Upload
elsa-prima-putri
View
2
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bab
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia dan eklampsia merupakan penyakit sistemik. Preeklampsia
ditandai dengan adanya hipertensi yang disertai proteinuria, terjadi pada
kehamilan setelah minggu ke 20 dari kehamilan (terjadi lebih awal jika ada
penyakit trophoblast) dan dapat juga terjadi segera setelah kelahiran.1
Preeklampsia timbul pada 5-10% kehamilan dan merupakan salah satu
penyebab terbanyak kematian ibu. Sampai saat ini penyebab preeklamsia masih
belum jelas, meskipun secara umum disepakati bahwa iskemi utero-plasenter
sebagai kelainan utamanya.
Preeklampsia dibagi menjadi ringan dan berat. Preeklampsia disebut berat
jika ditandai dengan adanya satu atau lebih hal-hal berikut:1
1. Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih
2. Tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih
3. Proteinuria 5 g atau lebih dalam urine 24 jam atau 3+, 4+
4. Produksi urin 24 jam kurang dari 500 ml
5. Gangguan serebral atau penglihatan
6. Edema pulmonal atau sianosis
7. Nyeri epigastrik
8. Gangguan fungsi hati
9. Trombositopenia
10. DIC
11. HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Platelets)
syndrome
Insiden preeklampsia dan eklampsia di negara berkembang di Amerika
Utara dan Eropa sama dengan di USA. Insiden preeklampsia berkisar 5-10% dan
eklampsia 5-7 pada setiap kelahiran.1 Meskipun eklampsia merupakan komplikasi
yang jarang dari kehamilan, sekitar 50.000 wanita di seluruh dunia diperkirakan
meninggal setiap tahun karena eklampsia. Angka kematian ibu yang dilaporkan
berkisar antara 1-20%. Angka kematian perinatal dari neonatus yang dilahirkan
dari ibu yang mengidap eklampsia berkisar antara 1,3-3%.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ETIOLOGI
Patogenesis preeklampsia tidak begitu dimengerti hingga saat ini tetapi
preeklampsia merupakan gangguan sistemik yang hanya terjadi jika ada jaringan
plasenta yang iskemik. Hal ini sepertinya memperlihatkan adanya 4 komponen
genetik tetapi belum ada gen khas pereklampsia yang dapat diidentifikasi hingga
saat ini. Pada preeklampsia, vaskularisasi maternal tidak berespons dengan baik
terhadap implantasi dan pertumbuhan plasenta pada awal kehamilan. Pada
kehamilan normal, terjadi invasi trophoblast endovascular ke segmen desidua dari
arteri-arteri spiralis.1
Gelombang migrasi kedua invasi tersebut ke segmen miometrium arteri-
arteri spiralis terjadi pada minggu ke 16 masa gestasi. Pada kehamilan normal
arteri spiralis dari miometrium menjadi distensi karena kehilangan tonus muskular
dindingnya, sementara pada preeklampsia perubahan vaskular ini hanya terjadi
pada segmen desidua, sehingga kemampuan muskuloelastik dari segmen
miometrium tidak berubah dan tetap konstriksi, sehingga terjadi peningkatan
resistensi vascular uterus yang menyebabkan penurunan 30-40% aliran darah ke
uterus dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal tersebut akan menyebabkan
penurunan perfusi plasenta yang akan mengakibatkan timbulnya infark-infark
pada plasenta yang merupakan predisposisi terjadinya gangguan dalam
pertumbuhan janin.1
Beberapa peneliti telah mengemukakan bahwa kerusakan terhadap sel
endotel vascular akan melepaskan substansi peptide (fibronectin atau endothelin).
Penyebab rusaknya sel endotel vascular tersebut disebabkan karena adanya
pelepasan faktor-faktor atau mitogen yang berasal dari jaringan plasenta yang
iskemik. Kerusakan sel endotel, yang terjadi tidak hanya terhadap sel endotelium
vaskular maternal tapi juga endotelium miokardial maternal dan endotelium
vaskular plasenta, berhubungan dengan berkurangnya sintesis substansi
vasorelaxing, peningkatan produksi vasokonstriktor dan gangguan sintesis
antikoagulan endogen yang membantu aggregasi platelet dan proses pembekuan
darah.1
Fibronectin atau endothelin, peptide yang dilepaskan oleh sel endothelium
yang rusak, menyebabkan vasokonstriksi dan gangguan dinding endothelium
kapiler sehingga terjadi kebocoran cairan dan protein serta agregasi platelet.
Kadar fibronectin yang meningkat pada preeklampsia-eklampsia menurun jelas
48 jam setelah persalinan. Turunnya tekanan onkotik koloid dan proteinuria
berhubungan dengan peningkatan kadar fibronectin, yang menunjukkan bahwa
adalah kerusakan endotel, bukan proteinuria, yang merupakan mekanisme primer
5 dari hipoproteinuria dan penurunan tekanan onkotik koloid pada
preeklampsia.1,2,3 Pada preeklampsia-eklampsia terjadi ketidakseimbangan antara
produksi dan kadar yang ada di sirkulasi dari prostaglandin (prostacyclin dan
thromboxane). Produksi thromboxane, yang berhubungan dengan vasokonstriksi,
agregasi platelet, penurunan aliran darah uterus dan peningkatan aktivitas uterus,
meningkat sementara produksi prostacyclin yang mempunyai efek sebaliknya
menurun.1
Ketidakseimbangan antara thromboxane dan prostacyclin ini mungkin
berhubungan dengan kerusakan sel endothelium. Pemberian obat yang dapat
menurunkan produksi thromboxane atau zat yang dapat menghambat sintesis
thromboxane terlihat dapat mengurangi insiden dan kegawatan preeklampsia.
Prostaglandin A1, yaitu vasopressor prostaglandin dengan kemampuan sama
dengan prostacyclin, sangat efektif menurunkan mean arterial pressure pada
preeklampsia berat yang sedang dalam proses induksi persalinan. Pada
preeklampsia peningkatan dalam produksi progesterone oleh plasenta
berhubungan dengan penurunan produksi prostacyclin oleh plasenta. Apapun
patogenesis yang tepat dari preeklampsia, ini adalah penyakit sistemik yang secara
klinik terlihat jelas dengan adanya perubahan pada sistem organ-organ mayor.1
2. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi preeklampsia-eklampsia melibatkan hampir semua system
organ tubuh. Pendapat dahulu mengatakan patofisiologi primer adalah
vasokonstriksi dengan segala akibatnya, meskipun ternyata vasokontriksi memang
memainkan peranan besar. Bahkan bertentangan dengan yang diyakini
sebelumnya ternyata preeklampsia berhubungan dengan keadaan kardiovaskular
yang hiperdinamik. Kehamilan dan persalinan menyebabkan perubahan fisiologik
pada system kardiovaskular maternal.1
Proses vasokonstriksi tersebut melibatkan semua organ mayor termasuk uterus
dan plasenta. Vasokonstriksi umum ini kemudian akan menurunkan perfusi ke
seluruh tubuh sehingga menyebabkan disfungsi organ.1
a. Volume darah
Pada kehamilan normal, volume darah meningkat sekitar 35%, volume
plasma meningkat 45% dan volume sel darah merah 20%. Hal sebaliknya terjadi
pada preeklampsia, di mana volume plasma turun sekitar 9% lebih rendah
dibandingkan wanita hamil dengan tekanan darah normal. Volume plasma pada
preeklampsia berat 30-40% lebih rendah daripada kehamilan normal pada usia
kehamilan yang sama. Tidak jelas apakah turunnya volume tersebut menyebabkan
atau disebabkan oleh vasokonstriksi umum. Jika pada pertengahan masa
kehamilan (20 – 24 minggu), volume plasma tetap rendah, maka dapat dikatakan
akan terjadi gangguan pertumbuhan janin, janin yang kecil untuk masa kehamilan.
Selain penurunan volume plasma, volume ekstravaskular dan interstitial juga
meningkat. Penurunan volume plasma juga akan menyebabkan hemokonsentrasi
dan peningkatan viskositas darah. Perubahan tersebut akan makin menyebabkan
area yang infark pada plasenta bertambah. Maternal hematokrit dan hemoglobin
berhubungan langsung dengan kekerapan infark pada plasenta.1
b. Sistem pernafasan
Kenaikan retensi Na dan air yang disertai penurunan tekanan onkotik
koloid plasma akibat proteinuria dan kebocoran dari kapiler mengakibatkan
transudasi air ke ruang interstitial. Penurunan PaO2 menunjukkan adanya edema
pulmonal. Pasien menjadi lebih beresiko terhadap terjadinya edema pulmonal
karena pemberian cairan intravena. Edema tampak pada daerah muka, ekstremitas
dan pre lumbosakral. Edema jalan nafas atas dan laring yang terjadi pada
kehamilan menjadi lebih berat pada preeklampsia dan eklampsia. Perubahan
bentuk dari epiglotis akan menyulitkan intubasi dan pembebasan jalan nafas.
Penyempitan diameter laring dapat mencapai 5,5 mm ID sehingga menyebabkan
kesulitan pada saat intubasi. Angka kejadian edema paru 2,9% dari pasien
preeklampsia/ eklampsia dan 70% terjadi pada 72 jam pasca persalinan4.
Penyebab edema paru adalah turunnya tekanan koloid osmotik disertai kenaikan
tekanan hidrostatik intravaskuler dan permeabilitas kapiler yang meningkat.
Tekanan koloid osmotik berfungsi mencegah cairan keluar dari kapiler dan PCWP
(pullmonary capillary wedge pressure) adalah tekanan hidrostatik yang bekerja
sebaliknya.1
Penyebab kenaikan tekanan hidrostatik dari kapiler paru adalah akibat
kegagalan ventrikel kiri, pemberian cairan dan kembalinya cairan ekstravaskuler
ke dalam intravaskuler pada pasca persalinan. Kenaikan PCWP pasca persalinan
akan menyebabkan mobilisasi cairan ekstravaskuler ke dalam intravaskuler dan
pemberian cairan tanpa monitoring yang ketat akan meningkatkan resiko
terjadinya edema paru.1
c. Sistem Kardiovaskuler
Hipertensi preeklampsia/eklampsia disebabkan adanya vasospasme yang
hebat, vasokonstriksi arterial sistemik dan disertai volume plasma yang menurun,
Systemic Vascular Resistance meningkat, PCWP normal atau menurun dan
Central Venous Pressure yang menurun. Pada preeklampsia/eklampsia tidak
terjadi protective hypervolemia seperti pada kehamilan normal yang rata-rata
mencapai 50%, tetapi justru terjadi penurunan volume. Secara klinis penurunan
volume plasma ini tampak pada preeklampsia berat. Meskipun terjadi
hipovolemia ternyata pasien tidak mampu menampung tambahan volume untuk
mendapatkan cardiac output yang normal. Akibatnya dapat mengakibatkan terjadi
edema paru.1
d. Sistem Susunan Saraf Pusat
Pemeriksaan CT scan tidak selalu dilakukan. Dari gambaran CT scan pada
eklampsia didapatkan 45% adanya edema serebri dan dari jumlah tersebut 95%
terdapat kelainan EEG. Edema serebri merupakan 20% penyebab kematian dari
preeklampsia. Perdarahan otak merupakan 60% dari penyebab kematian pasien
preeklampsia/eklampsia. MAP (mean arterial pressure) mencapai 140 mmHg
merupakan penyebab terjadinya perdarahan otak. Nyeri kepala terjadi pada 40%
dari pasien dengan preeklampsia dan 80% dari pasien tersebut akan menjadi
eklampsia. Nyeri kepala dapat disertai dengan mual, gelisah, ketakutan dan
gangguan penglihatan.1
e. Ginjal
Pasien preeklakmpsia/ eklampsia terjadi iskemia utero plasenta yang
menyebabkan pengeluaran renin like substance yang akan meningkatkan produksi
angiotensin dan aldosteron. Keadaan tersebut menyebabkan penurunan perfusi ke
ginjal dan GFR (glomerular filtration rate) ringan sampai sedang yang ditandai
dengan meningkatnya kadar serum kreatinin.1
f. Sistem koagulasi
Pemanjangan bleeding time, gangguan pembekuan, dapat terjadi karena
terjadi penurunan jumlah trombosit menjadi 100.000. Pengukuran bleeding time
dan jumlah trombosit diperlukan pada tindakan anestesi regional. Pada pasien
dengan trombosit kurang dari 100.000, ada korelasi 0,45% terjadinya hematoma
epidural. Pemanjangan dari bleeding time ditemukan pada 10-25% pasien pre-
eklampsia dan 11-50% ditemukan trombositopenia (< 150.000).1
3. TERAPI PREEKLAMPSIA-EKLAMPSIA
Tujuan utama terapi adalah:
Mencegah timbulnya kejang
Mengontrol dan menstabilkan tekanan darah
Optimalisasi status volume intravascular
Terapi definitif untuk preeklampsia-eklampsia adalah mengeluarkan janin
dan plasenta. Sampai hal tersebut dapat dilakukan yang harus diperhatikan adalah
mengendalikan perjalanan penyakit. 1
Kehamilan dapat diteruskan selama kondisi intrauterine masih adekuat
untuk mempertahankan pertumbuhan dan maturasi dari janin tanpa
membahayakan ibu.Terapi yang dilakukan bersifat simptomatik. Pada
preeklampsia berat, eklampsia dan HELLP syndrome, persalinan harus dilakukan
segera tanpa memperhatikan berat dan maturitas janin. Memperpanjang masa
gestasi pada kehamilan seperti itu sering sangat berbahaya dengan angka
mortalitas janin yang tinggi dan timbulnya berbagai komplikasi maternal. Selama
janin dapat mentoleransi kontraksi uterus, indulksi dan persalinan pervaginam
dapat dilakukan dan bukan merupakan kontraindikasi pada preeklampsia. Namun
jika terjadi perburukan pada janin atau ibu, maka diperlukan tindakan bedah
Caesar. 1
Terapi dilakukan untuk meminimalkan vasospasme, memperbaiki
sirkulasi, terutama uterus, plasenta dan ginjal, memperbaiki volume intravascular,
mengkoreksi gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Jika preeklampsia
dapat dideteksi secara dini dan diterapi dengan tepat, perubahan patofisiologis
yang terjadi dapat diminimalkan dan kehamilan dapat diteruskan sampai aterm.
Meskipun preeklampsia berhubungan dengan retensi air dan garam, beberapa
klinisi masih melakukan restriksi cairan dan garam karena berpendapat hal
tersebut berhubungan dengan edema pulmonal dan edema serebral. Namun opini
yang dominan adalah pemberian cairan yang adekuat, volume intravascular yang
cukup dengan cairan garam fisiologis berguna untuk menurunkan tekanan darah
ibu dan memperbaiki aliran darah plasenta dan janin.1
Pada masa lalu, yang direkomendasikan adalah restriksi berat natrium, hal
yang ternyata dapat menuju kekurangan natrium dan kemungkinan peningkatan
produksi renin, angiotensin dan aldosteron. Cairan intravena yang diberikan harus
mengandung natrium untuk mencegah water intoxication dan kejang.1
Di Amerika Utara dan di banyak negara dunia ketiga pemberian
magnesium secara parenteral dianggap sebagai terapi baris pertama untuk
mengontrol preeklampsia-eklampsia. Magnesium adalah anti konvulsan yang
efektif, bersifat tokolitik dan vasodilator sistemik ringan. Mekanisme anti
konvulsan magnesium adalah kemampuannya untuk mendepresi sistem saraf
pusat. Meskipun berbagai jenis anti konvulsan lain seperti barbiturat, diazepam
dan phenytoin telah pernah digunakan, namun tidak ada yang terbukti lebih baik
dari magnesium baik efektifitasnya maupun efek sampingnya. Efek tokolitik dari
magnesium menjadikannya berguna pada preeklampsia, di mana kadang kala
uterus menjadi hiperaktif. Magnesium menyebabkan vasodilatasi ringan dengan
mendepresi kontraksi otot polos dan menekan pelepasan katekolamin.1
Berbagai mekanisme kerja Magnesium Sulfat pada Preeklampsia-eklampsia:1
1. Antikonvulsan
2. Vasodilatasi
a) Meningkatkan aliran darah uterus
b) Meningkatkan aliran darah ginjal
c) Antihipertensi
3. Meningkatkan pelepasan prostacyclin oleh sel endotelial
4. Menurunkan aktivitas renin plasma
5. Menurunkan angiotensin-converting enzymes
6. Meningkatkan respons vaskular terhadap substansi yang bersifat pressor
7. Mengurangi agregasi trombosit
8. Bronkodilatasi
9. Tokolisis: memperbaiki aliran darah uterus dan mengantagonis hiperaktivitas
uterus
Kadar terapeutik magnesium dalam darah maternal adalah berkisar antara
4–6 mEq/liter, dengan toksisitas terjadi pada kadar plasma mencapai 10
mEq/liter.1
Namun ada juga yang mengemukakan kadar terapeutik magnesium
berkisar 5-7 mg/dL, dengan toksisitas terjadi jika mencapai kadar 119 mg/dL.
Over dosis terjadi biasanya setelah pemberian bolus berulang atau melalui infus
pada kasus-kasus dengan penurunan fungsi ginjal. Gejala over dosis adalah
sebagai berikut kelemahan maternal, insufisiensi pernafasan dan bahkan gagal
jantung. Semua komplikasi tersebut tidak terjadi begitu saja tapi didahului adanya
penurunan refleks tendon, sehingga dengan demikian pemberian magnesium harus
dikurangi atau dihentikan bila adanya penurunan refleks tendon. Terapi dari
gejala-gejala over dosis biasanya berupa topangan kardiorespirasi dan pemberian
calcium chlorida.1
a. Terapi Hipertensi
Bila dengan pemberian magnesium atau antikonvulsan lain dan tirah
baring, tekanan darah maternal tetap tidak lebih rendah dari sistolik 160 mm Hg
dan diastolik 110 mm Hg, maka diperlukan antihipertensi lain. Antihipertensi
meskipun berguna untuk maternal tapi sepertinya tidak memperbaiki keadaan
janin. Sampai saat ini antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah
hydralazine, yang mekanisme kerja primernya adalah menurunkan resistensi
precapillary arteriolar. Penggunaan hydralazine dapat meningkatkan cardiac
output dan menyebabkan takikardia yang dapat mengganggu efek
antihipertensinya. Hydralazine juga meningkatkan aliran darah ginjal.7
Meskipun masih dipergunakan secara luas, penggunaan hydralazine mulai
digantikan oleh antihipertensi lain, metyldopa. Metyldopa telah banyak digunakan
sebagai terapi hipertensi pada preeklampsia-eklampsi terutama di daratan Eropa.
Penggunaannya terutama pada kronik hipertensi yang pada awalnya telah
terkontrol dengan hydralazine atau untuk kontrol tekanan darah jangka panjang
pada masa post partum. Efek samping terhadap janin minimal.1
Clonidine dan prazosin, α1-bloker, juga sudah dipergunakan dengan hasil
baik pada preeklampsia. Penggunaan β-bloker pada preeklampsia dan pada wanita
hamil dengan hipertensi juga lebih umum dilakukan. Pada mulanya dikhawatirkan
bahwa propanolol berhubungan dengan peningkatan aktivitas uterus, penurunan
aliran darah uterus dan plasenta, penurunan laju nadi janin, penurunan toleransi
janin terhadap hipoksia dan mempengaruhi kondisi janin setelah lahir. Meskipun
penelitian terhadap penggunaan β bloker masih jarang, namun dikatakan bahwa
secara klinis penggunaannya aman terhadap ibu hamil dan janinnya. 1
Beberapa penulis tidak menganjurkan pemberian derivate thiazide karena
dapat menyebabkan diuresis pada keadaan volume darah yang sudah berkurang,
selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan elektrolit, peningkatan
viskositas darah, intoleransi glukosa baik pada janin atau ibu. Thiazide juga
meningkatkan kadar asam urat dalam darah yang memang sudah meningkat.
Diuretik jarang diindikasikan untuk terapi hipertensi pada kehamilan, kecuali
sebagai terapi edema pulmonal yang disebabkan gagal jantung kongestif atau
faktor lain. Bila memberikan antihipertensi pada preeklampsia-eklampsia, laju
nadi janin harus dimonitor secara ketat. Penurunan yang tiba-tiba dari tekanan
darah maternal akan mengakibatkan gawat janin. Berikut adalah obat-obat yang
sering digunakan sebagai antihipertensi pada preeklampsia-eklampsia.1
4. PEMILIHAN TEKNIK ANESTESIA
Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia tergantung dari
berbagai faktor, termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status
medis dari pasien (adanya koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika persalinan
dilakukan secara bedah Caesar maka pemilihan teknik anestesia di sini termasuk
epidural, spinal, combine spinal-epidural dan anestesia umum. Meskipun
kemungkinan terjadinya hipotensi yang berat pada pasien preeklampsia yang
menjalani anestesia regional (terutama spinal anestesia), banyak data yang
mendukung pemilihan anestesia regional baik pada bedah Caesar yang berencana
ataupun darurat.2,3,4
Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat dikatakan
berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri sistemik dan
pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia. Pada
anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi
endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.2,3
Apapun teknik anestesia yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun
persalinan adalah terapi untuk preeklampsia, pada periode post partum perubahan
kardiovaskular, cardiac output dan status cairan, harus tetap dimonitor.3
5. PENANGANAN PRA ANESTESIA
Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi
pre anestesi dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada
preeklampsia/eklampsia dapat dilakukan secara semi elektif atau darurat.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan
pilihan cara anestesinya. Pemeriksaan laboratorium meliputi platelet, fibrinogen,
PT/APTT, ureum, creatinin, fungsi liver dan konsentrasi Mg, dilakukan setiap 6-8
jam sampai dengan pasca bedah dini. Monitoring dilakukan terhadap fetus dan
fungsi vital ibu, yaitu tekanan darah, cairan masuk dan keluar, refleks tendon,
pelebaran serviks, dan frekuensi kontraksi uterus.2,4
Tekanan darah dan pulsasi nadi diukur setiap 15 menit selama minimum 4
jam sampai stabil dan seterusnya setiap 30 menit. Dilakukan pemasangan kateter
urin dan urin output diukur setiap jam disesuaikan dengan pemberian cairan.
Monitoring preeklampsia/eklampsia dapat mendeteksi dini kelainan irama jantung
yang diduga penyebab edema paru yang mengakibatkan kematian mendadak.
Pada eklampsia penanganan pertama ditujukan pada jalan nafas, pemberian
oksigen, left uterine displacement dan penekanan cricotiroid Intubasi dilakukan
bila jalan nafas tidak dapat dipertahankan bebas, terjadi kejang yang lama atau
regurgitasi. Setelah tindakan pertama dilanjutkan dengan penanganan terhadap
kejang dan menurunkan tekanan darah. Kejang dapat diatasi dengan thiopental
atau diazepam. Pilihan obat anti kejang adalah obat yang tidak mengganggu
neurologis. Pada preeklampsia kejang dapat dicegah dengan pemberian
magnesium sulfat. Stabilisasi, monitoring fungsi vital, dan evaluasi gejala
neurologis yang teratur dapat mengurangi penyulit yang mungkin terjadi pada ibu
akibat persalinan dan anestesia.3,4
a. Pemberian cairan
Pasien dengan preeklampsia murni cenderung untuk mempertahankan
tekanan darahnya meskipun adanya blokade regional. Jika hal ini terjadi maka
loading cairan tidak mutlak dilakukan dan dapat menimbulkan gangguan
keseimbangan cairan. Dengan demikian, loading cairan pada preeklampsia
seharusnya tidak dilakukan sebagai profilaksis atau secara rutin, namun harus
selalu dipertimbangkan dan dilakukan secara terkontrol. Hipotensi jika terjadi
dapat dikontrol dengan pemberian efedrin. Pada pasien preeklampsia kebutuhan
cairan pada bedah Caesar harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan apalagi
pemberian cairan lebih dari 500 ml, kecuali untuk menggantikan kehilangan
darah, semestinya dilakukan dengan hati-hati. 2,4
6. TATALAKSANA ANESTESI
Penanganan preeklampsia berat dan eklamsia dalam bidang obstetri sama,
kecuali pelaksanaan tindakan terminasi dari kehamilan. Pada preeklampsia berat
persalinan harus dilakukan dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia persalinan
harus terjadi dalam waktu 12 jam setelah timbul gejala eklampsia. Jika ada gawat
janin atau dalam 12 jam tidak terjadi persalinan dan janin masih ada tanda-tanda
kehidupan harus dilakukan bedah Caesar. Masalah koagulopati merupakan hal
yang perlu dipertimbangkan sebelum tindakan operasi pada pasien preeklampsia/
eklampsia. Tekanan darah pasien preeklampsia/ eklampsia diturunkan sedemikian
rupa sehingga tidak terjadi penurunan pada aliran darah ke plasenta dan otak.1,3,4
Monitoring yang dilakukan selama anestesi diteruskan hingga pasca
bedah. Pemberian cairan pasca bedah harus memperhitungkan adanya mobilisasi
cairan yang terjadi mulai dalam 24 jam. Jika tidak terjadi diuresis yang memadai
akibat belum kembalinya fungsi ginjal kemungkinan dapat terjadi peningkatan
cairan intravaskuler yang beresiko terjadinya edema paru. Jumlah trombosit dan
fungsinya akan kembali 4 hari setelah persalinan. Kejang pasca bedah terjadi pada
27% pasien. Obat anti hipertensi masih dibutuhkan selama pasca bedah.
Pemberian cairan selama masa antenatal harus dilakukan secara hati-hati untuk
mencegah kelebihan cairan. Total cairan intravena harus dibatasi sebanyak 1
ml/kg/jam.3,4
7. MONITORING POST PARTUM
Pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan memperhatikan
diursesis spontan yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah persalinan.Total
cairan intravena yang diberikan 80 ml/jam: Ringer Laktat atau yang ekuivalen.
Pemberian cairan oral dapat diberikan secara lebih bebas. Urin output harus
dimonitor setiap jam dan tiap 4 jam dijumlahkan dan dicatat. Jika total cairan
yang masuk lebih dari 750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka
diberikan furosemid 20 mg iv. Kemudian dapat diberikan gelofusine jika sudah
terjadi diuresis. Jika total cairan yang masuk kurang dari 750 ml dari cairan yang
keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan 250 ml gelofusine. Jika urin output
masih kurang, maka diberikan furosemide 20 mg iv.2,3
Terminasi kehamilan pada pre-eklampsia/eklampsia melalui bedah Caesar
memerlukan kerjasama dan komunikasi yang baik dari berbagai keahlian terkait
agar dapat tercapai hasil yang optimal. Diperlukan monitoring yang ketat serta
terapi, tindakan dan pilihan cara anestesi yang tepat, diawali sejak pra
pembedahan sampai pasca bedah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.1,2
DAFTAR PUSTAKA
1. Lyall F, Belfort M. Pre Eclampsia: Etiology and Clinical Practice. 2007.
New York: Cambridge University Press.
2. Datta, Sanjay. Anesthetic and Obstetric Management of High-Risk
Pregnancy 3rd Edition. 2004. America: Springer-Verlag.
3. Hughes S C, Levinson G, and Rosen M A. Shnider and Levinson’s
Anesthesia for Obstetric 4th Edition. 2002. America: Lippincott Williams
& Wilkins
4. Russel, Robin. Anaesthesia for Obstetrics and Gynaecology. 2000.
London: BMJ Publishing Group