45
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Pendahuluan Dalam uraian di bagian-bagian tulisan sebelumnya, telah dibahas beberapa topik tulisan, mulai dari berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial (Bab 2) hingga pembahasan mengenai berbagai gejala dan proses perubahan sosial terkait perdesaan di Bali pada umumnya, dan terutama perdesaan di Tabola atau Sidemen pada khususnya (Bab 3 sampai Bab 7). Perubahan sosial di perdesaan Bali pada umumnya, dibahas berdasarkan kerangka perspektif sejarah sosiologis (Bab 3 dan 4), sedangkan perubahan sosial di Tabola atau Sidemen pada khususnya dibahas dengan menguraikan hasil penelitian lapangan (Bab 4 – 7). Pada Bab 2, yang membahas berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial, telah dikupas, antara lain, berbagai sudut pandang pengertian tentang perubahan sosial. Salah satunya, misalnya, batasan pengertian tentang perubahan sosial. Terkait pengertian tentang perubahan sosial ini, dikemukakan pula konsep tentang struktur sosial dan juga wujud-wujud kongkrit dari perubahan sosial itu sendiri. Dari hasil penelitian lapangan, sebagaimana dikupas dalam Bab 5 - 7, berbagai gejala perubahan sosial yang terjadi itu memang menampakkan diri sejalan dengan batasan perubahan yang telah dikemukakan dalam Bab 2 tersebut. Namun yang lebih penting dan akan dibahas dalam bagian tulisan ini adalah bahwa dibalik munculnya gejala perubahan sosial di Desa Tabola, sebagaimana terlihat dari hasil penelitian lapangan dan telah dibahas pada Bab 4 - 7, ternyata sifat atau karakternya tidak selalu sejalan dengan masing-masing perspektif teori yang telah dikemukakan sebelumnya itu. Dalam hal ini, salah satu hal menyolok yang mungkin perlu diperhatikan adalah munculnya gejala perubahan yang bersifat dualitas. Tetapi apa yang dimaksud dengan sifat dualitas itu, dan bagaimana wujud dari gejala perubahan dualitas itu? Uraian selanjutnya pada bagian ini akan mengupas tentang hal itu.

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

  • Upload
    hatu

  • View
    235

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

Pendahuluan

Dalam uraian di bagian-bagian tulisan sebelumnya, telah dibahas beberapa topik tulisan, mulai dari berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial (Bab 2) hingga pembahasan mengenai berbagai gejala dan proses perubahan sosial terkait perdesaan di Bali pada umumnya, dan terutama perdesaan di Tabola atau Sidemen pada khususnya (Bab 3 sampai Bab 7). Perubahan sosial di perdesaan Bali pada umumnya, dibahas berdasarkan kerangka perspektif sejarah sosiologis (Bab 3 dan 4), sedangkan perubahan sosial di Tabola atau Sidemen pada khususnya dibahas dengan menguraikan hasil penelitian lapangan (Bab 4 – 7).

Pada Bab 2, yang membahas berbagai perspektif teori tentang perubahan sosial, telah dikupas, antara lain, berbagai sudut pandang pengertian tentang perubahan sosial. Salah satunya, misalnya, batasan pengertian tentang perubahan sosial. Terkait pengertian tentang perubahan sosial ini, dikemukakan pula konsep tentang struktur sosial dan juga wujud-wujud kongkrit dari perubahan sosial itu sendiri. Dari hasil penelitian lapangan, sebagaimana dikupas dalam Bab 5 - 7, berbagai gejala perubahan sosial yang terjadi itu memang menampakkan diri sejalan dengan batasan perubahan yang telah dikemukakan dalam Bab 2 tersebut.

Namun yang lebih penting dan akan dibahas dalam bagian tulisan ini adalah bahwa dibalik munculnya gejala perubahan sosial di Desa Tabola, sebagaimana terlihat dari hasil penelitian lapangan dan telah dibahas pada Bab 4 - 7, ternyata sifat atau karakternya tidak selalu sejalan dengan masing-masing perspektif teori yang telah dikemukakan sebelumnya itu. Dalam hal ini, salah satu hal menyolok yang mungkin perlu diperhatikan adalah munculnya gejala perubahan yang bersifat dualitas. Tetapi apa yang dimaksud dengan sifat dualitas itu, dan bagaimana wujud dari gejala perubahan dualitas itu? Uraian selanjutnya pada bagian ini akan mengupas tentang hal itu.

Page 2: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

330

Namun sebelum mengupas pengertian tentang konsep dualitas, perlu disinggung sedikit pengertian tentang konsep dualisme sebagai sisi yang lain dari konsep dualitas. Dualisme adalah suatu cara pandang terhadap realitas dunia (world view) yang diyakini memiliki katagori ganda yang saling berlawanan/bertentangan satu sama lain (oposisi biner) dan yang memiliki sifat hirarkhis. Hirarkhis di sini dimaksudkan bahwa keberadaan unsur-unsur yang saling berlawanan atau bertentangan itu (oposisi biner) di dalamnya terkandung pilihan bertingkat (hirarkhis) yang mengandung nilai-nilai tertentu (misalnya, nilai-nilai baik dan nilai-nilai buruk).

Al-Fayyadl (2005: 16), dengan mengutip Derida, mengemukakan bahwa pandangan dualisme ini berakar dari tradisi filsafat Barat yang diistilahkan sebagai “logosentrisme” atau “metafisika kehadiran”. Logosentrisme adalah sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental yang terjadi di dunia fenomenal. Kebenaran transendental itulah yang dimaksudkan dengan “kehadiran” dalam istilah “metafisika kehadiran”. Dari adanya anggapan adanya kebenaran transendental ini, maka timbullah struktur hirarkhis dalam setiap katagori ganda.

Konsep dualitas pada dasarnya menolak realitas yang berdasarkan katagori ganda yang saling bertentangan (oposisi biner) dan berstruktur hirarkhis itu. Jadi keberadaan katagori ganda (dualitas), dalam dirinya tidak mesti bertentangan (dikotomi) dan berstruktur hirarkhis. Salah satu pemikir terkenal yang menolak realitas dikotomi atau oposisi biner ini adalah Derida. Penolakan ini, menurut Derida sebagaimana dikutib oleh Al-Fayyadl (2005: 24-27), berdasarkan pandangan bahwa di zaman postmodern ini tidak bisa lagi berbicara atas nama filsafat sebagai sebuah sistem berfikir yang tunggal dan satu-satunya yang paling benar. Pertanyaannya, lalu apa yang terjadi bila semua dikotomi atau oposisi biner ditolak? Yang terjadi adalah terbukanya peluang bagi subyek-subyek yang selama ini ditiadakan secara sistematis oleh filsafat/metafisika Barat untuk tampil kepermukaan. Dengan begitu maka perbedaan yang sudah merupakan suatu kodrat lantas tidak selalu mengisyaratkan hirarkhi (misalnya, warna hitam lebih unggul dari warna putih) atau oposisi (hitam

Page 3: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

331

meniadakan putih); dan dalam konteks perbedaan ini selalu terbuka katagori ketiga yang memungkinkan kedua katagori (misalnya hitam dan putih) tersebut tetap ada seperti sediakala. 1

Berikut gambaran terkait konsep dualisme dan dualitas.

Gambar 23: Konsep Oposisi Biner Dualisme

DUALISME

Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam konsep dualisme terdapat apa yang disebut realitas ganda yang membentuk posisi berlawanan (oposisi biner) dan yang memiliki sifat hirarkhis di antara keduanya. Sifat hirarkhis itu didasarkan pada logosentrisme yang mengandaikan hadirnya “kebenaran transendental” atau kebenaran tunggal.

1 Lihat: Anonim. Logosentrisme. http://www. blog.sunan-ampel.ac.id/gussableng/files/2010/10/logosentrisme

Baik

Baru

Putih

Modern

Struktur

Buruk

Lama

Hitam

Tradisi

Agen

LOGOSENTRISME

Page 4: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

332

Gambar 24: Konsep Dualitas dari Rwabhineda

DUALITAS/RWABHINEDA

Keterangan Gambar:

: Menunjukkan hubungan oposisi biner yang bersifat hirarkhis ---- : Menunjukkan adanya suatu relasi kontinyu yang membuka ruang kemungkinan

terbentuknya keharmonisan hubungan. Gambar di atas menunjukkan bahwa konsep dualitas menolak realitas ganda yang bertentangan (oposisi biner) dan bersiat hirarkhis (logosentrisme), dan sebaliknya melihat relasi realitas ganda (plural) sebagai suatu ruang keterbukaan (anti-esensialisme/differance) yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk baru dari relasi di antara keduanya, termasuk munculnya harmoni. Sebagai catatan, kata differance atau diferans, menurut Derida, sebagaimana dikutip oleh Al-Fayyadl (2005: 87-88), tidak merujuk pada konsep, tetapi hanyalah strategi permainan yang tidak terencana dengan tujuan mengusik stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk melalui oposisi atau hirarkhi yang dibangun oleh teks (logosentrisme).

Baik --------------------Buruk

Baru---------------------Lama

Putih--------------------Hitam

Modern------------Tradisi

Struktur-----------------Agen

DIFFERANS

Page 5: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

333

Kembali kepada persoalan adanya sifat dualitas dalam perubahan sosial di Tabola. Seiring dengan hal itu, masyarakat desa di Bali ternyata memang memiliki cara berfikir tertentu dalam melihat dunia sekitarnya (world view) yang sejalan dengan pengertian dualitas. Cara berfikir dualitas itu tertuang dalam suatu konsep yang di Bali dikenal luas sebagai Rwabhineda. Apa yang dimaksud dengan konsep Rwabhineda? Bagaimana asal usulnya kemunculannya? Pada bagian selanjutnya dari tulisan ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dibahas. Termasuk dalam hal ini disinggung kaitan antara cara berfikir Rwabhineda dengan cara bertindak atau respon orang Bali pada umumnya dan orang desa Tabola/Sidemen (sebagai individu atau kolektif) terhadap suatu proses perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungan sosialnya.

• Perubahan Struktur Obyektif dan Subyektif

Yang pertama perlu digarisbawahi adalah bahwa kalau kita lihat dari pengertian struktur sosial dalam kaitannya dengan definisi perubahan sosial sebagai perubahan dalam struktur sosial, sebagaimana dikemukakan dalam Bab 2, maka maksudnya lebih banyak mengacu pada pengertian fakta sosial Durkheimian. Menurut Durkheim, sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2011: 77): “Briefly, social fact are the social structures and cultural norms and values that are external to and coercive of actors”. Struktur sosial dalam lingkup pengertian seperti ini bisa dikatagorikan sebagai struktur sosial obyektif. Ini sebagai sisi berbeda dari apa yang disebut sebagai struktur sosial subyektif, sebagai mana akan dijelaskan kemudian.

Berikut gambaran dari berbagai perubahan sosial yang terjadi di Tabola dalam dimensi struktur sosial obyektif, yang gejalanya dijelaskan dengan meminjam konsep tipologi perubahan sosial menurut Harper (1989). Berdasarkan tipologi ini maka pertama, perubahan sosial terjadi bila susunan personal dalam struktur sosial berubah. Dalam konteks Tabola saat ini, yang disebut sebagai Krama Desa Tabola, pengertian dan cakupannya sudah mengalami perubahan

Page 6: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

334

dibandingkan pada masa lalu, paling tidak sebelum munculnya Awig-Awig Desa Pakraman Tabola. Pada masa lalu (sebelum reformasi dan belum ada awig-awig tertulis) yang termasuk dalam katagori krama desa cakupannya lebih sempit, yaitu mereka penduduk desa, suami istri beragama Hindu, yang tinggal (turun temurun) dan menjadi anggota banjar pepatusan serta pemaksan Pura Kahyangan Desa Tabola. Mereka inilah yang dikenal dengan istilah krama pengarep.

Selain itu ada tambahan krama desa di luar katagori tersebut di atas, yaitu mereka warga masyarakat suami istri beragama Islam yang telah turun temurun tinggal di Tabola. Dalam konteks desa adat/pakraman, mereka ini di sebut sebagai krama tamiu (krama pendatang). Yang perlu dicatat tentang keberadaannya di Tabola adalah bahwa mereka ini berada di Tabola karena konteks sejarah, yaitu ketika Kerajaan Karangasem berperang melawan Kerajaan Lombok. Saat peperangan yang mulai terjadi tahun 1838 itu, sebagian pasukan Kerajaan Sidemen yang berlokasi di Desa Tabola (sekarang) ikut berangkat perang membantu Kerajaan Karangasem. Sekembalinya ke Sidemen seusai perang, pasukan Kerajaan Sidemen membawa serta orang-orang Lombok yang beragama Islam, yang kemudian mereka tinggal dan beranak-pinak di Tabola sampai sekarang. Jadi dua katagori itulah yang disebut sebagai Krama Desa Tabola, dan dua katagori itulah yang juga menjadi elemen inti dari susunan personal struktur sosial masyarakat desa Tabola pada masa lalu.

Lalu yang berkembang kemudian, khususnya setelah terbentuknya Awig-Awig Desa Pakraman Tabola, adalah terjadinya semacam “perluasan” dari apa yang tercakup dalam pengertian krama desa. Kalau semula hanya dua katagori maka menurut ketentuan baru sebagaimana terumuskan dalam Awig-Awig Desa Pakraman yang termasuk krama desa sekarang katagorinya bertambah menjadi lima katagori. Lima katagori itu adalah (1) krama ngarep/pengarep, (2) krama tamiu, (3) krama sasabu, (4) krama di luar desa, dan (5) krama desa sasabu. Sebagai catatan, pengertian dari masing-masing katagori krama desa tersebut telah diuraikan dalam Bab 5.

Perluasan pengertian tentang krama desa ini pada akhirnya akan

Page 7: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

335

mempengaruhi pembentukan susunan struktur organisasi Desa Pakaraman Tabola yang baru. Ini khususnya pengurus baru paska pelengseran pengurus desa lama akibat konflik sumberdaya air di Tabola. Sebagaimana dibahas dalam Bab 7, susunan pengurus baru organisasi desa paska konflik sumberdaya air (periode kepengurusan 2009-2014), mengakomodasi antara lain perwakilan dari berbagai golongan masyarakat yang ada di Tabola. Salah satunya adalah perwakilan dari krama di luar desa, krama sasabu dan krama desa sasabu. Adanya pengakuan bagi keberadaan krama desa yang tinggal di luar desa, telah mendorong berkembangnya organisasi kekerabatan berdasarkan kesamaan asal usul desa di luar Desa Tabola. Tercatat, misalnya, organisasi kekerabatan menghimpun warga desa asal Desa Pakraman Tabola yang tinggal di Denpasar dan Badung. Organisasi ini menjaga komunikasi dan hubungan yang erat dengan organisasi Desa Pakraman Tabola, dan bahkan sebagaimana disinggung di atas, keberadaannya diakomodasi dalam susunan kepengurusan organisasi desa pakraman.

Kedua, perubahan struktur sosial terjadi bila ada perubahan dalam pola relasi (internal) suatu struktur sosial, termasuk perubahan struktur kekuasan (internal), otoritas dan komunikasinya. Gambaran paling jelas dari perubahan tipe ini bisa dilihat dari proses yang menyertai perubahan kepemimpinan di Tabola, khususnya dalam periode waktu setelah awig-awig dipasopati di pura desa, dan secara resmi menjadi acuan bagi pelaksanaan nilai-nilai dan norma-norma adat. Munculnya awig-awig desa yang baru itu harus dilihat juga sebagai titik awal dari semakin menguatnya otonomi (asli) desa dan suatu pola relasi internal dalam struktur sosial masyarakat desa yang lebih terbuka. Hal demikian dimungkinkan karena keberadaan isi dari awig-awig (substansi pasal-pasalnya) mendorong menguatnya iklim keterbukaan dalam kehidupan desa adat/pakraman. Keadaan inilah yang pada gilirannya menggulirkan proses perubahan sosial dalam bentuk perubahan kepemimpinan dan struktur organisasi desa pakraman, sebagaimana digambarkan dalam Bab 7.

Ketiga, perubahan sosial terjadi bila ada perubahan fungsi-fungsi dalam struktur sosial. Untuk tipe perubahan ketiga ini,

Page 8: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

336

misalnya, paling jelas bisa digambarkan dari adanya perubahan beberapa fungsi dari elemen dalam struktur organisasi desa pakraman. Sebagaimana dikupas dalam tulisan Bab 6 tentang kelembagaan desa, sejak tahun 2003, muncul struktur baru dalam kelembagaan organisasi desa pakraman sebagai hasil dari pelaksanaan ketentuan baru sebagaimana dirumuskan dalam awig-awig desa. Dalam struktur baru itu terdapat elemen baru yang kedudukannya sangat menentukan dalam keseluruhan struktur organisasi desa, yaitu adanya “pingajeng desa”.

Dengan adanya “pingajeng desa” ini, maka fungsi bendesa atau klian desa tidak lagi menjadi unsur tertinggi dalam dalam hirarki pemerintahan desa pakraman sebagaimana sebelumnya. Tetapi hirarkhi tertinggi berada ditangan “pingajeng desa” itu. Kelak kemudian, ketika muncul kepemimpinan yang lebih baru lagi pada awal tahun 2009, elemen baru yang bernama “pingajeng desa” ini dihapuskan dari susunan struktur organisasi desa karena dianggap hanya merepresentasikan kepentingan satu kelompok, khususnya kelompok kasta tinggi di Desa Tabola (bangsawan tinggi puri dan kaum brahmana tinggi) dan dinilai oleh pengurus yang baru tidak mencermin nilai demokrasi, dan sebaliknya ada unsur untuk mengembalikan lagi sistem feodalisme lama.

Di sini kembali bendesa atau klian desa dalam struktur organisasi desa menjadi elemen organisasi yang memiliki wewenang kekuasaan tertinggi (lihat Bab 7). Sebagai pengganti dari elemen “pingajeng desa” yang telah dihapuskan maka dalam struktur organisasi desa ditambahkan elemen baru yang disebut “pengrajeg”, yang fungsinya kurang lebih sama seperti penasehat. Jadi karena fungsinya lebih sebagai penasehat, maka kedudukan “pengrajeg” dalam struktur organisasi desa tidak lebih tinggi dari bendesa atau klian desa, sebagaimana kedudukan “pingajeng desa” sebelumnya. Sesuai dengan susunan struktur organisasi desa yang ada, kedudukannya sejajar dengan bendesa atau klian desa. Elemen “pengrajeg” ini sebenarnya bukan hal baru, karena sebelumnya sudah pernah dikenal (sebelum dikenalkan konsep “pingajeng”), dan konsep “pingrajeg” umumnya lebih banyak dikenal di desa-desa pakraman lain di luar Tabola.

Page 9: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

337

Perubahan fungsi lainnya terkait dengan perubahan struktur di Tabola adalah masuknya elemen-elemen yang dianggap mewakili aspirasi atau kepentinggan berbagai kelompok masyarakat yang ada di Tabola. Elemen-elemen ini dikenal dengan konsep “petajuh”, yang untuk konteks desa pakraman terdiri antara lain dari elemen-elemen yang mewakili aspirasi kelompok kahyangan, palemahan, dan pawongan, dan terakhir adalah pengurus yang mewakili apa yang disebut sebagai kelompok desa sesabu dan dura desa. Tentang pengertian dari masing-masing kelompok ini, bisa dilihat kembali pada Bab 6.

Keempat, perubahan terjadi bila ada perubahan pola hubungan di antara struktur-struktur sosial yang berbeda. Gambaran paling nyata dari fenomena perubahan tipe seperti ini di Tabola bisa dilihat dari perubahan pola hubungan antara desa adat/pakraman dengan desa dinas, terutama sejak diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 dan juga Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebagaimana dijelaskan pada Bab 6, perubahan itu konsekuensi dari perubahan kedudukan desa adat/desa pakraman dan desa dinas, yang sejak era reformasi kedudukan desa adat/pakraman semakin kuat (terhadap desa dinas), dan yang praktiknya tidak lagi menjadi seperti sub-ordinasi desa dinas.

Dengan adanya perubahan itu, maka posisi desa adat/pakraman, paling tidak menjadi lebih “seimbang/setara” dalam hubungannya dengan desa dinas. Dengan demikian, masing-masing memiliki cakupan wewenang dan kekuasaan sendiri-sendiri, yaitu desa dinas lebih banyak mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan pemerintahan, seperti misalnya pengurusan KTP dan surat-surat lainya yang berhubungan dengan pelayanan administrasi pemerintahan kepada warga desa, pelaksanaan program Pemerintahan Daerah, dan lain sebagainya. Sementara desa adat/pakraman lebih banyak mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan adat (dan budaya) serta agama. Dengan bahasa yang lebih ringkas, desa dinas mengurusi masyarakat desa sebagai anggota dari warga (negara) desa, sedangkan desa adat/pakraman mengurusi masyarakat desa sebagai anggota dari krama desa. Ini menjadi sangat berbeda bila

Page 10: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

338

dibandingkan dengan situasi masa lalu, di mana desa dinas boleh dikatakan hampir mendominasi urusan-urusan desa, termasuk urusan desa adat/pakraman.

Kelima, perubahan sosial terjadi bila muncul struktur baru dari struktur sosial lama yang sudah ada selama ini. Gambaran ini bisa dilihat dari munculnya struktur-struktur baru, seperti Majelis Desa Pakraman/MDP (dari tingkat alit, madya sampai utama) sebagai ‘supra-struktur’ baru bagi desa adat/pakraman. Selain itu juga munculnya kelembagaan-kelembagaan baru seperti “pingajeng”, “pengrajeg”, dan berbagai macam lembaga baru yang dirumuskan dalam awig-awig Desa Tabola. Dalam hal ini juga perlu digarisbawahi bahwa awig-awig tertulis (hasil penyuratan awig-awig lama) Desa Pakraman Tabola sesungguhnya juga adalah suatu bentuk kelembagaan (nilai-nilai dan norma-norma) yang baru muncul di Tabola menyusul bergulirnya jaman reformasi. Jadi di sini, awig-awig selain adalah produk dari perubahan sosial, dalam dirinya juga menjadi sumber dari perubahan sosial. Itulah, antara lain, contoh-contoh dari pada apa yang disebut sebagai perubahan struktur sosial obyektif.

Di samping perubahan struktur sosial obyektif seperti diuraikan di atas, hasil penelitian ini juga menunjukkan terjadinya gejala perubahan struktur sosial dalam dimensi subyektif (struktur subyektif). Yang dimaksudkan dengan struktur subyektif di sini, mengacu pada pemikiran Bourdieu, lebih pada pengertian struktur kognitif yang ada dalam kesadaran individu maupun kolektif. Struktur subyektif dalam bentuk struktur (kesadaran) kognitif inilah yang mendasari konsep Bourdieu tentang Habitus.

Di sini contoh yang paling kentara dari terjadinya perubahan dalam stukrur sosial subyektif adalah munculnya gagasan-gagasan atau ide-ide baru yang mendorong diterimanya nilai-nilai (dan norma-norma) baru di masyarakat. Dengan diterimanya nilai-nilai (dan norma-norma) baru itu, maka terjadi perubahan dalam kesadaran dalam masyarakat, baik sebagai individu maupun kolektif. Tentu saja perlu dicatat di sini, bahwa penerimaan nilai-nilai dan norma-norma baru itu tidak berlangsung secara serta merta, tetapi melalui suatu

Page 11: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

339

proses dialog yang membutuhkan waktu, yang hal itu terutama berlangsung intensif pada waktu dilakukan proses penyuratan awig-awig desa. Wujud nyata dari diterimanya nilai-nilai baru itu, sebagian tertuang dalam rumusan yang ada dalam pasal-pasal di Awig-Awig Desa Pakraman Tabola.

Proses diterima nya (dan kemudian dipraktikkannya dalam tindakan sehari-hari) nilai-nilai baru sebagai hasil dari perkembangan ide-ide baru yang berasal dari kesadaran subyektif (individu atau kolektif) itu, dalam konsep Bourdieu disebut sebagai proses “dialectic of the internalization of externality and externalization of internaliy”. Di sini terlibat suatu proses: (a) penstrukturan struktur sosial obyektif atau structuring structure, yaitu dalam bentuk penstrukturan oleh struktur awig-awig baru ke dalam kesadaran kognitif individu ataupun kolektif yang dampaknya merubah sikap dan perilaku; (2) penstrukturan oleh struktur sosial subyektif atau structured structure yaitu dalam bentuk penstrukturan oleh struktur kognitif ke dalam struktur sosial/realitas sosial masyarakat). Kedua proses penstrukturan itu secara keseluruhan berlangsung secara berkesinambungan dan dialektis. Proses penstrukturan yang berlansung secara dialektik ini menghasilkan apa yang disebut sebagai gejala perubahan sosial.

Di samping apa yang telah disebut itu (terkait awig-awig), juga muncul dan tumbuh suatu kesadaran baru (yang lebih makro sifatnya) di masyarakat terkait perkembangan situasi sosial-politik di desa, khususnya sejak era reformasi. Situasi sosial-politik baru itu dalam realitasnya bisa diringkas dan dikaitkan dengan proses yang disebut sebagai demokratisasi. Situasi baru ini pada gilirannya mendorong secara bertahap terjadinya perubahan pola hubungan antara masyarakat (warga/krama desa) dengan desa (baik desa dinas dan desa adat) dan juga, pada gilirannya, antara desa adat dengan desa dinas itu sendiri sebagai suatu entitas kelembagaan.

Tentang berlangsungnya perubahan dalam kesadaran kognitif masyarakat, terkait dengan nilai-nilai dalam kehidupan di desa adat/pakraman, bisa digambarkan dari beberapa kasus, sebagaimana dibahas dalam Bab 5 tentang Awig-Awig Desa Tebola. Salah satu

Page 12: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

340

contoh yang dibahas dalam bab itu adalah masalah “cuntaka”, atau berarti sesuatu keadaan di mana seseorang, pria atau wanita, karena sesuatu hal dianggap “tidak bersih”, dan karena itu dilarang melakukan sesuatu tindakan tertentu.

Cuntaka adalah sesuatu persoalan yang terkait langsung dengan masalah adat dan agama, sehingga sebenarnya memang tidak gampang mengubah ketentuannya. Apalagi hal seperti itu merupakan suatu keyakinan yang telah dipraktikkan sejak dahulu kala, dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh para orang tua dan leluhur. Tetapi, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan pada bagian sebelumnya, karena perkembangan tuntutan jaman yang menghendaki segalanya menjadi lebih praktis, maka ide atau gagasan untuk mengubah ketentuan mengenai waktu serta persyaratannya bisa diterima masyarakat melalui suatu musyawarah bersama yang diwarnai oleh perdebatan pro dan kontra yang cukup sengit. Setelah disepakati, perubahan itu akhirnya dicantumkan dalam pasal awig-awig sebagai suatu ketentuan baru yang harus dipatuhi dan dipraktikkan.

Di luar masalah “cuntaka” ada beberapa kasus lain yang serupa, seperti misalnya diadopsinya gagasan tentang “pingajeng” (yang kelak kemudian mengalami koreksi kritis dari masyarakat untuk kemudian berubah menjadi “pangrajeg”) dalam awig-awig. Juga diterimanya gagasan terkait ketentuan praktik pelestarian lingkungan alam di Tabola dalam awig-awig sebagai perwujudan ajaran Tri Hita Karana dalam praktik kehidupan sehari-hari di desa. Ini khususnya menyangkut hubungan antara manusia dengan alam atau disebut konsep palemahan, di samping dua hubungan lagi, yaitu hubungan manusia dengan manusia (konsep pawongan) dan hubungan manusia dengan Tuhan (konsep parhyangan).

Apa yang bisa dicermati dari uraian di atas adalah bahwa perubahan sosial di Tabola, berlangsung tidak saja dalam dimensi struktur sosial obyektif, tetapi juga pada saat yang berbarengan terjadi perubahan dalam struktur sosial subyektif. Dalam konteks Desa Pakraman Tabola, perubahan struktur obyektif lebih banyak terkait

Page 13: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

341

dengan perubahan pada aspek kelembagaan masyarakat, apakah bentuknya organisasi, seperti misalnya, struktur organisasi desa adat/pakraman atau desa dinas, atau juga dalam bentuk institusi “peraturan/ketentuan” (nilai-nilai dan norma-norma), seperti misalnya kelembagaan awig-awig desa.

Sedangkan perubahan struktur subyektif lebih terkait dengan perubahan pada aspek (kesadaran) kognitif individu dan masyarakat (secara kolektif). Bentuknya bisa berupa muncul dan berkembangnya gagasan-gagasan yang mendorong diterimanya ide-ide baru sebagai suatu realitas baru yang dipraktikkan (misalnya tentang gagasan demokrasi); atau juga diterimanya ide-ide baru sebagai suatu bentuk dari nilai atau norma baru yang siap dipraktikkan bersama.

Dalam perspektif teori perubahan sosial, khususnya dalam pengertian perubahan sosial sebagai suatu perubahan struktur sosial, maka bisa dikemukakan bahwa perubahan struktur sosial di Tabola itu ternyata tidak saja menyangkut perubahan struktur sosial dalam pengertian obyektif (struktur obyektif) tetapi juga sekaligus dalam pengertian subyetif (kesadaran kognitif). Dalam hal ini kelihatannya muncul suatu gejala perubahan yang bersifat “dualitas”, yaitu terjadinya perubahan pada struktur (sosial) obyektif di satu sisi, dan pada saat yang sama muncul perubahan pada struktur (sosial) subyektif di sisi lain.

• Faktor Penyebab Eksogen dan Endogen

Sebagaimana di uraikan dalam bagian sebelumnya, bahwa proses perubahan bisa disebabkan oleh faktor-faktor eksogen maupun endogen. Faktor eksogen adalah faktor-faktor penyebab perubahan (struktur sosial) yang sumbernya berasal dari luar struktur sosial tersebut. Sebaliknya faktor endogen adalah faktor-faktor penyebab perubahan yang sumbernya berasal dari dalam struktur sosial itu sendiri. Tidak jarang nama dari faktor eksogen dan endogen ini disebut dengan nama lain, yaitu faktor eksternal dan internal, tetapi dengan maksud dan pengertian yang sama (Smelser, 1992).

Page 14: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

342

Kalau dicermati dari hasil penelitian lapangan, faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial di Tabola justru ditimbulkan oleh dua faktor pengaruh, ekternal dan internal. Kedua faktor ini muncul sebagai faktor penyebab perubahan secara hampir serentak dan berkesinambungan. Dalam Bab 4 dan 5, misalnya, digambarkan bagaimana Pemda Provinsi Bali, menerbitkan Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Prakraman, yang pada gilirannya telah mendorong terjadinya perubahan sosial di desa pakraman di Bali, tidak terkecuali Desa Pakraman di Tabola. Perubahan sosial itu terwujud dalam bentuk, antara lain, tersuratnya awig-awig desa pakraman di Tabala (dari sebelumnya tidak tertulis menjadi tertulis dalam susunan yang sistematis); organisasi desa pakraman (Tabola) menjadi semakin kuat kedudukannya, terutama dihubungkan dengan kedudukan desa dinas.

Harus diakui pula bahwa terbitnya Perda Provisi Bali No. 3 Tahun 2001, tidak terlepas dari proses reformasi. Ini khusus terkait dengan keluarnya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang substansinya mendorong pelaksanaan proses otonomi daerah (dan otonomi desa). Dalam konteks ini, dua ketentuan yang disebutkan di atas, tidak pelak merupakan faktor ekternal yang mendorong terjadinya perubahan sosial di desa pakraman di Bali, khususnya Desa Tabola. Sementara itu, gelombang reformasi yang bergulir kencang sejak tahun 1998, telah mendorong tumbuhnya kesadaran-kesadaran baru di masyarakat, tidak terkecuali bagi warga Tabola, khususnya terkait gagasan tentang kebebasan, kemandirian (otonomi) serta demokrasi. Munculnya kesadaran baru itu memberikan dorongan inisiatif untuk merumuskan kembali keberadaaan masyarakat (krama) dan desanya dalam konteks perkembangan jaman yang baru.

Apa yang dilakukan Pak Cjokorda Gde Dangin mengundang Megawati Sukarnoputri untuk hadir dalam upacara keluarga Maligya di Sidemen, misalnya, bisa ditafsirkan sebagai bagian dari munculnya kesadaran baru itu. Tidak terbayangkan bahwa pak Cokorda akan mengundang Megawati, yang pada waktu itu Ketua Partai PDIP, bila keadaan belum berubah, mengingat yang diundang itu adalah sosok yang dianggap sebagai musuh politik oleh rezim yang berkuasa

Page 15: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

343

sebelum datangnya jaman reformasi. Juga ide sebagian tokoh Desa Tabola untuk bersinergi dengan pihak luar dalam rangka meminta dukungan pendanaan bagi kepentingan penyusunan awig-awig baru, harus dilihat sebagai bagian dari inisiatif untuk merumuskan kembali keberadaan desa pakraman di jaman yang baru itu.

Dalam hal ini, datangnya Megawati ke Sidemen/Tabola tentu saja memperkuat kesadaran yang sudah mulai tumbuh tentang kebebasan dan demokrasi. Paling tidak hal ini dibuktikan dengan semakin kuatnya posisi politik PDIP sebagai partai yang menjadi simbol perlawanan terhadap rezim lama (yang otoriter) di Tabola/Sidemen. Sedangkan semuanya itu mungkin terjadi karena adanya inisiatif yang diambil Pak Cokorda Gde Dangin, yang memang sangat menyadari tentang telah datangnya jaman baru. Terkait faktor penyebab perubahan sosial, hal ini jelas merupakan faktor penyebab internal. Begitupula pula tindakan para tokoh desa Tabola, termasuk Pak Cokorda, ketika berusaha melakukan penyuratan awig-awig desa, dan juga merespon ketentuan yang ada terkait pengembangan struktur baru supra-desa pakraman bernama Majelis Desa Pakraman (Alit). Ini juga merupakan bukti lain dari adanya faktor internal dalam proses perubahan sosial di Tabola.

Perkembangan selanjutnya, perubahan di Tabola banyak diwarnai oleh faktor-faktor internal. Misalnya saja munculnya institusi baru di desa, termasuk bentuk organisasi baru desa paska penyuratan awig-awig. Begitupula ketika muncul pergolakan kepemimpinan di Tabola yang pada akhirnya melahirkan suatu bentuk kepemimpinan dan struktur organisasi baru di Desa Pakraman Tabola. Semuanya itu, kalau dikaji, sebagaimana diuraikan dalam Bab 4, 6, dan 7, muncul karena tumbuhnya pikiran-pikiran baru paska reformasi di Desa Tabola, khususnya yang digulirkan oleh lapisan elit baru di Tabola. Yang dimaksudkan dengan lapisan elit baru ini adalah lapisan elit yang tumbuh semakin kuat sejak masa reformasi, yang mereka ini memiliki berbagai latar belakang, mulai dari mantan guru, pengusaha, mantan pengurus desa dinas serta aktivis LSM. Umumnya mereka ini, sebelumnya tidak menjadi bagian dari elit penguasa Desa Pakraman Tabola.

Page 16: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

344

Kalau ditelusuri, faktor internal dan eksternal sebenarnya juga menjadi faktor pendorong perubahan pada tingkatan supra-desa, terutama munculnya Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebagai catatan, Perda ini kemudian menjadi faktor penyebab eksternal atas terjadinya berbagai perubahan di tingkat desa. Pertama, bisa dijelaskan bahwa Perda No. 3 Tahun 2001 tersebut bisa muncul karena adanya proses kebebasan dan demokratisasi terkait reformasi yang mulai bergulir kuat setelah rezim Orde Baru rontok tahun 1998. Dalam hubungannya dengan hal ini, lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahah Daerah, memberikan momentum yang kuat bagi daerah untuk (secara bertahap) memperkuat kembali hak-hak otonominya yang sudah redup, terutama sejak dilaksanakan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Faktor bergulirnya reformasi, dan terutama dilaksanakan UU No. 22 Tahun 1999, boleh dikatakan sebagai faktor penyebab perubahan dari luar (eksternal) yang memberikan pengaruh kuat bagi lahirnya Perda tentang Desa Pakraman itu. Di sisi lain, memang telah ada keinginan kuat masyarakat dan dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali sendiri untuk memperkuat kedudukan desa adat atau desa pakraman. Dasar pemikirannya adalah untuk tetap mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai budaya, adat dan agama (Hindu) di Bali. Bagi Bali, kebertahanan dan kelestarian menjadi faktor sangat penting untuk menjaga kelangsungan Bali, khususnya sebagai daerah wisata (modal ekonomi) sekaligus identitas Bali itu sendiri (modal sosial dan kultural).

Keinginan yang kuat ini pernah diwujudkan melalui Perda tentang Desa Adat tahun 1986, tetapi belum mampu memberdayakan desa adat secara optimal, karena pada masa itu dibayangi oleh kekuatan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang memberikan dasar legal bagi dominasi desa dinas atas desa adat. Baru Perda No. 3 Tahun 2001 (sebagai revisi atas Perda No. 6 Tahun 1986) desa adat, yang selanjutnya diganti namanya menjadi desa pakraman, lebih berhasil diberdayakan kedudukannya. Faktor keinginan yang

Page 17: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

345

kuat itu, tak pelak merupakan faktor penyebab perubahan dari dalam (endogen).

Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa dibalik faktor penyebab perubahan dari dalam (endogen) itu adalah adanya aktor-aktor, baik sebagai individu maupun kolektif, yang aktif dan berinisiatif dalam merespon perkembangan situasi. Jadi sesuai dengan pemikiran Giddens terkait teori strukturasi, aktor-aktor itu merepresentasikan agen-agen yang aktif dalam relasinya dengan struktur sosial. Terkait dengan sifat agen-agen yang aktif dan berinisiatif ini, Giddens (Johnson: 2008) menyatakan: “The production and reproduction of society thus to be treated as a skilled performance on the part of its members, not as merely a mechanical series of processes…”. Jadi di sini, sekali lagi, manusia sebagai individu dan kolektif adalah agen yang aktif dan rasional, dalam arti, memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa digunakan secara terus menerus dalam proses produksi dan reproduksi dari dunia sosial. Proses produksi dan reproduksi dunia sosial itu tidak lain adalah proses perubahan sosial.

Sejalan dengan perspektif seperti ini, maka bisa dikatakan pula bahwa orang Bali, khususnya orang desa di Tabola, baik sebagai individu maupun kolektif, adalah manusia-manusia yang aktif, berinisiatif dan rasional. Tentu ini mungkin berbeda kalau dibandingkan dengan kesan umum bahwa orang-orang Bali umumnya dinilai pasif dan mengikuti saja kondisi sosial yang dihadapinya, terutama yang terwujud dalam simbol-simbol adat yang sering diibaratkan sebagai “struktur sosial” yang kuat dan kokoh itu. Akhirnya, sekali lagi, di sini faktor eksogen dan endogen berjalan secara serentak dan berkesinambungan sebagai faktor pendorong perubahan. Bekerjanya dua faktor perubahan secara sekaligus ini yang dikategorikan sebagai proses dualitas.

• Arah Perubahan Siklikal dan Linier

Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya bahwa teori perubahan sosial pada umumnya mengenal perspektif pola perubahan, yaitu pola linier, pola siklikal dan pola dialektik.

Page 18: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

346

Perubahan berpola linier mengacu pada suatu pandangan bahwa perubahan sosial itu pada dasarnya memiliki ciri kumulatif, dan bersifat tidak berulang (non-repetitive). Perubahan pola linier ini biasanya bersifat permanen, dalam arti perubahan tidak pernah kembali kepada titik semula – berjalan secara evolusi, proses dan arahnya cenderung berlangsung secara diakronik atau melewati suatu tahapan awal dan tahapan akhir (tahap maju/lebih lanjut).

Sebaliknya dengan perubahan berpola siklikal. Perubahan sosial berpola siklikal mengacu pada pandangan bahwa sejarah perkembangan masyarakat dilihat sebagai suatu proses yang berulang, bukan garis lurus. Perubahan pola siklikal ini sejalan dengan pepatah “history does repeat it self”, sejarah selalu berulang. Sedangkan perubahan sosial berpola dialektik menyandarkan pada asumsi bahwa perubahan terjadi secara komplek, kumulatif dan berkembang dalam jangka panjang. Perubahan pola dialektik ini digambarkan berjalan tidak mulus seperti pola linier atau gradual seperti pola siklikal, tetapi - seperti yang digambarkan oleh perspektif Marxian - melibatkan suatu proses pertentangan karena adanya kontradiksi internal dalam struktur sosial (yang berubah itu).

Mencermati fenomena perubahan sosial yang berlangsung di Tabola/Sidemen maka bisa dilihat bahwa perubahan yang terjadi tidak menunjukkan suatu gambaran perubahan yang berpola tunggal, yaitu apakah linier atau siklikal. Kalau dicermati, kedua pola itu, linier atau siklikal, muncul dalam proses perubahan sosial di Tabola. Sebagai gambaran, perubahan berpola linier, misalnya, bisa dilihat dari fenomena perkembangan organisasi desa dinas yang cenderung semakin demokratis dan tidak lagi menghegemoni semua urusan-urusan desa, terutama urusan yang sebenarnya merupakan wewenang desa adat/pakraman. Proses ini terjadi seiring dengan berjalanannya proses demokratisasi yang merasuk semakin dalam ke desa sejak jaman reformasi (1998).

Salah satu wujud awal dari proses demokratisasi yang merasuk ke desa ini, antara lain adalah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah, yang substansinya mengatur pula

Page 19: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

347

ketentuan tentang pengelolaan pemerintahan desa. Bila dibandingan dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa akan tampak jelas bahwa substansi tentang Pemerintahan Desa dalam UU No. 22 Tahun 1999 memberikan nuansa kebebasan/demokrasi yang jauh lebih kuat. Nuansa demokrasi inilah yang akhirnya mengubah kedudukan dan wewenang desa dinas, sehingga boleh dikatakan pengaruh kedudukan desa dinas tidak lagi menghegemoni (hampir) semua urusan masyarakat desa, yang di Bali keberadaannya terbagi atas dua desa, yaitu desa dinas dan desa adat/pakraman.

Lebih dari itu, bahkan boleh dikatakan hubungan antara desa (dinas) dan masyarakat menjadi lebih seimbang, karena, salah satunya, hadirnya lembaga yang mengawasi jalannya pengelolaan pemerintahan desa, yaitu Dewan Perwakilan/Permusyawatan Desa (DPD). Anggota DPD berasal dan dipilih dari masyarakat secara langsung melalui musyawarah desa. Di samping itu, dengan berjalannya proses demokratisasi dan berkembangnya politik multipartai hingga ke desa-desa, maka tidak ada kekuatan tunggal yang mampu menghegemoni semua urusan masyarakat, termasuk juga kekuatan militer (TNI) yang sekarang lebih menjaga jarak dengan politik kekuasaan pemerintahan (desa). Yang disebutkan terakhir ini merupakan faktor penting, yang hal ini jelas berbeda dengan keadaan di masa sebelum reformasi.

Dalam tingkat tertentu, proses demokratisasi ini tidak saja mempengaruhi organisasi desa dinas tetapi juga desa adat/pakraman. Yang paling menyolok adalah proses penyuratan awig-awig, yang keseluruhan prosesnya diatur agar melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat adat. Ditambah bahwa proses penyuratan itu sendiri merupakan bagian dari upaya untuk memperluas proses keterbukaan. Ini dalam arti bahwa awig-awig yang tadinya tidak tertulis diupayakan untuk menjadi tertulis dengan susunan yang lebih sistematis mengacu pada sistematika hukum positif dan bersifat terbuka. Yang disebutkan terakhir ini jelas sejalan dengan proses keterbukaan/demokratisasi.

Page 20: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

348

Ini ditambah lagi dengan penyusunan kepemimpinan organisasi desa adat yang juga mulai mengadopsi mekanisme pemilihan langsung secara demokratis, dan tidak lagi mengandalkan begitu saja pada faktor-faktor tradisional, seperti halnya kepemimpinan dipilih berdasarkan asal usul dari keturunan tertentu (geneologi) atau sejenisnya. Pendek kata, pada tingkat tertentu, pengelolaan desa adat/pakraman di Tabola telah mengadopsi sebagian dari gagasan demokratisasi yang merasuk ke desa sejak munculnya jaman reformasi.

Demokratisasi itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari proses modernisasi, yang secara makro sering disebut sebagai suatu proses perubahan sosial berpola linier atau evolusionis. Jadi dengan demikian proses demokratisasi yang merasuk dalam desa, tak pelak membawa aspek-aspek dari proses perubahan sosial berpola linier. Aspek-aspek perubahan sosial berpola linier seperti ini fenomenanya kelihatan terjadi di Tabola/Sidemen.

Sementara itu perubahan sosial berpola siklikal ternyata juga tergambar dalam proses perubahan sosial yang berlangsung di Tabola. Gambaran paling nyata bisa dilihat dari munculnya gagasan untuk mengubah sebutan desa adat menjadi desa pakraman. Memang gagasan perubahan penyebutan itu awalnya muncul dalam Perda Provinsi Bali (No. 3 Tahun 2001), walaupun pada akhirnya gagasan tersebut diterima penuh dan diadopsi oleh desa-desa adat di Bali, termasuk desa adat Tabola. Kalau ditelusuri, perubahan penyebutan desa adat menjadi desa pakraman bukan hanya sekedar mengubah nama. Tetapi lebih jauh lagi, perubahan nama itu mengandung maksud, yaitu salah satunya untuk “mengembalikan” lagi bayangan ideal desa (adat) di masa lalu sebagai suatu desa Hindu dengan segala nilai-nilainya yang dianggap luhur itu.

Dalam konteks perubahan nama desa adat menjadi desa pakraman ini, tentu tidak berlaku pepatah “apa artinya sebuah nama”. Perubahan nama dari desa adat menjadi desa pakraman jelas membawa arti yang dalam, karena perubahan nama itu mengandung makna ingin mengkonstruksi kembali gagasan tentang desa adat sesuai dengan asal

Page 21: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

349

usulnya di masa lalu sehingga diharapkan terbangun identitas desa sebagaimana yang diharapkan. Keinginan itu, misalnya, secara tersirat bisa dibaca dari isi Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, khususnya bagian “menimbang”, yang menyebutkan, antara lain:

“Bahwa desa pakraman di Provinsi Bali yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad, yang memiliki otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah memberikan kontribusi yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan; bahwa desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu diayomi, dilestarikan, dan diberdayakan…”.

Apa yang bisa dikemukakan di sini adalah bahwa perubahan nama desa adat menjadi desa pakraman memiliki aspek-aspek siklikal, seolah-olah perubahan yang terjadi “mengacu” pada keadaan masa lalu yang dianggap pernah ada. Dengan nama baru, yaitu desa pakraman, diharapkan bayangan desa adat yang berbasis nilai-nilai agama Hindu, bisa terwujud kembali, paling tidak sebagian dari aspek-aspeknya. Inilah yang dikatakan sebagai suatu bentuk perubahan sosial yang mengandung aspek-aspek siklikal karena memang ada semacam semangat untuk mengembalikan masa lalu yang dinilai baik untuk diwujudkan pada masa sekarang dan masa depan.

Sejalan dengan hal itu, tidak mengherankan kalau dalam proses penyuratan awig-awig mencuat gagasan lain untuk memunculkan kembali suatu bentuk institusi baru dalam susunan kepengurusan desa pakraman yang mengacu pada keadaan yang pernah ada dimasa lalu, yaitu “pingajeng desa”. Upaya (yang berhasil) untuk memunculkan kembali institusi “pingajeng desa” ini tak pelak merupakan bagian dari fenomena perubahan yang berpola siklikal. Yang juga perlu dicermati di sini adalah bahwa persoalannya bukan hanya memunculkan nama dan institusi baru yang disebut “pingajeng desa”, tetapi lebih dari itu adalah suatu upaya (sadar atau tidak sadar), untuk mengembalikan lagi kedudukan para elit desa dari golongan (kasta) tinggi (khususnya golongan bangsawan dan brahmana) dalam

Page 22: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

350

struktur kepemimpinan pemerintahan desa adat. Tentu semuanya atas dasar pikiran “mempertahankan dan melestarikan” keberadaan desa adat atau pakraman yang sudah ada di Bali sejak jaman dahulu.

Dua bentuk perubahan yang diuraikan di atas, memang terjadi di Tabola, yang hal itu menggambarkan bahwa perubahan berpola linier maupun siklikal betul-betul berlangsung, apakah hal itu terjadi secara serentak dan tumpang tindih maupun berkesinambungan atau silih berganti. Bahkan soal munculnya fenomena “pingajeng desa”, yang dalam hal ini digambarkan sebagai suatu bentuk perubahan berpola siklikal, kelak kemudian dihapuskan dan diganti oleh institusi lain yang bernama “pangrajeg”. Meskipun istilah “pangrajeg” berasal dari pengertian masa lalu, yaitu semacam dewan penasehat yang berwenang memberikan nasehat-nasehat atas jalannya pemerintahan desa pakraman, tetapi maknanya dikonstruksi dan dipakai dalam pengertian baru yang lebih demokratis. Hal ini khususnya dalam konteks untuk mengganti istilah “pingajeng” yang dianggap tidak demokratis. Mengapa demikian? Ini karena kata “pingajeng” memiliki makna “mengatasi” kekuasaan kepemimpinan desa pakraman, sehingga seolah-olah bendesa bukan lagi pimpinan tertinggi desa. Mungkin ciri perubahan ini lebih mirip dengan pengertian perubahan berpola dialektis. Jadi bisa disimpulkan di sini bahwa perubahan di Tabola lebih mencirikan suatu perubahan yang tidak berpola tertentu, yaitu antara linier atau siklikal, tetapi keduanya ada secara bersamaan. Dua pola perubahan yang terjadi secara bersama-sama ini yang dikatakan sebagai perubahan sosial berpola dualitas.

• Faktor Pendorong Struktur dan Agensi

Dalam perspektif teori-teori modernisme, perubahan sosial seringkali dipandang secara dikotomis, dualisme. Dalam konteks proses perubahan sosial, misalnya, maka yang menjadi faktor utama penyebab perubahan sosial itu seringkali di dikotomikan dalam dua sisi, yaitu apakah penyebab utamanya faktor struktur ataukah sebaliknya faktor aktor/agen. Sebagai contoh, teori-teori perubahan sosial yang menggunakan perspektif Marxian, Durkheimian ataupun

Page 23: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

351

pendekatan struktural fungsional lebih condong mengutamakan faktor struktur ketimbang aktor sebagai pendorong perubahan. Sebaliknya, teori-teori perubahan sosial yang menggunakan perspektif Weberian ataupun pendekatan interaksionisme simbolik, lebih menekankan pada faktor aktor sebagai pendorong perubahan.

Berbeda dengan perspektif teori-teori modernisme, perspektif teori late modernity yang digaungkan suaranya oleh Giddens lewat teori strukturasi maupun perspektif teori constructivist structuralism, menolak adanya dikotomi atau dualisme seperti disebut di atas. Menurut Giddens, sebagaimana dikutip oleh George Ritzer (2011: 524) dalam bukunya Sociological Theory, “structure only exists in and through the activities of human agents”. Jadi di sini ia menolak pandangan yang menggambarkan struktur adalah “outside” atau “external” dari tindakan manusia sebagai aktor. Konsep Giddens tentang struktur seperti ini terang berbeda dengan konsep struktur dalam pengertian bahwa struktur itu eksis sebagai suatu realitas obyektif yang mempengaruhi tindakan individu secara independen dari pengetahuan dan maksud tujuan individu-individu yang bersangkutan. Jadi seperti ditulis oleh Ritzer (2008: 522): “…agency and structure cannot conceived of parts from one another; they are two sides of the same coin”. Atau dalam bahasa Giddens, keduanya (struktur dan agensi) adalah dualitas (duality) – lihat sekali lagi Bab 2.

Sejalan dengan Giddens, Pierre Bourdieu, juga menolak pandangan dikotomi antara agensi dan struktur dalam proses perubahan sosial. Dasar penolakan Bourdieu, dijiwai oleh keinginan untuk mengatasi kesalahan dalam ilmu sosial karena mempertentangkan subyektivisme dan obyektivisme, yang menurutnya dikatakan sebagai “oposisi absurd antara individu (individual) dan masyarakat (society)”. Kata Bourdieu (1990: 25): “of all the oppositions that artificially divide social science, the most fundamental, and the most ruinous, is that one that is set up between subyectivism and obyectivism”.

Lantas gejala perubahan seperti apa yang tergambar di Tabola? Dari hasil penelitian – sebagaimana diungkapkan dalam bagian

Page 24: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

352

sebelumnya – terlihat bahwa baik faktor struktur maupun agensi, keduanya, secara berkesinambungan telah menjadi faktor pendorong dari proses perubahan sosial di Desa Pakraman Tabola. Faktor struktur sebagai pendorong perubahan, bisa digambarkan, misalnya, dari adanya berbagai ketentuan supra-desa yang dampaknya secara langsung mendorong perubahan sosial di desa. Contoh yang paling jelas adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 5, Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, telah mendorong proses perubahan di desa, yaitu antara lain: Pertama, desa Pakraman di Bali, termasuk Desa Tabola, terdorong untuk melakukan penyuratan awig-awig desa, yang dalam konteks desa boleh dikatakan merupakan semacam “konstitusi” baru desa atau suatu konsensus baru bagi masyarakat desa tentang bagaimana menjalankan kehidupan sosial di Desa Pakraman di Bali. Hadirnya kontitusi baru ini tentu saja mengubah sebagian dari cara masyarakat desa pakraman (krama desa) dalam menjalankan kehidupan sosialnya. Bab 5 menggambarkan dengan jelas bagaimana berbagai aspek kehidupan sosial krama Desa Pakraman Tabola mengalami perubahan terkait dengan adanya awig-awig baru desa.

Kedua, munculnya institusi baru yang merupakan institusi “supra desa adat/pakraman”, yang sebelumnya tidak dikenal. Institusi baru ini dihadirkan baik pada tingkat Provinsi dengan nama Majelis Desa Pakraman (MDP) Agung, tingkat Kabupaten dengan nama Majelis Desa Pakraman (MDP) Madya, dan tingkat Kecamatan dengan nama Majelis Desa Pakraman (MDP) Alit. Dengan munculnya institusi baru tersebut maka desa pakraman di Bali, termasuk di Tabola, langsung maupun tidak langsung terhubung dengan jalinan struktur birokrasi pemerintahan, mulai dari tingkat Provinsi hingga Kecamatan. Meskipun dalam konteks ini, desa pakraman tetap merupakan institusi desa (adat) yang otonom.

Ketiga, perubahan penyebutan nama desa dari desa adat menjadi desa pakraman, sebagaimana diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, sedikit banyak telah mengubah sebagian

Page 25: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

353

bayangan/imajinasi tentang desa adat dari yang pernah dibayangkan sebelumnya. Sebagaimana di kupas pada Bab 5 dan 6, perubahan nama ini tidak saja memiliki arti perubahan penyebutan nama dari adat menjadi pakraman, tetapi didalamnya mengandung keingingan untuk mengkonstruksi kembali bayangan desa sebagaimana gagasan asalnya yaitu desa yang menyandarkan nilai-nilai sosialnya pada ajaran Hindu Bali.

Dalam Bab 3 dan 4, misalnya, digambarkan bagaimana Mpu Kuturan pada abad 9 meletakkan dasar nilai-nilai sosial bagi desa di Bali pada waktu itu yang bersandarkan pada ajaran Hindu dengan menempatkan pura kahyangan tiga sebagai basis dari keberadaan desa pakraman di Bali. Dalam konteks saat ini, keingingan untuk mengkonstruksi kembali desa yang berbasis pada nilai-nilai luhur ajaran Hindu Bali itu tercermin dari definisi baru yang lebih eksplisit tentang apa yang dinamakan desa pakraman (Perda No. 3 Tahun 2001), yaitu: “Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa…”.

Kalau diperhatikan, pengertian “ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa” menempati posisi penting dalam keseluruhan pengertian tentang desa pakraman di Bali, yang perwujudannya bisa dilihat dari keberadaan tiga pura desa, yaitu pura puseh, pura desa/balai agung dan pura dalem. Dengan demikian, desa pakraman di Bali, selain dia merupakan institusi sosial masyarakat, pada saat yang bersamaan dia juga tidak bisa dilepaskan dari institusi keagamaan, dalam bentuk “ikatan kahyangan tiga/kahyangan desa” sebagaimana disebutkan di atas. Dalam konteks ini, warga desa pakraman sebagai bagian dari kelembagaan sosial di sebut sebagai krama desa; sedang warga desa sebagai bagian dari kelembagaan keagamaan desa, disebut sebagai krama pemaksan desa. Menarik untuk dicermati di sini bahwa warga desa prakraman di Bali sesungguhnya dalam dirinya melekat “dua identitas yang sejatinya satu dengan yang lainnya tidak bisa dilepaskan”, yaitu sebagai di satu sisi sebagai krama desa, dan di sisi yang lain sebagai warga pemaksan. Fenomena kewargaan desa yang

Page 26: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

354

“ganda” seperti ini tidak lain juga mencerminkan keberadaan fenomena dualitas.

Sementara pendorong perubahan sosial dalam konteks keberadaan desa dinas di Sidemen/Tabola, faktor strukturnya adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (beserta revisinya yaitu UU No.32 Tahun 2004). Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 3 dan Bab 4, UU tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya memuat substansi yang mengatur tata pengelolaan pemerintahan desa itu telah mendorong adanya reposisi desa (dinas) untuk menjadi lebih otonom dalam hubungannya dengan kekuasan pemerintahan supra-desa, khususnya Pemerintahan Kecamatan. Dalam konteks desa di Bali, khususnya di Sidemen, reposisi desa dinas ini menjadikan kedudukannya dalam hubungannya dengan desa pakraman berangsur-angsur berubah menjadi lebih seimbang. Ini dibandingkan, misalnya, dengan keadaan hubungan yang terjadi di masa sebelum reformasi, ketika kekuasaan desa dinas boleh dikatakan menghegemoni urusan-urusan desa, termasuk urusan desa adat. Perubahan dalam relasi antar dua lembaga ini, yakni desa dinas (Sidemen, Sinduwati, dan Telagatawang) dengan Desa Pakraman Tabola, tak pelak merupakan wujud dari proses perubahan sosial (lihat bahasan pada Bab 4 dan 6).

Itulah antara lain contoh bagaimana faktor struktur mendorong proses perubahan sosial. Sementara pada saat yang sama, faktor agensi kelihatannya juga ikut pula mendorong berbagai proses perubahan sosial, sejalan dengan pengaruh faktor struktur sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Salah satu contoh yang menyolok adalah apa yang dilakukan oleh para tokoh Desa Adat Tabola, khususnya, Cokorda Gde Dangin dan Ida I Dewa Catra, ketika menginisiasi penyuratan awig-awig desa Tabola tidak lama berselang setelah keluarnya Perda tentang Desa Pakraman sebagaimana disebutkan di atas. Proses penyuratan awig-awig desa itu sendiri memakan waktu cukup lama, sekitar 2-3 tahun, yaitu sejak mulai diinisiasi tahun 2001; dan harus melewati beberapa kali kegagalan sebelum akhirnya berhasil. Hasil penyuratan awig-awig Desa

Page 27: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

355

Pakraman Tabola, termasuk yang paling awal dibandingkan awig-awig desa yang lainnya di Kabupaten Karangasem, atau bahkan di Bali.

Atas keberhasilan ini, Ida I Dewa Catra kemudian dianggap sebagai ahli dalam penyuratan awig-awig desa adat di Bali, dan kemudian banyak desa adat di Kabupaten Karangasem meminta bantuannya untuk melakukan penyuratan di desanya masing-masing. Di lingkungan Kecamatan Sidemen sendiri, misalnya, ada beberapa desa adat yang proses penyuratan awig-awignya melibatkan keahlian Pak Catra, yaitu misalnya, Desa Iseh, Desa Ipah, Desa Sangkan Gunung, dan Desa Sibetan. Contoh dari faktor agen lainnya adalah timbulnya kesadaran baru sebagian para tokoh serta masyarakat Desa Tabola tentang kebebasan politik dan demokrasi sebagai produk dari gelombang reformasi sejak rezim Orde Baru ambruk. Kesadaran baru seperti ini diartikulasikan dalam berbagai tindakan/aksi di desa sesuai konteksnya. Misalnya saja, ketika partai politik diperbolehkan oleh ketentuan (UU Partai Politik) “masuk” ke desa dalam menghadapi Pemilu 1999, maka sebagian para tokoh (dan masyarakat desa) berani mengambil inisiatif untuk bergabung atau menjadi simpatisan dari berbagai partai politik yang masuk ke desa pada waktu itu. Apa yang dilakukan oleh Cokorda Gde Dangin, penglisir Puri Sidemen, sebagaimana diungkapkan dalam Bab 4 dan Bab 7, misalnya, memberikan gambaran tentang hal ini.

Kesadaran baru tentang kebebasan dan demokrasi seperti ini yang kemudian mendasari aksi respon masyarakat terhadap berbagai perkembangan sosial-politik yang dihadapinya. Salah satu contohnya adalah bagaimana para tokoh/pimpinan dan krama desa adat menyikapi hubungan antara desa adat/pakraman dengan desa dinas, yaitu desa adat pakraman tidak mau lagi dianggap sebagai subordinasi desa dinas. Sehingga semua kepentingan desa dinas yang bersinggungan dengan urusan desa adat/pakraman harus dibicarakan (dimusyawarahkan) terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak lagi bisa serta merta desa adat/pakraman harus mengikuti apa kehendak desa dinas seperti yang pernah terjadi di masa sebelumnya. Begitu pula, kepemimpinan desa adat/pakraman tidak bisa lagi diselenggarakan tanpa melibatkan aspirasi krama desa. Atau sebaliknya, yang terjadi

Page 28: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

356

kemudian adalah pelengseran kepemimpinan yang mengabaikan aspirasi krama desa, seperti yang terjadi di Desa Tabola (lihat Bab 7).

Dari apa yang diuraikan di atas, bisa dikatakan bahwa baik faktor struktur maupun agen, kedua-duanya secara berkesinambungan menjadi pendorong dari proses perubahan sosial yang terjadi di Tabola/Sidemen. Bekerjanya dua faktor ini saling kait mengkait, dan agak sulit untuk menentukan faktor yang mana yang paling dominan atau menentukan dalam mendorong proses perubahan sosial. Kenyataan semacam ini, dikatakan sebagai gejala dualitas dalam proses perubahan sosial.

Pola Pikir Dualitas di Bali

• Konsep Rwabhineda dan Dualitas

Suatu ketika di masa lampau sekali, kira-kira abad ke-10, atau menurut babad Bali kuno kira-kira tahun 988 M, wilayah Bali diperintah oleh sepasang raja suami istri bernama Udayana Warmadewa dan Sri Gunapriya Dharmapatmi. Pada masa pemerintahan sepasang raja suami istri itu, negara sedang menghadapi situasi perpecahan akibat konflik horizontal di masyarakat. Sumber persoalannya adalah munculnya sekte-sekte dalam agama (Hindu) yang dianut masyarakat desa di Bali pada waktu itu, yang dalam praktiknya sering mengakibatkan ketegangan dan konflik. Dalam menghadapi masalah seperti itu, sepasang raja suami istri itu meminta bantuan seorang empu (cendikiawan) dari Jawa Timur, bernama Empu Kuturan.

Selanjutnya Empu Kuturan ini yang kemudian mampu menyatukan kembali perpecahan di masyarakat karena banyaknya sekte-sekte dalam keyakinan agama yang dianut masyarakat. Sampai sekarang, apa yang dilakukan oleh Empu Kuturan untuk menyatukan masyarakat desa di Bali masih jelas jejak sejarahnya. Di antara jejak sejarah yang paling penting dan sampai sekarang masih diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat desa di Bali adalah: pertama, bahwa setiap

Page 29: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

357

desa di Bali harus dibangun kahyangan tiga atau kahyangan desa sebagai tempat suci untuk pemujaan masyarakat (krama) desa kepada Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa; kedua, sekte-sekte dalam agama Hindu yang telah dipersatukan oleh Empu Kuturan itu, disebut dengan nama Hindu Syiwa-Budha.

Nama Hindu Syiwa-Budha ini kemudian memiliki keterkaitan erat dengan suatu konsep yang sekarang dikenal luas, dan yang dipercaya kebenaran substansinya oleh masyarakat desa di Bali. Nama konsep itu adalah Rwabhineda, yang kalau dilihat dari suku katanya bisa berarti: Rwa artinya dua, dan Bhineda artinya berbeda. Sehingga kata Rwabhineda secara keseluruhan bisa diartikan sebagai “dua yang berbeda” tetapi yang hakekatnya satu, sebagaimana tampilan dari sosok Syiwa-Budha, yang tidak lain adalah Sang Hyang Widi Wasa itu sendiri.

Hubungan antara sosok Syiwa-Budha dengan konsep Rwabhineda, antara lain, tertuang dalam buku Kakawin Sutasoma yang digubah oleh Empu Tantular (2009: 504-505), kira-kira antara tahun 1365 sampai 1389. Dalam buku itu disebutkan pada pupuh 139, bait 5 kakawin, antara lain:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiśwa, Bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosen, Mangkāng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhīnnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Artinya: Konon dikatakan bahwa Buddha dan Siwa berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Jina (Buddha) dan Siwa adalah satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Tetapi pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa)

Sebagaimana tertulis dalam bait di atas bahwa “mereka memang berbeda-beda (Syiwa dan Budha). Tetapi hakekatnya adalah sama,

Page 30: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

358

karena tidak ada kebenaran yang mendua”. Inilah kira-kira inti dari makna kata Rwabhineda itu, yaitu “dua yang berbeda tetapi satu”.

Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian Rwabhineda atau “dua yang berbeda tetapi satu” ini bisa diartikan bahwa dalam kehidupan dunia ini realitas sering menampakkan diri dalam dua sisi katagori yang berbeda (hitam-putih, baik-buruk, benar-salah, hilir (teben) dan hulu, profane(sekala) dan sacral (niskala), makrokosmos dan mikrokosmos, subyektif dan obyektif, dan lain sebagainya) tetapi yang eksistensinya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keberadaan kedua-duanya, saling mengandaikan karena esensinya adalah satu.

Hitam, misalnya, tidak akan pernah ada tanpa putih, dan begitu pula sebaliknya. Juga kebaikan, tidak akan pernah ada tanpa keburukan, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi di sini, realitas yang menampakkan diri dalam wujud dualitas itu pada hakekatnya adalah satu, sebagaimana Syiwa dan Budha itu sendiri yang merupakan dua hal yang berbeda tetapi hakekatnya adalah satu, yaitu Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pemandangan sehari-hari, simbol dari Rwabhineda ini banyak ditemui dalam bentuk kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih yang sering diselimutkan pada berbagai benda seperti pohon, batu, dan lain sebagainya di berbagai tempat di Bali.

Kain kotak-kotak berwarna hitam putih itu, sering disebut dengan nama saput poleng Rwabhineda. Warna hitam dan putih itu sendiri menggambarkan simbol dari Dewa Wisnu (warna hitam) dan Dewa Syiwa (warna putih). Dewa Wisnu adalah melambangkan kekuatan Maha Pemelihara, dan dalam konteks kahyangan tiga/kahyangan desa di desa pakraman di puja di pura puseh; sedangkan Dewa Syiwa melambangkan kekuatan Maha Perusak, yang di puja di pura dalem. Selain kain kotak-kota warna hitam putih, tidak jarang pula dijumpai kain kotak-kota warna hitam, abu-abu dan putih, yang disebut dengan nama saput poleng sudhamala; dan juga kain kotak warna putih, hitam dan merah, yang disebut dengan nama saput poleng tridatu.

Page 31: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

359

Saput poleng tridatu ini melambangkan konsep Tri Murti, yang merupakan wujud dari tiga Dewa yang berbeda tetapi satu, yaitu Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Di sini warna merah menyimbolkan sosok Dewa Brahma sebagai lambang dari kekuatan Maha Pencipta; warna hitam menyimbolkan sosok Dewa Wisnu sebagai lambang dari kekuatan Maha Pemelihara; dan warna putih menyimbolkan sosok Dewa Syiwa sebagai lambang dari kekuatan Maha Perusak (meniadakan dari yang ada menjadi tidak ada). Sedangkan saput poleng sudhamala merupakan perpaduan dari saput poleng rwabhineda, dengan warna abu-abu sebagai perpaduan antara putih dan hitam. Saput poleng itu sendiri merupakan kata yang dalam bahasa Bali artinya: saput berarti kain selimut; dan poleng berarti berwarna-warni.

Kembali ke konsep Rwabhineda. Bila dikaitkan dengan gagasan Giddens dan Bourdieu yang menolak konsep oposisi biner atau antinomi yang mengandung pengertian adanya dualisme dalam realitas, dan sebaliknya menerima kenyataan sebagai sesuatu yang bersifat dualitas, maka di sini terlihat adanya kesejajaran dengan konsep Rwabhineda. Sebagaimana dikemukakan dalam Bab 2, Giddens menolak keberadaan dualisme struktur dan agen, dan sebaliknya menerima adanya dualitas struktur dan agen, yang kemudian disebut dengan konsep strukturasi. Bagi Giddens, sebagai mana dikutib Ritzer (2008:522): “agency and structure cannot be conceive of part from one another; they are two sides of the same coin”. Dan menurutnya, itu lah yang disebut dengan dualitas.

Sementara Bourdieu, seperti halnya Giddens, juga menolak dikotomi atau dualisme subyektif dan obyektif, dan sebaliknya menerima kenyataan dualitas. Kalau Giddens memberikan label strukturasi atas penolakannya terhadap dikotomi struktur dan agen, maka Bourdieu memberikan nama strukturalisme genetik (genetic structuralism) atas penolakannya terhadap analisa yang mendikotomikan subyek dan obyek. Menurut Bourdieu, seperti dikutib Jenkins (2006: 12):

Page 32: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

360

”The analysis of objective structures…is inseparable from the analysis of genesis, within individual, of mental structures which are to some extent the product of the incorporation of social structures; inseparable, too, from the analysis of genesis of these social structures themselves…”.

Apa yang bisa dikemukakan di sini adalah bahwa cara berfikir orang atau krama desa di Bali (sebagai individu maupun kolektif) yang meyakini realitas Rwabhineda, pada dasarnya cenderung bersifat dualitas. Cara berfikir Rwabhineda ini, mengikut pemikiran Bourdieu, bahkan telah menjadi habitus yang menjadi acuan berfikir dan bertindak bagi masyarakat desa. Orang atau krama desa di Bali, misalnya, dalam melihat realitas hitam dan putih, misalnya, tidak memandangnya dalam konteks pilihan oposisi (biner) antara hitam atau putih, tetapi keduanya merupakan realitas yang tidak bisa dipisahkan, saling mengandaikan, bersifat dualitas. Begitupula baik dan buruk, atau makrokosmos dan mikrokosmos, keberadaan keduanya tidak bisa dipisahkan, keduanya saling mengandaikan dan berhubungan (secara dialektis) satu dengan yang lainnya, membentuk relasi yang dualitas (lihat gambar 20 dan 21 di atas). Sebagai contoh, orang Bali, misalnya, sangat memahami pengertian bahwa manusia tidak bisa bersifat baik semata, atau pun buruk semua; melainkan kedua-duanya ada dalam sifat diri manusia. Dan dalam menghadapi kenyataan yang serba dualitas ini, maka bagi orang Bali, yang harus dijalankan adalah mengarahkannya pada situasi keharmonisan. Yang terakhir ini tercakup dalam ajaran yang tertuang dalam konsep Tri Hita Karana.

Jadi di sini ada benang merah antara konsep Rwabhineda dengan konsep harmoni. Benang merah ini, kalau ditelusuri memang berakar dari sejarah kemunculan konsep rwabhineda itu sendiri yang pada awalnya merupakan suatu konsep untuk menyatukan berbagai sekte ajaran Hindu yang saling berkonflik di masa lalu (abad 9 -10 M). Sedangkan konsep harmoni itu, sekarang secara jelas terkandung dalam ajaran Tri Hita Karana, yaitu suatu nilai yang mendorong manusia (secara individu maupun kolektif) untuk mewujudkan keharmonisan hubungan antara Tuhan, Alam dan Manusia, dalam

Page 33: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

361

rangka mencapai jagad dhita, kebahagiaan di dunia. Bagi masyarakat Desa Tabola (dan Bali pada umumnya), Tri Hita Karana ini juga sudah melekat (embedded) dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari dan menjadi habitus.

Keberadaan habitus desa yang perwujudannya tertuang dalam nilai-nilai Rwwbhineda dan Tri Hita Karana, tentunya menjadi faktor penting yang ikut menentukan munculnya dinamika perubahan sosial (transformasi sosial) yang bercirikan dualitas. Sebab dengan cara pandang dualitas dan harmoni sesuai dengan konsep Rwabhineda dan Tri Hita Karana ini, maka bagi orang desa di Tabola (secara individu maupun kolektif), proses perubahan sosial akan dipandang dan direspon lewat sudut pandang dualitas pula. Inilah yang antara lain memberikan dorongan kuat sehingga gejala perubahan sosial di Tabola memiliki sifat dualitas.

Dalam konteks ini, bisa dikemukakan bahwa munculnya proses dualitas pada dasarnya juga berkaitan dengan sifat masyarakat desa, baik sebagai individu maupun kolektif, yang merupakan aktor-aktor atau agen-agen yang rasional, aktif, kreatif dan berinisiatif, terutama dalam merespon perkembangan dunia sosialnya. Pendeknya, dengan mengikuti pikiran Giddens, masyarakat desa Tabola, sebagai individu dan kolektif, adalah agen-agen yang dinamis, memiliki kesadaran dan bertindak reflektif, tidak tergantung begitu saja kepada struktur, seperti halnya robot atau mesin. Terkait hal ini Ritzer (2011: 522) mengemukakan: “Giddens is concerned with consciousness, or reflexivity. How ever, in being reflexivity, the human actor not only is self-conscious but also is engaged in monitoring the of the on going flow of activities and structural conditions”.

Oleh karena itu, dalam konteks proses perubahan, maka bertemunya unsur lama dan unsur baru tidak akan dilihat dari sudut pandang antinomi, tetapi dari sudut pandang dualitas yang sudah menubuh itu. Unsur lama dan unsur baru dipandang sebagai sesuatu unsur yang mesti ada secara bersama-sama, keberadaan keduanya saling mengandaikan. Dengan begitu, pilihannya bukanya lama atau baru, tetapi mengkonstruksi pilihan-pilihan di luar itu dengan dasar

Page 34: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

362

pikiran bahwa keberadaan keduanya secara bersama akan menentukan wujud barunya kemudian. Dalam bahasa Derida, sebagaimana dikutib oleh Al-Fayyadl (2005:26), inilah antara lain yang dimaksudkan dengan “terbukanya peluang bagi subyek-subyek yang selama ini ditiadakan oleh filasafat/metafisika Barat (dengan logosentrismenya)”. Inilah sikap dan praktik sekaligus yang mencerminkan keberadaan dualitas dalam diri orang atau masyarakat desa di Bali.

Itulah sebabnya dalam konteks terjadinya ketegangan atau konflik karena bertemunya unsur lama dan unsur baru, maka cepat atau lambat, suasana seperti itu akan direspon melalui berbagai mekanisme agar bisa memunculkan bentuk-bentuk keharmonisan. Sebab pilihannya bukan lagi konflik di atu sisi, ataupun stabil di sisi lain (status-quo), tetapi justru di luar itu. Dalam kasus terjadinya konflik kepemimpinan di Tabola, misalnya, kedua belah pihak yang bertikai, selain bergulat dalam konflik, tetapi pada saat yang sama mereka juga berusaha mencari jalan untuk membangun kembali situasi harmoni. Meskipun upaya seperti itu tidak mudah, tetapi ada upaya dari kedua belah pihak untuk mewujudkan hal itu, yang masing-masing memiliki dasar alasan yang sama, yaitu membangun kehidupan desa pakraman yang harmonis, sejalan dengan ajaran Tri Hita Karana yang diyakini kebenarannya.

Terkait dengan konsep Rwabhineda ini, agaknya perlu disinggung sedikit beberapa pandangan lain menyangkut Bali dan masyarakat Bali. Pertama, pandangan yang umumnya berasal dari sumber-sumber masa kolonial (Belanda) yang mengkonstruksi pandangan tentang Bali sebagai “pulau dewata” yang kehidupan sosial masyarakatnya terlalu “diromantisir” dengan gambaran masyarakat yang kehidupan sosialnya selalu aman, tentram dan damai. Kalaupun terjadi ketegangan dan konflik, menurut pandangan ini, hal itu disebabkan karena masuknya pengaruh destruktif dari unsur-unsur di luar Bali. Oleh karena itu, dalam pandangan kolonial, Bali perlu di proteksi dari pengaruh luar yang mengganggu dan merusak, dan dalam konteks ini Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjalankan kebijakan “Baliseering” untuk Bali. Baliseering adalah kebijakan untuk memproteksi Bali (masyarakat Bali) dari pengaruh luar, dan

Page 35: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

363

membiarkan Bali menjalani kehidupannya sendiri apa adanya (lihat Bab 3). Tokoh dibalik ide dari kebijakan Baliseering ini antara lain, F.A. Liefrinck dan Victor Emanuel Korn, keduanya ilmuwan sekaligus pejabat aparat pemerintahan sipil Hindia Belanda di Bali (Vickers, 2012: 132-136). Bermula dari pandangan kolonial ini, maka gagasan Bali sebagai Pulau Dewata terus tereproduksi hingga Indonesia merdeka, dan bahkan jejaknya sampai sekarang masih kuat tergambar.

Yang kedua adalah pandangan yang berseberangan dengan gagasan kolonial seperti yang disebutkan di atas. Pandangan ini melihat Bali adalah masyarakat yang dalam sejarahnya sarat dengan ketegangan dan konflik, dan bahkan lebih radikal lagi, memandang bahwa idiologi kekerasan (violence) memiliki akar yang kuat di masyarakat Bali itu sendiri. Pandangan seperti ini muncul lebih kemudian dibandingkan dengan pandangan pertama seperti disebutkan di atas. Pandangan ini menguat, khususnya setelah melihat dan merefleksikan kejadian kekerasan dan kekejaman berskala luas yang menyertai peristiwa 1965 (yang melibatkan Partai Komunis Indonesia/PKI), baik di Indonesia pada umumnya dan juga Bali pada khususnya. Robinson(1995), dalam bukunya berjudul “The Dark Side of Paradise, Political Violence in Bali”, misalnya, sedikit banyak condong terhadap pandangan seperti ini.

Berbagai pandangan yang cenderung melihat bahwa Bali juga memiliki akar idiologi kekerasan yang kuat juga terus tereproduksi, terutama setelah munculnya fenomena peristiwa amok massa menyusul kekalahan Megawati dalam Pemilihan Presiden di MPR tahun 1999 dan juga serangkaian peristiwa Bom Bali tahun 2003-2006. Ditambah juga munculnya berbagai kejadian konflik dan kekerasan antar desa atau banjar dalam satu dekade terakhir ini; yang semuanya mengarus pada pertanyaan pokok: benarkah Bali adalah Pulau Dewata? Pendek kata dalam pandangan ini, Bali tidak lagi dianggap mewakili gambaran Pulau Dewata yang damai dan harmonis, tapi Bali juga penuh dengan kekerasan dan kekejaman.

Dari sudut pandang dualitas, kedua pandangan yang disebutkan di atas, bagaimanapun adalah cerminan perspektif

Page 36: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

364

dualisme dalam oposisi biner, yaitu: apakah aman dan damai di satu sisi, atau sebaliknya, penuh konflik dan kekerasan di sisi lain. Dari sudut pandang dualitas berdasarkan cara berfikir Rwabhineda dan juga Tri Hita Karana, pandangan dualisme seperti disebut di atas ditolak karena tidak mencerminkan realitas yang sesungguh di masyarakat Bali. Stabilitas dan konflik merupakan dua kenyataan yang sulit dihindari keberadaaannya, tetapi atas dasar sudut pandang dualitas, masyarakat Bali juga selalu mengkonstruksi berbagai mekanisme internal untuk membangun keseimbangan serta keharmonisan berdasarnya nilai-nilai Tri Hita Karana yang diyakini kebenarannya itu.

Menurut pengamatan, mekanisme internal untuk membangun keseimbangan serta keharmonisan kadangkala gagal diwujudkan karena terlalu kuatnya intervensi kepentingan dari pihak luar. Kekerasan terkait peristiwa 1965, misalnya, secara jelas menunjukkan adanya intervensi dari pihak luar itu, khususnya pihak militer, yang sejak awal menghendaki seluruh elemen-elemen komunis/PKI lenyap sama sekali dari Bali. Terkait hal ini, menarik untuk menyimak pengalaman Cokorda Gde Dangin, penglingsir Puri Sidemen, yang pernah terlibat langsung dalam peristiwa kekerasan tahun 1965 di Sidemen.

Dalam suatu wawancara, Pak Cok, misalnya, sempat mengatakan: ”Saya sampai sekarang belum bisa mengerti dan memahami, mengapa orang Bali, termasuk kami semua pada waktu itu, kok melakukan tindakan begitu kejam terhadap orang-orang desa sendiri yang pada waktu itu kita anggap musuh karena berbeda partai”. 2

2 Wawancara dengan Cokorda Made Dangin, Puri Sidemen, Sidemen, Oktober 2010.

Pak Cok menceritakan hal itu sambil mengungkapkan pengalamannya sendiri dan melihat bagaimana orang-orang desa yang dianggap komunis “dihabisi” secara kejam. “Saya ingat waktu itu….saya bawa pasukan 40-an orang, mau serangan umum kita, mau menghabisi PKI, tapi selektif kita, tidak sembarangan. Saya ingat di sana bayi-bayi dan perempuan dibunuh, mayatnya dibuang ke sungai,” demikian ia mengenang. Selanjutnya ia menceritakan: “Waktu itu

Page 37: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

365

tahun 65, umur saya 20 lebih, masih muda, masih punya emosi dan dendam. Sedang galak-galaknya, makanya saya kerjasama dengan militer. Memang saya batasi kapten itu (tentara), petani-petani kecil itu untuk tidak dieksekusi. Mereka kan dijanjikan tanah, tapi sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa”. Tentang kebijakan militer pusat yang terang-terangan anti komunis sudah banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, antara lain yang ditulis oleh Montimer (1974), dalam bukunya berjudul “Indonesian Comunism Under Sukarno. Ideology and Politic, 1959-1965”.

• Teori Pembangunan dan Konsep Dualitas

Dalam Bab 2, sempat disinggung, bahwa perpektif teori perubahan sosial konvensional, pada umumnya sejalan dengan perspektif teori pembangunan yang berparadigma modernisasi. Sebagaimana dikemukakan Knõbl (2007: 96-107) dalam tulisannya berjudul “Theories that Won’t Past Away: Never Ending Story of Modernization”, paradigma modernisasi itu pada intinya menyandarkan diri pada asumsi-asumsi, yang kalau dicermati semuanya memiliki landasan berfikir yang bersifat antinomi atau oposisi biner. Yang paling jelas, misalnya, teori pembangunan dengan perspektif modernisasi memandang bahwa pembangunan adalah suatu proses sejarah yang membawa perubahan sosial dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang prosesnya dianggap “tidak bisa dibalik” (irreversible). Disini tekanannya adalah masyarakat modern itu yang dikejar dan menjadi tujuan, yang dalam hal ini mencerminkan pandangan hirarkhis (tradisional versus modern) berdasarkan pemikiran filsafat tentang adanya kebenaran transendental dalam logosentrisme.

Pandangan seperti ini, tentu saja mengimplikasikan hadirnya realitas antinomi antara tradisional dan modern, yang masing-masing menggambarkan suatu tipologi tertentu yang dianggap nyata tentang apa saja yang dimaksud dengan tradisional dan yang dianggap modern. Yang disebut tradisional, misalnya, sering digambarkan dalam wujud realitas sosial yang masyarakatnya memiliki ciri-ciri atau bersifat:

Page 38: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

366

askripsi (ascription) atau sesuatu ditentukan terutama oleh atribut yang disandangnya (seperti asal usul, keluarga, status, dan lain-lain); partikularisme atau sesuatu ditentukan terutama oleh keterkaitannya dengan hal-hal yang sifatnya partikular dan eksklusif (seperti kelompok, golongan, etnisitas, dan lain-lain); fungsi kurang jelas atau kabur (belum atau tidak ada spesialisasi); dan dalam bersikap dan bertindak dianggap irrasional.

Sementara yang modern, atau yang harus dikejar, justru digambarkan dengan realitas yang berkebalikan secara diametral dengan apa yang menjadi sifat tradisional itu. Misalnya saja, modern adalah realitas sosial yang masyarakatnya memiliki: sifat achievement atau menjunjung tinggi prestasi (lawan dari ascription); bersifat generalis/universal dan inklusif (lawan dari partikular atau eksklusif), sudah adanya kejelasan fungsi-fungsi (sebagai lawan dari fungsi yang kabur); dan sikap serta tindakan masyarakatnya rasional (sebagai lawan dari irrasional). Tidak cukup dengan itu, serangkaian sifat tradisional itu dalam konteks teori pembangunan berbasis perspektif modernisasi disebut dengan konotasi negatif, dan karena itu sering juga diberi label sebagai “sifat-sifat yang menghambat pembangunan”. Dalam konteks manusia dan kebudayaannya, sering dikatakan bahwa dalam struktur sosial masih terdapat “mental-mental yang menghambat pembangunan”. Karena dianggap menghambat, maka demi mencapai tujuan pembangunan itu sendiri maka mental-mental yang menghambat seperti itu harus diubah atau ditransformasikan (Koentjaraningrat: 1974).

Dengan pelabelan seperti ini, teori pembangunan berperspektif modernisasi sepertinya memaksakan hanya ada dua katagori pilihan dalam proses perubahan sosial, yaitu perubahan sosial yang mengarah pada pembangunan (development) atau kemunduran/stagnasi/tidak ada kemajuan (undevelopment). Yang pertama mengacu pada keadaan modern, sedang yang kedua berkonotasi keterbelakangan atau tradisional. Dalam konteks ini, konsep dualitas, terang menolak kecenderungan pandangan seperti itu karena posisinya yang sejak awal memang menolak pilihan-pilihan yang bersifat antinomi. Di sini

Page 39: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

367

berarti konsep dualitas jelas tidak sejalan dan seiring dengan teori pembangunan berperspektif modernisasi itu.

Pertanyaannya, bayangan teori pembangunan seperti apa yang bisa sejalan dan seiring dengan konsep dualitas? Sebagaimana telah disinggung pada bagian di atas, bahwa pada dasarnya konsep dualitas menolak sudut pandang yang membedakan realitas sosial secara diametral dan membaginya dalam dua pilihan: antara yang lama dan baru. Sebab memang bagi konsep dualitas, pilihannya bukan hanya “lama dan baru”, tetapi suatu konstruksi baru di luar pilihan itu, yang keberadaannya mampu “mengatasi”, dan bukannya saling meniadakan salah satu dari keduanya. Teori pembangunan semacam itu, bisa dibayangkan adalah teori pembangunan yang mampu mengakomodasikan unsur-unsur lama dan baru; yang bermula dari titik ini, diharapkan terbuka berbagai ruang kemungkinan munculnya bentuk-bentuk hubungan baru (kebijakan baru) yang pada ujungnya berorientasi pada perkembangan kemajuan (progress) masyarakat.

Pengertian perkembangan kemajuan masyarakat di sini memiliki makna sangat penting, karena pembangunan yang dimaksudkan bukan lagi semata-mata hanya untuk mencapai kemajuan ekonomi dengan mengubah atau mentransformasikan struktur ekonomi, tetapi lebih dari itu juga diorientasikan untuk tujuan kemajuan sosial dengan melakukan transformasi sosial. Yang dimaksudkan dengan transformasi sosial ini, antara lain, melibatkan perubahan struktur sosial (struktur obyektif dalam pengertian kondisi-kondisi material dan struktur subyektif dalam pengertian kesadaran kognitif individu maupun kolektif) menuju kondisi yang lebih maju (progress). Pada titik ini, pengertian pembangunan sebagai perubahan sosial (development as social change) lantas memiliki makna yang berarti.

Terkait dengan hal tersebut di atas, beberapa pemikir pembangunan mengungkapkan gagasan yang dasarnya memiliki kesejajaran dengan pengertian pembangunan sebagai perubahan sosial. McMichael (2000) dalam bukunya berjudul “Development and Social Change”, misalnya, mengemukakan pentingnya dimensi perubahan

Page 40: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

368

sosial dalam pembangunan karena melihat adanya bias sejarah dalam paradigma pembangunan yang dilaksanakan di negara-negara berkembang yang pernah mengalami proses kolonialisme. Menurut McMichael, paradigma pembangunan negara-negara berkembang post-kolonialisme cenderung mengabaikan kenyataan model pembangunan ala Eropa sang penjajah (colonialist). Oleh karena itu, gagasan pembangunan ala Eropa, yang umumnya terkait erat dengan perspektif modernisasi, tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja untuk dijadikan model pembangunan. Terkait hal ini, McMichael (2000: 24) mengemukakan:

”It tended to deny that the non-European societies had many intrinsisic merits. In Post colonial era, Third World states could not repeat the European experience of developing by exploiting the resources and labour of other societies”.

Sejalan dengan McMichael, Goulet (2006: 103-119), dalam tulisannya berjudul “Development as Liberation”, mengemukakan pentingnya dimensi sosial, khususnya aspek transfomasi sosial, dari pembangunan. Konsep pembangunan seperti ini, oleh Goulet, disebut sebagai Pembangunan Yang Membebaskan (Development as Liberation). Tetapi apa yang dimaksud dengan pembebasan, liberation? Kata Goulet dalam tulisannya itu, “to liberate means to set free”. Lalu apa yang dimaksud dengan bebas, free atau freedom itu? Menurut Goulet (2006), bebas artinya,”freedom to fulfill oneself, personally and collectively, or in other words, freedom to pursue humane development”. Dengan pengertian ini, maka menjadi terang benderang bahwa pembangunan itu tidak identik dengan pembangunan ekonomi (pertumbuhan atau transformasi ekonomi) yang berdimensi material semata, tetapi juga pembangunan sosial (budaya) dan kemanusiaan yang penuh dengan dimensi nilai-nilai. Kata Dennis Goulet (2006):

”Material well-being merely opens the door to possibility of further development. Ultimately, therefore, liberation is for development – fo full, comprehensive human development”.

Dalam konsep “Pembangunan Yang Membebaskan” itu maka keberadaan gagasan emansipasi (kemanusiaan) lantas menjadi

Page 41: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

369

menonjol. Dan menurut Goulet (2006), dalam konteks pembangunan yang membebaskan itu:

“Economic, political and societal emancipation have two purpose: to remove major obstacle impending human development and, in the process of engaging people in the effort to overcome these obstacle, to transforms hitherto passive human being into active subjects creating their own history”.

Sementara Sen (2000), dalam bukunya berjudul “Development as Freedom” juga mengajukan pandangan yang serupa tentang pembangunan yang membebaskan sebagai alternatif dari teori pembangunan konvensional yang hanya memfokuskan pada tujuan-tujuan kemajuan ekonomi. Dalam hal ini Sen menolak konsep pembangunan yang hanya menekankan pada tujuan pencapaian kemajuan ekonomi, khususnya melalui ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sen bahwa pembangunan itu sejatinya adalah “a process of expanding the real freedoms that people enjoy”. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan (freedoms) itu, menurut Sen (2000: 36-37), sesungguhnya mencakup antara lain:

“…elementary capabilities like being able to avoid such deprivations as starvation, undernourishment, escapable morbidity and premature mortality, as well as the freedoms that are associated with being literate and numerate enjoying political participation and uncensored speech and so on”.

Dengan sudut pandang seperti ini, maka menurut Amartya Sen, pembangunan itu dalam dirinya sendiri seharusnya merupakan suatu proses perluasan kebebasan manusia secara luas (as a process of enlargement of human freedom in general).

Kembali ke pembahasan masalah tentang pembangunan sebagai perubahan sosial (perubahan struktur sosial) di atas. Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan kondisi struktur sosial masyarakat yang lebih maju (progress)? Menjawab pertanyaan seperti ini maka yang pasti, tidak ada jawaban yang ukurannya sama, seragam dan berlaku umum (general) bagi semua masyarakat. Mengapa? Karena

Page 42: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

370

kemajuan suatu masyarakat sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai, norma-norma, dan aspirasi yang berkembang di masing-masing masyarakat tersebut. Singkat kata, pengertian kemajuan masyarakat dalam banyak hal sangat tergantung dari rumusan tujuan ke depan yang ingin dicapai oleh masyarakat itu sendiri. Jadi ada nilai-nilai dan tujuan yang bersifat subyektif dari masyarakat itu sendiri. Hanya saja, memang dalam aspek-aspek tertentu, ada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat universal yang juga mewarnai tujuan kemajuan masyarakat. Hal ini, misalnya, seperti soal keadilan dan persamaan, peri kemanusiaan (HAM), perdamaian, kebebasan dan toleransi (bebas menyatakan pendapat, bebas meyakini dan menjalankan agamanya, bebas dari rasa takut dan penindasan, dan lain-lain sebagainya.

Hal-hal seperti itulah yang merupakan tujuan universal, yang tidak jarang di antaranya telah dideklarasikan dan menjadi suatu konvensi yang keberadaannya dihargai dan dijunjung tinggi oleh masyarakat international. Dalam praktiknya, tentu hal-hal semacam ini ini akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan jaman. Berangkat dari uraian di atas, maka dalam konsep pembangunan sebagai suatu perubahan sosial (transformasi sosial), bisa dinyatakan bahwa dalam pembangunan di samping mengandung konsep kemajuan yang bersifat partikular, juga terdapat unsur-unsur yang bersifat universal pula. Gambaran konsep pembangunan yang seperti inilah yang bisa dibayangkan sejalan dengan konsep dualitas.

Rangkuman

Dari pembahasan di atas, bisa dilihat bahwa perubahan sosial di Tabola ternyata mencirikan adanya perubahan sosial yang bersifat dualitas. Sebagaimana diunjukkan dalam tulisan ini, perubahan dualitas itu menyangkut elemen-elemen perubahan, yaitu antara lain: elemen struktur sosial (struktur obyektif dan subyektif); elemen penyebab atau sumber-sumber perubahan (eksogen dan endogen); arah perubahan (linier dan siklikal); serta elemen pendorong perubahan (struktur dan agen/agensi). Masing-masing pasangan elemen perubahan prosesnya berlangsung secara simultan dan

Page 43: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

371

tumpang tindih saling mempengaruhi, sehingga menghasilkan suatu gejala perubahan sosial.

Di samping adanya sifat dualitas dalam elemen perubahan, juga dikemukakan adanya cara berfikir dualitas dalam diri individu dan masyarakat desa di Bali. Cara berfikir dualitas itu terwujud dalam suatu konsep yang dinamakan Rwabhineda, yang maknanya kurang lebih “dua yang berbeda tetapi satu”. Konsep Rwabhineda ini sudah lama sekali ada, paling tidak sejak abad 10-11 M, konsep yang dimunculkan oleh Mpu Kuturan, ini digunakan sebagai konsep pemersatu terhadap keyakinan Hindu Bali, yang semula terpecah-pecah atas banyak sekte. Sampai sekarang, keyakinan Hindu di Bali dikenal juga dengan penyebutan lain sebagai agama Syiwa-Budha, yang tidak lain merupakan wujud dari konsep Rwabhineda itu itu sendiri.

Sebagai suatu konsep yang diyakini kebenarannya, Rwabhineda boleh dibilang sudah menubuh, menjadi habitus dalam diri individu dan masyarakat Bali. Oleh karena itu, segala sikap dan tindakannya, bagaimanapun dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh keyakinannya atas pandangan “dua yang berbeda tetapi satu” itu. Misalnya saja, dalam berbagai upacara adat dan agama di Bali, unsur Rwabhineda ini seringkali menjadi bagian di dalamnya. Termasuk yang paling sederhana dan menjadi pandangan sehari-hari di Bali, bahwa banyak benda-benda, apakah pohon, patung, dan lain sebagainya, seringkali diselubungi oleh kain kotak-kotak bercorak warna putih dan hitam, yang dinamakan saput poleng rwabhineda.

Keberadaan konsep Rwabhineda yang sudah menubuh ini, bagaimanapun, bisa dihubungkan dengan realitas tentang adanya perubahan sosial yang bersifat dualitas, sebagaimana dijelaskan di atas. Ini karena setiap gejala perubahan (terutama dari luar) tentu saja dengan sendirinya akan direspon oleh individu atau masyarakat Bali dengan cara tertentu yang dilatarbelakangi dan dipengaruhi cara berfikir Rwabhineda itu. Terkait dengan hal ini, bisa pula dikemukakan bahwa sesungguhnya masyarakat desa di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, baik sebagai individu maupun

Page 44: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

372

kolektif, adalah aktor-aktor atau agen-agen yang aktif dalam merespon perkembangan dunia sosialnya. Dalam hal ini, sejalan dengan pemikiran Bourdieu, habitus Rwabhineda yang menubuh pada dirinya dan sudah menjadi “a poduct of history, produces individual and collective practices” menjadi salah satu acuan masyarakat dalam merespon dunia sosialnya (social world) itu. Hasilnya, antara lain, gejala perubahan sosial yang bercirikan dualitas itu. Jadi di sini, masyarakat Bali (sebagai individu maupun kolektif) sesungguhnya adalah aktor-aktor atau agen-agen yang aktif dan penuh inisiatif. Ini berbeda dari sangkaan dan bayangan banyak orang bahwa mereka adalah aktor-aktor atau agen-agen yang pasif, yang menerima dan mengikuti saja dinamika struktur sosial yang melingkupinya. Berikut gambar ilustasi aktor/agen yang aktif dalam merespon dinamika dunia sosial dalam proses perubahan sosial.

Gambar 25. Aktor/Agen yang Aktif Merespon

Dinamika Dunia Sosialnya

Dunia Sosial (Social World)

Agen/Aktor Aktif

Habitus (Rwabhineda dan Tri Hita Karana)

Proses Dialektika Inter- nalisasi Eksternalitas

dan Eksternalisasi Internalitas Perubahan Sosial

(Dualitas)

Page 45: BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS Dalam …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3345/9/D_902008104_BAB VI… · PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI . 330 Namun sebelum mengupas

BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS

373

Akhirnya, sebagai suatu refleksi teoritis, konsep Rwabhineda agaknya bisa dijadikan sebagai dasar untuk melihat secara kritis keberadaan teori pembangunan, khususnya yang berperspektif modernisasi, yang sampai hari ini cukup kuat mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di Indonesia, pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Dari perspektif dualitas ini, mungkin bisa dikembangkan pendekatan baru terkait konsep dan teori pembangunan yang lebih sejalan dengan cara fikir masyarakat, sehingga akan bisa lahir kebijakan pembangunan yang lebih membumi dan memiliki pijakan yang kuat pada kondisi dan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat setempat.