50
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1984: 2). Karya sastra diciptakan oleh pengarang tidak semata-mata mengandalkan bakat dan kemahiran berekspresi, tetapi lebih dari itu, melalui karya sastra seorang pengarang melukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide, gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan melalui tokoh cerita (Yulita, 2009:1). Drama merupakan salah satu karya sastra. Drama berbeda dengan novel atau karya fiksi lainnya, sebuah drama hanya terdiri dari dialog; yang mungkin

BAB I II III DYAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I II III DYAN

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya

adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai

mediumnya (Semi, 1984: 2). Karya sastra diciptakan oleh pengarang tidak

semata-mata mengandalkan bakat dan kemahiran berekspresi, tetapi lebih dari

itu, melalui karya sastra seorang pengarang melukiskan keadaan dan

kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide, gagasan, serta

nilai-nilai yang diamanatkan melalui tokoh cerita (Yulita, 2009:1).

Drama merupakan salah satu karya sastra. Drama berbeda dengan novel atau

karya fiksi lainnya, sebuah drama hanya terdiri dari dialog; yang mungkin ada

penjelasannya, tapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan

pedoman oleh sutradara. Tidak adanya narasi dalam drama digantikan oleh

akting pemain di pentas. Drama berasal dari bahasa prancis yaitu drane yang

pada mulanya untuk menceritakan lakon-lakon kelas menengah. Dalam istilah

yang lebih kuat drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang

punya arti penting –meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak

bahagia- tapi tidak bertujuan mengagungkan logika. Drama adalah salah satu

seni bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya (Soemanto,

2001:3).

Page 2: BAB I II III DYAN

2

Pembelajaran drama merupakan bagian yang erat dari pembelajaran bahasa

dan sastra Indonesia di sekolah menengah atas (SMA). Hal ini sesuai dengan

KTSP, untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia khususnya dalam kemampuan

bersastra. Belajar bersastra pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat

Sekolah Menengah Atas sama halnya dengan belajar berbahasa yaitu

mencakup aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Keterampilan menyimak diperoleh pada saat para siswa mendengarkan

pembacaan puisi, berdeklamasi, pertunjukan monolog, dan pertunjukan

drama. Kecermatan keterampilan menyimak ini sangat diperlukan. Salah

dengar terhadap salah satu atau dua patah kata saja bisa mengakibatkan salah

tangkap apa yang ditampilkan. Sebaliknya, keterampilan berbicara terutama

diperoleh pada saat siswa membaca puisi, membaca monolog, atau berpentas

drama di depan kelas.

Keterampilan membaca berkaitan dengan kelancaran bacaan.

Ketepatan penempatan jeda dan keserasian intonasi dengan isi kalimat.

Selain itu, siswa mendapatkan pengalamaan penciptaan dalam

pengajaran sastra. Siswa akan diberi kesempatan unuk mencipta sendiri,

baik berupa puisi, cerpen dan naskah drama pendek. Kesempatan

mencipta ini berguna bagi keterampilan menulis dan berpengaruh bagi

pembinaan apresiasinya, sebab pengalaman penciptaan secara langsung

banyak berpengaruh untuk usaha mendapatkan pengalaman puitik

(Jabrohim, 1994:9-10).

Page 3: BAB I II III DYAN

3

Kegiatan mengapresiasi sastra terutama drama yang dilakukan oleh para

siswa diharapakan mampu membina kepribadian, perilaku dan budi pekerti

siswa. Agar mereka memiliki sikap positif terhadap hasil karya sastra yang

diciptakan oleh orang lain dan mampu mengambil sikap dengan bijaksana

atas suatu drama yang mereka saksikan. Setidaknya mereka dapat

mengungkapkan berbagai pikiran dan gagasan melalui bahasa sastra. Hal ini

dapat membantu terbukanya peluang berkembangnya kesastraan Indonesia.

Namun semua itu tidak luput dari peran seorang guru dalam pengajaran di

kelas, maka tugas guru yang penting adalah sebagai informator, fasilitator,

dan moderator. Artinya, seorang guru hanya sebagai “penunjuk jalan” bagi

para siswa yang sedang bertamasya di taman sarinya karya sastra (Jabrohim

dalam Suharianto, 1994:21).

Di dalam pengajaran sastra termasuk drama, guru dan siswa bersama-sama

menelusuri dan menjelajahi karya sastra sesuai dengan taraf masing-masing.

Oleh karena itu, sesuai dengan tugasnya sebagai penunjuk jalan, seorang guru

harus tahu benar lika-liku jalan dan menguasai berbagai obyek yang menjadi

perhatian siswa. Dengan kata lain, seorang guru harus benar-benar

mempunyai pengalaman, pendidikan, dan keterampilan yang lebih

dibandingkan siswanya.

Proses dan metode pengajaran sastra juga mempunyai peranan penting.

Seorang guru tidak hanya mampu menjabarkan atau menjelaskan pengertian

sastra, macam-macam sastra, nama pengarang sastra, dan lain-lain. Metode

seperti itu terkesan monoton sehingga murid kurang tertarik untuk

Page 4: BAB I II III DYAN

4

mempelajari sastra. Guru harus dapat membantu mengembangkan akal siswa,

yakni dengan mengapresiasi sebuah karya sastra sehingga siswa dapat

memahami dan lebih menghargai sebuah karya sastra.

Tujuan pembelajaran sastra bukan membentuk siswa menjadi sastrawan atau

ahli sastra, melainkan hanya membimbing siswa agar dapat memahami,

menikmati, dan menulis karya sastra serta mengapresiasi karya sastra

(Wiyanto, 2005 : viii).

Kegiatan mengapresiasi karya sastra adalah kegiatan yang membutuhkan

keterlibatan hati secara serius terhadap objek yang dinikmati. Usaha untuk

menumbuhkan keseriusan dan pemahaman dalam mengapresiasi sebuah

karya sastra adalah dengan jalan menikmati, memberikan sifat positif, dan

menganggapnya sebagai suatu kerja yang menyenangkan. Setidaknya ada

rasa ingin mengetahui apa yang terdapat dalam keunikan karya sastra

tersebut. Begitu pula dengan pembelajaran drama. Dengan mengapresiasi

drama sebagai salah satu karya sastra, diharapakan mampu meningkatkan

kesenangan siswa dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Memberikan apresiasi terhadap sebuah drama penting untuk terlebih dahulu

mengetahui unsur-unsur intrinsik drama. Unsur-unsur intrinsik drama

meliputi: tema, penokohan, alur atau plot, latar atau setting, dan amanat.

Salah satu naskah drama yang menurut peneliti layak untuk dikaji adalah

naskah drama berjudul “Dapur” karya Fitri Yani. Fitri Yani merupakan salah

satu sastrawan Lampung yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas

Page 5: BAB I II III DYAN

5

Lampung. Fitri yani merupakan salah satu dari tiga sastrawan Lampung yang

dipilih Kurator untuk menjadi peserta TSI (Temu Sastrawan Indonesia) di

Ternate, Maluku Utara pada Oktober- Desember 2011. Fitri Yani dilahirkan

di Lampung Timur pada 28 Februari 1986. Beliau pernah menjadi anggota

UKM BS (Bidang Seni) dan bergabung dengan teater kurusetra dan teater

Berkat Yakin (KoBer). Beliau menulis sajak dan naskah panggung (drama).

Sajaknya terpilih sebagai salah satu dari 60 sajak terbaik Indonesia (2009

Pena Kencana Award) dan salah satu dari lima sajak terbaik (Radar Bali

Literary Award 2009). Beliau juga menulis puisi bertajuk “Dermaga Tak

Bernama” yang telah dipublikasikan pada tahun 2010.

Salah satu naskah drama yang ditulis oleh Fitri Yani adalah “Dapur”. Drama

ini mengisahkan tentang Dapur yang bagi sebagian masyarakat merupakan

tempat yang sakral, simbol eksistensi sebuah rumah tangga. Seperti halnya

pepatah “jika perempuan jauh dari dapur, ia tak akan bisa membangkitkan

selera lahir dan batin dalam rumah tangga”, maka naskah ini mencoba

menggambarkan bagaimana dapur memiliki makna yang begitu penting pada

kehidupan keluarga dan perempuan. Dapur bukanlah tempat di mana

perempuan tak berdaya. Ada banyak kekuatan yang dimiliki perempuan

dengan menjadi menejer di dapur, menjadi pemimpin dalam mempersiapkan

hidangan bagi keluarga. Dan apa jadinya ketika laki- laki mencoba

menjadikan dapur sebagai bagian dari wilayahnya.

Beberapa alasan mengapa memilih naskah dapur yang menjadi objek

penelitian adalah karena tokoh utama yang diangkat melihat fenomena masa

Page 6: BAB I II III DYAN

6

kini yang wilayah perempuan sudah banyak diambil alih oleh laki-laki.

Sedangkan hal tersebut adalah konsekuensi dari kehidupan modern. Tidak

ada salahnya jika laki- laki menjadi koki, karena koki pun sekedar profesi,

sama seperti dosen, pegawai, tukang becak, dan lain- lain. Naskah ini

menejelaskan tentang pekerjaan wanita yang juga bisa dikerjakan oleh

seorang laki- laki. Sedangkan di dalam rumah tangga sendiri, wanita yang

menjadi sorotan utama urusan dapur. Naskah “Dapur” ini juga berbicara

tentang emansipasi wanita yang juga masih menjadi perbincangan hangat

bangsa Indonesia di desa maupun di kota. Naskah ini menceritakan tentang

kakak Udin yang memilih menjadi wanita karir yang kemudian memberikan

efek domino bagi kondisi rumah tangganya. Di akhir naskah drama ini,

ditunjukan bagaimana kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis karena

adanya disfungsionalisasi wilayah perempuan. Secara keseluruhan naskah ini

ingin menekankan bahwa, jika wanita tidak berada di dapur (berada di

wilayahnya) rumah tangga tak akan berjalan dengan baik.

Peneliti merasa sangat tertarik untuk memilih drama ini sebagai drama yang

akan diajadikan objek penelitian. Hal ini karena drama ini menceritakan

tentang isu yang sensitif dan masih terus hangat di kalangan perempuan

bahkan kebanyakan masyarakat (laki- laki dan perempuan), yaitu tentang

emansipasi perempuan dan peran- peran sakralnya. Di samping itu, naskah ini

ditulis oleh sastrawan yang merupakan putra daerah Lampung yang perlu

diapresiasi sebagai bentuk penghargaan atas karyanya yang turut mengangkat

nama daerah di bidang sastra nasional. Jika kebanyakan mahasiswa memilih

drama atau karya sastra lainnya yang merupakan hasil dari sastrawan nasional

Page 7: BAB I II III DYAN

7

(di luar daerah lampung), maka peneliti memilih sastrawan dari daerah sendiri

yaitu, Lampung. Dan dalam penelitian ini, peneliti hendak mengkaji drama

tersebut dari segi penokohan dan alur.

Penelitian tentang penokohan dan alur pada sebuah karya sastra sudah ada

yang melakukan sebelumnya. Berikut ini beberapa hasil penelitian terdahulu

yang berkaitan dengan analisis unsure- unsur interistik dalam drama:

Nama Peneliti dan Tahun Penelitian

Objek Penelitian Hasil Penelitian

Herzon, 2004 Tokoh Wayan dalam Naskah Drama “Bila MalamBertambah Malam” Karya Putu Wijaya

Penokohan tokoh Wayanlebih banyak menggunakan teknik dramatik tetapi penokohan tokoh Wayan tidak mempunyai implikasi terhadap pembelajaran sastra di SMA

Feri Gunadi, 2010

Unsur- unsur Interistik dalam Naskah Drama “Dorr” Karya Putu Wijaya dan Kelayakannya dalam Pembelajaran SMA

Naskah Dorr dapat dijadikan acuan dalam pembelajran sastra di SMA

Adapun judul penelitian dalam skripsi ini adalah “Penokohan dan Alur dalam

Naskah Drama Dapur karya Fitri Yani dan Implikasinya dalam Pembelajaran

Sastra di SMA“. Peneliti akan mengarahkan penelitian ini pada usaha untuk

mengkaji implikasi naskah drama Dapur dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

Yaitu menitik beratkan pada upaya pembuktian apakah dengan diapresiasinya

drama Dapur oleh siswa dalam hal penokohan dan alur drama tersebut, dapat

meningkatkan semangat belajar siswa terhadap pembelajaran sastra.

Page 8: BAB I II III DYAN

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulis merumuskan masalah penelitian sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah penokohan dan alur dalam naskah drama Dapur karya Fitri

Yani?

2. Bagaimanakah implikasi naskah drama Dapur karya Fitri Yani? pada

pembelajaran sastra di SMA?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan penokohan dan alur dalam naskah drama Dapur karya

Fitri Yani; dan

2. Menentukan implikasi naskah drama Dapur karya Fitri Yani dalam

pembelajaran sastra di SMA

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Membantu peserta didik dalam menambah wawasan mengenai sastra

khususnya mengenai unsur intrinsik dalam naskah drama.

2. Sebagai acuan dalam pembelajaran sastra di sekolah khususnya yang

menyangkut unsur intrinsik dalam naskah drama oleh pengajar.

Page 9: BAB I II III DYAN

9

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada dua unsur intrinsik naskah drama saja, yaitu

penokohan dan alur dalam naskah drama Dapur karya Fitri Yani dan

implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Sumber data penelitian

diperoleh dari sebuah naskah drama Dapur karya Fitri Yani.

Page 10: BAB I II III DYAN

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Drama

Pada umumnya drama menampilkan beberapa tokoh yang saling

berhubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga membentuk kisah

atau alur cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita tersebut digambarkan pengarang

sebagai manusia hidup di dunia nyata, artinya tokoh-tokoh tersebut

digambarkan hidup dalam masyarakat yang memiliki tatanan hidup

bermasyarakat. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media, seperti di

atas panggung, film, dan televisi. Drama juga sering dikombinasikan dengan

musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera.

Beberapa toko mendefinisikan drama dengan berbagai penalaran. Antara lain

sebagai berikut.

Drama berasal dari bahasa prancis yaitu drane yang pada mulanya untuk menceritakan lakon-lakon kelas menengah. Dalam istilah yang lebih kuat drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak bahagia- tapi tidak bertujuan mengagungkan logika. Drama adalah salah satu seni bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya (Soemanto, 2001:3).

Definisiyang diberikan oleh Soemanto lebih menekankan drama sebagai

proses bercerita secara langsung melalui gerak tubuh dan dialog lisan, dengan

Page 11: BAB I II III DYAN

11

lakon serius dari para tokohnya untuk menyampaikan secara langsung tentang

suatu pesan.

Drama adalah salah satu bentuk seni yang bercerita lewat percakapan atau dialog dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action (Soemanto, 2001:1). Pernyataan lain dikemukakan bahwa drama sebagai genre sastra yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan tujuan untuk dipentaskan sebagai seni pertunjukan (Hassanuddin, 1996:7).

Sedangkan Hassanudin lebih menekankan drama sebagai cerita dalam bentuk

dialog verbal dan non verbal untuk sebuah pertunjukan seni.

Istilah lain bahwa sebuah drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak bahagia, akan tetapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Bagaimanapun juga di dalam jagad modern, istilah drama sering diperluas hingga mencakup semua lakon serius, termasuk tragedi dan lakon absurd (Soemanto, 2001:3).

Drama merupakan salah satu bentuk kesusastraan, namun cara penyajian drama berbeda dari bentuk kesusastraan lainnya. Novel, cerpen, dan balada masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antara dialog dan narasi, sedangkan sebuah drama hanya terdiri atas dialog-dialog dan ada penjelasan sedikit untuk dijadikan pedoman oleh sutradara bila drama tersebut dipentaskan (Soemanto, 2001:3-4).

Dari beberapa pengertian drama di atas, terlihat bahwa drama tidak hanya

menjadi sebuah karya seni yang dapat dijadikan hiburan atau tontonan

semata, tetapi drama memang berisi masalah kehidupan dan kemanusiaan

yang tidak terlepas dari aspek-aspek sosial masyarakat dalam hubungan

manusia dengan manusia lainnya. Drama menyajikan aspek-aspek perilaku

manusia terhadap jenisnya dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Page 12: BAB I II III DYAN

12

Contohnya masalah perasaan sayang, cinta, benci, dendam, ketulusan,

kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.

Drama merupakan alat komunikasi sosial dalam masyarakat. Melalui drama,

manusia dapat menemukan masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya

kemudian menjadikannya sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, dan

pengetahuan untuk berbuat sesuatu secara lebih baik. Hal ini merupakan

salah satu fungsi dan peranan drama meskipun ada juga masyarakat tertentu

yang menganggap drama sebagai milik sekelompok masyarakat tertentu yang

memahami arti suatu karya seni. Sebaiknya tidaklah demikian, karena karya

seni dalam bentuk apapun hendaknya dirasakan sebagai milik masyarakat. Ia

memerlukan interpretasi dan apresiasi sehingga nilai-nilai kehidupan yang

ada di dalamnya dapat dipahami dan menjadi pedoman.

Dari bermacam-macam definisi drama ada satu hal yang tetap dan menjadi

ciri drama yaitu penyampaiannya yang dilakukan dalam bentuk dialog atau

action yang dilakukan para tokohnya. Hal ini sejalan dengan tujuan penelitian

saya tentang penokohan dan alur yang akan digali dari percakapan para tokoh

dalam naskah drama Dapur karya Fitri Yani.

B. Dialog

Di dalam sebuah drama,dialog merupakan sarana primer, sehingga dialog

merupakan situasi bahasa utama di dalam drama (Hassanudin, 1996:15).

Page 13: BAB I II III DYAN

13

Secara universal, dialog sebagai sarana primer di dalam drama yang berfungsi sebagai wadah bagi pengarang untuk menyampaikan informasi, menjelaskan fakta atau ide-ide utama. Dialog memberikan kejelasan watak dan perasaan tokoh atau pelaku. Kalimat-kalimat atau kata-kata yang diujarkan oleh para pelaku akan memberikan gambaran-gambaran tentang watak, sifat, ataupun perasaan masing-masing tokoh. Seseorang yang berwatak bengis, kasar, baik, sabar, dan sebagainya bisa diketahui melalui dialog. Kondisi psikis seperti senang, sedih, gembira, cemburu juga bisa diketahui melalui dialog (Hasanuddin 1996 : 21-22).

Hal yang senada juga dikemukakan oleh Fergusson dan Astone bahwa drama

bergantung penuh pada dialog. Dialog harus berupaya melukiskan suasana,

perwatakan, konflik, dan klimaks (Dewojati, 2010:175). Jadi, peranan dialog

ini sangat penting dalam sebuah drama. Dialog inilah yang membedakan

karya sastra drama dengan karya sastra lainnya yang berbentuk prosa. Dari

dialog atau cakapan antar tokoh tersebut cerita dirangkai, konflik

ditumbuhkan, dan perwatakan dikembangkan. Melalui dialog tersebut pula,

penulis bisa meneliti dan mendeskripsikan penokohan dan alur dalam naskah

drama Dapur karya Fitri Yani.

C. Penokohan

Salah satu unsur penting dalam karya naratif adalah tokoh dan penokohan.

Istilah tokoh menunjuk pada orangnya. Tokoh cerita atau karakter adalah

orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan

(Nurgiyantoro dalam Abrams, 1981:20).

Page 14: BAB I II III DYAN

14

Sedangkan penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu

dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita adalah pelukisan gambaran

yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita

(Nurgiyantoro dalam Jones, 1968:33).

Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh, sebab dalam

penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan

bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup

memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Hal-hal yang berkaitan dengan penokohan yakni penamaan, pemeranan,

keadaan fisik tokoh (aspek fisiologis), keadaan sosial tokoh (aspek

sosiologis), serta karakter tokoh ini saling berhubungan dalam upaya

membangun permasalahan-permasalahan atau konflik kemanusiaan yang

merupakan syarat utama sebuah drama (Hasanuddin:75-76). Di dalam sebuah

drama, aspek-aspek ini terkesan lebih jelas dan tegas dibandingkan dengan

fiksi.

1. Penamaan

Penamaan yaitu pemberian nama pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam

drama. Nama tokoh merupakan suatu sistem di dalam drama, oleh karena

itu ia membatasi ruang gerak dan perilaku, sikap, peran para tokoh dalam

melakukan motif-motif untuk membangun peristiwa, kejadian, serta

konflik-konflik.

Page 15: BAB I II III DYAN

15

2. Pemeranan

Tokoh dalam drama memiliki peran tertenu. Ada enam kategori peran

dalam drama yang dapat diwakili para tokoh untuk membangun dan

membentuk konflik.

a. Peran Lion

Peran Lion yaitu tokoh atau tokoh-tokoh pembawa ide (istilah lain

dapat disebut tokoh protagonis). Tokoh ini memperjuangkan sesuatu,

mungkin kebenaran, kekuasaan, perdamaian, cinta, dan lain-lain.

b. Peran Mars

Peran Mars yaitu tokoh yang menentang dan menghalangi peran Lion

dalam mencapai keinginan dan tujuan yang diperjuangkan tokoh peran

Lion tersebut. Peran Mars ini dalam istilah lain disebut tokoh antagonis.

c. Peran Sun

Peran Sun yaitu tokoh atau apa pun yang menjadi sasaran perjuangan

Lion dan ingin didapatkan Mars.

d. Peran Earth

Peran Earth yaitu tokoh yang menerima hasil perjuangan Lion atau

Mars.

e. Peran Scale

Peran Scale yaitu peran yang menghakimi, memutuskan, menengahi,

atau menyelesaikan konflik dan permasalahan yang terjadi di dalam

drama.

f. Peran Moon

Peran Moon yaitu peran yang bertugas sebagai penolong.

Page 16: BAB I II III DYAN

16

3. Keadaan Fisik

Keadaan fisik dalam hal ini perlu dikenal apakah tokoh itu seorang laki-

laki atau perempuan, berapa usianya, bentuk badannya, warna kulitnya,

dan sebagainya.

4. Keadaan Sosial

Keadaan sosial ini menyangkut apa pekerjaannya, agamanya, keluarganya,

keadaan ekonominya, dan keadaan lingkungannya.

5. Karakter/Watak

Karakter atau watak adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh tokoh dalam

drama. Berdasarkan perwatakannya, tokoh dapat dibedakan menjadi dua

yakni watak pipih (simple character) dan watak bulat (round character)

(Nurgiyantoro, 1998:181).

(1) Watak pipih adalah watak yang mencerminkan tokoh sederhana,

memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu

saja. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan

efek kejutan bagi pembaca.

(2) Watak bulat adalah watak yang mencerminkan tokoh yang kompleks,

tokoh yang berwatak bulat dapat saja memiliki watak tertentu yang

dapat diformulasikan, namun ia dapat menampilkan watak dan

tingkah laku bermacam-macam bakanlan mungkin bertentangan dan

sulit diduga.

Page 17: BAB I II III DYAN

17

D. Pembedaan Tokoh

Membaca sebuah karya fiksi, baik novel, cerpen, maupun naskah drama,

pembaca akan dihadapkan dengan sejumlah tokoh yang dihadirkan. Tokoh-

tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis

berdasarkan dari sudut ana penamaan itu dilakukan.

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah

cerita, ada tokoh penting dan ditampilkan terus-menerus dan ada tokoh

yang hanya beberapa kali saja dimunculkan. Tokoh yang sering

dimunculkan dalam sebuah cerita atau tokoh yang mendominasi dalam

sebuah cerita disebut tokoh utama (central characer/main character),

sedangkan tokoh yang hanya sekali atau beberapa kali saja dimunculkan

adalah tokoh tambahan (peripheral character).

b. Tokoh Protagonis, Tokoh Antagonis, dan Tokoh Tritagonis

Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dalam sebuah cerita, maka

tokoh dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, tokoh protagonis

adalah tokoh yang dikagumi atau lebih sering dikatakan tokoh hero

(jagoan). Peran protagonis harus mewakili hal-hal positif dalam

kebutuhan cerita. Peran ini biasanya cenderung menjadi tokoh yang

disakiti, baik, dan menderita sehingga akan menimbulkan simpati bagi

penontonnya. Peran protagonis ini biasanya menjadi tokoh sentral, yaitu

tokoh yang menentukan gerak adegan. Kedua, tokoh antagonis Peran

antagonis adalah kebalikan dari peran protagonis. Peran ini adalah peran

Page 18: BAB I II III DYAN

18

yang harus mewakili hal-hal negatif dalam kebutuhan cerita. Peran ini

biasanya cenderung menjadi tokoh yang menyakiti tokoh protagonis. Dia

adalah tokoh yang jahat sehingga akan menimbulkan rasa benci atau

antipasti penonton. Ketiga, tokoh tritagonis Peran tritagonis adalah peran

pendamping, baik untuk peran protagonis maupun antagonis. Peran ini

bisa menjadi pendukung atau penentang tokoh sentral, tetapi juga bisa

menjadi penengah atau perantara tokoh sentral. Posisinya menjadi

pembela tokoh yang didampinginya. Peran ini termasuk peran pembantu

utama.

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu atau sifat-sifat tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Berbeda dengan tokoh sederhana, tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena selain memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga

d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami

perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya

peristiwa-peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro dalam Altenbernd &

Lewis, 1966:58). Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relatif

tetap, tak berkembang sejak awal sampai akhir cerita. tokoh berkembang

Page 19: BAB I II III DYAN

19

adalah tokoh cerita yahng mengalami perubahan dan perkembangan

sejalan dengan berkebangnya peristiwa atau alur cerita.

e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap

sekelompok manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan

menjadi dua. Pertama, tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit

ditampilkan keadaan individualitasnnya dan lebih banyak ditonjolkan

kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Nurgiyantoro dalam Altenbernd

& Lewis, 1966:60).

Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan

terhadap orang atau sekelompok orang yang terkait dalam sebuah

lembaga atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga yang

ada di dunia nyata.

Kedua, tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu

sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan

bereksistensi dalam dunia fiksi.ia hadir atau dihadirkan semata-mata

demi cerita bahkan dialah sebenarnya yang punya cerita, pelaku cerita,

dan yang diceritakan.

E. Teknik Pengkajian Tokoh

Teknik penokohan adalah teknik yang digunakan penulis naskah lakon,

sutradara, atau pemain dalam penampilan atau penempatan tokoh-tokoh

wataknya dalam drama. Teknik penokohan dilakukan dalam rangka

Page 20: BAB I II III DYAN

20

menciptakan citra tokoh cerita yang hidup dan berkarakter. Secara garis besar

teknik pengkajian tokoh dalam suatu karya sastra dibedakan ke dalam dua cara

atau teknik yaitu teknik analitis (pengkajian secara langsung) dan teknik

dramatik (pengkajian secara tak langsung) (Nurgiyantoro, 1998:194).

Pada umumnya, pengarang memilih cara campuran dengan menggunakan

teknik secara langsung dan tak langsung. Hal itu dirasa lebih menguntungkan

karena kelemahan masing-masing teknik dapat ditutup dengan teknik yang

lain.

(1) Teknik Analitik

Teknik analitik sering disebut juga teknik ekspositori, pengkajian tokoh

cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan

secara langsung watak tokohnya. Pada teknik ini pengarang langsung

menggambarkan watak tokoh dan ada tiga dimensi yang dikaji jika

memakai teknik analitik.

a. Dimensi fisiologi

Contoh: usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka,dan lain-

lain.

Dia (Romlah) itu kan anak perempuan, kok malah kamu yang terus-terusan bikin sarapan? Baru tiga bulan kamu pulang dari merantau, kerjaan di dapur kamu terus yang ambil alih.(dialog emak dalam drama Dapur)

Dialog di atas menjelaskan bahwa Romlah adalah seorang perempuan.

b. Dimensi sosiologi (latar belakang kemasyarakatan)

Page 21: BAB I II III DYAN

21

Contoh: status sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam

masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dan

sebagainya. Dalam drama Dapur ini, kita bisa melihat latar belakang

kemasyarakatan yang digambarkan dari dialog berikut:

Tapi Mak juga sedih. Adik kamu itu (Romlah), kerjanya besolek terus. Pergi pagi pulang malam? Aih, nak, mending kalau kuliahnya bener-bener, ini S1 saja tidak selesai-selesai. Berangkat ke kampus sudah seperti mau casting sinetron. Sudah begitu tak pula ada laki-laki yang mau. Mana mau dia ngurusin dapur, apalagi masak kayak kamu. ya Allah, ya Allah! (dialog emak)

Cuplikan dialog di atas menjelaskan bahwa Romlah berlatar

pendidikan mahasiswi yang sedang S1 yang mempunyai hobi

berdandan.

c. Dimensi psikologis (latar belakang kejiwaan)

Contoh: tempramen, mentalis, sifat, sikap dan kelakuan, tingkat

kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu, kecakapan, dan lain-lain.

Dalam naskah drama Dapur ini tokoh digambarkan berdasarkan sifat

atau karakternya. Hal ini tergambar dalam cuplikan berikut.

Pokoknya mulai besok, si Romlah yang harus bikin sarapan! Titik! (dialog emak)

Cuplikan dialog tersebut menjelaskan bahwa emak memiliki karakter

yang keras/pemarah dan cenderung tempramen.

Page 22: BAB I II III DYAN

22

(2) Teknik Dramatik

Pada teknik dramatik pengarang tidak langsung menceritakan atau

menggambarkan watak tokoh. Teknik dramatik terbagi menjadi enam cara.

a. Melihat penggambaran tokoh dalam bentuk lahir, seperti bentuk

wajah, bentuk hidung, rambut, postur tubuh, cara berpakaian,

berdandan, suka tersenyum atau cemberut, pandangan tajam atau

melotot.

b. Melihat pelukisan jalan pikiran, seperti memperhatikan saat tokoh

berdialog dengan dirinya sendiri mengenai suatu hal, misalnya tentang

hidup, kematian, cinta, agama dan Tuhan.

c. Melihat reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, yaitu bagaimana reaksi

tokoh terhadap kejadian-kejadian yang menimpanya, misalnya apakah

ia tertawa, menangis, mengeluh, putus asa, atau tetap tabah.

d. Melihat lingkungan tokoh seperti melihat kamar si tokoh, pembaca

akan tahu apakah ia seorang yang malas, rajin, atau jorok.

e. Memperhatikan pandangan tokoh terhadap tokoh lain. Dari sini dapat

terlihat watak pelaku dari hasil pembicaraannya dengan tokoh lain,

misalnya perkataan tokoh terhadap tokoh lain dapat dijadikan cermin

untuk mengetahui karakter pelaku tersebut.

f. Memperhatikan pandangan tokoh terhadap tokoh lain, misalnya tokoh

drama tersebut menurut pandangan tokoh lain adalah orang yang

berkelakuan baik atau buruk.

Page 23: BAB I II III DYAN

23

F. Pengertian Alur

Alur merupakan rangkaian peristiwa atau sekelompok peristiwa yang saling

berhubungan secara kausalitas dan akan menunjukkan sebab akibat. Jika

hubungan kausalitas peristiwa terputus dengan peristiwa yang lain, dapat

dikatakan alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki

kausalitas sesama peristiwa yang ada di dalam naskah.

Alur merupakan suatu keseluruhan peristiwa di dalam naskah. Alur adalah

rangkaian peristiwa yang sambung menyambung dalam sebuah cerita

berdasarkan logika sebab akibat. Dalam sebuah cerita terdapat berbagai

peristiwa. Peristiwa-peristiwa itu berkaitan satu sama lain. Rangkaian peristiwa

itulah yang membentuk alur atau jalan cerita (Wiyanto, 2005:79).

Alur adalah urutan peristiwa yang berhubungan secara kausalitas. Hubungan

antarperistiwa yang dikisahkan itu harus bersebab akibat dan tidak hanya

secara kronologis saja (Soemanto dalam Forster, 1972 : 48-50). Pendapat lain

mengatakan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun

kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu

disebabkan atau menyebabkan peristiwa lain (Nurgiyantoro dalam Stanton,

1965:14).

G. Kaidah Pengaluran

Di dalam usaha pengembangan suatu alur pengarang juga memiliki kebebasan

kreativitas, tetapi kebebasan itu tetap mempunyai sebuah aturan atau kaidah.

Kaidah-kaidah pengaluran yang dimaksud meliputi masalah plausabilitas

Page 24: BAB I II III DYAN

24

(plausability), adanya kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense), dan

kepaduan (unity) (Nurgiyantoro dalam Kenny, 1966:19-22).

1. PlausabilitasAlur dalam sebuah cerita harus memiliki sifat plausibel yakni dapat dipercaya oleh pembaca atau penikmat karya sastra. Plausabilitas dikaitkan dengan realitas kehidupan atau sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. Jadi, sebuah cerita yang mencerminkan realitas kehidupan, sesuai atau tidak bertentangan dengan sifat-sifat dalam kehidupan nyata.

2. SuspenseSebuah cerita yang baik pasti memiliki kadar suspense yang tinggi dan terjaga atau mampu membangkitkan rasa ingin tahu di hati pembaca. Apabila rasa ingin tahu pembaca mampu dibangkitkan dan terus terjaga di dalam sebuah cerita, itu artinya cerita tersebut menarik perhatiannya.

3. SurpriseAlur sebuah cerita yang menarik tidak hanya mampu mmbangkitkan rasa ingin tahu pembaca, akan tetapi juga harus mampu memberikan surprise atau kejutan. Alur sebuah karya sastra dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan itu menyimpang atau bertentangan dengan harapan si pembaca (Nurgiyantoro dalam Abrams, 1981:138).

4. KesatupaduanKesatupaduan atau keutuhan dalam sebuah karya mengandung pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan yang mengandung konflik seluruhnya memilikiketerkaitan satu dengan yang lain. Ada benang-benang merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita tersebut sehingga seluruhnya dapat dirasakan sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu.

H. Penahapan Alur

Alur dalam sebuah cerita harus bersifat padu (unity). Untuk memperoleh

keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah alur

haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (midle), dan tahap

akhir (end) (Nurgiyantoro, 1998:142-145).

Page 25: BAB I II III DYAN

25

1. Tahap AwalTahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.

2. Tahap TengahTahap tengah cerita dapat disebuut tahap pertikaian yang menampilkan pertentangan atau konflik. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik atau pertentangan yang terjadi antartokoh cerita, antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis.

3. Tahap AkhirTahap akhir sebuah cerita disebut juga tahap peleraian. Pada bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita.

Ada tahapan lain yang dikemukakan oleh Tasrif (dalam Mochtar Lubis,

1978:10) yaitu membedakan tahapan alur menjadi lima bagian.

(1)Tahap situation (situasi)Tahap ini merupakan pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain.

(2)Tahap generating circumstances (pemunculan konflik)Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik pada tahap berikutnya.

(3)Tahap rising action (peningkatan konflik)Tahap ini konflik yang telah dimunculkan di tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.

(4)Tahap climax (klimaks)Konflik atau pertentangan terjadi dan mencapai titik intensitas puncak.

(5)Tahap denoument (penyelesaian)Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.

Pada dasarnya alur atau plot memiliki tiga tahapan (a) protasis ; bagian

perkenalan atau eksposisi drama , (b) apitasis ; bagian krisis atau klimaks , (c)

katastasis ; bagian peleraian atau penutup. Kemudian alur mengalami

perkembangan menurut Asul Wiyanto (2002:25) , sebagai berikut:

Page 26: BAB I II III DYAN

26

a.    EksposisiTahap eksposisi ini disebut tahap perkenalan

b.    KonflikTahap konflik berarti pemain drama sudah terlibat dalam persoalan pokok. Pada tahap ini mulai ada insiden. Insiden inilah yang memulai plot drama.

c.    KomplikasiPada tahap komplikasi, insiden kemudian berkembang menimbulkan konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet. Banyak persoalan yang kait-mengait, tetapi semuanya masih tanda Tanya.

d.   KrisisPada tahap  ini berbagai konflik sampai pada puncaknya (klimaks)

e.    ResolusiPada tahap ini dilakukan penyelesaian konflik-konflik.

I. Pembedaan Alur

Alur dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan

sudut-sudut tinjauan pada kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan.

a. Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu(1)Alur Lurus / Progresif

Apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis atau runtut. Alur progresif biasanya menunjukkan kesederhanaan dalam penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti.

(2)Alur Sorot Balik / FlashbackAlur ini disebut juga alur regresif yaitu urutan kejadian yang dikisahkan tidak bersifat kronologis. Cerita mungkin dimulai dari tahap tengah atau akhir baru kemudian tahap awal cerita.

(3)Alur CampuranApabila dalam sebuah cerita kedua alur baik progresif dan regresif digunakan secara bergantian.

b. Berdasarkan Kriteria Jumlah(1)Alur Tunggal

Alur tunggal sering digunakan jika pengarang ingin memfokuskan dominasi seorang tokoh tertentu sebagai pahlawan.

(2)Alur SubplotSubplot sesuai dengan namanya, hanya merupakan bagian dari alur utama. Subplot berisi cerita “kedua”yang ditambahkan dan bersifat memperjelas, memperluas pandangan kita terhadap alur utama dan mendukung efek keseluruhan cerita (Nurgiyantoro dalam Abrams, 1981:138).

c. Berdasarkan Kriteria Kepadatan(1)Alur Padat

Page 27: BAB I II III DYAN

27

Alur padat dijumpai pada cerita yang memiliki pelaku lebih sedikit sehingga hubungan antar pelaku erat. Tiap-tiap rinciannya, tiap-tiap tokoh, lakuan, dan peristiwanya merupakan bagian vital dan integral.

(2)Alur LonggarHubungan tokoh longgar karena banyak pelaku, selain itu hubungan peristiwa-peristiwa longgar, seolah-olah peristiwa itu berdiri sendiri. Bila salah satu peristiwa hilang cerita pokoknya masih dapat dipahami.

d. Berdasarkan Kriteria Isi(1)Alur Peruntungan

Alur peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan, yang menimpa tokoh (utama) cerita yang bersangkutan.

(2)Alur TokohanAlur tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjadi fokus perhatian.alur tokohan lebih banyak menyoroti keadaan tokoh daripada kejadian-kejadian yang ada.

(3)Alur pemikiranAlur pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan.

e. Secara sederhana alur drama terbagi menjadi lima tahap.(1)Eksposisi, tahap ini mengisahkan tentang kejadian yang telah terjadi

dan yang sedang terjadi.(2)Komplikasi, tahap ini adalah awal mula ketegangan dihadirkan.

Ketegangan akan menaik, lambat, atau cepat.(3)Klimaks, tahap ini adalah tegangan tikaian atau konflik mencapai

puncaknya.(4)Resolusi, tahap ini konflik telah memeroleh peleraian. Tegangan akibat

terjadinya konflik telah menurun.(5)Keputusan/denoument, ini adalah tahap penyelesaian.

J. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra di sekolah bukan “membentuk” siswa menjadi sastrawan

atau ahli sastra, melainkan “hanya” membimbing siswa agar dapat memahami,

menikmati, menulis, serta mengapresiasi karya sastra (Wiyanto, 2005:1).

Begitu pula dengan pembelajaran sastra yang berupa drama. Pemilihan materi

drama di sekolah harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan

perkembangan psikologi siswa. Seorang guru sangat diperlukan untuk

Page 28: BAB I II III DYAN

28

membimbing, memperkenalkan, dan membuat siswa menyenangi dan

menggemari drama, karena selain merupakan gabungan dari pelajaran sastra

dan keterampilan berbahasa (menyimak, menulis, membaca, berbicara) drama

juga dapat mengantarkan siswa menuju kedewasaannya dengan melatih mereka

untuk mengalami berbagai pengalaman hidup manusia dalam naskah yang

dibawakan.

Guru drama hendaknya mampu memperkenalkan drama kepada siwa,

kemudian membimbing apresiasi drama, membuat mereka menyenangi,

menggemari, dan menjadikan drama sebagai salah satu bagian yang

menyenangkan dalam kehidupan mereka.

Tujuan pokok pembelajaran sastra di sekolah adalah membina apresiasi anak didik yaitu membina agar anak memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati, dan menghormati suatu cipta sastra. Salah satu kesimpulan Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia tahun 1966 “Pengajaran kesusastraan agar memperoleh efek sebesar-besarnya hendaklah diarahkan pada tingkat apresiasi”. Pembinaan apresiasi sastra harus dilakukan secara langsung. Siswa harus dibimbing untuk mengetahui dan menikmati keindahan cipta sastra. Selain itu, faktor guru sebagai pelaksana perlu mendapat perhatian khusus (Jabrohim, 1994:158-160).

Page 29: BAB I II III DYAN

29

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Penelitian secara kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan

pada angka-angka, melainkan mengutamakan kedalaman penghayatan

terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris (Semi,

1993:23).

Dengan metode deskriptif kualitatif ini, peneliti memberikan gambaran yang

objektif tentang keadaan yang sebenarnya serta diperkuat dengan interpretasi

tentang penokohan dan alur dalam naskah drama Dapur karya Fitri Yani dan

implikasinya pada pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama Dapur karya Fitri

Yani.

C. Prosedur Penelitian

Dalam menganalisis naskah Dapur karya Fitri Yani, penulis menggunakan

prosedur penelitian sebagai berikut:

Page 30: BAB I II III DYAN

30

1. Membaca dan memahami naskah drama Dapur karya Fitri Yani secara

keseluruhan

2. Mencatat dialog-dialog penting yang berhubungan dengan penokohan dan

alur dalam naskah drama Dapur karya Fitri Yani

3. Menyimpulkan dan memaparkan penokohan dan alur dalam naskah drama

Dapur karya Fitri Yani

4. Menghubungkan hasil penelitian dengan pembelajaran sastra di Sekolah

Menengah Atas (SMA).

D. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data secara analitik

dan dramatik untuk menganalisis terkait penokohan, menurut Nurgiyanto

sebagai berikut:

1. Cara analitik

Membaca secara langsung keterangan pengarang mengenai penokohan dan

alur. Antara lain dengan pengamatan dimensi fisiologis, sosiologis dan

psikologis.

2. Cara dramatik

a. melihat penggambaran tokoh dalam bentuk lahir, seperti bentuk

wajah, hidung, rambut, postur tubuh, cara berpakaian, berdandan, suka

tersenyum, atau cemberut, pandangan tajam atau suka melotot

b. melihat pelukisan jalan pikiran seperti memperhatikan saat tokoh

berdialog dengan dirinya sendiri mengenai sesuatu hal, misalnya

tentang hidup, kematian, cinta, agama, dan Tuhan.

Page 31: BAB I II III DYAN

31

c. melihat reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, mislnya apakah ia

tertawa, menangis, mengeluh, putus asa, atau tabah

d. melihat lingkungan tokoh seperti dengan melihat kamar si tokoh,

pembaca akan tahu apakah ia rajin atau jorok.

e. memperhatikan dialog tokoh dengan tokoh lain

f. menghubungkan penokohan dengan kurikulum KTSP dan

pembelajaran sastra khususnya drama di Sekolah Menengah Atas

(SMA)

Sedangkan untuk menganalisis alur, maka penulis akan menggunakan tahapan

alur seperti yang dikemukakan Asul Wiyanto (2002:25) , sebagai berikut:

a.     Eksposisi

Tahap eksposisi ini disebut tahap perkenalan

b.     Konflik

Tahap konflik berarti pemain drama sudah terlibat dalam persoalan pokok.

Pada tahap ini mulai ada insiden. Insiden inilah yang memulai plot drama.

c.    Komplikasi

Pada tahap komplikasi, insiden kemudian berkembang menimbulkan

konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet. Banyak persoalan yang

kait-mengait, tetapi semuanya masih tanda Tanya.

d.    Krisis

Pada tahap  ini berbagai konflik sampai pada puncaknya (klimaks)

e.    Resolusi

Pada tahap ini dilakukan penyelesaian konflik-konflik.

Page 32: BAB I II III DYAN

32

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin.1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung. Sinar baru

Hasanuddin,1996, Drama Karya Dalam Dua Dimensi, Bandung,Angkasa

Jabrohim. 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

M. Atar. 1993. Metode Penelitian Satra. Bandung. Angkasa

Mulyasa, Dr. E, M.Pd , 2009.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,, Bandung

Nurgiyantoro dr burhan, 1998.Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta

Soemanto Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta. media pressindo

Tambajong Japi.1981. Dasar-Dasar Drama Turgi.Bandung. Pustaka Prima

Wiyanto asul 2005, , Kesusastraan Sekolah Jakarta,Pt Grasindo