51
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya melibatkan tenaga medis maupun non medis termasuk masyarakat awam. Pada pertolongan pertama yang cepat dan tepat akan menyebabkan pasien/korban dapat tetap bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut. Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita yang memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang mengancam nyawa, sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat, tepat, cermat untuk mencegah kematian maupun kecacatan. Untuk memudahkan dalam pemberian pertolongan korban harus diklasifikasikan termasuk dalam kasus gawat darurat, darurat tidak gawat, tidak gawat tidak darurat dan meninggal. 1

BAB I

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya melibatkan tenaga medis maupun non medis termasuk masyarakat awam. Pada pertolongan pertama yang cepat dan tepat akan menyebabkan pasien/korban dapat tetap bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut.

Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita yang memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang mengancam nyawa, sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat, tepat, cermat untuk mencegah kematian maupun kecacatan. Untuk memudahkan dalam pemberian pertolongan korban harus diklasifikasikan termasuk dalam kasus gawat darurat, darurat tidak gawat, tidak gawat tidak darurat dan meninggal.

BAB II

1

Page 2: BAB I

KASUS EMERGENSI

2.1 Trauma kepala (cavitis)A. Definisi

Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang mengenai kepala dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis (Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004)

B. Etiologi Trauma tajam : trauma terjadi akibat perlukaan benda tajam dan hanya terbatas

pada daerah perlukaan Cedera kontak bentur : merupakan akibat dari tenaga benturan yang mengenai

kepala dan sama sekali tidak berkaitan dengan guncangan akselerasi deselerasi Cedera akselerasi-deselerasi : guncangan pada kepala baik oleh benturan ataupun

bukan yang menyebabkan gerakan yang cepat dari kepalaC. Mekanisme

Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala kepala. Pada trauma kepala terjadi akselerasi (gerakan yang cepat dan mendadak yang terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam) dan deselerasi (penghentian akselerasi secara mendadak yaitu jika kepala membentur benda yang tidak bergerak). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi dua kejadian yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak (kup) dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak primer (kontra kup).

Apabila akselerasi disebabkan oleh pukulan pada oksiput, maka pada tempat di bawah tampak terdapat tekanan positif akibat identasi ditambah tekanan positif yang dihasilkan oleh akselerasi tengkorak ke arah dampak dan penggeseran otak ke arah yang berlawanan. Di seberang tempat terdapat tekanan negatif akibat akselerasi kepala yang ketika itu juga akan ditiadakan oleh tekanan yang positif yang diakibatkan oleh pergeseran seluruh otak.

Maka pada trauma kepala dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah berdampak cukup besar untuk bisa menimbulkan lesi. Lesi tersebut bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil tanpa kerusakan pada duramater (lesi kontusio). Jika lesi terjadi di bawah dampak disebut lesi kontusio “kup” dan jika terjadi di seberang dampak disebut lesi kontusio “kontra kup”. Sehingga dari sana bisa timbul gejala-gejala deficit neurologist berupa reflek babinski yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran “organic brain syndrom” dan berdampak juga pada autoregulasi pembuluh darah serebral, sehingga terdapat vasoparalisis.

Akselerasi dan penggeseran otak yang terjadi bersifat linear dan bahkan akselerasi yang sering kalidiakibatkan oleh trauma kepala disebut akselerasi rotarik. Pergeseran otak pada akselerasi dan deselerasi linear dan rotarik bisa menarik dan memutuskan vena-

2

Page 3: BAB I

vena yang menjembatani selaput arakhnoida dan dura sehingga timbul perdarahan subdural. Vena-vena tersebut “Bridging Veins”.

D. Patofisiologi

E. Manifestasi klinisCedera kepala ringan Cedera kepala sedang Cedera kepala berat

Tidak kehilangan kesadaran

Satu kali atau tidak ada muntah

Stabil dan sadar Dapat mengalami luka

lecet atau laserasi di kulit kepala

Pemeriksaan lainnya normal

Kehilangan kesadaran singkat saat kejadian

Saat ini sadar atau berespon terhadap suara. Mungkin mengantuk

Dua atau lebih episode muntah

Sakit kepala persisten Kejang singkat

(<2menit) satu kali segera setelah trauma

Mungkin mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala

Kehilangan kesadaran dalam waktu lama

Status kesadaran menurun – responsif hanya terhadap nyeri atau tidak responsive

Terdapat kebocoran LCS dari hidung atau telinga

Tanda-tanda neurologis lokal (pupil yang tidak sana, kelemahan sesisi)

Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial:- Herniasi unkus: dilatasi pupil ipsilateral akibat

3

Page 4: BAB I

Pemeriksaan lainnya normal

kompresi nervus okulomotor- Herniasi sentral: kompresi batang otak menyebabkan bradikardi dan hipertensi

Trauma kepala yang berpenetrasi

Kejang (selain Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma)

F. DiagnosisDiagnosis dapat ditegakkan berdasarkan temuan keadaan anatomi serta penilaian gejala klinis

G. Pemeriksaan fisikE mergensi ABC AIRWAY (Menjaga kelancaran jalan nafas)

Tanda obyektif dapat diketahui dengan tiga pengamatan look,  listen and feel. Look berarti melihat adanya gerakan pengembangan dada dan listen adalah mendengarkan suara pernafasan. Seringkali suara mengorok dan bunyi gurgling (bunyi cairan) menandakan adanya hambatan jalan nafas. Sedangkan feel adalah merasakan adanya hembusan udara saat klien melakukan ekspirasi yang bisa kita rasakan pasa pipi maupun punggung tangan penolong.BREATHING (Menjaga/membantu bernafas)

Bila airway sudah baik belum tentu pernafasan akan baik, sehingga perlu selalu dilakukan pemeriksaan apakah pernafasan penderita sudah adekuat atau belum. Perubahan pernafasan dapat kita lihat dari pengamatan frekwensi pernafasan normalnya pada orang dewasa frekwensi pernafasan per menit adalah 12 – 20 kali permenit sedangkan anak 15 – 30 kali per menit.CIRCULATIONS (Memertahankan sirkuilasi dan kontrol perdarahan).

Seringkali pasien dengan trauma juga mengalami perdarahan. Hall yang harus dilakukan adalah bagaimana agar perdarahan bisa segera dihentikan. Beberapa perdahahan kecil dan perdarahan vena mungkin lebih mudah diatasi, sedangkan perdarahan arteri biasanya sulit diatasi dan dapat segera menyebabkan syock sirkulasi.GLASGOW COMA SCALE

4

Page 5: BAB I

Dengan interpretasi Mild head injury 13-15Moderate head injury 9-12Severe head injury <8

Pada fraktur basis kranii pada pemeriksaan fisik didapatkan beberapa tanda :1. Ekimosis periorbital (raccon eyes)2. Ekimosis retro auriculer (bettle sign)3. Kebocoran CSS (rinorrhea, otorrehea)4. Paralisis N.VII

H. Pemeriksaan penunjangCT scanPemeriksaan ct scan kepala dilakukan pada hampir semua pasien trauma atau defisit neurologi yang baru di ruang gawat darurat. Tujuan pemeriksaan ct scan pada kondisi gawat darurat adalah untuk menentukan keadaan yang terjadi intrakranialIndikasi : CT scan dilakukan pada setiap pasien dengan keadaan berikut :

1. Pasien dengan risiko sedang atau berat, termasuk GCS < 14 yang tidak responsif 2. Terdapat defisit neurologis fokal3. Terdapat amnesia4. Perubahan status mental dan penurunan status neurologi5. Nyeri kepala hebat6. Perlukaan kranio serebral7. Riwayat muntah

I. TerapiMedikamentosa Terapi medikamentosa ditujukan untuk peningkatan tekanan intrakranial

1. Meninggikan posisi kepala tempat tidur 30-45 drajat2. Memberikan sedasi ringan berupa kodein 30-60 mg IM setiap 4 jam atau

loranzepam 1-2mg IV setiap 4-6 jam jika perlu3. Mencegah hipotensi dengan meningkatkan volume intravaskuler4. Mencegah hiperglikemia5. Mengintubasi pasien dengan GCS < 8 atau dengan distres pernafasan

5

Page 6: BAB I

6. Mencegah hiperventilasi7. Drainase cairan serbrospinal8. Osmotik manitol 0,25-1 gram /kg bolus (>20 menit) dilanjutkan dengan 0,25

gram/kg setiap 6 jam jika tekanan intrakranial > 20 mmhg. Sebagai pengganti manitol dapat diberikan furosemid 10-20 mg setiap 4 jam atau 1 mg/kgbb untuk anak jika perlu.

9. Pemberian deksametason atau triamnisolon terdiri dari dosis pertama 10 mg IV setiap 4 jam hari kedua setiap 6 jam hari ketiga setiap 12 jam hari keempat setiap 24 jam dan hari kelima 5 mg setiap 24 jam disusul oral 5mg perhari

InvasifKriteria sederhana sebagai patokan indikasi operasi adalah :

1. Lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah yang mmelebihi 5mm

2. Lesi massa ekstra aksial yang tebalnya melebihi 5 mm tabula interna tengkorak dan berkaitan dengan pereseran arteri serebri anterior atau media

3. Lesi massa ekstra aksial bilateral melebihi 5mm 4. Lessi massa intra aksial lobus temporalis menyebabkan elevasi hebat dari arteri

serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.2.2 Trauma thoraxPada cedera thorax kita diwajibkan mengenal 2 hal :

1. Kelainan-kelainan yang mematikan cepat (mengancam jiwa); yang dapat diketahui melalui pemeriksaan primer yang harus dilakukan cepat, tidak perlu pemeriksaan penunjang, tidak perlu mencari kausa, dengan prinsip look, listen dan feel. Diagnosa berupa diagnosa kelainan fungsional, terapi bersifat resusitasi,re-evaluasi dan life saving

2. Kelainan-kelainan yang berpotensi menimbulkan kematian; yang pemeriksaannya dapat dilakukan dengan teliti, tidak perlu terburu-buru, dan dapat menggunakan pemeriksaan penunjang. Diagnosa berupa diagnosa kelainan organik. Terapi bersifat definitif.

Yang termasuk di dalam diagnosa kelainan fungsional adalah:A. GANGGUAN AIRWAY

Berupa obstruksi jalan nafas Disebabkan oleh adanya sumbatan dari dalam atau luar diri pasien. Misal: gigi

palsu, lidah, muntahan Diagnosis:

- Pasien tidak menjawab saat dipanggil- Sesak nafas, sianosis- Gerakan nafas tidak normal, retraksi dinding dada

Terapi - Heimlich maneuver- Suction (jika cair) / bronchoscopy (jika padat)- ET (Endotracheal Tube)- Cricothyroidectomy / traceostomy

6

Page 7: BAB I

B. GANGGUAN BREATHING1. Open Pneumothorax

o Adalah adanya hubungan langsung antara cavum thorax dengan

lingkungan luar karena dinding dada berlubango Penyebabnya bias akibat tusukan celurit, terkena ledakan, atau jatuh

tertusuk pagar. Pada luka tembak biasanya malah tidak terdapat lubang di dinding dada karena luka cenderung menutup lagi setelah dilalui peluru.

o Pada open pneumothorax, mediastinum bergerak dari kiri ke kanan dan

sebaliknya (gerak bandul), pada inspirasi udara masuk melalui luka dan menggeser mediastinum ke sisi yang sehat karena tekanan inspirasi tidak seimbang di kanan dn kiri, pada ekspirasi udara keluar dari luka, mediastinum pindah ke sisi yang luka.

o Diagnosis:

Look: tampak luka dada > 2/3 trakea Listen: sucking chest wound (bunyi seperti siulan / peluit akibat udara yang keluar-masuk lubang), perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler menghilang.Feel: aliran udara pada luka, ketinggian gerak

o Terapi: menutup lubang dengan kasa, sapu tangan, atau tangan, dibuat

simple pneumothorax2. Tension Pneumothorax

o Merupakan pneumothorax dengan tension (udara dapat masuk ke cavum

thorax tapi tidak dapat keluar lagi sehingga tekanan meningkat). Jadi harus ditegakkan dulu adanya pneumothorax

o Disebut tension pneumothorax bila sudah mendesak mediastinum,

sehingga dapat mendesal limfe, vena (JVP meningkat), arteri, dan akhirnya jantung.

o Terjadi bendungan venous return turun cardiac output turun shock

obstruksio Diagnosis:

Look: ada ketinggalan gerak (paling baik dilihat dari cranial pasien), sesak nafas progresif hiperventilasi, gelisah (karena hipoksia), JVP naikListen (auskultasi): vesikuler nyaris tak terdengarFeel: perkusi hipersonor, dapat terjadi emfisema subkutis

o Terapi:

Bila disebabkan karena lubang di dinding dada (open pneumothorax), tutup lubang dengan kasa yang diplester di ketiga sisinya, sisi yang satu biarkan terbuka. Sehingga seperti katup

7

Page 8: BAB I

dimana udara tidak bisa masuk ke rongga pleura saat inspirasi tapi bisa keluar saat ekspirasiBila close pneumothorax, tusuk dengan jarum besar di ICS 2 untuk dekompresiWSD (Water Seal Drainage) untuk menghilangkan pneumothorax nyaBila terdapat emfisema subkutis lakukan tusukan jarum multiple di tempat yang emfisema

3. Flail chesto Adalah keadaan dimana terdapat lebih dari satu iga yang patah (multiple

fracture) dan iga yang patah lebih dari satu titik (segmental) maka terdapat suatu area yang dapat terlepas dari rangka thorax

o Saat inspirasi, bagian tadi tidak ikut mengembang, malah tertarik ke dalam

(karena adanya tekanan negatif dalam thorax), akibatnya volume di sisi yang sakit menjadi lebih kecil dan tekanannya meningkat sehingga mendorong udara dari sisi tersebut (banyak CO2) menuju pulmo yang sehat

o Saat ekspirasi, bagian tadi akan menonjol / terdorong keluar dan akan

memperbesar volume rongga dada di sisi tersebut, akibatnya tekanan di sana lebih kecil sehingga udara ekspirasi (banyak CO2) yang seharusnya keluar malah masuk ke pulmo di sisi yang sakit. Singkatnya, terjadi fenomena respirasi “rebreathing”, yaitu aliran bolak-balik udara yang tidak mengandung O2 dari pulmo sehat ke pulmo di sisi yang sakit.

o Diagnosis:

Asfiksia traumaticGerakan costa yang tampak berlawanan dengan gerakan respirasi normal (gerakan paradoksal)

o Terapi:

Stabilkan area yang mengalami separasi, memasang plester, atau memiringkan pasien dengan bagian yang patah di bawahHilangkan nyeri, bisa dengan diposisikan miring, kalau perlu anestesi local lidokainDrainase dengan WSD, baik untuk pneumothorax maupun hematothorax yang mungkin terjadiBerikan O2 dan ventilator. Diindikasikan bila pCO2 naik sedangkan pO2 turun; dengan oksimetri terukur < 95Foto rontgen, untuk melihat adanya kontusi pulmo

C. GANGGUAN SIRKULASI1. Massive hematothorax

8

Page 9: BAB I

o Adalah terkumpulnya darah di cavum thorax karena diskontinuitas

pembuluh darah di sekitar cavum pleurao Pengertian hemtothorax massif:

Darah di cavum pleura> 1500 cc (> 200 ml / jam selama 4 jam)Dalam waktu singkat

o Disebabkan major bleeding (cedera pembuluh darah besar), berarti:

Perdarahan tidak bisa dihentikan sendiri oleh tubuhButuh tindakan ahliSebagai dokter umum lakukan resusitasi cairan dn hentikan perdarahan bila mungkin

o Hematothorax < 750 cc masih bisa dikompensasi

Hematothorax 750-1500 cc ada gejala shockHematothorax 1500-2000 cc gejala shock beratHematothorax > 2000 cc dead

o Diagnosis:

Look: ketinggalan gerak (+) Listen: vesikuler turunFeel: perkusi redup di bagian basal, karena darah mencari tempat yang paling rendahRontgen: sudut costophrenicus menghilang. Bila pada foto rontgen tampak putih semua / gambaran pulmo hilang perdarahan masif (> 800 mg)

o DD:

Semua kelainan yang menyebabkan perdarahan dari sumber nontrauma di rongga dadaEfusi pleuraEmpyema pleuraAtelectasis

o Manajemen:

Mengehentikan perdarahan dengan thoracotomy, sebelumnya lakukan drainase dengan memasang WSD pada ICS 5 LMA (daerah yang dibatasi oleh margo lateral m.pectoralis, margo lateral latissimus dorsi dan garis yang menghubungkan keduanya)Resusitasi cairan, sebaiknya buka dua jalur

2. Tamponade cordiso Adalah terkumpulnya darah dalam cavum pericardium (> 500 cc) akibat

cedera pada jantung maupun pericardiumo Diagnosis: Trias Beck :

9

Page 10: BAB I

Suara jantung menghilang / melemah / menjauh (muffle heart sound)Tekanan vena meningkat (JVP meningkat), karena atrium sulit berdilatasiTekanan nadi / arteri turun, karena cardiac output berkurangRontgen: gambaran pinggang jantung menghilang double layerHampir sama dengan tension pneumothorax, bedanya: pada tension pneumothorax suara nafas menghilang, pada tamponade cordis normal

o Terapi: Pericardiocentesis, caranya dengan menusukkan jarum dibawah

processus xiphoideus kea rah angulus inferior scapularis kiriYang termasuk dalam diagnosa kelainan organic adalah:

A. Cedera tracheobronchial Adalah cedera bronchus sebelum hilus atau pada trachea. Gejala mirip

pneumothorax, tapi setelah dilakukan drainase pulmo tidak segera mengambang Diagnosis: endoscopy / bronchoscopy Terapi: menjahit bagian yang bocor

B. Kontusio pulmo Disebabkan oleh trauma thorax yang diakibatkan oleh energy yang besar Diagnosis:

Klinis: tidak khas, tapi dapat dicurigai kontusi pulmo jika ada hemoptysisRontgen: opasitas yang tidak homogen (densitas meninggi, seperti pada pneumonia atau aspirasi)

2.3 Trauma abdomenKasus-kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan bisa disebabkan karena trauma dan non trauma. Untuk kasus kegawatdaruratan system cerna ini biasa disebut dengan akut abdomen.

Definisi dari akut abdomen sendiri adalah suatu keadaan klinik akibat kegawatan di rongga abdomen biasanya timbul secara mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama yang memerlukan penanganan segera. Hal ini bisa disebabkan karena pertama adanya inflamasi/peradangan pada appendiks secara akut atau sudah terjadi perforasi apendiks, tukak lambung, usus tifus, pankreatitis akut, kolesistitis akut. Kedua adanya ileus obstruksi baik disebabkan karena adanya hernia inkarserata maupun karena adanya volvulus usus. Ketiga karena adanya iskemia yang disebabkan karena adanya kelainan atau penyumbatan vaskuler. Keempat adanya perdarahan bisa disebabkan karena adanya kehamilan ektopik, atau aneurisma yang pecah, Kelima karena adanya cedera/trauma dimana terjadi perforasi organ berongga, perdarahan hati atau limpa. Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma abdomen yaitu trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang menyebabkan timbulnya gangguan/kerusakan pada organ yang ada di dalamnya. Jenis trauma abdomen ada trauma tumpul dan trauma tembus. Pada trauma tembus resiko terjadinya kerusakan organ lebih sedikit

10

Page 11: BAB I

daripada trauma tumpul tetapi pada trauma tembus dapat mengenai tulang belakang dan organ yang berada di retroperitoneal.Pengkajian Klien Dengan Trauma AbdomenPada pengkajian biasanya ditemukan nyeri sehingga perlu ditelaah bagaimana permulaan nyeri ini timbul secara mendadak atau beransur-angsur, area nyerinya (menetap, beralih/pindah, difus/menyebar), kualitas dari nyerinya (ditusuk, tekanan, terbakar, irisan atau bersifat kholik), perubahan nyeri ketika baru pertama timbul dengan sekarang dibandingkan, lamanya dan factor yang mempengaruhi untuk memperingan atau memperberat seperti sikatp tubuh, makan, minum, nafas dalam, batuk, bersin, perubahan suara, hearthburn, muntah, konstipasi, diare, dan siklusmenstruasi.

Kolik itu sendiri merupakan nyeri yang sangat, disertai dengan muntah dan distensi yang makin lama makin membesar tetapi tanpa disertai defans muscular yang jelas hal ini bisa disebabkan oleh obstruksi usus halus (sering menimbulkan kolik dengan muntah hebat, distensi abdomen, dan biasanya bising usus meningkat), organ urologi (kolik ureter), kolik empedu, pankreatitis akut, trombosis pada vena messentrika. Sedangkan pada perforasi tukak peptic khas ditandai dengan perangsangan peritoneum yang dimulai dari epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum hal ini diakibatkan karena peritonitis generalisata seperti hal nya pada perforasi ileum.

Untuk pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru palpasi. Untuk inspeksi lihat mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah, tanda-tanda vital, sikap berbaring, gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, daerah lipat paha (inguinal, skrotum bila terdapat hernia biasanya ditemukan benjolan).

Pada trauma abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis. Echimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di intra abdomen. Terdapat Echimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut ‘Cullen’s Sign’ sedangkan echimosis yang ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai ‘Turner’s Sign’. Terkadang ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar seperti usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus/tajam.

Untuk auskultasi selain suara bising usus yang diperiksa di ke empat kuadran dimana adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus.,juga perlu didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis.

Perkusi untuk melihat apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi tinju dengan meletakkan tangan kiri pada sisi dinding thoraks pertengahan antara spina iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga terjadi getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda adanya radang/abses di ruang subfrenik antara hati dan diafraghma. Selain itu bias ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi bila ditemukan Balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul kanan ketika klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya rupture limpa. Sedangkan bila bunyi resonanlebih keras pada hati menandakan adanya udara bebas yang masuk.

11

Page 12: BAB I

Untuk teknik palpasi identifikasi kelembutan, kekakuan dan spasme hal ini dimungkinkan diakibatkan karena adanya massa atau akumulasi darah ataupun cairan. biasanya ditemukan defans muscular, nyeri tekan, nyeri lepas. Rectal tusi (colok dubur) dilakukan pada obstrusi usus dengan disertai paralysis akan ditemukan ampula melebar. Pada obstruksi kolaps karena tidak terdapat gas di usus besar. Pada laki-laki terdapat prostate letak tinggi menandakan patah panggul yang sginifikan dan disertai perdarahan.Biasa juga pada klien dilakukan uji psoas dimana klien diminta mengangkat tungkai dengan lutut ekstensi dan pemeriksa memberi tekanan melawan gerak tungkai sehingga muskulus iliopsoas dipaksa berkontrasi. Jika terasa nyeri di bagian belakang dalam perut artinya sedang terjadi proses radang akut/abses di abdomen yang tertekan saat otot iliopsoas menebal karena kontraksi. Uji ini biasanya positif pada klien dengan appendiksitis akut.

Selain uji psoas, ada uji obturator dimana tungkai penderita diputar dengan arah endorotasi dan eksorotasi pada posisi menekuk 90 derajat di lutut atau lipat paha. Jika klien merasa nyeri maka menandakan adanya radang di muskulus obturatorius.

Untuk ketepatan diagnosa perlu adanya pemeriksaan-pemeriksaan penunjang seperti hematologi (Hb, Leukosit, Hematokrit, PT,APTT), radiologi (BNO/foto polos abdomen, servikal lateral, thoraks anteroposterior/AP dan pelvis) Diagnostic Peritoneal Lavage/DPL, USG, CT

Gejala/tanda dari trauma abdomen sangat tergantung dari organ mana yang terkena, bila yang terkena organ-organ solid (hati dan lien) maka akan tampak gejala perdarahan secara umum seperti pucat, anemis bahkan sampai dengan tanda-tanda syok hemoragic. Gejala perdarahan di intra peritoneal akan ditemukan klien mengeluh nyeri dari mulai nyeri ringan sampai dengan nyeri hebat, nyeri tekan dan kadang nyeri lepas, defans muskular (kaku otot), bising usus menurun, dan pada klien yang kurus akan tampak perut membesar, dari hasil perkusi ditemukan bunyi pekak. Bila yang terkena organ berlumen gejala yang mungkin timbul adalah peritonitis

12

Page 13: BAB I

yang dapat berlangsung cepat bila organ yang terkena gaster tetapi gejala peritonitis akan timbul lambat bila usus halus dan kolon yang terkena. Klien mengeluh nyeri pada seluruh kuadran abdomen, bising usus menurun, kaku otot (defans muskular), nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok. Trauma abdomen juga biasanya merupakan kasus yang paling sering dijumpai dengan multiple trauma, yang melibatkan trauma thoraks dimana biasanya ditemukan robekan tumpul di setiap bagian diafragma, tetapi hemidafragma kiri lebih sering cedera. Cedera yang paling sering terjadi adalah robekan sepanjang 5 – 10 cm dan meliputi hemidiaframa kiri posterolateral. Pada saat pertama klai dilakukan rontgen thoraks, maka yang mungkin nampak adalah terangkatnya atau blurring/kaburnya hemidiafragma, hemotroaks, bayangan gas abnormal yang menyembunyikan himidiafragma atau pipa gastrik (NGT) yang tampak terletak di dada. Pada trauma ginjal biasanya ada hematuri, nyeri pada costa vertebra, dan pada inspeksi biasanya jejas (+). Pada kasus trauma abdomen ini yang paling mendapat prioritas tindakan adalah bila terjadi perdarahan di intra abdomen (yang terkena organ solid).Masalah Yang Muncul Pada Klien Dengan Trauma AbdomenMasalah yang sering timbul pada trauma abdomen adalah:

1) Syok hipovolemik2) Gangguan rasa nyaman;nyeri3) Gangguan rasa aman ; cemas4) Gangguan pemenuhan nutrisi5) Perubahan pola eliminasi bab/bak6) Resiko penyebaran infeksi7) Bila disertai dengan adanya robekan pada diafragma maka masalah keperawatan yang

muncul disertai dengan gangguan oksigenasi.Tindakan Pada Trauma AbdomenPenanganan dari keadaan klien dengan trauma abdomen sebenarnya sama dengan prinsip penanganan kegawatdaruratan, dimana yang pertama perlu dilakukan primary survey. Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma pada penderita yang terluka parah terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan primary survery yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABC –nya trauma dan berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut:

A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervikal spine control)B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi control (ventilation control)C: Circulation dengan control perdarahan (bleeding control)D: Disability : status neurologis (tingkat kesadaran/GCS, Respon Pupil)E: Exposure/environmental control: buka baju penderita tetapi cegah hipotermia

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitnya dilakukan saat itu juga. Penyajian primary survey di atas dalam bentuk berurutan (sekuensial), sesuai prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam praktek hal-hal di atas sering dilakukan berbarengan (simultan). Tindakan yang dilakukan tentu mengacu pada ABCDE. Yakinkan

13

Page 14: BAB I

airway dan breathing clear. Kaji circulation dan control perdarahan dimana nadi biasanya lemah, kecil, dan cepat . Tekanan darah sistolik dan diastole menunjukkan adanya tanda syok hipovolemik, hitung MAP, CRT lebih dari 3 detik maka perlu segera pasang intravenous line berikan cairan kristaloid Ringer Laktat untuk dewasa pemberian awal 2 liter, dan pada anak 20cc/kgg, bila pada anak sulit pemasangan intra venous line bias dilakukan pemberian cairan melalui akses intra oseus tetapi ini dilakukan pada anak yang umurnya kurang dari 6 tahun. Setelah pemberian cairan pertama lihat tanda-tanda vital. Bila sudah pasti ada perdarahan maka kehilangan 1 cc darah harus diganti dengan cairan kristaloid 3 cc atau bila kehilangan darah 1 cc maka diganti dengan darah 1 cc (sejumlah perdarahan). Setelah itu kaji disability dengan menilai tingkat kesadaran klien baik dengan menilai menggunakan skala AVPU: Alert (klien sadar), Verbal (klien berespon dengan dipanggil namanya), Pain (klien baru berespon dengan menggunakan rangsang nyeri) dan Unrespon (klien tidak berespon baik dengan verbal ataupun dengan rangsang nyeri). Eksposure dan environment control buka pakaian klien lihat adanya jejas, perdarahan dan bila ada perdarahan perlu segera ditangani bisa dengan balut tekan atau segera untuk masuk ke kamar operasi untuk dilakukan laparotomy eksplorasi. Secondary survey dari kasus ini dilakukan kembali pengkajian secara head to toe, dan observasi hemodinamik klien setiap 15 – 30 menit sekali meliputi tanda-tanda vital (TD,Nadi, Respirasi), selanjutnya bila stabil dan membaik bisa dilanjutkan dengan observasi setiap 1 jam sekali. Pasang cateter untuk menilai output cairan, terapi cairan yang diberikan dan tentu saja hal penting lainnya adalah untuk melihat adanya perdarahan pada urine. Pasien dipuasakan dan dipasang NGT (Nasogastrik tube) utnuk membersihkan perdarahan saluran cerna, meminimalkan resiko mual dan aspirasi, serta bila tidak ada kontra indikasi dapat dilakukan lavage. Observasi tstus mental, vomitus, nausea, rigid/kaku/, bising usus, urin output setiap 15 – 30 menit sekali. Catat dan laporkan segera bila terjadi perubahan secra cepat seperti tanda-tanda peritonitis dan perdarahan. Jelaskan keadaan penyakit dan prosedur perawatan pada pasien bila memungkinkan atau kepada penanggung jawab pasien hal ini dimungkinkan untuk meminimalkan tingkat kecemasan klien dan keluarga. Kolaborasi pemasangan Central Venous Pressure (CVP) untuk melihat status hidrasi klien, pemberian antibiotika, analgesic dan tindakan pemeriksaan yang diperlukan untuk mendukung pada diagnosis seperti laboratorium (AGD, hematology, PT,APTT, hitung jenis leukosit dll), pemeriksaan radiology dan bila perlu kolaborasikan setelah pasti untuk tindakan operasi laparatomi eksplorasi.2.4 Trauma Ginjal

Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindung oleh otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ intraperitoneal di sebelah anteriornya; karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal.Cedera ginjal dapat terjadi secara:

1) Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang atau2) Tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-

tiba di dalam rongga retroperitoneum.

14

Page 15: BAB I

Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal. Penderajatan Trauma GinjalMenurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi:

1) Cedera minor 2) Cedera major, dan3) Cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal.

Pembagian sesuai dengan skala cedera organ (organ injury scale) cedera ginjal dibagi dalam 5 derajat sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan pencitraan maupun hasil eksplorasi ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera major (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.

Tabel. Penderajatan Trauma Ginjal

DERAJAT JENIS KERUSAKAN

Derajat I Kontusio ginjal / hematoma perirenal

Derajat II Laserasi ginjal terbatas pada korteks

Derajat III Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis arteri segmentalis

Derajat IV Laserasi sampai mengenal sistem kalises ginjal

Derajat V Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis arteri renalisGinjal terbelah (shatered)

DiagnosisPatut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat:

1) Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu

2) Hematuria3) Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra4) Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang5) Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas

Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi. Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma major atau ruptur pedikel seringkali pasien datang dalam keadaan syok berat dan terdapat hematoma di

15

Page 16: BAB I

daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan IVU karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus segera dilakukan eksplorasi laparatomi untuk menghentikan perdarahan.PencitraanJenis pencitraan yang diperiksa tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas yang dimiliki oleh klinik yang bersangkutan. Pemeriksaan pencitraan dimulai dari IVU (dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi 2 ml/kgBB) guna menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral. Pembuatan IVU dikerjakan jika diduga ada

1) Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal2) Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik, dan3) Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik dengan

disertai syokPada beberapa klinik, dugaan cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan tanda

hematuria mikroskopik tanpa disertai syok melakukan pemeriksaan ultrasonografi sebagai pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan USG ini diharapkan dapat menemukan adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dengan pemeriksaan ini dapat pula diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal.

Jika IVU belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal non visualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau arteriografi. Pemeriksaan IVU pada kontusio renis sering menunjukkan gambaran sistem pelvikalises normal. Dalam keadaan ini pemeriksaan ultrasonografi abdomen dapat menunjukkan adanya hematoma parenkim ginjal yang terbatas pada subkapsuler dan dengan kapsul ginjal yang masih utuh. Kadang kala kontusio renis yang cukup luas menyebabkan hematoma dan edema parenkim yang hebat sehingga memberikan gambaran sistem pelvikalises yang spastik atau bahkan tak tampak (non visualized). Sistem pelvikalises yang tak nampak pada IVU dapat pula terjadi pada ruptura pedikel atau pasien yang berada dalam keadaan syok berat pada saat menjalani pemeriksaan IVU.

Pada derajat IV tampak adanya ekstravasasi kontras, hal ini karena terobeknya sistem pelvikalises ginjal. Ekstravasasi ini akan tampak semakin luas pada ginjal yang mengalamai fragmentasi (terbelah) pada cedera derajat V. Di klinik-klinik yang telah maju, peranan IVU sebagai alat diagnosis dan penentuan derajat trauma ginjal mulai digantikan oleh CT scan. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal. Selain itu pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya trauma pada organ lain.Pengelolaan

Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus difikirkan untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi. Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal adalah:Konservatif

Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan observasi tanda vital (tensi, nadi, dan suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan massa di pinggang,

16

Page 17: BAB I

adanya pembesaran lingkaran perut, penurunan kadar hemoglobin darah, dan perubahan warna urine pada pemeriksaan urine serial.

Jika selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda perdarahan atau kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi. Operasi

Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.Penyulit

Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma major dan trauma pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian. Selain itu kebocoran sistem kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula reno-kutan. Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan penyulit berupa hipertensi, hidronefrosis, urolitiasis, atau pielonefritis kronis.2.5 Fraktur terbuka

Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera,secara hati-hati,debridemen yang berulang-ulang,stabilisasi fraktur,penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.

A. DefinisiFraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.

Luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (from without).

B. KlasifikasiKlasifikasi yang dianut adalah menurut Gustilo,Merkow dan Templeman (1990)

a. Tipe ILuka kecil kurang dari 1 cm panjangnya,biasanya karena luka tusukan dari fragmen tulang yang menembus keluar kulit. Terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel,transversal,oblik pendek atau sedikit komunitif.

b. Tipe II

17

Page 18: BAB I

Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit kontaminasi dari fraktur.

c. Tipe IIITerdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot,kulit,dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat Tipe ini biasanya disebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi. Tipe III dibagi lagi dalam tiga subtipe:

Tipe IIIaJaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat.

Tipe IIIbFraktur disertai dengan trauma hebat dengan kerusakan dan kehilangan jaringan,terdapat pendorongan (stripping) periost,tulang terbuka,kontaminasi yang hebat serta fraktur komunitif yang hebat.

Tipe IIIc

18

Page 19: BAB I

Fraktur terbuka yang disetai dengan kerusakan arteri yang memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak

19

Page 20: BAB I

C. PenatalaksanaanBeberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur terbuka adalah

1. Obati fraktur terbuka sebagai suatu kegawatan2. Adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat

menyebabkan kematian3. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat,di kamar operasi dan setelah operasi4. Segera dilakukan debridemen dan irigasi yang baik5. Ulangi debridemen 24-72 jam berikutnya6. Stabilisasi fraktur7. Biarkan luka terbuka antara 5-7 hari8. Lakukan bone graft autogenous secepatnya9. Rehabilitasi anggota gerak lainnya

Tahap-Tahap Pengobatan Fraktur terbuka1. Pembersihan luka

Hal ini dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.

2. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,jaringan subkutaneus,lemak,fasia,otot dan fragmen-fragmen yang lepas

3. Pengobatan fraktur itu sendiriFraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan II sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.

4. Penutupan kulitApabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari terjadinya kecelakaan),maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak dilakukan apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan drainasi isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan kulit menjadi tegang.

5. Pemberian antibiotikHal ini bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum,pada saat dan sesudah tindakan operasi.

6. Pencegahan tetanusSemua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum,dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).

20

Page 21: BAB I

D. Komplikasi Fraktur TerbukaKomplikasi fraktur dapat terjadi secara spontan,karena iatrogenik atau oleh karena tindakan pengobatan. Komplikasi umumnya akibat tiga faktor utama,yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi. Komplikasi oleh akibat tindakan pengobatan (iatrogenik) umumnya dapat dicegah.

1. Perdarahan, syok septik sampai kematian2. Septikemia,toksemia oleh karena infeksi piogenik3. Tetanus4. Gangren5. Perdarahan sekunder6. Osteomielitis kronik7. Delayed union8. Nonunion dan malunion9. Kekakuan sendi10. Komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama

E. Perawatan Lanjut dan Rehabilitasi FrakturAda lima tujuan pengobatan fraktur:

1. Menghilangkan nyeri2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yang memadai dari fragmen fraktur3. Mengharapkan dan mengusahakan union4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan cara mempertahankan fungsi otot

dan sendi,mencegah atrofi otot,adhesi dan kekakuan sendi,mecegah terjadinya komplikasi seperti dekubitus,trombosis vena,infeksi saluran kencing serta pembentukan batu ginjal.

5. Mengembalikan fungsi secara maksimal merupakan tujuan akhir pengobatan fraktur. Sejak awal penderita harus dituntun secara psikologis untuk membantu penyembuhan dan pemberian fisioterapi untuk memperkuat otot-otot serta gerakan sendi baik secara isometrik (latihan aktif statik) pada setiap otot yang berada pada lingkup fraktur serta isotonik yaitu latihan aktif dinamik pada otot-otot tungkai dan punggung. Diperlukan pula terapi okupasi.

2.7 Torsio testisA. Patogenesis

Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis. Adanya kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak (seperti pada saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum.

21

Page 22: BAB I

Terpluntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis, dan iskemia. Pada akhirnya testis akan mengalami nekrosis.

B. Gambaran klinis dan diagnosisPasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan

diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan itu dikenal sebagai akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendistis akut. Pada bayi gejalanya tidak khas yakni gelisah, rewel atau tidak mau menyusui. Pada pemeriksaan fisik, testis membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral. Kadang-kadang pada torsio testis yang baru saja terjadi, dapat diraba adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini biasanya tidak disertai dengan demam.

Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urine dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami peradangan steril. Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio testis dengan keadaan akut skrotum yang lain adalah dengan memakai: stetoskop Doppler, ultrasonografi Doppler, dan sintigrafi testis yang kesemuanya bertujuan menilai adanya aliran darah ke testis. Pada torsio testis tidak didapatkan adanya aliran darah ke testis sedangkan pada peradangan akut testis, terjadi peningkatan aliran darah ke testis.

C. Diagnosis Banding1. Epididimitis akut. Penyakit ini secara klinis sulit dibedakan dengan torsio testis.

Nyeri skrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, keluarnya nanah dari uretra, ada riwayat coitus suspectus (dugaan melakukan senggama dengan bukan istrinya), atau pernah menjalani kateterisasi uretra sebelumnya.

Jika dilakukan elevasi (pengangkatan) testis, pada epididimitis akut terkadang nyeri akan berkurang sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada (tanda dari Prehn). Pasien epididimitis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan sedimen urine didapatkan adanya leukosituria atau bakteriuria.

2. Hernia skrotalis inkarserata, yang biasanya didahului dengan anamnesis didapatkan benjolan yang dapat keluar dan masuk ke dalam skrotum.

3. Hidrokel terinfeksi, dengan anamnesis sebelumnya sudah ada benjolan di dalam skrotum

4. Tumor testis. Benjolan tidak dirasakan nyeri kecuali terjadi perdarahan di dalam testis.

5. Edema skrotum yang dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya pembuntuan saluran limfe inguinal, kelainan jantung, atau kelainan-kelainan yang tidak diketahui sebabnya (idiopatik)

D. Terapia. Detorsi manual

22

Page 23: BAB I

Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan jalan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke medial maka dianjurkan untuk memutar testis kea rah lateral dahulu, kemudian jika tidak terjadi perubahan, dicoba detorsi ke arah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi telah berhasil. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan.

b. OperasiTindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada

arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian viabilitas testis yang mengalami torsio, mungkin masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis. Jika testis masih hidup, dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.

Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap pada 3 tempat untuk mencegah agar testis tidak terpluntir kembali, sedangkan pada testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari.

2.8 Hernia inkarserataHernia inkarserata adalah salah satu hernia yang tidak dapat direposisi kembali kedalam

cavum abdominalis yang disertai dengan gejala gangguan obstruksi abdomen. Keadaan ini dapat dicegah dengan melakukan bedah elektif pada hernia yang masih bersifat reponibel. Sekali terjadi inkarserasi , maka resiko untuk mengalami strangulasi akan semakin besar. Hal ini terjadi karena pembengkakan progresif akibat inkarserasi dari hernia menimbulkan obstruksi di pembuluh vena, arteri dan pembuluh limfe di kantong hernia. Hal ini menimbulkan edema lebih lanjut sehingga tekanan meningkat sedemikian rupa, sehingga aliran arteri terancam dan bisa berlanjut menjadi iskemik dan nekrosis pada bagian hernia. Jika hernia yang sudah mengalami inkarserasi tidak dapat dilakukan reposisi secepatnya, dapat menimbulkan strangulasi yang dapat diikuti dengan nekrosis dan gangren usus yang bisa membahayakan. Komplikasi lebih lanjut yang dapat terjadi adalah keadaan perotinitis abdomen sampai dengan sepsis yang dapat mengancam jiwa penderita.

Segi yang berhubungan dengan pemeriksaan fisik mencakup tanda vital, keadaan cairan, tanda iritasi dan distensi peritonium serta inspeksi tempat hernia inkarserata. Hernia sendiri dapat mengalami nyeri tekan sehingga menghambat dilakukannya evaluasi terinci.

Jika pasien tidak stabil secara hemodinamik, maka keadaan ini lebih diutamakan. Dalam kasus demikian pemantauan hemodinamik yang tepat, pemasangan kateter, koreksi cairan dan elektrolit yang adekuat dan dukungan farmakologi bagi tekanan arteri dapat diberikan terlebih dahulu.

Jika pasien tidak dalam keadaan syok septik atau dalam keadaan memerlukan cairan darurat atau memerlukan tindakan resusitasi lainnya, maka pemeriksaan terperinci terhadap

23

Page 24: BAB I

hernia inkarserata dapat dilakukan. Reposisi hernia dengan palpasi manual dapat dilakukan. Karena nyeri tekan dapat menjadi halangan dalam pemeriksaan, maka dapat dilakukan pemberian analgetik dan sedatif dapat diberikan. Pasien dalam posisi trendelenburg dan kompres dingin dapat diberikan ditempat hernia.

Jika reposisi tidak dapat dilakukan maka operasi gawat darurat harus segera dilakukan untuk mencegah strangulasi lengkap dan akhirnya terjadi gangren jaringan usus yang terlibat. Pasien harus diberikan cairan resusitasi dan koreksi elektrolit yang adekuat serta antibiotik berspektrum luas prabedah.

Pendekatan bedah pada hernia inkarserata pada operasi emergensi serupa dengan operasi elektif. Setelah kantong hernia dikenali dan dibebaskan, maka kantong dibuka dan isinya diperiksa. Jika ada usus yang non viabel maka dilakukan reseksi usus.2.9 Apendisitis

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja.

Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendisitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan.

Diagnosis appendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendisitis.

Semua kasus appendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendisitis akut merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia.ETIOLOGIAppendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi:

1. Hiperplasia folikel lymphoid2. Carcinoid atau tumor lainnya3. Benda asing (pin, biji-bijian)4. Kadang parasit

24

Page 25: BAB I

Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu:

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus

Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus species

PATOGENESIS

Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.

Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendisitis.

Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendisitis, khususnya pada anak-anak.

Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah,

25

Page 26: BAB I

dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.

Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.

Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.

Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.

GAMBARAN KLINIS

Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus dan bayi, appendisitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendisitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.

26

Page 27: BAB I

Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis.

Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.

Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendisitis1.

Pada appendisitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendisitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang1.

Anak dengan appendisitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan 1. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendisitis, kecuali pada anak dengan appendisitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.

Tabel 1. Gejala Appendicitis Akut

Gejala Appendicitis AkutFrekuensi (%)

Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)

50

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

27

Page 28: BAB I

PEMERIKSAAN FISIK

Pada Apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:

Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.

Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess.

28

Page 29: BAB I

Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.

Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.

29

Page 30: BAB I

Dasar anatomis terjadinya obturator sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver ini.

Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ)

Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun. Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk. Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix. Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix

letak pelvis. Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher. Dunphy sign: nyeri ketika batuk.

Skor AlvaradoSemua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi

30

Page 31: BAB I

dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut.

Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis

Manifestasi Skor

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Laboratorium Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan:

0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil

5-6 : bukan diagnosis Appendicitis

7-8 : kemungkinan besar Appendicitis

9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

LaboratoriumJumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.

Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.

Ultrasonografi

31

Page 32: BAB I

Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix.

False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix.

CT-ScanCT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.

Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin

Pada anak-anak balita Intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.

Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses.

Pada anak-anak usia sekolah Gastroenteritis, konstipasi, infark omentum.

Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah

Pada pria dewasa muda

32

Page 33: BAB I

Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, kolitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya.

Pada wanita usia mudaDiagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.

Pada usia lanjutAppendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.

KOMPLIKASI Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi

dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar.

Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.

Perforasi Peritonitis. Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam

rongga abdomen, biasanya diakibatkan dan peradangan, iskemia, trauma atau perforasi peritoneal diawali terkontaminasi material. Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edem jaringan dan pertambahan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.GEJALA DAN TANDA

Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis umum.

Demam Distensi abdomen

33

Page 34: BAB I

Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan iritasi peritonitis.

Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya.

Nausea Vomiting Penurunan peristaltik.

Syok septik Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar Gangguan peristaltik Ileus

PENATALAKSANAANUntuk pasien yang dicurigai Appendisitis :

Puasakan Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan gejala saat

pemeriksaan fisik. Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi. Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan

Laparotomy Perawatan appendisitis tanpa operasi

Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi

Rujuk ke dokter spesialis bedah. Antibiotika preoperative

Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post opersi.

Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya

digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.

34

Page 35: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

Arifin m.z., Risdianto A.,2013, cedera kepala, sagung seto, Jakarta Sadewo w., 2011, sinopsis ilmu bedah saraf, sagung seto, Jakarta Satyanegara, 2010, ilmu bedah saraf, pt gramedia pustaka utama, Jakarta Harsono, 2011, buku ajar neurologi klinis, gadjah mada university press, Yogyakarta Sjamsuhidajat r., jong w., 2003, buku ajar ilmu bedah, EGC, Jakarta American College of Surgeons, 1997, Advanced Trauma Life Support, Ed.6. First Impression

United States of America

35

Page 36: BAB I

Ambulan Gawat Darurat 118, Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Secara Terpadu. Jakarta

Dossey, B.M (1992). Critical Care Nursing, Body Mind Sipit Ed.3, Philadelphia: JB. Lippincott

Hudak and Gallo (1995). Keperawtan Kritis, Pendekatan Holistik, alih bahasa: Allenidekania, Jakarta. EGC

Hawort, K, Mayer. BH., et.al (editors) (2004) . Critical Care Nursing, Made Incredibly Easy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Newberry, Lorene, RN,MS,CEN.2003. Emergency Nursing Principle and Practice. Ed.5, Mosby Philadelphia

RSHS, Tim PPGD, 2009. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic 2). RSHS Bandung.

De Jong, W., Sjamsuhidajat, R.,(editor). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC: Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. EGC: Jakarta. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jilid II.

EGC : Jakarta Sabiston, Devid C. 1994. Buku Ajar Bedah. EGC:Jakarta. She Warts, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. EGC: Jakarta.

36