Upload
others
View
7
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
33
BAB 4
MAKNA KOTA DALAM PUISI-PUISI AFRIZAL MALNA
4.1 Makna Kota dalam Puisi “Pembunuh Rumah“
Pembunuh Rumah Aku pulang, aku ingin pulang. Jangan kunci pintumu. Kalau kamu kunci aku tidak bisa masuk. Aku tak ingin mencungkil jendela. Rumah akan mati dalam diriku. Aku ingin pulang. Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu. Tempat aku tahu kamu sedang berdiri menghadap jendela, dan aku duduk dengan hatimu yang berdenyut, seperti sayuran kol dengan sanggulnya penuh daun-daun setelah hujan. Aku ingin pulang. Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu. Aku nyalakan tv, seperti menyalakan tombol diktator yang memiliki seluruh diriku. Aku lihat kamu berdiri menghadap jendela. Dan kamu tidak pernah pulang lagi. Dan aku tidak pernah pulang lagi. Tanganku telah terluka membuka rumah sendiri, yang tak pernah bisa kau masuki lagi. Rumah berdiri menakutkan di sepanjang jalan, dalam spanduk-spanduk, potongan 30% penawaran sebuah kota baru, dan uang muka, telaga, padang golf, dan anjing-anjing lucu lari pagi. Rumah menakutkan jatuh di atas tempat tidurku. Rasa pulang telah mati. Orang membuka pintu, seperti membuka jurang di depan rumahnya. Merenggut nyawa rawa-rawa, menghentikan air mengalir ke perut bumi, merenggut batang-batang pohon, mematahkan uluran tanganku ke hamparan waktu. Aku melihat mata anak- anak tanpa jendela, terkapar di tangan diktator arsitektur kota. Malam seperti kaca. Melihat pembunuh rumah berjalan dengan kening yang dingin. Pembunuh ruang di hatimu. 1998
4.1.1 Analisis Aspek Sintaksis
Puisi di atas terdiri atas satu paragraf, dengan tifografi pembaitan satu bait.
Kalimat-kalimat dalam puisi di atas berjumlah 24 kalimat, di antaranya:
1) Aku pulang, aku ingin pulang.
34
2) Jangan kunci pintumu.
3) Kalau kamu kunci aku tidak bisa masuk.
4) Aku tak ingin mencungkil jendela.
5) Rumah akan mati dalam diriku.
6) Aku ingin pulang.
7) Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu.
8) Tempat aku tahu kamu sedang berdiri menghadap jendela, dan aku duduk
dengan hatimu yang berdenyut, seperti sayuran kol dengan sanggulnya penuh
daun-daun setelah hujan.
9) Aku ingin pulang.
10) Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu.
11) Aku nyalakan tv, seperti menyalakan tombol diktator yang memiliki seluruh
diriku.
12) Aku lihat kamu berdiri menghadap jendela.
13) Dan kamu tidak pernah pulang lagi.
14) Dan aku tidak pernah pulang lagi.
15) Tanganku telah terluka membuka rumah sendiri, yang tak pernah bisa kau
masuki lagi.
16) Rumah berdiri menakutkan di sepanjang jalan, dalam spanduk-spanduk,
potongan 30% penawaran sebuah kota baru, dan uang muka, telaga, padang
golf, dan anjing-anjing lucu lari pagi.
17) Rumah menakutkan jatuh di atas tempat tidurku.
18) Rasa pulang telah mati.
35
19) Orang membuka pintu, seperti membuka jurang di depan rumahnya.
20) Merenggut nyawa rawa-rawa, menghentikan air mengalir ke perut bumi,
merenggut batang-batang pohon, mematahkan uluran tanganku ke hamparan
waktu.
21) Aku melihat mata anak-anak tanpa jendela, terkapar di tangan diktator
arsitektur kota.
22) Malam seperti kaca.
23) Melihat pembunuh rumah berjalan dengan kening yang dingin.
24) Pembunuh ruang di hatimu.
Kalimat pertama Aku pulang, aku ingin pulang., merupakan kalimat
majemuk bertingkat, dan terdiri atas dua klausa. Klausa pertama, yakni Aku (S)
pulang (P) dan klausa kedua, yakni aku (S) ingin pulang (P). Kalimat Jangan
kunci pintumu., secara intonasi merupakan kalimat perintah, meskipun tanda baca
yang digunakan di akhir kalimat menggunakan tanda baca titik (.). Pada kalimat
selanjutnya, penyair menegaskan alasan kalimat perintah Jangan kunci pintumu
dengan kalimat Kalau kamu kunci aku tidak bisa masuk. Kalimat kamu kunci aku
tidak bisa masuk., merupakan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat Aku tak ingin
mencungkil jendela., memiliki unsur Aku (S), tak ingin mencungkil (P), dan
jendela (O). Frasa tak ingin mencungkil pada kalimat ini, adalah frasa verbal, dan
mempunyai makna negatif/pengingkaran dari keinginan.
Rumah akan mati dalam diriku., juga merupakan alasan dari kalimat
sebelumnya. Kalimat ini terdiri dari satu kata, yaitu Rumah, dan dua frasa, yaitu
akan mati (frasa verbal dengan makna aspek futuratif), serta dalam diriku (frasa
36
preposisional dengan makna keberadaan). Kalimat ketujuh dan kesepuluh, yaitu
Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu., merupakan kalimat tanya. Kata
adakah menjadi alasan penulis menyebut kalimat ini sebagai kalimat tanya. Kata
rumah dalam kalimat di atas, oleh penyair dipertegas dalam kalimat selanjutnya,
yaitu Tempat aku tahu kamu sedang berdiri menghadap jendela, dan aku duduk
dengan hatimu yang berdenyut, seperti sayuran kol dengan sanggulnya penuh
daun-daun setelah hujan. Kalimat ini terdiri dari tiga klausa, yang memiliki
hubungan penjumlahan yang menyatakan perluasan serta peran atau makna
perbandingan.
Selanjutnya, Aku ingin pulang., merupakan kalimat verba taktransitif. Aku
nyalakan tv, seperti menyalakan tombol diktator yang memiliki seluruh diriku.,
kalimat ini memiliki unsur keterangan pembandingan dengan cirri adanya kata
seperti dalam klausa kedua dalam kalimat ini. Kalimat Aku lihat kamu berdiri
menghadap jendela., dibangun atas unsur Aku (S), lihat (P), kamu (O), dan berdiri
menghadap jendela (Ket). Kalimat selanjutnya, yaitu Dan kamu tidak pernah
pulang lagi., terbangun atas unsur Dan kamu (S) dan tidak pernah pulang lagi (P).
Kalimat Dan aku tidak pernah pulang lagi., memiliki unsur yang sama dengan
kalimatsebalumnya.
Kalimat kelimabelas, Tanganku telah terluka membuka rumah sendiri,
yang tak pernah bisa kau masuki lagi., memiliki dua klausa, yakni Tanganku
telah terluka membuka rumah sendiri, dan yang tak pernah bisa kau masuki lagi.
Kalimat Rumah berdiri menakutkan di sepanjang jalan, dalam spanduk-spanduk,
potongan 30% penawaran sebuah kota baru, dan uang muka, telaga, padang golf,
37
dan anjing-anjing lucu lari pagi., merupakan kalimat majemuk bertingkat yang
memiliki hubungan antarklausa, yaitu hubungan penjumlahan yang menyatakan
perluasan, serta memiliki peran atau makna keberadaan. Kalimat Rumah
menakutkan jatuh di atas tempat tidurku., dibangun oleh unsur fras Rumah
menakutkan (S), jatuh (P), dan di atas tempat tidurku (Ket). Jika melihat unsur-
unsur yang membangun kalimat ini, maka kalimat ini merupakan kalimat tunggal
luas. Kalimat Merenggut nyawa rawa-rawa, menghentikan air mengalir ke perut
bumi, merenggut batang-batang pohon, mematahkan uluran tanganku ke
hamparan waktu., merupakan kalimat majemuk bertingkat yang memiliki
hubungan penjumlahan yang menyatakan perluasan. Kalimat Aku lihat mata
anak-anak tanpa jendela, terkapar di tangan diktator arsitektur kota., dibangun
oleh dua klausa, yaitu: (1) aku (S), lihat (P), dan mata anak-anak tanpa jendela
(Pel), klausa pertama ini memiliki peran subjek sebagai makna pelaku; dan (2)
terkapar (P), di tangan (Ket), dan diktator arsitektur kota (S). Klausa kedua
merupakan unsur keterangan, dan mengandung peran predikat sebagai makna
keadaan. Kalimat Malam seperti kaca, yaitu kalimat yang klausanya memiliki
peran atau makna perbandingan persamaan, ditandai dengan preposisi seperti.
Kalimat Melihat pembunuh rumah berjalan dengan kening yang dingin., memiliki
unsur melihat (P), pembunuh rumah (S), berjalan (P), dengan kening yang dingin
(Ket. Keadaan). Kalimat Pembunuh ruang di hatimu., memiliki fungsi subjek dan
keterangan tempat, yaitu dengan adanya preposisi di-. Kalimat tersebut
merupakan kalimat sempurna, karena mengandung satu klausa bebas.
38
4.1.2 Analisis aspek Semantik
4.1.2.1 Denotasi dan Konotasi
Judul yang dipilih oleh penyair, yaitu “Pembunuh Rumah”. Frasa
pembunuh rumah merupakan frasa yang mengandung artian konotatif. Kata
pembunuh yang memiliki artian denotatif orang yang menghilangkan nyawa
(benda hidup) disandingkan dengan kata rumah, di mana rumah merupakan benda
mati. Artian konotatif dari pembunuh rumah itu sendiri, adalah orang yang
menghancurkan tempat tinggal.
Kalimat Aku pulang, aku ingin pulang., merupakan kalimat yang
mengandung artian denotatif, karena kalimat tersebut adalah kalimat yang lazim
digunakan untuk menyatakan keinginan (dalam hal ini keinginan untuk pulang).
Tiga kalimat selanjutnya, Jangan kunci pintumu. Kalau kamu kunci aku tidak bisa
masuk. Aku tak ingin mencungkil jendela., juga mengandung artian denotatif.
Keempat kalimat tersebut, jika digabungkan peng-arti-annya, maka kalimat
tersebut akan menunjuk ke denotata kenyataan nonfaktual. Ciri dari
kenonfaktualan kalimat-kalimat tersebut ditunjukkan oleh frasa aku ingin.
Kalimat Rumah akan mati dalam diriku., mengandung artian konotatif.
Subjek Rumah yang merupakan benda mati, oleh penyair dihidupkan dengan
membubuhkan frasa akan mati setelahnya. Pada kenyataannya, frasa akan mati
hanya dipakai untuk menyatakan makhluk hidup yang sakit atau sekarat.
Keberadaan frasa dalam diriku dalam kalimat ini juga memperkuat kekonotatifan
kalimat ini, karena Rumah yang memiliki marti denotatif sebagai tempat tinggal
39
diriku justru bertempat tinggal dalam diriku. Kalimat aku ingin pulang.,
menunjukan artian denotatif.
Pada kalimat Tapi masih adakah rumah dalam rumahmu., kata rumah
menunjukan artian konotatif, meskipun ada kemungkinan secara keseluruhan
dalam kalimat ini mengandung artian denotatif. Penyair menggunakan frasa masih
adakah untuk bertanya keberadaan rumah dala rumahmu, bukan adakah. Itu
artinya keberadaan rumah dalam rumahmu itu memang merupakan kenyataan
yang telah ada sebelum penyair mengutarakan pertanyaannya. Meskipun
demikian, kata rumah dalam kalimat ini tetap menujukkan bahwa kalimat ini
mengandung makna konotatif, karena rumah dalam kalimat ini merujuk pada
salah satu atau lebih ruangan/kamar yang terdapat dalam rumahmu.
Klausa dan aku duduk dengan hatimu yang berdenyut dalam kalimat
Tempat aku tahu kamu sedang berdiri menghadap jendela, dan aku duduk dengan
hatimu yang berdenyut, seperti sayuran kol dengan sanggulnya penuh daun-daun
setelah hujan., mengandung artian konotatif, karena kenyataan hatimu yang
berdenyut itu berada dalam tubuh-mu. Dengan kata lain, hatimu yang berdenyut
tidak dapat duduk dengan subjek aku dalam klausa ini. Kekonotatifan klausa ini
dipertegas dengan adanya hubungan pengandaian dengan klausa seperti sayuran
kol dengan sanggulnya penuh daun-daun setelah hujan. Jika mengacu pada
penjelasan di atas, maka secara keseluruhan mengandung artian konotasi.
Kalimat Aku nyalakan tv, seperti menyalakan tombol diktator yang
memiliki seluruh diriku., mengandung artian denotatif, meskipun dalam kalimat
ini terdapat klausa yang mernunjukkan artian konotatif, yakni seperti menyalakan
40
tombol diktator yang memiliki seluruh diriku. Klausa di atas merujuk pada klausa
aku nyalakan tv yang mengandung artian denotatif. Klausa ini merupakan klausa
bebas, yang apabila klausa setelahnya dihilangkan pun tidak akan merubah arti
keseluruhan kalimatnya.
Aku lihat kamu berdiri menghadap jendela. Dan kamu tidak pernah
pulang lagi. Dan aku tidak pernah pulang lagi. Kalimat-kalimat tersebut
mengandung artian denotatif. Sedangkan, kalimat Tanganku telah terluka
membuka rumah sendiri, yang tak pernah bisa aku masuki lagi., mengandung
artian konotasi. Kata luka mengandung artian denotatif belah (pecah, cidera, lecet,
dan sebagainya) pada kulit karena terkena barang yang tajam, Kata terluka
memiliki artian menderita luka. Kata membuka, oleh penyair disamakan dengan
benda/barang tajam yang bisa melukai, padahal kata membuka merupakan kata
kerja, bukan nomina.
Kalimat Rumah berdiri menakutkan sepanjang jalan, dalam spanduk-
spanduk, potongan 30%, penawaran sebuah kota baru, dan uang muka, telaga,
padang golf, dan anjing-anjing lucu lari pagi., mengandung artian denotatif.
Penulis tidak melihat adanya arti kiasan dari kesemua kata yang terdapat dalam
kalimat ini. Kalimat ini merupakan sebuah kenyataan yang didukung oleh
denotatumnya. Artian konotatif dapat ditemukan kembali dalam kalimat Rumah
menakutkan jatuh di atas tempat tidurku. Kalimat tersebut tidak menyatakan
kenyataan yang sebenarnya. Rumah sebagai ruangan untuk ditinggali tidak berada
di atas tanah, tetapi berada tepat di permukaan tanah. Jadi, rumah menakutkan
jatuh di atas tempat tidur dipakai untuk menyatakan hal yang lain (kiasan).
41
Kalimat Rasa pulang telah mati., mengandung artian konotatif. kata mati
digunakan untuk menyatakan pengingkaran atau ketidakinginan pulang. Kalimat
Orang membuka pintu, seperti membuka jurang di depan rumahnya.,
mengandung artian konotatif. Kenyataan di depan sebuah pintu rumah itu adalah
ruangan lain yang berada di rumah tersebut atau sebuah jalan, bukan sebuah
jurang. Kata jurang memiliki artian denotatif lembah yang dalam dan sempit,
serta dindingnya curam. Itu artinya, jurang tidak dapat dibuka atau ditutup oleh
sebuah pintu, seperti yang terdapat dalam kalimat ini (membuka jurang). Hal
tersebut menunjukkan kekonotatifan kalimat di atas.
Kalimat selanjutnya, adalah Merenggut nyawa rawa-rawa, menghentikan
air mengalir ke perut bumi, merenggut batang-batang pohon, mematahkan uluran
tanganku ke hamparan waktu. frasa rawa-rawa memiliki makna denotatif
kumpulan daerah yang biasanya digenangi air. Oleh penyair, frasa ini dihidupkan
dengan membubuhkan kata nyawa sebelumnya. Kata bumi yang sejatinya
merupakan benda mati dihidupkan dengan pembubuhan kata perut sebulumnya.
Waktu dalam kalimat ini dijadikan sebuah tempat dengan adanya kata hamparan
sebelum kata waktu. Melihat kenyataan-kenyataan dalam kalimat ini merupakan
kenyataan yang berbentuk kiasan, secara keseluruhan kalimat ini mengandung
artian konotatif.
Kalimat Aku lihat mata anak-anak tanpa jendela, terkapar di tangan
diktator arsitektur kota., secara keseluruhan mengandung artian konotatif, karena
diktator arsitektur kota merujuk pada artian konotatif penguasa kota. Malam
seperti kaca., merupakan kalimat yang mengandung artian denotatif. Sedangkan,
42
Kalimat Melihat pembunuh rumah berjalan dengan kening yang dingin.
Pembunuh ruang di hatimu., merupakan kalimat yang mengandung artian
konotatif. Ruang dalam kalimat Pembunuh ruang di hatimu., bukan merupakan
denotatum yang menunjukan sebuah kenyataan bahwa dalam hati terdapat ruang.
4.1.2.2 Majas
Kalimat Aku pulang, aku ingin pulang., mengandung makna eupizeukis,
karena terjadinya pengulangan langsung pulang. Kalimat Rumah akan mati dalam
diriku., mengandung majas personifikasi, karena rumah seolah-olah menjadi
benda hidup dengan disandingkan dengan frasa akan mati. Kalimat Tapi masih
adakah rumah dalam rumahmu., mengandung majas metafora. Kata rumah dalam
kalimat ini dipakai untuk mengganti ruangan dalam sebuah rumah. Frasa
rumahmu juga menunjukan hal lain di luar arti rumahmu yang sebenarnya.
Kalimat Tempat aku tahu kamu sedang menghadap jendela, dan aku duduk
dengan hatimu yang berdenyut, seperti sayuran kol dengan sanggul penuh daun-
daun setelah hujan., mengandung majas perumpamaan (simile), ditandai dengan
penggunaan kata seperti dalam kalimtanya. Kalimat Aku nyalakan tv, seperti
menyalakan tombol diktator yang memiliki seluruh diriku., juga mengandung
majas perumpamaan (simile).
Dan kamu tidak pernah pulang lagi. Dan aku tidak pernah pulang lagi.
Dua kalimat tersebut mengandung majas anafora, karena adanya pengulangan
kata dan. Kalimat Tanganku telah terluka membuka rumah sendiri, yang tak
pernah bisa kau masuki lagi., mengandung majas metafora, dibuktikan dengan
43
penggunaan kata terluka pada klausa Tanganku telah terluka membuka rumah
sendiri. Majas metafora juga terdapat dalam kalimat Rumah menakutkan jatuh di
atas tempat tidurku. Dalam kalimat Rasa pulang telah mati., terdapat majas
personifikasi, karena kata mati digunakan untuk menghidupkan frasa rasa pulang.
Kalimat Orang membuka pintu, seperti membuka jurang di depan
rumahnya., mengandung majas perumpamaan (simile). Majas asidenton hadir
dalam kalimat Merenggut nyawa rawa-rawa, menghentikan air mengalir ke perut
bumi, merenggut batang-batang pohon, mematahkan uluran tanganku ke
hamparan waktu., karena tidak adanya konjungsi untuk menyambungkan frasa
dan klausa dalam kalimat ini. Kalimat Aku lihat mata anak-anak tanpa jendela,
terkapar di tangan diktator arsitektur kota., mengandung majas metafora. Kalimat
Malam seperti kaca., mengandung majas perumpamaan. Dalam kalimat Melihat
pembunuh rumah berjalan dengan kening yang dingin. Pembunuh ruang di
hatimu., mengandung majas metafora.
4.1.2.3 Isotopi
4.1.2.3.1 Isotopi Manusia
Tabel 4.1.2.3.1 Isotopi Manusia Pusi “Pembunuh Rumah”
Kata/frasa yang termasuk isotopi manusia
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Insan (tubuh & roh)
Berakal budi
Aktivitas
Pulang 7X d/k + Masuk 2X d + Mencungkil 1X d/k + Menghadap 2X d + Berdenyut 1X d/k + + Nyalakan 2X d + +
44
Memiliki 1X d/k + Tangan 1X d + Hatimu 2X d/k + Membuka 3X d/k + Terluka 1X d/k + Menakutkan 2X d/k + + Lari 1X d + Penawaran 1X d + + Rasa 1X d/k + Menghentikan 1X d + Mematahkan 2X d/k + Merenggut 2X d/k + Mata 1X d + Melihat 2X d + Berjalan 1X d + Terkapar 1X d + Nyawa 1X d/k + Perut 1X d/k + Berdiri 3X d +
Kata-kata yang mendukung isotopi manusia dalam puisi ini berjumlah
duapuluh lima. Komponen makna yang paling banyak muncul adalah komponen
makna “aktivitas”, yang setelahnya diikuti oleh makna “insan (tubuh dan roh)”,
serta “berakal budi”
Hadirnya kata-kata yang mendukung isotopi manusia pada puisi
“Pembunuh Rumah” di atas memiliki makna yang saling terkait sehingga makna
yang muncul juga pada dasarnya bertitik pada satu pikiran utama yang
menyatakan keadaan batin aku lirik yang cenderung berbicara monolog.
45
4.1.2.3.2 Isotopi Alam
Tabel 4.1.2.3.2 Isotopi Alam Puisi “Pembunuh Rumah”
Kata/frasa yang termasuk isotopi alam
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Angkasa Bumi kehidupan
Sayur kol 1X d + Daun-daun 1X d + Hujan 1X d/k + Rawa-rawa 1X d + Air 1X d + Perut bumi 1X d/k + Batang-batang pohon
1X d +
Pada isotopi alam terdapat dua kata serta lima frasa yang menguatkan
suasana, di mana suasana tersebut menguatkan pikiran pokok yang terdapat dalam
pikiran si aku lirik. Hadirnya suasana sangatlah mendukung pada pencapaian
imaji pembaca. Dalam hal ini, suasana hadir sebagai pelengkap yang mampu
mempertegas gambaran pikiran pokok yang dituangkan penyair dalam puisi ini.
4.1.2.3.3 Isotopi Gerak
Tabel 4.1.2.3.3 Isotopi Gerak Puisi “Pembunuh Rumah”
Kata/frasa yang termasuk isotopi gerak
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Gerakan anggota badan
Pindah tempat/bentuk
Masuk 2X d + + Berdenyut 1X d/k + Pulang 7X d/k + + Membuka 1X d + Mengalir 1X d/k + Lari 1X d + +
46
Kata-kata yang mendukung isotopi gerak dalam puisi ini berjumlah lima.
Di mana makna “gerakan anggota badan” dan “pindah tempat” sama
menonjolnya. Oleh karena itu, penggambaran suasana dalam puisi ini tidak terlalu
jauh dibayangkan oleh pembaca, meskipun banyak kalimat dalam puisi ini yang
pengimajiannya melompat-lompat. Namun demikian, penyair sebenarnya telah
member garis tebal pada pembaca agar mampu memahami pikiran pokok yang
disampaikan penyair.
4.1.2.3.4 Isotopi Ruang
Tabel 4.1.2.3.4 Isotopi Ruang Puisi “Pembunuh Rumah”
Kata/frasa yang termasuk isotopi ruang
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama terbuka Tertutup
Pintu 2X d + Jendela 4X d + Rumah 9X d/k + Sepanjang jalan 1X d + Padang golf 1X d + Tempat tidurku 1X d + Perut bumi 1X d/k +
Isotopi ruang dalam puisi “Pembunuh Rumah” ada tujuh. Kebanyakan
kata dalam isotopi ini bermakna denotasi. Dan dari kebanyakan makna denotasi
membuat makna tertutup. Artinya ruang yang digambarkan sudah pasti. Ruang-
ruang ini mengacu pada sesuatu yang hidup, yang diciptakan, dan dirasakan.
Sehingga hubungan sebab-akibat pun bermunculan antara kalimat yang satu
dengan yang lain.
47
4.1.2.3.5 Isotopi Waktu
Tabel 4.1.2.3.5 Isotopi Waktu Puisi “Pembunuh Rumah”
Kata/frasa yang termasuk isotopi waktu
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Saat tindakan
Jangka waktu
Mati 1X d/k + Hamparan waktu
1X d/k +
Merenggut nyawa
1X d/k +
Isotopi waktu berjumlah tiga, dan kesemuanya lebih menunjukan makna
“jangka waktu”. Hal tersebut menyebabkan seolah-olah puisi ini tidak memiliki
satu kesatuan yang jelas. Pembaca, oleh penyair diajak untuk melompat-lompat
dalam memaknai puisi ini. Yang menjadi unik adalah ketika pikiran rumit dan
“amburadul” si penyair ternyata mampu menyampaikan suatu pokok pikiran.
Yang apabila sampai pada makna dasarnya, kesan gelap puisi ini akan hilang.
4.1.2.3.6 Isotopi Dengar
Tabel 4.1.2.3.6 Isotopi Dengar Puisi “Pembunuh Rumah”
Kata/frasa yang termasuk isotopi dengar
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama suara Proses Cara
Mencukil jendela
1X d +
Berdenyut 1X d + Aku nyalakan tv 1X d + + + Menghentikan air mengalir
1X d/k + + +
Mematahkan 1X d/k +
48
Komponen makna dalam isotopi dengar didominasi oleh komponen makna
“cara”. Di mana kebanyakan maknanya merupakan makna denotasi. Isotopi
dengar dalam puisi ini berjumlah lima.
4.1.3 Analisis Aspek Pragmatik
Dalam puisi “Pembunuh Rumah”aku lirik menjadi subjek. Aku lirik hadir
sebagai pencerita dalam teks. Aku lirik juga hadir secara implisit, karena
kemonologan pembicaraan aku lirik dalam puisi ini sangat terasa sekali. Aku lirik
sebagai subjek berhasil menerangkan keberadaan kota yang sudah tidak berterima
lagi dengan hal-hal yang lama. Hal-hal yang lama ini ditunjukan dengan kalimat
Rumah akan mati dalam diriku dan Tapi masih adakah rumah untukmu kalimat
ini menunjukan bahwa rumah yang lama sudah harus ditinggalkan dan diganti
dengan yang baru. Lebih jauh dari itu, aku lirik lewat puisi ini menjelaskan sebuah
ruang yang di dekontruksi sedemikian rupa, agar menjadi tempat yang nyaman
bagi penghuninya. Ruang ini disimbolkan dengan rumah.
4.1.4 Gambaran Kota dalam Puisi “Pembunuh Rumah”
Gambaran kota dalam puisi ini terasa sangat jelas, baik secara diksi
maupun isi yang disampaikan. Kota dalam puisi ini memang benar-benar kota
sebagai inprastuktur metropolitan. Kehidupan manusia yang tergambar dalam
puisi ini meliputi beberapa aspek, antara lain aspek batin, aspek ekonomi, dan
aspek budaya.
49
Kota yang dihadirkan sebagai ruang, lebih dari itu, diposisikan sebagai
tempat terciptanya kebudayaan-kebudayaan baru. Terciptanya kebudayaan-
kebudayaan baru tersebut karena terjadinya akulturasi beberapa kebudayaan di
wilayah kehidupan perkotaan. Diciptakannya komplek-komplek perumahan tidak
menutup kemungkinan terciptanya budaya baru. hal tersebut ditunjukkan oleh
kalimat Rumah berdiri menakutkan di sepanjang jalan, dalam spanduk-spanduk,
potongan 30%, penawaran sebuah kota baru, dan uang muka, telaga, padang
golf, dan anjing-anjing lucu lari pagi. Dari kalimat ini sudah jelas kita dapat
membaca keadaan atau suasana kota dari berbagai aspek.
4.1.5 Tafsiran Makna Kota dalam Puisi “Pembunuh Rumah”
Ketika kembali membaca dan memperhatikan kata per kata dalam puisi
ini, perasaan-perasaan kengerian yang penyair tumpahkan begitu terasa. Ia
mengemas kengerian-kengerian itu melalui eksplorasi ruang yang begitu sempit,
namun memiliki makna yang luas dan dalam. Ketika penyair mengutarakan
keinginannya dalam kalimat pertama Aku pulang, aku ingin pulang., pulang di
sini mempunyai makna yang jauh dari sekadar pulang dalam artian denotatif.
Secara budaya, pulang memiliki makna kembali dari kemodernan pada hal-hal
yang bersifat tradisional. Contoh kasus, pada milenium kedua ini di dunia belahan
bumi/budaya barat pernah booming konsep dan perilaku back to nature (kembali
pada alam). Dengan kata lain orang-orang yang mengusung aliran tersebut merasa
bahwa dunia yang hari ini mereka tinggali sudah sangat jauh meinggalkan bentuk
50
awalnya, yang hijau, segar, dan kondisi-kondisi alamiah alam ketika jaman
sebelum revolusi industri disebarluaskan.
Sebenarnya, jika seseorang menyatakan keinginan pulang, sifat pulang
tersebut selalu kembali pada yang awal/muasal dari sudut pandang manapun kita
melihatnya. Apalagi budaya masyarakat Indonesia, yang setiap ramadhan tiba
jutaan orang berbondong-bondong dan berdesak-desakkan membeli tiket untuk
pulang. Dengan kata lain, pulang merupakan sebuah keharusan bagi masyarakat
Indonesia, yang uniknya (secara tidak disadari) pulang menjadi ikon bahwa
masyarakat Indonesia tak pernah melupakan tradisi mereka.
Dalam puisi ini, dengan konsep ke-urban-annya, penyair lewat aku lirik
mengutarakan keinginannya untuk pulang tetapi tidak bisa. Kota yang ia rasakan
sekarang telah jauh berbeda dengan kota yang dulu ia rasakan (mungkin perasaan
ini bersifat konvensi). Secara sadar ia tak akan bisa mengembalikan suasana
jaman karena tempat tinggalnya (kota) selalu mengalami perubahan-perubahan
dengan cepat. Perubahan-perubahan tersebut selalu mengarah pada
kemetropolisan kota tersebut.
Hari ini, khususnya di Indonesia, banyak orang yang mendambakan
hunian-hunian yang memiliki konsep home living yang benar-benar nyaman untuk
ditinggali. Melihat gejala tersebut, produsen rumah ramai membuat hunian-hunia
berkonsep home living tersebut yang letaknya tepat di tengah kota, lengkap
dengan telaga, padang golf, seperti yang disebutkan dalam puisi ini. Tapi mereka
lupa bahwa ketika membangun sesuatu yang baru (kota), ada hal-hal yang
seharusnya dibiarkan kealamiannya telah hilang dan susah untuk digantikan.
51
Penyair menyampaikan gagasannya tersebut lewat kalimat Orang membuka pintu,
seperti membuka jurang di depan rumahnya. Merenggut nyawa rawa-rawa,
menghentikan air mengalir ke perut bumi, merenggut batang-batang pohon,
mematahkan uluran tanganku ke hamparan waktu.
Sesuatu terjadi adalah akibat dari sesuatu yang terjadi sebelumnya. sebuah
peristiwa akan menyebabkan peristiwa lain terjadi. Sama halnya dengan ketika
orang-orang Jakarta membuat perkebunan teh di kawasan puncak, ia telah
menyebabkan banjir terjadi di Jakarta tiap tahunnya. Sama halnya dengan ketika
terbangunnya infrastruktur kebudayaan (kota) yang baru, kebudayaan-kebudayaan
lama akan hilang tergantikan oleh yang baru tersebut.
Afrizal, dalam puisi ini menyatakan bahwa diktator arsitektur kota lah
yang mesti bertanggung jawab atas semua hal yang berubah di dunianya (kota).
Jika berbicara arsitektur, kita berbicara masalah rancangan. Itu artinya diktator
arsitetur kota adalah perancang kehidupan perkotaan, atau lebih tepatnya pembuat
dan pemegang kebijakan di perkotaan atau pemerintah. Ada dua diktator yang
disebutkan dalam puisi ini, yang pertama adalah diktator sebagai pemegang
kebijakan (pemerintah), seperti yang telah dijelaskan di atas. Diktator yang kedua
adalah diktator sebagai pengendali, pembuat budaya, pencipta budaya, yaitu tv
atau media massa.
Budaya apa yang ada dalam televisi, yang tidak ditiru oleh masyarakat?
saya rasa tidak ada. Orang Indonesia cengeng-cengeng karena di televisi banyak
ditayangkan sinetron yang cengeng. Ketika trend model pakaian harazuku (model
pakaian kejepang-jepangan) muncul di televisi, lebih dari 75% remaja di
52
Indonesia meniru trend tersebut. Di Amerika, seorang anak loncat dari sebuah
gedung setelah menonton tayangan kartun Pokemon. Hal-hal yang terjadi di atas
adalah hal-hal yang disebabkan sebuah media bernama televisi. Televisi hari ini
telah berkembang menjadi mengendali budaya, bukan sekadar media hiburan.
Orang-orang tidak lagi sadar telah dihipnotis habis-habis oleh televisi. Hal
tersebut penyair utarakan dalam kalimat Aku nyalakan tv, seperti menyalakan
tombol diktator yang memiliki seluruh diriku.
Secara keseluruhan makna kota dalam puisi “Pembunuh Rumah”adalah
kota sebagai infrastruktur yang menjadi penyebab bergesernya atau bahkan
hilangnya nilai-nilai kebudayaan. Kembali pada pembahasan di atas tentang
konsep pulang, bahwa alasan seseorang untuk kembali (ke kampung halaman)
adalah untuk melihat dan merasakan apa yang tidak ia dapat rasakan dan lihat di
tempat barunya (kota). Jika di kampung halaman pun ternyata sudah berubah
sedemikian kota, maka ada ruang-ruang dalam hati (kenangan) yang terbunuh
atau hilang. Hil;angnya ruang-ruang dalam hati tersebut secara tidak lengsung
juga mampu menghilangkan budaya yang sudah seharusnya mengakar dalam
setiap diri manusia.
53
4.2 Makna Kota dalam Puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi Mengambil
Dirinya”
Ibu dan Setiap Kekasih Pergi Mengambil Dirinya
Nanti malam ibu akan datang, mengajariku membaca lagi. Rambutnya keriting. Ibu memakai kebaya kalau mengajariku pergi. Dulu kebayanya masih diwiron. Matanya seperti kebun jeruk. Tidak ragu lagi, ibu tidak mati. Aku tidak mengantarnya ke pemakaman. Dia akan datang lagi, pergi bersamaku naik perahu ke Cilincing. Beli sepatu di Cikini. Tapi jam sembilan malam tadi aku tak tahu wajahnya yang terakhir, senyum dan tawanya yang lepas. Ibu seperti menari di atas air. Tubuhnya tambah besar, tambah berat, dipenuhi gula. Ibu bilang sekarang saya orang tanpa daya dan upaya. Ibu bilang setiap orang tidak memiliki apa-apa. Ibu bilang setiap orang akan pergi. Lalu tubuh ibu tambah besar bersama tanah dan semut-semut. Bersama langit dan kematian nama-nama. Aku pasang gorden, aku bersihkan kaca jendela dan halaman dari daun-daun kering. Rambut ibu masih keriting. Mata ibu masih kebuh jeruk. Seorang kekasih masih menemaniku di situ. Dan ibu akan mengajariku lagi berenang di empang samping rumah. Airnya dingin. Memberi makanan anjing. Melihat dari jendela yang tinggi: pekarangan yang penuh dengan susunan jejakmu. Dan kelambu harus ditutup. Kaki harus dibersihkan. Diluar, tangan malam telah membawanya pergi. Membiarkan halaman belakang menjadi punggung-punggung waktu, membiarkan setiap kekasih pergi mengambil dirinya.
4.2.1 Analisis Aspek Sintaksis
Puisi di atas terdiri atas satu paragraf, dengan tipografi pembaitan yaitu
satu bait.
1) Nanti malam ibu akan datang, menggajariku membaca lagi.
2) Rambutnya keriting.
3) Ibu memakai kebaya kalau mengajariku pergi.
4) Dulu kebayanya masih diwiron.
5) Matanya seperti kebun jeruk.
54
6) Tidak ragu lagi, ibu tidak mati.
7) Aku tidak mengantarnya ke pemakaman.
8) Dia akan datang lagi, pergi bersamaku naik perahu ke Cilincing.
9) Beli sepatu di Cikini.
10) Tapi jam sembilan malam tadi aku tak tahu wajahnya yang terakhir,
senyum dan tawanya yang lepas.
11) Ibu seperti menari di atas air.
12) Tubuhnya tambah besar, tambah berat, dipenuhi gula.
13) Ibu bilang sekarang saya orang tanpa daya dan upaya.
14) Ibu bilang setiap orang tidak memiliki apa-apa.
15) Ibu bilang setiap orang akan pergi.
16) Lalu tubuh ibu tambah besar bersama tanah dan semut-semut.
17) Bersama langit dan kematian nama-nama.
18) Aku pasang gorden, aku bersihkan kaca jendela dan halaman dari daun-
daun kering.
19) Rambut ibu masih keriting.
20) Mata ibu masih kebuh jeruk.
21) Seorang kekasih masih menemaniku di situ.
22) Dan ibu akan mengajariku lagi berenang di empang samping rumah.
23) Airnya dingin.
24) Memberi makanan anjing.
25) Melihat dari jendela yang tinggi: pekarangan yang penuh dengan susunan
jejakmu.
55
26) Dan kelambu harus ditutup.
27) Kaki harus dibersihkan.
28) Diluar, tangan malam telah membawanya pergi.
29) Membiarkan halaman belakang menjadi punggung-punggung waktu,
membiarkan setiap kekasih pergi mengambil dirinya.
Kalimat pertama dalam puisi ini yaitu Nanti malam ibu akan datang,
mengajariku membaca lagi. Kata ibu yang merupakan fungsi subjek (S) dan
mempunyai peran sebagai pelaku dari fungsi predikat, yaitu frasa akan datang,
mengajariku membaca lagi. Sedangkan frasa Nanti malam menunjukan fungsi
keterangan waktu. Kalimat kedua, Rambutnya keriting ini hanya mengandung satu
frasa yang memiliki fungsi subjek.
Kalimat selanjutnya, Ibu memakai kebaya kalau mengajakku pergi.
KAlimat ini merupakan kalimat pengandaian, karena ditandai dengan adanya
penggunaan kata kalau pada fungsi pelengkapnya. Kalimat Dulu kebayanya masih
diwiron merupakan kalimat penjelas dari kalimat sebelumnya, dan memiliki
fungsi predikat yang bermakna perbuatan. Kalimat Matanya seperti kebun jeruk
merupakan kalimat yang fungsi pelengkapnya memiliki makna perbandingan.
Jika dibaca kembali, lima kalimat di atas merupakan satu kesatuan
(pengantar) cerita yang memberikan citraan pada pembaca tentang satu subjek
(Ibu). Kemudian pada kalimat-kalimat selanjutnya, penyair berusaha memberikan
gambaran lain tentang subjek (Ibu) yang diceritakan dalam lima kalimat pertama.
Tidak ragu lagi, ibu tidak mati. Aku tidak mengantarnya ke pemakaman. Dia akan
56
datang lagi, pergi bersamaku naik perahu ke Cilincing. Beli sepatu di Cikini. Dua
dari empat kalimat di atas memiliki makna penginglaran ditandai dengan adanya
kata tidak pada fungsi predikatnya.
Kalimat Tapi jam Sembilan tadi aku tak tahu wajahnya yang terakhir,
senyum dan tawanya yang lepas mengandung makna pengingkaran (dari kalimat
sebelumnya). Ditandai dengan penggunaan konjungsi tapi. Dua kalimat
selanjutnya Ibu seperti menari di atas air. Tubuhnya tambah besar, tambah berat,
dipenuhi gula. Kalimat pertama merupakan kalimat pengandaian, sedangkan
kalimat selanjutnya merupakan kalimat penjelas dari kalimat pengandaian
tersebut. Kemudian dua kalimat selanjutnya merupakan kalimat langsung Ibu
bilang sekarang saya orang tanpa daya dan upaya. Ibu bilang setiap orang tidak
memiliki apa-apa.
Dalam kalimat Lalu tubuh itu tambah besar bersama tanah dan semut-
semut, frasa tambah besar (P) merupakan frasa yang memilikimakna menunjukan
suatu keadaan. Kalimat ini memiliki fungsi pelengkap, yaitu bersama tanah dan
semut-semut, yang memiliki makna penyerta. Kalimat Bersama langit dan
kematian nama-nama juga memiliki makna penyerta dari fungsi subjek kalimat
sebelumnya.
Kalimat Aku pasang gorden, aku bersihkan kaca jendela dan halaman
dari daun-daun kering, terdiri dari duaklausa. Klausa pertama Aku pasang
gorden, dan klausa kedua aku bersihkan kaca jendela dan halaman dari daun-
daun kering.
Rambut ibu masih keriting. Mata ibu masih kebun jeruk. Seorang kekasih masih menemaniku di situ. Dan ibu akan mengajariku lagi berenang di empang samping
57
rumah. Airnya dingin. Memberi makan anjing. Melihat dari jendela yang tinggi: pekarangan yang penuh dengan susunan jejakmu. Dan kelambu harus ditutup. Kaki harus dibersihkan. Jika melihat dari kalimat-kalimat di atas (kalimat 18-29), maka dapat
dilihat bahwa penyair berusaha mengembalikan imaji pembaca pada kalimat-
kalimat awal puisi ini, ditandai dengan disertakannya kembali kalimat Rambut ibu
masih keriting. Mata ibu masih kebun jeruk. Penyair berusaha mendeskripsikan
kembali beberapa hal yang seharusnya ia sampaikan di awal puisinya dengan
menambahkan beberapa kalmia, yaitu Seorang kekasih masih menemaniku di situ.
Dan ibu akan mengajariku lagi berenang di empang samping rumah. Airnya
dingin. Memberi makan anjing. Melihat dari jendela yang tinggi: pekarangan
yang penuh dengan susunan jejakmu. Dan kelambu harus ditutup. Kaki harus
dibersihkan. Dengan kata lain, kalimat-kalimat yang dimaksudkan untuk
menambah imaji pembaca tersebut merupakan kalimat-kalimat yang memiliki
makna penyerta dari fungsi subjek sebelumnya.
Fungsi predikat dalam kalimat Membiarkan setiap kekasih pergi
mengambil dirinya diisi oleh frasa membiarkan halaman belakang yang bermakna
melakukan sesuatu perbuatan terhadap subjek pada kalimat sebelumnya, yaitu Di
luar, tangan malam telah membawanya pergi. Sedangkan kalimat Membiarkan
halaman belakang menjadi punggung-punggung waktu merupakan kalimat
penjelas dari kalimat Membiarkan setiap kekasih pergi mengambil dirinya.
58
4.2.2 Analisis Aspek Semantik
4.2.2.1 Denotasi dan Konotasi
Judul yang dipilih oleh penyair, yaitu “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi
Mengambil Dirinya”. Kalimat tersebut merupakan inti dari keseluruhan isi
puisinya. Ibu adalah seorang perempuan yang mempunyai anak serta kasih
sayangnya tidak terhingga. Kekasih adalah orang yang disayangi. Afrizal
menempatkan Ibu dan Kekasih sebagai objek kesetaraan. kata Ibu mempunyai arti
denotatif , (1) perempuan dewasa, (2) mempunyai anak. Sedangkan kekasih
mempunyai kata denotatif, (1) orang yang disayangi. dalam hal ini Ibu dan
Kekasih adalah orang yang mempunyai hubungan erat dengan aku lirik.
Hubungan yang erat ini adalah hubungan antara Ibu dan anak. Sehingga anak
memposisikan Ibu sebagai kekasih yang selalu menyayangi anaknya.
Kalau dilihat dari kacamata konotatif, Ibu adalah representasi sebuah
ruang. di dalamnya banyak sekali menyimpan rahasia (kebahagiaan, dan
kesedihan). Ini berkaitan dengan kota. Kota sebagai ruang rahasia serta
menciptakan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Kebahagiaan dan kesedihan
tersebut muncul dari kenangan yang dileburkan lewat kekasih. Ibu sangat
berkarakter Rambutnya keriting dan Memakai kebaya sarta matanya seperti kebun
jeruk. Hal ini juga merepresentasikan sebuah kota yang mempunyai karakter. Ibu
juga sebagai representasi orang-orang kota Ibu seperti menari di atas air kalimat
ini mencerminkan sesuatu yang tidak ada gunanya. Tubuhnya tambah besar,
tambah berat, dipenuhi gula kalimat ini mencerminkan pola hidup yang tidak
59
teratur, tetutama dalam hal makanan. Makanan yang dimaksud adalah makanan
instan atau makanan siap saji. Hal-hal seperti ini hanya kita temukan di kota.
Ibu dan kekasih adalah gesekan rutinitas sebuah kota (intensitas).
Intensitas akan memunculkan suatu ruang baru yaitu kenangan. Intensitas ibu dan
kekasih adalah kasih sayang. Intensitas kota adalah rutinitas. Aku bersihkan kaca
jendela dan halaman dari daun-daun kering kalimat ini mencerminkan rutinitas
seseorang. Rambut ibu masih keriting dan mata ibu masih kebun jeruk kalimat itu
merupakan alur ingatan seseorang (aku lirik) kebelakang. Dalam hal ini disebut
kenangan. Di luar, tangan malam telah membawanya pergi dan membiarkan
halaman belakang menjadi punggung-punggung waktu, membiarkan setiap
kekasih pergi mengambil dirinya kalimat ini membuat pernyataan kontradiktif
antara Ibu dengan kasih sayang dan rutinitasnya serta ruang rindu yang dibuatnya
dengan hilangnya suatu objek (tangan malam telah membawanya pergi dan
kekasih pergi mengambil dirinya).
4.2.2.2 Majas
Banyak sekali majas yang digunakan penyair dalam sajak ini. Matanya
seperti kebun jeruk, ini merupakan majas metafota. Mata yang biasanya berwarna
hitam, coklat, atau biru menjadi kebun jeruk. Kebun jeruk di sini adalah
perbandingan dari keindahan. Matanya seperti kebun jeruk adalah matanya indah.
Ini juga bisa dipandang hiperbola. Ibu seperti menari di atas air ini merupakan
metafora dari kesiasiaan. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang ibu.
60
Pada kalimat Melihat dari jendela yang tinggi: pekarangan yang penuh
dengan susunan jejakmu kalimat ini melanjutkan kalimat sebelumnya yaitu
Memberi makanan anjing, ini adalah kalimat yang menunjukan keterangan
rutinitas. Susunan jejakmu merupakan majas metonimia langkah. karena
langkahnya teratur, kemudian penyair memilih kata susunan yang tepat untuk
kalimat ini.
Di luar, tangan malam telah membawanya pergi dan Membiarkan
halaman belakang menjadi punggung-punggung waktu, membiarkan setiap
kekasih pergi mengambil dirinya kalimat ini merupakan akhiran atau semacam
penjelasan yang ingin disampaikan oleh penyair. Tangan malam adalah sebuah
metafora dari kejadian gaib dan punggung-punggung waktu adalah sebuah
mettafora dari masa lalu. Setiap kekasih pergi mengambil dirinya adalah kalimat
yang menjelaskan tantang kekasih yang hilang bersama rutinitasnya (kenangan).
4.2.2.3 Isotopi
4.2.2.3.1 Isotopi Manusia
Tabel 4.2.2.3.1 Isotopi Manusia Puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi
Mengambil Dirinya”
Kata/frasa yang termasuk isotopi manusia
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Insan (tubuh & roh)
Berakal budi
Aktivitas
Datang 1X d + Mengajari 1X d + + Membaca 1X d/k + Memakai 1X d + Mengajak 1X d + Senyum 1X d/k + +
61
Menari 1X d/k + Pergi 1X d + Melihat 1X d + Membawa 1X d/k + Memberi 1X d + + Membirkan 1X d + Mengambil 1X d + Tumbuh 2X d/k + + Mata 2X d/k + Mati 1X d/k + Punggung 2X d/k +
Kata-kata yang mendukung isotopi manusia dalam puisi ini berjumlah
enam belas. Komponen makna yang paling banyak muncul adalah komponen
makna “aktivitas”, yang setelahnya diikuti oleh makna “insan (tubuh dan roh)”,
serta “berakal budi”
Hadirnya kata-kata yang mendukung isotopi manusia pada puisi “Ibu dan
Setiap Kekasih Pergi Mengambil Dirinya” di atas memiliki makna yang saling
terkait sehingga makna yang muncul juga pada dasarnya bertitik pada satu pikiran
utama yang menyatakan keadaan batin aku lirik yang cenderung berbicara
monolog.
4.2.2.3.2 Isotopi Alam
Tabel 4.2.2.3.2 Isotopi Alam Puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi Mengambil
Dirinya”
Kata/frasa yang termasuk isotopi alam
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Angkasa Bumi kehidupan
Cilincing 1X d + + Kebun jeruk 2X d/k + + Air 1X d/k +
62
Cikini 1X d + + Tanah 1X d/k + Langit 1X d/k + Empang 1X d + Halaman 2X d/k + + Pekarangan 1X d/k + +
Pada isotopi alam terdapat delapan kata serta satu frasa yang menguatkan
suasana, di mana suasana tersebut menguatkan pikiran pokok yang terdapat dalam
pikiran si aku lirik. Hadirnya suasana sangatlah mendukung pada pencapaian
imaji pembaca. Dalam hal ini, suasana hadir sebagai pelengkap yang mampu
mempertegas gambaran pikiran pokok yang dituangkan penyair dalam puisi ini.
4.2.2.3.3 Isotopi Gerak
Tabel 4.2.2.3.3 Isotopi Gerak puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi
Mengambil Dirinya”
Kata/frasa yang termasuk isotopi gerak
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Gerakan anggota badan
Pindah tempat/bentuk
Datang 1X d/k + Mengantar 1X d + + Naik 1X d + + Pergi 2X d + + Senyum 3X d + Menari 1X d/k + Mengajak 2X d/k + + Berenang 1X d + + Membeli 1X d + + Menemani 1X d +
Kata-kata yang mendukung isotopi gerak dalam puisi ini berjumlah
Sepuluh. Di mana makna “gerakan anggota badan” sangat menonjol dibandingkan
63
makna “pindah tempat/bentuk”. Oleh karena itu, penggambaran suasana dalam
puisi ini tidak terlalu jauh dibayangkan oleh pembaca, meskipun banyak kalimat
dalam puisi ini yang pengimajiannya melompat-lompat. Namun demikian, penyair
sebenarnya telah member garis tebal pada pembaca agar mampu memahami
pikiran pokok yang disampaikan penyair.
4.2.2.3.4 Isotopi Ruang
Tabel 4.2.2.3.4 Isotopi Ruang Puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi
Mengambil Dirinya”
Kata/frasa yang termasuk isotopi ruang
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama terbuka Tertutup
Kebun Jeruk 2X d/k + Pemakaman 1X d + Di luar 1X d/k + Cilincing 1X d + Cikini 1X d + Gorden 1X d + Jendela 2X d + Empang 1X d + Rumah 1X d + Halaman 2X d + Pekarangan 1X d +
Isotopi ruang dalam puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi Mengambil
Dirinya” ada Sebelas. Kebanyakan kata dalam isotopi ini bermakna denotasi. Dan
dari kebanyakan makna denotasi membuat makna tertutup. Artinya ruang yang
digambarkan sudah pasti. Ruang-ruang ini mengacu pada sesuatu yang hidup,
yang diciptakan, dan dirasakan. Sehingga hubungan sebab-akibat pun
bermunculan antara kalimat yang satu dengan yang lain.
64
4.2.2.3.5 Isotopi Waktu
Tabel 4.2.2.3.5 Isotopi Waktu Puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi
Mengambil Dirinya”
Kata/frasa yang termasuk isotopi waktu
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Saat tindakan
Jangka waktu
Malam 3X d/k + Terakhir 1X d + + Waktu 1X d/k + Pergi 5X d/k + +
Isotopi waktu berjumlah empat, dan kesemuanya lebih menunjukan makna
“jangka waktu”. Hal tersebut menyebabkan seolah-olah puisi ini tidak memiliki
satu kesatuan yang jelas. Pembaca, oleh penyair diajak untuk melompat-lompat
dalam memaknai puisi ini. Yang menjadi unik adalah ketika pikiran rumit dan
“amburadul” si penyair ternyata mampu menyampaikan suatu pokok pikiran.
Yang apabila sampai pada makna dasarnya, kesan gelap puisi ini akan hilang.
4.2.2.3.6 Isotopi Dengar
Tabel 4.2.2.3.6 Isotopi Dengar puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi
Mengambil Dirinya”
Kata/frasa yang termasuk isotopi dengar
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama suara Proses Cara
Tawanya yang Lepas
1X d +
65
Komponen makna dalam isotopi dengar didominasi oleh komponen makna
“suara”. Di mana kebanyakan maknanya merupakan makna denotasi. Isotopi
dengar dalam puisi ini berjumlah satu.
4.2.3 Analisis Aspek Pragmatik
Ada tiga subjek dalam puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi Mengambil
Dirinya” karya Afrizal Malna ini, yaitu: aku lirik (pencerita), pendengar, dan
objek yang diceritakan.
Aku lilik menjadi segala-galanya dalam puisi ini. Menjadi tuhan sekaligus
dirinya sendiri. Serta pesan yang disampaikan dalam puisi ini juga dilesapkan
pada aku lirik. Artinya aku lirik menjadi aku yang dominan (sadis) dalam puisi
ini.
Puisi ini menceritakan tentang suatu ruang dimana kasih sayang itu sangat
dibutuhkan. Ruang ini penuh dengan rutinitas yang akut (monoton). Dari sebuah
ruang tersebut kita akan menemukan ruang yang lain yaitu rindu atau romantisme.
Penyair sengaja membenturkan antara rutinitas dan ruang rindu tersebut.
4.2.4 Gambaran Kota dalam Puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi Mengambil
Dirinya”
Setelah melakukan analisis ketiga aspek di atas, penulis memperoleh
gambaran bahwa puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi Mengambil Dirinya”, secara
keseluruhan menggambarkan kehidupan manusia, khususnya masyarakat
66
perkotaan. Kehidupan manusia yang tergambar dalam puisi ini meliputi beberapa
aspek, antara lain aspek batin, aspek ekonomi, dan aspek budaya.
Kota, sebagai salah satu tempat di mana manusia melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan ketiga aspek di atas hadir secara eksplisit. Makna kota lebih
kuat dirasakan dalam kalimat Beli sepatu di Cikini dan Tubuhnya tambah besar,
tambah berat, dipenuhi gula kalimat ini mempunyai makna denotatif dan
konotatif tantang sebuah peradaban kota. Cikini, misalnya, memiliki makna yang
mengarah pada gambaran kota (daerah di Jakarta). Tubuhnya tambah besar,
katimat ini menunjukan pola hidup yang semerawut. Banyak memakan makanan
siap saji (instan).
Gambaran kota juga hadir melalui sikap dan sifat individu Ibu, Perkotaan
digambarkan oleh pola hidup yang tidak stabil Ibu seperti menari di atas air, Ibu
bilang sekarang saya orang tanpa daya dan upaya, Ibu bilang setiap orang akan
pergi. Memaparkan bahwa di tengah hiruk-pikuk kegelisahan terhadap persoalan-
persoalan yang menghimpit masyarakat perkotaan, ternyata masih ada orang yang
berharap dan hampir menyerah menghadapi kemelut kota.
Selain itu, kota hadir dan digambarkan dalam inprastuktur Beli sepastu di
Cikini, yang merupakan Denotasi langsung sebuah kota. Aku pasang gorden, Aku
bersihkan kaca jendela dan halaman dari daun-daun kering. Gorden sebenarnya
telah mewakili inprastuktur kota. Di mana setiap rumah di kota akan dipasangi
gorden. Gorden juga sebagai hiasan rumah-rumah di kota.
67
4.2.5 Tafsiran Makna Kota dalam Puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi
Mengambil Dirinya”
Setelah melakukan analisis ketiga aspek serta memperoleh gambaran kota,
secara keseluruhan puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi Mengambil Dirinya”
menggambarkan tentang rutinitas gelisah rindu yang tak pernah usai. Ibu dan kota
menjadi satu ruang simulakrum kasih sayang. Kasih sayang di sini timbul dari
simbol-simbol yang ditampilkan dalam puisi “Ibu dan Setiap Kekasih Pergi
Mengambil Dirinya”. Mengajariku membaca lagi, mengajakku lagi berenang.
Kalimat itu memberikan gambaran ruang intensitas kasih sayang Ibu. Kota hadir
dari sebuah tafsiran murni peneliti, kota seharusnya menjadi titik pangkal
kausalitas. Apabila kita menyayangi diri sendiri, sudah tentu kita akan
menyayangi tempat tinggal kita, dalam hal ini adalah kota.
Kota itu semerawut, tidak bersahabat, dan banyak lagi yang memposisikan
kota sebagai konotasi yang negatif. Akan tetapi dalam puisi “Ibu dan Setiap
Kekasih Pergi Mengambil Dirinya” tidak digambarkan bahwa kota itu berkonotasi
negatif, justru kota ini adalah bentuk kasih sayang dan ruang rindu. Rindu di sini
muncul karena orang mengingat kampung halaman atau hal-hal yang bernafaskan
pegunungan (hijau).
Ibu menjadi satu-satunya lambang ruang, rindu, dan kasih sayang apabila
dibenturkan dengan kota. Kota sebagai Ibu, dalam puisi ini digambarkan sebagai
ruang yang kendalinya berada ditangan masyarakat kota itu sendiri. Kalimat Ibu
bilang sekarang saya orang tanpa daya dan upaya merujuk pada hal tersebut.
Dengan kata lain, kemajuan atau kemunduran aspek-aspek kehidupan di
68
perkotaan itu diatur dan disesuaikan dengan kehendak masyarakat yang hidup di
dalamnya. Maka bagi penyair, seharusnya tidak ada orang yang harus
meninggalkan kota karena kesemerawutan kota tersebut (dan setiap kekasih pergi
mengambil dirinya). Karena manusialah yang memberikan nafas kasih sayang
pada kota sebagai Ibu.
Jika melihat hari ini, bentuk kasih sayang seperti apa lagi yang tidak kota
berikan pada masyarakat yang berada di dalamnya? Sebagai Ibu, kota
menyediakan sekolah untuk belajar, menyediakan tempat-tempat untuk bermain,
dan hal-hal lain yang menunjuang kehidupan masyarakat. Artinya, bahwa ketika
kota semerawut (sakit) masyarakat harus bisa menerima itu sebagai sebuah
konsekwensi pembangunan dan perubahan yang sejatinya tak akan pernah selesai.
Banyak orang yang menghindari kesemerawutan kehidupan di perkotaan
daripada berusaha untuk merapikan kesemerawutan tersebut. Penulis menangkap
pokok pikiran yang ingin disampaikan penyair melalui puisi ini, bahwa
masyarakat harus menyayangi kota sebagai ruang karena kota sebagai ruang juga
menyayangi masyarakatnya.
69
4.3 Makna Kota dalam Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”
Naik Motor ke Tanjung Burung Aku naik motor, pergi ke desa itu. Tadi pagi aku sempat melihat wajahmu dalam cermin, di kamar mandi bawah. Aku tak heran ketika waktu mulai membuat kereta dalam cermin itu. Di desa itu ada sungai panjang. Perahu-perahu untuk orang berpergian. Senja sudah bisa dibuat dari daun-daun pisang dan kelapa. Pak Simin membeliku air kelapa. Anak-anak bermain, bekejaran dengan tanah yang terus lari ke kota. Sungai itu kini tidak melahirkan lagi ikan-ikan. Dasar sungai sudah menjadi tempat tidur untuk pabrik-pabrik. Orang-orang harus meninggalkan sawahnya, seperti meninggalkan tangan dan kaki mereka di dasar sungai. Masih ada orang merajut jala sendiri. Tapi ikan sudah tidak ada. Sudah lama ikan-ikan tidak berkunjung ke rumah kami. Sudah lama kaki kami tidak bisa lagi mengenali Nafas tanah dan batang-batang padi. Ayam bertelur d atas tempat tidur kami. Besok anak kami mati. Tak sempat sekolah. Tak sempat ke kota, melihat tanah kami berubah menjadi eskalator, mobil-mobil-mobil besi, bangunan kaca dan pagar-pagar tinggi. Pak Umar menahan senja di matanya. Ia Mengucapkan selamat tinggal entah kepada siapa. Kasihan sungai itu. Udang-udang tak ada lagi. Aku naik motor ke sebuah desa bernama Tanjung Burung, di Tangerang. Masih ada rumah-rumah tua dan dan kayu tua. Lalu deru motor. Orang-orang bertato dan sepatu besi. Masih ada langit yang tersimpan dalam potret itu. Lalu udang-udang telah berenang dalam radio. Pagi yang mengubur bangkai sungai ke dalam sumur kering. Lalu perahu berlayar dari pintu rumah Pak Umar. Mengucapkan selamat tinggal entah kepada siapa. Lima menit lagi motor akan tiba, menjemputku. Membawaku ke kamar mandi bawah. Ada cermin di situ. ada waktu yang terus membuat kereta. Ada menusia yang sedih. Tak mengerti kenapa ia juga sudah berada dalam kereta itu. 1999
70
4.3.1 Analisis Aspek Sintaksis
Puisi di atas terdiri atas dua paragraf, dengan tipografi pembaitan yaitu
dua bait.
1) Aku naik motor, pergi ke desa itu.
2) Tadi pagi aku sempat melihat wajahmu dalam cermin, dikamar mandi
bawah.
3) Aku tak heran ketika waktu mulai membuat kereta dalam cermin itu.
4) Di desa itu ada sungai panjang.
5) Perahu-perahu untuk orang berpergian.
6) Senja sudah bisa dibuat dari daun-daun pisang dan kelapa.
7) Pak Simin membeliku air kelapa.
8) Anak-anak bermain, bekejaran dengan tanah yang terus lari ke kota.
9) Sungai itu kini tidak melahirkan lagi ikan-ikan.
10) Dasar sungai sudah menjadi tempat tidur untuk pabrik-pabrik.
11) Orang-orang harus meninggalkan sawahnya, seperti meninggalkan tangan
dan kaki mereka di dasar sungai.
12) Masih ada orang merajut jala sendiri.
13) Tapi ikan sudah tidak ada.
14) Sudah lama ikan-ikan tidak berkunjung ke rumah kami.
15) Sudah lama kaki kami tidak bisa lagi mengenali nafas tanah dan batang-
batang padi.
16) Ayam bertelur d atas tempat tidur kami.
17) Besok anak kami mati.
71
18) Tak sempat sekolah.
19) Tak sempat ke kota, melihat tanah kami berubah menjadi eskalator, mobil-
mobil-mobil besi, bangunan kaca dan pagar-pagar tinggi.
20) Pak Umar menahan senja di matanya.
21) Ia Mengucapkan selamat tinggal entah kepada siapa.
22) Kasihan sungai itu.
23) Udang-udang tak ada lagi.
Paragraf kedua
24) Aku naik motor ke sebuah desa bernama Tanjung Burung, di Tangerang.
25) Masih ada rumah-rumah tua dan dan kayu tua.
26) Lalu deru motor.
27) Orang-orang bertato dan sepatu besi.
28) Masih ada langit yang tersimpan dalam potret itu.
29) Lalu udang-udang telah berenang dalam radio.
30) Pagi yang mengubur bangkai sungai ke dalam sumur kering.
31) Lalu perahu berlayar dari pintu rumah Pak Umar.
32) Mengucapkan selamat tinggal entah kepada siapa.
33) Lima menit lagi motor akan tiba, menjemputku.
34) Membawaku ke kamar mandi bawah.
35) Ada cermin di situ.
36) Ada waktu yang terus membuat kereta.
37) Ada menusia yang sedih.
38) Tak mengerti kenapa ia juga sudah berada dalam kereta itu.
72
Aku naik motor, pergi ke desa itu adalah kalimat keterangan. Tadi pagi
aku sempat melihat wajahmu dalam cermin, di kamar mandi bawah kalimat ini
adalah kalimat majemuk setara. Aku tak heran ketika waktu mulai membuat
kereta dalam cermin itu adalahkalimat verba traktansitif. Di desa itu ada sungai
panjang, kalimat ini adalah kalimat tunggal berpredikat frasa preposisional.
Perahu-perahu untuk orang berpergian, kalimat ini adalah kalimat kalimat
tunggal lugas. Senja sudah bisa dibuat dari daun-daun pisang dan kelapa,
kalimat ini adalah kalimat majemuk setara. Pak Simin membeliku air kelapa,
adalah kalimat tunggal lugas. Anak-anak bermain, bekejaran dengan tanah yang
terus lari ke kota, kalimat ini adalah kalimat majemuk bertingkat. Sungai itu kini
tidak melahirkan lagi ikan-ikan, kalimat ini adalah kalimat tunggal lugas. Dasar
sungai sudah menjadi tempat tidur untuk pabrik-pabrik, kalimat ini adalah
kalimat Kalimat verba ekatransitif. Orang-orang harus meninggalkan sawahnya,
seperti meninggalkan tangan dan kaki mereka di dasar sungai, kalimat ini adalah
kalimat majemuk bertingkat. Masih ada orang merajut jala sendiri, adalah
kalimat kalimat verba ekatranssitif. Tapi ikan sudah tidak ada, adalah kalimat
tunggal. Sudah lama ikan-ikan tidak berkunjung ke rumah kami, adalah kalimat
tunggal berpredikat verba. Sudah lama kaki kami tidak bisa lagi mengenali
nafas tanah dan batang-batang padi, kalimat ini adalah kalimat majemuk
bertingkat. Ayam bertelur d atas tempat tidur kami, adalah kalimat tunggal lugas.
Besok anak kami mati kalimat tunggal sederhana. Tak sempat sekolah, adalah
kalimat kalimat verba taktransitif. Tak sempat ke kota, melihat tanah kami
berubah menjadi eskalator, mobil-mobil-mobil besi, bangunan kaca dan pagar-
73
pagar tinggi, adalah kalimat majemuk bertingkat. Pak Umar menahan senja di
matanya adalah kalimat verba ekatransitif. Ia mengucapkan selamat tinggal entah
kepada siapa, adalah kalimat verba taktransitif. Kasihan sungai itu. adalah
kalimat tunggal sederhana. Udang-udang tak ada lagi, kalimat tunggal sedernaha.
Aku naik motor ke sebuah desa bernama Tanjung Burung, di Tangerang,
kalimat ini adalah kalimat majemuk setara. Masih ada rumah-rumah tua dan dan
kayu tua, adalah kalimat tunggal lugas. Lalu deru motor, adalah kalimat tunggal
berpredikat frasa preposisional. Orang-orang bertato dan sepatu besi, kaliamt ini
adalah kalimat urutan. Masih ada langit yang tersimpan dalam potret itu, adalah
kalimat verba ekatransitif. Lalu udang-udang telah berenang dalam radio, adalah
kalimat tunggal berpredikat verba. Pagi yang mengubur bangkai sungai ke dalam
sumur kering, adalah kalimat verba dwitransitif. Lalu perahu berlayar dari pintu
rumah Pak Umar, adalah kalimat adalah kalimat tunggal lugas. Mengucapkan
selamat tinggal entah kepada siapa, adalah kalimat verba taktranssitif. Lima menit
lagi motor akan tiba, menjemputku, adalah kalimat verba semitransitif.
Membawaku ke kamar mandi bawah, adalah kalimat verba taktransitif. Ada
cermin di situ, adalah kalimat verba taktransitif. Ada waktu yang terus membuat
kereta, adalah kalimat verba semitransitif. Ada menusia yang sedih, adalah
kalimat verba takransitif. Tak mengerti kenapa ia juga sudah berada dalam kereta
itu, adalah kalimat tunggal berpredikat frasa preposisional.
74
4.3.2 Analisis Aspek Semantik
4.3.2.1 Denotasi dan Konotasi
Pokok pikiran yang disampaikan penyair dalam puisi “Naik Motor ke
Tanjung Burung” adalah perjalanan atau perubahan sebuah tempat menjadi tempat
yang lain. Naik Motor ke Tanjung Burung, kalimat itu mengandung makna yang
sebenarnya, sekaligus sebagai konotasi perjalanan kenangan aku lirik ketika
melintasi sawah dan sungai. Tanjung Burung adalah sebuah tempat di daerah
Tangerang yang sekarang sudah termasuk dalam wilayah metropolitan, karena
terkena perluasan kota.
Eskalator, mobil-mobil-mobil besi, dan rumah-rumah kaca adalah konotasi
dari sebuah kota. Sungai dan ikan-ikan adalah sumber penghasilan orang-orang
disekitas Tanjung Burung, sekarang sudah tidak lagi menjadi penghasilan karena
sungai sudah tercemar oleh limbah-limbang pabrik. Sehingga mengakibatkan
kematian ekosistem ikan-ikan sungai. Penjelasan ini terlihat dari konotasi Sudah
lama ikan-ikan tidak berkunjung ke rumah kami dan Sungai itu kini tidak lagi
melahirkan ikan-ikan.
Pada kaliamt yang lain ada sebuah konotasi kenangan sebuah kampung
sebelum menjadi kota, yaitu Masih ada langit yang tersimpan dalam potret itu
dan Lalu udang-udang berenang dalam radio. Radio adalah sumber informasi,
radio di sini berkonotasi sebagai orang yang bercerita.
75
4.3.2.2 Majas
Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung” menggunakan majas sebagai
berikut diantaranya; ketika waktu mulai membuat kereta adalah metafora. Kereta
di sana melambangkan arus yang bergerak atau melaju cepat. Senja sudah bisa
dibuat dari daun-daun pisang dan kelapa adalah metafora. Anak-anak bermain,
bekejaran dengan tanah yang terus lari ke kota, kalimat ini menjadi majas
metonimia. Frasa bekejaran dengan tanah mengganti kata seiring. Kalimat ini
juga bisa menjadi metafora perubahan kampung menjadi kota, yang dilambangkan
dengan tanah yang terus lari ke kota. Dasar sungai sudah menjadi tempat tidur
untuk pabrik-pabrik ini adalah majas personifikasi. Orang-orang harus
meninggalkan sawahnya, seperti meninggalkan tangan dan kaki mereka di dasar
sungai, tangan dan kaki mereka adalah pasprototo dari aktivitas keseharian. Sudah
lama ikan tak berkunjung kerumah kami, adalah majas metonimia. Sudah lama
kaki kami tidak bisa lagi mengenali nafas tanah dan batang-batang padi, kaki
menjadi pasprototo, mengenali nafas tanah dan batang-batang padi adalah
metonimia. Tanah kami berubah menjadi eskalator, mobil-mobil-mobil besi,
bangunan berkaca dan pagar-pagar tinggi, adalah metafora. Mobil-mobil-mobil
besi adalah hiperbola, bangunan berkaca dan pagar-pagar tinggi adalah
pasprototo. Pak Umar menahan senja di matanya, senja di matanya adalah
metafora. Masih ada langit yang tersimpan dalam potret itu, potret di sini
merujuk pada kenangan atau masa lalu, berarti ini majas metafora. Lalu udang-
udang telah berenang dalam radio, radio di sini merujuk pada sebuah tempat atau
ruang tempat udang berenang. Ini adalah majas metonimia. Lalu perahu berlayar
76
dari pintu rumah pak umar, kalimat ini mengarah pada majas hiperbola. Ada
waktu yang terus membuat kereta, kalimat ini mengarah pada majas personifikasi
dan metafora. Kereta di sini sebagai lambang atau metafora dari aktivitas atau laju
yang cepat.
4.3.2.3 Isotopi
4.3.2.3.1 Isotopi Manusia
Tabel 4.3.2.3.1 Isotopi Manusia Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”
Kata/frasa yang termasuk isotopi manusia
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Insan (tubuh & roh)
Berakal budi
Aktivitas
Naik 2X d + Pergi 2X d/k + Melihat 2X d/k + Wajahku 1X d/k + Membuat 2X d/k + Mulai 1X d + Orang 4X d + Berpergian 1X d/k + Memberi 1X d + + Anak-anak 1X d/k + Bermain 1X d/k + Bekejaran 1X d + Lari 1X d/k + Melahirkan 1X d/k + Meninggalkan 2X d/k + Tangan 1X d/k + Kaki 1X d/k + Merajut 1X d/k + Berkunjung 1X d + Mengenali 1X d + Nafas 1X d + Mandi 2X d + Berubah 1X d/k + Berkaca 1X d/k + Menahan 1X d/k +
77
Berjingkat 1X d + Matanya 1X d + Mengucapkan 2X d + Tua 1X d/k + Simpan 1X d/k + Berenang 1X d + Mengubur 1X d/k + Tinggal 1X d/k + Menjemput 1X d/k + Membawa 1X d/k + Manusia 1X d + Sedih 1X d/k + Mengerti 1X d/k +
Kata-kata yang mendukung isotopi manusia dalam puisi ini berjumlah tiga
puluh delapan. Komponen makna yang paling banyak muncul adalah komponen
makna “aktivitas”, yang setelahnya diikuti oleh makna “insan (tubuh dan roh)”,
serta “berakal budi”
Hadirnya kata-kata yang mendukung isotopi manusia pada puisi “Aku
Lahir dalam Kardus” di atas memiliki makna yang saling terkait sehingga makna
yang muncul juga pada dasarnya bertitik pada satu pikiran utama yang
menyatakan keadaan batin aku lirik.
4.3.2.3.2 Isotopi Alam
Tabel 4.3.2.3.2 Isotopi Alam Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”
Kata/frasa yang termasuk isotopi alam
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Angkasa Bumi kehidupan
Sungai 4X d/k + Daun-daun 1X d + Senja 2X d/k + Pisang 1X d +
78
Kelapa 2X d + Air 1X d/k + Ikan-ikan 2X d + Sawah 1X d + + Ayam 1X d/k + Kayu 1X d + Langit 1X d/k + Udang-udang 2X d + Tanah 3X d/k +
Pada isotopi alam terdapat tiga belas kata dan frasa yang menguatkan
suasana. Suasana yang banyak muncul dalam puisi ini adalah suasana kehidupan.
Kehidupan dalam isotopi ini menjadi dominan, sehingga makna imaji alam
menjadi lirih.
4.3.2.3.3 Isotopi Gerak
Tabel 4.3.2.3.3 Isotopi Gerak Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”
Kata/frasa yang termasuk isotopi gerak
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Gerakan anggota badan
Pindah tempat/bentuk
Naik 2X d + Lari 1X d/k + Bekejaran 1X d/k +
Kata-kata yang mendukung isotopi gerak dalam puisi ini berjumlah Tiga.
Semuanya adalah pindah tempat atau bentuk. Penggambaran suasana dalam puisi
ini tidak terlalu jauh dibayangkan oleh pembaca.
79
4.3.2.3.4 Isotopi Ruang
Tabel 4.3.2.3.4 Isotopi Ruang Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”
Kata/frasa yang termasuk isotopi ruang
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama terbuka Tertutup
Desa 3X d + Kamar mandi bawah
2X d/k +
Kota 2X d + Tempat tidur 2X d + Pabrik-pabrik 1X d + Sawah 1X d + Rumah 2X d + Sekolah 1X d + Bangunan berkaca
1X d/k +
Kereta 2X d/k + Pagar 1X d +
Isotopi ruang dalam puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung” ada Sebelas.
Kebanyakan kata dalam isotopi ini bermakna denotasi. Dan dari kebanyakan
makna denotasi membuat makna tertutup. Artinya ruang yang digambarkan sudah
pasti. Ruang-ruang ini mengacu pada sesuatu yang hidup, yang diciptakan, dan
dirasakan.
4.3.2.3.5 Isotopi Waktu
Tabel 4.3.2.3.5 Isotopi Waktu Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”
Kata/frasa yang termasuk isotopi waktu
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Saat tindakan
Jangka waktu
Pagi 2X d + Senja 1X d/k +
80
Waktu 1X d/k + Mati 1X d + Menit 1X d +
Isotopi waktu berjumlah lima, dan kesemuanya lebih menunjukan makna
“jangka waktu”. Hal tersebut menyebabkan seolah-olah puisi ini tidak memiliki
satu kesatuan yang jelas. Pembaca, oleh penyair diajak untuk melompat-lompat
dalam memaknai puisi ini. Pelompatan imaji ini, tidak memecah konsentrasi
pokok pikiran yang disampaikan oleh penyair karena ada dalam satu alusi.
4.3.2.3.6 Isotopi Dengar
Tabel 4.3.2.3.6 Isotopi Manusia Puisi “Naik Motor ke Tanjung
Burung”
Kata/frasa yang termasuk isotopi dengar
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama suara Proses Cara
Deru motor 1X d/k +
Komponen yang membangun suara dalam puisi “Naik Motor ke Tanjung
Burung” adalah “suara”. Komponen ini menjadi komponen tunggal, sehingga
puisi ini menjadi miskin imaji auditif. Imaji auditif adalah imaji dengaran.
4.3.3 Analisis Aspek Pragmatik
Dalam puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung” penyair memberikan suatu
gambaran tentang pergeseran kampung menjadi kota. Bergeseran ini
menyebabkan hilangnya mata pencaharian orang-orang yang berada di kampusng
81
tersebut. Hilangnya mata pencaharian itu disebabkan oleh sawah yang sudah
menjadi tembok-tembok megah, serta sungai sudah tercemar oleh limbah-limbah
pabrik, sehingga mengakibatkan ikan-ikan mati. ruang-ruang itu sudah menjadi
ruang-ruang baru yang belum bersahabat dengan orang-orang kampung. Ruang itu
dinamakan kota. Setelah menjadi kota, orang-orang asli sangat terdesak terutamah
oleh ruang bangunan-bangunan, sehingga penyair membuat kalimat hiperbola
yang satir ayam bertelur di atas tempat tidur kami. Kalimat ini menjelaskan
betapa sumpek pembanguan yang akan mendekontruksi kampung menjadi kota
ini.
Modernisasi ini dibuat begitu cepat, secepat waktu membuat kereta.
Modernisasi ini juga sangat merugikan orang-orang asli kampung. Mereka
kehilangan mata pencaharian dan sumber kehidupan. Meseka entah berpindah ke
mana, seperti tidak tahu mengucapkan selamat tinggal pada siapa. Mereka hanya
pasrah dan menunggu mati. Pak Umar menahan senja di matanya. Apabila orang
itu bertahan, maka mereka akan terus bersedih dan mengingat kampung asalnya
berubah menjadi kota yang tidak memberikan lahan kehidupan (mata
pencaharian).
3.3.4 Gambaran Kota dalam Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”
Dalam puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung” adalah sebuah pergeseran
kampung menjadi urban. Atau Modernisasi. Kota dalam sajak ini adalah kota
yang membangun, bukan merupakan kota yang utuh. Kota yang membangun ini
menyita lahan-lahan sawah, mencemari sungai-sungai oleh limbah pabrik.
82
Setelah pembanguan selesai, kota ini dipenuhi dengan Mall atau dalam
puisi ini dilambangkan dengan eskalator, serta mobil-mobil sebagai alat
transportasi pengganti perahu, serta bangunan-bangunan kaca dan pagar-pagar
tinggi pengganti rumah tua dari kayu. Sehingga kampung mereka sudah menjadi
kenangan. Mau-tidak mau realitas baru akan dimulai. Realitas ini membuat orang-
orang akan menyesuaikan kembali dengan keadaan modernitas. Mereka harus
bertahan apabila tidak ingin tergusur dan punah.
3.3.5 Tafsiran Makna Kota dalam Puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”
Pokok pikiran penyair pada puisi “Naik Motor ke Tanjung Burung”,
adalah perampasan lahan-lahan seperti sawah menjadi lahan-lahan bangunan,
pencemaran lingkungan, dan konflik batin, ekonomi, dan budaya orang-orang
kampung menuju modernitas.
Perampasan lahan ini untuk kepentingan modernitas. Modernitas ini untuk
kepentingan kaum-kaum kapitasis, mereka membuat pabrik, mall, real estate,
semua itu tentunya merugikan orang-orang yang notabene penduduk asli.
Penduduk asli sudah tidak bisa lagi bercocok tanam atau mata pencaharian yang
lainnya. secara otomatis, alat trnsportasi berubah menjadi alat transportasi modern
dalam puisi ini dilambangkan dengan mobil-mobil besi.
Modernisasi ini mengakibatkan pencemaran lingkungan seperti
pencemaran air sungai oleh limbah-limbah pabrik, polusi udara oleh asap
karbondioksida knalpot mobil. Hal seperti ini mengakibatkan banyak munculnya
83
penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian, terutama terhadap anak-
anak. Besok anak kami mati.
Tafsiran makna kota yang lainnya adalah konflik batin. Konflik batin ini
menjadi konflik universal pada puisi ini. Memang penyair tidak menuliskan secara
langsung siapa yang salah dan siapa yang benar, penyair hanya meleburkan pesan
tersebut lewat metafora atau majas-majas yang lainnya. Lalu udang-udang itu
berenang dalam radio, kalimat ini mengandung makna bukan pada tempatnya.
Artinya ini menjadi pertentangan antara modernitas dan kampung. Apakah
kampung adalah realitas yang tertinggal dalam bayang-bayang modernitas,
ataukah modernitas yang terlalu cepat dan serakah mendekontruksi kampung
menjadi kota. Hal ini dijawab penyair dengan hukum alam, atau evolusi, atau
menyesuaikan diri. Siapa yang dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan
realitas yang terjadi, maka ia akan tetap hidup. Hidup di sini pun menjadi hidup
yang bias, karena pada akhir kalimat puisi ini penyair menuliskan Ada manusia
yang sedih. Tak mengerti kenapa ia juga sudah berada dalam kereta itu.
84
4.4 Makna Kota dalam Puisi “Aku Lahir dalam Kardus”
Aku Lahir dalam Kardus Ia baru saja bangun, menggeliat bersama mentega dan telur dadar. Pagi ini, ia sangat sibuk membuat tokoh-tokoh baru di atas tempat tidur, terdiri dari perempuan dan laki-laki. Yang satu seorang insinyur, tinggal di Hongkong. Satunya lagi seorang dokter, tinggal di Palembang. Satunya lagi seorang disainer interior, tinggal di Menado. Yang lainnya aku lupa. Masing-masing tokoh menyatakan cinta, dan saling mengintai lewat email-email gratis di internet. Saling membagi cerita-cerita indah tentang persahabatan yang abadi, dan cerita-cerita sedih tentang cinta dan cemburu. Setiap malam, tanpa sadar, mereka sudah salingmenukar bantal dan kartu nama, lalu berjanji bertemu di sebuah kota. dalam perjalanan, seorang diantara mereka mati digigit anjing. Yang lain bertengkar, memperebutkan cara-cara yang paling indah untuk memanggil nama kekasihnya. Seorang lagi tenggelam di kolam renang. Seorang lagi bibirnya tersundut rokok. Mereka kemudian membuat pertemuan mendadak di atas tempat tidur. Mereka bilang tentara sudah menguasai seluruh tempat pertemuan di kota ini. Mereka setuju untuk mempersenjatai diri, membeli pistol, pasta gigi, dan kacang goreng. lalu suara orang mandi dalam tv.
4.4.1 Analisis Aspek Sintaksis
Puisi “Aku Lahir dalam Kardus” terdiri atas tujuhbelas kalimat, di antaranya:
1) Ia baru saja bangun, menggeliat bersama mentega dan telur dadar.
2) Pagi ini, ia sangat sibuk membuat tokoh-tokoh baru di atas tempat tidur,
terdiri dari perempuan dan lelaki.
3) Yang satu orang insiyur tinggal di Hongkong.
4) Satunya lagi seorang dokter, tinggal di Palembang.
5) Satunya lagi seorang disainer interior, tinggal di Menado.
6) Yang lainnya aku lupa.
85
7) Masing-masing tokoh saling menyatakan cinta, dan saling mengintai lewat
email-email gratis di internet.
8) Saling membagi cerita-cerita indah tentang persahabatan yang abadi, dan
cerita-cerita sedih tentang cinta dan cemburu.
9) Setiap malam, tanpa sadar, mereka sudah saling menukar bantal dan kartu
nama, lalu berjanji bertemu di sebuah kota.
10) Dalam perjalanan, seseorang di antara mereka mati digigit anjing.
11) Yang lain bertengkar, merebutkan cara-cara yang paling indah untuk
memanggil nama kekasihnya.
12) Seorang lagi tenggelam di kolam renang.
13) Seorang lagi bibirnya tersundut rokok.
14) Mereka kemudian membuat pertemuan mendadak di atas tempat tidur.
15) Mereka bilang tentara sudah menguasai seluruh tempat pertemuan di kota
ini.
16) Mereka setuju untuk mempersenjatai diri, membeli pistol, pasta gigidan
kacang goreng.
17) Lalu orang mandi dalam tv.
Kalimat pertama yaitu Ia baru saja bangun, menggeliat bersama mentega
dan telur dadar., merupakan kalimat majemuk setara yang terbangun dari unsur Ia
(S), baru saja bangun (P), menggeliat (P) bersama mentega dan telur dadar (K),
kalusa yang kedua ini merupakan unsur keterangan yang memiliki anak kalimat.
Kalimat pertama ini dikatakan kalimat majemuk setara karena ditandai dengan
adanya konjungsi dan. Kalimat Pagi ini ia sangat sibuk membuat tokoh-tokoh
86
baru di atas tempat tidur, terdiri dari perempuan dan lelaki., kalimat ini terdiri
dari unsur Pagi ini (Ket. waktu), ia (S), sangat sibuk membuat (P), tokoh-tokoh
baru (Pel), di atas tempat tidur (Ket. Tempat), terdiri dari perempuan dan lelaki
(K). Kalimat Yang satu orang insinyur tinggal di Hongkong., terbangun dari unsur
Yang satu orang insinyur (S), tinggal (P), dan di Hongkong (Ket tempat). Kalimat
Satunya lagi seorang dokter, tinggal di Palembang., terbangun dari unsur Satunya
lagi seorang dokter (S), tinggal (P), dan di Palembang (Ket. tempat). Kalimat
Satunya lagi seorang disainer interior, tinggal di Menado., terbangun dari unsur
Satunya lagi seorang disainer interior (S), tinggal (P), di Menado (Ket.tempat).
Kalimat Yang lainnya aku lupa., terbangun dari unsur satu klausa. kalimat
Masing-masing tokoh saling menyatakan cinta, dan saling mengintai lewat email-
email gratis di internet., merupakan kalimat majemuk setara, karena ditandai
dengan konjungsi dan. Hubungan antarklausa dalam kalimat ini adalah hubungan
penjumlahan yang menyatakan perluasan. Kalimat majemuk setara yang
mengandung hubungan antarklausa yang menyatakan perluasan juga ditemui
dalam kalimat Saling membagi cerita-cerita indah tentang persahabatan yang
abadi, dan cerita-cerita sedih tentang cint dan cemburu.
Kalimat selanjutnya, Setiap malam, tanpa sadar, mereka sudah saling
menukar bantal dan kartu nama, lalu berjanji bertemu di sebuah kota., memiliki
dua klausa, yaitu mereka sudah saling menukar bantal dan kartu nama, dan lalu
berjanji bertemu di sebuah kota. Klausa pertama memiliki peran atau makna
pelaku, karena kata mereka dapat menjawab pertanyaan siapa yang melakukan
perbuatan yang dinyatakan oleh pengisi fungsi predikat. Klausa kedua merujuk
87
pada subjek mereka dalam klausa pertama, hanya saja fungsi subjek dalam klausa
ini dilesapkan. Kalimat Dalam perjalanan, seseorang di antara mereka mati
digigit anjing., mengandung unsur Dalam perjalanan (Ket.), seseorang di antara
mereka (S), mati (P), dan digigit anjing (Pel). Kata dalam pada frasa dalam
perjalanan digunakan sebagai pengganti frasa ketika tengah melakukan. Dengan
kata lain, frasa ini mengandung makna aspek duratif atau sedang berlangsung.
Subjek dalam klausa seseorang di antara mereka mati digigit anjing memiliki
peran atau makna penderita, di mana frasa seseorang di antara mereka memiliki
makna pembatas.
Kalimat selanjutnya adalah Yang lain bertengkar, merebutkan cara-cara
paling indah untuk memanggil nama kekasihnya. Frasa yang lain merujuk pada
kata mereka yang memiliki makna pembatas. Kalimat Seorang lagi tenggelam di
kolam renang. Seorang lagi tersundut rokok., memiliki frasa yang memiliki
makna pembatas dan klausa yang memiliki makna penderita. Kalimat Mereka
kemudian membuat pertemuan mendadak di atas tempat tidur., memiliki fungsi
Mereka (S), kemudian membuat pertemuan mendadak (P), dan di atas tempat
tidur (Ket). Kalimat tersebut memiliki makna pembatas. Begitu juga dengan
kalimat Mereka bilang tentara sudah menguasai seluruh tempat pertemuan di
kota ini., dan Mereka setuju untuk mempersenjatai diri, membeli pistol, pasta gigi
dan kacang goreng. Lalu orang mandi dalam tv., merupakan kalimat tunggal
sederhana.
88
4.4.2 Analisis Aspek semantik
4.4.2.1 Denotasi dan Konotasi
Kalimat pertama dalam puisi “Aku Lahir dalam Kardus”, adalah Ia baru
saja bangun, menggeliat bersama mentega dan telur dadar., mengandung makna
konotatif. Kata bersama dalam frasa bersama mentega dan telur dadar memiliki
arti dari yang sebenarnya. kata bersama memiliki artian denotatif berbareng, atau
melakukan aktivitas serentak, namun dalam kalimat ini penggunaan kata bersama
memiliki arti dilakukan di hadapan atau dilakukan dekat.
Kalimat selanjutnya adalah, Pagi ini, ia sangat sibuk membuat tokoh-
tokoh baru di atas tempat tidur, terdiri dari perempuan dan lelaki., mengandung
artian denotatif. Dalam kalimat ini penulis tidak menemukan arti kiasan dalam
tiap kata yang dihadirkan oleh penyair. Kalimat-kalimat Yang satu seorang
insinyur, tinggal di Hongkong. Satunya lagi seorang dokter, tinggal di
Palembang. Satunya lagi seorang disainer interior, tinggal di Menado. Yang
lainnya aku lupa., juga mengandung artian denotatif, karena penulis tidak
menemukan arti kiasan dari kalimat-kalimat ini.
Kalimat Masing-masing tokoh saling menyatakan cinta, dan saling
mengintai lewat email-email gratis di internet., mengandung artian denotatif,
karena kalimat ini masih mengacu pada penjelasan kalimat sebelumnya. Kalimat
selanjutnya juga mengandung artian denotatif, yaitu kalimat Saling membagi
cerita-cerita indah tentang persahabatan yang abadi, dan cerita-cerita sedih
tentang cinta dan cemburu.
89
Artian konotatif hadir dalam kalimat Setiap malam, tanpa sadar, mereka
sudah saling menukar bantal dan kartu nama, lalu berjanji bertemu di sebuah
kota. Kata bantal dalam kalimat ini mengandung artian konotatif, karena kata
bantal menunjukan pada sesuatu yang bersifat pribadi, bukan arti yang
sebenarnya. Kalimat Dalam perjalanan, seorang di antara merka mati digigit
anjing. Yang lain bertengkar, memperebutkan cara-cara yang paling indah untuk
memanggil nama kekasihnya. Seorang lagi tenggelam di kolam renang. Seorang
lagi bibirnya tersundut rokok., mengandung artian denotatif. Kemudian pada
kalimat Mereka kemudian membuat pertemuan mendadak di atas tempat tidur.,
penulis menemukan artian konotatif, meskipun secara teks kalimat ini
mengandung artian denotatif. Artian konotatif didapat karena pertemuan
mendadak di atas tempat tidur merujuk pada pertemuan lewat internet (dunia
maya), bukan pertemuan (bertatap muka) secara langsung.
Kalimat Mereka bilang tentara sudah menguasai seluruh tempat
pertemuan di kota ini. Mereka setuju untuk mempersenjatai diri, membeli pistol,
pasta gigi dan kacang goreng. Lalu orang mandi dalam tv., mengandung makna
denotatif. Dari semua kalimat dalam puisi ini yang mengandung artian denotatif,
denotata-denotata yang terdapat kalimatnya menunjukkan kenyataan nonfaktual.
Kenyataan nonfaktual tersebut didapat dari anggapan bahwa cerita yang terdapat
dalam puisi adalah khayalan tokoh ia, dibuktikan dalam kalimat Pagi ini, ia
sangat sibuk membuat tokoh-tokoh baru di atas tempat tidur, terdiri dari
perempuan dan lelaki.
90
4.4.2.2 Majas
Kalimat Ia baru saja bangun, menggeliat bersama mentega dan telur
dadar., dalam puisi Aku Lahir dalam Kardus mengandung majas personifikasi.
Predikat menggeliat digunakan untuk menghidupkan mentega dan telur dalam
kalimat ini. Dua kalimat Satunya lagi seorang dokter, tinggal di Palembang., dan
Satunya lagi seorang disainer interior, tinggal di Menado., mengandung majas
anafora, kerena terjadi pengulangan frasa satunya lagi pada setiap kalimatnya.
Kalimat Saling membagi cerita-cerita indah tentang persahabatan yang abadi,
dan cerita-cerita sedih tentang cinta dan cemburu., mengandung majas paradoks,
karena penyair dalam kalimat ini mempertentangkan cerita-cerita indah dengan
cerita-cerita sedih.
Majas metafora hadir dalam kalimat Setiap malam, tanpa sadar, mereka
sudah saling menukar bantal dan kartu nama, lalu berjanji bertemu di sebuah
kota. Kata bantal digunakan untuk menyatakan/pengganti hal yang bersifat paling
pribadi. Majas anafora kembali hadir dalam dua kalimat berikut, yaitu Seorang
lagi tenggelam di kolam renang. Seorang lagi bibirnya tersundut rokok.
91
4.4.2.3 Isotopi
4.4.2.3.1 Isotopi Manusia
Tabel 4.4.2.3.1 Isotopi Manusia dalam Puisi “Aku Lahir dalam Kardus”
Kata/frasa yang termasuk isotopi manusia
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Insan (tubuh & roh)
Berakal budi
Aktivitas
Bangun 1X d + Menggeliat 1X d + Sibuk 1X d/k + Membuat 1X d/k + Perempuan 1X d + Lelaki 1X d + Insinyur 1X d + Seorang 7X d/k + Doktor 1X d + + Disainer Interior 1X d/k + + Lupa 1X d + Menyatakan 1X d + Cinta 1X d/k + Mengintai 1X d + + Lewat 1X d + Membagi 1X d + Cerita-cerita 2X d/k + Persahabatan 1X d/k + Sedih 1X d + Cemburu 1X d + Sadar 1X d + Menukar 1X d + Berjanji 1X d + + Bertemu 1X d + Perjalanan 1X d/k + Mati 1X d + Bertengkar 1X d + Memperebutkan 1X d + Memanggil 1X d + Nama 1X d/k + Bibirnya 1X d + Tentara 1X d/k + Menguasai 1X d/k +
92
Membeli 1X d + Suara 1X d + Mandi 1X d +
Kata-kata yang mendukung isotopi manusia dalam puisi ini berjumlah tiga
puluh delapan. Komponen makna yang paling banyak muncul adalah komponen
makna “aktivitas”, yang setelahnya diikuti oleh makna “insan (tubuh dan roh)”,
serta “berakal budi”
Hadirnya kata-kata yang mendukung isotopi manusia pada puisi “Aku
Lahir dalam Kardus” di atas memiliki makna yang saling terkait sehingga makna
yang muncul juga pada dasarnya bertitik pada satu pikiran utama yang
menyatakan keadaan batin aku lirik.
4.4.2.3.2 Isotopi Alam
Tabel 4.4.2.3.2 Isotopi Alam dalam Puisi “Aku Lahir dalam Kardus”
Kata/frasa yang termasuk isotopi alam
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Angkasa Bumi kehidupan
Anjing 1X d/k +
Pada isotopi alam dalam puisi “Aku Lahir dalam Kardus” hanya ada satu.
Komponen yang muncul adalah komponen makna “kehidupan”. Miskinnya
isotopi alam, menunjukan bahwa penyair lebih fokus mendeskripsikan tubuh
(manusia).
93
4.4.2.3.3 Isotopi Gerak
Tabel 4.4.2.3.3 Isotopi Gerak dalam Puisi “Aku Lahir dalam Kardus”
Kata/frasa yang termasuk isotopi gerak
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Gerakan anggota badan
Pindah tempat/bentuk
Menggeliat 1X d/k + + Perjalanan 1X d/k +
Kata-kata yang mendukung isotopi gerak dalam puisi ini berjumlah dua.
Di mana makna “gerakan anggota badan” dan “pindah tempat” sama
menonjolnya. Oleh karena itu, penggambaran suasana dalam puisi ini tidak terlalu
jauh dibayangkan oleh pembaca, meskipun banyak kalimat dalam puisi ini yang
pengimajiannya melompat-lompat. Namun demikian, penyair sebenarnya telah
memberi garis tebal pada pembaca agar mampu memahami pikiran pokok yang
disampaikan penyair.
4.4.2.3.4 Isotopi Ruang
Tabel 4.4.2.3.4 Isotopi Ruang dalam Puisi “Aku Lahir dalam Kardus”
Kata/frasa yang termasuk isotopi ruang
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama terbuka Tertutup
Tempat Tidur 2X d + Hongkong 1X d + Menado 1X d/k + Palembang 1X d + Kolam Renang 1X d + Kota 1X d/k + Dalam TV 1X d/k +
94
Isotopi ruang dalam puisi “Aku Lahir dalam Kardus” ada tujuh.
Kebanyakan kata dalam isotopi ini bermakna denotasi. Dan dari kebanyakan
makna denotasi membuat makna tertutup. Artinya ruang yang digambarkan sudah
pasti. Ruang-ruang ini mengacu pada sesuatu yang hidup, yang diciptakan, dan
dirasakan. Sehingga hubungan sebab-akibat pun bermunculan antara kalimat yang
satu dengan yang lain.
4.4.2.3.5 Isotopi Waktu
Tabel 4.4.2.3.5 Isotopi Waktu dalam “Aku Lahir dalam Kardus”
Kata/frasa yang termasuk isotopi waktu
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Saat tindakan
Jangka waktu
Pagi 1X d/k + Abadi 1X d/k + Mati 1X d/k +
Isotopi waktu berjumlah tiga, dan kesemuanya lebih menunjukan makna
“jangka waktu”. Hal tersebut menyebabkan seolah-olah puisi ini tidak memiliki
satu kesatuan yang jelas. Pembaca, oleh penyair diajak untuk melompat-lompat
dalam memaknai puisi ini. Yang menjadi unik adalah ketika pikiran rumit dan
“amburadul” si penyair ternyata mampu menyampaikan suatu pokok pikiran.
Apabila sampai pada makna dasarnya, kesan gelap puisi ini akan hilang.
95
4.4.2.3.6 Isotopi Dengar
Tabel 4.4.2.3.6 Isotopi Dengar dalam Puisi “Aku Lahir dalam Kardus”
Kata/frasa yang termasuk isotopi dengar
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama suara Proses Cara
Suara orang mandi
1X d/k +
Komponen yang membangun suara dalam puisi “Aku Lahir dalam
Kardus” adalah “suara”. Komponen ini menjadi komponen tunggal, sehingga
puisi Aku Lahir dalam Kardus menjadi miskin imaji auditif. Imaji auditif adalah
imaji dengaran.
4.4.3 Analisis Aspek Pragmatik
Dalam puisi “Aku Lahir dalam Kardus” aku lirik menjadi pencerita.
Artinya, aku lirik bukan sebagai subjek tunggal, sehingga puisi ini menjadi puisi
naratif. Kadang-kadang aku lirik menjadi jamak, atau mengatas namakan mereka,
namun pikiran yang disampaikan tetapap pemikiran aku lirik. Aku lirik sebagai
pencerita sekaligus memberikan pesan-pesan kepada pendengar. Pesan ini melalui
monolog tentang situasi keadaan kota. Selain itu, teks otonom yang ditampilkan
aku lirik pada puisi “Aku Lahir dalam Kardus” berperan penting terhadap pesan
yang disampaikan.
Pendengar atau orang yang diajak berbicara oleh aku lirik adalah kota atau
orang-orang yang menghuni kota, terlihat dalam kalimat Mereka bilang tentara
sudah menguasai tempat pertemuan di kota ini. Yang lainnya dileburkan melalui
96
teks-teks otonom tentang kota seperti email-email gratis di internet, Lalu orang
mandi dalam tv.
Aku lirik tidak menjadikan pendengar sebagai aprostrofe, karena ada objek
yang diajak bicara yaitu kota dan orang-orang kota.
4.4.4 Gambaran Kota dalam Puisi “Aku Lahir dalam Kardus”
Kota dalam puisi “Aku Lahir dalam Kardus” terlihat jelas pada kalimat-
kalimat yang disampaikan oleh penyair. Kota di sini menjadi kota yang luas, kota
sebagai pusat informasi dan pusat pertemuan (silaturahmi). Hal ini terlihat ketika
penyair mengacak tempat tinggal tokoh (kota) pada puisi ini; Hongkong,
Palembang, dan Menado. Kota ini letaknya sangat berjauhan, namun mereka
dapat berkomunikasi dengan email (surat elektronik). Orang-orang kota dengan
leluasa mengakses informasi dan jaringan dengan internet. Internet bisa diakses
bebas dengan hot spot di kafe dan gedung-gedung yang berfasilitas hot spot.
Imbas dari itu, pergaulan orang-orang kota semakin tidak jelas. Silaturahmi
mereka hanya sebatas pada email. Tidak ada spirit proses silaturahmi yang taat
(dor to dor). Email atau handpone bentuk silaturahmi yang memotong momentum
yang terjadi. Momentum di sini adalah proses tindakan, visual, dan auditif ketika
kita akan berkomunikasi jarak jauh.
Kota di sini sebagai ruang yang sangat terbuka baik untuk orang-orang,
teknologi, maupun yang lainnya. Keterbukaan ini juga pernah disampaikan oleh
Afrizal ketika berdiskusi di toko buku Ultimus dengan teori In dan Out. Teori ini
memandang realitas sekarang yang semakin cepat berganti wajah, serta berganti
97
aktivitas. Hal seperti ini yang membuat orang tidak pernah khusyuk memandang
sesuatu atau mengerjakan sesuatu. Selalu ada godaan yang menyertainya. Setiap
malam tanpa sadar mereka saling menukar bantal dan kartu nama, lalu berjanji
bertemu disebuah kota. Dalam kalimat ini, betapa mudah mengenali seseorang,
karena proses perkenalan ini yang begitu mudah, akhirnya banyak terjadi salah
paham, Dalam perjalanan, seorang di antara mereka mati digigit anjing. Yang
lain bertengkar, memperebutkan cara-cara yang indah untuk memanggil nama
kekasihnya. Seorang lagi tenggelam di kolam renang. Seorang lagi bibirnya
tersundut rokok.
4.4.5 Tafsiran Makna Kota dalam Puisi “Aku Lahir dalam Kardus”
Pokok pikiran penyair pada puisi “Aku Lahir dalam Kardus” adalah kota
sebagai akses informasi, kota sebagai tempat silaturahmi (pertemuan), dan kota
sebagai ruang terbuka. Kota sebagai akses informasi di sini memunculkan
dualisme yang berbeda. Di satu sisi, informasi yang semakin cepat bisa membantu
dan mempermudah pekerjaan-pekerjaan kita. Dan kita juga dapat mengetahui
keadaan di kota lain dengan cepat, artinya informasi ini bisa menjadi komparasi
atau sebagai pertukaran informasi. Informasi ini sangat penting untuk manusia
sekarang yang super sibuk dan menyesuaikan dengan akses global. Orang akan
tertinggal apabila tidak dapat mengakses informasi yang up to date seperti
informasi dunia pengetahuan, politik, dan budaya yang sedang berkembang. Di
sisi lain, dengan mudah kita dapat mempercayai suatu keadaan atau kondisi ruang
dengan penglihatan. Kita hanya sebatas tahu, akan tetapi tidak bisa merasakan
keadaan suhu, atau iklim realitas yang membentuk kota atau ruang tersebut.
98
Tingkat kesalahpahaman semakin meningkat, karena informasi sebatas lewat surat
elektronik atau media televisi. Intinya, informasi ini menjadi informasi temporari
(berita sesaat). Tidak menjadi bagian yang khusus masuk pada tubuh kita.
Kota sebagai pusat silaturahmi (tempat pertemuan), hal ini lahir dari
pikiran penyair. Kota dengan infrastruktur dan fasilitas yang lengkap dapat
menjadikan sebagai pusat silaturahmi. Baik pertemuan etnis, maupun pertemuan
teknologi. Pertemuan di sini dipandang positif dan negatif. Positifnya adalah
silaturahmi mempererat persaudaraan. Persaudaraan di sini tentunya bukan
persaudaraan sedarah, melainkan persaudaraan relasi kerja, atau relasi yang
lainnya. Merujuk pada Yasraf Amir Piliang, kota dalam sajak Aku Lahir dalam
Kardus menjadi dunia yang dilipat. Dunia dibuat menjadi mudah oleh teknologi,
orang-orang bisa berada di mana-mana dengan hitungan detik menggunakan
handphone atau teknologi yang lainnya. Sambil memasak kita bisa menelepon,
sambil menyetir kita bisa menelepon, betapa mudah sekali informasi didapat.
Namun itu memotong proses yang sangat panjang, proses alam atau realitas
silaturahmi menjadi abstrak.
Sisi negatifnya adalah teknologi menjadikan budaya instan, tidak melalui
proses realitas yang sebenarnya. Realitas ini cuma ada di subjek dan objek atau di
kota A dan di kota B, tidak ada jembatan realitas yang menghubungkan. Artinya,
kita tidak tahu ada apa saja ketika bersilaturahmi dengan kota B. Proses inilah
yang terpotong. Serta banyak sekali kesalahpahaman silaturahmi yang
menyebabkan pertengkaran seperti pada kalimat Dalam perjalanan, seorang di
antara mereka mati digigit anjing. Yang lain bertengkar, memperebutkan cara-
99
cara yang indah untuk memanggil nama kekasihnya. Seorang lagi tenggelam di
kolam renang. Seorang lagi bibirnya tersundut rokok. Sedangkan disisi lain,
silaturahmi dimanfaatkan untuk kepentingan individu-individu tertentu. Makna
silaturahmi telah bergeser menjadi konotasi negatif dipandang oleh penyair.
Sehingga ruang silaturahmi tidak sembarangan di mana saja. Ruang silaturahmi
ini tertutup atau penyair membahasakannya di atas tempat tidur, tempat tidur di
sini tempat pribadi yang mengarah pada rahasia. Artinya silaturahmi ini bukan
silaturahmi biasa, terbukti ketika kota dalam puisi ini dikuasai oleh tentara.
Tentara bisa dijadikan sebagai lambang peraturan atau juga sebagai rintangan.
Silaturahmi di sini mengacu kearah negatif, bisa jadi perselingkuhan,
merencanakan makar, atau perencanaan lain untuk kepentingan-kepentingan
tertentu, suap menyuap misalnya.
Kota sebagai ruang terbuka sebenarnya sudah sedikit dibahas di atas. Siapa
pun boleh masuk dan mengakses fasilitas yang ada di kota. Fasilitas ini tentunya
ditunjang oleh kapasitas materi setiap orang. Apabila kapasitas materinya sedikit,
orang itu akan tertinggal jauh mungkin juga akan terdepak dari kota. Kota sebagai
ruang terbuka namun sekaligus sebagai ruang pertempuran realitas yang panas.
Hal ini mengingatkan saya pada hukum rimba siapa cepat dia dapat, dan siapa
kuat dia akan bertahan. Hal itu menjadi hukum yang mutlak pada sebuah kota,
karena penduduknya sudah tidak ramah lagi. Seakan-akan seleksi alam yang
terjadi di kota dibuat oleh manusianya sendiri. Manusia membuat peraturan,
manusia membuat teknologi, semua itu untuk kepentingan bisnis semata.
100
4.5 Makna Kota dalam Puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur”
Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur
Ada yang datang malam ini. Diriku dengan seekor anjing yang menggigit kakiku. Dia membawa buku. Buku gambar tentang filsafat Yunani. Seekor anjing dengan gigi-giginya sedang menyayati bagian akhir tentang filsafat jiwa. Lalu anjing itu duduk di kursi sebelahku. Sementara kau tetap tidur. Tidur yang tak tersentuh filsafat apapun. Dan kamar ini, kamar yang sedang menghisap seluruh memori purba dari luar. Suara AC seperti rintihan anjing sakit dari sebuah kota. Seandainya, seandainya, sayangku, hanya tinggal kamar kita yang tersisa di sini. Kita membuka jendela dari belakang telinga kita. Seandainya besok kau mulai ngidam dan muntah- muntah. Dan aku tidak lagi membeli pembalut untuk menstruasimu. Kebun anggur mulai tumbuh di ranjang tidur. Dan kita nyatakan ke seluruh pengantin yang telah mati di kota ini, cinta terbuat dari air, terbuat dari air yang menetes di punggungmu.
4.5.1 Analisis Aspek Sintaksis
Puisi yang berjudul “Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur” ini terdiri atas
satu paragraph. Paragraf dibangun oleh enam belas kalimat. Setiap kalimat pada
puisi tersebut memiliki penanda yang jelas, yaitu menggunakan tanda titik (.). Ke-
enam belas kalimat tersebut, antara lain:
1) Ada yang datang malam ini.
2) Diriku dengan seekor anjing yang menggigit kakiku.
3) Dia membawa buku.
4) Buku gambar tentang filsafat Yunani.
5) Seekor anjing dengan gigi-giginya sedang menyayati bagian akhir tentang
filsafat jiwa.
6) Lalu anjing itu duduk di kursi sebelahku.
101
7) Sementara kau tetap tidur.
8) Tidur yang tak tersentuh filsafat apapun.
9) Dan kamar ini, kamar yang sedang menghisap seluruh memori purba dari
luar.
10) Suara AC seperti rintihan anjing sakit dari sebuah kota.
11) Seandainya, seandainya, sayangku, hanya tinggal kamar kita yang tersisa
di sini.
12) Kita membuka jendela dari belakang telinga kita.
13) Seandainya besok kau mulai ngidam dan muntah-muntah.
14) Dan aku tidak lagi membeli pembalut untuk menstruasimu.
15) Kebun anggur mulai tumbuh di ranjang tidur.
16) Dan kita nyatakan ke seluruh pengantin yang telah mati di kota ini, cinta
terbuat dari air, terbuat dari air yang menetes di punggungmu.
Kalimat pertama Ada yang datang malam ini. terdiri atas satu klausa Ada
yang datang merupakan S, dan malam ini sebagai KET. Pada kalimat pertama ini,
penyair mencoba menarik perhatian pembaca dengan menyamarkan subjek.
Kemudian pada kalimat kedua, penyair memberikan penjelasan atas subjek pada
kalimat pertama. Pada kalimat kedua Diriku dengan seekor anjing yang menggigit
kakiku. dapat diketahui bahwa yang menjadi subjek pada kalimat pertama adalah
Diriku dengan seekor anjing, yang pada kalimat kedua frasa Diriku dengan seekor
anjing juga menjadi subjek. Frasa seekor anjing mempunyai makna ‘pelaku’.
Frasa yang mengigit memiliki unsur inti menggigit dan atribut yang, yang
102
memiliki makna aspek duratif. Pada kalimat selanjutnya penyair tidak lantas
menjelaskan Diriku (Subjek kalimat pertama), tapi lebih menjelaskan anjing
(subjek kalimat kedua).
Kalimat ketiga “Dia membawa buku” menjelaskan subjek anjing pada
kalimat kedua. Artinya, anjing dalam kalimat tersebut memiliki makna ‘pelaku’.
Kalimat berikutnya menjelaskan tentang buku apa yang di bawa subjek (anjing)
dalam kalimat ketiga. Kemudian pada kalimat kelima “Seekor anjing dengan gigi-
giginya sedang menyayati bagian akhir tentang filsafat jiwa.” Seekor anjing
dengan gigi-giginya (S), sedang menyayati (P), bagian akhir tentang filsafat jiwa
(O), dan kalimat keenam “Lalu anjing itu duduk di kursi sebelahku.” penyair
membawa pembaca kembali pada subjek (tokoh) anjing yang dipaparkan pada
kalimat kedua. Jika melihat uraian di atas penyair memposisikan anjing (binatang)
dengan diriku (manusia) setara. Jika merujuk pada frasa sedang menyayat, maka
kalimat kelima mempunyai makna aspek duratif atau sedang berlangsung. Dan
kalimat keenam yang terdiri atas satu klausa verbal taktransitif, di mana duduk
sebagai P tidak membutuhkan O atau Pel.
Kalimat ketujuh “Sementara kau tetap tidur.”, merupakan kalimat verba
traktransitif. Pada kalimat ini, penyair mulai mengenalkan subjek baru pada
pembaca yaitu Kau. Kemudian pada kalimat selanjutnya penyair menjelaskan
suasana tidur yang dialami subjek pada kalimat ketujuh. Isi kalimatnya adalah
“Tidur yang tak tersentuh filsafat apapun.”. Kalimat tersebut merupakan kalimat
tidak sempurna karena tidak memiliki Subjek. Hal tersebut menunjukan bahwa
103
kalimat kedelapan merupakan penjelasan dari kalimat sebelumnya. Jadi, oleh si
penyair subjeknya ditiadakan.
Kalimat kesembilan “Dan kamar ini, kamar yang sedang menghisap
seluruh memori purba dari luar.” Merupakan kalimat majemuk setara yang di
dalamnya terdapat penegasan terhadap kata kamar sebagai subjek.
Pada kalimat kesepuluh “Suara AC seperti rintihan anjing sakit dari
sebuah kota.”, mulai dijelaskan suasana tempat (ruangan) pada malam itu.
Kalimat tersebut mempunyai unsur fungsi keterangan pembandingan. Dan pada
kalimat berikutnya, tokoh aku dimunculkan kembali. “Seandainya, seandainya,
sayangku, hanya tinggal kita yang tersisa di sini.”. Kalimat tersebut merupakan
kalimat luas yang memiliki hubungan makna pengandaian, di mana kata
senandainya yang menjadi ciri disampaikan berulangkali. Artinya, makna
pengandaian yang terdapat dalam kalimat ini mengalami penegasan.
Selanjutnya, kalimat “Kita membuka jendela dari belakang telinga kita.”
Memiliki fungsi kita (S), membuka (P), jendela (O), dan dari belakang telinga
kita (Ket). Kesemua fungsi tersebut menunjukan bahwa kalimat tersebut
merupakan kalimat tunggal luas dengan fungsi keterangan tempat. Pada kalimat
ketiga belas, Kalimat luas yang memiliki hubungan pengandaian dituliskan oleh
penyair, yaitu “Seandainya besok kau mulai ngidam dan muntuah-muntah”.
namun,dalam kalimat ini menempatkan objek sebagai ‘penderita’. “Dan aku tidak
lagi membeli pembalut untuk menstruasimu.” Adalah kalimat setelah kalimat
ketiga belas yang diawali oleh kata penghubung koordinatif, meskipun kalimat
tersebut tidak menunjukan kalimat majumuk setara.
104
Dalam kalimat kelima belas, dituliskan “Kebun anggur mulai tumbuh di
ranjang tidur”. Dalam kalimat ini, kebun anggur berfungsi sebagai subjek dengan
frasa mulai tumbuh sebagai predikat. Hanya terjadi penyimpangan makna ketika
penyair menempatkan ranjang tidur sebagai keterangan, tempat kebun anggur
tersebut tumbuh. Kalimat terakhir “Dan kita nyatakan ke seluruh pengantin yang
sudah mati di kota ini, cinta terbuat dari air, terbuat dari air yang menetes di
punggungmu.” Merupakan kalimat majemuk setara yang diawali olehkata
penghubung koordinatif. Klausa pertama menbghubungkan kalimat ini dengan
kalimat sebelumnya yang memiliki makna pernyataan, sedang klausa kedua
merupakan isi pernyataan dari klausa pertama. Dan klausa ketiga merupakan
penjelasan dari klausa kedua.
Secara keseluruhan, kalimat-kalimat dalam puisi ini mempunyai tiga sub-
pokok bahasan yang merujuk pada satu pokok bahasan. Sub-pokok bahasan
tersebut yaitu: (1) berbicara tentang subjek dari keseluruhan puisi ini, dan
merupakan pengantar sebelum masuk pada pokok bahasan; (2) berbicara tentang
suasana, yang juga merupakan pengantar; (3) inti atau pokok bahasan dari
keseluruhan isi puuisi ini. Dengan kata lain paragraf dalam puisi ini merupakan
paragraf induktif.
4.5.2 Analisis Aspek Semantik
4.5.2.1 Denotasi dan Konotasi
Judul yang dipilih oleh penyair, yaitu “Kebun Anggur Yang Tak Bisa
Tidur”. Kalimat tersebut merupakan inti dari keseluruhan isi puisinya. Kata kebun
105
(dalam KBBI, 2008: 701) mempunyai arti denotatif sebidang tanah yang ditanami
pohon musiman (buah-buahan dsb). Kata anggur memiliki arti denotatif, (1) jenis
tumbuhan yang merambat, buahnya berbentuk bulat kecil-kecil sebesar kelereng
dan berangkai, berwarna hijau atau merah hati; dan (2) minuman yang dibuat dari
sari buah anggur yang telah difermentasikan. Dengan demikian, kata kebun
anggur memiliki arti denotatif sebidang tanah yang ditanami pohon anggur. Jika
kata tidur memiliki arti denotatif, (1) dalam keadaan berhenti (mengaso) badan
dan kesadarannya (biasanya dengan memejamkan mata); dan (2) mengistirahatkan
badan dan kesadarannya, kata tidak merupakan partikel yang menyatakan
pengingkaran, serta kata bisa memiliki arti denotatif kuasa melakukan sesuatu,
maka frasa tak bisa tidur memiliki arti denotatif tidak kuasa untuk
mengistirahatkan badan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kebun anggur sejatinya adalah makhuk hidup yang tak bisa melakukan
aktivitas seperti yang dilakukan manusia. Dalam puisi ini, penyair memposisikan
kebun anggur seperti manusia. Artinya, ada hal dalam diri manusia yang berhasil
diinterpretasikan sebagai kebun anggur oleh penyairnya. Kebun anggur sebagai
sebuah tempat tentunya diolah oleh manusia. Dengan kata lain, ada aktivitas yang
dilakukan manusia di tempat tersebut. Sehingga, diperolehlah arti konotatif dari
kata kebun anggur yang tak pernah tidur adalah seseorang yang sibuk melakukan
aktivitas di kebun anggur hingga tidak sempat beristirahat (tidur).
Jika melihat arti konotatif di atas, arti dari kata kebun anggur juga
mewakili arti denotatif kota metropolitan, yaitu kota besar yang menguasai
wilayah sekelilingnya (KBBI, 2008: 815). Di mana kota metropolitan atau kota,
106
merupakan tempat yang tak pernah “bisa tidur”, karena orang-orang yang tinggal
di kota beraktivitas selama 24 jam.
Pada sub-pokok bahasan pertama dalam puisi ini, “Ada yang datang
malam ini. Diriku dengan seekor anjing yang menggigit kakiku. Dia membawa
buku. Buku gambar tentang filsafat Yunani. Seekor anjing dengan gigi-giginya
sedang menyayati bagian akhir tentang filsafat jiwa. Lalu anjing itu duduk di
kursi sebelahku.” memiliki arti denotatif bahwa aku lirik tengah membicarakan
dirinya yang datang ke sebuah ruangan pada malam hari bersama anjing yang
membawa buku gambar yang berisikan filsafat Yunani (sebuah peradaban yang
besar di zamannya yang banyak melahirkan ilmuwan serta pengetahuan baru).
Secara konotatif Seseorang (aku lirik) yang datang bersama sahabat
dekatnya ke sebuah tempat. Betapa dekat aku lirik dengan sahabatnya, hingga
ketika sahabat aku lirik menyakitinya pun ia tetap bersama-sama. Anjing adalah
sahabat manusia yang secara konvensi dinilai paling setia pada tuannya (manusia),
ia bisa memahai apa yang diajarkan oleh tuannya. Tapi bagi sebagian kelompok
manusia, anjing merupakan hewan menjijikan. Hal tersebut membuat anjing
menempati posisi terbawah dalam strata kehidupan. Dalam puisi ini penyair
memposisikan anjing sebagai manusia yang mempunyai pikiran dan naluri
manusia, sehingga ketika ia membuka halaman terakhir dari buku tersebut yang
berisi filsafat kehidupan, ia mengoyak-ngoyak bagian itu mengingat bahwa
posisinya dalam kehidupan sehari-hari selalu diartikan negatif.
Pada sub-pokok bahasan kedua, Sementara kau tetap tidur. Tidur yang tak
tersentuh filsafat apapun. Dan kamar ini, kamar yang sedang menghisap seluruh
107
memori purba dari luar. Suara AC seperti rintihan anjing sakit dari sebuah kota.
Mempunyai arti denotatif di luar apa yang penyair paparkan lewat aku lirik pada
sub-pokok bahasan pertama, seseorang tengah beristirahat dan tidak diganggu
oleh fenomena-fenomena yang terjadi. Padahal kamar, tempat ia tidur tengah
sibuk menjadi saksi bisu dari hiruk pikuk orang-orang “kota” yang tengah sibuk di
luar ruangan tersebut. Seseorang tersebut asyik merasakan kenyamanan istirahat
di ruangan yang ada fasilitas pendingin ruangannya. Fasilitas pendingin (AC) itu
sendiri, adalah fasilitas yang biasa digunakan oleh kebanyakan masyarakat
perkotaan, karena suhu di perkotaan cenderung panas.
Arti konotasinya adalah aku lirik tengah menyampaikan sesuatu pada
lawan bicaranya bahwa ada banyak orang yang begitu tidak peduli dengan
kehidupan, terutama di perkotaan, yang sangat keras di luar (kehidupan) dirinya.
Orang-orang lebih memikirkan nasibnya sendiri tanpa merasa harus peduli pada
yang lain. Fenomena demikian merupakan ciri masyarakat perkotaan, di mana
kepentingan individu menjadi prioritas dari pada kepentingan sosial.
“Seandainya, seandainya, sayangku, hanya tinggal kamar kita yang
tersisa di sini. Kita membuka jendela dari belakang telinga kita. Seandainya
besok kau mulai ngidam dan muntah-muntah. Dan aku tidak lagi membeli
pembalut untuk menstruasimu. Kebun anggur mulai tumbuh di ranjang tidur. Dan
kita nyatakan ke seluruh pengantin yang telah mati di kota ini, cinta terbuat dari
air, terbuat dari air yang menetes dipunggungmu.”
Kalimat-kalimat di atas merupakan bagian inti dari puisi ini. Memiliki arti
denotatif aku lirik menyampaikan peryataan pada lawan bicaranya yang bisa jadi
108
kekasih atau istrinya, tentang khayalan ketika hanya merekalah yang tinggal di
suatu tempat ia akan kembali berusaha untuk mendengarkan suara yang ada di
sana. Kemudian ketika istrinya hamil dan berhenti menstruasi, ia akan
mengabarkan pada orang-orang yang jauh di sana tentang kabar gembira
(kehamilan sang istri) ini.
Makna denotatif dari teks puisi di atas adalah ketika tinggal kita yang
hidup di dunia ini, apa yang bisa kita dengarkan dan rasakan pada saat kita ingin
mendengarkan dan merasakan itu. Kesepian dan kesedihan akan mengurung orang
tersebut. Tapi di balik itu semua selalu ada kebahagian yang menyertai.
Pada Kalimat “Seandainya besok kau mulai ngidam dan muntah-muntah.
Dan aku tidak lagi membeli pembalut untuk menstruasimu. Kebun anggur mulai
tumbuh di ranjang tidur.” penulis menemukan arti lain untuk kata kebun anggur
di sini memiliki arti konotatif embrio atau calon bayi. Arti konotatif kebun anggur
kedua ini tidak lantas bertentangan dengan arti konotatif pertama yang
sebelumnya dipaparkan penulis, namun menjadi memiliki keterkaitan.
Ketika seorang istri mencapai tahapan menjadi calon ibu, ada kesibukan
yang lebih yang dilakukan oleh pasangan suami istri dari biasanya. Kesibukan-
kesibukan itu hadir dari kegelisahan dan ketakutan tentang hal buruk terhadap
janin yang mungkin terjadi. Hal tersebut menyebabkan kewaspadaan meningkat
dan keinginan untuk beristirahat menjadi berkurang atau malah tidak ada. Kondisi
tersebut juga terjadi pada masyarakat di perkotaan. Janin dalam tubuh seorang ibu
sama dengan harta atau kekayaan yang dimiliki masyarakat perkotaan. Mereka
akan menambah dan merawat kekayaannya seperti seorang ibu menumbuhkan dan
109
merawat janin yang ada dalam tubuhnya. Tentunya, bekerja menjadi jalan satu-
satunya yang harus ditempuh untuk merwat agar kekayaan tidak habis. Hal
tersebut menyebabkan kehidupan di kota tidak bisa “tidur”.
4.5.2.2 Majas
Pada kalimat Ada yang datang malam ini. Diriku dengan seekor anjing
yang menggigit kakiku., belum terlihat adanya penggunaan majas. Penggunaan
majas dalam puisi ini baru telihat pada kalimat Dia membawa buku. Kata dia
dalam sajak ini ditujukan untuk seekor anjing. Dia (anjing) membawa buku
menjadi makhluk yang seolah-olah menjadi manusia dan mampu melakukan
aktifitas yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Hal tersebut merupakan
majas personifikasi di mana anjing tersebut benar-benar mampu membawa buku.
Pada dua kalimat berikutnya, Buku gambar tentang filsafat Yunani. Seekor
anjing sedang menyayati bagian akhir tentang filsafat jiwa. Lalu anjing itu duduk
di sebalahku., majas seolah-olah tidak ada. Padahal, apabila kita melihat kembali
kalimat tersebut, penyair masih memposisikan anjing sebagai manusia, hanya kali
ini anjing ditampilkan dengan pikiran manusia yang ketika membenci sesuatu
(filsasfat jiwa), ia lantas akan berpikir untuk menghancurkannya. Artinya, kalimat
tersebut mengandung majas personifikasi.
Dalam kalimat Sementara kau tetap tidur., jika melihat konteks kalimat
sebelumnya, pertentangan hadir dalam kalimat ini. Ditengah kegelisahan yang
digambarkan pada awal paragraf, penyair memunculkan seorang tokoh yang tak
110
peduli dengan itu. Ketidakpedulian tersebut ditunjukan dengan kalimat Tidur yang
tak tersentuh filsafat apapun.
Kata filsafat, oleh penyair dipakai untuk menggantikan kata kegelisahan.
Karena untuk sampai pada hal yang filsafati, seseorang biasanya mengalami
kegelisahan yang sangat.
Majas metonimia hadir pada kalimat Dan kamar ini, kamar yang sedang
menghisap seluruh memori purba dari luar. Kata menghisap dimunculkan untuk
menggantikan kata merekam. Itu bertujuan agar kenangan, yang dalam puisi
dituliskan dengan frasa memori purba, yang didapat mampu dirasakan bersama
dengan aromanya. Sehingga penyair lebih memilih memakai kata menghisap
daripada merkam. Kemudian pada kalimat Suara AC seperti rintihan anjing sakit
dari sebuah kota., yang tampak adalah majas perumpamaan epos (epic simile).
Untuk menampilkan imaji suara AC sebenarnya cukup dengan menggunakan
frasa rintihan anjing. Tapi penyair juga memasukan pejelas lain yaitu dengan
memasukan kata sakit dan frasa dari sebuah kota.
kalimat berikutnya adalah Seandainya, seandainya, sayangku, hanya
tinggal kamar kita yang tersisa di sini. Kita membuka jendela dari belakang
telinga kita. Frasa kamar kita tidak mengandung makna sebenarnya. Penyair
menggunakannya untuk melambangkan hati. Kemudian jika kita lebih
menyempitkan frasa di sini, maka akan mendapat artian tempat untuk
menyalurkan isi hati. Yang tempat tersebut juga mampu myatukan perasaan dari
yang muncul dari hati. Dengan demikian, kamar kita mengandung majas
metonimia.
111
Membuka jendela dipakai penair untuk menggambarkan seseorang bisa
lebih terbuka dalam menerima sesuatu. Rasionalisasi dari hal tersebut adalah
ketika seseorang berada di dalam ruangan kemudian ia membuka jendela, maka
yang akan ia rasakan adalah udara ssegar yang masuk ke ruangan. Hal ini
berkaitan dengan makna kalimat sebelumnya. Dan di sana terdapat majas
metonimia juga.
Seandainya besok kau mulai ngidam dan muntah-muntah. Dan aku tidak
lagi membeli pembalut untuk menstruasimu. Kebun anggur mulai tumbuh di
ranjang tidur. Dalam kalimat Kebun anggur mulai tumbuh di ranjang tidur,
penyair memakai frasa di ranjang tidur untuk menggantikan kata tanah tempat
pohon tumbuh. Dalam beberapa kebudayaan suatu masyarakat, anggur adalah
salah satu makanan yang baik. Anggur juga bisa menjadi sangat memabukan. Dan
kebun anggur dipakai untuk menggantikan makna dari sesuatu yang indah,
menyenangkan, baik, dan memabukan. Frasa kebun anggur juga dapat dipakai
untuk menggantikan buah anggur yang sangat banyak. Yang apabila buah anggur
itu dikumpulkan akan telihat seperti embrio (jabang bayi). Penggunaan frasa
tersebut memungkinkan, karena pada kalimat sebelumnya penyair memberikan
pernyataan pengandaian, seandainya besok kau mulai ngidam dan muntah-
muntah.
Selanjutnya, Dan kita nyatakan ke seluruh pengantin yang sudah mati di
kota ini, cinta terbuat dari air, terbuat dari air yang menetes di punggungmu.
Mengandung majas metafora. Penyair menginterpretasikan cinta terbuat dari air.
Di mana air sebagai zat cair yang tak bisa digenggam, dirasa mampu untuk
112
mewakili makna cinta. Klausa terbuat dari air yang menetes di punggungmu
menjelaskan klausa sebelumnya. Tapi air yang dimaksud dalam klausa ini lebih
diartikan sebagai pengorbanan, mengingat bahwa air tersebut menetes dari
punggung yang mempunyai makna keringat. Dan keringat erat kaitannya dengan
pengorbanan.
4.5.2.3 Isotopi
4.5.2.3.1 Isotopi Manusia
Tabel 4.5.2.3.1 Isotopi Manusia Puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa
Tidur”
Kata/frasa yang termasuk isotopi manusia
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Insan (tubuh & roh)
Berakal budi
Aktivitas
Datang 1X d + Menggigit 1X d/k + + Membawa 1X d/k + Menyayati 1X d + + Duduk 1X d + Tidur 3X d/k + Menghisap 1X d/k + + Rintihan 1X d + + Membuka 1X d + Telinga 1X d/k + Ngidam 1X d + + Muntah-muntah 1X d + Membeli 1X d + Menstruasimu 1X d + + Tumbuh 1X d/k + + Pengantin 1X d + Mati 1X d/k + Punggungmu 1X d/k +
113
Kata-kata yang mendukung isotopi manusia dalam puisi ini berjumlah
delapan belas. Komponen makna yang paling banyak muncul adalah komponen
makna “aktivitas”, yang setelahnya diikuti oleh makna “insan (tubuh dan roh)”,
serta “berakal budi”
Hadirnya kata-kata yang mendukung isotopi manusia pada puisi “Kebun
Anggur Yang Tak Bisa Tidur” di atas memiliki makna yang saling terkait
sehingga makna yang muncul juga pada dasarnya bertitik pada satu pikiran utama
yang menyatakan keadaan batin aku lirik yang cenderung berbicara monolog.
4.5.2.3.2 Isotopi Alam
Tabel 4.5.2.3.2 Isotopi Alam Puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur”
Kata/frasa yang termasuk isotopi alam
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Angkasa Bumi kehidupan
Kota 2X d + + Kebun anggur 1X d/k + + Air 2X d/k + Kursi 1X d + Jendela 1X d/k + Ranjang 1X d/k +
Pada isotopi alam terdapat lima kata serta satu frasa yang menguatkan
suasana, di mana suasana tersebut menguatkan pikiran pokok yang terdapat dalam
pikiran si aku lirik. Hadirnya suasana sangatlah mendukung pada pencapaian
imaji pembaca. Dalam hal ini, suasana hadir sebagai pelengkap yang mampu
mempertegas gambaran pikiran pokok yang dituangkan penyair dalam puisi ini.
114
4.5.2.3.3 Isotopi Gerak
Tabel 4.5.2.3.3 Isotopi Gerak Puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur”
Kata/frasa yang termasuk isotopi gerak
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Gerakan anggota badan
Pindah tempat/bentuk
Menggigit 1X d/k + Membawa 1X d + + Menyayati 1X d + Duduk 1X d + Tidur 3X d + Menghisap 1X d/k + Membuka 1X d/k + + Muntah-muntah 1X d + Membeli 1X d +
Kata-kata yang mendukung isotopi gerak dalam puisi ini berjumlah
Sembilan. Di mana makna “gerakan anggota badan” sangat menonjol
dibandingkan makna “pindah tempat/bentuk”. Oleh karena itu, penggambaran
suasana dalam puisi ini tidak terlalu jauh dibayangkan oleh pembaca, meskipun
banyak kalimat dalam puisi ini yang pengimajiannya melompat-lompat. Namun
demikian, penyair sebenarnya telah member garis tebal pada pembaca agar
mampu memahami pikiran pokok yang disampaikan penyair.
4.5.2.3.4 Isotopi Ruang
Tabel 4.5.2.3.4 Isotopi Ruang Puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur”
Kata/frasa yang termasuk isotopi ruang
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama terbuka Tertutup
Kursi 1X d + Kamar 3X d/k +
115
Dari luar 1X d/k + Kota 1X d + Jendela 1X d/k + + Ranjang tidur 1X d/k + Kebun anggur 1X d/k +
Isotopi ruang dalam puisi “Kebun Anggur yang Tak Pernah Tidur” ada
tujuh. Kebanyakan kata dalam isotopi ini bermakna denotasi dan konotasi. Dan
dari kebanyakan makna konotasinya selalu mengacu pada hal yang lebih luas
dengan makna yang berlapis-lapis. Tapi pada akhirnya, ruang-ruang ini mengacu
pada sesuatu yang hidup, yang diciptakan, dan dirasakan. Sehingga hubungan
sebab-akibat pun bermunculan antara kalimat yang satu dengan yang lain.
4.5.2.3.5 Isotopi Waktu
Tabel 4.5.2.3.5 Isotopi Waktu Puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur”
Kata/frasa yang termasuk isotopi waktu
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Saat tindakan
Jangka waktu
Malam 1X d + Bagian akhir 1X d + + Purba 1X d/k + Besok 1X d + Mulai 1X d + +
Isotopi waktu berjumlah lima, dan kesemuanya lebih menunjukan makna
“jangka waktu”. Hal tersebut menyebabkan seolah-olah puisi ini tidak memiliki
satu kesatuan yang jelas. Pembaca, oleh penyair diajak untuk melompat-lompat
dalam memaknai puisi ini. Yang menjadi unik adalah ketika pikiran rumit dan
116
“amburadul” si penyair ternyata mampu menyampaikan suatu pokok pikiran.
Yang apabila sampai pada makna dasarnya, kesan gelap puisi ini akan hilang.
4.5.2.3.6 Isotopi Dengar
Tabel 4.5.2.3.6 Isotopi Dengar Puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur”
Kata/frasa yang termasuk isotopi dengar
Pemunculannya Denotasi (d) Konotasi (k)
Komponen makna bersama Suara Proses Cara
Suara AC 1X d + Rintihan 1X d + Jendela 1X d/k + + +
Komponen makna dalam isotopi dengar didominasi oleh komponen makna
“suara”. Di mana kebanyakan maknanya merupakan makna denotasi. Isotopi
dengar dalam puisi ini berjumlah tiga.
4.5.3 Analisis Aspek Pragmatik
Ada tiga subjek dalam puisi “Kebun Anggur Yang Tak Bisa Tidur” karya
Afrizal Malna ini, yaitu: aku lirik (pencerita), pendengar, dan objek yang
diceritakan.
Aku lirik dalam enam kalimat pertama yang berperan sebagai pencerita
sekaligus sebagai objek yang diceritakan. Selain aku lirik, objek lainnya adalah
seekor anjing. Dan pada enam kalimat pertama, seekor anjing tersebut menjadi
objek dominan yang di ceritakan oleh aku lirik.
Secara keseluruhan puisi ini menceritakan tentang kehidupan modern.
Sifat individual hadir dan menjadi ciri masyarakat modern. Objek anjing yang
117
menggigit kaki si aku lirik menggambarkan bahwa teman terbaik sekalipun
ternyata suatu waktu akan sangat memungkinkan menyakiti. Ditambah dengan
beberapa fenomena yang dapat berpengaruh pada aspek kejiwaan seseorang.
Biasanya fenomena-fenomena tersebut adalah fenomena yang menimbulkan efek
traumatik. Artinya fenomena tersebut lebih bersifat negatif.
Namun dalam kalimat-kalimat berikutnya, aku lirik yang berperan sebagai
pencerita, mengungkapkan satu keinginan/harapan. Pokok pikiran ‘kedamaian’ ia
munculkan. Kemudian aku lirik sebagai objek dengan objek lainnya dibayangkan
sebagai sesorang yang hidupnya lebih tertata, begitu mengalir, begitu normal.
Berdasarkan analisis aspek pragmatik, dalam puisi ini kehadiran aku lirik
yang tidak disebutkan secara ekplisit menunjukan bahwa aku lirik sebagai penutur
utuh sekaligus aku lirik memilih pronomina kau sebagai pendengar. Dalam hal ini
keabsolutan aku lirik sebagai pencerita tunggal dan sekaligus pendengar
membawa teks tersebut sebagai teks yang monolog.
Aku lirik dalam puisi ini tidak nampak secara ekplisit tetapi dapat
diketahui melalui ujarannya. Selain itu, aku lirik tidak menonjolkan eksistensi
personal/individunya melainkan ia hadir dengan melalui eksistensi pencerita, dan
ia hanya merupakan bagian dari cerita itu. Inilah yang menunjukan bahwa dalam
puisi ini yang ditonjolkan bukan eksistensi manusia sebagai individu melainkan
manusia yang menjadi bagian universalitas mahkluk dan kehidupan. Dalam puisi
ini juga ditonjolkan kematangan penceritaan yang diungkapakan aku lirik dalam
menceritakan sesuatu yang menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri.
118
4.5.4 Gambaran Kota dalam Puisi “Kebun Anggur Yang Tak Bisa Tidur”
Setelah melakukan analisis ketiga aspek di atas, penulis memperoleh
gambaran bahwa puisi “Kebun Anggur Yang Tak Bisa Tidur”, secara keseluruhan
menggambarkan kehidupan manusia, khususnya masyarakat perkotaan.
Kehidupan manusia yang tergambar dalam puisi ini meliputi beberapa aspek,
antara lain aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek budaya.
Kota, sebagai salah satu tempat di mana manusia melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan ketiga aspek di atas hadir secara eksplisit, yaitu dalam
kalimat 10, dan 16. Namun, makna kota lebih kuat dirasakan dalam kalimat-
kalimat lain. Dalam judul puisi “Kebun Anggur Yang Tak Bisa Tidur”, misalnya,
memiliki makna yang mengarah pada gambaran kota. Frasa kebun anggur, yang
pada hakikatnya merupakan sebuah tempat bercocok tanam (bekerja), oleh
penyair didampingkan dengan frasa yang tak bisa tidur. Hal tersebut,
memunculkan anggapan, bahwa kota adalah tanda yang dimaksud dari tempat
(bekerja) yang tak bisa ‘tidur’, karena masyarakat perkotaan bekerja selama 24
jam (secara bergantian).
Gambaran kota juga hadir melalui sikap dan sifat individu masyarakat
perkotaan yang digambarkan dalam puisi “Kebun Anggur Yang Tak Bisa Tidur”
ini. “Sementara kau tetap tidur. Tidur yang tak tersentuh filsafat apapun.”.
Penyair, melalui tokoh “kau” dalam puisi “Kebun Anggur Yang Tak Bisa Tidur”
ini memaparkan bahwa di tengah hiruk-pikuk kegelisahan terhadap persoalan-
persoalan yang menghimpit masyarakat perkotaan, ternyata masih ada orang yang
tidak peduli dengan nasib orang-orang di sekitar dirinya.
119
Selain itu, kota hadir dan digambarkan dalam bentuk kesenjangan sosial
antara si kaya dengan si miskin. Kalimat “Suara AC seperti rintihan anjing sakit
dari sebuah kota”, yang merupakan majas perumpamaan, ternyata mengandung
(kehidupan yang) paradok. Dalam konvensi masyarakat kekinian, terutama
masyarakat perkotaan, AC adalah simbol dari kenyamanan hidup. Mungkin bagi
beberapa kalangan AC merupakan kebutuhan primer. Sedangkan rintihan anjing
sakit adalah simbol kengerian, ketakutan, dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan ketidaksenangan hidup. Bisa jadi rintihan anjing sakit dari sebuah kota ini
adalah penggambaran untuk gelandangan.
4.5.5 Tafsiran Makna Kota dalam Puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa
Tidur”
Setelah melakukan analisis ketiga aspek serta memperoleh gambaran kota,
secara keseluruhan puisi “Kebun Anggur yang Tidak Bisa Tidur” menggambarkan
tentang kegelisahan yang tak pernah usai. Kebun anggur sebagai simbol
kesenangan serta kebahagian yang memabukan, oleh si penyair, dipertentangkan
dengan tak pernah tidur yang menggambarkan simbol kegelisahan yang sangat.
Dalam hal ini, penyair ingin menyampaikan pokok pikirannya bahwa inilah inti
dari hidup, akan selalu ada pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dari pertentangan dalam pikiran secara individu maupun pertentangan-
pertentangan yang menyentuh aspek-aspek kehidupan bermasyarakat.
Dalam sajak ini juga bermunculan makna-makna di luar koridor
pertentangan, yaitu cinta dan pengorbanan. Makna tersebut disampaikan dengan
120
menggunakan kalimat pengandaian. Kalimat Seandainya, seandainya, sayangku,
hanya kamar kita di sini. Kata kamar kita mempunyai makna ruang, yang dalam
hal ini mengacu pada penggambaran hati, dan kata di sini mempunyai makna
ruangan untuk mencurahkan perasaan dalam hati. Kita membuka jendela dari
belakang telinga kita mempunyai makna bahwa setelah seseorang mampu saling
mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya, maka sudah sepantasnyalah ia juga
mampu menerima apa yang diutara seperti membuka sebuah jendela, tidak ada
beban dan merasa nyaman.
Beberapa kalimat terakhir juga menyatakan bahwa kebahagian akan
datang dari tempat yang paling nyaman, dan ketika kita memposisikan diri
senyaman mungkin. Untuk mencapai itu semua tentunya butuh air yang menetes
dari punggung, yang berarti keringat, di mana keringat berarti pengorbanan.
Kebun anggur, yang pada judul puisi memiliki makna tempat (kota),
dalam kalimat kelimabelas memiliki makna hasil dari pengorbanan. Dalam puisi
ini, Afrizal Malna seolah-olah ingin menyampaikan pada pembacanya bahwa
kehidupan itu akan berubah jika kita ingin bekerja keras di dunia yang juga keras
ini.
Dunia yang keras inilah yang oleh Afrizal Malna disimbolkan oleh
gambaran kota. Dengan kata lain, kota dalam puisi ini memiliki makna denotatif
yaitu daerah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan
masyarakat (KBBI, 2008: 815). Kota dalam puisi ini menjadi wakil untuk
penggambaran sebuah dunia yang keras, kejam, rawan konflik, juga dunia yang
121
individualistis. Dengan kata lain kota mengandung majas sinekdoke (pars prototo:
sebagian untuk mewakili keseluruhan).