Upload
dicewulandaryy
View
235
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
gfhfjhgjhgh
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering dijumpai pada anak.
Asma dikelompokkan menjadi dua aspek yaitu aspek akut (biasa dikenal sebagai serangan
asma) dan aspek kronik (dikenal sebagai asma di luar serangan). Serangan asma adalah
episode perburukan progresif gejala – gejala asma seperti batuk, sesak napas, mengi, rasa
dada tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Serangan asma dapat dipicu oleh
berbagai macam faktor pencetus seperti alergen, infeksi, polusi udara, makanan serta paparan
asap rokok.1
Kejadian asma meningkat dari tahun ke tahun baik di negara maju maupun negara
berkembang. Di Indonesia, diperkirakan 10% anak usia 6-12 tahun menderita asma yang
kemudian menurun menjadi 6,5 % pada usia 13-14 tahun. Berdasarkan laporan National
Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun
adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per
1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). 1,3
Serangan asma merupakan kegawatdaruratan medis yang lazim dijumpai di ruang
gawat darurat. Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara
luas yang ditimbulkan oleh kombinasi spasme otot polos bronkus, edema mukosa, akibat
inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus. Tujuan tatalaksana serangan asma adalah
meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin, mengurangi hipoksemia,
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya. Intervensi yang cepat dan tepat
untuk pasien eksaserbasi asma secara signifikan dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.1
Terlambatnya penanganan terhadap penderita asma dapat menimbulkan dampak yang
cukup fatal, bahkan bisa berujung pada kematian. Oleh karena itu dalam laporan ini penulis
membahas definsi, epidemiologi, klasifikasi, diagnosis serta penatalaksanaan asam akut
dalam serangan yang diharapkan bisa membantu penatalaksanaan serangan asma akut pada
anak.
1
BAB II
ILUSTRASI KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Jl. K.H. Ahmad, Kecamatan Arga Makmur, Kabupaten Bengkulu Utara
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 1. 8 Juli 2015, pukul 07.20 WIB
2. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)
Keluhan Utama :
Sesak napas sejak 7 jam yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Anak batuk sejak 1 minggu yang lalu. Batuk berdahak berwarna bening. Frekuensi
bertambah jika malam hari dan udara dingin serta setelah beraktivitas. Batuk tidak
disertai demam.
- Sesak napas sejak pukul 00.30 WIB,saat pasien sedang tidur dirumah. Sesak
bertambah jika berbaring dan lebih ringan jika duduk. Sesak tidak disertai warna biru
pada bibir, dan tidak terdengar adanya bunyi menciut. Pada saat sesak pasien
berbicara dengan memenggal kalimat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan
makanan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
2
- Anak pernah dirawat di rumah sakit karena keluhan yang sama sejak usia 4 tahun dan
serangan terjadi lebih kurang 1 kali dalam sebulan.
- Riwayat bersin bersin dan mata berair jika terkena debu ada
- Riwayat bersin – bersin pagi hari disangkal
- Riwayat alergi makanan disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluarga penderita asma ada yaitu nenek pasien penderita asma.
Riwayat atopi lainnya pada keluarga tidak diketahui
Riwayat Kehamilan Dan Persalinan
Riwayat Antenatal :
ANC ke bidan
Riwayat Persalinan :
Anak lahir ditolong oleh bidan,cukup bulan, lahir spontan, berat badan lahir dan
panjamg badan lahir tidak diketahui
Riwayat Perkembangan :
Riwayat perkembangan sesuai anak seusianya
Riwayat Imunisasi :
Jenis Vaksin
Usia Pemberian Vaksin
Bulan Tahun
0 1 2 4 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7
Hepatitis B
Polio
BCG
DPT
HiB
PCV
Influenza
Campak
MMR
Tifoid Tidak ada informasi
3
Hepatitis A Tidak ada informasi
Varisela1x sampai umur 18 tahun,pada pasien tidak
ada informasi
Ket : : Sudah dilakukan: Booster, pada pasien tidak ada informasi
: Pemberian imunisasi awal, pada pasien tidak ada informasi
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sesak
Kesadaran : Komposmentis
Tanda vital : Tekanan Darah : tidak diperiksa
Nadi : 110 x/menit, kualitas cukup,
reguler
Suhu : 36,5 oC
Respirasi : 50 x/menit
Status gizi berdasrkan CDC 2000
Berat badan : 28 kg
Panjang/tinggi badan : 115 cm
Kulit
Warna : Sawo matang
Sianosis : Tidak ada
Turgor : Cepat kembali
Kepala
Bentuk : Normosefal
Rambut :Warna hitam
Mata
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Pupil : Diameter 3 mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+
Telinga : Bentuk simetris, sekret tidak ada, membran timpani
utuh
Hidung
Pernafasan cuping hidung: ada
Epistaksis : Tidak ada
4
Sekret : ada
Edema : edema konka ada
Polip : Tidak diperiksa
Mulut
Bentuk : Normal
Bibir : Mukosa bibir basah, sianosis tidak ada
Faring
Hiperemi : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Membran/pseudomembran : Tidak ada
Tonsil :T1-T1 tidak hiperemis
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorak
Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : Simetris
Retraksi : Ada
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas Ekspirasi memanjang, rhonki (-/-),
Wheezing (+/+)
Jantung :
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Apeks tidak teraba, thrill tidak ada
Perkusi : Batas kanan ICS IV LPS dextra
Batas kiri ICS V LMK sinistra
Batas atas ICS II LPS sinistra
Auskultasi : Irama reguler, S1 dan S2 tunggal, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Tidak teraba hati,lien
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
5
Ekstremitas atas : Akral hangat, tidak ada oedem, tidak sianosis, CRT <
2s
Ekstremitas bawah : Akral hangat, tidak ada oedem, tidak sianosis, CRT <
2s
Neurologis : Reflek fisiologis +/+, Reflek patologis -/-
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA
Pemeriksaan Darah Rutin :
HB : 13,2 g/dl
Leukosit : 8000 sel/mm3
Hitung Jenis Leukosit:
Basofil : 0 %
Eosinofil : 0 %
Neutrofil Batang :0 %
Netrofil segmen : 71%
Limfosit : 27 %
Monosit : 2%
4. DIAGNOSIS
Diagnosa kerja : Asma intermiten serangan berat
5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal di igd
Pukul 07.20 WIB
- O2 2-3 liter/menit
- Nebulisasi ventolin 2,5 mg + NaCl 2,5 ml 2x Wh +/+ nebulisasi
flixotide 0,5 mg + NaCl 2,5 ml 1x Wh +/+ rawat inap
Penatalaksanaan ruang rawat inap
6
- IVFD D5 % 500ml+ Drip Aminofilin 240 mg dengan pemberian 20
tetes/menit
- Injeksi Deksametason 3 x 1 amp
- Gentamisin 2x 40 mg
- nebulisasi ventolin 3x2,5 ml + Nacl 2,5 ml
- Pasien mendapat perawatan selama 3 hari
6. USULAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan radiologis foto toraks
Tes fungsi fisiologis paru
7. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
8. PENCEGAHAN
- Hindari faktor-faktor pencetus timbulnya asma bronkial
- Membatasi aktivitas fisik yang berlebihan
- Penggunaan masker/ saputangan guna menutup hidung bila berada di ruangan yang
berdebu atau bila terpapar dengan asap, baik asap kendaraan bermotor, rokok, dan
lain sebagainya.
7
BAB III
SERANGAN ASMA AKUT PADA ANAK
1. DEFINISI
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episod wheezing yang berulang, sesak
napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran
respiratorik terhadap berbagai rangsangan. 1
Serangan asma adalah episode perburukan progresif gejala-gejala batuk, sesak
napas,mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Serangan
asma biasanya mencerminkan kegagalan tatalaksana asma jangka panjang atau
adanya pajanan ringan terhadap pencetus. 1
2. EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering dijumpai
pada anak. Kejadian asma meningkat dari tahun ke tahun baik di negara maju maupun
Negara berkembang. Peningkatan tersebut diduga karena pola hidup dan faktor polusi
lingkungan.Di Indonesia, diperkirakan 10% anak usia 6-12 tahun menderita asma
yang kemudian menurun menjadi 6,5 % pada usia 13-14 tahun.1
Salah satu masalah epidemiologi saat ini adalah mortalitas asma yang relatif
tinggi. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma tidak merupakan penyebab kematian
yang berarti. Namun belakangan ini dilaporkan dari berbagai negara terjadi
peningkatan kematian karena penyakit asma, juga pada anak. Berbagai faktor yang
dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain aktivitas fisik, alergen,
8
infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap iritan respiratorik
seperti asap rokok dan lain sebagainya.
3. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko berkembangnya asma bronkial pada seseorang merupakan interaksi antara
faktor penjamu dan faktor lingkungan3
A. FAKTOR PEJAMU (Host)
Predisposisi genetik
Hiperesponsif saluran napas
Atopi
Jenis kelamin
Ras
B. FAKTOR LINGKUNGAN
Faktor yang mempengaruhi kerentanan terbentuk asma pada individu yang
terpajan dengan faktor predisposisi.
Alergen dalam rumah
- Tungau debu rumah
- Alergen pada hewan
- Alergen kecoa
- Jamur
Alergen luar
- Tepung sari
- Jamur
Pajanan pekerjaan
Asap rokok
Polusi udara
Infeksi saluran napas
Infeksi parasit
Status sosial ekonomi
Diet dan obat – obatan
Obesitas
9
4. PATOFISIOLOGI
Serangan asma terjadi apabila terpajan alergen sebagai pencetus. Pajanan
allergen tersebut menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi
saluran napas dengan hasil akhir berupa obstruksi saluran napas bawah sehingga
terjadi gangguan ventilasi berupa kesulitan napas pada saat ekspirasi (air trapping).4
Terperangkapnya udara saat ekspirasi mengakibatkan peningkatan tekanan
CO2 dan pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan O2 dengan akibat
penimbunan asam laktat atau asidosis metabolik. Adanya obstruksi juga akan
menyebabkan terjadinya hiperinflasi paru yang mengakibatkan tahanan paru
meningkat sehingga usaha napas meningkat. Usaha napas terlihat nyata pada saat
ekspirasi sehingga dapat terlihat ekspirasi yang memanjang atau wheezing. Adanya
peningkatan tekanan CO2 dan penurunan tekanan O2 serta asidosis dapat
menyebabkan vasokonstriksi pulmonar yang berakibat pada penurunan surfaktan.
Penurunan surfaktan tersebut dapat menyebabkan keadaan atelektasis. Selain itu,
hipersekresi akan menyebabkan terjadinya sumbatan akibat sekret yang banyak
(mucous plug) dengan akibat atelektasis4
10
5. DIAGNOSIS
Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
5.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang
berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien, seperti: riwayat penyakit,
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya
alergi, serta gejala klinis
Pada riwayat penyakit asma dijumpai keluhan mengi, batuk, sesak napas dan
rasa sesak di dada. Kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang
umumnya muncul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya riwayat
penyakit asma pada keluarga pasien dan riwayat penyakit alergi lain pada pasien
maupun keluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis atopik membantu dalam
mendiagnosis asma (Sudoyo dkk, 2006).
5.2 Pemeriksaan fisik
11
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, wheezing, hiperinflasi dada, pernapasan
cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Asma berkaitan dengan
wheezing, tetapi tidak semua wheezing adalah asma
5.3 Pemeriksaan penunjang
A. Spirometri
Uji faal paru menggunakan spirometer dilakukan untuk menentukan berat
ringannya obstruksi saluran napas, variasi dari fungsi saluran napas, evaluasi hasil
terapi, dan beratnya serangan asma. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan
sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adregenik
beta. Variasi nilai arus puncak ekspirasi (APE) 20% antara pagi dan sore hari
mempunyai nilai diagnostik terhadap asma, dan dapat menentukan derajat
hiperreaktivitas bronkus. Hal lain yang mendukung diagnosa asma antara lain: adanya
variasi pada arus puncak ekspirasi (APE) 15 % pada pagi dan sore hari, kenaikan 15%
pada APE atau volume ekspirasi detik 1 (VEP1) setelah pemberian bronkodilator
secara inhalasi, penurunan > 20% VEP1 setelah uji provokasi bronkus. 5
A. Uji Provokasi bronkus
Jika spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus
dilakukan uji provokasi bronkus. Uji provokasi bronkus yaitu dengan histamin,
metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin dan lain-lain. Penurunan VEP1 sebesar 20%
atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan
menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-
90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE paling
sedikit 10%. Lain halnya uji provokasi menggunakan alergen, hanya dilakukan pada
pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji
B. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang
lebih berat PaCO2 mendekati normal sampai normokapnia. Pada asma yang sangat
berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik
(Sudoyo dkk, 2006).
12
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma.
Pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya
dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma
C. Pemeriksaan tes kulit
Tes kulit dapat membantu menentukan alergen yang memicu timbulnya
serangan asma yang disebabkan oleh alergi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong
anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma,
demikian pula sebaliknya
D. Foto dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau
komplikasi asma seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-
lain.
6. KLASIFIKASI
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan
(jangka panjang). GINA membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten,
asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat. Berbeda
dengan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma
episodik sedang, dan asma persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma anak
kejadian episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitas). Dasar pembagian atau
klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas
diluar serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang (Tabel 1).4
Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak berdasarkan berat ringannya serangan(1)
Parameter klinis Ringan
Jarang
Sedang Berat Ancaman henti napas
13
Sesak (breathless) BerjalanBayi :Menangis keras
BerbicaraBayi :-tangis pendek dan lemah-kesulitan menetek/makan
IstirahatBayi :-tidak mau makan/minum
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin irritable
Biasanya irritable Biasanya irritable
Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi
Nyaring, sepanjang ekspirasi+inspirasi
Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop
Sulit/tidak terdengar
Penggunaan otot bantu respiratorik
Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradok torako-abdominal
Retraksi Dangkal, retraksi interkostal
Sedang, ditambah retraksi suprasternal
Dalam, ditambah napas cuping hidung
Dangkal/hilang
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
14
7. TATALAKSANA
Tujuan tatalaksana serangan
Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk2
• meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin
• mengurangi hipoksemia
• mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
• rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan
A. Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat Darurat,
langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia.Tatalaksana
15
awal terhadap pasien adalah pemberian ß-agonis dengan penambahan garam fisiologis
secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang waktu 20
menit. Pada pemberian ketiga, nebulisasi ditambahkan obat antikolinergik.
Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan
derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis dapat dilakukan dengan cepat
dan jelas.(1,7)
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan yang berat,
langsung berikan nebulisasi ß-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien
dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolic, mungkin akan
mengalami takifilasis atau refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap
nebulisasi ß-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya
dirawat untuk mendapat obat intravena selain dibatasi masalah dehidrasi dan
asidosisnya.(1,7)
Serangan Asma Ringan
Apabila keadaan pasien dengan sekali pemberian nebulisasi telah
menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti serngannya tergolong
ringan. Pasien diobservasi selama 1 jam, jika tetap baik, maka pasien dapat
dipulangkan. Pasien dibekai dengan obat ß-agonis (obat hirup atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral, namun hanya diberikan untuk jangka waktu yang pendek
(3-5 hari).(1,7)
Serangan Asma Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan respons
parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Pada
16
serangan asma sedang, diberikan steroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan
dosis 0,5-1 mg/kg/BB/hari selama 3-5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan selain
metilprednisolon adalah prednison.(1,7)
Serangan Asma Berat
Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut pasien tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada maka pasien
harus dirawat di ruang rawat inap. Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat,
maka nebulisasi pertama kali langsung ß-agonis dengan penambahan
antikolinergik. Oksigen 2-4 liter/menit diberikan sejak awal, termasuk saat
nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto thoraks.(6,7) Jika pasien
menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat
di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan ancaman henti
napas, langsung dibuat foto Rontgen thoraks guna komplikasi pneumotoraks
dan/atau pneumomediastinum.(1,7)
B. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap
Pada penatalaksaan di ruang inap, ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu.(1,7)
- Pemberian oksigen diteruskan
- Jika ada dehidrasi dan asidosis, maka diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan dikoreksi asidosisnya.
- Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena
0,5-1 mg/kg/BB/hari.
- Nebulisasi ß-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,
jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
17
- Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis :
o Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose
atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
o Jika pasien telah mendapat amonofilin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan separuhnya.
o Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
o Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
- Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24
jam dan steroid serta aminofilin diganti pemberial peroral.
- Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat ß-agonis (hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama
24-48 jam. Steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan
dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
C. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif
Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah(1) :
- Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
- Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas atau
hilangnya kesadaran.
- Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di ruang rawat inap.
- Ancaman henti napas : hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberikan
oksigen (Kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg, walaupun
18
tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau
lebih rendah)
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Pada kasus ini, pasien anak perempuan umur 5 tahun dengan diagnosis asma intermiten
serangan sedang. Dasar diagnosa kasus ini adalah :
- Asma intermiten karena pada kriteria GINA yang termasuk golongan asma
intermiten adalah gejala yang kecil dari 1 x perminggu dan serangan beerapa
jam sampai beberapa hari dan pada tes fungsi paru APE atau VEP 1 > 80%.
Pada pasien serangan 1 x perbulan yang dimana masuk Kriteria asma
intermiten berdasarkan gejalanya. Tapi kalau berdasarkan tes fungsi paru
belum dapat ditegakkan pada pasien asma intermiten karena belum dilakukan
tes fungsi paru
- Asma serangan berat karena derajat serangan harus dianggap lebih berat jika
pasien memberi respon yang kurang baik setelah terapi awal. Pada pasien ini pasin
masih member respon yang kurang baik setelah terapi asma serangan sedang.
Penatalaksanaan yang diberikan berupa tatalaksana serangan di igd yaitu pemberian ß-
agonis dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat
diulang dua kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, nebulisasi
ditambahkan obat antikolinergik. Pada pasien ini datang pertama kali diberuikan nebulisasi
ventolin (ß-agonis) 1 x dan pasien dipulangkan. Kemudian datang kedua kali duberikan
nebulisasi ventolin (ß-agonis) 2x dan flixotide 1x dan dianjurkan rawat karena wheezing tetap
ada setelah nebuliasi ketiga
β 2- agonis selektif merupakan bronkodilator kerja cepat. Cara kerjanya stimulasi
terhadap reseptor – reseptor beta adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic
AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. β 2- agonis yang sering dipakai ialah salbutamol. Dosis salbutamol inhalasi
adalah 0,1 – 0,15 mg/KgBB (dosis maksimum 5mg/kali) dengan interval 20 menit.
Pemberian inhalasi memiliki onset yang cepat (1 menit), efek puncaknya dicapai dalam 10
menit, dan lama kerjanya 4 – 6 jam.
19
Pemberian antikolinergik (ipratropium bromida) dan β 2- agonis menghasilkan efek
bronkodilatasi yang lebih baik daripada masing – masing obat diberikan secara sendiri-
sendiri. Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam.
Pada pasien ini diberikan flixotide (kortikosteroid) pada inhalasi ketiga karena
antikolinergik tidak tersedia di rumah sakit. Kortikosteroid inhalasi : pada dosis rendah tidak
bermanfaat untuk serangan asma sehingga tidak dianjurkan untuk serangan berat.
Kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan asma, diberikan ketika terapi
inhalasi b2-agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama, serangan asma
tetap terjadi walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai controller,
serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Pada saat rawat inap pasien diberikan IVFD D5 % 500ml+ drip aminofilin 240 mg
dengan pemberian 20 tetes/menit, injeksi deksametason 3 x 1 amp, injeksi gentamisin 2x 40
mg, dan nebulisasi ventolin 3x2,5 ml + Nacl 2,5 ml.
Aminofilin merupakan bronkodilator yang biasa digunakan pada serangan asma berat
diberikan dosis awal 10mg/kg (max 500mg) pada D5% + 5 mg/kgBB bolus iv. Dosis
aminofilin selanjutnya 6mg/kg (max 500mg) pada D5%, ulangi setiap 6 jam jika dibutuhkan.
Infus cepat aminofilin dapat berefek bahaya pada SSP dan jantung seperti hipotensi dan
bradikardi sehingga perlu diobservasi denyut jantung, frekuensi napas, dan saturasi oksigen
pada setengah jam pertama dosis awal.
Deksametason merupakan kortikosteroid yang berfungsi mencegah progresifitas asma,m
engurangi gejala, memperbaiki fungsi paru,dan memperbaiki respon bronkodilator yang
ditimbulkan oleh b-2 agonis. Dosis intravena 0,5 – 1 mg / kg BB, dilanjutkan 1 mg/kgBB
/hari setiap 6 – 8 jam.
Pada pasien prognosis adalah dubia at bonam karena angka kejadian serangan asma akan
berkurang pada saat dewasa, tapi pada pasien tidak bisa dinilai karenan prognosis juga
tergantung pada faktor – faktor berikut kemampuan menghindari alergen ; polutan (asap
rokok), seberapa sering kunjungan ke emergensi, ada atau tidak pemakaian kontroler, ada
atau tidak keterbatasan aktivitas.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe N et al, 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi PP IDAI
2. Supriyanto,Bambang . 2010.Terapi kombinasi pada serangan asma akut anak.
Department of Child Health Faculty of Medicine University of Indonesia, Dr.Cipto
Mangunkusumo Hospital, Jakarta
3. Canaday P, MD, FCCP. Asthma. e-medicine 2004, diakses 20 Desember 2014
4. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/ WHO Workshop
Report 2006.
5. Rogayah R. Penatalaksanaan asma bronkial prabedah. J Respir Indo 1995;15:177-81.
6. Hadiarto Mangunnegoro dkk. 2004. Asma Pedoman Diagnosis &Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
7. Nelson A et al. Nelson Textbook Of Pediatrics. Vol 2 Edisi 15. EGC Jakarta.
21