69
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merawat gigi sejak dini juga menghindari proses kerusakan gigi, Kebiasaan merawat gigi dapat dimulai sejak bayi dengan menggunakan kain kasa atau kapas yang dihangatkan, kemudian digosokkan pada gigi bayi. Bila anak sudah besar dilatih cara memegang dan menggosok gigi yang benar. selain itu pola makan anak harus diperhatikan. Apakah termasuk makanan yang dapat merusak gigi atau bukan. Menghindari faktor-faktor yang merusak gigi anak antar lain amakanan manis dan lengket, karena makanan jenis ini mudah tertinggal dan melekat pada gigi. Yang terpenting adalah anak dibiasakan periksa ke dokter gigi setiap enam bulan sekali. Akibat yang ditimbulkan bila perawatan gigi sejak dini tidak dilakukan gingivitis gigi tanggal sebelum waktunya, gangguan pada ukuran, bentuk maupun jumlah gigi. (Aktono H, Didit, 2003). 1

BAB I

  • Upload
    zultri

  • View
    73

  • Download
    10

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rertett

Citation preview

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Merawat gigi sejak dini juga menghindari proses kerusakan gigi,

Kebiasaan merawat gigi dapat dimulai sejak bayi dengan menggunakan kain

kasa atau kapas yang dihangatkan, kemudian digosokkan pada gigi bayi. Bila

anak sudah besar dilatih cara memegang dan menggosok gigi yang benar.

selain itu pola makan anak harus diperhatikan. Apakah termasuk makanan

yang dapat merusak gigi atau bukan. Menghindari faktor-faktor yang merusak

gigi anak antar lain amakanan manis dan lengket, karena makanan jenis ini

mudah tertinggal dan melekat pada gigi. Yang terpenting adalah anak

dibiasakan periksa ke dokter gigi setiap enam bulan sekali. Akibat yang

ditimbulkan bila perawatan gigi sejak dini tidak dilakukan gingivitis gigi tanggal

sebelum waktunya, gangguan pada ukuran, bentuk maupun jumlah gigi.

(Aktono H, Didit, 2003).

Menurut WHO (1997), kelompok usia 12 adalah usia yang penting,

karena pada usia tersebut anak akan meninggalkan sekolah dasar dan banyak

di negara, usia tersebut merupakan kelompok yang mudah di jangkau melalui

system UKGS, dan pada usia tersebut anak lebih mudah diajak komunikasi.

Menurut SKRT ( survey kesehatan rumah tangga ) 2001 prevelensi gigi

berlubang pada kelompok usia 12 tahun sebesar 44% dan indeks DMFT yaitu

index yang digunakan untuk menunjukan banyaknya subyek yang terkena gigi

1

Page 2: BAB I

berlubang pada usia ini sebesar 1,1. Target pencapaian gigi sehat Indonesia

tahun 2010 pada individu usia 12 tahun untuk indeks DMFT adalah sebesar 1

( Depkes RI.2004). gigi berlubang banyak menyerang anak-anak maupun

dewasa, baik gigi sulung maupun permanen. Anak usia sekolah dasar yaitu

usia 6-12 tahun merupakan kelompok usia rentan yang perlu mendapatkan

perhatian karena pada periode tersebut terdapat gigi sulung dan gigi

permanen secara bersamaan dalam mulut (Agtini, Dkk, 2005).

Gigi berlubang adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan

demineralisasi (larutnya mineral email) dan terus berjalan kebagian yang lebih

dalam dari gigi sehingga terjadi kavitasi (pembentukan lubang) yang tidak

dapat diperbaiki kembali oleh tubuh melalui proses penyembuhan, sebagai

akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang

disebabkan oleh pembentukan asam microbial dari substrat (medium makanan

bagi bakteri Streptococcus mutans dan Lactobacillus acidophilus) (Schuurs,

1993).

Keluhan dari gigi berlubang dapat berdampak pada prokdutivitas kerja

penderita. Keluhan sakit gigi berakibat seseorang tidak dapat bekerja atau

pergi ke Sekolah. Dampak dari gigi berlubang yang paling dirasakan adalah

makanan menyangkut, diet kurang memuaskan, nafas bau, sulit mengunyah,

menghindari makanan tertentu, rasa gigi ngilu, tidak nyaman mengunyah serta

rasa sakit gigi (Situmorang, 2005).

Gigi berlubang erat hubunganya dengan konsumsi makanan ataupun

minuman yang kariogenik yaitu makanan atau minuman yang dapat memicu

2

Page 3: BAB I

timbulnya kerusakan gigi, dalam hal ini adalah makanan yang kaya akan gula

seperti permen, cokelat, biscuit atau roti. Sekarang ini banyak dijumpai

makanan kariogenik yang dijual dipasaran dan sudah sampai pelosok desa.

makanan ini sangat digemari anak, sehingga perlu lebih diperhatikan pengaruh

substrat kariogenik dengan kejadian gigi berlubang. Mengingat pentingnya

fungsi gigi maka sejak dini kesehatan gigi anak-anak perlu diperhatikan.

disamping factor makanan, menggosok gigi juga merupakan salah satu hal

yang perlu diperhatikan dalam rangka tindakan pencegahan gigi berlubang.

walaupun kegiatan menggosok gigi merupakan kegiatan yang sudah umum

namun masih ada kekeliruan baik dalam pengertianya maupun dalam

pelaksanaanya (Besford,1996).

Pengetahuan, kesadaran dan kebiasaan orang tua dalam merawat

kesehatan gigi anaknya sangat berpengaruh terhadap timbulnya kerusakan

pada gigi. Selain itu, anak usia antara 6-12 tahun atau anak usia sekolah dasar

masih kurang mengetahui dan mengerti memelihara kebersihan gigi dan

mulut, terbukti pada angka nasional untuk gigi berlubang usia 12 tahun

mencapai 78,62% (Fatmawati, 2011).

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penyakit gigi terutama

gigi berlubang dan penyakit periodontal masih menyerang sebagian besar

penduduk di berbagai Negara di dunia, baik Negara yang telah maju maupun

di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Menurut penelitian di

Negara-negara Eropa, Amerika dan Asia, termasuk Indonesia, ternyata bahwa

3

Page 4: BAB I

80-90% dari anak-anak di bawah umur 18 tahun terserang gigi berlubang

(Tarigan, 1995).

Berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995,

penyakit gigi dan mulut yang ditemukan di masyarakat masih berkisar penyakit

yang menyerang gig berlubang dan penyakit periodontal, yang menyatakan

bahwa 63% penduduk Indonesia menderita kerusakan gigi aktif (kerusakan

pada gigi yang belum ditangani). Masalah tingginya angka penyakit gigi dan

mulut saat ini sangat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain factor

perilaku masyarakat. berdasarkan SKRT 1995 dan susenas (Survei sosial

ekonomi nasional 1998 dinyatakan bahwa masyarakat belum menyadari

pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Hal ini terlihat dari 22,8%

penduduk Indonesia tidak menyikat gigi tepat waktu. Kesadaran masyarakat

untuk datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah. Hal ini

terlihat dari 87% Masyarakat yang mengeluh sakit gigi tidak berobat, 12,3%

Masyarakat yang mengeluh sakit gigi datang berobat ke fasilitas kesehatan

gigi sudah dalam keadaan terlambat dan 0,7% mencari pengobatan tradisional

(Herijulianti, 2002)

Berdasarkan hasil survey riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2011

dinyatakan bahwa lebih dari seperempat penduduk di Sulawesi Tenggara

mempunyai masalah gigi dan mulut, seperti gigi berlubang dan hanya

seperlimanya yang menerima perawatan gigi. Sedangkan yang telah hilang

seluruh gigi asli adalah 1,7%. Sebagian besar (89,7%) penduduk umur 10

tahun ke atas menyikat gigi setiap hari namun hanya seperenam (15,9%) yang

4

Page 5: BAB I

berperilaku benar dalam menyikat gigi dan berdasarkan data penyakit di ruang

rawat jalan rumah sakit se-provinsi sulawesi tenggara tahun 2011 yang

diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, kasus gigi

berlubang yaitu sebesar 4.750 kasus (Dinkes Propinsi Sulawesi tenggara,

2011).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Buton Utara, jumlah kasus gigi berlubang di Buton Utara berfluktuasi selama

tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2009 sebanyak 2.121 kasus dengan

prevalensi (3,81%) tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 2.088 kasus

dengan prevalensi (3,87%) dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan

kembali menjadi 2.919 kasus dengan prevalensi (2,77%) gigi berlubang

(Dinkes Kabupaten Buton Utara, 2011).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Bonegunu untuk lima

tahun terakhir jumlah kasus gigi berlubang mengalami peningkatan yaitu pada

tahun 2007 sebanyak 839 kasus dengan prevalensi (9,65%) tahun 2008

sebanyak 864 kasus dengan prevalensi (9,37%) tahun 2009 jumlah kasus gigi

berlubang sebanyak 989 kasus dengan prevalensi (8,19%) tahun 2010

sebanyak 994 kasus dengan prevalensi (8,14%) dan tahun 2011 sebanyak

1003 kasus dengan prevalensi (8,07%) gigi berlubang (Puskesmas Bonegunu,

2011)

Berdasarkan wawancara dengan Petugas Kesehatan Puskesmas

Bonegunu yang melakukan kegiatan UKGS secara rutin setiap triwulan sekali,

maka diketahui bahwa kasus gigi berlubang banyak dialami oleh usia Sekolah

5

Page 6: BAB I

Dasar. Petugas kesehatan tersebut merekomendasikan lokasi penelitian

tersebut yaitu di Sekolah tersebut banyak mengalami kasus gigi berlubang

dibandingkan dengan sekolah lainya yang ada di Kecamatan Bonegunu.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan terhadap murid di

SDN 08 Bonegunu Pada kelas V SD yang terdiri dari 34 murid yang memiliki

gigi sehat ada 3 anak, gigi berlubang ada 25 anak, dan kebiasaan anak

makan makanan manis ada 6 anak, dan 0 anak yang tidak suka makan

makanan manis. Proporsi kejadian gigi berlubang ini lebih besar jika

dibandingkan dengan survey pendahuluan yang dilakukan pada murid SDN 01

Bonegunu dan SDN 04 Bonegunu. Pada SDN 01 Bonegunu diperoleh data,

dari 27 murid diketahui bahwa hanya 14 murid yang memiliki gigi berlubang

dan 13 murid atau yang giginya tidak berlubang. Sedangkan pada SDN 04

Bonegunu diketahui bahwa dari 27 murid diperoleh data murid yang memiliki

gigi berlubang yaitu sebanyak 11 murid sedangkan murid yang giginya tidak

berlubang yaitu sebanyak 16 murid.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian

tentang ‘’Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Gigi Berlubang

Pada Anak SDN 08 Bonegunu Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara

Tahun 2013.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

6

Page 7: BAB I

1. Apakah ada hubungan pengetahuan anak dengan kejadian gigi

berlubang?

2. Apakah ada hubungan sikap anak dengan kejadian gigi berlubang?

3. Apakah ada hubungan kebiasaan menyikat gigi anak dengan

kejadian gigi berlubang?

4. Apakah ada hubungan kebiasaan makan anak dengan kejadian gigi

berlubang?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui mengetahui factor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian gigi berlubang pada anak SDN 8 Bonegunu kecamatan Bonegunu

Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pengetahuan anak

dengan kejadian gigi berlubang pada anak SDN 08 Bonegunu

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

b. Untuk mengetahui apakah hubungan antara sikap anak dengan

kejadian gigi berlubang pada anak SDN 08 Bonegunu Kecamatan

Bonegunu Kabupaten Buton Utara tahun 2013.

c. Untuk mengetahui apakah hubungan kebiasaan menyikat gigi anak

dengan kejadian gigi berlubang pada anak SD 08 Bonegunu

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

7

Page 8: BAB I

d. Untuk mengetahui apakah hubungan kebiasaan makan anak dengan

kejadian gigi berlubang pada anak SD 08 Bonegunu Kecamatan

Bonegunu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan dan merupakan salah satu bahan bagi peneliti berikutnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi dinas

kesehatan dan dinas pendidikan nasional Kabupaten Buton Utara dalam

rangka penentuan arah kebijakan program pemberantasan masalah

kesakitan gigi berlubang pada murid Sekolah Dasar.

8

Page 9: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Jenis Makanan

1. Definisi

Anak pada usia sekolah sering mengkonsumsi makanan manis seperti

cokelat, permen, kue dan lain sebagainya. Makanan manis mengandung

larutan gula yang memiliki konsentrasi tinggi. Larutan tersebut dapat

menembus plak gigi dan dimetabolisasi untuk menghasilkan asam sebelum

dinetralisasi oleh saliva. Konsumsi makanan tersebut apabila tidak dikontrol

dengan perawatan gigi yang benar akan beresiko terkena gigi berlubang. Oleh

karena itu pada anak usia Sekolah dianjurkan diet rendah gula dan tinggi

nutrisi serta memperhatikan perawatan gigi lainnya (Potter & Perry, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Stephen 1981 dalam schuurz 1992 menyatakan

bahwa terdapat hubungan positif antara kenaikan gigi berlubang dengan

frekuensi kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung sukrosa.

Sukrosa yang lebih dapat mengakibatkan pH dari plak gigi akan turun dari 6.5

menjadi 5.0 penurunan pH tersebut menyebabkan demineralisasi dari lapisan

email gigi. Oleh karena itu seseorang yang sering mengkonsumsi makanan

mengandung sukrosa, semakin lama keadaan pH asam bertahan dalam

rongga mulut.

Sumber makanan yang baik dikonsumsi untuk penguat gigi yakni

makanan yang mengandung tinggi kalsium. Menurut Gupte (1991)

9

Page 10: BAB I

mengonsumsi kalsium, fosfor, vitamin C, dan vitamin D dapat menguatkan gigi.

Vitamin C dan D baik untuk pembentukan gigi. Kalsium dan Vitamin D adalah

fondasi penting untuk membuat tulang dan gigi yang kuat. Kalsium mendukung

struktur tulang dan gigi, sedangkan Vitamin D meningkatkan penyerapan

kalsium dan petumbuhan tulang. Seperti susu, keju, yogurt, telur, sayur mayur,

buah-buahan dan lain sebagainya (Gupte, 1991).

Makanan sangat berpengaruh terhadap kesehatan gigi dan mulut,

berdasarkan pengaruh ini makanan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Isi dari makanan yang menghasilkan energi. Misalnya karbohidrat, lemak,

protein, dll.

b. Fungsi mekanis dari makanan yang dimakan. Pertama, makanan yang

bersifat membersihkan gigi, seperti: apel, jambu air, bengkuang, dsb.

Kedua, makanan yang lunak dan melekat pada gigi amat merusak gigi,

seperti: permen, cokelat, roti (Tarigan, 1993).

Berbagai kelompok masyarakat dan ilmuwan, khususnya para ahli

kesehatan dan gizi berpendapat bahwa manusia akan lebih sehat bila mereka

mengkonsumsi gula lebih sedikit karena pada zaman modern ini gula

merupakan bumbu atau ingredient yang paling banyak digunakan dalam

berbagai jenis makanan. Diantara kerugian yang paling banyak disorot dari

pemakaian gula dalam makanan seperti permen, snack dan minuman manis

adalah kerusakan atau pengeroposan gigi yang biasa disebut dengan gigi

berlubang, terutama pada anak-anak maka gula digolongkan sebagai

senyawa kariogenik (Koswara, 2009).

10

Page 11: BAB I

Makanan kariogenik yaitu makanan yang dapat memicu timbulnya

kerusakan gigi, dalam hal ini adalah makanan yang kaya akan gula. Makanan

yang lengket serta melekat pada permukaan gigi dan terselip diantara celah-

celah gigi merupakan makanan yang paling merugikan untuk kesehatan gigi

(Houwink, 2000). Jenis makanan yang termasuk dalam golongan kariogenik

yaitu makanan yang manis, lunak dan melekat pada gigi, seperti: permen,

cokelat, biskuit, roti, cake dan es krim (Tarigan, 1993).

Dari hasil berbagai penelitian terhadap binatang percobaan dan juga

penelitian yang dilaksanakan langsung pada manusia, mengungkapkan

bahwa berbagai jenis gula dan hubungannya sebagai penyebab terjadinya

gigi berlubang telah dinilai berdasarkan urutan kegawatannya terhadap

terjadinya gigi berlubang yaitu sebagai berikut: sukrosa, glukosa, maltosa,

laktosa, fruktosa, dan sorbitol. hampir seluruh peneliti yang bekerja pada

tersebut yakni bahwa sukrosa merupakan perangsang dan penyebab

terjadinya gigi berlubang pada manusia (Koswara, 2009).

Pada penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa sesungguhnya faktor

yang menyebabkan terjadinya gigi berlubang adalah adanya makanan yang

mengandung sukrosa tinggi dan tertinggal cukup lama pada gusi dan gigi. Jadi

bila seluruh sukrosa yang dikonsumsi langsung tertelan masuk ke dalam perut

tanpa ada yang tertinggal pada gigi, maka hal itu tidak akan menyebabkan

penyebab gigi berlubang dan ternyata sukrosa dalam bentuk makanan yang

bersifat lengket akan lebih besar peluangnya sebagai penyebab gigi

11

Page 12: BAB I

berlubang (Koswara, 2009).

Tabel 1, Makanan dan Minuman dengan Kandungan Sukrosa, Berat

dalam 1 Oz = 28 Gram

2. Frekuensi Konsumsi Gula

Sukrosa dalam makanan merupakan penyebab utama gigi berlubang. Jika

makanan yang dimakan mengandung sukrosa, pH mulut akan turun dalam waktu 2,5

menit dan tetap rendah sampai 1 jam. Bila sukrosa dikonsumsi 3x sehari, artinya pH

12

No Makanan Kandungan Sukrosa1. Brondong Jagung 2,52. Jagung -3. Minuman cokelat 73,84. Es krim 14,55. Kembang gula kertas -6. Permen karet 607. Kembang gula diisi cokelat -8. Pastiles 58,79. Coklat 52,010. Coklat susu -11. Permen karet buah 42,912. Wafer 32,813. Lapis cokelat 27,814. Sandwich 26,015. Jus jeruk kaleng 2,316. Jambu kaleng 3,717. Leci kaleng 0,618. Strawberry kaleng 7,019. Pisang -20. Mangga -21. Pie buah 21,522. Kue isi selai 35,723. Yoghurt buah 10,2

Sumber : P.M. Gaman dan K.B. Seringthon

Page 13: BAB I

mulut selama 3 jam akan berada di bawah 5,5. Proses demineralisasi selama

periode waktu ini sudah cukup untuk mengikis email (Besford, 1996).

Proses metabolisme oleh bakteri yang berlangsung lama dapat

menurunkan derajat keasaman (pH) untuk waktu yang lama pula. Keadaan

seperti ini akan memberikan kesempatan yang lebih lama untuk terjadinya

proses pelepasan kalsium dari gigi (demineralisasi) (Houwink, 2000).

Frekuensi makan dan minum tidak hanya menimbulkan erosi, tetapi

juga kerusakan gigi atau gigi berlubang. konsumsi makanan manis pada

waktu senggang jam makan utama akan lebih berbahaya daripada saat waktu

makan utama. Terdapat dua alasan, yaitu kontak gula dengan plak menjadi

diperpanjang dengan makanan manis yang menghasilkan pH lebih rendah

dan karenanya asam dapat dengan cepat menyerang gigi. Kedua yaitu

adanya gula konsentrasi tinggi yang terkandung dalam makanan manis akan

membuat plak semakin terbentuk. Resiko untuk menderita gigi berlubang bila

mengkonsumsi makanan kariogenik > 3 kali sehari (Besford, 1996).

Snack dan makanan jajan yang dikonsumsi antara makan pagi, siang

dan malam, ternyata bersifat kondusif terhadap terjadinya gigi berlubang. Hal

itu disebabkan karena kandungan sukrosa dalam jenis makanan snack

tersebut adalah cookies, cakes, minuman berkarbonasi, permen dan snack

lain yang tinggi kandungan sukrosanya. kebiasaan anak mengkonsumsi

makanan kariogenik seperti coklat, permen atau kue-kue manis lainnya

disebabkan karena makanan tersebut bentuknya menarik dan rasanya yang

enak atau lezat sangat disukai oleh anak-anak (Koswara, 2009).

13

Page 14: BAB I

Untuk mengerti dengan tepat efek kebiasaan makan pada kerusakan

gigi, perlu diingat kembali peranan plak pada permukaan gigi. ketika gula

dalam bentuk cairan larut pada lapisan plak, asam akan dihasilkan oleh

bakteri. juga bahwa tanpa asam tersebut, kelarutan kristal kalsium dalam gigi

berlangsung sangat lama dimana gigi tidak dapat dihancurkannya atau jumlah

garam kalsium yang larut dalam aliran air liur akan sebanding dengan kalsium

yang keluar dari air liur dan disimpan dalam gigi. Jika ada asam,

keseimbangan tadi akan terpengaruh dan lebih banyak garam yang keluar

daripada yang masuk. Tetapi tetap diperlukan jumlah asam minimum yang

dapat mempengaruhi keseimbangan tadi (Besford, 1996).

Keasaman diukur dalam satuan yang disebut pH. Skala pH berkisar dari

0-14, dengan perbandingan terbalik. Dimana makin rendah nilai pH, makin

banyak asam dalam larutan. Sebaliknya, meningkatnya nilai pH berarti

bertambahnya basa dalam larutan. Pada pH 7, tidak ada keasaman atau

kebasaan larutan. Air liur secara normal sedikit asam, pHnya 6,5 (dapat

berubah sedikit dengan perubahan kecepatan aliran dan perbedaan waktu

dalam sehari) dan plak juga hampir sama nilainya (Besford, 1996).

B. Tinjauan Umum Tentang Menyikat Gigi

1. Frekuensi Menggosok Gigi

Kesehatan mulut tidak dapat lepas dari etiologi dengan plak sebagai

faktor bersama terjadinya gigi berlubang. Penting disadari bahwa plak pada

dasamya dibentuk terus-menerus. Kebersihan mulut dapat dipelihara dengan

14

Page 15: BAB I

menyikat gigi dan melakukan pembersihan gigi dengan benang pembersih

gigi. Pentingnya upaya ini adalah untuk menghilangkan plak yang menempel

pada gigi.

Penelitian menunjukkan bahwa jika semua plak dibersihkan dengan

cermat tiap 48 jam, penyakit gusi pada kebanyakan orang dapat dikendalikan.

Tetapi untuk kerusakan gigi (gigi berlubang) harus lebih sering lagi. Banyak

para ahli berpendapat bahwa menyikat gigi 2 kali sehari sudah cukup

(Ariningrum, 2000).

Melakukan penyikatan gigi yang baik adalah dengan frekuensi dan

waktu sesuai yang disarankan Manson (1995) yaitu dua kali, pagi hari

sesudah makan dan malam hari sebelum tidur atau yang disarankan Be Kien

Nio (1982) yaitu tiga kali sehari setiap kali setelah makan dan malam sebelum

tidur (Chemiawan, 2004).

2. Cara Menyikat Gigi

Menyikat gigi adalah cara umum yang dianjurkan untuk membersihkan

gigi dari berbagai kotoran yang melekat pada permukaan gigi dan gusi.

Berbagai cara dapat dikombinasikan dan disesuaikan dengan kebiasaan

seseorang dalam menyikat giginya. Penerapan cara menggosok gigi yang

benar sama pentingnya dengan memeriksakan diri ke dokter gigi secara

teratur. Agar menyikat gigi dapat optimal perlu diperhatikan faktor-faktor

sebagai berikut:

a. Teknik penyikatan gigi yang dipakai sedapat mungkin membersihkan

15

Page 16: BAB I

semua permukaan gigi dan gusi serta dapat menjangkau daerah saku

gusi (antara gigi dan gusi) serta daerah interdental (daerah diantara 2

gigi).

b. Pergerakan sikat gigi tidak boleh menyebabkan kerusakan jaringan gusi

dan abrasi gusi (ausnya gigi).

c. Teknik penyikatan harus sederhana, tepat, efisien dalam waktu serta

efektif. Menyikat gigi dengan arah yang tidak benar dengan tekanan

yang terlalu keras dapat menyebabkan ausnya gigi serta turunnya gusi

(resesi gusi) (Ariningrum, 2000).

Menyikat gigi yang benar adalah menyikat semua permukaan gigi

sampai bersih dan di dalam plak juga hilang sempurna. Gerakan bersikat gigi

pendek-pendek saja. Untuk menyikat permukaan samping baik luar maupun

dalam jangan melawan arah permukaan gusi (ujung pinggir gusi). Jadi kalau

gigi atas jangan menyikat ke arah atas, sebaliknya pula untuk gigi bawah

jangan menyikat ke arah bawah agar gusi tidak terkelupas (Ircham, 1995).

3. Pemilihan Sikat Gigi

Hal utama yang harus diperhatikan dalam memilih sikat gigi adalah bulu

sikat. Bulu sikat yang baik adalah tidak keras dan tidak terlalu lunak, ujung

bulu sikat membulat/ tumpul. Bulu sikat yang terlalu keras akan melukai gusi

dan mengabrasi lapisan gigi. Bila bulu sikat terlalu lunak efektivitas

pembersihan kurang baik. ujung bulu sikat gigi bermacam-macam yaitu

berbentuk bulat, runcing dan datar. Ujung bulu sikat yang baik adalah

membulat karena dapat mengurangi iritasi terhadap lapisan gigi dan jaringan

16

Page 17: BAB I

gusi (Besford, 1996).

Sikat gigi yang baik memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Tangkai lurus dan mudah dipegang

b. Kepala sikat gigi kecil, paling besar sama dengan jumlah lebar keempat gigi

bawah. Kepala sikat gigi harus kecil agar dapat masuk ke bagian-bagian

yang sempit dan dalam.

c. Bulu sikat gigi harus lembut dan datar. Bila sikat gigi terlalu besar, bulu

dapat dicabut sebagian (Ircham, 1995).

4. Pemilihan Pasta Gigi

Alat bantu lain yang diperlukan ketika menggosok gigi yaitu pasta gigi

yang berfungsi membersihkan dan memoles permukaan gigi serta membuat

nafas menjadi segar. Saat ini, banyak ditemukan berbagai macam merk pasta

gigi dengan berbagai warna dan rasa. Dalam pasta gigi terkandung zat-zat

sebagai berikut:

a. Bahan detergen, yang membuat pasta gigi berbuih ketika

menggosok gigi.

b. Bahan abrasif, zat yang berperan membersihkan deposit lunak

pada permukaan gigi.

c. Bahan cair, zat yang membuat pasta gigi menjadi cair lunak ketika

menggosok gigi.

d. Bahan padat, zat yang membuat pasta gigi menjadi padat lunak

sebelum digunakan.

e. Bahan pemberi rasa dan pengharum, sebagai penyegar.

17

Page 18: BAB I

f. Bahan penguat gigi, zat yang berfungsi sebagai therapeutic!

pengobatan seperti penambahan flour dan zat lain (Besford, 1996).

Menurut Ircham (1995) mengungkapkan bahwa dalam pasta gigi perlu

ditambahkan fluor dengan tujuan memperkuat lapisan email gigi. Untuk pasta

gigi biasanya digunakan Natriummono-fluorfosfat, Natrium jlorida dan senyawa

Aminoflorida.

C. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1. Definisi

Pengetahuan adalah keyakinan mengenai suatu objek yang telah

dibuktikan kebenarannya. Maka keyakinan yang hanya secara kebetulan

benar tidak dapat diterima sebagai pengetahuan. Pengetahuan harus

dibuktikan (Hadi, 1996).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Makin tinggi

pengetahuan/pendidikan kesehatan seseorang, makin tinggi kesadaran untuk

berperan serta (Poedjawijatna, 1991).

18

Page 19: BAB I

Menurut penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan

bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam

diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:

a. Adaptation, dimana subyek telah berperilaku baru Awarenes (kasadaran)

dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu

terhadap stimulus (obyek).

b. Interest, (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut. Disini

sikap subyek sudah mulai timbul, sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikap terhadap stimulus.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik

lagi.

d. Trial dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan

apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan

bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di

atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi melalui proses seperti

ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran sikap yang positif, maka

perilaku tersebut bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya, apabila

perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan

berlangsung lama.

19

Page 20: BAB I

Menurut Notoatmodjo (2003), Pengetahuan merupakan bagian

dalam domain kognitif yang terdiri dari enam tingkatan meliputi:

a. Tahu (Know) Know diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya, termasuk mengingat kembali (recall) terhadap

suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan

yang telah diterima. Oleh sebab itu, "tahu" ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa

orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,

menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. Contoh:

dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada

anak balita.

b. Memahami (Comprehension)

Pada tingkatan ini seseorang mampu untuk menjelaskan secara benar

tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari

pada situasi atau kondisi riil.

d. Analisis (Analysis)

Analisis yaitu kemampuan untuk menggunakan atau menjabarkan suatu

materi atau obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam

struktur organisasi tersebut masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis)

20

Page 21: BAB I

Sintesis yaitu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi ( Evaluation )

Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu

materi atau objek, dimana penelitian itu didasarkan suatu kriteria yang

ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek

penelitian atau responden kedalam pengetahuan yang ingin kita ketahui

atau yang ingin diukur dapat disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut

diatas.

D. Tinjauan Umum Tentang Sikap

Tinjauan tentang sikap yang positif akan cenderung membawa

masyarakat untuk bertindak dalam mencegah gigi berlubang. Hal ini didukung

oleh (Koeswara, 2009) menyatakan bahwa buruknya kebiasaan dan sikap

masyrakat salah satu faktor pendukung terjadinya gigi berlubang.

Sikap merupakan bentuk operasional dari perilaku yaitu tanggapan batin

terhadap stimulus dari luar subjek. Sikap dapat diartikan sebagai derajat atau

tingkat kesesuaian seseorang terhadap objek tertentu.

Perilaku tidak sama dengan sikap, sikap hanyalah suatu kecenderungan

untuk mengadakan tindakan tertentu terhadap suatu objek dengan suatu cara

yang menyatakan tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek

21

Page 22: BAB I

tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia. (Notoadmodjo,

Soekidjo, 1993).

Sikap merupakan efekctif domain terdiri dari lima tingkatan :

Penerimaan (receiving) ditandai adanya rangsangan dari luar untuk

menyadarkan seseorang bahwa telah terjadi sesuatu.

Penjawaban (responding) rangsangan telah mampu mengubah

seseorang untuk memberikan perhatian dan ikut serta.

Memberikan nilai (invalug) ditandai dengan adanya nilai baru

didalam masyarakat. Nilai itu merupakan nilai khas bagi masyarakat.

Pengorganisasian (organization) nilai yang ada itu, telah

teroganisasi menjadi milik masyarakat.

Memiliki kekhususan dalam suatu nilai yang komples

Berdasarkan tim ahli WHO (1984) menganalisis bahwa setiap sikap

menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap suatu subjek. Sikap

sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling

dekat.Sikap membuat seseorang untuk dekat atau menjauhi seseorang atau

sesuatu, sikap yang sudah positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu

terwujud dalam suatu tindakan nyata.

E. Tinjauan Umum Tentang Gigi dan Gigi Berlubang

1. Tinjauan umum Tentang Gigi

22

Page 23: BAB I

Gigi merupakan salah satu organ pengunyah, yang terdiri dari gigi-gigi

pada rahang atas dan rahang bawah, lidah, serta saluran-saluran penghasil air

ludah (Tarigan,1995)

a. Bagian-bagian Gigi

Email

Email yaitu lapisan terluar gigi yang meliputi seluruh corona,

dalam bahasa Inggris disebut Crown artinya mahkota. Email

merupakan bagian paling keras dari seluruh bagian gigi bahkan lebih

keras dari tulang.

Dentin

Dentin yaitu bagian yang terletak di bawah email, merupakan

bagian terbesar dari seluruh gigi. Dentin lebih lunak dari email.

Jaringan pulpa

Jaringan pulpa disebut pula jaringan benang gigi/ sum-sum gigi

yaitu jaringan lunak yang terdapat di dalam kamar/ ruang pulpa dan

seluruh saluran akar. Jaringan ini terdiri dari jaringan limfe, pembuluh

darah arteri dan vena serta urat syaraf.

Sementum

Sementum yaitu bagian yang meliputi seluruh lapisan luar gigi,

kecuali pada bagian lubang pucuk/ ujung akar gigi disebut foramen

apikalis (Machfoedz & Zein, 2005).

b. Susunan Gigi

Gigi sulung bila tumbuh lengkap berjumlah 20 buah, masing- masing

23

Page 24: BAB I

10 gigi di rahang atas dan 10 gigi di rahang bawah, yang terdiri dari 4 gigi

seri, 2 gigi taring, dan 4 gigi geraham. Gigi geraham pada gigi sulung hanya

satu macam, sedangkan pada gigi tetap terdapat dua macam sehingga

dibedakan menjadi gigi geraham besar dan gigi geraham kecil. Jumlah gigi

tetap seluruhnya 32 buah (Suwelo, 1992).

Saat gigi sulung tanggal, biasanya bersamaan dengan saat gigi

tetap (gigi dewasa) tumbuh, tetapi ada pengecualian pada gigi geraham

besar. Gigi geraham besar pertama mulai tumbuh pada umur 6-7 tahun.

Gigi geraham ini bukan gigi pengganti, artinya gigi ini langsung muncul

pada deretan di belakang gigi-gigi sulung, baik pada rahang atas maupun

rahang bawah. Jadi, gigi geraham besar ini tumbuh tidak menggantikan gigi

sulung, sedangkan gigi lainnya yaitu geraham kecil, taring, dan seri akan

tumbuh menggantikan gigi pendahulunya/ gigi sulung (Suwelo, 1992).

c. Gigi Berdasar Fungsinya

Gigi berdasar fungsinya dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu :

Gigi seri (Insisivus)

Gigi seri ada 4 buah di atas dan 4 buah di bawah, seluruhnya ada

8. Tugasnya yaitu memotong dan menggiling makanan.

Gigi taring (Kaninus)

Gigi taring ada 4 buah, diatas 2 dan di bawah 2. Terletak di sudut

mulut, bentuk mahkota meruncing, berfungsi untuk merobek makanan.

Gigi geraham kecil (Praemolar)

24

Page 25: BAB I

Geraham merupakan pengganti gigi geraham sulung, letak gigi ini

di belakang gigi taring, berjumlah 8, 4 di atas dan 4 di bawah, yaitu

2 kanan dan 2 kiri. Fungsinya membantu bersama dengan geraham besar

menghaluskan makanan.

Gigi geraham besar (Molare)

Gigi geraham besar terletak di belakang gigi geraham kecil,

jumlahnya 12. Atas 6 dan bawah 6, masing-masing 3 buah (permukaan

tebal dan bertonjol-tonjol), berfungsi untuk menggiling makanan

(Machfoedz & Zein, 2005).

g. Fungsi gigi sulung

Berdasarkan dari fungsi gigi sulung meskipun terlihat sepele dan

kurang diperhatikan, temyata gigi sulung memegang peranan penting dalam

menjaga kenormalan fungsi bicara anak. Anak-anak dengan gigi sulung

kurang bertumbuh sehat, berlubang, dan tanggal sebelum waktunya,

perkembangan fungsi bicaranya bisa terganggu. Dalam jangka panjang, bisa

berakibat menurunkan kepercayaan diri sang anak. Sebaliknya, jika gigi

sulung berkembang dan tanggal sesuai jadwal, gigi geligi permanen pun bisa

tumbuh dengan baik. Dengan kata lain, gigi sulung bermanfaat untuk

mempertahankan ruangan bagi geligi permanen (Besford, 1996).

2. Tinjauan Tentang Gigi Berlubang

a. Definisi Gigi Berlubang

Umumnya, penyakit yang menyerang gigi dimulai dengan adanya plak

gigi. Plak timbul dari sisa makanan yang mengendap pada lapisan gigi yang

25

Page 26: BAB I

kemudian berinteraksi dengan bakteri yang banyak terdapat dalam mulut,

seperti Streptococcus mutans. Plak akan melarutkan lapisan email pada gigi

yang lama kelamaan lapisan tersebut menipis. Terjadinya plak sangat singkat,

yaitu hanya 10-15 menit setelah makan. Plak yang menumpuk kemudian

membentuk karies gigi yang akhimya merusak email hingga melubangi gigi

(Besford, 1996).

Gigi berlubang adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai

dengan demineralisasi (larutnya mineral email) dan terus berjalan ke bagian

yang lebih dalam dari gigi sehingga terjadi kavitasi (pembentukan lubang)

yang tidak dapat diperbaiki kembali oleh tubuh melalui proses penyembuhan,

sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya

yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat (medium

makanan bagi bakteri Streptococcus mutans dan Lactobacillus acidophilus)

(Schuurs, 1993).

Newbum dalam Darwita (2004) mendefinisikan gigi berlubang sebagai

penyakit bakterial yang menyerang gigi dimana bagian organik dari gigi

mengalami destruksi, sedangkan bagian anorganiknya mengalami

dekalsifikasi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan

bahwa gigi berlubang adalah suatu proses kronis regresif , dimana prosesnya

terjadi terus berjalan ke bagian yang lebih dalam dari gigi sehingga

membentuk lubang yang tidak dapat diperbaiki kembali oleh tubuh melalui

proses penyembuhan, pada proses ini teijadi demineralisasi yang disebabkan

26

Page 27: BAB I

oleh adanya interaksi kuman, karbohidrat yang sesuai pada permukaan gigi

dan waktu.

b. Proses Terjadinya Gigi Berlubang

Gigi berlubang adalah penyakit multifaktor yang merupakan hasil

kombinasi dari 4 faktor utama yaitu inang dan gigi, mikroorganisme di dalam

plak, substrat dan waktu (Pine, 1997).

Proses terjadinya gigi berlubang dimulai dengan adanya plak di

permukaan gigi, sukrosa (gula) dari sisa makanan dan bakteri berproses

menempel pada waktu tertentu yang berubah menjadi asam laktat yang akan

menurunkan pH mulut menjadi kritis (5,5) yang akan menyebabkan

demineralisasi email berlanjut menjadi karies gigi (Schuurs, 1993).

Biasanya gigi terlihat berwama cokelat kehitaman atau noda- noda

putih yang bila diraba dengan sonde, email belum tersangkut. Secara

perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah dentin melalui lubang

fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan lubang). Kavitasi akan

timbul bila dentin terlibat dalam proses tersebut. Lama-kelamaan bagian

karies ini akan terasa kasar serta diikuti dengan tertahannya sonde. Namun

kadang-kadang begitu banyak mineral hilang dari inti lesi sehingga permukaan

mudah rusak secara mekanis, yang menghasilkan kavitasi yang makroskopis

dapat dilihat. Karies yang berwama cokelat kehitaman lebih lama

menimbulkan lubang pada gigi sedangkan noda yang berwama putih lebih

cepat menimbulkan lubang (Tarigan, 1995).

27

Page 28: BAB I

c. faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Gigi Berlubang

1. Mikroorganisme

Peran bakteri dalam menyebabkan terjadinya gigi berlubang sangatlah

besar. Bakteri yang sangat dominan dalam karies gigi adalah Streptococcus

mutans. Bakteri ini sangat kariogen karena mampu membuat asam dari

karbohidrat yang dapat diragikan. Akibatnya bakteri-bakteri terbantu untuk

melekat pada gigi serta saling melekat satu sama lain.

Streptococcus mutans berperan dalam proses awal karies yaitu lebih

dulu masuk lapisan luar email. Selanjutnya Lactobacillus acidophilus

mengambil alih peranan pada karies yang lebih merusakkan gigi.

Mikroorganisme menempel di gigi bersama plak. Plak terdiri dari

mikroorganisme (70 %) dan bahan antar sel (30 %). Plak akan tumbuh bila

ada karbihidrat, sedang karies akan terjadi bila ada plak dan karbohidrat

(Suwelo, 1992).

2. substrat

Substrat adalah campuran makanan halus dan minuman yang

dikonsumsi sehari-hari yang menempel pada gigi. Seringnya mengkonsumsi

gula akan menambah pertumbuhan plak dan menambah jumlah

Streptococcus mutans didalamnya.

Sukrosa merupakan gula yang kariogen, walaupun gula lainnya tetap

berbahaya. Sukrosa merupakan gula yang paling banyak dikonsumsi, maka

sukrosa merupakan penyebab karies yang utama (Kidd & Bechal,1991).

28

Page 29: BAB I

3. Inang atau Gigi

Faktor- faktor dari gigi yang berpengaruh terhadap peningkatan gigi

berlubang, yaitu:

Bentuk

Variasi morfologi gigi juga mempengaruhi resistensi gigi

terhadap karies. Gigi dengan fissure (lekukan) yang dalam lebih mudah

terserang karies. Hal demikian memudahkan masuknya makanan di

daerah itu yang sulit dibersihkan.

Posisi

Gigi yang berjejal dan susunannya tidak teratur lebih sukar

dibersihkan. Hal ini cenderung meningkatkan penyakit periodontal dan

gigi berlubang. Gigi geligi berjejal (crowding) dan saling tumpang tindih

(over lapping) akan mendukung terjadinya karies, karena daerah

tersebut sulit dibersihkan. Gigi yang mempunyai permukaan dan

bentuk yang tidak teratur dapat mengakibatkan sisa-sisa makanan

terselip dan bertahan sehingga produksi asam oleh bakteri

berlangsung cepat dan mengakibatkan terjadinya pembusukan gigi

yang memicu timbulnya gigi berlubang.

Struktur

Komposisi gigi sulung terdiri dari email dan dentin. Dentin

adalah lapisan di bawah email. Permukaan email lebih banyak

mengandung mineral dan bahan-bahan organik dengan air yang

relatif lebih sedikit. Permukaan email terluar lebih tahan gigi

29

Page 30: BAB I

dibanding lapisan di bawahnya, karena lebih keras dan lebih padat.

Struktur email sangat menentukan dalam proses terjadinya karies

(Suwelo, 1992).

Keberadaan flour dalam konsentrasi yang optimum pada

jaringan gigi dan lingkungannya merangsang efek anti gigi

berlubang (Kidd & Bechal, 1991).

4. Waktu

Waktu menjadi salah satu faktor penting, karena meskipun ada

ketiga faktor sebelumnya proses pembentukan karies gigi relatif

lambat dan secara klinis terlihat kehancuran dari email lebih dari

empat tahun (Pine, 1997).

Saliva berperan dalam menjaga kelestarian gigi. Banyak ahli

menyatakan, bahwa saliva merupakan pertahanan pertama terhadap

karies, ini terbukti pada penderita Xerostomia (produksi ludah yang

kurang) dimana akan timbul kerusakan gigi menyeluruh dalam waktu

singkat (Suwelo, 1992).

Sekresi kelenjar anak-anak masih bersifat belum konstan,

karena kelenjamya masih dalam taraf pertumbuhan dan

perkembangan. Saliva berfiingsi sebagai pelicin, pelindung,

penyangga, pembersih, pelarut dan anti bakteri. Sekresi air ludah yang

sedikit atau tidak ada sama sekali memiliki persentase karies yang

tinggi (Suwelo, 1992).

Berikut peranan aliran saliva dalam memelihara kesehatan gigi:

30

Page 31: BAB I

Aliran saliva yang baik akan cenderung membersihkan mulut

termasuk melarutkan gula serta mengurangi potensi kelengketan

makanan. Dengan kata lain, sebagai pelarut dan pelumas.

Aliran saliva memiliki efek buffer (menjaga supaya suasana dalam

mulut tetap netral), yaitu saliva cenderung mengurangi keasaman

plak yang disebabkan oleh gula.

Saliva mengandung antibodi dan anti bakteri, sehingga dapat

mengendalikan beberapa bakteri di dalam plak. Namun jumlah

saliva yang berkurang akan berperan sebagai pemicu timbulnya

kerusakan gigi (Besford, 1996).

Faktor predisposisi dan penghambat yang berhubungan tidak langsung

dengan proses teijadinya karies, antara lain :

Letak geografis

Perbedaan prevalensi karies ditemukan pada penduduk yang

geografis letak kediamannya berbeda seperti lamanya matahari

bersinar, suhu, cuaca, air, keadaan tanah, dan jarak dari laut.

Kandungan flour 1 ppm dalam air akan berpengaruh terhadap

penurunan karies (Suwelo, 1992).

Pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap pemeliharaan kesehatan

gigi

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan/

kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

31

Page 32: BAB I

tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang terhadap suatu

stimulus atau obyek yang diterimanya. Sikap itu belum merupakan

tindakan, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan (Notoatmodjo,

2003).

Tindakan atau praktek yaitu suatu respon seseorang terhadap

rangsangan dari luar subyek, bisa bersifat positif atau tindakan secara

langsung dan bersifat negatif atau sudah tampak dalam tindakan nyata

(Notoatmodjo, 2003).

Fase perkembangan anak usia sekolah dasar masih tergantung pada

pemeliharaan dan bantuan orang dewasa dan pengaruh paling kuat dalam

masa tersebut adalah dari ibunya. Peran ibu sangat menentukan dalam

pertumbuhan dan perkembangan anak. Demikian juga keadaan kesehatan

gigi dan mulut anak usia sekolah dasar masih sangat ditentukan oleh

pengetahuan, sikap dan perilaku ibunya (Suwelo, 1992).

c. Pencegahan Gigi berlubang

Pencegahan gigi berlubang bertujuan untuk mempertinggi taraf hidup

dengan memperpanjang kegunaan gigi di dalam mulut.

Pencegahan gigi berlubang meliputi:

Konsumsi vitamin dan mineral yang menguatkan gigi

Tindakan ini ditujukan pada kesempumaan struktur email dan dentin

atau gigi pada umumnya. Ada beberapa vitamin dan zat mineral yang

mempengaruhi dan menentukan kekuatan dan kekerasan gigi. Vitamin dan

32

Page 33: BAB I

mineral tersebut adalah vitamin A, C dan D serta mineral Ca, P, F dan Mg.

Selain usia anak-anak dan dewasa, para ibu hamil pun perlu diberikan

makanan yang mengandung unsur-unsur yang dapat menguatkan email

dan dentin sebelum agar tidak terjadi pengapuran pada gigi bayinya.

Kebersihan mulut dan gigi yang harus diperhatikan supaya tetap

sehat.

Menggosok gigi merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan

untuk menjaga kebersihan mulut dan gigi dalam rangka tindakan

pencegahan karies gigi. Walaupun kegiatan menggosok gigi merupakan

kegiatan yang sudah umum namun masih ada kekeliruan baik dalam

pengertiannya maupun dalam pelaksanaannya (Besford, 1996).

Melakukan penyikatan gigi yang baik adalah dengan frekuensi dan

waktu sesuai yang disarankan Manson (1995) yaitu dua kali, pagi hari

sesudah makan dan malam hari sebelum tidur atau yang disarankan Be Kien

Nio (1982) yaitu tiga kali sehari setiap kali setelah makan dan malam sebelum

tidur (Chemiawan, 2004).

Pemeriksaan berkala 6 bulan sekali

Pemeriksaan gigi pada dokter gigi atau pelayanan kesehatan yang ada

perlu dilakukan secara berkala setiap 6 bulan sekali untuk mencegah

terjadinya gigi berlubang.

Pengaturan konsumsi makanan yang mengandung banyak gula

Frekuensi dari konsumsi makanan yang mengandung banyak gula

harus sangat dikurangi khususnya konsumsi makanan kecil yang dilakukan

33

Page 34: BAB I

antara jam-jam makan (waktu senggang).

Penggunaan Fluor

Penggunaan fluor merupakan metode yang paling efektif untuk

menghambat kehidupan bakteri yang ada pada plak dalam mulut sehingga

dapat mencegah terjadinya karies gigi. Penggunaan fluor dapat diberikan

dalam bentuk fluoridasi air minum, fluoridasi garam dapur, fluoridasi air susu,

tablet hisap fluor, pasta gigi dan larutan fluor untuk berkumur (Tarigan, 1995).

34

Page 35: BAB I

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Di Teliti

Umumnya, keadaan kebersihan mulut anak lebih buruk dan anak lebih

banyak makan makanan dan minuman yang menyebabkan gigi berlubang

disbanding orang dewasa. Apalagi sekarang ini sangat susah membedakan jenis

makanan yang baik untuk dikonsumsi mengingat banyak jenis makanan yang

dijual dipasaran yang sudah tidak layak dikonsumsi. Sehingga sangat perlu

diperhatikan jenis makanan yang biasa dikonsumsi anak-anak untuk menghindari

terjadinya gigi berlubang.

Menyikat gigi juga merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam

rangka tindakan pencegahan gigi berlubang. Walaupun kegiatan menyikat gigi

merupakan kegiatan yang sudah umum, namun masih ada kekeliruan baik dalam

pengertianya maupun dalam pelaksanaanya (Houwink,2000).

Menyikat gigi adalah upaya melakukan pembersihan gigi untuk

menghilangkan plak yang menempel pada gigi. Melakukan penyikatan gigi yang

baik adalah dengan frekuensi dan waktu yang sesuai yang disarankan Manson

(1995) yaitu dua kali, pagi hari sesudah makan dan pada malam hari sebelum

tidur atau yang disaramkan Be Kien Nio (1982) yaitu tiga kali sehari setiap kali

setelah makan dan malam sebelum tidur (Chemiawan, 2004).

35

Page 36: BAB I

Pengetahuan orang tua dalam merawat kesehatan gigi anaknya pula

sangat berpengaruh terhadap timbulnya kerusakan gigi pada anak-anak mereka.

Karena anak usia antara 6-12 tahun atau anak usia Sekolah Dasar masih sangat

membutuhkan bimbingan dari orang tuanya terutama bimbingan ibu.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan atau

kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (Notoatmodjo, 1993).

Sikap yang positif akan cenderung membawah masyarakat untuk

bertindak dalam mencegah gigi berlubang. Hal ini didukung oleh (Koswara,

2009) menyatakan bahwa buruknya kebiasaan dan sikap masyrakat salah satu

faktor pendukung penyebaran malaria.

Sikap merupakan bentuk operasional dari perilaku yaitu tanggapan batin

terhadap stimulus dari luar subjek. Sikap dapat diartikan sebagai derajat atau

tingkat kesesuaian seseorang terhadap objek tertentu.

36

Page 37: BAB I

B. Kerangka Konsep

37

Page 38: BAB I

C. Variabel Penelitian

1. variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang nilainya

menentukan variabel lain. (Nursalam, 2008). Variabel bebas dalam penelitian

ini adalah pengetahuan, sikap, kebiasaan menyikat gigi, dan kebiasaan

makan.

2. variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang nilainya ditentukan

oleh variabel lain. (Nursalam, 2008). Variabel terikat dalam penelitian ini

adalah gigi berlubang.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Gigi berlubang yang di maksud dalam penelitian ini adalah adanya lubang

pada gigi yang di sebabkan oleh pembentukan asam microbial dari makanan

yang tersisia di gigi dan menimbulkan destruksi komponen organik.

Kriteria Objektif :

Berlubang : apabila responden memiliki gigi berlubang

Tidak Berlubang : apabila responden tidak memiliki gigi berlubang

2. Pengetahuan yang di maksud dalam penenlitian ini adalah pengetahuan anak

mengenai kebersihan gigi, memberikan jawaban satu item, menggunakan

skala Gudman yaitu bila jawaban “benar” bernilai 1, sedangkan jawaban

“salah” bernilai 0

Skor tingginya : 20 x 1 = 20 (100%)

38

Page 39: BAB I

Skor terendah: 20 x 0 = 0 (0%)

Kemudian diukur menggunakan rumus Sudjana (2008)

I= RK

Dimana :

I = interval

R = Range (Kisaran yaitu nilai tertinggi – nilai terendah) = (100% - 0%) = 100%

K = Jumlah Kategori = 2 (baik, kurang)

I=100%2

I = 50%

Kriteria objektif ( sugiyono, 2010)

Baik : apabila jawaban responden > 50 %

Kurang : apabila jawaban responden ≤ 50 %

3. Sikap yang di maksud dalam penelitian ini adalah tanggapan anak mengenai

pentingnya akan kebersihan gigi. Skala pengukuran menggunakan likert

dengan 5 kategori:

Kategori :

a. Sangat tidak setuju : 1

b. Tidak setuju : 2

c. Ragu-ragu : 3

d. Setuju : 4

e. Sangat setuju : 5

39

Page 40: BAB I

Skor tertinggi20 x 5 = 100 (100%)

Skor terendah 20 x 1 = 20 (20%)

Range = 100 – 20 = 80%

I= RK

I=80%2 = 40%

Interval kelas + skor terendah = 40% + 20% = 60%

Kriteria objektif (Sugiyono, 2010)

Baik = apabila jawaban responden > 60%

Kurang = apabila jawaban responden ≤ 60%

4. Kebiasaan menyikat gigi yang di maksud dalam penenlitian ini adalah upaya

seorang anak untuk membersihkn gigi sesudah makan dan sebelum tidur

Kriteria objektif :

Cukup : apabila responden selalu menyikat gigi setelah makan dan

sebelum tidur

Kurang : apabila responden tidak sering menyikat gigi setelah makan

dan sebelum tidur

5. Kebiasaan makan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah makanan yang

mudah melengket dan melekat.

40

Page 41: BAB I

Kriteria objektif :

Sering : apabila responden sering mengkonsumsi makanan yang

manis.

Kadang-kadang : apabila responden tidak sering mengkonsumsi makanan

yang manis.

E. Hipotesis

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan pengetahuan anak dengan kejadian gigi berlubang

pada anak di SDN 8 Bonegunu Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton

Utara

b. Ada hubungan sikap anak dengan kejadian gigi berlubang pada

anak di SDN 8 Bonegunu Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton

Utara

c. Ada hubungan kebiasaan menyikat gigi dengan kejadian gigi

berlubang pada anak di SDN 8 Bonegunu Kecamatan Boneg unu

Kabupaten Buton Utara

d. Ada hubungan kebiasaan makan dengan kejadian gigi berlubang

pada anak di SDN 8 Bonegunu Kecamatan Bonegunu Kabupaten

Buton Utara

2. Hipotesis Nol (Ho)

a. Tidak ada hubungan pengetahuan anak dengan kejadian gigi

berlubang pada anak di SDN 8 Bonegunu Kecamatan Bonegunu

Kabupaten Buton Utara

41

Page 42: BAB I

b. Tidak ada hubungan sikap anak dengan kejadian gigi berlubang pada

anak di SDN 8 Bonegunu Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton

Utara

c. Tidak ada hubungan kebiasaan menyikat gigi dengan kejadian gigi

berlubang pada ana, di SDN 8 Bonegunu Kecamatan Bonegunu

Kabupaten Buton Utara

d. Tidak ada hubungan kebiasaan makan dengan kejadian gigi berlubang

pada anak di SDN 8 Bonegunu Kecamatan Bonegunu Kabupaten

Buton Utara.

42

Page 43: BAB I

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Dan Rancangan Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan

proseksional studi yang digunakan untuk mengetahui ’Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Gigi Berlubang Pada Anak SDN 08 Bonegunu

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

B. Tempat

Pelaksanaan penelitian ini direncanakan di SDN 8 Bonegunu

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara tahun 2013. Pemilihan lokasi ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa berdasarkan observasi terdapat

beberapa masalah yang terkait dengan factor-faktor yang mempengaruhi gigi

berlubang pada anak SD 8 Bonegunu.

C. Waktu

Pelaksanaan penelitian ini akan dilaksankan pada bulan April - Mei

2013.

D. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini semua anak sekolah yang sedang menempuh

pendidikan dibangku kelas V SDN 8 Bonegunu yang berjumlah 34 orang.

43

Page 44: BAB I

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi atau mewakili populasi. Dalam

penelitian ini digunakan : total sampling sebagai tehnik pengambilan

sampel. Total sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan sesuai

dengan jumlah yang diteliti yaitu sebanyak 34 orang.

Penentuan sampel dalam penelitian ini di gunakan teknik accidental

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD yang mengalami

masalah pada kebersihan giginya.

sampling dimana sampel di ambil pada saat penelitian sedang berlangsung

dengan waktu tertentu dan dengan kriteria sampel :

E. Instrumen Penelitin

Dalam penelitian ini alat yang digunakan untuk mengumpulkan data

yaitu lembar pertanyaan berupa kuesioner pada anak SD 8 Bonegunu.

F. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Diperoleh melalui kunjungan langsung ke Sekolah Dasar 8 Bonegunu

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013 dengan

menggunakan lembar Kuesioner.

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Puskesmas Bonegunu

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara yang meliputi data jumlah

kasus gigi berlubang dari tahun 2009-2011.

44

Page 45: BAB I

G. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan dari responden kemudian akan diolah dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

Pengeditan, yaitu kegiatan pengoreksian data dari responden pada

kuesioner yang telah diisi oleh reponden.

Pengkodean, yaitu mengklarifikasikan jawaban responden menurut

jenisnya dan membubuhkan kode pada jawaban tersebut.

Tabulasi, yaitu menyusun data dalam bentuk table distribusi

frekuensi.

H. Teknik Analisa Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah analisi univariat dan analisis bivariate

dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

1. Analisis Univariat

Penelitian analisis univariat adalah analisa yang dilakukan menganalisis

tiap variabel dari hasil penelitian. Analisa univariat berfungsi untuk meringkas

kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data

tersebut berubah menjadi informasi yang berguna. peringkasan tersebut dapat

berupa ukuran statistik, tabel, grafik. (Notoatmodjo, 2002). Pada analisis

univariat digunakan rumus:

45

Page 46: BAB I

Keterangan:

X : Jumlah presentase variabel yang diteliti

f : frekuensi kriteria variabel yang diteliti.

n : Jumlah seluruh observasi (Budiarto, 2002: 37)

2. Analisis Bivariat

Analisa data bivariat adalah analisa yang dilakukan lebih dari dua

variabel. Analisa bivariat berfungsi untuk mengetahui hubungan atau

pengaruh antara dua variabel dengan menggunakan uji statistik Chi-

Square. (Notoadmodjo, 2002). Dalam analisi bivariat digunakan rumus:

X2=∑❑

(s (0−E) ²E )

Keterangan:

O : Nilai observasi

E : Nilai harapan

Nilai kemaknaan untuk melihat pengaruh antara variable independent

terhadap variable dependent ditentukan dengan membandingkan uji Chi-

Square (X2 hit) dan X2

tabel pada a = 0,05 dengan batasan limit sebagai

berikut:

a. Jika X2hit > X2

tabei, maka ada pengaruh antara variable independent

terhadap variable dependent.

b. Jika X2hu < X2tabe!, maka tidak ada pengaruh antara variable independent

terhadap variable dependent.

I. Analisi univariat

46

Page 47: BAB I

Analisi ini digunakan untuk mendeskripsikan variable dependen yaitu

kejadian gigi berlubang dan variable independen yaitu pengetahuan,sikap,

menyikat gigi da jenis makanan.

Analisis data yang dilakukan secara manual kemudian halnya disajikan dalam

bentuk table frekuensi disertai penjelasan-penjelasan. Sedangkan dalam

pengolahan data digunakan rumus :

P = pn

x 100%

Keterangan :

f = frekuensi yang sedang dicari presentasenya

N= number of cases ( jumlah frekuensi/banyaknya individu)

P = angka presentase (sudijono 2008)

J. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mencari/melihat hubungan antara dua

variable penenlitian yaitu variable bebas dan variable terikat. Untuk melihat

hubungan antara variable dependen dan independen digunakan uji statistic

Chi Square pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) sebagai berikut (Handoko

Riwidiko)

Dengan rumus :

χ2=∑¿¿

Keterangan :

X2 = Nilai Chi Square

0 = Observed

E = Expected ( nilai harapan)

47

Page 48: BAB I

Interpretasi : Ho ditolak bila X2 hitung table pada α= 0,05 selanjutnya

dilakukan uji koefisien kontingensi ( contingency coeficien ), untuk mengukur

keeratan hubungan antara dua variable digunakan rumus sebagai berikut :

Uji coefisien contingency (C) dengan menggunakan koefisien φ(Phi).

Koefisien α (Phi) digunakan untuk mengetahui kuatnya hubungan jika

hasil uji Chi Square (X2) untuk table kontingensi 2x2 bermakna menggunakan

rumus sebagai berikut ( Handoko Riwidiko , 2008 ) :

C = √χ 2

χ 2+N

Keterangan :

C = nilai koefisien kontingensi

χ2= Nilai Chi Square

N = Populasi

Besarnya nilai koefisien berada diantara 0 sampai dengan 1, dengan kriteria

a. 0,01 – 0,25 : hubungan lemah

b. 0,26 - 0,50 : hubungan sedang

c. 0,51 - 0,75 : hubungan kuat

d. 0,76 – 1,00 : hubungan sangat kuat

48