Upload
aulia-rizki
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi saluran pernafasan akut adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah
yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, tanpa atau disertai radang parenkim paru. Pneumonia
adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan parenkim paru.1
Pneumonia merupakan suatu peradangan pada parenkim paru. Definisi lainnya disebutkan
Pneumonia Balita merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan akut, yaitu terjadi
peradangan atau iritasi pada salah satu atau kedua paru, yang disebabkan oleh infeksi.
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi pada anak yang sangat serius dan merupakan
salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang paling banyak menyebabkan
kematian pada Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak Balita di dunia
dan ini merupakan 30 % dari seluruh kematian. Di negara berkembang Pneumonia merupakan
kematian utama.2
Gizi buruk sebagai salah satu komplikasi dari bronkopneumonia merupakan masalah yang
membutuhkan perhatian khusus terutama di negara-negara berkembang. Gizi buruk merupakan
faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita. Di Indonesia
KEP dan defisiensi mikronutrien juga menjadi masalah kesehatan penting dan darurat di
masyarakat terutama anak balita. Kasus kematian balita akibat gizi buruk kembali berulang,
terjadi secara masif dengan wilayah sebaran yang hampir merata di seluruh tanah air. Diagnosis
gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan laboratorium.
Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan
energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin dan
mineral yang menyertainya.2
Perkembangan motorik berbeda tingkatannya pada setiap individu. Anak usia 6 bulan bisa
dengan mudah menggerakkan kepala kanan dan kiri, sementara yang lainnya mungkin akan bisa
setelah berusia 9 bulan atau lebih.3
1
Demikian pula stimulasi lingkungan, status gizi, ras dan genetik mempunyai pengaruh
penting dalam perkembangan motorik. Hal ini dapat dilihat perbedaan kemampuan rata-rata
perkembangan motorik anak di berbagai Negara. Dibandingakan anak-anak di Amerika dan
Eropa Barat, maka perkembangan motorik milestone pada anak Indonesia tergolong rendah. Di
Amerika, anak mulai berjalan pada umur 11,4–12,4 bulan11, dan anak-anak di Eropa antara
12,4–13,6 bulan12. Sedangkan di Indonesia, pada sampel yang diteliti adalah rata-rata 14,02
bulan.3
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ulfa Aliya Fitri
Tanggal Lahir/umur : 07 September 2013/ 7 bulan 23 hari.
Alamat : Blang krueng, Baitussalam, Aceh Besar
Agama : Islam
Suku : Aceh
Nomor CM : 0-96-05-12
Jaminan : JKRA
Tanggal masuk : 17 Februari 2014
Nama Ayah : Syarifuddin
Nama Ibu : Megawati
2.2. ANAMNESA
Keluhan Utama
Sesak nafas
Keluhan Tambahan
Nafas cuping hidung (+), Batuk berdahak (+), Demam (+)
3
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
nafas timbul terus-menerus dan terlihat semakin lama semakin memberat, sesak tidak berkurang
saat tidur,maupun perpindahan posisi dan tidak bertambah berat ketika aktifitas. Ibu os juga
mengeluhkan pasien demam ± 10 hari SMRS, demam hilang timbul, demam dirasakan
berkurang setelah pemberian obat penurun panas ± 6-8 jam, lalu demam timbul kembali. Ibu
juga mengeluhkan os batuk ± 7 hari SMRS, batuk dirasakan terus menerus, batuk berdahak,
namun menurut ibu os dahaknya lengket tidak dapat di batukkan atau dikeluarkan. Ibu os
membawa os ke PUSKSESMAS dan diberikan obat batuk sirup, namun ibu pasien tidak
mengetahui nama obatnya.
Ibu os juga mengeluhkan pasien sering terlihat kaku pada tangan dan kaki, mata os melihat
ke atas, dimana timbul selama ± 5menit, namun kemudian pasien tertidur, kaku pada kedua
tangan dan kaki sering terlihat pada pasien, namun kaku ini tidak disertai oleh meningginya suhu
badan sebelumnya. Menurut ibu os pasien pernah mengalami kejang satu hari setelah lahir dan
dirawat di RSUDZA selama 6 hari.
Ibu os juga mengeluhkan pasien terlihat kurus, dengan BB 5 Kg yang di timbang di
PUSKESMAS, nafsu makan pasien baik. Menurut ibu os pasien tidak dapat menggerakkan
kepala sepenuhnya dari kanan ke kiri dan tidak dapat menahan posisi kepala untuk tegak.
Riwayat Pemberian Obat
- Paracetamol sirup, demam turun setelah pemberian obat.dan timbul lagi ± 6 jam
kemudian.
- Obat batuk sirup (pasien lupa nama obatnya) dari PUSKESMAS dan batuk berkurang
Riwayat Penyakit Keluarga
Asma (-)
Tidak ada kelurga pasien mengalami keluhan yang sama seperti pasien.
4
Riwayat Kehamilan
Ibu ANC teratur di bidan dan Sp.OG, USG 2 x dengan hasil presentasi letak janin normal.
Ibu tidak ada mengeluhkan keputihan (-), Hipertensi (-), demam (-), nyeri saat BAK (-)
Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara sectio caesaria atas indikasi letak sungsang, dengan BBL 3600 gram, bayi
segera menangis spontan.
Riwayat Pemberian Makanan
Umur Riwayat Pemberian Makanan
0-6 bulan
6-8 bulan
ASI
ASI + MPASI
Riwayat Imunisasi
Tidak pernah di imunisasi, menurut ibu karena os sering demam.
5
2.3. PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum : Sesak nafas
- Kesadaran : Compos mentis
- HR : 100 x/menit, reguler
- Pernafasan : 44 x/menit, reguler
- Suhu : 37,7oC
- Keadaan Gizi : BB : 5.1 kg Usia: 7 bulan 23 hari, 8 bulan
PB : 63 cm
BB/U : Z score<-3SD
PB/U : -3SD< Z Score <-2 SD
BB/PB : Z score <-3 SD
HA: 4,5 bulan.
7
Kulit
Warna : Kuning langsat
Parut Cacar : (-)
sianosis : (-)
Ikterus : (-)
udem : (-)
Kepala
Rambut :warna kemerahan, tipis, sukar dicabut
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Mata : Konjunctiva pucat (-/-), ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya (+/+), Pupil isokor bulat 3 mm/3 mm
9
Telinga : Serumen (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), Napas cuping hidung (+)
Mulut : Bibir: Bibir kering ( - ), mukosa kering ( - ),sianosis ( - ).
Leher
Inspeksi : Simetris, retraksi (+)
Palpasi : Pembesaran KGB ( - )
Thorax
Inspeksi
Statis : Simetris, cardic bulging ( - )
Dinamis : Pernafasan abdominothorakal, retraksi suprasternal (+) retraksi
intercostal (+), retraksi epigastica (+)
Paru
Inspeksi : Simetris statis, dinamis
Palpasi : Nyeri tekan (-), Sfka=Sfki
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (+/+) melemah
Suara napas tambahan rhonki (+/+) pada basal paru kanan dan kiri, stridor (+)
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba, thrill (-)
10
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I > BJ II , reguler (+), bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Palpasi : Nyeri Tekan ( - ),
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : Ballotement tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (N), 4x/menit, bising usus (-)
Genetalia : dalam batas normal
Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB ( - )
Ekstremitas : -Superior : sianosis (-/-)
-Inferior : sianosis (-/-) edema (-/-)
11
2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah rutin dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah rutin
Pemeriksaan 6/3/2014 13/3/2014 Normal
Hemoglobin 11,9 9,6 13,0-17,0 gr/dl
Hematokrit 28 40-55%
Leukosit 7,4 8,3 9-30x103/ul
Trombosit 586 150-400
2.5 DIFERENSIAL DIAGNOSA
Bronkopneumonia
Bronkiolitis
+ Gizi Buruk
+ Motor Delay
2.6 DIAGNOSA SEMENTARA/DIAGNOSA KERJA
Bronkopneumonia + Gizi buruk + Motor Delay
2.7 TERAPI
O2 nasal 2 liter/i
inj. Ceftriaxone 250 mg/12 jam
inj. Gentamicin 30 mg/24 jam
diet F100 75cc/3jam+ 6 cc ASI/3 jam
12
Kebutuhan cairan : 650cc/24 jam
2.8 PLANNING
Darah rutin
Foto Thoraks
Kultur sputum dan sensivitas bakteri
Konsul Divisi Respirologi
Konsul Divisi Gizi
Konsul Fisiotherapi
2.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo Sanactionam : dubia ad bonam
13
2.10 FOLLOW UP HARIAN
Tanggal/hari
rawatan
Catatan Instruksi
01-03-2013
H-1
S/ sesak, batuk
O/ VS/HR = 100 x/menit
RR = 45 x/menit
T = 37,7oC
Pf/
Kepala : normocephali,
Mata : konj.palp.inf pucat (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-)
Hidung: NCH (+), sekret (-)
Mulut: mukosa basah, sianosis (-)
Leher : pemb. KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-), ves (+/+),
Rh (+/+), Wh (-/-), stridor (+/+)
Cor : BJ I>BJ II, reg, bising (-)
Abdomen: soepel, H/L/R tidak teraba,
timpani (+), peristaltik (+), bising usus
(-)
Ektremitas :
Th /
1. O2 nasal 2 liter/i
2. inj. ceftriaxone 100 mg/12 jam
3. inj. Gentamicin 30 mg/24 jam
4.Diet F100 + 80 cc Asi/3jam
14
-Superior : pucat (-/-) edema (-/-)
-Inferior : pucat (-/-) edema (-/-)
Ass/ Dypsneu ec Bronkopneumonia +
Gizi Buruk
02-03-2013
H-2
S/ sesak nafas (+)
O/ VS/HR = 122 x/menit
RR = 32 x/menit
T = 37,4oC
Pf/
Kepala : normocephali,
Mata : konj.palp.inf pucat (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-)
Hidung: NCH (+), sekret (-)
Mulut: mukosa basah, sianosi (-)
Leher : pemb. KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (+), ves
(+/+), Rh (+/+), Wh (-/-),stridor (+/+)
Cor : BJ I>BJ II, reg, bising (-)
Abdomen: soepel, H/L/R tidak teraba,
timpani (+), peristaltik (+), bising usus
Th /
1. O2 nasal 2 liter/i
2. inj. ceftriaxone 100 mg/12 jam
3. inj. Gentamicin 30 mg/24 jam
4.Diet F100 + 80 cc Asi/3jam
15
(-)
Ektremitas :
-Superior : pucat (-/-) edema (-/-)
-Inferior : pucat (-/-) edema (-/-)
Ass/ Dypsneu ec Bronkopneumonia +
Gizi buruk
03-03-2013
H-3
S/sesak nafas (+) tetapi sudah berkurang
O/ VS/HR = 120 x/menit
RR = 65 x/menit
T = 37oC
Pf/
Kepala : normocephali,
Mata : konj.palp.inf pucat (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-)
Hidung: NCH (+), sekret (-)
Mulut: mukosa basah, sianosi (-)
Leher : pemb. KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (+), ves
(+/+), Rh (+/+), Wh (-/-), Stridor (+/+)
Th/
1. O2 nasal 2 liter/i
2. inj. ceftriaxone 100 mg/12 jam
3. inj. Gentamicin 30 mg/24 jam
4.Diet F100 + 80 cc Asi/3jam
P/
-Monitoring gizi
-Monitoring BB
16
Cor : BJ I>BJ II, reg, bising (-)
Abdomen: soepel, H/L/R tidak teraba,
timpani (+), peristaltik (+), bising usus
(+)
Ektremitas :
-Superior : pucat (-/-) edema (-/-)
-Inferior : pucat (-/-) edema (-/-)
Ass/ Dypsneu ec Bronkopneumonia +
Gizi buruk
04-03-2013
H-4
S/ sesak nafas berkurang (+)
O/ VS/HR = 134 x/menit
RR = 35 x/menit
T = 37oC
Pf/
Kepala : normocephali,
Mata : konj.palp.inf pucat (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-)
Hidung: NCH (+), sekret (-)
Mulut: mukosa basah, sianosi (-)
Leher : pemb. KGB (-)
Th/
1. O2 nasal 2 liter/i
2. inj. ceftriaxone 100 mg/12 jam
3. inj. Gentamicin 30 mg/24 jam
4.Diet F100 + 80 cc Asi/3jam
17
Thoraks: simetris, retraksi (-), ves (+/+),
Rh (+/+), Wh (-/-), stridor (+/+)
Cor : BJ I>BJ II, reg, bising (-)
Abdomen: soepel, H/L/R tidak teraba,
timpani (+), peristaltik (+), bising usus
(-)
Ektremitas :
-Superior : pucat (-/-) edema (-/-)
-Inferior : pucat (-/-) edema (-/-)
Ass/ Dypsneu ec Bronkopneumonia +
Gizi buruk
05-03- 2013
H-5
S/ sesak sudah berkurang
O/ VS/HR = 150 x/menit
RR = 54 x/menit
T = 36,5oC
Pf/
Kepala : normocephali,
Mata : konj.palp.inf pucat (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-)
Hidung: NCH (-), sekret (-)
Th /
1. O2 nasal 2 liter/i
2. inj. ceftriaxone 100 mg/12 jam
3. inj. Gentamicin 30 mg/24 jam
4.Diet F100 + 80 cc Asi/3jam
18
Mulut: mukosa basah, sianosi (-)
Leher : pemb. KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-), ves (+/+),
Rh (+/+), Wh (-/-),Stridor (+/+)
Cor : BJ I>BJ II, reg, bising (-)
Abdomen: soepel, H/L/R tidak teraba,
timpani (+), peristaltik (+), bising usus
(-)
Ektremitas :
-Superior : pucat (-/-) edema (-/-)
-Inferior : pucat (-/-) edema (-/-)
Ass/ Dypsneu ec Bronkopneumonia +
Gizi buruk
19
BAB III
ANALISA KASUS
3.1 Bronkopneumonia
Diagnosa bronkopneumonia pada kasus ini ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penuunjang. Dari anamnesis terhadap ibu pasien, didapatkan keterangan
yang mengarahkan pada kecurigaan pneumonia, yaitu sesak nafas, batuk berdahak dan demam.
Manifestasi klinis bronkopneumonia adalah gejala infeksi umum (demam, sakit kepala,
penurunan nafsu makan) dan gejala gangguan repiratori (batuk, sesak nafas). Dari anamnesis,
manifestasi klinis didahului beberapa hari dengan gejala infeksi saluran pernapasan atas (ISPA),
yaitu batuk, rinitis (pada pasien ini didahului batuk), peningkatan usaha bernafas, demam.
Keluhan yang paling menonjol pada pasien bronkopneumonia adalah batuk dan demam.2,3,5
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus terminalis yang
mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa infiltrat atau konsolidasi pada
alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia ini dapat mengakibat gangguan pertukaran gas
setempat. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh
bakteri,virus, jamur dan benda asing. Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan
penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis, dan strategi pengobatan.6
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang semakin menguatkan bronkopneumonia
yaitu takipnu, takikardi, suhu aksila 37,7 ◦c, nafas cuping hidung,suara nafas vesikuler melemah,
dan Stridor di kedua basal paru.. Gejala-gejala pneumonia bakteri pada bayi adalah demam,RR
meningkat dan adanya batuk berdahak2,3,5
Berdasarkan kepustakaan bronkopneumonia adalah suatu infeksi akut pada paru – paru
yang secara anatomi mengenai begian lobulus paru mulai dari parenkim paru sampai perbatasan
bronkus yang dapat disebabkan oleh bermacam – macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur
dan benda asing ditandai oleh trias (sesak nafas, pernafasan cuping hidung, sianosis sekitar
hidung atau mulut). Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratoris bagian
atas selama beberapa hari.Suhu dapat naik mendadak sampai 39 – 40o C dan mungkin disertai
kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah dispneu, pernafasan cepat dan dangkal
20
disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang – kadang
disertai muntah dan diare.Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin
terdapat batuk selama beberapa hari, yang mula – mula kering kemudian menjadi produktif. Pada
laboratorium pada bronkopneumonia, gambaran darah terdapat leukositosis sedangkan pada
bronkiolitis gambaran darah tepi dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran
asidosis respiratorik maupun metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan nafas secara percikan (droplet), proses radang
pneumonia dapat dibagi atas 4 stadium, yaitu :
1. Stadium kongesti
Kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih, bakteri dalam
jumlah banyak, beberapa neutrofil dan makrofag
2. Stadium hepatisasi merah
Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara, warna
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar.Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit
netrofil, eksudat dan banyak sekali eritrosit dan kuman.Stadium ini berlangsung sangat pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu
Lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu.Permukaan pleura suram
karena diliputi oleh fibrin.Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis
pneumokokus.Kapiler tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi
Eksudat berkurang.Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis
dan degenerasi lemak.Fibrin diresorbsi dan menghilang.Secara patologi anatomis
Bronkopneumonia berbeda dari pneumonia lobaris dalam hal lokalisasi sebagai bercak – bercak
dengan distribusi yang tidak teratur.Dengan pengobatan antibiotika urutan stadium khas ini tidak
terlihat.4
Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu, darah perifer
lengkap, C-reaktif Protein (CRP), uji serologis, pemeriksaan mikrobiologis dan pemeriksaan
rontgen thoraks. Pemeriksaan darah lengkap perfier pada pneumonia yang disebabkan oleh virus
biasanya leukosit dalam batas normal, namun pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri
didapatkan leukositosis (15.000–40.000/mm3). Dengan dominan PMN. Leukopenia
(<5000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang–kadang
21
ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-
100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah.
Kadang–kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat. CRP adalah suatu protein
fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi
CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau
sel rusak, secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisial atau profunda. Uji
serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat
dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan
chlamydia tampak adanya peningkatan antibodi IgM dan IgG. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus,
darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan darah rutin
dengan hemoglobin 11,4 mg/dl.
Pasien didiagnosa banding dengan bronkiolitis karena bronkiolitis sering menyerang anak
usia 2-24 bulan dengan puncak insidensi pada bayi laki-laki usia 2-8 bulan yang tidak mendapat
Air Susu Ibu (ASI) dan hidup dilingkungan padat penduduk. Gejala pada bronkiolitis yang mirip
dengan brokopneumonia adalah didahului dengan ISPA, seperti pilek ringan, batuk, dan demam,
disusul dengan demam disertai sesak nafas, merintih, nafas berbunyi, rewel, dan penurunan nafsu
makan. Menurut Siahaan (2013) pada bronkilitis ditemukan wheezing dimana pada
bronkopneumonia jarang ditemukan wheezing sedangkan menurut Prober (1999) pada
bronkopneumonia juga dapat ditemukan adanya wheezing. Pada pasien ini tidak ditemukan
adanya wheezing.8,10
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah tirah baring, pemberian Oksigen 2
liter/menit, Infus 4:1 dengan 15 tetes/menit (mikro), pemberian air susu ibu melalui nasogastrik
tube (jika sesak memberat), dilakukan suction untuk menghilangkan sekret dan medikamentosa
berupa antibiotik ceftriaxone 250mg/12jam (intravena) dan Gentamisin 15mg/12jam
(intravena).6
Oksigen diberikan untuk mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk bernapas, dan
mengurangi kerja miokardium. Oksigen diberikan pada anak yang menunjukkan gejala adanya
22
tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam, SpO2< 90%, frekuensi nafas
60x/menit atau lebih, merintih setiap kali bernafas untuk bayi muda, dan adanya head nodding
(anggukan kepala). Selanjutnya diberikan ceftriaxone 250 mg/12jam, sesuai dengan teori yang
dapat dilihat berdasarkan etiologi dari bronkopneumonia akibat bakteri, bakteri yang cukup
banyak menyebabkan bronkopneumonia adalah bakteri kokus gram positif seperti streptococcus
pneumonia, dan pneumococcus.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya ISPA (infeksi saluran pernapasan
akut ) adalah tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat
pendidikan dan pengetahuan, jangkauan pelayanan Zat gizi (makanan) memiliki efek kuat untuk
reaksi kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil
penelitian akhir-akhir ini yang memperlihatkan bahwa melalui pemberian gizi, dan hormon
anabolik dapat mengatur daya tahan (resistensi) hospes terhadap infeksi bakteri. Kurang Energi
Protein (KEP), ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat sehingga
menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu
determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi. Resiko
kesakitan hingga resiko kematian pada BBLR cukup tinggi oleh karena adanya gangguan
pertumbuhan dan imaturitas organ. Penyebab utama kematian pada BBLR adalah afiksia,
sindroma gangguan pernapasan, infeksi dan komplikasi hipotermia. Pada bayi BBLR,
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi
terutama Pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.9
3.2 Gizi Buruk
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya
di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena
kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut
marasmus), dan kekurangan kedua-duanya. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita
(bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk
adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapan
lain status gizinya berada di bawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein,
karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang
23
umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk
terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.11
Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan
berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila pertambahan berat
badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, dia
bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila
jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk
kekurangan gizi tingkat berat atau akut14
Pada kasus diperoleh data BB : 5.1 kg, Usia: 7 bulan 23 hari, PB : 63 cm, BB/U : Z
score<-3SD, PB/U : -3SD< Z Score <-2 SD, BB/PB : Z score <-3 SD, HA: 4,5 bulan.
Kesimpulan dari status gizi pasien adalah pasien menderita gizi buruk. Gizi buruk ditandai
dengan nilai perbandingan berat badan terhadap panjang badan di bawah skala -3 standar deviasi.
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu Masukan makanan yang kurang, Infeksi
yang berat dan lama, misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan
sifilis congenital, Kelainan struktur bawaan misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia,
hidrosefalus, cystic fibrosis pancreas, Prematuritas dan penyakit pada masa neonates, Pemberian
ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup, Gangguan metabolik,
Tumor hypothalamus, Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan
tambahan yang kurang dan laju Urbanisasi.
Pada pasien hanya ditemukan dua factor risiko gizi buruk, yaitu factor sosialekonomi dan
factor penyakit infeksi. Social ekonomi keluarga yang berasal dari keluarga ekonomi menengah
ke bawah mengakibatkan asupan gizi terhadap anak tidak dapat diperolaeh dengan baik, hal ini
dikarenakan kemampuan keluarga untuk menyediakan bahan makanan dengan gizi seimbang
tidak dapat terpenuhi. Selain itu, status pendidikan orangtua yang rendah mengakibatkan
pengetahuan akan tumbuh kembang anaknya terhambat.
Gejala gizi buruk tipe marasmus adalah Anak tampak sangat kurus karena hilangnya
sebagian besar lemak dan otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit, Wajah seperti orang tua,
Iga gambang dan perut cekung, Otot paha mengendor (baggy pant), Cengeng dan rewel, setelah
mendapat makan anak masih terasa lapar. Gejala gizi buruk kwasiokorn adalah Perubahan status
mental : cengeng, rewel, kadang apatis Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan
24
mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam,
Wajah membulat dan sembab, Pandangan mata anak sayu, Pembesaran hati, hati yang membesar
dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir
yang tajam, Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas. Pada Marasmik-Kwashiorkor Gambaran klinis merupakan campuran
dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian
disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda
kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi
terlihat pula.12
Pada kasus ditemukan anak memiliki dada gambang, perut membesar, udem pretibial
tidak ada, muka tua, rambut tipis dan kering berwarna merah seperti rambut jagung. Hal ini
menunjukkan pasien menderita gizi buruk tipe campuran.
Pada awal fase stabilisasi perlu pendekatan yang sangat hati-hati, karena keadaan faali
anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian makanan harus dimulai
segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup
untuk memenuhi metabolisma basal saja. Formula khusus seperti Formula WHO
75/modifikasi/Modisco ½ yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun
sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut.
Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara berlahan-lahan untuk
menghindari risiko gagal jantung, yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam
jumlah banyak secara mendadak.Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0
g per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml)
dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan
dengan kandungan energi dan protein yang sama. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali,
sampai hanya sedikit formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgbb/kali
pemberian (200 ml/kgbb/hari). Setelah fase transisi dilampaui, anak diberi: Formula WHO
100/pengganti/Modisco 1 dengan jumlah tidak terbatas dan sering. Energi : 150-220 Kkal/kg
bb/hari, Protein 4-6 gram/kg bb/hari. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri
formula WHO 100/Pengganti/Modisco 1, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi
untuk tumbuh-kejar.13
25
Pada kasus, diet diberikan adalah F100 + 80 cc ASI/3 jam. Pemberian F100 karena alsaan
anak telah melewati masa transisi pada kasus gizi buruk. Pemberian F100 dilakukan sesering
mungkin sampai anak merasa cukup. Hal ini sesuai dengan 10 tatalaksana awal gizi buruk, yaitu
pemberian makanan awal. Yang perlu diperhatikan juga adalah pencegahan dan atasi infeksi,
yaitu pneumonia pada kasus pasien anak.
Pemeriksaan penunjang juga mendukung untuk menegakkan diagnosis, karena pada gizi
buruk dapat terjadi anemia, rendahnya protein total dan albumin. Anemia ringan selalu
ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain, terutama infestasi parasit
(ankilostomiasis, amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi
disebabkan kurangnya nutrien yang penting untuk pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B
kompleks (B12, folat,B6). Pada kwashiorkor terjadi katabolisme jaringan yang berlebihan karena
persediaan energy dapat dipenuhi oleh jumlah kalori yang cukup dalam dietnya. Namun,
kekurangn protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan asam amino esensial yang
dibutuhkan untuk sintesis. Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi
insulin akan meningkat dan sebagian asam amino yang jumlahnya sudah kurang akan disalurkan
ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab kurangnya pembentukan
albumin oleh hepar.
Menurut McLarren gizi buruk dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium.
Tabel 4.1 klasifikasi gizi buruk menurut McLarren
Gejala klini/laboratories Angka
Edema 3
Dermatosis 2
Edema disertai dermatosis 6
Perubahan pada rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin serum atau protein total
<1,00 <3,25 7
1-1,49 3,25-3,99 6
1,50-1,99 4,00-4,75 5
2,00-2,49 4,75-5,49 4
26
2,50-2,99 5,50-6,24 3
3,00-3,49 6,25-6,99 2
3,50-3,99 7,00-7,74 1
>4,00 >7,75 0
Keterangan :
0-3 = marasmus
4-8 = marasmik kwashiorkor
9-15 = kwashiorkor
Pada kasus diskenario klinis pasien yang didapat berupa udem, kelainan kulit dan dari
hasil laboratorium didapatkan nilai protein total yaitu 4,6 dan nilai albumin 2,4, berdasarkan
scoring Mclarenn dengan nilai 11 maka masuk kedalam gizi buruk tipe kwashiorkor.
Indikasi Rawat
Gizi buruk dengan komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi
berat, demam tinggi dan penurunan kesadaran) harus dirawat di rumah sakit, Puskesmas
perawatan, Pusat Pemulihan Gizi (PPG) atau Theurapeutic Feeding Center (TFC), sedangkan
gizi buruk tanpa komplikasi dapat dilakukakan secara rawat jalan.
Pada kasus di atas, keluarga pasien menyatakan bahwa anaknya mulai selalu muntah apa
yang dimakan sejak umur 6 bulan dan pasien tidak mau makan. Artinya, dalam hal ini pasien
dengan gizi buruk pada kasus tersebut dirawat karena pasien mengalami tanda-tanda berikut
anak terlihat sangat kurus, BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5 cm, serta terdapat komplikasi berupa
anoreksia.
3.3 Motor Delay
Sesuai dari hasil pemeriksaan KPSP 6 bulan, didapatkan kesimpulan bahwa pasien
mengalami kelainan dengan skor 1, maka dilakukan konsultasi ke bagian fisiotherapi untuk
dilakukan stimulasi sesuai usia perkembangan pasien dengan panduan KPSP usia 6 bulan selama
2 minggu. Selanjutnya dilakukan evaluasi perkembangan pada pasien.
27
Gambar 4.5 Alur pemeriksaan pasien gizi burukKriteria sembuh
Bila BB/TB atau BB/PB > -2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi kriteria
pulang sebagai berikut:
a. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
b. BB/PB atau BB/TB > -3 SD
c. Komplikasi sudah teratasi
d. Ibu telah mendapat konseling gizi
e. Ada kenaikan BB sekitar 50 g/KgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut
f. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganda Sigalingging, Zr. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia Pada Anak di Ruang
Merpati RSU HERNA MEDAN, Jurnal Darma Agung. 2010.
2. Nurjannah, Savira N, Anwar S. Profil Pneumonia pada Anak di RSUD dr. Zainoel Abidin,
Studi Retrospektif. Sari Pediatri. 2012;13:324-328
3. Dalimunthe W, Daulay RS, Daulay RM. Significant Clinical Features in Pediatric
Pneumonia. Pediatrica Indonesian. 2013;53:37-41
4. Gaas D. Bronkopneumonia. Medula . 2013;1:63-71
5. Nurjannah, Savira N, Raihan, Yusuf S, Anwar S. Insidens Diare pada Anak dengan
Pneumonia, Studi Retrospektif. Sari Pediatri. 2011;13:169-173
6. Fadhila A. Penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan Bronkopneumonia pada Pasien Bayi
laki-laki Berusia 6 bulan. Medula. 2013;1:1-10
7. Dewi NPSW, Purniti PS, Naning R. Serum C-Reaktive Protein Levels in Severe and Very
Severe Pneumonia in Children. Paediatrica Indonesiana. 2012; 52:161-164
8. Siahaan MLI. Bronkopneumonia pada Bayi dengan Sindrom Down. Medula. 2013;1:75-84
9. Sukmawati, Ayu SD. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir, Imunisasi, dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kecamatan
Bontoa Kabupaten Maros. Media Gizi Pangan. 2010;10:1-12
10. Prober CG. Pneumonia. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin, penyunting ; Wahab
AS penyunting edisi bahasa Indonesia. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15.
Jakarta :EGC 1999;h. 883-889
11. Nency, Y, 2005, Gizi Buruk Ancaman Generasi Yang Hilang,
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=113,
12. Depkes RI. 2000. Pedoman Tatalaksana Kekurangan Energi Protein Pada Anak di Rumah
Sakit Kabupaten/Kodya. Jakarta.
13. Nelson, WE.2007. Malnutrition.In Nelson WE.(ed) Mitchel Nelson Text Book of
Pediactrics 5thed. WB Saunders Co. Philadelphia & London.
14. Nurcahyo. Pardede, J, 2006. Atasi Gizi Buruk dengan Komprehensif dan Berkelanjutan,
http://analisadialy.com.
29