19
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jika kita kembali ke masa sejarah tentu kita akan menemukan wilayah yang menjadi sentra/pusat dan pada saat ini sudah menjadi wilayah-wilayah yang jauh dari kata menjadi pusat/sentra. Wilayah yang sebelumnya menjadi pusat/sentra tersebut tentunya memiliki potensi-potensi yang lebih mudah untuk ditata kembali dari pada harus membentuk sentra baru. Karena hal tersebut, maka revitalisasi merupakan pilihan yang tepat untuk menanggulangi masalah tersebut. Revitalisasi adalah upaya memvitalkan kembali wilayah yang dulunya pernah menjadi kawasan vital dengan cara pemanfaatan kembali penataan lahan serta renovasi bangunan-bangunan yang ada. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas linkungan kota yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya dan dapat memiliki daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi local, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota. Salah satu kawasan tersebut adalah kawasan pecinan Surabaya. Kawasan pecinan Surabaya merupakan yang dulunya menjadi sebuah sentra, baik dari segi ekonomi, sosial maupun fisik. Namun, saat ini bisa dikatakan sebagai wilayah yang kurang vital. Revitalisasi adalah pilihan yang tepat untuk diterapkan di wilayah ini. Karena masih banyak sekali bangunan-bangunan yang dapat direnovasi, serta masih memunkinkannya pemanfaatan kembali penataan lahan di wilayah tersebut. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apasaja faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Revitalisasi? 2. Apasaja dampak yang ditimbulkan Revitalisasi? 3. Bagaimana cara mengatasi Revitalisasi diperkotaan? 1.3 Tujuan

BAB I

  • Upload
    raka

  • View
    4

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

o

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar BelakangJika kita kembali ke masa sejarah tentu kita akan menemukan wilayah yang menjadi sentra/pusat dan pada saat ini sudah menjadi wilayah-wilayah yang jauh dari kata menjadi pusat/sentra. Wilayah yang sebelumnya menjadi pusat/sentra tersebut tentunya memiliki potensi-potensi yang lebih mudah untuk ditata kembali dari pada harus membentuk sentra baru. Karena hal tersebut, maka revitalisasi merupakan pilihan yang tepat untuk menanggulangi masalah tersebut.Revitalisasi adalah upaya memvitalkan kembali wilayah yang dulunya pernah menjadi kawasan vital dengan cara pemanfaatan kembali penataan lahan serta renovasi bangunan-bangunan yang ada. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas linkungan kota yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya dan dapat memiliki daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi local, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota.Salah satu kawasan tersebut adalah kawasan pecinan Surabaya. Kawasan pecinan Surabaya merupakan yang dulunya menjadi sebuah sentra, baik dari segi ekonomi, sosial maupun fisik. Namun, saat ini bisa dikatakan sebagai wilayah yang kurang vital. Revitalisasi adalah pilihan yang tepat untuk diterapkan di wilayah ini. Karena masih banyak sekali bangunan-bangunan yang dapat direnovasi, serta masih memunkinkannya pemanfaatan kembali penataan lahan di wilayah tersebut.

1.2Rumusan Masalah1.Apasaja faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinyaRevitalisasi?2.Apasaja dampak yang ditimbulkan Revitalisasi?3.Bagaimana cara mengatasi Revitalisasi diperkotaan?

1.3TujuanMakalah ini disusun agar dapat mengetahui mengenai revitalisasi secara umum maupun dengan contoh-contoh kasus yang sesuai dan berhubunagan. Dengan begitu maka dapat diketahui permasalahn yang ada. Dari permasalahan yang telah teridentifikasi tersebut maka dapat diketahui tujuan dari makalah ini yaitu untuk merumuskan arahan revitalisasi kawasan cagar budaya Pecinaan Surabaya.

1.4Sistematika LaporanMakalah ini memiliki sistematika penulisan yaitu sebagai berikut :BAB I PENDAHULUANPada bab ini akan menjelaskan mengenai latar belakang makalah, rumusan masalah yang akan diajukan, tujuan makalah, dan juga mengenai sistematika pembuatan makalah ini.BAB II TINJAUAN PUSTAKAPada bab ini akan menjelaskan mengenai gambaran umum, tinjauan teori mengenai masalah-masalah yang ada dalam makalah dan juga tinjauan empiri yang akan digunakan sebagai dasar dalam pembuatan makalah ini.BAB III PEMBAHASANPada bab ini akan menjelaskan mengenai gambaran studi kasus yang akan diangkat dalam pembahasan makalah ini dengan memunculkan beberapa permasalahan dan juga memberikan solusi terhadap masalah yang terkait tersebut.BAB IV PENUTUPPada bab ini akan menjelaskan mengenai simpulan atau rangkuman dari seluruh makalah dan juga rekomendasi yang dapat diusulkan untuk masalah yang terkait dalam makalah ini.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Revitalisasi

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat) (Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas (Laretna, 2002).

2.1.1 Teori Revitalisasi dan Rancang KotaSebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi ini terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Intervensi fisik Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.

2. Rehabilitasi ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).

3. Revitalisasi sosial/institusional Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Revitalisasi

2.2.1 Faktor-faktor penyebab penurunan vitalitas suatu kawasan perkotaan :Bangkrutnya sebagian besar kegiatan ekonomi utamanya. Resesi ekonomian yang mempengaruhi kegiatan perdagangan dan jasa, resesi ekonomi yang mempengaruhi kegiatan perdagangan, naiknya pengangguran menurunnya kualitas infrastruktur, dan naiknya deficit angggaran kota.Menurut Zuziak (1993), menurunnya vitalitas pada kawasan kota lama disebabkan oleh menurunnya populasi pada kawasan, berubahnya struktur demografi masyarakat dan menurunnya kondisi fisik banguanan. Menurut Susianti ( 2003) penyebab penurunan vitalitas kawasan disebakan oleh ketidakmampuan kawasan tersebut bersaing dengan kawasan lain secara ekonomi, tidak adanya atau hilangnya kekhasan yang memberikan daya tarik, kondisi social budaya yang tidak menunjang kawasan dan tidak sesuainya kegiatan yang ada di kawasan dan fungsinya. Zielenbach (2000) menyebutkan fenomenan menurunnya vitalitas dan kualitas kawasan disebabkan menurunnyaphysical amenities,tidak adanya atau melemahnya komunitas dan organisasi yang mewadahi masyarakat local, hilangnya kepempinan lokal, dan modal social di masyarakat serta tidak adanya rencana tindak dari pemerintah. Sedangkan menurut Departemen Pekerjaan Umum. Faktor-faktor penyebab penurunnya vitalitsas kawasan diantaranya :a.Ekonomi kawasan tidak stabilb.Pertumbuhan ekonomi yang menurunc.Produktivitas ekonomi menurund.Menurunnya nilai propertye.Menurunnya pelayanan sarana dan prasaranaf.Kerusakan ekologi kawasang.Kerusakan amenitas kawasanh.Hilangnya tradisi lokali.Berpindahnya penduduk ke luar kawasan (residential flight)j.Berpindahnya kegiatan usaha ke luar kawasan (business flight)k.Hilangnya peran terpusat kawasan

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Gambaran UmumKawasan cagar budaya atau lebih dikenal denganurban heritagemenurut Shirvani (1985), adalah kawasan yang pernah menjadi pusat-pusat dari sebuah kompleksitas fungsi kegiatan ekonomi, social budaya yang mengakumulasikan makna kesejarahan (historical significance). Kawasan tersebut menurut shirvani juga memiliki kekayaan tipologi dan morfologiurban heritageyang berupahistorical site, historical districdanhistorical cultural. Dalam perda kota Surabaya nomor 5 tahun 2005 tentang pelestarian banguanan dan lingkungan cagar budaya.3.1.1 Pecinan atauChinatownChinatownatau Pecinan adalah kawasan pada suatu bagian kota yang dari segi penduduk, bentuk hunian, tatanan social serta suasana lingkungannya memiliki cirri khas karena pertumbuhan bagian kota tersebut berakar secara history dari masyarakat berkebudayaan Cina (Lilananda, 1998).Pada perkembangan di luar Cina, seperti kota-kota Negara Asia, Eropa, Amerika dan Australia, Pecinan sering dikenal sebagai landmark kota yang menarik para turis mancanegara. Chinatown menjadi sebuah lingkungan bersejarah yang umumnya merupakan kumpulan/kelompok bangunan yang membentuk suatu komunitas masyarakat Cina dengan cirri/karakter bangunannya yang khas, memiliki berbagai dekorasi dan elemen-elemen serta pintu gerbang juga sebagai tempat aktifitas perdagangan retail seperti restaurant, pertokoan dan lain sebagainya.

3.1.2 Sejarah pecinan di IndonesiaAwal terjadinya permukiman Cina di Indonesia khususnya di sepanjang pantai Utara Jawatersebut sebagai akibat dari aktifitas perdagangan antara India dan Cina lewat laut. Selama periode badai (Cylone) atau perubahan musim, para pedagang tinggal di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, disamping mereka menunggu rekan dagang dari bagian dunia luar lainnya. Dengan seringnya ekspedisi ini perairan Indonesia, pemukiman Cina di berbagai kota-kota Pantai Utara Jawa juga mengalami pemantapan. Pemukiaman Cina di Jawa sudah ada sebelum orang-orang Belanda menguasai daerah pantai Utara Jawa pada tahun 1743.

3.1.3 Sejarah Pecinan di SurabayaFaber (1931) dalam Handinoto, menyebutkan bahwa konsentrasi masyarakat Cina di Surabaya dimulai pada sekitar tahun 1411. Masyarakat Cina bertempat tinggal di sekitar sebelah selatan pelabuhan Tanjung Perak dan banyak melakukan kegiatan perdagangan di sekitar Pelabuhan Perak.Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, tepatnya sekitar tahun 1835, diberlakukan Undang-undang Wilayah yang memiliki inti untuk mengatur tempat tinggal dan kegiatan bangsa pribumi, etnis Cina, Arab dan tentunya bangsa Eropa atau Belanda sendiri. Secara fisik terdapat dinamisasi perubahan arsitektur bangunan dimana interverensi arsitektur kolonial mulai terlihat. Dominasi secara sosial politik Belanda juaga mempengaruhi fisik bangunan-bangunan yang ada di kawasan Pecinan. Seiring dengan perkembangan jaman dan arus modernisasi, masyarakat Cina mulai kehilangan nilai-nilai tradisi mereka secara fisik tampak dengan dominasi unsur modern pada arsitektur bangunannya. Menurut Handinoto (1999) hal ini lah yang menyebabkan Pecinan di Surabaya semakin kabur. Terutama selama orde baru berkuasa adalah usaha-usaha untuk memarginalkan Pecinan.

3.1.4 Karakteristik PecinanLingkungan Pecinan merupakan lingkungan yang palingurbandidaerah perkotaan di Jawa. Asas-asas geometris tampak diterapkan dalam lingkungan Pecinan dan kehijauan hamper tidak ada. Keadaan ini seperti pendapat Lombard (1996) dalam Hadinoto, yaitu Pecinan mirip dengan kota-kota di barat dan sangat kontras dengan tatanan wilayah tetangganya yang seringkali tetap sangat mirip dengan kampung. Pola grid arthogonal yang diterapkan pada lingkungan pemukimannya menunjukkan pemikiran yang sangat efisien. Hal ini disebabkan karena kepadatan penduduknya yang sangat tinggi. Pola penataan ruang pada umunya berarsitektur Cina pada umumnya cenderung simetris dengan ruang terbuka (courtyard) yang berulang dan bertahap. Pola penataan ruang seimbang simetris merupakan dasar tata letak ruang yang dipengaruhi oleh faktor iklim serta dasar pemikiran ajaran filsuf Confusius yang telah biasa digunakan oleh masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu.Langgam dan gaya bangunan berarsitektur cina dapat dijumpai pada bagian atap bangunan yang umumnya dilengkungkan. Selain bentukan atapnya juga terdapat unsure tambahan dekorasi dengan ukiran atau lukisan yang memberikan cirri khas menjadi suatu gaya atau lannggam tersendiri.

3.2 Permasalahan Revitalisasi Cagar BudayaRevitalisasi menurut Danisworo (2002) adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Menurut Sujarno (2002), Revitalisasi adalah salah satu pendekatan dalam peningkatan vitalitas suatu kawasan kota yang biasanya berupa : penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi kualitas lingkungan hidup, dan peningkatan intensitas pemanfaatan lahan. Menurut Departemen pekerjaan umum, revitalisasi adalah upaya untuk menghidupkan kembali kawasan mati yang ada pada masa silam pernah hidup, atau mengendaliakn dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau seharusnya dimiliki oleh sebuah kota baik dari segi sosio-kultural, sosio-ekonomi, segi fisik alam lingkungan sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya.Menurut Antariksa (2008), revitalisasi dapat menjadi alternatif dalam memecahkan masalah pelestarian wajah kota lama. Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha menghidupkan kembali aktifitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan yang layak huni (liviable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan social, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan system kota.Ada tiga keuntungan yang dapat diperoleh dalam perpaduan pelestarian dan revitalisasi (Miarsono, 1997), yaitu :a.Keuntungan budaya, dengan dipertahankannya bangunan bersejarah tersebut maka akan semakin mengikat rasa emosional seseorang terhadap sejarah yang terkandung di baliknya.b.Keuntungan ekonomi, yaitu dapat meningkatkan taraf hidup, omset penjualan, naiknya harga sewa, pajak pendapatan oleh pemerintah daerah dan mengurangi biaya pengganti (replacement cost).c.Keuntungan sosial, yaitu munculnya kepercayaan diri akibat meningkatnya nilai ekonomi.Dari beberapa definisi tentang revitalisasi, pada dasarnya revitalisasi memiliki pengertian sebuah upaya memvitalkan kembali (re-vital-ization) kondisi suatu kawasan baik secara fisik sosial maupun ekonomi yang pernah ada.3.2.1 Aspek Revitalisasi Kawasan Cagar BudayaMenurut Danisworo (2000) dan Tiesdell (1996) sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa pendekatan yang bias diacu dalam upaya revitalisasi kawasan pusat kota atau kawasan cagar budaya meliputi hal-hal berikut:a.Intervensi FisikIntervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, system penghubung, system tanda reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitanya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) menjadi penting sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.b.Revitalisasi Sosial-EkonomiRevitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaiakn fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bias mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal ( local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U.Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan social (vitalitas baru). Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan social masyarakat/warga (public realms).c.Revitalisasi InstitusionalArahan memvitalkan kembali kawasan yang menurun vitalitasnya melalui perbaikan fisik dan merehabilitasi ekonomi, perlu didukung dengan tegas dan mantap oleh institusi atau pemerintah. Menurut Budiarjo (1997) revitalisasi akan selalu berkaitan dengan peraturan perundangan, kebijkan perencanaan dan perancangan kawasan yang didalamnya mencakup penerapannya system insentif dan disinsentif serta reward dan punishment.

Dari penjelasan di atas, maka hal pertama yang dapat dilakukan pada revitalisasi kawasanurban heritage, yakni tahap di mana bidang rancang kota (urban design) amat berperan penting adalah perbaikan kawasan secara fisik. Revitalisasi fisik dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas lingkunagn secara bertahap dengan memperbaiki fisik bangunan bersejarah dan ruang luar kawasan, dengan tidak lupa juga meningkatkan kualitas infrastruktur yang telah ada. Kemudian perlu adanya rehabilitasi aktivitas social-ekonomi dengan penyuntikan aktivitas-aktivitas yang peningkatan ekonomi kawasan, semua ini sendirinya secara perlahan akan menimbulkan kondisi di mana penduduk local akan semakin makmur dengan adanya peningkatan ekonomi kawasan tersebut. Selain itu penguataninstitusi dan kebijakan terkait pengembangan dan penataan kawasan juga perlu diperhatikan untuk keberlanjutan kawasanyang akan direvitalisasi kedepannya.

3.2.2 Komponen dalam Revitalisasi kawasan Cagar BudayaKomponen revitalisasi atau elemen revitalisasi kawasan akan terkait dengan elemen-elemen perancangan fisik, elemen-elemen aktifitas social ekonomi dan elemen institusional. Berikut adalah sintesa dari komponen revitalisasi kawasan cagar budaya dari berbagai sumber :Aspek RevitalisasiDanisworo (200)Susianti (2003)Zielenbach (2000)Budiharjo (1997)

Aspek Fisik-Kondisi fisik banguanan-Penyediaan tata hijau dan ruang terbuka kawasan-Sistem penghubung-Sistem tanda/reklame-Jalur pejalan kaki-Ruang terbuka hijau dan penghijauan-Parkir-Aksesbilitas-Tata bangunan-Landmark-Physical amenities-Perancangan arsitektur-Pedestrianisasi

Aspek Aktivitas Ekonomi- Ekonomi Baru- Daya Tarik Kawasan (aktivitas ekonomi lokal)- Fungsi bangunan

-Kegiatan Ekonomi Baru-Perbaikan Ekonomi Lokal-Adanya Investasi-Aktivitas PKL-Fungsi bangunan

Aspek Aktivitas Sosial-Daya Tarik Kawasan (atraksi)-Komunitas atau organisasi lokal-Kepemimpinan lokal dan modal sosial

Aspek Institusional-Peraturan perundanagn-Penyusun panduan perencanaan dan perancangan kawasan-Sistem intensif dan disintensif

Sumber : Danisworo (2000), Susanti (2003), Zielenbach (2000) dan Budiharjo (1997)

3.2.3 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Komponen Revitalisasi Kawasan Cagar BudayaKomponen-komponen revitalisasi berdasarkan tipologinya dibagi kedalam aspek fisik, aktivitas ekonomi, aktivitas sosial, dan institusional. Komponen-komponen disetiap aspek dalam konteks revitalisasi kawasan menurut Zielenbach (2000) mengalami penurunan fungsi sehingga dalam skala besar akan mempengaruhi sebuah vitalitas kawasan. Berikut ini adalah komponen-komponen revitalisasi.a.Aspek Fisik :Moughtin (1992): Tidak adanya pedestrian yang nyaman dan memberikan kesenangan, keterbatasanruang untuk penghijauan dan perparkiran, adanya bangunan-bangunan yang tidak harmonis dengan karakter kawasan, pengaturan jaringan jalan yang tidak tepat. Lynch dalam Moughtin (1992) :Landmarkyang tidak terekspose dengan baik. Rojas ( 2007): tidak adanya pada bangunan-bangunan di kawasanurban heritage.b.Aspek Ekonomi :Smith (1995) : Matinya aktivitas ekonomi yang disebabkan oleh minimnya keragaman dan kreativitas produk ekonomi.Menurut Peacock (2008), kurangnya promosi produk ekonomi menyebabkan produktivitas dan daya saing ekonomi akan menurun.c.Aspek Sosial:Zielenbach (2000), minimnya modal social yang dimiliki oleh masyarakat, tidak adanya motor penggerak dimasyarakat, dan minimnya sumberdaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.d.Aspek institusional :Ross (1995) Minimnya dana yang disediakan untuk pelestarian, lemahnya proses implementasi kebijakan dan pengawasan dan minimnya orientasi pemerintah pada pelestarian.

3.2.4 Penurunan Vitalitas Kawasan Cagar BudayaGejala-Gejala Penurunan Vitalitas Kawasan Cagar BudayaHilangnya vitalitas awal dalam suatu kawasan historis budaya umumnya ditandai dengan kurang terkendalinya perkembangan dan pembanguanan kawasan, sehingga mengakibatkan terjadinya kehancuran kawasan, baik secaraself destructionmaupuncreative destruction(Danisworo,2000).Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah diamati pada kawasan kota sejarah / kota tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan social budaya), kawasan kota tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Menurut shirvani (1985) kawasan cagar budaya pada umumnya mengalami gejala-gejala sebagai berikut :a.Tematik, kaburb.Terjadi perubahanland useyang kontekstual yang tidak menunjang tema dan fungsi utama kawasan.c.Kaburnya bentuk kota (urban form) karena tepian, struktur ruang, urban fabric dan relasi massa ruang tidak terdefinisi dan kurang dihargai.d.Hilangnya ruang terbuka public sebagai pusat kegiatan, yang terjadi penghancuran ruang terbuka pribadi, kacaunya sistem transportasi dan tidak manusiawinya dijalur pejalan kakie.Kurang dihargainya peran sungai/tepian air sebagai salah satu komponen pembentukurban heritage.f.Kurangnya kepekaanlandscapeseperti penanda, perabot jalan, pagar, papan reklame menjadi kurang teratur dan terkoordinasi.g.Hilangnya nilai-nilali tadisional/kekhasan kawasanh.Kurang konsteksuallnya arsitek, elemen banguanan, gaya, detail, ornament, material, warna, morfologi, dansky line.

3.2.5 Stakeholder Dalam Revitalisasi Kawasan Cagar BudayaTiesdell et al. (1996) berpendapat bahwa revitalisasi kawasan harus melibatkan berbagai pihak: 1)Government,pihak pemerintah sebagai pemeran utama dalam mengembangkan kawasan perkotaan, yakni dalam menyediakan dan mengelola ruan terbuka publik, 2)Developers,yakni pihak swasta menjadi investor, 3)Retailers,yakni pihak pedagang yang akan berjualan di kawasan tersebut dan 4)Community,yakni pihak masyarakat untuk opini public dan kepentinagn lingkunagn setempat.Sedangkan menurut Rojas (2007) pihak-pihak yang terlibat didalam revitalisasi adalah; 1)Government,pihak pemerintah sebagai pemeran utama dalam pemegang kebijakan yakni sumber financial perkotaan 2)Private Philantropy,yakni pihak swasta / investor, 3)Cultural Elite,yakni para intelektual revitalisasi yang berperan dalam mempromosikan revitalisasi dan pengembangan kawasan, 4)Local Community,yakni pihak masyarakat local yang bertempat tinggal di kawasan terkait yang memiliki kepentingan atas keuntungan revitalisasi, dan 5)Tour operators,pihak yang membantu mempromosiakn revitalisasi untuk kedepannya dapat saling membagi keuntungan atas keberhasilan revitalisasi.Sehingga dapat disimpulkan bahwa stakeholder yang memiliki peran penting dalam sebuah revitalisasi adalah pemerintah dan masyarakat local. Selain pemerintah dan masyarakat local. Para pengamat cagar budaya atau cultural elite juga termasuk stakeholder yang berperan dalam revitalisasi kawasan cagar budaya. Pendapat para ahli dan pengamat cagar budaya juga merupakan pertimbangan dalam pengambilan kesimpulan dan keputusan tentang revitalisasi sebuah kawasan.

3.3 Solusi Revitalisasi Cagar Budaya3.3.1 Arahan Revitalisasi Kawasan Cagar BudayaRevitalisasi ini pada prinsipnya tidak hanya terkait masalah konservasi bangunan dan ruang kawasan bersejarah saja, tetapi lebih kepada sebuah upaya untuk mengembalikan atau menghidupkan kembali kawasan dalam konteks kota yang tidak berfungsi atau menurun fungsinya agar dapat berfungsi kembali, atau menata dan mengembangkan lebih lanjut kawasan yang berkembang sangat pesat namun kondisinya cenderung tidak terkendali (Wongso, 2001). Selain itu pada prinsipnya, revitalisasi kawasan cagar budaya juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Menurut Adhisakti (2002), Revitalisasi merupakan program berkelanjutan mulai tahap-tahap jangka pendek hingga jangka panjang, mulai dari ruang yang kecil hingga meluas dan tentunya revitalisasi juga perlu adanya keterlibatan masyarakat.Susiyanti, (2003) menyebutkan bahwa strategi revitalisasi kawasan cagar budaya yang dapat diterapkan diantaranya adalah:1.Melestarikan suatu tempat sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan makna kulturalnya.2.Melestarikan, melindungi, memanfaatkan sumber daya suatu tempat.3.Memanfaatkan kegunaan dari suatu tempat untuk menampaung atau memberikan wadah bagi kegiatan yang sama/baru sama sekali.4.Mencegah perubahan sosial masyarakat dan tradisi.5.Meningkatkan niali ekonomi suatu bangunan d\sehingga bernilai komersial untuk modal bagi suatu tempat.6.Mengupayakan semaksimal mungkin agar orisinalitas/keaslian bentuk, wajah (fasade) banguann serta pola kawasan tetap dipertahankan.Danisworo (2000) menyebutkan upaya-upaya revitalisasi diantaranya adalah:1.Perbaiakn kondisi fisik banguanann yang mengalami kerud\sakan dan penuaan.2.Penyediaan tata hijau3.Perbaikan system penghubung/transportasi di kawasan4.Perbaiakn system penanandaan, pengaturan reklame dan penataanstrett furniturelainya5.Perbedaan ruang terbuka kawasanMenurut Rogers (1996) uapay-upay revitalisasi diantaranya adalah:1.Pengadaan/renovasi banguan harus menyesuaikan karakter kawasan cagar budaya2.Pengaturan dan penyesuaian system sirkulasi melalui manajemen transportasi dan perparkiran3.Penyediaan ruang terbuka kawasan4.PenyesuaianStreet furnituredan signageMenurut P.Hall/U. Pfeiffer (2001) upaya-upaya revitalisasi khususnya adalah hal ekonomi diantaranya yang diperlukan adalah:1.Pengembangan Ekonomi Formal yang sudah eksis dan memiliki kemantapan di kawasan.2.Pengembangan Ekonomi Informal yang menunjang kegiatan ekonmi formal dan aktivitas lainnya.3.Penciptaan Ekonomi Baru, yaitu pengadaan kegiatan ekonomi baru yang memilki potensi dan peluang untuk membangkitkan datya tarik baru di kawasan.

MenurutZielenbach (2000) revitalisasi kawasan dapat dicapai melalui:1.Penciptaan Kegiatan Ekonomi2.Perbaikan Ekonomi lokal3.Menarik Investasi dari swasta4.Memperbaiki dan membantu komunitas local dalam rangka peningkatan local leadership dan inisiatif5.Mengoptimalkan modal social yang dimiliki masyartakat localMenurut Zuziak (1993) upaya-upaya dalam mencapai tujuan revitalisasi adalah:1.Memperkuat basis-basis ekonomi kawasan2.Memperbaiki kesehatansocial-fabricdengan meningkatkan potensi ekonomi3.Meningkatkan nilai kompetitif kawasan4.Memperbaiki tingkat aksesbilitas dan pola keterkaitan internal dan eksternal kawasan5.Menciptakan kawasan yang atraktif dan menarik secara visual dan social melalui perancanagn bangunan, penataan jalur pedestrian-streetscape, adaptive re-use6.Penyediaan dan perbaikan instrument regulasi dan instrument financial oleh pemerintah

BAB IVPENUTUP

4.1Kesimpulan

Faktor-faktor penyebab turunnya vitalitas pada kawasan Pecinan kembang jepun antara lain adalah : (a)Ekonomi kawasan tidak stabil, (b)Pertumbuhan ekonomi yang menurun, (c) Produktivitas ekonomi menurun, (d)Menurunnya nilai property,(e)Menurunnya pelayanan sarana dan prasarana,(f)Kerusakan ekologi kawasan, (g)Kerusakan amenitas kawasan, (h)Hilangnya tradisi local, (i)Berpindahnya penduduk ke luar kawasan (residential flight), (j)Berpindahnya kegiatan usaha ke luar kawasan (business flight), (k)Hilangnya peran terpusat kawasan.Komponen-komponen revitalisasi pada kawasan pecinan kembang jepun Surabaya yang membutuhkan penanganan diantaranya adalah (a) aspek fisik, (b) aspek aktivitas sosial, (c) aspek aktivitas ekonomi dan (d) aspek intitusional.Faktor-faktor yang menyebabkan komponen-komponen revitalisasi di kawasan Pecinan membutuhkan penanganan berupa: (a) kondisi fisik yang tidak tertata seperti adanya bangunan-bangunan yang tidak harmonis dengan karakter kawasan, selain itu tidak adanya pedestrian yang nyaman, ruang terbuka hijau yang terbatas dan pengaturan jaringan jalan, (b) aktifitas sosial yang memudar disebabkan tidak adanya partisipasi masyarakat setempat untuk menggerakkan kegiatan sosial-budaya masyarakat China, (c) aktivitas ekonomi yang kurang didukung oleh promosi produk local disebabkan minimnya kreativitas produk-produk ekonomi khas masrakat Pecinan, (d) kurangnya perhatian pemerintah dalam pelestarian kawasan Pecinan

Daftar Pustaka

Danisworo, Muhammad / Widjaja Martokusumo, 2000. Revitalisasi Kawasan Kota Sebuah Catatan dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Kawasan Kota, Jakarta: Urban and Regional Development Institute.