51
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare adalah kondisi dimana frekuensi buang air besar yang abnormal (lebih dari 3kali/hari) dengan jumlah (lebih dari 200gr/hari) dan konsistensi cair yang berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu. Diare menurut WHO adalah keluarnya tinja yang lunak/cair dengan frekuensi 3x/hari atau lebih dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja. Penyakit diare masih menjadi masalah di negara berkembang seperti indonesia, karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi terutama pada usia balita. Di negara berkembang rata-rata anak balita mengalami 3-4 kali kejadian diare per tahun tetapi di beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare. (Soebagyo, 2008) Di Indonesia, hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas,2007) menunjukan bahwa diare merupakan penyebab kematian no 4 (13,2%) pada semua umur sedangkan diare penyebab kematian no 1 pada bayi postneonatal (31,4%) dan pada anak balita (25,2%). Jumlah kasus diare pada tahun 2011 di Indonesia, yakni 2.301.242 kasus(Data Profil Kesehatan Indonesia dari Kementrian Kesehatan, 2011). 1

Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

Embed Size (px)

DESCRIPTION

g

Citation preview

Page 1: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDiare adalah kondisi dimana frekuensi buang air besar yang abnormal

(lebih dari 3kali/hari) dengan jumlah (lebih dari 200gr/hari) dan konsistensi cair

yang berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu. Diare menurut WHO

adalah keluarnya tinja yang lunak/cair dengan frekuensi 3x/hari atau lebih dengan

atau tanpa darah atau lendir dalam tinja. Penyakit diare masih menjadi masalah di

negara berkembang seperti indonesia, karena angka morbiditas dan mortalitasnya

yang masih tinggi terutama pada usia balita. Di negara berkembang rata-rata anak

balita mengalami 3-4 kali kejadian diare per tahun tetapi di beberapa tempat

terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-20% waktu hidup

anak dihabiskan untuk diare. (Soebagyo, 2008) Di Indonesia, hasil riset kesehatan

dasar (Riskesdas,2007) menunjukan bahwa diare merupakan penyebab kematian

no 4 (13,2%) pada semua umur sedangkan diare penyebab kematian no 1 pada

bayi postneonatal (31,4%) dan pada anak balita (25,2%). Jumlah kasus diare pada

tahun 2011 di Indonesia, yakni 2.301.242 kasus(Data Profil Kesehatan Indonesia

dari Kementrian Kesehatan, 2011).

Kejadian diare terutama pada balita berhubungan dengan lingkungan,

penjamu, perilaku dan status gizi. Penyakit diare merupakan penyakit yang

berbasis lingkungan yang diantaranya ada beberapa faktor yang memegang

peranan penting yaitu ketidaktersediaanya air bersih, air tercemar tinja,

kekurangan sarana kebersihan, pembuangan tinja yang tidak higienis, kebersihan

lingkungan dan perorangan yang jelek, serta penyimpanan dan penyiapan

makanan yang tidak semestinya (Sander,2005). Apabila faktor lingkungan tidak

sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia

yang tidak sehat pula, maka penularan diare akan sangat mudah terjadi. (Depkes,

2005). Faktor penjamu yang menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap

diare diantaranya ibu tidak memberikan asi selama 2 tahun, ,kurangnya perhatian

ibu, kurang gizi, dan penyakit campak.

1

Page 2: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

2

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Winda (2013), diketahui

bahwa adanya hubungan antara sumber air, tempat pembuangan tinja, dan

pekerjaan ibu dengan kejadian diare. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

Umiati (2009), diketahui bahwa adanya hubungan antara sumber air minum,

kepemilikan jamban dan jenis lantai rumah dengan kejadian diare.

Rahadi (2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kepemilikan jamban,

saluran pembuangan air limbah, jenis lantai dengan kejadian diare.

Data dari dinas Kesehatan Sumatra Selatan, kejadian diare pada tahun

2009 sebanyak 97.221 balita. Pada tahun 2010 sebanyak 88.144 balita dan pada

tahun 2011 mengalami peningkatan yaitu sebanyak 103.865 balita. Jumlah kasus

diare pada balita setiap tahunnya rata-rata 17,4 persen (Profil Dinas Kesehatan

Sumatra Selatan, 2011). Sedangkan data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang

kejadian diare pada tahun 2011 sebanyak 44.884 balita dan pada tahun 2012

mengalami peningkatan sebanyak 57.576 balita (Laporan Bulanan Dinkes Kota

Palembang, 2012).

Puskesmas Makrayu merupakan puskesmas di kota Palembang yang

berada di kecamatan ilir barat II. Jumlah penderita diare balita di puskesmas

makrayu tahun 2010 sebanyak 725 balita dan mengalami peningkatan pada tahun

2011 sebanyak 910 balita dan mengalami penurunan pad atahun 2012 sebanyak

842 balita, dan juga penyakit diare menduduki urutan ke 3 dari 10 penyakit

terbanyak pada balita di puskesmas makrayu. (Profil Puskesmas Makrayu 2012).

Dari latar belakang di atas yang menunjukan adanya kejadian diare yang

masih tinggi maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut

mengenai hubungan antara faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi terhadap

kejadian diare pada balita usia 1–4 tahun di Puskesmas Makrayu Palembang.

1.2 Rumusan MasalahApakah ada hubungan antara faktor lingkungan dan faktor

sosiodemografi terhadap kejadian diare pada balita usia 1–4 tahun di

Puskesmas Makrayu Palembang?

Page 3: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

3

1.3 Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan Umum

Diketahui ada atau tidaknya hubungan antara faktor lingkungan

dan faktor sosiodemografi terhadap kejadian diare pada balita usia 1–4

tahun di Puskesmas Makrayu Palembang

1.3.2. Tujuan Khusus1. Mengetahui angka kejadian diare balita usia 1–4 tahun di

Puskesmas Makrayu Palembang.

2. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara pekerjaan ibu

dengan diare balita usia 1–4 tahun di Puskesmas Makrayu.

3. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan

ibu dengan diare balita usia 1–4 tahun di di Puskesmas Makrayu.

4. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara kondisi lantai

rumah dengan diare balita usia 1–4 tahun di Puskesmas Makrayu.

5. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara penggunaan

jamban dengan diare balita usia 1–4 tahun di Puskesmas Makrayu.

6. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara sistem

pembuangan air limbah dengan diare balita usia 1–4 tahun di

Puskesmas Makrayu.

7. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tempat

pembuangan sampah dengan diare balita usia 1–4 tahun di

Puskesmas Makrayu.

1.4 HipotesisAdanya hubungan antara faktor lingkungan dan faktor

sosiodemografi terhadap kejadian diare pada balita usia 1–4 tahun di

Puskesmas Makrayu Palembang.

1.5 Manfaat PenelitianDari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1) Masyarakat

Page 4: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

4

Memberikan Informasi mengenai hubungan antara kejadian diare

dengan faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi sehingga

masyarakat bisa lebih memperhatikan pentingnya menjaga

kebersihan lingkungan agar masyarakat bisa meningkatkan lagi

kebersihan lingkungan dan masyarakat bisa melakukan upaya

pencegahan terhadap penyakit diare.

2) Instansi PuskesmasMemberikan informasi bagi petugas kesehatan mengenai hubungan

faktor lingkungan dan sosiodemografi dengan kejadian diare di

Puskesmas Makrayu sehingga dapat dijadikan masukan untuk

memberikan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat

terutama mengenai pentingnya kebersihan lingkungan sebagai salah

satu bentuk pencegahan terhadap penyakit diare.

3) Peneliti Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai hubungan faktor

lingkungan dan faktor sosiodemografi dengan kejadian diare pada

balita dan juga penelitian ini bisa dijadikan acuan untuk penelitian

lebih lanjut.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Page 5: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

5

2.1 Faktor Lingkungan

Lingkungan memiliki pengaruh yang dan peranan terbesar diikuti perilaku,

fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi, umumnya

digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan aspek fisik

dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah,

air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial

merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan,

ekonomi, dan sebagainya.

a) Sumber air minum

Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Di

dalam tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air. Tubuh

orang dewasa sekitar 55-60% berat badan terdiri dari air,

untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%.

Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain

untuk minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Di

negaranegara berkembang, termasuk Indonesia tiap orang

memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Di antara

kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah

kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan

minum dan masak air harus mempunyai persyaratan khusus

agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia

(Notoatmodjo, 2003).

Sumber air minum utama merupakan salah satu

sarana sanitasi yang tidak kalah pentingnya berkaitan

dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab

diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat

ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau

benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-

jar tangan, dan makanan yang disiapkan dalam panci yang

dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2000).

Page 6: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

6

Menurut Slamet (2002) macam-macam sumber air

minum antara lain :

1. Air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan

tanah. Misalnya air sungai, air rawa dan danau.

2. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa disebut air

tanah dangkal atau air tanah dalam. Air dalam tanah adalah

air yang diperoleh pengumpulan air pada lapisan tanah yang

dalam. Misalnya air sumur, air dari mata air.

3. Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti

hujan dan salju.

Menurut Depkes RI (2000), hal - hal yang perlu

diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah :

1. Mengambil air dari sumber air yang bersih.

2. Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih

dan tertutup serta menggunakan gayung khusus untuk

mengambil air.

3. Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh

binatang, anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara

sumber air minum dengan sumber pengotoran seperti

septictank , tempat pembuangan sampah dan air limbah

harus lebih dari 10 meter.

4. Mengunakan air yang direbus.

5. Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang

bersih dan cukup.

b) Jenis Tempat Pembuangan Tinja

Page 7: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

7

Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting

dari kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak

menurut aturan memudahkan terjadinya penyebaran

penyakit tertentu yang penulurannya melalui tinja antara

lain penyakit diare. Menurut Notoatmodjo (2003), syarat

pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan

adalah :

a. Tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya

b. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya

c. Tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya

d. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai

sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan

vektor penyakit lainnya

e. Tidak menimbulkan bau

f. Pembuatannya murah, dan

g. Mudah digunakan dan dipelihara.

Menurut Entjang (2000), macam-macam tempat

pembuangan tinja, antara lain:

1) Jamban cemplung (Pit latrine)

Jamban cemplung ini sering dijumpai di daerah

pedesaan. Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang

ke dalam tanah dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5

sampai 8 meter. Jamban cemplung tidak boleh terlalu

dalam, karena akan mengotori air tanah dibawahnya. Jarak

dari sumber minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2) Jamban air (Water latrine)

Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air

di dalam tanah sebagai tempat pembuangan tinja. Proses

pembusukkanya sama seperti pembusukan tinja dalam air

kali.

Page 8: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

8

3) Jamban leher angsa (Angsa latrine)

Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan

selalu terisi air. Fungsi air ini sebagai sumbat sehingga bau

busuk dari kakus tidak tercium. Bila dipakai, tinjanya

tertampung sebentar dan bila disiram air, baru masuk ke

bagian yang menurun untuk masuk ke tempat

penampungannya.

4) Jamban bor (Bored hole latrine)

Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya

ukurannya lebih kecil karena untuk pemakaian yang tidak

lama, misalnya untuk perkampungan sementara.

Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi

pengotoran tanah permukaan (meluap).

5) Jamban keranjang (Bucket latrine)

Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan

kemudian dibuang di tempat lain, misalnya untuk penderita

yang tak dapat meninggalkan tempat tidur. Sistem jamban

keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar, tidak

di lokasi jambannya, tetapi sepanjang perjalanan ke tempat

pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya

menimbulkan bau.

6) Jamban parit (Trench latrine)

Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30 - 40 cm

untuk tempat defaecatie. Tanah galiannya dipakai untuk

menimbunnya. Penggunaan jamban parit sering

mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama

yang berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah,

pemberantasan lalat, dan pencegahan pencapaian tinja oleh

hewan.

7) Jamban empang / gantung (Overhung latrine)

Page 9: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

9

Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas

kolam, selokan, kali, rawa dan sebagainya. Kerugiannya

mengotori air permukaan sehingga bibit penyakit yang

terdapat didalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan

air, yang dapat menimbulkan wabah.

8) Jamban kimia (Chemical toilet)

Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi

caustic soda sehingga dihancurkan sekalian didesinfeksi.

Biasanya dipergunakan dalam kendaraan umum misalnya

dalam pesawat udara, dapat pula digunakan dalam rumah.

Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi

syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare

berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat

dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan

membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi

(Wibowo, 2004)

c) Jenis Lantai Rumah

Menurut Notoatmodjo (2003) syarat rumah yang

sehat jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau

dan tidak basah pada musim penghujan. Lantai rumah dapat

terbuat dari: ubin atau semen, kayu, dan tanah yang disiram

kemudian dipadatkan. Lantai yang basah dan berdebu dapat

menimbulkan sarang penyakit. Lantai yang baik adalah

lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan

lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, paling tidak

perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau

keramik yang mudah dibersihkan (Depkes, 2002).

Jenis lantai rumah tinggal mempunyai hubungan

yang bermakna pula dengan kejadian diare pada anak balita.

(Sanropie, 1989).

Page 10: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

10

2.2 Faktor Sosiodemografi

Demografi adalah ilmu yang mempelajari persoalan dan keadaan

perubahan-perubahan penduduk yang berhubungan dengan komponen-komponen

perubahan tersebut seperti kelahiran, kematian, migrasi sehingga menghasilkan

suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin tertentu

(Lembaga Demografi FE UI, 2000). Dalam pengertian yang lebih luas, demografi

juga memperhatikan berbagai karakteristik individu maupun kelompok yang

meliputi karakteristik sosial dan demografi, karakteristik pendidikan dan

karakteristik ekonomi. Karakteristik sosial dan demografi meliputi: jenis kelamin,

umur, status perkawinan, dan agama. Karakteristik pendidikan meliputi: tingkat

pendidikan. Karakteristik ekonomi meliputi jenis pekerjaan, status ekonomi dan

pendapatan (Mantra, 2000). Faktor sosiodemografi meliputi tingkat pendidikan

ibu, jenis pekerjaan ibu, dan umur ibu.

a. Tingkat pendidikan

Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam

kesehatan masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah

menjadikan mereka sulit diberi tahu mengenai pentingnya higyene

perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjangkitnya

penyakit menular, diantaranya diare. Dengan sulitnya mereka

menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli terhadap

upaya pencegahan penyakit menular (Sander, 2005). Masyarakat

yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi

pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah

kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Pada

perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah

angka kematian bayi dan kematian ibu (Widyastuti, 2005).

b. Jenis pekerjaan

Page 11: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

11

Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan

pendapatan, status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko

cedera atau masalah kesehatan dalam suatu kelompok populasi.

Pekerjaan juga merupakan suatu determinan risiko dan determinan

terpapar yang khusus dalam bidang pekerjaan tertentu serta

merupakan prediktor status kesehatan dan kondisi tempat suatu

populasi bekerja (Widyastuti, 2005).

c. Umur ibu

Sifat manusia yang dapat membawa perbedaan pada hasil

suatu penelitian atau yang dapat membantu memastikan hubungan

sebab akibat dalam hal hubungan penyakit, kondisi cidera, penyakit

kronis, dan penyakit lain yang dapat menyengsarakan manusia, umur

merupakan karakter yang memiliki pengaruh paling besar. Umur

mempunyai lebih banyak efek pengganggu daripada yang dimiliki

karakter tunggal lain. Umur merupakan salah satu variabel terkuat

yang dipakai untuk memprediksi perbedaan dalam hal penyakit,

kondisi, dan peristiwa kesehatan, dan karena saling diperbandingkan

maka kekuatan variabel umur menjadi mudah dilihat (Widyastuti,

2005). Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam

penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan

maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan

hubungan dengan umur (Notoatmodjo, 2003).

2.3 Faktor Perilaku

Menurut Depkes RI (2005), faktor perilaku yang dapat menyebabkan

penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah

sebagai berikut :

a) Pemberian ASI Eksklusif

ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Tidak

Page 12: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

12

memberikan ASI Eksklusif secara penuh selama 4 sampai 6 bulan.

Pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih

besar dari pada bayi yang diberi ASI penuh dan kemungkinan

menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Pada bayi yang baru

lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali

lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai

dengan susu formula.

b) Penggunaan botol susu

Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh

kuman, karena botol susu susah dibersihkan. Penggunaan botol

untuk susu formula, biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena

diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

c) Kebiasaan cuci tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan

perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah

mencuci tangan. Mencuci angan dengan sabun, terutama sesudah

buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi

makan anak dan sesudah makan, mempunyai dampak dalam

kejadian diare.

d) Kebiasaan membuang tinja

Membuang tinja (termasuk tinja bayi) harus dilakukan

secara bersih dan benar. Banyak orang beranggapan bahwa tinja

bayi tidaklah berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus

atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja bayi dapat pula menularkan

penyakit pada anak-anak dan orang tuanya.

e) Menggunakan air minum yang tercemar

Air mungkin sudah tercemar dari sumbernya atau pada saat

disimpan dirumah. Pencemaran dirumah dapat terjadi kalau tempat

peyimpanan tidak tertutup atau tangan yang tercemar menyentuh

air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan. Untuk

Page 13: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

13

mengurangi risiko terhadap diare yaitu dengan menggunakan air

yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi.

f) Menggunakan jamban

Penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam

penularan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak

mempunyai jamban sebaiknya membuat jamban dan keluarga

harus buang air besar di jamban. Bila tidak mempunyai jamban,

jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar

hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak, tempat anak-anak

bermain dan harus berjarak kurang lebih 10 meter dari sumber air,

serta hindari buang air besar tanpa alas kaki.

2.4. Diare2.4.1. Definisi

Diare menurut WHO adalah buang air besar (defekasi) dalam

bentuk cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam sehari dengan/tanpa

lendir dan darah dalam tinja (WHO, 2009). Diare diartikan sebagai buang

air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi

lebih banyak dari biasanya (IKA FKUI, 1985).

2.4.2. Klasifikasi Diare

Menurut Depkes RI (2000), berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu :

1) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari

(umumnya kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi,

sedangkan dehidrasi adalah penyebab utama kematian bagi

penerita diare.

2) Diare persisten, yaitu diare yang terjadi lebih dari 14hari secara

terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat

badan dan gangguan metabolisme.

Page 14: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

14

3) Disentri, yaitu diare yang diserati darah dalam tinjanya. Akibat

disentri adalah anoreksi, penurunan berat badan dengan cepat

dan kemungkinan terjadinya komplikasi pada mukosa.

4) Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare

baik akut, persisten maupun disentri yang di serati dengan

penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit

lainnya.

Klasifikasi diare berdasarkan mekanisme patofisiologinya dibagi

menjadi diare osmotik, diare sekretorik dan diare akibat berkurangnya

motilitas usus. (IKA FKUI, 1985). Sedangkan diare berdasarkan derajat

dehidrasinya dibagi menjadi diare tanpa dehirasi, diare dengan dehidrasi

ringan-sedang, dan diare dengan dehidrasi berat (Kemenkes, 2011).

2.4.3. EtiologiEtiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu

1) Faktor Infeksi

a. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan

penyebab utama diare pada anak.

Infeksi enteral ini meliputi :

i. Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella,

Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas

dan sebagainya.

ii. Infeksi virus : Enteroovirus (Virus ECHO,

Coxsackie, Poliomyelitis), Rotavirus,

Adenovirus, Astrovirus dan lain lain sebagainya.

iii. Infeksi Parasit : Cacing (ascaris, Trichiuris)

Protozoa (Entamoeba histolytica, Trichomonas)

dan jamur (Candida albicans).

b. Infeksi Parentral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar saluran

pencernaan, seperti otits media akut, Tonsilofaringitis,

Page 15: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

15

Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini

terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.

2) Faktor malabsorbsi

a. Malabsorbsi karbohidrat : Disakarida (intolernsi

laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida

(intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi

dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi

laktosa.

b. Malabsorbsi lemak.

c. Malabsorbsi protein.

3) Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap

makanan.

4) Faktor psikologis : rasa takut dan cemas. Walaupun jarang,

dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih

besar.

2.4.4. Epidemiologi

Penyakit diare merupakan salah satu penyebab utama kesakitan

dan kematian anak di negara berkembang. Di indonesia, angka kesakitan

diare berkisar 200- 400 kejadian per 1000 penduduk setiap tahunnya.

Terdapat sekitar 60 juta kejadian diare setiap tahunnya dan sebagian besar

(70-80%) dari penderita ini adalah anak di bawah umur 5 tahun (sekitar 40

juta kejadian). Kelompok ini setiap tahunnya mengalami lebih dari satu

kejadian diare. Sebagian kecil (1-2%) penderita akan mengalami dehidrasi

dan kalau tidak segera ditolong dapat meninggal. Sebanyak 350.000

sampai 500.000 anak di bawah lima tahun meninggal setiap tahunnya

karena diare. (Noersaid, H dkk, 1988).

Page 16: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

16

2.4.5. Cara Penularan dan Faktor Risiko

Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal-oral yaitu

melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau

kontak langsung dengan tangan penderita atau barang-barang yang telah

tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat (melalui 5F =

faeces, finger, flies, fluid, field) (Depkes, 2011). Beberapa perilaku dapat

menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko

terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan

pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpa makanan

masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak

mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja

anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja

dengan benar. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis

lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan

pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku

manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman

diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu

melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.

2.4.6. Patofisiologi

Diare terjadi akibat akumulasi cairan dan elektrolit dalam tinja

yang dapat disebabkan oleh tiga mekanisme, yaitu mekansime osmotik,

sekretorik, dan sitotoksik. Ketiga mekanisme ini seringkali saling

berkaitan berkaitan pada penyakit diare (Pickering dan Synder, 2000).

Diare osmotik disebabkan oleh meningkatnya tekanan osmotik

intraluminal dari usu halus. Hal ini disebabkan oleh obat-obatan atau zat

kimia yang hiperosmotik, malabsorpsi, dan defek dalam absorpsi mukosa

usus. Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan

menyebabkan tekanan osmotik dalam ususmeningkat sehingga terjadi

Page 17: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

17

pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang

berlebihan akan merangsang usus mengeluarknnya sehingga terjadi diare.

Diare sekretorik terjadi akibat menurunya absorpsi dan

meningkatya sekresi air dan elektrolit dari usus. Salah satu penyebab diare

tipe sekretorik adalah karena rangsangan tertentu misalnya enterotoksin

pada infeksi vibrio chloreae. Enterotoksin merupakan protein yang dapat

menempel pada epitel usus halus. Enterotoksin dapat menyebabkan sekresi

elektrolit dan air dengan merangsang akumulasi cyclic adenosine

monophosphate (c-AMP) di dalam sel mukosa usus halus. Akumulasi c-

AMP akan menghambat absorpsi villus dan memacu sekresi sel kripta

usus.

Diare sitotoksik terjadi akibat kerusakan sel mukosa villus usus

halus karena proses inflamasi, umumnya disebabkan oleh infeksi virus.

Villus akan mengalami atrofi atau memendek sehingga luas permukaan

usus halus berkurang. Hal ini menyebabkan fungsi absorpsi cairan dan

elektrolit oleh permukaan usus menurun. (Simardibta dan Daldiyono,

2000)

2.4.7. Patogenesis

Penyebab terserirng diare pada anak adalah disebabkan oleh

rotavirus. Virus akan masuk kedalam tubuh, kemudian virus akan

menginfeksi sel-sel epitel usus halus dan villus di usus halus. Sel-sel epitel

yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk kuboid

atau epitel gepeng yang belum matanag sehingga fungsinya belum baik.

Villus mengalami atrofi dan tidak bisa menyerap makanan dan cairan

dengan baik. Cairan dan makanan yang tidak tercerna akan terkumpul di

usus halus sehingga terjadi peningkatan osmotik usus. Hal ini

menyebabkan banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan terjadi

hiperperistaltik usus. Cairan dan makanan yang tidak di serap tadi akan

didorong keluar usus melalui anus dan terjadilah diare (Subagyo dan

Page 18: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

18

Santoso, 2010). Kebanyakn virus menyebabkan diare yang jarang disertai

demam dan berdarah. (Subagyo dan santoso, 2010)

Enterosit villus sebelah atas usus halus adalah sel-sel yang

terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi penyerapan air dan elektrolit.

Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang berfungsi

sebagai pensekresi air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi virus

selektif sel-sel ujung villus usus akan menyebabkan ketidakseimbangan

rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, sehingga terjaidlah diare

(Subagyo dan Santoso, 2010).

Patogenesis diare karena bakteri dan atau parasit dibagi menjadi

dua yaitu diare karena bakteri non-invasif dan diare karena bakteri/parasit

invasif. Diare karena bakteri non-invasif disebabkan oleh bakteri-bakteri

yang tidak merusak mukosa seperti vibrio cholera, Enterotoxigenic E.Coli,

Clostridium perfringens. Bakteri-bakteri ini akan mengeluarkan

enterotoksin yang dapat menepel pada mukosa usus halus, sehingga

menumbulkan diare seperti air. Diare karena bakteri atau parasif invasif

disebabkan oleh bakteri-bakteri yang merusak mukosa usus seperti

Enteroinvasie E.coli, Salmonella, shigella, Yersinia. Bakteri-bakteri ini

akan menginvasi ke dalam epitel sel mukosa usus, berkembang biak, dan

mengeluarkan eksotoksin sehingga menyebabkan kerusakn pada dinding

usus berupa nekrosis dan ulserasi. Penderita biasanya mengalami diare

yamg disertai darah dan lendir (Simardibrata dan Daldiyono, 2009).

2.4.8. Diagnosis

1. Anamesis

Anamesis dilakukan untuk mengetahui riwayat perjalanan

penyakit pada pasien. Riwayat perjalanan penyakit yang harus

ditanyakan adalah lama diare, frekuensi diare, volume tinja setiap

defekasi, konsistensi tinja, warna, bau tinja, ada atau tidak lendir

dan atau darah. Bila disertai dengan muntah, tanyakan volume

dan frekuensinya. Tanyakan juga buang air kecilnya berkurang,

Page 19: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

19

jarang atau tidak buang air kecil dalam 6-8 jam terakhir kemudian

kapan terakhir kali menangis, hal ini berguna untuk menilai

derajat dehidrasi dari pasien itu sendiri. Makanan dan minuman

apa yang di berikan selama diare, demam atau penyakit lain yang

menyertai kejadian diare seperti batuk, pilek, campak.

Penanganan yang telah dilakukan ibu atau pihak keluarga

selama anak mengalami diare seperti memberikan oralit, sudah

pernah membawa berobat sebelumnya, dan obat-obatan apa saja

yang pernah di berikan. (Subagyo, 2010)

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, seperti

berat badan, suhu tubuh, denyut jantung, pernapasan serta

tekanan darah. Kemudia harus di cari tanda-tanda dehidrasi

seperti kesadaran, turgor, rasa haus, mata dan ubun-ubun cekung

atau tidak, bibir, mukosa mulut, lidah kering.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak selalu dilakukan untuk

menegakan diagnosis pada penyakit diare. Ada beberapa

pemeriksaan lab yang terkadang diperlukan untuk mengetahui

etiologi atau penyebab dari diare itu sendiri seperti pemeriksaan

darah ataupun tinja. Pemeriksaan darah biasanya banyak

diperlukan untuk pasien diare yang persisten atau berulang

sedangkan pemeriksaan tinja seperti kultur tinja, makroskopis,

mikroskopis bertujuan untuk mengidentifikasi mikroorganisme

spesifik penyebab diare yang bertujuan untuk terapi yang spesifik

pula terhadap penyebab dari diare tersebut.

Diagnosis diare juga bisa ditegakan dengan menggunakan

alur diagnosis MTBS (manajemen terpadu balita sakit) (Depkes

Page 20: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

20

RI, 2008). Alur diagnosis diare berdasarkan MTBS bisa dilihat

pada Gambar 3.

GAMBAR 3.Alur Diagnosis Diare berdasarkan MTBS

Sumber : Depkes RI 2008

2.4.9. Manifestasi Klinis

Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita yaitu:

a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu

badannya pun meninggi.

b. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.

c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan

empedu.

Page 21: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

21

d. Anusnya lecet.

e. Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang.

f. Muntah sebelum atau sesudah diare.

g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).

h. Dehidrasi

Penilaian derajat dehidrasi bisa dengan menggunakan

beberapa cara diantaranya menggunakan penilaian Program

Pemberantasan Penyakit Diare (P2D) dan atau menggunakan

Maurice King Score. Program Pemberantasan Penyakit Diare

(P2D) menentapkan cara sederhana untuk menilai tanda-tanda dan

derajat dehidrasi seperti yang tercantum dalam tabel 2.

TABEL 2.Penilaian Derajat Dehidrasi dan Rencana Pengobatanmya menurut

P2 DiareNo Penilaian A B C1 LIHAT

2. Keadaan Umum

3. Mata

4. Rasa haus

Baik, sadar

Normal

Minum biasa, tidak haus

Gelisah, rewel

Cekung

Haus, ingin minum banyak

Lesu atau tidak sadar.Sangat cekung dan keringMalas minum/ tidak bisa minum.

2 PERIKSA Turgor Kulit

Kembali Cepat

Kembali lambat(1-2detik)

Kembali sangat lambat

3 DERAJAT DEHIDRASI

Tanpa dehidrasi

Dehidrasi ringan/sedang

Dehidrasi berat

4 RENCANA TERAPI A B CSumber: Kemenkes RI 2011

Page 22: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

22

TABEL 3.

Maurice King Score

Bagian tubuh

yang diperiksa

Nilai untuk gejala yang ditemukan

0 1 2

Keadaan umum Sehat Gelisah,

cengeng,

apatis, ngantuk

Mengigau,

koma atau syok

Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang

Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung

Ubun-ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekung

Mulut Normal Kering Kering dan

sianosis

Denyut

nadi/menit

Kuat < 120 Sedang (120-

140)

Lemah > 140

Catatan :

- Untuk menentukan kekenyalan kulit, kulit perut ‘dijepit’ antara

ibu jari dan telunjuk selama 30-60 detik, kemudian di lepas. Jika

kulit kembali normal dalam waktu :

1 detik : turgor agak kurang (dehidrasi ringan)

1-2 detik : tugor kurang (dehidrasi sedang)

2 detik : tugor sangat kurang (dehidrasi berat)

- Berdasarkan skor yang terdapat pada seorang penderita dapat

ditentukan derajat dehidrasinya :

Jika mendapat nilai 0-2 : dehidrasi ringan

Jika mendapat nilai 3-6 : dehidrasi sedang

Jika mendapat nilai 7-12 : dehidrasi berat

(Nilai/gejala tersebut adalah gejala/nilai yang terlihat pada

dehidrasi isotonik dan hipotonik dan keadaan dehidrasi yang

paling terdapat, masing-masing 77,8% dan 9,5%).

Page 23: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

23

- Pada anak-anak dengan ubun-ubun besar sudah menutup, nilai

untuk ubun-ubun besar diganti dengan banyaknya/frekuensi

kencing.

2.4.10. Penentuan Rencana Pengobatan

1) Rencana Pengobatan A

Rencana pengobatan ini digunakan untuk mengatasi

diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi di rumah dan

memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi.

Beberapa cara terapi dasar yang bisa dilakukan untuk

bayi di rumah yaitu :

a. Beri banyak cairan untuk mencegah dehidrasi.

b. Beri anak makan untuk mencegah kurang gizi.

ASI diteruskan.

Bila anak tidak mendapat ASI berikan susu

yang biasa diberikan

Untuk anak kurang dari 6 bulan dan belum

mendapat makanan padat , dapat diberikan

susu.

Bila anak 6 bulan atau lebih atau telah

mendapat makanan padat :

o Berikan bubur bila mungkin

dicampur dengan kacang-kacangan,

sayur, daging atau ikan. Tmbahkan 1

atau 2 sendok the minyak sayur tiap

porsi.

o Berikan sari buah segar atau pisang

halus untuk menanbahkan kalium.

Page 24: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

24

o Berikan makanan yang segar masak

dan haluskan atau tumbuk makanan

dengan baik.

o Bujuk anak untuk makan, berikan

makanan sedikitnya 6 kali sehari

o Berikan makanan yang sama setelah

diare berhenti, dan diberikan porsi

makanan tambahan setiap hari

selama 2 minggu.

c. Bawa anak kepada petugas kesehatan bila anak

tidak membaik. Dalam 3 hari atau menderita

sebagai berikut :

Buang air besar cair lebih sering

Muntah berulang-ulang

Rasa haus yang nyatak

Makan atau minum sedikit

Demam

Tinja berdarah

2) Rencana Pengobatan B

Rencana pengobatan ini digunakan sebagai pilihan

terapi pada diare dengan dehidrasi ringan-sedang. Tugas utama

rencana pengobatan B adalah :

a. Memperkirakan jumlah larutan oralit yang diberikan

dalam 3-4jam dehidrasi.

b. Memperlihatkan kepada ibu bagaimana larutan

elektrolit.

c. Meneruskan pemberian ASI dan memberikan cairan lain

yang dibutuhkan.

Page 25: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

25

d. Memantau pengobtan dan menilai kembali anak secara

periodik sampai rehidrasi sempurna.

e. Memberi instruksi untuk meneruskan pengobatan di

rumah sesudah mengikuti rencana pengobatan A.

TABEL 4. Jumlah Oralit yang Diberikan pada 3jam Pertama Umur < 1 tahun 1 – 4 tahun > 5 tahun Dewasa

Jumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 m 2400ml

Sumber : Depkes RI (2008)

Hal-hal yang harus diperhatikan ketika pengobatan :

a. ASI diteruskan.

b. Untuk bayi dibawah 6 bulan yang tidak mendapat

asi berikan juga 100 200 ml air masak selama masa

ini.

c. Bila anak muntah tunggu 10 menit dan kemudian

teruskan pemberian oralit tetapi lebih lambat,

misalnya sesendok tiap 2 –3 menit.

d. Bila kelopak mata anak bengkak hentikan

pemberian oralit dan air masak atau asi beri Oralit

sesuai rencana tetapi a bila pembengkakan telah

hilang Setelah 3-4 jam nilai kembali anak

menggunakan bagan penilaian kemudian pilih

rencana terapi a , b atau c untuk melanjutkan terapi.

e. Bila tidak ada dehidrasi , ganti ke rencana terapi a,

bila dehidras telah hilang anak biasanya kemudian

mengantuk dan tidur.

f. Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang

ulang rencana terap b , tetapi tawarkan makanan

susu dan sari buah seperti rencana terapi a.

Page 26: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

26

g. Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat ganti

dengan rencana terapi c.

3) Rencana Pengobatan C

Rencana pengobatan ini digunakan sebagai pilihan

terapi pada diare dengan dehidrasi berat. Mulai diberi cairan IV

segera. Bila penderita bisa minum, berikan oralit sewaktu

cairan I.V dimulai. Beri 100 ml/kg Ringer laklat ( atau cairan

normal selain bila ringer laktat tidak tersedia ) pemberian

cairan dibagi sebagai berikut :

TABEL 5.Pembagian Pemberian Cairan IV.

Umur Pemberian Pertama30ml/kg selama :

Pemberian Berikut70ml/kg selama :

Bayi(< 1 tahun)

1 jam 5 jam

Anak(1 – 5 tahun)

½ jam – 1 jam 2 ½ jam – 3 jam

Sumber : Depkes RI (2008)

Hal-hal yang harus diperhatikan ketika pengobatan :

a) Diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah atau tidak

teraba.

b) Nilai kembali penderita tiap 1-2 jam .Bila rehidrasi

belum.

c) Tercapai pencepat tatasan Intravena.

d) Juga berikan oralit (5ml/kg/jam),bila penderita bisa

minum, biasanya setelah 3-4 jam ( bayi)atau 1-2(anak).

e) Setelah 6jam (bayi) atau 3 jam (anak) nilai lagi

penderita mengunakan Tabel Pernilaian.

f) Kemudian pilihlah rencana terapi yang sesuai (A,B atau

C ) untuk melanjutkan terapi.

Page 27: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

27

2.4.11. Pencegahan Diare

Pencegahan diare bisa dengan menggunakan berbagai upaya,

kebanyakan penularana diare terjadi melalui fecal-oral maka pencegahan

harus difokuskan pada cara penyebaran ini. Berbagai upaya tersebut antara

lain :

1. Pemberian ASI eksklusif (berikan ASI sampai usia bayi 6

bulan, bahkan lebih baik lagi 2 tahun

2. Menghindari penggunaan susu botol

3. Memperbaiki cara penyiapan dan penyimpanan makanana

pendampin ASI

4. Penggunaan air bersih

5. Mencuci tangan dengan sabun baik sesudah buang air besar

dan membuang feces bayi sebelum menyiapkan makanan

atau saat makan.

6. Membuang Feces dengan benar(termasuk feces bayi).

7. Menjaga kebershian lingkungan, terutama lingkungan

rumah.

2.4.12. Komplikasi

Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak,

dapat terjadi berbagai macam komplikasi (IKA FKUI, 1985) :

a) Dehidrasi (ringan,sedang, berat, hipotonik, isotonik atau

hipertonik)

b) Renjatan Hipovolemik

c) Hipokalemia

d) Hipoglikemia

e) Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi

enzim laktase karena kerusakan vili mukosa usus halus.

f) Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik

g) Malnutrisi energi protein.

Page 28: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

28

2.3 Kerangka Teori

DIARE

Faktor sosiodemografiFaktor lingkungan Faktor prilaku

a. Sumber air minumb. Jenis tempat

pembuangan tinjac. Jenis lantai rumah

a. Tingkat pendidikan ibu

b. Jenis pekerjaan ibu

c. Umur ibu

a. Pemberian ASI eksklusif

b. Penggunaan botol susu

c. Kebiasaan cuci tangan

d. Kebiasaan membuang tinja

e. Menggunakan air yang tercemar

f. Menggunakan jamban

Page 29: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

29

Page 30: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

30

BAB III

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain case control.

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan september tahun 2013 sampai desember 2013 di puskesmas makrayu, kecamtan ilir barat II palembang

Populasi dan sampel

Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu-ibu yang memiliki balita usia 1-4 tahun yang mendapatkan pelayanan di puskesmas makrayu dan bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas makrayu.

Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian ibu-ibu yang memiliki balita usia 1-4 tahun yang mendapatkan pelayanan di puskesmas makrayu dan bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas makrayu.

Besar sampel :

Besarnya sampel yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus :

n=( z1−α /2√2 P̄ (1−P̄)+z1−β √P1 (1−P1 )+P2(1−P2 ))

2

( P1−P2 )2

n=( z1−α /2√2 P̄ (1−P̄)+z1−β √P1 (1−P1 )+P2(1−P2 ))

2

( P1−P2 )2

Page 31: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

31

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi

a. Ibu-ibu yang mempunyai anak balita usia 1-4tahun yang berkujung ke puskesmas makrayu

b. Ibu-ibu yang bersedia menjadi respondenc. Ibu-ibu yang tinggal di wilayah kerja puskesmas makrayud. Balita yang mengalami diare 2 minggu terakhir

Eksklusia. Ibu-ibu yang tidak bersedia menjadi respondenb. Ibu-ibu yang tidak bertempat tinggal di wilayah kerja

puskesmas makrayuc. Ibu-ibu yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik, seperti bisu

dan tulid. Balita yang mengalami penyakit berat, misal gizi buruk.

Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini secara purposive sampling. Jadi ibua yang mempunyai balita yang datang ke puskesmas makrayu palembang pada saat pengambilan data dan memnuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam sampel penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.

Variabel penelitian

Dependen

Kejadian diare pada balita di puskesmas makrayu palembang pada bulan september – desember 2013

Independen

Faktor lingkungan yang dalam hal ini kondisi lantai rumah, penggunaan jamban, sistem pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah dan faktor sosiodemografi yang diantaranya tingkat pendidikan ibu serta pekerjaan ibu.

Definisi oprasional

1. Kejadian diare

Page 32: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

32

Definisi : Kondisi dimana frekuensi buang air besar yang lebih dari 3kali/hari dengan jumlah lebih dari 200gr/hari dan konsistensi cair yang berlangsung selama kurang dari dua minggu dengan atau tidak disertai darah yang terjadi dua minggu terakhir

Cara ukur : wawancara

Alat ukur ; kuesioner

Hasil ukur ; 1. Diare

2. Tidak Diare

Skala ukur : Nominal

2. Jenis lantai rumah

Definisi : bahan pembuat lantai rumah. Dengan kriteria :a. Kayu atau bambub. Semenc. Kramik

Alat ukur : kuesioner

Hasil ukur ; ???

Skala ukur ; nominal

3. Jenis Jamban

Definisi : berbagai macam tempat buang air besar yang setiap hari digunakan oleh keluarga termasuk balita untuk membuang tinja. Di bagi menjadi beberapa kriteria yaitu :1. Apakah milik sendiri ? atau2. Milik bersama (umum) ?

Dengan berbagai tipea. Sungai atau sembarang tempatb. Jamban cemplung, jamban ini adalah jamban yang tidak memiliki

tangki septicc. Jamban leher angsa, jamban ini adalah jamban yang memiliki tangki

septic.

Jika, milik sendiri mendaptkan skor 2 jika milik umum 1. Kemudian jika menggunakan sungai atau disembarang tempat mendapatkan skor

Page 33: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

33

1 jika menggunakan jamban cemplung skor 2 jika menggunakan jamban leher angsa skor 3.Jika total skor 5 termasuk jamban sehat, jika mendapatkan skor <5 termasuk jamban tidak sehat.Alat ukur : kuesionerHasil ukur : 1. Jamban sehat

2. Jamban tidak sehat

Skala ukur : nominal

4. Sistem pembuangan air limbah

Definisi : sistem atau cara yang digunakan untuk membuang air sisa kegiatan rumah tangga sehari-hari. Dengan kriteria :

a. dibawah rumah

b. disalurkan keparit-parit

dikelompokan menjadi saluran pembuangan yang baik yaitu disalurkan ke parit-patit atau yang tidak baik yang di buang di bawah rumah

alat ukur : kuesioner

hasil ukur : a. saluran pembuangan baik

b. saluran pembuangan tidak baik.

Skala ukur ; nominal

5. Pengelolaan sampah

Definis : sistem atau cara yang digunakan untuk membuang sampah sisa kegiatan rumah tangga sehari-hari. Dengan kriteria :

a. dikumpulkan di tempat sampah dan di ambil oleh petugas kebersihan

b. dibakar

c. dibuang sembarang tempat

dikelompokkan menjadi ???????

alat ukur : kuesioner

hasil ukur : ???????

Page 34: Bab i Dan Bab II Skripsi Thaariq

34

skala ukur : nominal

6. Tingkat pendidikan ibu

Definisi : Pendidikan formal terkahir ibu yang sedang atau pernah di capai oleh orang yang bersangkutan.

Dengan kriteria :

a. tidak sekolah

b. sd

c. smp dan sederajat

d. sma dan sederajat

e. perguruan tinggi

dikelompokan menjadi tingkat pendidikan rendah, sedang dan tinggi

alat ukur : kuesioner

hasil ukur : tingkat pendidikan rendah

tingkat pendidikan sedang

tingkat pedidikan tinggi

skala ukur : nominal

7. Pekerjaan Ibu

Definisi : Kegiatan ibu yang dilakukan sehari-hari.

Alat ukur : kuesioner

Hasil ukur : a. Bekrja

b. tidak bekerja

Skala ukur : nominal