlah
keterangan yang diberikan oleh Bapak Muchtar selaku pihak dari kantor
Kecamatan Kota Tangerang.
4. Pada tanggal 24 Mei 2006 melakukan wawancara dengan Ibu Lily selaku
sekretariat dari MAKIN Tangerang dan Bapak Hendrik selaku Ketua Bidang
Pendidikan dari sekolah Setia Bhakti, dikatakan bahwa mengenai masalah
pendidikan pun sudah tidak mengalami masalah karena dengan adanya surat dari
Menteri Agama melalui surat MA No. 12/MA/2006 mengenai penjelasan mengenai
status perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu,
menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 12a UU No. 20 Tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional, dalam hal ini Departemen Agama ke depan
akan mefasilitasi penyediaan guru-guru pendidikan agama Khonghucu di sekolah-
sekolah. Persiapan yang dilakukan pihak MATAKIN dan MAKIN adalah
mempersiapkan tenaga pengajar untuk pelajaran agama Khonghucu, dengan
melatih para pengajar di MAKIN Tangerang dimulai dari tanggal 10 April hingga
28 Mei. Selain itu, materi pengajaran pun harus dipersiapkan. Materi-materi
pendidikan agama Khonghucu tersebut dipersiapkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas). Proses dimasukkannya ke dalam kurikulum sekolah negeri
atau swasta lainnya sedang dalam proses, hingga diturunkannya surat dari
(Depdiknas). Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) saat ini tengah
mempersiapkan rumusannya dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. RPP tersebut kini telah berada di
tangan Sekretariat Negara sehingga pengesahannya diperkirakan tidak akan lama
lagi.
5. Pada tanggal 30 Mei 2006 melakukan wawancara dengan Ibu Lily selaku
sekretariat dari MAKIN Tangerang, dikatakan bahwa hingga saat itu masih belum
ada penambahan dalam pencatatan perkawinan, tetapi tidak menutup kemungkinan
akan adanya penambahan pencatatan perkawinan pasangan umat Khonghucu,
karena hal ini merupakan perjuangan yang sudah mereka nantikan selama tiga
puluh tahun lebih. Apabila terdapat pasangan umat Khonghucu yang mau
mencatatkan perkawinan mereka di KCS Kotamadya Tangerang sudah tidak
mengalami masalah dan kesulitan lagi. Hanya saja sebagian besar umat
Khonghucu lebih memilih untuk dicatatkan di tingkat Kabupaten, hal ini
dikarenakan biaya yang diperlukan tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan
tingkat Kotamadya.
Berdasarkan dari hasil wawancara diatas, maka dapat dibuat kesimpulan dari
permasalahan tersebut, adalah sebagai berikut:
a) Mengenai masalah pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Kota
Tangerang, sesuai dengan hasil wawancara dengan yang terkait. Jika dilihat
dari alasan yang telah disebutkan diatas, dapat dikatakan bahwa pihak KCS
tidak dapat bergerak dengan leluasa, serta adanya pihak-pihak yang lebih
berkuasa untuk mengatur setiap tindakan dari pihak yang lebih rendah
jabatannya. Seperti yang dikatakan oleh Sekretaris Presidium MATAKIN
yang juga anggota Komisi Nasional HAM Chandra Setiawan kepada
Pembaruan di Jakarta, Senin (6/3), bahwa “para birokrat di daerah merasa
bahwa mereka memiliki kuasa sehingga dapat melakukan apa saja. Mental
seperti ini adalah warisan orde baru. Sayangnya ini masih melekat hampir
di semua pejabat di daerah. Ini harus segera dikikis dan merupakan tugas
Departemen Dalam Negeri untuk mengikis semua itu.” Kemudian hal-hal
yang menyangkut dengan dana tidaklah dapat dijadikan alasan yang cukup
kuat untuk tidak mencatatkan pasangan umat Khonghucu di KCS tersebut,
karena masalah pencatatan akte perkawinan dengan agama yang diyakini
mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan dana pemerintah, itu
merupakan hak mereka yang paling dasar untuk mendapatkannya, apalagi
sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mendukung pencatatannya
tersebut.
b) Mengenai masalah pencatatan kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk
(KTP) berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Muchtar, sama halnya
dengan masalah perkawinan. Alasan yang telah dikemukakan tersebut
tidaklah kuat. Mengenai belum atau sudah terimanya Surat Edaran tersebut
adalah tugas dari masing-masing pejabat untuk mencari tahu dan mengcopy
amanat dari pusat tersebut, karena amanat dari pusat merupakan amanat
untuk keseluruhan wilayah Indonesia dan setiap pejabat daerah wajib untuk
memilikinya, serta melaksanakan amanat tersebut. Demikian pula dengan
masalah komputer yang masih terpogram dengan lima agama, apakah
sesulit itu untuk menambahkan satu kolom agama lagi untuk agama
Khonghucu? Seharusnya tidaklah sesulit itu, karena semua orang pasti
sudah mengerti bagaimana mengoperasikan perangkat lunak ini.
Kenyataannya, mereka sudah melakukan pencatatan terhadap satu orang.
c) Mengenai masalah pendidikan, melalui hasil wawancara yang telah
dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait, dengan adanya surat Menteri
Agama tersebut terlihat jelas bahwa hak-hak umat Khonghucu secara
berangsur-angsur telah pulih kembali, terutama pendidikan agama yang
mereka yakini dan imani tersebut akan mereka terima di sekolah-sekolah,
baik swasta maupun negeri. Oleh karena itu, MATAKIN dihimbau oleh
pemerintah untuk mempersiapkan guru-guru yang dapat mengajarkan
agama Khonghucu. Selanjutnya, untuk sekolah-sekolah lainnya belum
terdapat secara resmi pendidikan agama Khonghucu. Seperti yang terjadi di
Bogor, pihak sekolah menyerahkan ajaran agama Khonghucu tersebut pada
pihak MAKIN. Sedangkan untuk Kota Tangerang sendiri sudah tidak
mengalami hambatan mengenai pendidikan agama Khonghucu, karena
terdapat sebuah sekolah yang berlandaskan pada ajaran Khonghucu dan
diambil dari nama nabi Khongcu itu sendiri, yaitu TK “Confucius”, SD
Setia Bhakti, SLTP Setia Bhakti, SMK Setia Bhakti dan SMU
“Unggul“ Setia Bhakti. Tenaga pengajar agama Khonghucu itu sendiri,
didapatkan melalui pihak MAKIN Tangerang. Selain itu, umat Khonghucu
juga dapat belajar agama Khonghucu di MAKIN Tangerang, yang memang
menyediakan pendidikan agama Khonghucu.
Dengan demikian, dapat dikatakan secara keseluruhan, bahwa pelaksanaan
Surat Edaran tersebut meskipun pada awalnya memang mengalami kendala, tetapi
pada akhirnya pejabat setempat Kota Tangerang dapat memberikan pelayanan
administrasi pada seluruh umat Khonghucu di Kota Tangerang.