28
BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif bekerja dengan menggambarkan distribusi data. Distribusi data yang dimaksud adalah pengukuran tendensi pusat dan pengukuran bentuk. Teknik yang digunakan dalam statistik deskriptif pada penelitian ini adalah prosentase, rata-rata, dan standar deviasi. 5.1.1. Karakteristik Demografi Responden Karakterisik responden akan dianalisis dari 5 hal, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran yang mereka gunakan untuk konsumsi dalam 1 bulan. Untuk jenis kelamin responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa jumlah responden laki-laki adalah 61 orang atau 50.83% dari total responden, dan jumlah responden perempuan adalah 59 orang atau 49.17% dari total responden. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden terdistribusi hampir sama rata antara laki-laki dan perempuan. Gambar 5.1 Komposisi Jenis Kelamin Responden Sumber: Diolah dari hasil penelitian 48 Universitas Indonesia Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1.Analisis Deskriptiflib.ui.ac.id/file?file=digital/130682-T 27284-Hubungan antara... · Dari pengolahan data, didapatkan hasil faktor analisis untuk

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 5

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif bekerja dengan menggambarkan distribusi data.

Distribusi data yang dimaksud adalah pengukuran tendensi pusat dan pengukuran

bentuk. Teknik yang digunakan dalam statistik deskriptif pada penelitian ini

adalah prosentase, rata-rata, dan standar deviasi.

5.1.1.Karakteristik Demografi Responden

Karakterisik responden akan dianalisis dari 5 hal, yaitu jenis kelamin, usia,

tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran yang mereka gunakan untuk

konsumsi dalam 1 bulan.

Untuk jenis kelamin responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa jumlah

responden laki-laki adalah 61 orang atau 50.83% dari total responden, dan jumlah

responden perempuan adalah 59 orang atau 49.17% dari total responden. Dari

data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden terdistribusi hampir sama rata

antara laki-laki dan perempuan.

Gambar 5.1 Komposisi Jenis Kelamin Responden

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

48 Universitas Indonesia

Jenis Kelamin

Laki-LakiPerempuan

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

49

Sedangkan untuk usia responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa

jumlah responden yang berusia 15 sampai dengan 25 tahun adalah sebanyak 53

orang atau 44.17% dari total responden, yang berusia 26 tahun sampai dengan 35

tahun adalah sebanyak 61 orang atau 50.83% dari total responden, yang berusia

36 tahun sampai dengan 45 tahun adalah sebanyak 4 orang atau 3.33% dari total

responden, dan yang berusia 45 tahun sampai dengan 55 tahun adalah sebanyak 2

orang atau 1.67% dari total responden. Dari data tersebut dapat disimpulkan

bahwa sebagian besar responden berusia 15 sampai dengan 35 tahun.

Gambar 5.2 Komposisi Usia Responden

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Untuk tingkat pendidikan responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa

jumlah responden yang tingkat pendidikannya setingkat SMA adalah sebanyak 1

orang atau 0.83% dari total responden, yang tingkat pendidikannya setingkat D3

adalah sebanyak 3 orang atau 2.5% dari total responden, yang tingkat

pendidikannya setingkat S1 adalah sebanyak 89 orang atau 74.17% dari total

responden, yang tingkat pendidikannya setingkat S2 adalah sebanyak 27 orang

atau 22.5% dari total responden, dan tidak ada responden yang tingkat

pendidikannya setingkat S3. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar responden tingkat pendidikan terakhirnya adalah S1.

Universitas Indonesia

Usia

15 – 25 Tahun26 – 35 Tahun36 – 45 Tahun46 – 55 Tahun

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

50

Gambar 5.3 Komposisi Tingkat Pendidikan Responden

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Untuk pekerjaan responden, dari hasil kuesioner didapat bahwa jumlah

responden yang pekerjaannya pelajar adalah sebanyak 17 orang atau 14.17% dari

total responden, yang pekerjaannya ibu rumah tangga adalah sebanyak 5 orang

atau 4.17% dari total responden, yang pekerjaannya pegawai negeri adalah

sebanyak 10 orang atau 8.33% dari total responden, yang pekerjaannya pegawai

swasta adalah sebanyak 75 orang atau 62.5% dari total responden, yang

pekerjaannya profesi (seperti dokter, pengacara, dan lain sebagainya) adalah

sebanyak 4 orang atau 3.33% dari total responden, dan yang pekerjaannya

pengusaha adalah sebanyak 9 orang atau 7.5% dari total responden. Dari data

tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki pekerjaan

sebagai pegawai swasta.

Gambar 5.4 Komposisi Pekerjaan Responden

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Universitas Indonesia

Tingkat Pendidikan

SMA/SederajatAkademi/SederajatS1/SederajatS2S3

Pekerjaan

Pelajar/MahasiswaIbu Rumah TanggaPegawai NegeriPegawai SwastaProf esi (Dokter, Pengacara, dll)Pengusaha

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

51

Dan untuk pengeluaran konsumsi dari konsumen setiap bulannya dari hasil

kuesioner didapat bahwa jumlah responden yang pengeluaran konsumsinya

kurang dari Rp. 1.000.000 adalah sebanyak 23 orang atau 19.17% dari total

responden, yang pengeluaran konsumsinya diatas Rp. 1.000.000 sampai dengan

Rp. 1.500.000 adalah sebanyak 37 orang atau 30.83% dari total responden, yang

pengeluaran konsumsinya diatas Rp. 1.500.000 sampai dengan Rp. 2.000.000

adalah sebanyak 22 orang atau 18.33% dari total responden, yang pengeluaran

konsumsinya diatas Rp. 2.000.000 sampai dengan Rp. 2.500.000 adalah sebanyak

11 orang atau 9.17% dari total responden, yang pengeluaran konsumsinya diatas

Rp. 2.500.000 sampai dengan Rp. 3.000.000 adalah sebanyak 7 orang atau 5.83%

dari total responden, dan yang pengeluaran konsumsinya diatas Rp. 3.000.000

adalah sebanyak 20 orang atau 16.67% dari total responden. Dari data tersebut

dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mengeluarkan Rp. 1.000.000

sampai dengan Rp. 1.500.000 untuk biaya konsumsi selama 1 bulan.

Gambar 5.5 Komposisi Pengeluaran Konsumen Untuk Konsumsi

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

5.1.2.Perilaku Responden

Perilaku responden akan dianalisa melalui statistik deskriptif untuk setiap

konstruk yang telah diukur.

Statistik deskriptif untuk konstruk pertama, yaitu information exposure,

hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Universitas Indonesia

Pengeluaran Untuk Konsumsi

Kurang dari Rp. 1.000.000Rp. 1.000.000 sd Rp. 1.500.000Diatas Rp. 1.500.000 sd Rp. 2.000.000Diatas Rp. 2.000.000 sd Rp. 2.500.000Diatas Rp. 2.500.000 sd Rp. 3.000.000Diatas Rp. 3.000.000

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

52

Tabel 5.1 Statistik Deskriptif (Konstruk Information Exposure)

Mean Std. Deviation Analysis N

exposure1 3.6417 .95966 120

exposure2 3.1833 1.03699 120

exposure3 3.4167 1.01736 120

exposure4 3.5167 1.17383 120

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Dari data di tabel 5.1, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua

variabel pembangun adalah sebesar 3.44, artinya sebagian besar responden

menyatakan bahwa tingkat information exposure dari televisi terhadap diri mereka

adalah cukup atau cenderung tidak terlalu banyak. Standar deviasi yang rendah

menunjukkan bahwa sebaran data sempit yang artinya kebanyakaan jawaban

responden adalah seragam.

Sedangkan statistik deskriptif untuk konstruk kedua, yaitu product

knowledge, hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.2 Statistik Deskriptif (Konstruk Product Knowledge)

Mean Std. Deviation Analysis N

Knowledge1 3.4750 .82973 120

Knowledge2 3.6167 .76897 120

Knowledge3 3.8000 .83616 120

Knowledge4 3.8083 .85303 120

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Dari data di tabel 5.2, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua

variabel pembangun adalah sebesar 3.68, artinya sebagian besar responden

menyatakan bahwa mereka tidak cukup faham (tetapi mengarah ke faham) akan

karakteristik produk (misal atribut fisik, manfaat, komposisi, efek samping, dan

lainnya) dari minuman ready to drink (RTD) yang mereka beli. Standar deviasi

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

53

yang rendah juga menunjukkan bahwa sebaran data sempit yang artinya

kebanyakaan jawaban responden adalah seragam.

Sedangkan statistik deskriptif untuk konstruk ketiga, yaitu price

consciousness, hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.3 Statistik Deskriptif (Konstruk Price Consciousness)

Mean Std. Deviation Analysis N

price1 2.9667 .98675 120

price2 3.1750 .94079 120

price3 3.5667 .99354 120

price4 3.3750 .92639 120

price5 3.5833 .88482 120

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Dari data di tabel 5.3, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua

variabel pembangun adalah sebesar 3.33, artinya sebagian besar responden

menyatakan bahwa mereka tidak price sensitive ketika membeli minuman ready

to drink (RTD). Standar deviasi yang rendah juga menunjukkan bahwa sebaran

data sempit yang artinya kebanyakaan jawaban responden adalah seragam.

Statistik deskriptif untuk konstruk keempat, yaitu deal proneness, hasilnya

dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.4 Statistik Deskriptif (Konstruk Deal Proneness)

Mean Std. Deviation Analysis N

deal1 2.9667 .92521 120

deal2 3.4583 .86865 120

deal3 3.2750 .97844 120

deal4 2.9917 .82499 120

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

54

Dari data di tabel 5.4, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua

variabel pembangun adalah sebesar 3.17, artinya sebagian besar responden

menyatakan bahwa mereka tidak terlalu terpengaruh oleh adanya stimulus

pemasaran berupa undian, hadiah, dan lainnya ketika membeli minuman ready to

drink (RTD). Standar deviasi yang rendah menunjukkan bahwa sebaran data

sempit yang artinya kebanyakaan jawaban responden adalah seragam.

Statistik deskriptif untuk konstruk kelima, yaitu impulse purchasing

behavior, hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.5 Statistik Deskriptif (Konstruk Impulse Purchasing Behavior)

Mean Std. Deviation Analysis N

Impulse1 3.7500 .98944 120

Impulse2 3.5833 .94008 120

Impulse3 3.8250 .92275 120

Impulse4 3.1500 .88546 120

Impulse5 3.7833 .86173 120

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Dari data di tabel 5.5, dapat dihitung mean keseluruhan untuk semua

variabel pembangun adalah sebesar 3.62, artinya sebagian besar responden

menyatakan bahwa mereka tidak terlalu sering (tetapi mengarah ke sering)

melakukan pembelian minuman ready to drink (RTD) secara tidak terencana.

Standar deviasi yang rendah menunjukkan bahwa sebaran data sempit yang

artinya kebanyakaan jawaban responden adalah seragam.

5.2. Analisis Inferensial

Analisis inferensial digunakan untuk penelitian sampel, dimana peneliti

ingin membuat generalisasi dari penelitian yang digunakan. Statistik inferensial

ini mempunyai teknik yang lebih lengkap dibandingkan analisis deskriptif,

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

55

misalnya di penelitian ini akan digunakan teknik korelasi dan regresi yang

berguna untuk mencari pengaruh antara satu konstruk terhadap konstruk lainnya.

Namun sebelum data dapat diolah untuk keperluan analisis inferensial, data harus

lolos dari uji validitas dan reliabilitas.

5.2.1.Uji Validitas

Untuk uji validitas masing-masing konstruk, seperti juga yang telah

diterangkan dalam bab 4 (Metodologi), akan digunakan analisis faktor. Beberapa

hal yang akan diukur dalam analisis faktor diantaranya adalah:

● Nilai signifikansi korelasi variabel pembangun konstruk ≤ 0.05

● Nilai KMO ≥ 0.5 dengan nilai signifikansi dari Barlett's Test ≤ 0.05

● Nilai MSA pada Anti Image Matrices ≥ 0.5

● Nilai komunalitas ≥ 0.5

● Nilai Total Variance Explain ≥ 60%

● Dan hanya membentuk 1 komponen

Dari pengolahan data, didapatkan hasil faktor analisis untuk setiap konstruk adalah sebagai berikut (lihat lampiran 3 untuk hasil yang lebih detail):

Tabel 5.6 Ringkasan Hasil Uji Validitas

Sig

Korelasi

KMO MSA Komunalitas Variance Komponen

Exposure 0.00 0.749 sig di 0.00 ≥ 0.710 ≥ 0.553 64.42% 1

Knowledge 0.00 0.681 sig di 0.00 ≥ 0.653 ≥ 0.601 65.42% 1

Price 0.04 0.712 sig di 0.00 ≥ 0.599 ≥ 0.274 51.39% 1

Deal 0.01 0.747 sig di 0.00 ≥ 0.732 ≥ 0.444 57.42% 1

Impulse 0.00 0.774 sig di 0.00 ≥ 0.728 ≥ 0.541 61.61% 1

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

56

Dari data pada tabel 5.6 dapat dilihat bahwa konstruk yang tidak lolos uji

validitas adalah konstruk price consciousness dan deal proneness karena ada

variabel pembangun konstruk yang nilai komunalitasnya kurang dari 0.5 dan

keseluruhan total variance explain nya kurang dari 60%. Untuk itu perlu diperiksa

variabel mana yang harus dieliminasi agar konstruk tersebut nantinya dapat lolos

uji validitas.

Untuk konstruk price consciousness, nilai komunalitias dari masing-

masing variabel pembangun konstruk adalah sebagai berikut:

Tabel 5.7 Nilai Komunalitas (konstruk Price Consciousness)

Initial Extraction

price1 1.000 .462

price2 1.000 .655

price3 1.000 .274

price4 1.000 .630

price5 1.000 549 Extraction Method: Principal Component Analysis.

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Dari tabel 5.7 dapat dilihat bahwa variabel yang nilai komunalitasnya

kurang dari 0.5 adalah variabel price1 dan price3. Kedua variabel tersebut harus

dieliminasi agar konstruk price consciousness dapat memenuhi persyaratan uji

validitas. Jika kedua variabel tersebut telah dieliminasi maka diharapkan nilai

total variable explain untuk konstruk price consciousness juga akan berubah

menjadi lebih baik.

Sedangkan untuk konstruk deal proneness, nilai komunalitias dari

masing-masing variabel pembangun konstruk adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

57

Tabel 5.8 Nilai Komunalitas (konstruk Deal Proneness)

Initial Extraction

deal1 1.000 .657

deal2 1.000 .444

deal3 1.000 .636

deal4 1.000 .560 Extraction Method: Principal Component Analysis.

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Dari tabel 5.8 dapat dilihat bahwa hanya 1 variabel yang nilai

komunalitasnya kurang dari 0.5 yaitu variabel deal2. Berarti, hanya variabel

tersebutlah harus dieliminasi agar konstruk deal proneness dapat memenuhi

persyaratan uji validitas. Jika variabel tersebut telah dieliminasi maka diharapkan

nilai total variable explain untuk konstruk deal proneness juga akan berubah

menjadi lebih baik.

Setelah itu kemudian dilakukan uji validitas ulang terhadap masing-

masing konstruk (dengan variabel konstruk yang telah dieliminasi), yang hasilnya

adalah sebagai berikut (lihat lampiran 4 untuk hasil yang lebih detail):

Tabel 5.9 Ringkasan Hasil Uji Validitas (Ulangan)

Sig

Korelasi

KMO MSA Komunalitas Variance Komponen

Exposure 0.00 0.749 sig di 0.00 ≥ 0.710 ≥ 0.553 64.42% 1

Knowledge 0.00 0.681 sig di 0.00 ≥ 0.653 ≥ 0.601 65.42% 1

Price 0.00 0.690 sig di 0.00 ≥ 0.678 ≥ 0.640 66.80% 1

Deal 0.00 0.687 sig di 0.00 ≥ 0.667 ≥ 0.641 66.24% 1

Impulse 0.00 0.774 sig di 0.00 ≥ 0.728 ≥ 0.541 61.61% 1

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

58

Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk

Information Exposure saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai

KMO sebesar 0.749 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup

layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai

MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama

dengan 0.710). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal

menyumbang 55% variasi dalam kontsruk Information Exposure. Dari hasil itu

kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah

64.42% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Information

Exposure.

Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk

Product Knowledge saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai

KMO sebesar 0.681 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup

layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai

MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama

dengan 0.653). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal

menyumbang 60% variasi dalam kontsruk Product Knowledge. Dari hasil itu

kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah

65.42% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Product

Knowledge.

Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk

Price Consciousness saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai

KMO sebesar 0.690 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup

layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai

MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama

dengan 0.678). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal

menyumbang 64% variasi dalam kontsruk Price Consciousness. Dari hasil itu

kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah

66.75% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Price

Consciousness.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

59

Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk

Deal Proneness saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00. Nilai KMO

sebesar 0.687 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah cukup layak

untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan nilai MSA

masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau sama dengan

0.667). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel minimal

menyumbang 64% variasi dalam kontsruk Deal Proneness. Dari hasil itu

kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan variabel adalah

66.24% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk Deal Proneness.

Dari tabel 5.9 dapat dilihat bahwa variabel-variabel pembangun konstruk

Impulse Purchasing Behavior saling berkorelasi dengan tingkat signifikansi 0.00.

Nilai KMO sebesar 0.774 menunjukkan bahwa sample data yang diambil sudah

cukup layak untuk diteliti dengan menggunakan faktor analisis (diperkuat dengan

nilai MSA masing-masing variabel yang semuanya mencapai angka di atas atau

sama dengan 0.728). Nilai komunalitas menunjukkan bahwa setiap variabel

minimal menyumbang 54% variasi dalam kontsruk Impulse Purchasing Behavior.

Dari hasil itu kemudian didapat bahwa total varian rata-rata untuk keseluruhan

variabel adalah 61.61% dan membentuk hanya 1 komponen saja yaitu konstruk

Impulse Purchasing Behavior.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua konstruk yang

diteliti adalah valid, dan dapat digunakan untuk pengolahan data lanjutan.

5.2.2.Uji Reliabilitas

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab 4 (Metodologi), untuk mengukur

reliabilitas pada penelitian ini akan digunakan cronbach's alpha, menurut Nunally

jika cronbach's alpha masing-masing konstruk lebih besar dari 0.6 maka dapat

dikatakan bahwa semua variabel pembangun konstruk tersebut adalah reliable

(Ghozali, 2006).

Dari hasil pengolahan data, didapatkan cronbach's alpha untuk masing-

masing konstruk adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

60

Tabel 5.10 Hasil Uji Reliabilitas

Konstruk Cronbach's Alpha

Information Exposure 0.810

Product Knowledge 0.822

Price Consciousness 0.751

Deal Proneness 0.742

Impulse Purchasing Behavior 0.842

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Dapat dilihat dari tabel 5.10 bahwa hasil uji reliabilitas semua konstruk

menunjukkan cronbach's alpha di atas 0.6. Nilai cronbach's alpha yang tinggi

artinya semua variabel pembangun dari tiap-tiap konstruk mengukur satu dimensi

konstruk (tidak terjadi struktur multidimensional), sehingga variabel pembangun

tersebut reliable untuk digunakan sebagai alat pengukur konstruk tersebut.

Karena semua konstruk yang diteliti adalah reliable maka dapat

digunakan untuk pengolahan data lanjutan.

5.2.3.Uji Korelasi

Uji korelasi dilakukan untuk melihat pengaruh antar konstruk sehingga

hipotesis awal dapat dibuktikan. Adapun hipotesis awal nya adalah sebagai

berikut:

H1: Consumer information exposure berpengaruh terhada product knowledge

H2: Consumer information exposure berpengaruh terhadap impulse purchasing

behavior

Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan uji korelasi, maka

di dapat hasil sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

61

Tabel 5.11 Hasil Uji Korelasi (Exposure & Knowledge terhadap Impulse)

Exposure Knowledge Impulse

Exposure

Pearson Correlation 1 -.007 .085

Sig. (2-tailed) .936 .359

N 120 120 120

Knowledge

Pearson Correlation -.007 1 -.020

Sig. (2-tailed) .936 .832

N 120 120 120

Impulse

Pearson Correlation .085 -.020 1

Sig. (2-tailed) .359 .832

N 120 120 120

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Dari tabel 5.11 dapat dilihat bahwa tidak ada korelasi yang signifikan

antara information exposure, baik terhadap product knowledge maupun impulse

purchasing behavior. Artinya hipotesis 1 dan hipotesis 2 ditolak.

Banyaknya information exposure yang diberikan oleh perusahaan ternyata

tidak berpengaruh terhadap meningkatnya product knowledge responden atau

kecenderungan terjadinya impulse buying. Dan banyaknya product knowledge

pun ternyata tidak berpengaruh pada kecenderungan responden dalam melakukan

impulse buying.

Selain pengujian hipotesis, dalam metodologi juga dinyatakan bahwa ada

variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap impulse buying. Variabel-

variabel tersebut adalah price consciouness, deal proneness, gender, dan age,

variabel-variabel ini disebut juga sebagai variabel kontrol. Oleh karena itu penting

juga kiranya untuk diteliti sejauh mana pengaruh antara variabel kontrol tersebut

terhadap impulse buying. Hasil pengolahan data dengan menggunakan uji korelasi

antara price consciouness, deal proneness, gender, dan qge terhadap impulse

buying adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

62

Tabel 5.12 Hasil Uji Korelasi Price & Deal terhadap Impulse (Korelasi Pearson)

Price Deal Impulse

Price

Pearson Correlation 1 .544(**) -.198(*)

Sig. (2-tailed) .000 .030

N 120 120 120

Deal

Pearson Correlation .544(**) 1 .067

Sig. (2-tailed) .000 .464

N 120 120 120

Impulse

Pearson Correlation -.198(*) .067 1

Sig. (2-tailed) .030 .464

N 120 120 120

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Tabel 5.13 Hasil Uji Korelasi Gender&Age terhadap Impulse (Korelasi Kendall's)

Gender Age

Kendall's tau_b

Gender

Correlation Coefficient 1.000 .014

Sig. (2-tailed) . .875

N 120 120

Age

Correlation Coefficient .014 1.000

Sig. (2-tailed) .875 .

N 120 120

Impulse

Correlation Coefficient .119 -.104

Sig. (2-tailed) .118 .163

N 120 120

Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Uji korelasi variabel kontrol dilakukan dua kali karena price

consciousness dan deal proneness mempunyai tipe data yang berbeda dengan

gender dan age sehingga uji korelasi terhadap price consciousness dan deal

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

63

proneness dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Pearson sedangkan uji

korelasi terhadap gender dan age dilakukan dengan menggunakan uji korelasi

Kendall's tau-b.

Dari tabel 5.12 dan tabel 5.13 dapat dilihat bahwa ternyata pada penelitian

ini, tidak semua variabel kontrol tersebut memberikan korelasi yang signifikan

terhadap impulse buying. Satu-satunya yang memberikan korelasi signifikan

hanyalah price consciousness yang besarnya yaitu -0.198, tanda negatif pada hasil

menunjukkan bahwa ada hubungan bertolak belakang diantara keduanya. Artinya

semakin tinggi tingkat price consciousness responden maka akan semakin rendah

kemungkinan terjadinya impulse buying pada responden tersebut, dan sebaliknya

semakin rendah tingkat price consciousness responden maka akan semakin rendah

juga kemungkinan terjadinya impulse buying pada responden tersebut.

Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa hasil uji korelasi penelitian

ini berbeda dengan hasil uji korelasi penelitian pada jurnal yang di replika,

dimana pada penelitian ini dinyatakan bahwa:

1. Tidak ada korelasi antara information exposure baik terhadap product

knowledge maupun impluse purchasing behavior sehingga menyebabkan

adanya penolakan terhadap kedua hipotesis awal

2. Tidak ada korelasi antara kontrol variabel (deal proneness, gender dan age)

terhadap impulse purchasing behavior

Oleh karena itu kemudian dilakukan analisis lebih lanjut mengapa perbedaan

hasil ini dapat terjadi. Hasil analisis dapat dilihat pada sub bab Pembahasan.

5.2.4.Uji Hierarchical Multiple Regression

Walaupun dari hasil uji korelasi telah dinyatakan bahwa hipotesis ditolak,

yang artinya tidak ada pengaruh antara variabel-variabel independen dengan

variabel dependennya, namun uji hierarchical multiple regression tetap perlu

dilakukan untuk lebih meyakinkan lagi bahwa hasil yang diperoleh telah diperiksa

secara lebih akurat.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

64

Perbedaan mendasar antara uji hierarchical multiple regression dengan uji

korelasi adalah bahwa hasil yang diperoleh adalah hasil pengaruh yang “murni”

antara variabel independennya terhadap variabel dependennya, dengan sudah

mengeliminasi terlebih dahulu pengaruh antara variabel kontrol terhadap variabel

dependennya. Dalam penelitian ini artinya hanya meneliti pengaruh antara tingkat

consumer information exposure atau product knowledge terhadap impulse

purchasing behavior tanpa dipengaruhi oleh kemungkinan adanya pengaruh dari

price consciousness, deal proneness, gender, dan age.

Uji hierarchical multiple regression akan dilakukan dua kali, yang

pertama untuk menguji pengaruh antara consumer information exposure terhadap

impulse purchasing behavior dan yang kedua untuk menguji pengaruh antara

product knowledge terhadap impulse purchasing behavior.

Berikut adalah tabel hasil uji hierarchical multiple regression antara

consumer information exposure terhadap impulse purchasing behavior.

Tabel 5.14 Hasil Hierarchical Multiple Regression(exposure terhadap impulse)Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Model Summary(c)

Mo

del

R R

Square

Adjusted

R Square

Std. Error of

the Estimate

Change Statistics Durbin-

Watson

R Square

Change

F

Change

df1 df2 Sig. F

Change

1 .317(a) 0.1 .069 .96463369 .101 3.221 4 115 .015

2 .318(b) .101 .062 .96856685 .001 .068 1 114 .795 1.939

a Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Priceb Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price, Exposurec Dependent Variable: Impulse

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

65

ANOVA(c)

Model Sum of Squares df Mean Square

1 Regression 11.990 4 2.998

Residual 107.010 115 .931

Total 119.000 119

2 Regression 12.054 5 2.411

Residual 106.946 114 .938

Total 119.000 119

a Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Priceb Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price, Exposurec Dependent Variable: Impulse

Coefficients(a)

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. Collinearity

Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) .028 .377 .075 .940

Price -.300 .112 -.300 -2.683 .008 .625 1.600

Deal .229 .106 .229 2.154 .033 .692 1.445

Gender .166 .188 .083 .882 .380 .880 1.137

Age -.169 .140 -.108 -1.214 .227 .992 1.008

2 (Constant) .024 .379 .064 .949

Price -.298 .113 -.298 -2.650 .009 .622 1.607

Deal .220 .112 .220 1.963 .052 .628 1.593

Gender .163 .189 .082 .863 .390 .877 1.140

Age -.164 .141 -.105 -1.162 .248 .974 1.027

Exposure .025 .095 .025 .261 .795 .870 1.150

a Dependent Variable: Impulse

Dari tabel 5.14 model summary dapat dilihat bahwa nilai perubahan

koefisien determinasi (R Square Change) pada prediktor b adalah sebesar 0.001

dan dari tabel 5.14 Anova dapat dilihat bahwa keduanya signifikan di 0.05. Nilai

tersebut memiliki arti bahwa consumer information exposure hanya menjelaskan

sekitar 0.1% dari total varian pada impulse purchasing behavior setelah variabel

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

66

price consciousness, deal proneness, gender, age, dan consumer information

exposure dikontrol. Sedangkan dari tabel 5.14 coefficients seharusnya dapat

dilihat nilai B untuk consumer information exposure namun karena tidak

signifikan sehingga nilai tersebut tidak dapat digunakan untuk prediksi pengaruh

(memperkuat hasil dari uji korelasi).

Sedangkan uji hierarchical multiple regression kedua yang menguji

pengaruh antara product knowledge terhadap impulse purchasing behavior

hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 5.15 Hasil Hierarchical Multiple Regression (knowledge terhadap impulse)Sumber: Diolah dari hasil penelitian

Model Summary(c)

Mo

del

R R

Square

Adjusted

R Square

Std. Error of

the Estimate

Change Statistics Durbin-

Watson

R Square

Change

F

Change

df1 df2 Sig. F

Change

1 .317(a) .101 .069 .96463369 .101 3.221 4 115 .015

2 .320(b) .102 .063 .96811581 .001 .174 1 114 .677 1.929

a Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Priceb Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price, Knowledgec Dependent Variable: Impulse

ANOVA(c)

Model Sum of Squares df Mean Square

1 Regression 11.990 4 2.998

Residual 107.010 115 .931

Total 119.000 119

2 Regression 12.154 5 2.431

Residual 106.846 114 .937

Total 119.000 119

a Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Priceb Predictors: (Constant), Age, Gender, Deal, Price, Knowledgec Dependent Variable: Impulse

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

67

Coefficients(a)

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. Collinearity

Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) .028 .377 .075 .940

Price -.300 .112 -.300 -2.683 .008 .625 1.600

Deal .229 .106 .229 2.154 .033 .692 1.445

Gender .166 .188 .083 .882 .380 .880 1.137

Age -.169 .140 -.108 -1.214 .227 .992 1.008

2 (Constant) .041 .379 .109 .914

Price -.307 .113 -.307 -2.706 .008 .613 1.631

Deal .231 .107 .231 2.162 .033 .691 1.447

Gender .166 .188 .084 .883 .379 .880 1.137

Age -.178 .142 -.113 -1.258 .211 .970 1.031

Knowledge .038 .091 .038 .417 .677 .956 1.047

a Dependent Variable: Impulse

Dari tabel 5.15 model summary dapat dilihat bahwa nilai perubahan

koefisien determinasi (R Square Change) pada prediktor b adalah sebesar 0.001

dan dari tabel 5.15 Anova dapat dilihat bahwa keduanya signifikan di 0.05. Nilai

tersebut memiliki arti bahwa product knowledge hanya menjelaskan sekitar 0.1%

dari total varian pada impulse purchasing behavior setelah variabel price

consciousness, deal proneness, gender, age, dan consumer information exposure

dikontrol. Sedangkan dari tabel 5.15 coefficients seharusnya dapat dilihat nilai B

untuk product knowledge namun karena tidak signifikan sehingga nilai tersebut

tidak dapat digunakan untuk prediksi pengaruh (memperkuat hasil dari uji

korelasi).

Hasil dari kedua uji hierarchical multiple regression ternyata

menunjukkan hasil yang sama dengan uji korelasinya sehingga menguatkan

penolakkan terhadap hipotesis awal.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

68

5.3. Pembahasan

Pada sub bab ini akan dianalisis secara lebih lanjut mengapa dapat terjadi

perbedaan antara hasil penelitian ini dengan hasil penelitian pada jurnal yang

direplika. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab misalnya adalah

karakteristik demografi responden yang berbeda, tipe produk penelitian yang

berbeda, dan faktor lainnya.

Perbedaan demografi responden yang dapat dicermati antara penelitian

yang dilakukan di jurnal dengan penelitian ini adalah bahwa responden pada

penelitian yang dilakukan di jurnal dibatasi hanya untuk mahasiswa (dengan

tingkat pendidikan S1) yang artinya dapat diperkirakan bahwa seluruh responden

berusia antara 17 sampai dengan 24 tahun. Dan total sampel yang digunakan

sangat banyak, yaitu berjumlah 419 responden. Sedangkan responden yang

terlibat pada penelitian ini lebih beragam, misalnya rentang usia antara 15 sampai

dengan 55 tahun, tingkat pendidikan dari jenjang SMA sampai dengan S3, dan

jenis pekerjaan dari mahasiswa, pegawai negeri, pegawai swasta, ibu rumah

tangga, sampai wirausaha. Namun total sampel yang digunakan pada penelitian

ini jauh lebih sedikit, yaitu berjumlah 120 responden. Perbedaan demografis ini

sedikit banyak akan menyebabkan terjadinya perbedaan tingkah laku konsumen;

misalnya umur yang lebih muda cenderung akan lebih impulsif dibandingkan

yang lebih tua, atau misalnya jenis pekerjaan akan menentukan tingkat exposure

seseorang, atau tingkat pendapatan akan berpengaruh pada tingkat kesensitifan

seseorang terhadap harga, dan lainnya.

Sementara itu perbedaan tipe produk antara penelitian yang dilakukan di

jurnal dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian di jurnal menggunakan

produk teh yang tergolong sebagai produk high-involvement di Korea (negara

tempat penelitian jurnal yang direplika dilakukan), sedangkan penelitian ini

menggunakan produk minuman ready to drink (RTD) yang tergolong sebagai

produk low-involvement di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan pada bab 2

(Landasan Teori), perbedaan tipe produk semacam ini adalah salah satu penyebab

penting terjadinya perbedaan tingkah laku konsumen; misalnya pada produk yang

high-involvement maka konsumen akan cenderung menjadi pencari informasi

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

69

aktif sedangkan pada produk yang low-involvement konsumen akan cenderung

menjadi pencari informasi pasif, penggunaan media yang sama (televisi) dalam

mengiklankan dua tipe produk yang berbeda ini tentunya akan menghasilkan hasil

yang berbeda pula.

Sedangkan faktor lainnya dapat berupa faktor perbedaan budaya antara

masyarakat Korea (negara tempat penelitian jurnal yang direplika dilakukan) dan

masyarakat Indonesia yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkah laku

konsumennya. Dan juga faktor-faktor lainnya diluar dari faktor yang diteliti tetapi

dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga menjadi tidak signifikan.

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hal ini

maka selain dari hasil riset deskriptif yaitu survei kuesioner, peneliti juga

melakukan riset ekploratori dalam bentuk in depth interview kepada 5 orang

responden yang dipilih melalui metode non probability - convenient sampling.

Hasil dari wawancara itu antara lain adalah sebagai berikut:

● Rata-rata responden menjawab mereka tidak memiliki kedekatan dengan

media exposure (televisi) dikarenakan responden memiliki pekerjaan yang

cukup menyita waktu sehingga tidak memiliki banyak waktu luang untuk

menonton televisi. Dan sebagai tambahan, menurut responden kalaupun ada

waktu luang maka responden lebih cenderung untuk menghabiskannya

dengan cara lain misalnya menonton DVD, pergi ke bioskop, dan lainnya.

● Rata-rata responden menjawab bahwa walaupun mereka tidak menonton

televisi, tetapi tingkat product knowledge dan tingkat impulse buying mereka

terhadap minuman ready to drink (RTD) yang mereka beli cukup tinggi. Ini

mengindikasikan bahwa ada hal-hal lain yang lebih berperan dalam

menyampaikan informasi kepada mereka dibandingkan televisi.

● Rata-rata responden menjawab bahwa mereka tidak terpengaruh secara

signifikan terhadap perbedaan harga (tidak sensitif) ataupun program promosi

lainnya dari minuman ready to drink (RTD) karena menurut responden harga

produk relatif murah jika dibandingkan kemampuan daya beli mereka.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

70

Berdasarkan hasil tersebut, wawancara kemudian dilanjutkan dengan

mencari tahu hal-hal lain, selain televisi, yang dapat lebih mempengaruhi

responden dalam pembentukan product knowledge dan melakukan tindahak

impulse buying. Berikut adalah beberapa diantaranya:

● Merek. Responden lebih menekankan pada merek-merek yang sudah familiar

(atau menjadi top of mind) sehingga walaupun responden saat ini jarang

menonton televisi namun responden sudah mengetahui tentang keberadaan

produk tersebut sejak dulu. Pola kedekatan dengan suatu merek tertentu

menyebabkan responden sering melakukan pembelian impulsif karena tidak

memerlukan banyak usaha lagi untuk mencari informasi seperti layaknya jika

responden ingin membeli suatu produk dengan merek yang masing asing.

Demikian juga ketika merek tersebut akhirnya mengeluarkan suatu varian

baru maka responden biasanya tanpa ragu akan terdorong untuk mencobanya,

seperti ketika Coca Cola mengeluarkan Frestea dan Pulpy Orange atau seperti

ketika Aqua Golden Missisipe mengeluarkan Mizone, dan lain sebagainya.

Responden percaya bahwa varian baru tersebut tentulah memiliki kualitas

yang seharusnya tidak jauh beda dengan produk yang selama ini telah ada.

Hal inilah yang menyebabkan mengapa pasar minuman ready to drink (RTD)

di Indonesia lebih dikuasai oleh pemain-pemain besar yang telah lama

membangun merek nya di Indonesia.

● Reference Group. Responden menyatakan bahwa reference group lebih

berpengaruh dibandingkan dengan iklan yang ada di televisi. Contoh yang

paling jelas misalnya terjadi pada minuman Gatorade, beberapa tahun yang

lalu Gatorade sangat marak dikonsumsi oleh anak muda yang gemar

berolahraga, oleh karena itu kemudian tercipta gambaran bahwa jika ingin

terlihat keren maka minumlah Gatorade. Gatorade sendiri sebenarnya adalah

minuman isotonik yang pada waktu itu belum booming, namun ketika orang

membeli Gatorade orang tersebut tidak perlu tau apa itu minuman isotonik

yang mereka tau adalah bahwa di lingkungan mereka Gatorade dianggap

sebagai minuman yang diminum oleh orang-orang keren. Itu juga yang

menyebabkan beberapa responden enggan untuk membeli suatu merek

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

71

minuman ready to drink (RTD) tertentu karena menganggap bahwa segmen

minuman tersebut tidak cocok dengan mereka.

● Opinion Leader. Dalam hal opinion leader, kesuksesan telah dibuktikan oleh

Pocari Sweat. Sebagai pioneer minuman isotonik yang gencar melakukan

edukasi kepada konsumennya, Pocari tidak hanya berpromosi melalui jalur

above-the-line, tetapi juga melalui jalur below-the-line. Salah satu cara

promosi below-the-line yang dilakukan Pocari adalah dengan membentuk

armada detailer - semacam medical representative pada produk obat-obatan.

Mereka ditugaskan untuk mendekati para opinion leader semisal para dokter

agar mau merekomendasi Pocari kepada pasiennya. Hasilnya adalah ketika

terjadi wabah demam berdarah pada tahun 2004, penjualan Pocari meningkat

drastis dan sejak itu sedikit demi sedikit mulai terbangun gambaran bahwa

Pocari adalah minuman kesehatan. Walaupun jika sebenarnya masyarakat

ditanya mengenai bagaimana minuman isotonik dapat menyehatkan, mereka

belum tentu mengetahui jawabannya.

● Kemasan yang menarik. Responden menyatakan bahwa proses keputusan

pembelian minuman ready to drink (RTD) sebagian besar terjadi secara

spontan ketika responden melihat penampilan fisik dari minuman tersebut.

Penampilan fisik ini bisa dilihat dari bentuk kemasannya yang menarik

(misalnya air minuman dalam kemasan yang bermerek Ades Royal atau

Cleo) ataupun nama yang kuat asosiasinya (misalnya Coca Cola Zero, orang

langsung tertarik dan kemudian terasosiasi bahwa minuman tersebut tidak

menggemukkan, walaupun sebagian besar orang jarang yang kemudian

memeriksa label komposisinya ataupun memeriksa kebenaran dari penamaan

tersebut).

Hal ini sesuai dengan teori yang telah dijelaskan pada bab 2 (landasan

teori) bahwa sebagai produk low-involvement, minuman ready to drink (RTD)

harus berjuang keras agar tetap bisa mempertahankan konsumennya. Beberapa hal

yang harus diperhatikan dalam mengembangkan minuman ready to drink (RTD)

antara lain adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

72

● Perbesar accidental Exposure. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,

diketahui bahwa dengan tingkat kesibukan yang tinggi sebagian besar

responden kurang memiliki waktu untuk menonton televisi. Untuk situasi

seperti ini, maka yang perlu dilakukan adalah memperbesar peluang

terjadinya accidental exposure. Accidental exposure dapat berupa outdoor

advertising seperti pemasangan iklan di billboard yang akan dibaca oleh

responden ketika macet di jalan ataupun pemasangan iklan di kendaraan

umum yang setiap hari responden gunakan akan lebih tinggi tingkat

kedekatannya dibandingkan jika responden harus menyediakan waktu untuk

menonton televisi. Kelebihan dan kelemahan masing-masing media (media

advertising vs outdoor advertising) dapat dilihat secara lebih detail pada sub

bab 2.2.3 (pemilihan alat komunikasi pemasaran), sub bab 2.2.4 (pemilihan

media komunikasi pemasaran), dan juga pada lampiran 1 (media

characteristic).

● Beralih dari product knowledge ke arah self knowledge. Seperti yang telah

dijelaskan pada sub bab 2.2.3 (pemilihan alat komunikasi pemasaran), dalam

diagram FCB grid dapat dipetakan bahwa minuman ready to drink (RTD)

dimasukkan kedalam kuadran 4 yaitu low-involvement dan feeling. Produk-

produk di kuadran ini kuat sekali kaitannya dengan kepuasan terhadap diri

sendiri dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, maka perkuatkan beralih dari

hanya sekedar product knowledge yang lebih menekankan pada atribut

fungsional produk (thinking) ke arah self knowledge yang lebih menekankan

pada kegunaan psikologisnya dan nilai-nilai tak berwujud dari produk

tersebut (lihat sub bab 2.3.3 “Means-End Involvement”). Sentuhlah sisi

emosional responden sehingga iklan tersebut lebih mengena. Misalnya iklan

Coca Cola yang selalu menekankan kebersamaan, maka kemudian akan

tercipta gambaran bahwa kalau sedang berkumpul enaknya minum Coca

Cola. Selain itu cara yang bisa digunakan juga antara lain dengan media

public relation yaitu melalui reference group dan opinion leader. Kedua cara

tersebut telah terbukti sukses digunakan oleh beberapa minuman ready to

drink (RTD) misalnya Gatorade dan Pocari Sweat untuk masuk atau bertahan

di industri minuman ready to drink (RTD).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

73

● Perkuat point of purchase. Menurut teori dalam sub bab 2.4.2 (pengambilan

keputusan pembelian impulse buying) keputusan pembelian dalam impulse

buying bisa berjalan tidak sesuai tahapan, artinya bahwa Jika dalam keadaan

normal keputusan pembelian konsumen akan melalui berbagai tahapan proses

(gambar 2.4) maka dalam impulse buying tahapan proses tersebut tidak selalu

berjalan sekuen, ada kalanya konsumen menghindari beberapa proses dan

langsung melakukan pembelian. Seringkali keputusan pembelian dilakukan

langsung di tempat pembelian, tanpa melakukan usaha pencarian informasi

terlebih dahulu, atau melakukan pencarian informasi di tempat pembelian

(menjadikan supermarket tersebut sebagai katalog belanjanya). Dan yang

perlu diperhatikan juga bahwa sifatnya yang rawan terjadi brand switching

jika merek yang dicarinya tidak ada. Oleh karena itu maka strategi point of

purchase harus dikuatkan. Misalnya dengan penggunaan kemasan yang

menarik atau penempatan produk di tempat yang mudah dijangkau dan dilihat

terbukti mampu merangsang konsumen untuk melakukan impulse buying.

Selain itu saluran distribusi juga perlu diperkuat untuk menghindari

terjadinya impulse buying terhadap produk kompetitor jika produk yang

dicari sedang tidak ada. Kalau perlu bisa juga dilakukan trade promotions

berupa pemberian insentif kepada dealer agar mau menjual secara lebih aktif

atau menyarankan kepada konsumen untuk menggunakan produk kita.

Namun begitu, bukan berarti televisi tidak memberikan kontribusi apapun

dalam menyampaikan information exposure kepada responden. Walaupun jarang

menonton televisi, sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka hidup

tidak jauh dari televisi, artinya secara tidak sadar mereka memiliki kedekatan

tidak langsung dengan televisi. Hal ini dimungkinkan karena dimanapun

responden berada hampir bisa dipastikan ada televisi di lingkungan sekitarnya,

misalnya ketika sedang makan siang maka televisi pasti ada di cafetaria atau

misalnya sedang menunggu sesuatu biasanya juga disediakan televisi, bahkan

kadang di rumah pun walaupun tidak di tonton tetapi televisi tetap menyala hanya

supaya tidak merasa sepi. Situasi seperti inilah yang kemudian memungkinkan

terjadinya pertukaran informasi secara tidak sadar kepada responden. Jadi sangat

dimungkinkan ketika akhirnya responden merasa familiar terhadap suatu merek,

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

74

walupun tanpa responden tersebut perlu untuk sering menonton televisi. Oleh

karena itu perusahaan-perusahaan besar yang menyadari hal ini menekankan

untuk pentingnya terus beriklan, hanya supaya konsumennya tetap selalu merasa

dekat dengan merek mereka.

5.4. Keterbatasan Penelitian

Walaupun telah dijelaskan dalam sub bab 1. 5 (ruang lingkup penelitian)

bahwa penelitian ini terbatasi oleh beberapa hal sehingga hasilnya tidak bisa

digeneralisir, misal, terhadap semua produk atau semua jenis media exposure.

Namun ternyata dikarenakan keterbatasan waktu maka pada penelitian ini ada hal-

hal lain yang harus lebih dibatasi lagi, misalnya:

● Akibat penggunaan metode non probability-convenient sampling, maka

sampel yang diambil tidak dapat merepresentasikan keseluruhan populasi

yang diinginkan. Contohnya walaupun batasan usia responden berada dalam

range 15 sampai dengan 55 tahun, tetapi ternyata sebagian besar responden

berada di range usia 26 sampai dengan 35 tahun. Oleh karena itu kemudian

hasil penelitian hanya valid untuk mendeskripsikan karakteristik populasi

yang sesuai dengan mayoritas responden. Sehingga populasinya dipersempit

menjadi warga negara Indonesia yang berdomisili di Jakarta, berusia 26

sampai dengan 35 tahun, memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta,

dengan tingkat sosial ekonomi nya menengah ke atas.

● Ada variabel-variabel lain yang seharusnya bisa mempengaruhi hasil

penelitian tetapi tidak diukur dalam survei. Misalnya ketika responden

menyatakan dirinya senang menonton televisi tetapi tidak pernah

memperhatikan iklan karena sering berganti saluran (channel) atau

meninggalkan televisi pada saat sedang iklan. Kebiasaan seperti ini

menyebabkan konsumen seakan-akan telah ter expose walaupun pada

kenyataannya tidak. Akibatnya hubungan antara information exposure

terhadap impulse buying menjadi rancu.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.

75

● Keterkaitan antara information exposure terhadap purchase intention

(impulse buying) adalah sebuah proses panjang yang melibatkan banyak

tahapan. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.3 (model dari respon

kognitif) dimana sebelum terjadi purchase intention harus terjadi dulu

attitude toward the brand dan attitude toward the advertisement yang positif

di mata konsumen. Kegagalan di salah satu tahapan tersebut akan

mengakibatkan kegagalan di tahapan lainnya, sehingga purchase intention

tidak akan tercapai. Oleh karena itu sebaiknya penelitian semacam ini untuk

kedepannya juga mengukur tahapan-tahapan tersebut sehingga hasil

penelitiannya lebih komprehensif. Misalnya banyak iklan saat ini dianggap

tidak menarik sehingga jangankan bisa menambah product knowledge

responden, mendapatkan awareness dari responden pun tidak. Jika

keadaannya seperti ini maka kesalahan bukan terletak pada banyak atau

tidaknya information exposure dilakukan tetapi pada kualitas dari

information exposure itu sendiri yang tidak mampu bersaing. Hal ini dapat

dilihat dari banyak juga produk yang gagal walaupun telah banyak

mengeluarkan biaya dalam beriklan.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Brahmanti Prameswari, FE UI, 2009.