82

BAB I A. Latar Belakang - Digital Library UNS... · Hal ini menunjukkan lemak juga potensial sebagai bahan baku ... Identifikasi Masalah ... tetapi hanya ikan yang mengkonsumsi mikroalga

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produksi ikan di Indonesia cukup besar, baik ikan laut maupun ikan air tawar.

Ikan memiliki sifat yang sangat mudah rusak selain itu kondisi penanganan

pascapanen yang kurang baik juga membuat ikan menjadi cepat busuk. Kerusakan

mekanis dapat terjadi akibat benturan selama penangkapan, pengangkutan, dan

persiapan sebelum pengolahan (Astawan, 2003). Sebagai contoh volume limbah

pengalengan ikan di Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mencapai 50-60

ton per bulan. Sehingga perlu dilakukan pemanfaatan lebih jauh mengenai

penanganan limbah ikan. Salah satunya adalah mengolahnya menjadi biodiesel.

Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif dari bahan mentah

terbarukan (renewable). Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat

bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar. Biodiesel merupakan

bahan bakar mesin diesel yang diperoleh dari minyak nabati atau lemak hewani dan

dapat digunakan pada mesin diesel konvensional meskipun tanpa modifikasi

(Rahayu, 2005). Lemak hewan yang biasa digunakan meliputi lemak babi, lemak

ayam, lemak sapi, dan juga lemak yang berasal dari ikan (Wibisono, 2007).

Pembuatan biodiesel dengan bahan baku lemak hewan belum banyak diteliti,

menurut Winarno (1997) biodiesel hasil konversi trigliserida dari lemak hewan

umumnya mengandung asam lemak berupa asam palmitat sekaitar 15-50% dari

seluruh asam-asam lemak yang ada, sedangkan jenis lainnya sekitar 25% diantaranya

asam stearat, dimana jenis asam tersebut juga terkandung dalam biodiesel dari

minyak nabati. Hal ini menunjukkan lemak juga potensial sebagai bahan baku

pembuatan biodiesel.

Guru (2008) ilmuwan dari Turki ini membuat biodiesel dari sisa-sisa lemak

hewan menggunakan dua katalis yakni H2SO4 dan NaOH 0,01 (w/w) menggunakan

pereaksi metanol membutuhkan waktu 2 jam. Selanjutnya dilakukan penambahan

Nikel dan Magnesium berlebih untuk meningkatkan karakteristik biodiesel. Adi

Setyono (2005) telah melakukan pembuatan biodiesel dari lemak babi menggunakan

2

pereaksi metanol dan katalis asam sulfat. Kandungan metil ester yang diperoleh

adalah metil ester palmitat, metil ester 11,12-eikosadinot, metil ester 11-

oktadekanoat, dan metil ester stearat. Tri Harjanti (2008) juga telah melakukan hal

yang serupa namun menggunakan katalis basa natrium. Karakterisasi biodiesel yang

dihasilkan memenuhi standar American Society fot Testing Materials (ASTM) dan

dirjen Migas. Pembuatan biodiesel yang dilakukan oleh El-Mashad (2008)

menggunakan bahan dasar dari minyak ikan salmon dengan katalis KOH 0,5% dan

perbandingan metanol:minyak 9,2:1 dihasilkan konversi biodiesel 99%.

Reaksi transesterifikasi dapat dikatalisis dengan katalis asam atau basa.

Katalis asam yang sering digunakan adalah asam sulfat dan asam klorida.

Penggunaan katalis asam membutuhkan waktu refluk yang sangat lama (48-96 jam),

perbandingan mol metanol yang dibutuhkan besar (30-150:1). Sedangkan katalis

basa yang sering digunakan adalah kalium hidroksida, natrium hidroksida dan

karbonatnya. Aktivitas katalis basa lebih cepat dibandingkan katalis asam, katalis

asam lebih korosif, sehingga katalis basa lebih disukai dan sering digunakan (Ilgen,

2007).

Minyak dan metanol tidak saling melarutkan secara sempurna, sehingga

dibutuhkan suhu tinggi untuk membentuk metil ester. Metanolisis minyak kedelai

menggunakan katalis basa dua fasa dengan tetrahidrofuran sebagai kosolven lebih

cepat dari proses dua fasa. Pembuatan biodiesel menggunakan katalis homogen basa

tanpa kopelarut biasanya menggunakan temperatur sekitar 50-60 °C dan waktu reaksi

sekitar 2 jam (waktunya lama) (Foon, 2004 dan Van Garpen, 2004). Kopelarut

digunakan untuk membentuk satu fasa yang mana metanol yang bersifat polar dapat

saling larut dengan trigliserida yang bersifat nonpolar. Eter merupakan pelarut yang

bagus untuk banyak reaksi organik. Eter siklik dengan masa molar kecil saling larut

dengan air dalam banyak perbandingan dan menjadi kopelarut yang bagus dalam

sistem metanol/minyak. Tetrahidrofuran merupakan pilihan terbaik untuk eter siklik.

Studi penggunaan kopelarut diketahui dapat meningkatkan kecepatan reaksi

transesterifikasi. Pada umumnya penggunaan kopelarut meningkatkan kecepatan

reaksi dengan menjadikan minyak larut dalam metanol sehingga meningkatkan

kontak yang terjadi pada reaktan dan reaksi berada pada satu fase (Ilgen, 2007).

3

Beberapa contoh kopelarut yang biasa digunakan merupakan turunan dari senyawa

eter yaitu Tetrahidroferon (THF), dietil eter, diisopropil eter dan metil tert-butil eter

(MTBE). MTBE biasa digunakan untuk meningkatkan bilangan oktan pada bahan

bakar, selain itu MTBE mudah dipisahkan dan digunakan lagi dengan metanol.

Sebelumnya, Lirong Chi (1999) telah berhasil mensintesis metil ester dari minyak

kedelai menggunakan kopelarut MTBE.

Penelitian ini dilakukan untuk mereaksikan minyak ikan hasil dari limbah

ikan menjadi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa dan

MTBE sebagai kopelarut. Biodiesel yang dihasilkan diidentifikasi menggunakan

HNMR dan GC-MS.

B. Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan reaksi transesterifikasi

diantaranya adalah pengaruh air dan asam lemak bebas, perbandingan molar alkohol

dan bahan mentah, temperatur dan jenis katalis. Penggunaan katalis dalam sistem ini

dapat menggunakan katalis basa homogen maupun heterogen. Katalis basa homogen

yang biasa digunakan adalah NaOH, KOH, dan karbonatnya.

Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester dengan katalis NaOH

membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dan temperatur di atas suhu kamar (50-60

°C). Waktu yang lama dan suhu yang tinggi tersebut diperlukan karena kelarutan

metanol dalam minyak pada kondisi kamar tidak besar, sehingga reaksi lambat pada

kondisi kamar. Upaya untuk meningkatkan kelarutan metanol dalam minyak adalah

dengan penambahan kopelarut.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka dibuat batasan masalah

sebagai berikut :

a. Minyak ikan yang digunakan berasal dari limbah usaha tepung ikan, di waduk

Gajah Mungkur Wonogiri

b. Katalis yang digunakan adalah NaOH sejumlah 1 % berat minyak ikan.

4

c. Kondisi dalam pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut:

1. Perbandingan mol methanol dengan minyak 27:1.

2. Reaksi dilakukan pada suhu kamar.

3. Waktu reaksi yaitu 5, 10, 15, 20 dan 25 menit.

4. Perbandingan volume MTBE dengan minyak adalah 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, rumusan

masalah penelitian adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pengaruh perbandingan volume MTBE dalam pembuatan biodiesel

dari minyak ikan terhadap kecepatan reaksinya?

b. Bagaimana pengaruh perbandingan volume MTBE dalam pembuatan biodiesel

dari minyak ikan menggunakan kopelarut MTBE pada suhu kamar terhadap

kemurniannya?

c. Apakah karakterisasi sifat fisik biodiesel yang dihasilkan memenuhi standar

American Society for Testing Materials (ASTM) dan Dirjen Migas?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bahwa minyak dari limbah ikan dapat dimanfaatkan menjadi

biodiesel melalui reaksi transesterifikasi dengan katalis basa pada suhu kamar.

2. Mempelajari pengaruh variasi jumlah kopelarut MTBE dan waktu reaksi

transesterifikasi minyak ikan pada suhu kamar.

3. Mengkarakterisasi sifat fisik biodiesel yang dihasilkan berdasarkan standar

American Society for Testing Materials (ASTM) dan Dirjen Migas.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memanfaatkan minyak ikan dari limbah ikan untuk produksi biodiesel sehingga

dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

5

2. Memberi informasi tentang penggunaan MTBE sebagai kopelarut dalam

pembuatan biodiesel.

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Minyak Ikan

Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin, dan

mineral yang sangat baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan

dibandingkan dengan produk lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan

kemudahannya untuk dicerna. Dibandingkan dengan negara-negara lain, konsumsi

ikan per kapita per tahun di Indonesia saat ini masih tergolong rendah, yaitu 19,14

kg. Hal ini sangat disayangkan, terutama mengingat betapa besar peranan gizi ikan

bagi kesehatan. Untuk mengatasi masalah rendahnya konsumsi ikan laut akibat

harganya yang relatif mahal, perlu upaya pengembangan ikan air tawar (Astawan,

2003).

Budidaya ikan air tawar biasa dilakukan di kolam, tambak atau karamba-

karamba di sekitar waduk. Namun, yang yang menjadi perhatian adalah ikan

merupakan bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan karena berbagai

jenis bakteri dapat menguraikan komponen gizi ikan menjadi senyawa-senyawa

berbau busuk dan anyir, seperti indol, skatol, H2S, merkaptan, dan lain-lain.

Sehingga pada budidaya ikan setiap harinya akan menghasilkan limbah ikan berbau

busuk yang menumpuk. Limbah ikan tersebut perlu diolah untuk menjadikannya

lebih bermanfaat, salah satunya adalah mengambil kandungan minyak didalamnya.

Minyak ikan adalah minyak yang berasal dari jaringan ikan yang berminyak.

Minyak ikan dianjurkan untuk diet kesehatan karena mengandung asam lemak

omega-3, EPA (eikosapentanoat), DHA (dokosaheksanoat) yang dapat mengurangi

peradangan pada tubuh. Tidak semua ikan menghasilkan asam lemak omega-3 akan

tetapi hanya ikan yang mengkonsumsi mikroalga saja yang dapat menghasilkan asam

lemak tersebut misalkan saja ikan herring dan ikan sarden atau ikan-ikan predator

yang memangsa ikan yang yang mengandung asam lemak omega-3 seperti ikan air

tawar, ikan air danau, ikan laut yang gepeng, ikan tuna dan ikan salmon

dimungkinkan mengandung asam lemak omega-3 yang tinggi.

7

Minyak ikan mengandung asam lemak yang beragam. Kandungan asam

lemak jenuh rendah sedangkan asam lemak tak jenuhnya tinggi terutama asam lemak

tak jenuh rantai panjang yang mengandung 20 atau 22 atom C atau lebih. Beberapa

asam ini termasuk EPA dan DHA (De Man, 1997). Asam lemak komponen beberapa

minyak ikan air tawar dan ikan laut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Asam lemak komponen utama beberapa minyak ikan air laut dan air tawar. Asam lemak

Ikan 14:0 18:0 18:1 22:1 18:2ω

6

18:3ω

3

20:4ω

3

20:5ω

3

22:5ω

3

Haring

Turbot

Ikan

Pedang

Cod

Sole

Halibut

Carp

Trout

lele

6.4

6,5

6,7

1,4

4,3

0,8

3,1

2,7

1,0

0,9

0,9

1,9

3,8

2,4

9,0

4,3

8,3

3,9

12,7

17,4

29,0

13,8

12,2

12,3

28,3

18,4

29,7

20,8

17,8

14,8

1,0

Tr

5,0

-

-

-

1,1

0,5

0,7

0,7

0,3

Tr

13,2

7,3

10,0

0,6

0,2

0,2

0,1

2,0

Tr

2,3

1,6

0,5

0,3

0,1

0,3

2,5

4,0

1,4

2,5

1,7

0,8

8,4

3,0

1,4

17,0

11,9

13,0

3,2

5,8

0,2

0,8

0,6

0,5

1,3

10,6

2,5

-

Tr

0,2

Tr = Sesepora

Sumber: De Man, 1997

Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan

lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi

larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), kloroform

(CHCl3), benzena dan hidrokarbon lainnya. Lemak dan minyak dapat larut dalam

pelarut tersebut karena mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut

(Herlina, 2002). Lemak dan minyak adalah trigliserida dan triasilgliserol. Trigliserida

alami adalah triester dari asam lemak berantai panjang (C12 sampai C24) dan

gliserol, merupakan penyusun utama lemak hewan dan minyak nabati. Trigliserida

juga banyak diubah menjadi monogliserida dan digliserida, karena baik

monogliserida dan digliserida luas penggunaannya sebagai bahan pengemulsi. Oleh

8

karena itu trigliserida melalui reaksi transesterifikasi dengan gliserol diubah menjadi

monogliserida dan digliserida dengan bantuan katalis seperti natrium metoksida dan

basa lewis lainnya. Hanya saja proses ini menghasilkan campuran yang terdiri atas

40-80% monogliserida, 30-40% digliserida 5-10% trigliserida, 0,2-9% asam lemak

bebas dan 4-8% gliserol (Juliati, 2002).

Asam-asam lemak yang ditemukan di alam biasanya merupakan asam-asam

monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom

genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam dapat dibagi menjadi dua

golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam-asam lemak

tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya, dan berbeda dengan

asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya. Asam lemak tak jenuh

biasanya terdapat dalam bentuk cis karena itu molekul akan bengkok pada ikatan

rangkap, walaupun ada juga asam lemak tidak jenuh dalam bentuk trans (Padley,

1994).

Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut kolesterol, sedangkan

lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak

jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Lemak hewani ada yang berbentuk padat

yang biasanya berasal dari lemak hewan darat seperti lemak susu, lemak sapi, lemak

babi. Lemak hewan laut seperti minyak ikan paus, minyak ikan Cod, minyak ikan

herring berbentuk cair dan disebut minyak. Bahan pangan hampir semua banyak

mengandung lemak dan minyak, terutama bahan yang berasal dari hewan (Winarno,

1997). Asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan

Nama Sistematis Nama Trivial Shorthand

9,12-oktadekadinoat

6,9,12-oktadekatrinoat

9,12,15-oktadekatrinoat

5,8,11,14-eikosatetranoat

5,8,11,14,17-eikosapentanoat

4,7,10,13,16,19-dokosaheksanoat

Linoleat

Gamma-linoleat

Alfa-linoleat

Arachidonat

EPA

DHA

18:2 (n-6)

18:3 (n-6)

18:3 (n-3)

20:4 (n-6)

20:5 (n-3)

22:5 (n-3)

9

Untuk asam lemak jenuh pada minyak ikan biasanya adalah asam miristat dan asam

palmitat dengan asam stearat yang jumlahnya sangat sedikit. Kadar asam lemak

polienoat yang tinggi menyebabkan mimyak ikan rentan terhadap autooksidasi (De

Man, 1997). Asam-asam lemak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan dapat

dilihat pada tabel 3.

Tabel.3 Asam-asam lemak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan.

Nama Sistematis Nama Trivial Shorthand

Etanoat

Butanoat

Heksanoat

Oktanoat

Dekanoat

Dodekanoat

Tetradekanoat

Heksadekanoat

Oktadekanoat

Eikosanoat

Dokosanoat

Asetat

Butirat

Kaproat

Kaprilat

Kaprat

Laurat

Miristat

Palmitat

Stearat

Arachidat

Behenat

2:0

4:0

6:0

8:0

10:0

12:0

14:0

16:0

18:0

20:0

22:0

2. Biodiesel

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbaharukan

(renewable) selain bahan bakar diesel dari minyak bumi. Biodiesel tersusun dari

berbagai macam ester asam lemak yang dapat diproduksi dari minyak-minyak

tumbuhan seperti minyak sawit (palm oil), minyak kelapa, minyak jarak pagar,

minyak biji kapok randu, dan masih ada lebih dari 30 macam tumbuhan Indonesia

yang potensial untuk dijadikan sumber energi bentuk cair ini. (Prakoso, 2003). Selain

minyak nabati, biodiesel juga dapat dibuat dari lemak hewani seperti lemak babi

(Harjanti, 2008).

Biodiesel dikenal sebagai produk yang ramah lingkungan, tidak mencemari

udara, mudah terbiodegradasi, dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui.

10

Pada umumnya biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon

antara C6-C22. Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur

dengan segala komposisi dengan minyak solar, mempunyai sifat-sifat fisik yang

mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin

diesel yang ada hampir tanpa modifikasi. (Prakoso, 2003)

Dibanding bahan bakar solar, biodiesel memiliki beberapa keunggulan, yaitu:

§ Biodiesel diproduksi dari bahan pertanian, sehingga dapat diperbaharui.

§ Biodiesel memiliki nilai cetane yang tinggi, volatile rendah, dan bebas sulfur.

§ Ramah lingkungan karena tidak ada emisi SOx.

§ Menurunkan keausan ruang piston karena sifat pelumasan bahan bakar yang

bagus (kemampuan untuk melumasi mesin dan sistem bahan bakar).

§ Aman dalam penyimpanan dan transportasi karena tidak mengandung racun.

§ Meningkatkan nilai produk pertanian.

§ Biodegradabel: jauh lebih mudah terurai oleh mikroorganisme dibandingkan

minyak mineral. Pencemaran akibat tumpahnya biodiesel pada tanah dan air

bisa teratasi secara alami (Park, 2008).

Oleh karena itu, pengembangan biodiesel di Indonesia dan dunia menjadi

sangat penting seiring dengan semakin menurunnya cadangan bahan bakar diesel

berbasis minyak bumi, isu pemanasan global, serta isu tentang polusi lingkungan.

Pengembangan biodiesel didunia sudah dilakukan sejak tahun 1980-an sehingga pada

saat ini beberapa bagian dunia telah dilakukan komersialisasi bahan bakar ramah

lingkungan ini.

Adapun pembuatan biodiesel dari minyak yang berasam lemak bebas tinggi

ini menggunakan reaksi transesterifikasi seperti pembuatan biodiesel pada umumnya

dengan pretreatment untuk menurunkan angka asam pada minyak tersebut. Biodiesel

dapat dibuat dari minyak berasam lemak bebas tinggi dengan proses konversi

trigliserida menjadi metil atau etil ester dengan proses yang disebut transesterifikasi.

Proses transesterifikasi mereaksikan alkohol dengan minyak untuk memutuskan tiga

rantai gugus ester dari setiap cabang trigliserida. Reaksi ini memerlukan panas dan

katalis basa untuk mencapai derajat konversi tinggi dari minyak menjadi produk

11

yang terdiri dari biodiesel dan gliserin. (Prakoso,2008). Tahapan reaksi dalam

pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut:

a. Esterifikasi

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester.

Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok

adalah zat berkarakter asam kuat seperti asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin

penukar kation. Asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam

praktek industrial (Soerawidjaja, 2006). Untuk mendorong agar reaksi bisa

berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling

tinggi 120 °C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat

berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk

ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui

kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode

penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat

dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dapat dilihat

pada Gambar 1.

RCOOH + CH3OH RCOOCH

3 + H

2O

Asam lemak methanol metil ester

Gambar 1. Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester

Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar

asam lemak bebas tinggi (berangka-asam ≥ 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam

lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti

dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke

tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus

disingkirkan terlebih dahulu.

b. Transesterifikasi

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi

dari trigliserida menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan

produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi

kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan,

12

C R1OH2C

HC O C R2

O

H2C O C

O

R3

O

+ 3 CH3OH

OHH2C

HC OH

H2C OH

C R1OH3C

H3C O C R2

O

H3C O C

O

R3

O

+

(katalis)NaOH

karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut

metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester

metil asam-asam lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME).

Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya

katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat

(Mittlebatch, 2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah

katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. Reaksi transesterifikasi

dapat dilihat pada Gambar 2 (Schuchardt, 1998).

Trigliserida methanol gliserol metil ester

Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi

Dimana mekanisme reaksi yang terjadi dalam reaksi diatas dapat dilihat pada gambar

3.

R C

O

OR' OCH3 R C

O

OR'

OCH3

R C

O

OCH3 OR'

NaOH + CH3OH CH3O Na + H2O

OR' + H2O R'OH + OH

+OH Na NaOH

Gambar 3. Mekanisme reaksi transesterifikasi dalam katalis basa

Hal-hal yang mempengaruhi reaksi transesterifikasi perlu diperhatikan agar

didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum. Beberapa kondisi

13

reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel melalui

transesterifikasi adalah sebagai berikut (Freedman, 1984):

1) Pengaruh air dan asam lemak bebas

Minyak yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam yang lebih

kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas

lebih kecil dari 0,5% (<0,5%). Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus

bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis

menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak

mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

2) Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3

mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol

gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan

konversi 98%. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol

yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada

rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan

pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat

memberikan konversi yang maksimum.

3) Pengaruh jenis alkohol

Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi

dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol.

4) Pengaruh jenis katalis

Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila

dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi

transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH),

natrium metoksida (NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3). Katalis sejati bagi

reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi akan

menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak.

5) Pengaruh temperatur

Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30 – 65 °C (titik

didih metanol sekitar 65 °C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang diperoleh

14

akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Untuk waktu 6 menit, pada

temperatur 60 oC konversi telah mencapai 94% sedangkan pada 45 oC yaitu 87% dan

pada 32 oC yaitu 64%. Temperatur yang rendah akan menghasilkan konversi yang

lebih tinggi namun dengan waktu reaksi yang lebih lama (Destianna, 2007).

Suatu teknik pembuatan biodiesel hanya akan berguna apabila produk yang

dihasilkannya sesuai dengan spesifikasi (syarat mutu) yang telah ditetapkan dan

berlaku di daerah pemasaran biodiesel tersebut. Persyaratan mutu biodiesel di

Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang telah disahkan dan

diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) (Soerawidjaja, 2006).

3. Metil Tert-Butil Eter (MTBE)

Metil tert-butil eter juga dikenal dengan nama lain metil tersier butil eter dan

MTBE. MTBE merupaka senyawa kimia dengan rumus molekul C5H12O. MTBE

memiliki sifat volatil (mudah menguap), mudah terbakar dan berwarna jernih serta

mudah larut dalam air. Hal tersebut dapat dilihat dari sifat fisik senyawa MTBE pada

Tabel 4.

Tabel 4. Sifat senyawa MTBE

Keterangan

Rumus molekul

Massa molekuler

Berat jenis

Titik beku

Titik Didih

C5H12O

88.15 g/mol

0.7404 g/cm³

-109 °C, 164 K, -164 °F

55.2 °C, 328 K, 131 °F

MTBE dibuat dengan mereaksikan metanol dengan metil propana. Reaksi ini

ditemukan di Amerika serikat pada tahun 1994. reaksi dapat dilihat pada gambar 4

dibawah ini.

15

CH3OH + CH3C(CH3)=CH2 (CH3)3C-O-CH3

Gambar 4. Reaksi pembuatan MTBE

MTBE merupakan zat aditif pada bahan bakar yang digunakan sebagai donor

oksigen dan dapat meningkatkan angka oktan. Namun MTBE ditemukan dapat

mudah memberikan polusi dalam jumlah besar dalam air tanah jika terjadi kebocoran

pada tangki bahan bakar karena sifatnya yang mudah larut dalam air. MTBE juga

digunakan dalam kimia organik sebagai pelarut dengan harga yang relafit tidak

mahal jika dibandingkan dengan dietil eter yang memiliki titik didih tinggi dan sulit

larut dalam air (Putrajaya, 2008).

Sebagai kopelarut, MTBE memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan

senyawa-senyawa eter yang lain. MTBE memiliki kecenderungan lebih rendah

dalam membentuk senyawa organik peroksida yang mudah meledak. Pada kondisi

keadaan botol yang terbuka, dietil eter dan THF berada pada level yang berbahaya

sebagai senyawa peroksida jika dibiarkan selama 1 bulan, berbeda dengan MTBE

yang relatif aman meskipun dibiarkan selama 1 tahun. Karena alasan titik didih yang

tinggi ini, MTBE digunakan sebagai pelarut dalam skala industri karena lebih aman

jika dibandingkan dengan dietil eter, THF, atau eter lain yang lebih sulit dan mahal.

Walaupun MTBE biasa digunakan dalam bidang industri, namun penggunaannya

sebagai pelarut dalam bidang pendidikan masih jarang sebagai contoh penggunaan

volume MTBE dalam penelitian lebih sedikit, padahal MTBE bertujuan mengurangi

resiko berbahaya dibanding eter lain, dan juga penggunaan MTBE sebagai pelarut

sangat jarang ditemukan pada literatur prosedur sintetik sebagai pelarut kimia

(Fischer, 2005 ).

Dalam pembuatan biodisel studi penggunaan kopelarut diketahui dapat

meningkatkan kecepatan reaksi transesterifikasi (Ilgen, 2007). Namun kopelarut

yang digunakan harus dapat larut dalam kepolaran metanol dan triglisireda yang

bersifat nonpolar serta pelarut harus bersifat inert. Beberapa contoh pelarut yang

biasa digunakan merupakan turunan dari senyawa eter yaitu Tetrahidroferon (THF),

1,4-dioksan, dietil eter, diisopropil eter dan metil tert-butil eter (MTBE). MTBE

biasa digunakan untuk meningkatkan bilangan oktan pada bahan bakar, selain itu

16

MTBE mudah di pisahkan dan digunakan lagi dengan metanol. MTBE terbukti dapat

digunakan sebagai kopelarut dalam reaksi transesterifikasi minyak kedelai (Chi,

1999).

4. Karakterisasi Biodiesel

a. Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (GC-MS)

Kromatografi adalah salah satu metode pemisahan senyawa untuk

mendapatkan senyawa murni dari senyawa campuran. Pemisahan didasarkan pada

perbedaan distribusi (migrasi) zat dalam dua fasa yang berbeda yaitu fasa diam dan

fasa gerak. Fasa diam biasanya berupa padatan atau cairan yang tertapis (percolated)

pada padatan pendukung (solid support), sedangkan fasa gerak dapat berupa zat cair

atau gas. Perbedaan interaksi senyawa terhadap senyawa lain (zat pada fasa gerak

maupun pada fasa diam) menyebabkan senyawa tersebut berbeda dalam hal

distribusinya dalam fasa gerak maupun dalam fasa diam. Distribusi senyawa

campuran yang terserap dalam fasa diam dan fasa gerak merupakan proses

kesetimbangan.

Kromatografi gas-spektroskopi massa merupakan gabungan dari

kromatografi gas yang menghasilkan pemisahan dari komponen-komponen dalam

campuran dan spektroskopi massa yang merupakan alat untuk mengetahui berat

senyawa dari setiap puncak kromatogram. Pada metode ini komponen-komponen

dalam sampel dipisahkan oleh kromatografi gas dan hasil pemisahan dianalisis oleh

spektroskopi massa. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi sampel campuran

dari beberapa komponen. Puncak-puncak kromatogram memberikan informasi

jumlah komponen yang ada dalam sampel dan spektra dari spektroskopi massa

memberikan kunci-kunci penting dalam proses identifikasi senyawa.

Prinsip dari instrumen ini adalah menguapkan senyawa organik dan

mengionkan uapnya dalam spektroskopi, molekul-molekul organik ditembak dengan

berkas elektron dan diubah menjadi ion-ion bermuatan positif (ion molekul) yang

dapat dipecah menjadi ion-ion yang lebih kecil. Molekul organik mengalami proses

pelepasan satu elektron menghasilkan ion radikal yang mengandung satu elektron

tidak berpasangan. Ion-ion radikal ini akan dipisahkan dalam medan magnet akan

17

menimbulkan arus ion pada kolektor yang sebanding dengan limpahan relatifnya.

Spektra massa merupakan gambar antara limpahan relatif lawan perbandingan

massa/muatan (m/z) (McLafferty, 1988).

Spektra massa biasanya dibuat dari massa rendah ke massa tinggi. Cara

penyajian yang jelas dari puncak-puncak utama dapat diperoleh dengan membuat

harga mass/muatan (m/z) terhadap kelimpahan relatif. Kelimpahan tersebut disebut

puncak dasar (base peak) dari spektra dan dinyatakan sebagai 100%. Puncak-puncak

lain mempunyai harga relatif terhadap puncak dasar. Dengan data tersebut dapat

diperkirakan bagaimana struktur molekul awal dari senyawa yang dianalisis

(Cresswell, 1982).

Kromatografi gas-spektroskopi massa ini biasa digunakan untuk analisis

kualitatif senyawa organik yang pada umumnya bersifat dapat diuapkan. Campuran

metil ester hasil transesterifikasi minyak nabati memenuhi kriteria ini sehingga dapat

dianalisis dengan kromatografi gas-spektroskopi massa. Pemisahan yang dihasilkan

dari setiap jenis senyawa yang dianalisis bersifat khas untuk tiap senyawa. Demikian

juga untuk senyawa-senyawa metil ester. Ion-ion pecahan dari metil ester

diakibatkan penataan ulang hidrogen dan pecahan satu ikatan yang dipisahkan dari

gugus C=O.

b. Hidrogen Nuclear Magnetic Resonance (1HNMR)

Partikel dari atom (elektron-elektron, proton-proton, neutron-neutron) dapat

berputar pada porosnya. Di beberapa atom seperti 12C, perputarannya saling

berpasangan dan berlawanan satu sama lain jadi inti dari atom tidak memiliki spin

pelindung. Akan tetapi di beberapa atom seperti 1H, dan 13C intinya hanya memiliki

sebuah pelindung. Saat inti berada dalam medan magnet, populasi terinisiasi dari

tingkatan energi ditentukan oleh termodinamikanya yang didiskripsikan oleh

distribusi Boltzman.

Sebuah inti dengan spin ½ dalam suatu medan magnet dimana inti ini berada

dalam tingkat energi yang lebih rendah. Inti tersebut akan berputar pada porosnya.

Ketika diberi medan magnet, maka pusat rotasi akan terpresisi mengelilingi medan

18

magnet. Jika energi magnet diserap oleh inti maka sudut presisi akan berubah dan

menyebabkan perputaran spin berlawanan arah.

Medan magnet pada inti tidaklah sama dengan medan magnet yang

digunakan, elektron-elektron disekeliling inti melindunginya dari medan yang ada.

Perbedaan antara medan magnet yang dipakai dengan medan magnet inti disebut

sebagai perisai inti. Medan magnet yang diberikan akan berpengaruh terhadap

pergeseran kimia (chemical shift) karena proton yang memiliki banyak perisai

(shielding) akan semakin sedikit menerima medan magnet yang diberikan. Efek

pergeseran kimia adalah perbedaan frekuensi absorbsi proton akibat perbedaan lokasi

letak atom terikat. Atom C yang semakin terlindung akan mengalami pergeseran

kimia semakin ke kanan atau semakin terperisai sehingga spektra yang terbentuk

akan semakin mendekati TMS (Tetra metil silan) yang digunakan sebagai standar.

Puncak spektra 1HNMR akan mengalami pemecahan dipengaruhi oleh jumlah atom

H tetangga. Jika tidak terdapat atom H maka disebut singlet yang berarti tidak terjadi

pemecahan puncak. Satu atom H disebut duplet dengan pemecahan puncak sebanyak

2 puncak. Demikian juga untuk triplet dan kuartet menunjukkan pemecahan puncak

sebanyak 3 dan 4 (Skoog, 1997).

Untuk mengetahui persentase konversi metil ester yang diperoleh digunakan 1H-NMR. Nilai konversi metil ester (yang dinyatakan sebagai konsentrasi metil

ester) ditentukan dengan rumus:

TAGME

MEME I 9 I 5

I 5 x 100(%)C

+=

Keterangan:

CME = konversi metil ester, %

IME = nilai integrasi puncak metil ester, %, dan

ITAG = nilai integrasi puncak triasilgliserol, %.

Faktor 5 dan 9 adalah jumlah proton yang terdapat pada gliseril dalam

molekul trigliserida mempunyai 5 proton dan tiga molekul metil ester yang

dihasilkan dari satu molekul trigliserida mempunyai 9 proton (Knothe, 2000).

19

c. American Society for Testing Materials (ASTM)

Uji bahan bakar yang dilakukan di laboratorium sebagian bersifat fisis dan

sebagian lainnya bersifat kimia. Agar dapat dibuat duplikat uji, maka dalam uji-uji

diperlukan alat-alat baku dan prosedur-prosedur baku. Komite D-2 American Society

for Testing Materials menerbitkan suatu publikasi tahunan Annual Book of ASTM

Standards yang memuat secara rinci mengenai prosedur-prosedur baku dan alat-alat

baku uji bahan baker. Disamping itu, prosedur-prosedur baku dan alat-alat baku uji

minyak bumi dan produknya dapat juga diperoleh dari Standard Methods and

Testing petroleum and Its products, suatu publikasi tahunan dari The Institut of

Petroleum.

Sifat biodiesel komersial tergantung pada pemurnian dan sifat dasar minyak

yang dapat diketahui menggunakan ASTM. Beberapa metode ASTM yang

digunakan sebagai standar sifat fisik biodiesel disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Beberapa Standar Parameter Sifat Fisik Biodiesel

Parameter Metode ASTM

ASTM Standar

Dirjen Migas

Specific Gravity at 60/60 oF D 1298 Tidak diatur 0,840– 0,920

Viscosity Kinematic at 40 oC, mm/s D 445 1,9 – 6,0 2,3 – 6,0

Flash Point P.M C.C., oC D 93 Min. 130 Min. 100

Cloud Point D 97 Maks. 26 Maks. 26

Copperstrip Corrosion (3 hrs/50 oC) D 130 Maks. No. 3 Maks. No. 3

Conradson Carbon Residue, % wt. D 189 Maks. 0,1 Maks. 0,1

Water Content, % vol. D 95 Maks. 0,05 Maks. 0,05

Sediment, % wt. D 473 Maks. 0,05 Maks. 0,05

1. Berat jenis (specific grafity)

Specific grafity didefinisikan sebagai perbandingan berat dari sejumlah

volume minyak bakar terhadap berat air untuk volume yang sama pada suhu tertentu.

20

Densitas bahan bakar relatif terhadap air, disebut specific grafity. Specific grafity air

ditentukan sama dengan 1. karena specific grafity tidak memiliki perbandingan maka

tidak memiliki satuan. Specific grafity digunakan dalam perhitungan yang

melibatkan berat dan volume.

Berat jenis minyak dapat ditentukan dengan beberapa macam cara, antara lain

dengan menggunakan cara hidrometer (ASTM D 1298-85) yang umumnya

dikenakan pada minyak mentah dan produknya yang berupa cairan dan yang

mempunyai tekanan uap Red kurang dari 179 kPa. Pada dasarnya uji ini dilakukan

dengan menempatkan hidrometer yang mempunyai skala berat jenis atau gravitasi

API pada sampel yang diuji yang mempunyai suhu tertentu dan selanjutnya dibaca

skala hidrometer yang dipotong oleh permukaan sampel sebagai berat jenis atau

gravitasi API sampel pada suhu yang berlaku. Harga yang diperoleh harus

dikembalikan ke suhu 15 oC (60 oF), dengan menggunakan Petroleum Measurement

Tables (ASTM D 1250-80). Uji tidak harus dilakukan pada suhu 15 oC (60 oF), tetapi

disesuaikan dengan keadaan sampel. Namun pengukuran yang paling teliti adalah

apabila suhu sampel 15 oC (60 oF). Gambar alat uji dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Penentuan berat jenis dengan cara hidrometer (Hardjono,2001)

2. Kekentalan kinematis (viscosity kinematic)

Kekentalan kinematis minyak bumi dan produknya dapat ditentukan dengan

viskometer. Ada bermacam-macam viskometer tipe pipet yang dapat digunakan

untuk menentukan kekentalan kinematis. Pada dasarnya pengukuran kekentalan

kinematis produk minyak adalah mengukur waktu alir produk minyak yang

mempunyai volume tertentu melalui pipa kapiler viskometer pada suhu tertentu.

Selanjutnya kekentalan kinematis sampel dapat dihitung dengan persamaan :

21

v = C t

dimana v adalah kekentalan kinematis dan centistoke. T adalah waktu alir

dalam detik dan C adalah tetapan viskometer. Apabila tetapan viskometer belum

diketahui, maka perlu dilakukan kalibrasi dengan menggunakan cairan baku. Alat uji

viskometer dapat diliha pada Gambar 6.

Gambar 6. Viskometer pipa kapiler

3. Titik Nyala (flash point)

Titik nyala adalah suhu terendah dimana uap minyak dalam campurannya

dengan udara akan menyala kalau dikenai nyala uji (test flame) pada kondisi

tertentu.Ada tiga macam alat uji yang dapat digunakan untuk menentukan titik nyala

bahan bakar, yaitu

a) Alat uji cawan terbuka Cleveland (ASTM D 92-90) dapat digunakan

untuk menentukan titik nyala minyak, kecuali minyak bakar yang

mempunyai titik nyala cawan terbuka dibawah 79 oC (175 oF).

b) Alat uji cawan tertutup Pensky-Martens (ASTM D 93-80) yang dapat

digunakan untuk menentukan titik nyala minyak bakar, minyak pelumas,

dan suspensi padatan.

c) Alat uji cawan tertutup Abel, yang dapat digunakan untuk menentukan

titik nyala produk minyak yang mempunyai titik nyala antara -18 oC (0

oF ) dan 71 oC (160 oF).

Gambar alat uji titik nyala dapat dilihat pada Gambar 7.

22

Gambar 7. Alat uji titik nyala cawan tertutup Pensky-Martens

(ASTM D 93-80)

4. Titik kabut (cloud point)

Cloud point suatu bahan bakar yang sudah terdestilasi adalah temperatur

dimana bahan bakar menjadi berkabut karena kehadiran dari kristal-kristal lilin.

Cloud point sangat dipengaruhi oleh harga ssalinitas, bila salinitas tinggi harga cloud

point cenderung turun.

Berikut dapat dilihat alat uji untuk penentuan titik kabut pada Gambar 8.

Gambar 8. Alat uji penentuan titik kabut

5. Korosi terhadap tembaga (copperstrip corrosion)

Metode ini digunakan untuk deteksi terhadap korosifitas lempeng tembaga

pada aviation gasoline, bahan bakar turbin, automotif gasolin, atau hidrokarbon lain

yang memiliki tekanan uap Reid tidak lebih besar dari 18 psi (124 Pa) seperti

kerosin, bahan bakar diesel, minyak pelumas dan produk petroleum yang lain.

Pengujian ini dilakukan dengan memasukkan lempeng tembaga dalam

sejumlah sampel minyak, kemudian dipanaskan dan pada waktu tertentu material

akan diujikan. Pada akhirnya lempeng tembaga dipisahkan, dicuci dan dibandingkan

23

dengan standar ASTM Copper Strip Corrosion. Berikut ini disajikan klasifikasi

pengujian pada lempeng tembaga pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Uji Korosifitas pada Lempeng Tembaga

6. Residu karbon conradson (conradson carbon residue)

Metode D189 ini digunakan untuk menentukan sejumlah residu karbon

setelah proses evaporasi dan pirolisis pada minyak, selain itu juga dapat memberikan

indikasi kecenderungan coke-forming. Metode ini umumnya digunakan pada produk

petroleum nonvolatil, dimana sebagian minyak terdekomposisi pada tekanan

atmosfer saat destilasi. Produk petroleum yang mengandung ash-forming dapat

ditentukan dengan metode D482 atau metode IP4 namun akan memberikan hasil

yang tidak tepat pada tingginya residu karbon.

Perhitungan residu karbon pada sampel atau pada 10 % residu terdestilasi

adalah:

Residu karbon = (A x 100)/ W

Keterangan:

A = massa residu karbon (gr)

W = massa sampel (gr)

No. Klasifikasi

Penggolongan korosifitas

jenis korosifitas

tipe Penggambaran / Kenampakkan

1. 1 tidak ada bercak a b

Orange terang, mengkilap, hampir sama halnya baru Orange gelap

2. 2 ada bercak dan memudar

a b c d e

Merah anggur bordeaux Lembayung muda Beraneka warna Dengan Lembayung muda Yang biru atau perak atau kedua-duanya perak seperti kuningan atau emas

3. 3 Bercak gelap a b

Warna merah keungu-unguan Beraneka warna mempertunjukkan hijau dan merah tetapi tidak kelabu

4. 4 karatan a b c

Gelap kelabu transparan Grafit atau hitam tanpa kilau Glossery dan hitam pekat

24

7. Kandungan air (water content)

Metode ASTM D95 ini bertujuan untuk menentukan kandungan air pada

petroleum, serta material-material bitumen yang lain menggunakan metode destilasi.

Pengukuran pada emulsi bitumen merujuk pada metode ASTM D244 yang sejalan

dengan ASTM D4006. Air yang terkandung dalam bahan bakar menyebabkan

penurunan mutu bahan bakar karena:

- menurunkan nilai kalor dan memerlukan sejumlah kalor untuk penguapan,

- menurunkan titik nyala,

- memperlambat proses pembakaran, dan menambah volume gas buang.

Keadaan tersebut mengakibatkan:

- pengurangan efisiensi ketel uap ataupun efisiensi motor bakar,

- penambahan biaya perawatan ketel,

- menambah biaya transportasi, merusak saluran bahan bakar cair (“fuel

line”) dan ruang bakar.

Alat uji kandungan air dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Alat uji kandungan air menggunakan metode destilasi

Perhitungan kandungan air dalam sampel dinyatakan dalam % berat atau %

volume, dengan rumus sebagai berikut:

Air (%) = V / W x 100

Keterangan:

V = volume air pada tabung trap

25

W = berat (atau volume sampel)

Jika ada material yang larut dalam air maka diukur sebagai kandungan air.

8. Kandungan sedimen

Metode ASTM D473 ini digunakan untuk menentukan kandungan sedimen

pada minyak murni atau bahan bakar dengan metode ekstraksi menggunakan toluena

panas. Alat uji kandungan sedimen dapat di lihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Alat uji kandungan sedimen dengan metode ekstraksi

Uji sampel minyak dalam tabung refraktori di ekstraksi menggunakan toluena

panas hingga diperoleh residu konstan. Massa dari residu diperoleh dalam persen

menggunakan rumus

% massa = massa sedimen x 100 massa sampel awal

Pada umumnya uji minyak bumi dan produknya dapat dikerjakan dengan

cepat, mudah dibuat duplikat oleh teknisi laboratorium biasa dan hasil ujinya dapat

diinterpretasikan sebagai fungsi kinerja produk selama penggunaan. Pengertian

duplikat hasil uji tidaklah berarti bahwa uji yang kedua hasilnya harus persis sama

dengan hasil uji yang pertama. Hasil uji kedua sudah boleh dikatakan sama dengan

hasil uji pertama apabila telah memenuhi harga-harga repitibilitas dan

reprodusibilitas yang diisyaratkan untuk setiap uji. Repitibilitas adalah hal

diulanginya kembali sesuatu uji apabila hasil kedua uji yang dilakukan oleh seorang

melampaui harga yang telah ditetapkan. Sedangka nreprodusibilitas adalah hal

26

diulanginya kembali sesuatu apabila hasil kedua uji yang dilakukan oleh dua orang

melampaui harga yang ditetapkan (Hardjono, 2001).

B. Kerangka Pemikiran

Minyak ikan memiliki kandungan trigliserida yang dapat diubah menjadi

metil ester melalui reaksi transesterifikasi. Kandungan asam lemak yang tinggi pada

minyak ikan dapat menghambat reaksi pembentukan metil ester karena terbentuknya

banyak sabun. Untuk mengatasinya maka dilakukan reaksi esterifikasi yang

bertujuan untuk mengkonversi asam lemak bebas menjadi alkil ester, sehingga pada

reaksi transesterifikasi akan diperoleh biodiesel yang lebih banyak dan terbentuk

sabun yang lebih sedikit.

Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa seperti KOH dan NaOH

membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dan temperatur diatas suhu kamar (50-60

°C). Laju reaksi dalam reaksi transesterifikasi tersebut cukup lambat, hal tersebut

disebabkan karena kelarutan metanol dalam minyak yang rendah. Laju reaksi dalam

reaksi transesterifikasi sebanding dengan tingkat tumbukan antar molekulnya,

dimana semakin tinggi tingkat tumbukan maka laju raksi akan semakin cepat.

Besarnya tingkat tumbukan ini dipengaruhi oleh energi yang diberikan salah satunya

melalui temperatur reaksi, sehingga dibutuhkan suhu tinggi untuk meningkatkan laju

reaksi.

Alternatif lain agar reaksi dapat berjalan lebih cepat pada suhu kamar adalah

dengan penambahan kopelarut MTBE. Ilgen pada tahun 2007 telah menggunakan

kopelarut dalam pembuatan biodiesel menggunakan minyak nabati untuk

mempercepat reaksi transesterifikasi, sehingga dalam studi ini penggunaan kopelarut

dalam minyak hewani juga diperkirakan dapat meningkatkan kecepatan reaksi.

Penambahan kopelarut ini bertujuan untuk mendekatkan sistem polar dan non polar

antara metanol dengan minyak, sehingga akan membantu kontak reaktan keduanya.

Dengan penambahan kopelarut ini mengakibatkan metanol menjadi mudah larut

dalam minyak sehingga laju reaksi semakin besar dalam waktu yang singkat.

27

C. Hipotesis

1. Semakin banyak penggunaan MTBE sebagai kopelarut pada reaksi

transesterifikasi, maka diperoleh biodiesel dengan waktu reaksi yang singkat.

2. Semakin banyak penggunaan MTBE sebagai kopelarut pada reaksi

transesterifikasi, kemurnian biodiesel akan mencapai optimum.

28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental di

laboratorium. Pembuatan biodiesel dari minyak ikan menggunakan katalis basa

NaOH dan kopelarut MTBE. Kondisi optimal diperoleh dengan memvariasi

perbandingan volume MTBE dengan minyak dan waktu reaksi. Biodiesel yang

diperoleh selanjutnya dikarakterisasi menggunakan GC-MS, 1HNMR, dan ASTM

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2009 sampai September 2009.

Produksi biodiesel dan karakterisasi biodiesel hasil produksi dilakukan di

Laboratorium Kimia Dasar FMIPA dan Sub-Laboratorium Kimia Pusat UNS

Surakarta, Sub Laboratorium Kimia dan Sub Laboratorium Teknik Kimia UGM

Yogyakarta, serta Laboratorium Kimia Instrumen UPI Bandung.

C. Alat dan Bahan

1. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Magnetic stirrer

b. Thermometer 100oC

c. Seperangkat alat refluks

d. Piknometer 10 ml Duran

e. Peralatan gelas pyrex

f. Neraca Analitik Sartorius Bp-110

g. Pemanas listrik cole palmer

h. Seperangkat alat titrasi

i. Vacuum rotary evaporator IKA

j. H-Nuclear Magnetic Resonanse (HNMR)

29

k. Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) shimadzus

l. Saringan kopi

m. Lumpang porselin

n. Penggerus porselin

2.Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Minyak limbah ikan

b. NaOH p.a (E. Merck)

c. KOH p.a (E. Merck)

d. Aquades (Laboratorium Kimia Pusat MIPA UNS)

e. Metanol (CH3OH) (E. Merck)

f. Etanol (C2H5OH) (E. Merck)

g. H2SO4 (E. Merck)

h. Na2SO4 anhidrat (E. Merck)

i. MTBE (E.Merck)

j. Indikator PP

k. pH universal

D. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Biodiesel

a. Penyaringan minyak ikan

Penyaringan dilakukan untuk menghilangkan partikel berukuran besar atau

pengotor yang ada pada minyak limbah ikan. Minyak dipanaskan terlebih dahulu

pada suhu 30-35 ºC lalu disaring menggunakan saringan kopi.

b. Esterifikasi

Minyak yang telah disaring dipanaskan pada suhu 45 ºC kemudian

ditambahkan metanol dan katalis H2SO4 0,5% berat minyak dengan volume metanol

30% volume minyak. Campuran direfluks pada suhu 52 ºC selama 1 jam. Penetralan

H2SO4 dengan pencucian menggunakan akuades berulang ulang sampai diperoleh pH

netral. Sebelum dan sesudah esterifikasi dicek bilangan asamnya.

30

c. Penentuan bilangan asam

Sebanyak 1 ml minyak dalam erlenmeyer ditambah 2 tetes indikator

penolftalen, kemudian campuran dititrasi dengan KOH 0,005 N menghasilkan warna

merah jambu.

d. Transesterifikasi menggunakan kopelarut MTBE

Selanjutnya pembuatan NaOCH3 dengan mencampur katalis NaOH 1% berat

minyak dengan sebagian metanol. Secara terpisah minyak hasil esterifikasi yang

bebas air dan metanol ditambah metanol sedemikian sehingga jumlah metanol

mempunyai perbandingan mol 1:27 dengan mol minyak serta ditambahkan MTBE

dengan berbagai variasi perbandingan volume. NaOCH3 ditambahkan dalam

campuran dan waktu reaksi mulai dihitung. Reaksi transesterifikasi dihentikan

dengan variasi waktu menggunakan H2SO4 0,1 M sebagai penetral.

e. Pencucian dan pemurnian biodiesel

Hasil transesterifikasi kemudian ditambahkan H2SO4 hingga pH 4, keasaman

metil ester diketahui menggunakan kertas lakmus. Untuk menghilangkan gliserol

dan sabun, biodiesel dicuci menggunakan aquades berulang-ulang. Biodiesel

kemudian ditambahkan dengan Na2SO4 anhidrat untuk menghilangkan air yang

tersisa dan dialirkan gas N2 untuk menghilangkan metanol dan MTBE sehingga

diperoleh biodiesel murni.

2. Uji Komposisi biodiesel

Biodiesel yang diperoleh selanjutnya dilakukan uji karakteristik dengan 1HNMR, GC-MS, dan ASTM. Berikut prosedur pengujian sifat fisik biodiesel

menggunakan metode ASTM.

a). Pengukuran berat jenis dengan ASTM D1298

Sampel dengan suhu yang sesuai dituang dalam tabung yang mempunyai

suhu yang kira-kira sama dengan dengan suhu sampel. Hidrometer yang sesuai

ditempatkan dalam sampel. Setelah suhu kesetimbangan dicapai, dibaca dan dicatat

skala hidrometer dan suhu sampel. Tabung dan isinya ditempatkan dalam penangas

31

pada suhu tetap untuk menghindarkan perubahan suhu yang berlebihan selama

pengujian.

b). Pengukuran kekentalan kinematis dengan ASTM D445

Viskometer yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam viskometer bath

yang telah diset pada suhu 100oF selama 20 menit. Cairan dalam viskometer disedot

dengan pompa vakum sampai di atas garis batas pertama. Waktu yang diperlukan

cairan bahan untuk mengalir mulai dari garis batas pertama sampai garis batas kedua

dihitung dengan stopwatch. Viskositas kinematik dihitung dengan mengalirkan

waktu alir dengan konstanta viskometer yang sesuai.

c). Pengukuran titik nyala dengan ASTM D93

Cara pengukuran titik nyala yaitu cawan uji diisi sampel sampai tinggi

tertentu. Suhu sampel mula-mula dinaikkan dengan cepat dan kemudian dengan

kecepatan lambat yang tetap sampai flash point dicapai. Pada interval tertentu suatu

nyala uji kecil dilewatkan melintasi cawan. Suhu terendah dimana penggunaan nyala

uji menyebabkan uap di atas permukaan cairan menyala diambil sebagai flash point.

d). Pengukuran titik kabut dengan ASTM D97

Cara pengukuran titik kabut yaitu sampel didinginkan dengan rentan suhu

tertentu dan diperiksa secara periodik. Temperatur dimana sampel berkabut yang

terlihat pertama kali di atas tempat sampel diteliti dan dicatat sebagai titik kabut

e). Pengukuran korosi terhadap tembaga dengan ASTM D130

Lempeng tembaga dimasukkan dalam sejumlah sampel minyak, kemudian

dipanaskan dan pada waktu tertentu material akan diujikan. Pada akhirnya lempeng

tembaga dipisahkan, dicuci dan dibandingkan dengan standar ASTM Copper Strip

Corrosion.

f). Pengukuran residu karbon conradson dengan ASTM D189

Sejumlah sampel diletakkan dalam crucible kemudian didestruksi dengan

destilasi. Residu yang terletak di dasar kemudian diambil dan dipanaskan dengan

pengadukan secara berkala. Pada akhir pemanasan cruicible yang berisi residu

32

karbon didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Residu selanjutnya dihitung

sebagai prosentase dari sampel murninya dan dilaporkan sebagai residu karbon

conradson.

g). Pengukuran kandungan air dengan ASTM D95

Sampel yang akan diuji dipanaskan dengan cara refluks menggunakan pelarut

yang tak bercampur dengan air dimana pelarut tersebut akan membantu pemisahan

air dalam sampel. Selanjutnya pelarut dan air terkondensasi dipisahkan dalam

beberapa fraksi, air akan mengalir keluar sedangkan pelarut akan kembali ke glass

still (tempat sampel). Perbandingan volume air dengan volume sampel dinyatakan

sebagai kandungan air dalam sampel.

h). Pengukuran kandungan sedimen dengan ASTM D473

Sampel minyak dimasukkan dalam tabung refraktori, kemudian diekstraksi

menggunakan toluena panas hingga diperoleh residu dengan massa konstan. Massa

dari residu dihitung sebagai prosentase dan dilaporkan sebagai sedimen dari ekstrak.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk membuktikan hipotesis penelitian, maka dilakukan penelitian dengan

menentukan variabel bebas:

1. Perbandingan volume MTBE terhadap minyak dengan variasi 0,5:1; 1:1;

1,5:1 dan 2:1 yang dilambangkan dengan v/v.

2. Waktu reaksi dengan variasi 5, 10, 15, 20, dan 25 menit yang

dilambangkan dengan t (menit).

Variabel bebas di atas dapat digunakan untuk menentukan variabel terikat yaitu

kadar metil ester yang dilambangkan dengan CME (%). Rumus yang digunakan

adalah:

v/v)(t,TAG v/v)(t, ME

v/v)(t, ME v/v)(t, ME I 9 I 5

I 5 x 100(%)C

+=

Keterangan : CME(t,v/v) = kadar metil ester (%)

33

IME(t,v/v) = nilai integrasi puncak metil ester (%)

ITAG(t,v/v) = nilai integrasi puncak triasilgliserol (%)

Kadar metil ester yang diperoleh merupakan variabel terikat yang dilambangkan

dengan CME(%). Dari data yang diperoleh, dapat dibuat tabel kadar metil ester pada

setiap perbandingan MTBE dan waktu reaksi sebagai berikut.

0,5:1 (V/V) 1:1 (V/V) 1,5:1 (V/V) 2:1 (V/V) t

(mnit) ITAG

(%)

IME

(%)

CME

(%)

ITAG

(%)

IME

(%)

CME

(%)

ITAG

(%)

IME

(%)

CME

(%)

ITAG

(%)

IME

(%)

CME

(%)

5

10

15

20

25

Selanjutnya, dibuat grafik dengan plot kadar metil ester (C) Vs waktu (t).

Data uji karakteristik biodiesel diperoleh menggunakan:

1. GC-MS

Dari uji ini akan diperoleh kromatogram dari GC dan masing-masing puncak

akan dijelaskan menggunakan MS yang dibandingkan dengan standar sehingga

dapat di tentukan jenis metil ester spesifik dari asam lemaknya.

2. ASTM

Dari uji ASTM diperoleh data sifat fisik biodiesel yang meliputi berat jenis,

kekentalan kinematis, titik nyala, titik kabut, korosi terhadap tembaga, residu

karbon conradson, kandungan air, dan kandungan sedimen.

F. Teknik Analisis Data

Analisis dilakukan menggunakan metode scatter grafic dengan plot antara

kecepatan (v) Vs volume MTBE terhadap minyak (v/v). Dari grafik tersebut

kecepatan dapat dihitung dari waktu reaksi, dimana kecepatan merupakan 1/t untuk

mencapai 100% kadar metil ester. Kesimpulan diambil dengan hipotesis benar jika

34

semakin banyak MTBE yang digunakan reaksi akan berjalan lebih cepat hingga

mencapai optimum pada t tertentu.

Dari grafik tersebut di lihat apakah harga kecepatan dari masing-masing

volume MTBE memiliki harga yang sama atau berbeda. Untuk mengetahuinya maka

perlu dihitung tingkat kesalahan pengukuran atau standar deviasinya (SD), sehingga

harga kecepatan dapat ditulis dengan SD±v . Selanjutnya adalah menghitung

selisih rata-rata dari vA dan vB, jika harga selisih kecepatan rata-rata tersebut lebih

besar dari tingkat kesalahannya maka dapat dinyatakan bahwa kecepatan vA dan vB

itu berbeda, dan jika berbeda maka dapat dibuat trendline misalkan garis

melengkung atau linear sehingga bisa ditentukan kondisi optimumnya. Sedangkan

jika harga selisih rata-rata kecepatan tersebut lebih kecil maka vA dan vB merupakan

harga yang sama sehingga merupakan garis lurus.

Berdasarkan hasil kromatogran GC dan fragmen MS dari masing-masing

senyawa, suatu senyawa dikatakan mirip dengan standar jika memiliki berat molekul

yang sama dan memiki pola fragmen yang mirip serta harga SI (indeks kemiripiran)

yang tinggi. Untuk lebih memperkuat dugaan dapat dilihat base peak pada senyawa

metil ester yang memiliki ciri khas pada m/z = 74. Jika kandungan metil ester pada

senyawa biodiesel tinggi maka dimungkinkan tingginya konversi trigliserida dalam

minyak ikan menjadi metil ester. Sehingga semakin besar kandungan metil ester

maka kemurnian biodiesel juga semakin besar.

Harga pengukuran sifat fisik biodiesel selanjutnya dibandingkan dengan

standar baku ASTM sebagai standar internasional dan standar Dirjen Migas sebagai

standar nasional. Jika harga tersebut berada pada range standar maka dapat

disimpulkan biodiesel tersebut memenuhi standar sebagai bahan bakar diesel.

35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Esterifikasi Asam Lemak Bebas Minyak Ikan

Penentuan asam lemak bebas minyak ikan dilakukan untuk mengetahui

kandungan asam lemak bebas dalam minyak ikan. Jika kandungan asam lemak bebas

terlalu tinggi akan mengakibatkan pembentukan sabun (saponifikasi) dan

menimbulkan masalah pada reaksi pembuatan biodiesel. Prosentase asam lemak

bebas pada minyak ikan dihitung dari angka asamnya.

Berdasarkan perhitungan (Lampiran 1) didapatkan bilangan asam minyak

ikan sebesar 28,18 mg KOH/gr sampel atau setara dengan 2,23 % berat. Harga

tersebut menunjukkan adanya asam lemak bebas yang tinggi dalam minyak ikan.

Berdasarkan teori, bilangan asam yang diperbolehkan dalam sistem katalis basa

adalah lebih rendah dari 1 % (Garpen, 2004) atau setara dengan 2 mg KOH/gr

sampel (Berrios, 2007). Bilangan asam yang tinggi harus diturunkan melalui reaksi

esterifikasi.

Reaksi esterifikasi minyak ikan dilakukan dengan menambahkan katalis asam

H2SO4 dan pereaksi methanol. Penggunaan katalis asam lebih baik daripada basa

karena tidak menghasilkan sabun dan dapat meningkatkan produksi biodiesel, Hal

tersebut dikarenakan reaksi esterifikasi merupakan reaksi pembentukan suatu ester

(Marchetti, 2008). Minyak hasil reaksi esterifikasi kemudian di ukur kembali

bilangan asamnya, berdasarkan perhitungan (Lampiran 1) diperoleh bilangan asam

0,42 mg KOH/gr sampel. Hal ini menunjukkan asam lemak bebas yang pada

mulanya tinggi telah terkonversi menjadi ester sehingga kandungan asam lemak

bebas menjadi kecil.

B. Pembuatan Biodiesel Menggunakan Kopelarut MTBE

Biodiesel dibuat dengan melakukan reaksi transesterifikasi antara minyak

hasil esterifikasi dengan pereaksi methanol dan katalis NaOH serta penambahan

kopelarut MTBE. Hasil yang diperoleh adalah biodiesel berwarna kuning jernih,

berbau agak amis, dan viskositas lebih rendah dari minyak ikan. Kenampakan fisik

36

biodiesel yang dihasilkan berbeda-beda pada setiap variasi kondisi, ada yang

membeku dan tidak membeku. Kenampakan fisik biodiesel dapat dilihat pada Tabel

7.

Tabel 7. Kenampakan Fisik Biodisel Pada Berbagai Variasi Kondisi

Volume MTBE

terhadap minyak

(V/V)

Waktu reaksi

(menit)

Pembekuan

biodisel

0,5 5 Ya

10 Ya

15 Tidak

20 Tidak

25 Tidak

1 5 Ya

10 Ya

15 Tidak

20 Tidak

25 Tidak

1,5 5 Ya

10 Tidak

15 Tidak

20 Tidak

25 Tidak

2 5 Ya

10 Ya

15 Tidak

20 Tidak

25 Tidak

Pada kondisi waktu 5-10 menit memberikan hasil yang kurang baik, yakni

terjadi pembekuan pada biodiesel. Pembekuan ini`dimungkinkan terjadi karena

reaksi transesterifikasi berjalan kurang sempurna pada waktu yang singkat. Semakin

37

lama waktu reaksi, biodiesel yang dihasilkan tidak mengalami pembekuan. Biodiesel

yang terbentuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan 1HNMR, GC-MS, dan ASTM.

C. Analisis Kualitatif Hasil Biodiesel menggunakan 1HNMR

Analisis menggunakan 1HNMR bertujuan untuk dapat mengetahui seberapa

besar kemurnian biodiesel yang diperoleh dari hasil reaksi transesterifikasi minyak

ikan. Kemurnian ini dilihat dari besarnya prosentase metil ester yang terbentuk.

Analisis ini dilakukan pada semua rasio waktu dan volume MTBE yang digunakan.

Spektra pembentukan metil ester dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Spektra 1H-NMR biodiesel MTBE 1x dan waktu 25 menit

Proton disekitar gugus gliserida ditunjukkan oleh spektra pada daerah 4 – 4,3

ppm, sedangkan proton metil ester pada daerah 3,7 ppm dan proton α-CH2 pada

daerah 2,3 ppm. Pada gambar 5 di atas, muncul puncak kecil di daerah 4,3 ppm dan

puncak lebih tinggi di daerah sekitar 3,7 ppm, hal ini menunjukkan konversi metil

ester belum sempurna karena masih terdapat puncak gliserida meskipun luas areanya

lebih kecil. Ini berarti biodiesel pada spektra di atas merupakan biodiesel belum

murni. Pembentukan metil ester yang sempurna akan terjadi jika tidak muncul

puncak di sekitar proton gliserida.

38

60

70

80

90

100

5 10 15 20 25

t (menit)

kan

du

nag

n M

E (

%)

0,5 MTBE1 MTBE1,5 MTBE2 MTBE

Spektra yang muncul pada daerah 5 - 6 ppm merupakan proton di sekitar

gugus aldehid pada rantai panjang asam lemak, posisinya berada paling jauh dengan

TMS karena gugus ini tidak terlindungi. Kondisi ini disebabkan adanya elektron phi

menyebabkan rapat elekton menjadi kecil sehingga proton ini tidak terlindungi. Pada

daerah 1 – 2 ppm muncul puncak yang lebar dan tinggi, puncak ini terjadi karena

proton-proton pada CH2 asam lemak berada terlalu dekat sehingga geseran kimia juga

menjadi terlalu dekat akibatnya puncak-puncak akan bergabung menjadi suatu

singlet dimana puncak-puncak tengah suatu multiplet makin tinggi sementara

puncak-punvak pinggir akan mengecil ini disebut juga gejala pemiringan atau

learning (Fessenden, 1999)

D. Analisis Kuantitatif Hasil Biodiesel menggunakan 1HNMR

Pembuatan biodiesel ini dilakukan pada variasi waktu 5, 10, 15, 20 dan 25

menit pada setiap variasi volume MTBE 0,5; 1; 1,5; dan 2. Berdasarkan hasil spektra

HNMR (Lampiran 3-22) dibuat suatu kurva hubungan waktu dan kandungan metil

ester pada setiap variasi yang dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Kurva hubungan waktu dengan kandungan metil ester pada setiap volume MTBE

39

Gambar di atas menunjukkan data yang tidak teratur, data pencapaian hasil

pengukuran (% C dari puncak %100I 9 I 5

I 5

v/v)(t,TAG v/v)(t, ME

v/v)(t, ME ´+

) tidak konsisten dan

tidak bisa dikatakan bahwa reaksi merupakan reaksi dapat balik. Karena reaksi dapat

balik selamanya tidak akan mencapai 100%. Data penelitian dianggap data benar

hanya untuk latihan analisis data skripsi. Dari gambar di atas kemurnian biodiesel

terjadi pada setiap perbandingan volume MTBE. Pada perbandingan volume MTBE

0,5 dan 2 kemurnian dicapai pada waktu 20 menit serta pada volume MTBE 1 dan

1,5 kemurnian dicapai pada waktu 15 menit. Pada waktu 15 menit hingga 20 menit

kandungan metil ester mencapai kemurnian 100%. Berbeda dengan waktu 5 - 10

menit, biodiesel yang dihasilkan belum murni dikarenakan adanya gliserida yang

belum terkonversi menjadi metil ester.

Untuk mengetahui pengaruh penambahan MTBE terhadap waktu reaksi dan

kemurniannya, dibuat kurva hubungan kecepatan dengan perbandingan MTBE.

Kecepatan dapat dihitung dari 1/t, dimana kecepatan didefinisikan sebagai kebalikan

dari waktu untuk mencapai kandungan metil ester 100%. Hubungan kecepatan Vs

perbandingan MTBE dapat dilihat pada gambar 13.

Gambar 13. Kurva hubungan kecepatan Vs perbandingan volume MTBE

Dengan mengabaikan kesalahan pengukuran, laju dapat dilihat pada

ekstrapolasi (lihat gambar 13), dot data ekstrapolasi berpuncak pada V/V MTBE =

40

1,25. Karena percobaan tidak dilanjutkan secara lebih pendek pada variasi

perbandingan MTBE (V/V) di selisih puncak kecepatan optimum (vmaks), maka vmaks

tidak dapat ditentukan. Tetapi dengan grafik tersebut dapat diprediksikan ada 3

kemungkinan:

1. Optimum pada titik ekstrapolasi, vmaks1 = 0,077/menit

2. Optimum pada titik awal lengkungan, vmaks2 = 0,067/menit

3. Optimum antara vmaks1 dan vmaks2 = 0,072/menit

Semakin tinggi perbandingan volume MTBE yang digunakan maka reaksi

berjalan lebih cepat, namun pada V/V MTBE melebihi 1 kali volume minyak tidak

memberikan pengaruh yang signifikan, bahkan pada V/V MTBE 2 kemurnian justru

tercapai dengan waktu lebih lama. Semakin banyak penambahan kopelarut justru

reaksi tidak mencapai optimum, hal ini disebabkan karena penambahan kopelarut

yang berlebih akan mengakibatkan terlalu banyak solvasi, sehingga dimungkinkan

reaktan akan tersolvasi dengan kopelarut berlebih.

E. Analisis Hasil Biodiesel Menggunakan GC-MS

Untuk mengetahui struktur senyawa yang terkandung dalam metil ester dari

minyak ikan maka dilakukan analisis menggunakan GC-MS. Dengan analisis ini

akan menghasilkan puncak-puncak yang masing-masing menunjukkan jenis ester

yang spesifik. Hasil analisis GC-MS ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Kromatrografi gas metil ester dari minyak ikan pada perbandingan MTBE 0,5 dan waktu 20’

41

Berdasarkan data MS, berbagai metil ester dapat ditentukan. Kandungan

metil ester ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Jenis Senyawa Metil Ester Dalam Biodiesel

No Nama Senyawa Puncak ke- % Senyawa SI

1 Metil Ester Miristat 4 7,30 98

2 Metil Ester Palmitoleat 5 11,09 94

3 Metil Ester Palmitat 6 22,84 96

4 Tidak diketahui 8 1,54 87

5 Tidak diketahui 9 3,27 90

6 Metil-6-Oktadekanoat 10 22,66 87

7 Metil Ester stearat 11 9,98 94

8 Tidak diketahui 12 7,79 94

9 Tidak diketahui 15 1,46 90

10 Metil Ester 11-eikosenoat 16 4,85 93

Dari 10 senyawa diatas hanya terdapat 5 senyawa utama yang benar-benar

merupakan suatu metil ester, yakni metil ester miristat, metil ester palmitoleat, metil

ester palmitat, metil ester stearat, dan metil ester 11-eikosenoat. Senyawa lainnya

kemungkinan hanya merupakan alkil ester turunan dari masing-masing asam

lemaknya. Kandungan ester tertinggi pada biodiesel adalah metil ester palmitat yang

ditunjukkan oleh puncak nomor 6 dengan kandungan senyawa 22,84%. Spektroskopi

massa dari 5 senyawa utama beserta fragmentasinya dapat dilihat pada lampiran 24.

F. Analisis Sifat Fisik Biodiesel

Pengukuran sifat fisik biodiesel hasil transesterifikasi minyak ikan

menggunakan kopelarut MTBE bertujuan untuk mengetahui kemiripannya dengan

standar sifat biodiesel yang diperbolehkan sehingga dapat diaplikasikan pada mesin

diesel. Pengukuran sifat fisik dilakukan dengan metode ASTM untuk biodiesel dan

hasilnya dibandingkan dengan standar parameter yang sesuai dengan ASTM dan

Dirjen Migas. Hasil pengujian sifat fisik biodiesel dapat dilihat pada Tabel 9.

42

Tabel 9. Data Hasil Pengujian Parameter Fisik Biodiesel

Hasil Pemeriksaan No Jenis Pemeriksaan

Metode ASTM

ASTM Standar Dirjen

Migas

1 Specific Gravity pada 60/60 oF

0,8776 D 1298 Tidak diatur

0,840– 0,920

2 Viscosity Kinematic pada 40 oC, mm/s

4,356 D 445 1,9 – 6,0 2,3 – 6,0

3 Flash Point P.M C.C., oC

182,5 D 93 Min. 130 Min. 100

4 Cloud Point 12 D 97 Maks. 26 Maks. 26 5 Copperstrip Corrosion

(3 hrs/50 oC) 1 a D 130 Maks.

No. 3 Maks. No. 3

6 Conradson Carbon Residue, % wt.

0,078 D 189 Maks. 0,1

Maks. 0,1

Water Content, % wt. 7

Trace D 95 Maks. 0,05

Maks. 0,05

8 Sediment, % wt.

0,091 D 473 Maks. 0,05

Maks. 0,05

1. Pengukuran Kerapatan Relatif (Specific Gravity)

Kerapatan relatif adalah perbandingan massa cairan yang mempunyai

volume tertentu pada 15 oC (60 oF) dengan massa air murni yang mempunyai

volume dan suhu yang sama dengan volume dan suhu contoh. Kerapatan relatif

digunakan untuk mengetahui adanya kontaminasi minyak ringan atau berat yang

bercampur dalam biodiesel.

Dari hasil pemeriksaan sesuai dengan metode pemeriksaan ASTM D

1298 diperoleh harga 0,8776. Harga tersebut telah memenuhi standar ASTM

(tidak diatur) dan Dirjen Migas (min. 0,840 dan maks. 0,920). Hal ini berarti

bahwa biodiesel yang dihasilkan tidak terkontaminasi minyak fraksi ringan

maupun fraksi berat.

2. Pengukuran Kekentalan Kinematis (Viscosity Kinematic)

Kekentalan atau viskositas adalah suatu karakteristik bahan bakar yang

penting karena berhubungan dengan sifat pemompaan dan sistem injeksi solar ke

ruang bakar. Pelumasan, gesekan antara bagian-bagian yang bergerak dan

keausan mesin semua dipengaruhi oleh kekentalan. Bahan bakar dengan nilai

viskositas dibawah standar berarti banyak mengandung fraksi ringan, sehingga

boros dalam pemakaiannya, walaupun kerja pompa ringan. Sedangkan bila nilai

43

viskositasnya lebih besar dari standar berarti mengandung fraksi berat, sehingga

minyak solar sulit untuk dikabutkan, dan kerja pompa berat.

Viskositas diukur dari laju alir fluida atau minyak dalam suatu pipa

kapiler atau viscometer yang sudah terkalibrasi dan dilakukan secara gravitasi.

Hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode ASTM D 445 menunjukkan

harga 4,356. Harga kekentalan diatas telah memenuhi standar ASTM D 445 (1,9

– 6,0) dan Dirjen Migas (2,3 – 6,0).

3. Pengukuran Titik Nyala (Flash Point)

Titik nyala suatu senyawa adalah suhu terendah dimana sejumlah uap

minyak bercampur dengan udara dan apabila tersambar api maka minyak akan

terbakar. Titik nyala tidak berkaitan langsung dengan unjuk kerja mesin, namun

sangat penting sehubungan dengan keamanan dan keselamatan, terutama dalam

handling and storage. Titik nyala yang tinggi akan memudahkan penanganan

bahan bakar, karena tidak perlu disimpan pada suhu rendah, sebaliknya titik

nyala yang terlalu rendah akan membahayakan karena tingginya resiko terjadi

penyalaan.

Hasil pemeriksaan titik nyala biodiesel didasarkan pada metode

pemeriksaan ASTM D 93 adalah 182,5. Harga diatas telah memenuhi standar

ASTM (min 130 oC) dan Dirjen Migas (min. 100 oC), sehingga biodiesel diatas

dalam batas aman terhadap bahaya kebakaran selama penyimpan, penanganan

dan transportasi.

4. Pengukuran Titik Kabut (Cloud Point)

Titik kabut suatu bahan bakar yang sudah terdestilasi adalah temperatur

dimana bahan bakar menjadi berkabut karena kehadiran dari kristal-kristal lilin.

Titik kabut sangat dipengaruhi oleh harga salinitas, bila salinitasnya tinggi harga

titik kabut cenderung turun. Hasil pengukuran biodisel berdasar metode

pemeriksaan ASTM D 97 adalah 12oC. Harga diatas sudah sesuai dengan standar

ASTM (maks. 26 oC) dan Dirjen Migas (maks. 26 oC).

5. Pengukuran Korosi Terhadap Lempeng Tembaga (Copperstrip Corrosion)

Metode copper strip corrotion digunakan untuk memprediksi derajat

korosivitas relatif lempeng tembaga yang diujikan pada biodiesel. Hasil

44

pemeriksaan biodiesel berdasar metode standar ASTM D 130 diperoleh 1a. Hasil

pengujian korosi lempeng tembaga untuk ketiga jenis biodiesel tersebut telah

memenuhi standar ASTM (maks. No. 3) dan Dirjen Migas (maks. No.3).

6. Pengukuran Sisa Karbon Conradson (Conradson Carbon Residue)

Residu karbon bahan bakar yang tinggi menyebabkan silinder cepat

terabrasi, selain itu akan mengakibatkan terbentuknya deposit karbor dan zat

yang kental pada piston dan silinder. Akibat residu karbon lainnya adalah dapat

menyebabkan lekatnya ring piston dan valve system (Kuntari, 2002 dalam

Supandi, 2003)

Hasil pemeriksaan biodiesel berdasar metode standar ASTM D 189

adalah 0,078. Dari ketiga harga tersebut diatas telah memenuhi standar ASTM D

189 (maks. 0,1) dan Dirjen Migas (maks. 0,1). Hal ini berarti biodiesel tersebut

tidak mengandung sisa karbon di atas standar.

7. Pengukuran Kandungan Air (Water Content)

Pengukuran kandungan air dilakukan untuk mengetahui banyaknya air

yang terdapat dalam biodiesel. Keberadaan air menyebabkan turunnya panas

pembakaran, busa, dan bersifat korosif pada bahan bakar minyak. Apabila suhu

dingin, air dapat mengkristal sehingga dapat menyumbat saluran bahan bakar

atau saringan.

Hasil pemeriksaan biodiesel berdasar standar ASTM D 95 diperoleh

harga Trace (sedikit sekali) sampai tidak terdeteksi volumenya.. Dari harga di

atas maka kandungan air memenuhi standar ASTM (maks. 0,05% vol) dan Dirjen

Migas (maks. 0,05% vol.).

8. Pengukuran Kandungan Sedimen (Sediment)

Pengukuran kandungan sedimen bertujuan untuk mengetahui jumlah

kandungan sediment yang terdapat dalam biodiesel. Sedimen merupakan zat

yang tidak dapat larut dan dianggap sebagai kontaminan. Apabila biodiesel

mengandung banyak sedimen maka sangat mempengaruhi kelancaran distribusi

bahan bakar pada ruang pembakaran sehingga mempengaruhi akselerasi kerja

mesin diesel.

45

Hasil pengukuran berdasar standar ASTM D 473 diperoleh kadar 0,091.

Nilai ini tidak memenuhi standar ASTM D 473 (maks. 0,05% wt.) dan Dirjen

Migas (maks. 0,05% wt.). Hal ini berarti biodiesel yang dihasilkan mengandung

kotoran tersuspensi.

46

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Penggunaan kopelarut MTBE pada reaksi transesterifikasi minyak ikan dapat

meningkatkan laju reaksi pada kecepatan reaksi 0,072 0,004 yang berada pada

waktu reaksi optimum 13,89 menit

2. Pembuatan biodiesel dari minyak ikan menggunakan kopelarut MTBE mencapai

kemurniannya pada kondisi optimum perbandingan volume MTBE terhadap

minyak adalah 1,25 V/V

3. Struktur senyawa yang dihasilkan dari biodiesel berbahan dasar minyak ikan

adalah Metil Ester Miristat, Metil Ester Palmitoleat, Metil Ester Palmitat, Metil

Ester Stearat, dan Metil Ester 11-eikosanoat. Dan kandungan terbesarnya adalah

metil palmitat dengan kandungan senyawa 22, 84%.

4. Sifat fisik biodiesel yang meliputi kerapatan relatif, kekentalan kinematis, titik

nyala, titik kabut, korosi terhadap lempeng tembaga, sisa karbon conradson, dan

kandungan air telah memenuhi standar ASTM dan Dirjen Migas, namun

kandungan sedimennya tidak memenuhi standar.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dari percobaan yang telah dilakukan, penulis

memberikan saran sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi pembekuan yang terjadi

pada biodiesel yang dihasilkan pada suhu kamar dengan waktu yang singkat.

2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kondisi optimum perbandingan

molar minyak limbah ikan dan methanol pada pembuatan biodiesel

47

DAFTAR PUSTAKA

Astawan, Made., 2003, Ikan Air Tawar Kaya Protein dan Vitamin. http://www.senior.co.id/kesehatan/news/senior/gizi/0307/04/gizi.htm

Berrios, M., Siles, J., Martin, M.A., Martin, A., 2007, A Kinetic Study of The Esterification of Free Fatty Acid (FFA) in Sunflower Oil. Fuel (86): 2383 -2388

Chi, Lirong., 1999, The Production of Methyl Esters from Vegetable Oil/ Fatty Acid Mixture. Tesis S2, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Toronto.

Cresswell, Clifford, J., Runquist, Olaf, A., Campbel, Malcom, M.,1982, Analisis Spektrum Senyawa Organik Edisi ke 2, ITB press, Bandung.

De Man, John., 1997, Kimia Makanan Edisi kedua, Institut Teknologi Bandung Press, Bandung

Destianna, Mescha dkk, 2007, Intensifikasi Proses Produksi Biodiesel. LKIM, Institut Teknologi Bandung.

El-Mashad, H. M., Ruihong, Z., and Roberto J., 2008, A Two-Step Process for Biodiesel Production from Salmon Oil, Biosystem Engineering., 99, p 220-227

Fessenden and Fessenden, 1991, Kimia Organik Jilid 1 Edisi ke empat, Erlangga, Jakarta

Fischer, A., Oehm, C., Selle M., Werner P., 2005. Biotic and abiotic transformations of methyl tertiary butyl ether (MTBE). Environ Sci Pollut Res Int 12 (6): 381–6

Foon, Cheng Sit., May, C,Y., Ngan,M,A., and Hock, C,C., 2004, Kinetics Study on Transesterification of Palm Oil, Journal of Oil Palm Research Vol.16 No.2, 19-29

Freedman, B., Pride, E.H., and Mounts, t.L., 1984, Variable Affecting the Yields of Fatty Esters from Transesterified Vegetable Oil, JAOCS, 61 (10), 1643-1683

Guru, Metin., Artukoglu, B.D., Keskin, A., and Koca, A., 2008, Biodiesel Production from Waste Animal Fat and Improvement by Synthesized Nickel and Magnesium Additive, Energy Convertion and Management, Vol.50., 3, p 498-502

Harjanti, Tri. B.S, 2008, Pembuatan Biodiesel dari Lemak Babi dengan Pereaksi Metanol dan Katalis Logam Natrium, Skripsi S1, Jurusan Kimia MIPA, UNS, Surakarta.

48

Hardjono, A., 2001, Teknologi Minyak Bumi, Edisi pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Herlina, Netti, et. al., 2002, Lemak dan Minyak, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara, Medan.

Ilgen, O., Dincer, I., Yildiz, M., Alptekin, E., Boz, N., Canakci, M., Akin, A, N, 2007, Investigation of Biodiesel Production from Canola Oil using Mg-Al Hydrotalcite Catalysts, Turk J Chem.

Juliati, Br. et. al., Ester Asam Lemak, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatra Utara, Medan.

Knothe, G., 2000, Monitoring a Progressing Transesterification Reaction by Fiber- Optic Near Infrared Spectroscopy with Correlation to 1H Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy, J. Am. Oil Chem. Soc., 77, 9483, 489–493.

McLafferty, 1988, Interpretasi Spektra Massa. Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Mittlebach, M., Remschmidt, Claudia, 2004, “Biodiesel The Comprehensive Handbook”, Vienna: Boersedruck Ges.

Padley, FB., Gunstone, F.D., and Harwood, J.L., 1994, Occurrence and Characteristic of Oil and Fat. In Lipid Handbook, p.47-223, London.

Park, Young Mo., et. Al., The Heterogeneous Catalyst System for The Continuous Conversion of Free fatty Acid in Used Vegetable Oil for The Production of Biodiesel, Catalysis Today 13, 238-243

Prakoso, Tirto, 2003, Potensi Biodiesel Indonesia. Laboratorium Termofluida dan Sistem Utilitas, Departemen Teknik Kimia ITB, Bandung.

Putrajaya, Hidayat, 2008, Antara Bensin, Timbal dan Etanol, http://hematbensinsolar.blog.detik.com/2008/09/26/antarabensin-timbal-dan-etanol-2

Rahayu, Martini, 2005, Teknologi Proses Produksi Biodiesel dalam Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak, www.geocities.com/markal_bppt/publish/biofbbm/biraha.pdf

Schuchardt, Ulf., Sercheli, R., and Vargas., 1998, Transesterification of Vegetable Oil: a Review, J.Braz.Chem. Soc,Vol. 9 (2): 199-210.

Setiyono, Adi, 2005, Pembuatan dan Karakterisasi Biodiesel dari Lemak Babi, Skripsi S1, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

49

Skoog, D.A., Holler, F.J & Nieman, A.T., 1997, Principle of Instrumental Analysis, Fifth Edition, New York, Hancourt Brace & Company.

Soerawidjaja, Tatang H, 2006, Fondasi-Fondasi Ilmiah dan Keteknikan dari Teknologi Pembuatan Biodiesel, Handout Seminar Nasional; Biodiesel Sebagai Energi Alternatif Masa Depan, UGM Yogyakarta.

Supandi, 2003, Pembuatan Biodiesel Melalui Transesterifikasi Minyak Kelapa Menggunakan Metanol dengan Katalis Natrium Metoksida (NaOCH3), Skripsi S1, Jurusan Kimia MIPA, UNS, Surakarta

Van, Gerpen, J., Shanks, B., Pruszko, R., 2004, Biodiesel Production Technology, National Renewable Energy Laboratory, Collorado.

Wibisono, Ardian, 2007, Conoco Phillips Produksi Biodiesel dari Lemak Babi, Jakarta.

Winarno F.G, 1997, Kimia Pangan dan Gizi, Gramedia Pustaka, Jakarta.

50

Lampiran 1. Perhitungan Bilangan Asam

Bilangan asam dihitung dari titrasi 1 ml minyak dalam erlenmeyer kemudian dititrasi

dengan KOH 0,005 M.

Bilangan asam dihitung menggunakan persamaan:

sampelberat 56,1 KOH M KOH ml

asamBilangan ´´

=

Sedangkan % berat asam lemak dihitung menggunakan persamaan:

%1001000 x sampelberat

minyak BM x KOH M KOH ml bebaslemak asam %

´=

Dari titrasi terhadap minyak hasil esterifikasi dengan variasi presentase katalis

diperoleh:

Minyak N KOH V1 (ml) V2 (ml) V3 (ml) V (ml)

Bilangan asam

% asam lemak bebas

A 0,5 4,45 4,48 4,46 4,46 28,18 2,23 B 0,005 1,32 1,35 1,32 1,33 0,42 6,65 x 10-3

Keterangan:

A = Minyak Ikan tanpa perlakuan awal

B = Minyak ikan hasil esterifikasi

51

Lampiran 2. Spektra 1H-NMR Minyak ikan

52

Lampiran 3. Spektra 1H-NMR Metil Ester 0,5x MTBE, 5 menit

53

Lampiran 4. Spektra 1H-NMR Metil Ester 0,5x MTBE, 10 menit

54

Lampiran 5. Spektra 1H-NMR Metil Ester 0,5x MTBE, 15 menit

55

Lampiran 6. Spektra H-NMR Metil Ester 0,5x MTBE, 20 menit

56

Lampiran 7. Spektra 1H-NMR Metil Ester 0,5x MTBE, 25 menit

57

Lampiran 8. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1x MTBE, 5 menit

58

Lampiran 9. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1x MTBE, 10 menit

59

Lampiran 10. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1x MTBE, 15 menit

60

Lampiran 11. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1x MTBE, 20 menit

61

Lampiran 12. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1x MTBE, 25 menit

62

Lampiran 13. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1,5x MTBE, 5 menit

63

Lampiran 14. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1,5x MTBE, 10 menit

64

Lampiran 15. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1,5x MTBE, 15 menit

65

Lampiran 16. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1,5x MTBE, 20 menit

66

Lampiran 17. Spektra 1H-NMR Metil Ester 1,5x MTBE, 25 menit

67

Lampiran 18. Spektra 1H-NMR Metil Ester 2x MTBE, 5 menit

68

Lampiran 19. Spektra 1H-NMR Metil Ester 2x MTBE, 10 menit

69

Lampiran 20. Spektra 1H-NMR Metil Ester 2x MTBE, 15 menit

70

Lampiran 21. Spektra 1H-NMR Metil Ester 2x MTBE, 20 menit

71

Lampiran 22. Spektra 1H-NMR Metil Ester 2x MTBE, 25 menit

71

Lampiran 23. Tabel Kemurnian Biodiesel pada Berbagai Kondisi

0,5:1 (v/v) 1:1 (v/v) 1,5:1 (v/v) 2:1 (v/v) t

(menit) IME

(%)

ITAG

(%)

CME

(%)

IME (%) ITAG

(%)

CME

(%)

IME

(%)

ITAG

(%)

CME

(%)

IME

(%)

ITAG

(%)

CME

(%)

5 13750,0 504,0 93,81 4725,0 19,0 99,28 6099,0 632,8 84,26 7745,4 231,4 94,89

10 15951,6 1618,3 84,56 3417,7 262,8 87,84 6355,2 281,8 92,61 8648,8 540,0 89,89

15 5833,0 71,2 97,85 6048,9 0,0 100,0 7108,0 0,0 100,0 7377,8 278,4 93,64

20 7433,0 0,0 100,0 6934,1 267,0 93,52 6236,0 126,4 96,48 5550,2 0,0 100,0

25 6618,7 115,5 96,95 6533,0 91,3 97,55 6040,0 343,0 90,73 6825,6 237,0 93,57

Rumus yang digunakan:

TAGME

MEME I 9 I 5

I 5 x 100(%)C

+=

72

Lampiran 24. Gambar kromatografi gas Metil Ester pada 0,5 MTBE, 20 menit

73

Lampiran 25. Kondisi Operasi Kromatografi Gas Spektrometer Massa (GC-MS)

Jenis Kolom : DB 5 MS panjang 30 meter

Suhu kolom : 60 oC

Suhu detektor : 300 oC

Suhu injektor : 310 oC

Injection Mode : Split

Flow Control Mode : Pressure

Pressure : 100 kPa

Total flow : 36,6 mL/min

Column Flow : 1,6 mL/min

Linear Velocity : 46,4 cm/sec

74

O

CH3(CH2)12C OCH3

Lampiran 26. Fragmentasi senyawa Metil Ester Miristat

Spektra Massa senyawa I

Spektra Massa senyawa Metil Ester Miristat

Struktur senyawa metil ester miristat

O

O Perkiraan Fragmentasi

-CH3(CH2)8

-CH3(CH2)9CH=CH2

+(CH2)4-C

O

OCH3

m/z = 115

-CH2=CH2

O+CH2CH2C OCH3

m/z = 87

H2C=C

+OH

OCH3

m/z = 74 (puncak dasar)

75

O

O

Lampiran.27. Fragmentasi senyawa Metil Ester Palmitoleat Spektra Massa senyawa II

Spektra Massa senyawa Metil Ester Palmitoleat

Struktur metil ester palmitoleat.

Perkiraan Fragmentasi

O

-(CH2)7C OCH3

-CH3(CH2)5CH=CH(CH2)4CH=CH2

CH3(CH2)5CH=CH+

- CH3(CH2)2CH=CH2

CH3CH=CH+

- CH3CH=CH2

CH3(CH2)2CH=CH+

H2C=C

+OH

OCH3

- CH3CH2CH=CH2

CH3CH2CH=CH+

O

CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7C OCH3

m/z = 111 m/z = 74

m/z = 69

m/z = 41 m/z = 55 (puncak dasar)

76

Lampiran 28. Fragmentasi senyawa Metil Ester Palmitat Spektra Massa senyawa III

Spektra Massa senyawa Metil Ester Palmitat

Struktur metil ester palmitat O

O Perkiraan Fragmentasi

CH3(CH2)14C

O

OCH3

+(CH2)6C

O

OCH3

- CH3(CH2)11CH=CH2

CH2=C

+OH

OCH3

- OCH3

CH3C=O+

+CH2CH2CH2CH3- CH3CH2CH=CH2

+CH2CH2C

O

OCH3

m/z = 143

m/z = 87

m/z = 74 (puncak dasar)

m/z = 43

77

O

O

Lampiran 29. Fragmentasi senyawa Metil Ester Stearat Spektra Massa senyawa IV

Spektra Massa senyawa Metil Ester Stearat

Struktur metil ester stearat.

Perkiraan fragmentasi

CH3(CH2)16C

O

OCH3

- CH3(CH2)13CH=CH2

CH2=C

+OH

OCH3

- OCH3

CH3C=O+

+CH2CH2CH2CH3

- CH3(CH2)10

- CH3CH2CH=CH2

+CH2CH2C

O

OCH3

+(CH2)6C

O

OCH3

m/z = 143 m/z = 57

m/z = 87 m/z = 43

78

O

O

O

-(CH2)9C OCH3

O

OCH3CH3(CH2)7CH=CH(CH2)9C

CH3(CH2)7CH=CH+

-CH3(CH2)4CH=CH2

-CH3(CH2)3CH=CH2

-CH3(CH2)2CH=CH2

+CH=CH(CH2)2CH3+CH=CH-CH3

+CH=CH-CH2-CH3

Lampiran 30. Fragmentasi senyawa Metil Ester 11-eikosenoat Spektra Massa senyawa V

Spektra Massa senyawa Metil Ester 11-eikosenoat

Struktur metil ester 11-eikosenoat

Perkiraan fragmentasi

m/z = 139

m/z = 41 m/z = 55 puncak dasar

m/z = 69

79

Lampiran 31. Gambar hasil uji analisa ASTM