Upload
anas-anshori
View
94
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya (Semi, 1984: 2). Karya sastra diciptakan oleh pengarang tidak
semata-mata mengandalkan bakat dan kemahiran berekspresi, tetapi lebih dari
itu, melalui karya sastra seorang pengarang melukiskan keadaan dan
kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide, gagasan, serta
nilai-nilai yang diamanatkan melalui tokoh cerita (Yulita, 2009:1).
Drama merupakan salah satu karya sastra. Drama berbeda dengan novel atau
karya fiksi lainnya, sebuah drama hanya terdiri dari dialog; yang mungkin ada
penjelasannya, tapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan
pedoman oleh sutradara. Tidak adanya narasi dalam drama digantikan oleh
akting pemain di pentas. Drama berasal dari bahasa prancis yaitu drane yang
pada mulanya untuk menceritakan lakon-lakon kelas menengah. Dalam istilah
yang lebih kuat drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang
punya arti penting –meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak
bahagia- tapi tidak bertujuan mengagungkan logika. Drama adalah salah satu
seni bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya (Soemanto,
2001:3).
2
Pembelajaran drama merupakan bagian yang erat dari pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di sekolah menengah atas (SMA). Hal ini sesuai dengan
KTSP, untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia khususnya dalam kemampuan
bersastra. Belajar bersastra pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat
Sekolah Menengah Atas sama halnya dengan belajar berbahasa yaitu
mencakup aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Keterampilan menyimak diperoleh pada saat para siswa mendengarkan
pembacaan puisi, berdeklamasi, pertunjukan monolog, dan pertunjukan
drama. Kecermatan keterampilan menyimak ini sangat diperlukan. Salah
dengar terhadap salah satu atau dua patah kata saja bisa mengakibatkan salah
tangkap apa yang ditampilkan. Sebaliknya, keterampilan berbicara terutama
diperoleh pada saat siswa membaca puisi, membaca monolog, atau berpentas
drama di depan kelas.
Keterampilan membaca berkaitan dengan kelancaran bacaan.
Ketepatan penempatan jeda dan keserasian intonasi dengan isi kalimat.
Selain itu, siswa mendapatkan pengalamaan penciptaan dalam
pengajaran sastra. Siswa akan diberi kesempatan unuk mencipta sendiri,
baik berupa puisi, cerpen dan naskah drama pendek. Kesempatan
mencipta ini berguna bagi keterampilan menulis dan berpengaruh bagi
pembinaan apresiasinya, sebab pengalaman penciptaan secara langsung
banyak berpengaruh untuk usaha mendapatkan pengalaman puitik
(Jabrohim, 1994:9-10).
3
Kegiatan mengapresiasi sastra terutama drama yang dilakukan oleh para
siswa diharapakan mampu membina kepribadian, perilaku dan budi pekerti
siswa. Agar mereka memiliki sikap positif terhadap hasil karya sastra yang
diciptakan oleh orang lain dan mampu mengambil sikap dengan bijaksana
atas suatu drama yang mereka saksikan. Setidaknya mereka dapat
mengungkapkan berbagai pikiran dan gagasan melalui bahasa sastra. Hal ini
dapat membantu terbukanya peluang berkembangnya kesastraan Indonesia.
Namun semua itu tidak luput dari peran seorang guru dalam pengajaran di
kelas, maka tugas guru yang penting adalah sebagai informator, fasilitator,
dan moderator. Artinya, seorang guru hanya sebagai “penunjuk jalan” bagi
para siswa yang sedang bertamasya di taman sarinya karya sastra (Jabrohim
dalam Suharianto, 1994:21).
Di dalam pengajaran sastra termasuk drama, guru dan siswa bersama-sama
menelusuri dan menjelajahi karya sastra sesuai dengan taraf masing-masing.
Oleh karena itu, sesuai dengan tugasnya sebagai penunjuk jalan, seorang guru
harus tahu benar lika-liku jalan dan menguasai berbagai obyek yang menjadi
perhatian siswa. Dengan kata lain, seorang guru harus benar-benar
mempunyai pengalaman, pendidikan, dan keterampilan yang lebih
dibandingkan siswanya.
Proses dan metode pengajaran sastra juga mempunyai peranan penting.
Seorang guru tidak hanya mampu menjabarkan atau menjelaskan pengertian
sastra, macam-macam sastra, nama pengarang sastra, dan lain-lain. Metode
seperti itu terkesan monoton sehingga murid kurang tertarik untuk
4
mempelajari sastra. Guru harus dapat membantu mengembangkan akal siswa,
yakni dengan mengapresiasi sebuah karya sastra sehingga siswa dapat
memahami dan lebih menghargai sebuah karya sastra.
Tujuan pembelajaran sastra bukan membentuk siswa menjadi sastrawan atau
ahli sastra, melainkan hanya membimbing siswa agar dapat memahami,
menikmati, dan menulis karya sastra serta mengapresiasi karya sastra
(Wiyanto, 2005 : viii).
Kegiatan mengapresiasi karya sastra adalah kegiatan yang membutuhkan
keterlibatan hati secara serius terhadap objek yang dinikmati. Usaha untuk
menumbuhkan keseriusan dan pemahaman dalam mengapresiasi sebuah
karya sastra adalah dengan jalan menikmati, memberikan sifat positif, dan
menganggapnya sebagai suatu kerja yang menyenangkan. Setidaknya ada
rasa ingin mengetahui apa yang terdapat dalam keunikan karya sastra
tersebut. Begitu pula dengan pembelajaran drama. Dengan mengapresiasi
drama sebagai salah satu karya sastra, diharapakan mampu meningkatkan
kesenangan siswa dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Memberikan apresiasi terhadap sebuah drama penting untuk terlebih dahulu
mengetahui unsur-unsur intrinsik drama. Unsur-unsur intrinsik drama
meliputi: tema, penokohan, alur atau plot, latar atau setting, dan amanat.
Salah satu naskah drama yang menurut peneliti layak untuk dikaji adalah
naskah drama berjudul “Dapur” karya Fitri Yani. Fitri Yani merupakan salah
satu sastrawan Lampung yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas
5
Lampung. Fitri yani merupakan salah satu dari tiga sastrawan Lampung yang
dipilih Kurator untuk menjadi peserta TSI (Temu Sastrawan Indonesia) di
Ternate, Maluku Utara pada Oktober- Desember 2011. Fitri Yani dilahirkan
di Lampung Timur pada 28 Februari 1986. Beliau pernah menjadi anggota
UKM BS (Bidang Seni) dan bergabung dengan teater kurusetra dan teater
Berkat Yakin (KoBer). Beliau menulis sajak dan naskah panggung (drama).
Sajaknya terpilih sebagai salah satu dari 60 sajak terbaik Indonesia (2009
Pena Kencana Award) dan salah satu dari lima sajak terbaik (Radar Bali
Literary Award 2009). Beliau juga menulis puisi bertajuk “Dermaga Tak
Bernama” yang telah dipublikasikan pada tahun 2010.
Salah satu naskah drama yang ditulis oleh Fitri Yani adalah “Dapur”. Drama
ini mengisahkan tentang Dapur yang bagi sebagian masyarakat merupakan
tempat yang sakral, simbol eksistensi sebuah rumah tangga. Seperti halnya
pepatah “jika perempuan jauh dari dapur, ia tak akan bisa membangkitkan
selera lahir dan batin dalam rumah tangga”, maka naskah ini mencoba
menggambarkan bagaimana dapur memiliki makna yang begitu penting pada
kehidupan keluarga dan perempuan. Dapur bukanlah tempat di mana
perempuan tak berdaya. Ada banyak kekuatan yang dimiliki perempuan
dengan menjadi menejer di dapur, menjadi pemimpin dalam mempersiapkan
hidangan bagi keluarga. Dan apa jadinya ketika laki- laki mencoba
menjadikan dapur sebagai bagian dari wilayahnya.
Beberapa alasan mengapa memilih naskah dapur yang menjadi objek
penelitian adalah karena tokoh utama yang diangkat melihat fenomena masa
6
kini yang wilayah perempuan sudah banyak diambil alih oleh laki-laki.
Sedangkan hal tersebut adalah konsekuensi dari kehidupan modern. Tidak
ada salahnya jika laki- laki menjadi koki, karena koki pun sekedar profesi,
sama seperti dosen, pegawai, tukang becak, dan lain- lain. Naskah ini
menejelaskan tentang pekerjaan wanita yang juga bisa dikerjakan oleh
seorang laki- laki. Sedangkan di dalam rumah tangga sendiri, wanita yang
menjadi sorotan utama urusan dapur. Naskah “Dapur” ini juga berbicara
tentang emansipasi wanita yang juga masih menjadi perbincangan hangat
bangsa Indonesia di desa maupun di kota. Naskah ini menceritakan tentang
kakak Udin yang memilih menjadi wanita karir yang kemudian memberikan
efek domino bagi kondisi rumah tangganya. Di akhir naskah drama ini,
ditunjukan bagaimana kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis karena
adanya disfungsionalisasi wilayah perempuan. Secara keseluruhan naskah ini
ingin menekankan bahwa, jika wanita tidak berada di dapur (berada di
wilayahnya) rumah tangga tak akan berjalan dengan baik.
Peneliti merasa sangat tertarik untuk memilih drama ini sebagai drama yang
akan diajadikan objek penelitian. Hal ini karena drama ini menceritakan
tentang isu yang sensitif dan masih terus hangat di kalangan perempuan
bahkan kebanyakan masyarakat (laki- laki dan perempuan), yaitu tentang
emansipasi perempuan dan peran- peran sakralnya. Di samping itu, naskah ini
ditulis oleh sastrawan yang merupakan putra daerah Lampung yang perlu
diapresiasi sebagai bentuk penghargaan atas karyanya yang turut mengangkat
nama daerah di bidang sastra nasional. Jika kebanyakan mahasiswa memilih
drama atau karya sastra lainnya yang merupakan hasil dari sastrawan nasional
7
(di luar daerah lampung), maka peneliti memilih sastrawan dari daerah sendiri
yaitu, Lampung. Dan dalam penelitian ini, peneliti hendak mengkaji drama
tersebut dari segi penokohan dan alur.
Penelitian tentang penokohan dan alur pada sebuah karya sastra sudah ada
yang melakukan sebelumnya. Berikut ini beberapa hasil penelitian terdahulu
yang berkaitan dengan analisis unsure- unsur interistik dalam drama:
Nama Peneliti dan Tahun Penelitian
Objek Penelitian Hasil Penelitian
Herzon, 2004 Tokoh Wayan dalam Naskah Drama “Bila MalamBertambah Malam” Karya Putu Wijaya
Penokohan tokoh Wayanlebih banyak menggunakan teknik dramatik tetapi penokohan tokoh Wayan tidak mempunyai implikasi terhadap pembelajaran sastra di SMA
Feri Gunadi, 2010
Unsur- unsur Interistik dalam Naskah Drama “Dorr” Karya Putu Wijaya dan Kelayakannya dalam Pembelajaran SMA
Naskah Dorr dapat dijadikan acuan dalam pembelajran sastra di SMA
Adapun judul penelitian dalam skripsi ini adalah “Penokohan dan Alur dalam
Naskah Drama Dapur karya Fitri Yani dan Implikasinya dalam Pembelajaran
Sastra di SMA“. Peneliti akan mengarahkan penelitian ini pada usaha untuk
mengkaji implikasi naskah drama Dapur dalam Pembelajaran Sastra di SMA.
Yaitu menitik beratkan pada upaya pembuktian apakah dengan diapresiasinya
drama Dapur oleh siswa dalam hal penokohan dan alur drama tersebut, dapat
meningkatkan semangat belajar siswa terhadap pembelajaran sastra.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulis merumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah penokohan dan alur dalam naskah drama Dapur karya Fitri
Yani?
2. Bagaimanakah implikasi naskah drama Dapur karya Fitri Yani? pada
pembelajaran sastra di SMA?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan penokohan dan alur dalam naskah drama Dapur karya
Fitri Yani; dan
2. Menentukan implikasi naskah drama Dapur karya Fitri Yani dalam
pembelajaran sastra di SMA
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk:
1. Membantu peserta didik dalam menambah wawasan mengenai sastra
khususnya mengenai unsur intrinsik dalam naskah drama.
2. Sebagai acuan dalam pembelajaran sastra di sekolah khususnya yang
menyangkut unsur intrinsik dalam naskah drama oleh pengajar.
9
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada dua unsur intrinsik naskah drama saja, yaitu
penokohan dan alur dalam naskah drama Dapur karya Fitri Yani dan
implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Sumber data penelitian
diperoleh dari sebuah naskah drama Dapur karya Fitri Yani.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Drama
Pada umumnya drama menampilkan beberapa tokoh yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga membentuk kisah
atau alur cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita tersebut digambarkan pengarang
sebagai manusia hidup di dunia nyata, artinya tokoh-tokoh tersebut
digambarkan hidup dalam masyarakat yang memiliki tatanan hidup
bermasyarakat. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media, seperti di
atas panggung, film, dan televisi. Drama juga sering dikombinasikan dengan
musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera.
Beberapa toko mendefinisikan drama dengan berbagai penalaran. Antara lain
sebagai berikut.
Drama berasal dari bahasa prancis yaitu drane yang pada mulanya untuk menceritakan lakon-lakon kelas menengah. Dalam istilah yang lebih kuat drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak bahagia- tapi tidak bertujuan mengagungkan logika. Drama adalah salah satu seni bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya (Soemanto, 2001:3).
Definisiyang diberikan oleh Soemanto lebih menekankan drama sebagai
proses bercerita secara langsung melalui gerak tubuh dan dialog lisan, dengan
11
lakon serius dari para tokohnya untuk menyampaikan secara langsung tentang
suatu pesan.
Drama adalah salah satu bentuk seni yang bercerita lewat percakapan atau dialog dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action (Soemanto, 2001:1). Pernyataan lain dikemukakan bahwa drama sebagai genre sastra yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan tujuan untuk dipentaskan sebagai seni pertunjukan (Hassanuddin, 1996:7).
Sedangkan Hassanudin lebih menekankan drama sebagai cerita dalam bentuk
dialog verbal dan non verbal untuk sebuah pertunjukan seni.
Istilah lain bahwa sebuah drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak bahagia, akan tetapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Bagaimanapun juga di dalam jagad modern, istilah drama sering diperluas hingga mencakup semua lakon serius, termasuk tragedi dan lakon absurd (Soemanto, 2001:3).
Drama merupakan salah satu bentuk kesusastraan, namun cara penyajian drama berbeda dari bentuk kesusastraan lainnya. Novel, cerpen, dan balada masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antara dialog dan narasi, sedangkan sebuah drama hanya terdiri atas dialog-dialog dan ada penjelasan sedikit untuk dijadikan pedoman oleh sutradara bila drama tersebut dipentaskan (Soemanto, 2001:3-4).
Dari beberapa pengertian drama di atas, terlihat bahwa drama tidak hanya
menjadi sebuah karya seni yang dapat dijadikan hiburan atau tontonan
semata, tetapi drama memang berisi masalah kehidupan dan kemanusiaan
yang tidak terlepas dari aspek-aspek sosial masyarakat dalam hubungan
manusia dengan manusia lainnya. Drama menyajikan aspek-aspek perilaku
manusia terhadap jenisnya dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan.
12
Contohnya masalah perasaan sayang, cinta, benci, dendam, ketulusan,
kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.
Drama merupakan alat komunikasi sosial dalam masyarakat. Melalui drama,
manusia dapat menemukan masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya
kemudian menjadikannya sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, dan
pengetahuan untuk berbuat sesuatu secara lebih baik. Hal ini merupakan
salah satu fungsi dan peranan drama meskipun ada juga masyarakat tertentu
yang menganggap drama sebagai milik sekelompok masyarakat tertentu yang
memahami arti suatu karya seni. Sebaiknya tidaklah demikian, karena karya
seni dalam bentuk apapun hendaknya dirasakan sebagai milik masyarakat. Ia
memerlukan interpretasi dan apresiasi sehingga nilai-nilai kehidupan yang
ada di dalamnya dapat dipahami dan menjadi pedoman.
Dari bermacam-macam definisi drama ada satu hal yang tetap dan menjadi
ciri drama yaitu penyampaiannya yang dilakukan dalam bentuk dialog atau
action yang dilakukan para tokohnya. Hal ini sejalan dengan tujuan penelitian
saya tentang penokohan dan alur yang akan digali dari percakapan para tokoh
dalam naskah drama Dapur karya Fitri Yani.
B. Dialog
Di dalam sebuah drama,dialog merupakan sarana primer, sehingga dialog
merupakan situasi bahasa utama di dalam drama (Hassanudin, 1996:15).
13
Secara universal, dialog sebagai sarana primer di dalam drama yang berfungsi sebagai wadah bagi pengarang untuk menyampaikan informasi, menjelaskan fakta atau ide-ide utama. Dialog memberikan kejelasan watak dan perasaan tokoh atau pelaku. Kalimat-kalimat atau kata-kata yang diujarkan oleh para pelaku akan memberikan gambaran-gambaran tentang watak, sifat, ataupun perasaan masing-masing tokoh. Seseorang yang berwatak bengis, kasar, baik, sabar, dan sebagainya bisa diketahui melalui dialog. Kondisi psikis seperti senang, sedih, gembira, cemburu juga bisa diketahui melalui dialog (Hasanuddin 1996 : 21-22).
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Fergusson dan Astone bahwa drama
bergantung penuh pada dialog. Dialog harus berupaya melukiskan suasana,
perwatakan, konflik, dan klimaks (Dewojati, 2010:175). Jadi, peranan dialog
ini sangat penting dalam sebuah drama. Dialog inilah yang membedakan
karya sastra drama dengan karya sastra lainnya yang berbentuk prosa. Dari
dialog atau cakapan antar tokoh tersebut cerita dirangkai, konflik
ditumbuhkan, dan perwatakan dikembangkan. Melalui dialog tersebut pula,
penulis bisa meneliti dan mendeskripsikan penokohan dan alur dalam naskah
drama Dapur karya Fitri Yani.
C. Penokohan
Salah satu unsur penting dalam karya naratif adalah tokoh dan penokohan.
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya. Tokoh cerita atau karakter adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan
(Nurgiyantoro dalam Abrams, 1981:20).
14
Sedangkan penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu
dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita adalah pelukisan gambaran
yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita
(Nurgiyantoro dalam Jones, 1968:33).
Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh, sebab dalam
penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Hal-hal yang berkaitan dengan penokohan yakni penamaan, pemeranan,
keadaan fisik tokoh (aspek fisiologis), keadaan sosial tokoh (aspek
sosiologis), serta karakter tokoh ini saling berhubungan dalam upaya
membangun permasalahan-permasalahan atau konflik kemanusiaan yang
merupakan syarat utama sebuah drama (Hasanuddin:75-76). Di dalam sebuah
drama, aspek-aspek ini terkesan lebih jelas dan tegas dibandingkan dengan
fiksi.
1. Penamaan
Penamaan yaitu pemberian nama pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam
drama. Nama tokoh merupakan suatu sistem di dalam drama, oleh karena
itu ia membatasi ruang gerak dan perilaku, sikap, peran para tokoh dalam
melakukan motif-motif untuk membangun peristiwa, kejadian, serta
konflik-konflik.
15
2. Pemeranan
Tokoh dalam drama memiliki peran tertenu. Ada enam kategori peran
dalam drama yang dapat diwakili para tokoh untuk membangun dan
membentuk konflik.
a. Peran Lion
Peran Lion yaitu tokoh atau tokoh-tokoh pembawa ide (istilah lain
dapat disebut tokoh protagonis). Tokoh ini memperjuangkan sesuatu,
mungkin kebenaran, kekuasaan, perdamaian, cinta, dan lain-lain.
b. Peran Mars
Peran Mars yaitu tokoh yang menentang dan menghalangi peran Lion
dalam mencapai keinginan dan tujuan yang diperjuangkan tokoh peran
Lion tersebut. Peran Mars ini dalam istilah lain disebut tokoh antagonis.
c. Peran Sun
Peran Sun yaitu tokoh atau apa pun yang menjadi sasaran perjuangan
Lion dan ingin didapatkan Mars.
d. Peran Earth
Peran Earth yaitu tokoh yang menerima hasil perjuangan Lion atau
Mars.
e. Peran Scale
Peran Scale yaitu peran yang menghakimi, memutuskan, menengahi,
atau menyelesaikan konflik dan permasalahan yang terjadi di dalam
drama.
f. Peran Moon
Peran Moon yaitu peran yang bertugas sebagai penolong.
16
3. Keadaan Fisik
Keadaan fisik dalam hal ini perlu dikenal apakah tokoh itu seorang laki-
laki atau perempuan, berapa usianya, bentuk badannya, warna kulitnya,
dan sebagainya.
4. Keadaan Sosial
Keadaan sosial ini menyangkut apa pekerjaannya, agamanya, keluarganya,
keadaan ekonominya, dan keadaan lingkungannya.
5. Karakter/Watak
Karakter atau watak adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh tokoh dalam
drama. Berdasarkan perwatakannya, tokoh dapat dibedakan menjadi dua
yakni watak pipih (simple character) dan watak bulat (round character)
(Nurgiyantoro, 1998:181).
(1) Watak pipih adalah watak yang mencerminkan tokoh sederhana,
memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu
saja. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan
efek kejutan bagi pembaca.
(2) Watak bulat adalah watak yang mencerminkan tokoh yang kompleks,
tokoh yang berwatak bulat dapat saja memiliki watak tertentu yang
dapat diformulasikan, namun ia dapat menampilkan watak dan
tingkah laku bermacam-macam bakanlan mungkin bertentangan dan
sulit diduga.
17
D. Pembedaan Tokoh
Membaca sebuah karya fiksi, baik novel, cerpen, maupun naskah drama,
pembaca akan dihadapkan dengan sejumlah tokoh yang dihadirkan. Tokoh-
tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
berdasarkan dari sudut ana penamaan itu dilakukan.
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah
cerita, ada tokoh penting dan ditampilkan terus-menerus dan ada tokoh
yang hanya beberapa kali saja dimunculkan. Tokoh yang sering
dimunculkan dalam sebuah cerita atau tokoh yang mendominasi dalam
sebuah cerita disebut tokoh utama (central characer/main character),
sedangkan tokoh yang hanya sekali atau beberapa kali saja dimunculkan
adalah tokoh tambahan (peripheral character).
b. Tokoh Protagonis, Tokoh Antagonis, dan Tokoh Tritagonis
Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dalam sebuah cerita, maka
tokoh dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, tokoh protagonis
adalah tokoh yang dikagumi atau lebih sering dikatakan tokoh hero
(jagoan). Peran protagonis harus mewakili hal-hal positif dalam
kebutuhan cerita. Peran ini biasanya cenderung menjadi tokoh yang
disakiti, baik, dan menderita sehingga akan menimbulkan simpati bagi
penontonnya. Peran protagonis ini biasanya menjadi tokoh sentral, yaitu
tokoh yang menentukan gerak adegan. Kedua, tokoh antagonis Peran
antagonis adalah kebalikan dari peran protagonis. Peran ini adalah peran
18
yang harus mewakili hal-hal negatif dalam kebutuhan cerita. Peran ini
biasanya cenderung menjadi tokoh yang menyakiti tokoh protagonis. Dia
adalah tokoh yang jahat sehingga akan menimbulkan rasa benci atau
antipasti penonton. Ketiga, tokoh tritagonis Peran tritagonis adalah peran
pendamping, baik untuk peran protagonis maupun antagonis. Peran ini
bisa menjadi pendukung atau penentang tokoh sentral, tetapi juga bisa
menjadi penengah atau perantara tokoh sentral. Posisinya menjadi
pembela tokoh yang didampinginya. Peran ini termasuk peran pembantu
utama.
c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu atau sifat-sifat tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Berbeda dengan tokoh sederhana, tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena selain memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga
d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami
perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya
peristiwa-peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro dalam Altenbernd &
Lewis, 1966:58). Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relatif
tetap, tak berkembang sejak awal sampai akhir cerita. tokoh berkembang
19
adalah tokoh cerita yahng mengalami perubahan dan perkembangan
sejalan dengan berkebangnya peristiwa atau alur cerita.
e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap
sekelompok manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan
menjadi dua. Pertama, tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit
ditampilkan keadaan individualitasnnya dan lebih banyak ditonjolkan
kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Nurgiyantoro dalam Altenbernd
& Lewis, 1966:60).
Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan
terhadap orang atau sekelompok orang yang terkait dalam sebuah
lembaga atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga yang
ada di dunia nyata.
Kedua, tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan
bereksistensi dalam dunia fiksi.ia hadir atau dihadirkan semata-mata
demi cerita bahkan dialah sebenarnya yang punya cerita, pelaku cerita,
dan yang diceritakan.
E. Teknik Pengkajian Tokoh
Teknik penokohan adalah teknik yang digunakan penulis naskah lakon,
sutradara, atau pemain dalam penampilan atau penempatan tokoh-tokoh
wataknya dalam drama. Teknik penokohan dilakukan dalam rangka
20
menciptakan citra tokoh cerita yang hidup dan berkarakter. Secara garis besar
teknik pengkajian tokoh dalam suatu karya sastra dibedakan ke dalam dua cara
atau teknik yaitu teknik analitis (pengkajian secara langsung) dan teknik
dramatik (pengkajian secara tak langsung) (Nurgiyantoro, 1998:194).
Pada umumnya, pengarang memilih cara campuran dengan menggunakan
teknik secara langsung dan tak langsung. Hal itu dirasa lebih menguntungkan
karena kelemahan masing-masing teknik dapat ditutup dengan teknik yang
lain.
(1) Teknik Analitik
Teknik analitik sering disebut juga teknik ekspositori, pengkajian tokoh
cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan
secara langsung watak tokohnya. Pada teknik ini pengarang langsung
menggambarkan watak tokoh dan ada tiga dimensi yang dikaji jika
memakai teknik analitik.
a. Dimensi fisiologi
Contoh: usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka,dan lain-
lain.
Dia (Romlah) itu kan anak perempuan, kok malah kamu yang terus-terusan bikin sarapan? Baru tiga bulan kamu pulang dari merantau, kerjaan di dapur kamu terus yang ambil alih.(dialog emak dalam drama Dapur)
Dialog di atas menjelaskan bahwa Romlah adalah seorang perempuan.
b. Dimensi sosiologi (latar belakang kemasyarakatan)
21
Contoh: status sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam
masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dan
sebagainya. Dalam drama Dapur ini, kita bisa melihat latar belakang
kemasyarakatan yang digambarkan dari dialog berikut:
Tapi Mak juga sedih. Adik kamu itu (Romlah), kerjanya besolek terus. Pergi pagi pulang malam? Aih, nak, mending kalau kuliahnya bener-bener, ini S1 saja tidak selesai-selesai. Berangkat ke kampus sudah seperti mau casting sinetron. Sudah begitu tak pula ada laki-laki yang mau. Mana mau dia ngurusin dapur, apalagi masak kayak kamu. ya Allah, ya Allah! (dialog emak)
Cuplikan dialog di atas menjelaskan bahwa Romlah berlatar
pendidikan mahasiswi yang sedang S1 yang mempunyai hobi
berdandan.
c. Dimensi psikologis (latar belakang kejiwaan)
Contoh: tempramen, mentalis, sifat, sikap dan kelakuan, tingkat
kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu, kecakapan, dan lain-lain.
Dalam naskah drama Dapur ini tokoh digambarkan berdasarkan sifat
atau karakternya. Hal ini tergambar dalam cuplikan berikut.
Pokoknya mulai besok, si Romlah yang harus bikin sarapan! Titik! (dialog emak)
Cuplikan dialog tersebut menjelaskan bahwa emak memiliki karakter
yang keras/pemarah dan cenderung tempramen.
22
(2) Teknik Dramatik
Pada teknik dramatik pengarang tidak langsung menceritakan atau
menggambarkan watak tokoh. Teknik dramatik terbagi menjadi enam cara.
a. Melihat penggambaran tokoh dalam bentuk lahir, seperti bentuk
wajah, bentuk hidung, rambut, postur tubuh, cara berpakaian,
berdandan, suka tersenyum atau cemberut, pandangan tajam atau
melotot.
b. Melihat pelukisan jalan pikiran, seperti memperhatikan saat tokoh
berdialog dengan dirinya sendiri mengenai suatu hal, misalnya tentang
hidup, kematian, cinta, agama dan Tuhan.
c. Melihat reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, yaitu bagaimana reaksi
tokoh terhadap kejadian-kejadian yang menimpanya, misalnya apakah
ia tertawa, menangis, mengeluh, putus asa, atau tetap tabah.
d. Melihat lingkungan tokoh seperti melihat kamar si tokoh, pembaca
akan tahu apakah ia seorang yang malas, rajin, atau jorok.
e. Memperhatikan pandangan tokoh terhadap tokoh lain. Dari sini dapat
terlihat watak pelaku dari hasil pembicaraannya dengan tokoh lain,
misalnya perkataan tokoh terhadap tokoh lain dapat dijadikan cermin
untuk mengetahui karakter pelaku tersebut.
f. Memperhatikan pandangan tokoh terhadap tokoh lain, misalnya tokoh
drama tersebut menurut pandangan tokoh lain adalah orang yang
berkelakuan baik atau buruk.
23
F. Pengertian Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa atau sekelompok peristiwa yang saling
berhubungan secara kausalitas dan akan menunjukkan sebab akibat. Jika
hubungan kausalitas peristiwa terputus dengan peristiwa yang lain, dapat
dikatakan alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki
kausalitas sesama peristiwa yang ada di dalam naskah.
Alur merupakan suatu keseluruhan peristiwa di dalam naskah. Alur adalah
rangkaian peristiwa yang sambung menyambung dalam sebuah cerita
berdasarkan logika sebab akibat. Dalam sebuah cerita terdapat berbagai
peristiwa. Peristiwa-peristiwa itu berkaitan satu sama lain. Rangkaian peristiwa
itulah yang membentuk alur atau jalan cerita (Wiyanto, 2005:79).
Alur adalah urutan peristiwa yang berhubungan secara kausalitas. Hubungan
antarperistiwa yang dikisahkan itu harus bersebab akibat dan tidak hanya
secara kronologis saja (Soemanto dalam Forster, 1972 : 48-50). Pendapat lain
mengatakan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun
kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu
disebabkan atau menyebabkan peristiwa lain (Nurgiyantoro dalam Stanton,
1965:14).
G. Kaidah Pengaluran
Di dalam usaha pengembangan suatu alur pengarang juga memiliki kebebasan
kreativitas, tetapi kebebasan itu tetap mempunyai sebuah aturan atau kaidah.
Kaidah-kaidah pengaluran yang dimaksud meliputi masalah plausabilitas
24
(plausability), adanya kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense), dan
kepaduan (unity) (Nurgiyantoro dalam Kenny, 1966:19-22).
1. PlausabilitasAlur dalam sebuah cerita harus memiliki sifat plausibel yakni dapat dipercaya oleh pembaca atau penikmat karya sastra. Plausabilitas dikaitkan dengan realitas kehidupan atau sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. Jadi, sebuah cerita yang mencerminkan realitas kehidupan, sesuai atau tidak bertentangan dengan sifat-sifat dalam kehidupan nyata.
2. SuspenseSebuah cerita yang baik pasti memiliki kadar suspense yang tinggi dan terjaga atau mampu membangkitkan rasa ingin tahu di hati pembaca. Apabila rasa ingin tahu pembaca mampu dibangkitkan dan terus terjaga di dalam sebuah cerita, itu artinya cerita tersebut menarik perhatiannya.
3. SurpriseAlur sebuah cerita yang menarik tidak hanya mampu mmbangkitkan rasa ingin tahu pembaca, akan tetapi juga harus mampu memberikan surprise atau kejutan. Alur sebuah karya sastra dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan itu menyimpang atau bertentangan dengan harapan si pembaca (Nurgiyantoro dalam Abrams, 1981:138).
4. KesatupaduanKesatupaduan atau keutuhan dalam sebuah karya mengandung pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan yang mengandung konflik seluruhnya memilikiketerkaitan satu dengan yang lain. Ada benang-benang merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita tersebut sehingga seluruhnya dapat dirasakan sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu.
H. Penahapan Alur
Alur dalam sebuah cerita harus bersifat padu (unity). Untuk memperoleh
keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah alur
haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (midle), dan tahap
akhir (end) (Nurgiyantoro, 1998:142-145).
25
1. Tahap AwalTahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
2. Tahap TengahTahap tengah cerita dapat disebuut tahap pertikaian yang menampilkan pertentangan atau konflik. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik atau pertentangan yang terjadi antartokoh cerita, antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis.
3. Tahap AkhirTahap akhir sebuah cerita disebut juga tahap peleraian. Pada bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita.
Ada tahapan lain yang dikemukakan oleh Tasrif (dalam Mochtar Lubis,
1978:10) yaitu membedakan tahapan alur menjadi lima bagian.
(1)Tahap situation (situasi)Tahap ini merupakan pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain.
(2)Tahap generating circumstances (pemunculan konflik)Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik pada tahap berikutnya.
(3)Tahap rising action (peningkatan konflik)Tahap ini konflik yang telah dimunculkan di tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
(4)Tahap climax (klimaks)Konflik atau pertentangan terjadi dan mencapai titik intensitas puncak.
(5)Tahap denoument (penyelesaian)Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.
Pada dasarnya alur atau plot memiliki tiga tahapan (a) protasis ; bagian
perkenalan atau eksposisi drama , (b) apitasis ; bagian krisis atau klimaks , (c)
katastasis ; bagian peleraian atau penutup. Kemudian alur mengalami
perkembangan menurut Asul Wiyanto (2002:25) , sebagai berikut:
26
a. EksposisiTahap eksposisi ini disebut tahap perkenalan
b. KonflikTahap konflik berarti pemain drama sudah terlibat dalam persoalan pokok. Pada tahap ini mulai ada insiden. Insiden inilah yang memulai plot drama.
c. KomplikasiPada tahap komplikasi, insiden kemudian berkembang menimbulkan konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet. Banyak persoalan yang kait-mengait, tetapi semuanya masih tanda Tanya.
d. KrisisPada tahap ini berbagai konflik sampai pada puncaknya (klimaks)
e. ResolusiPada tahap ini dilakukan penyelesaian konflik-konflik.
I. Pembedaan Alur
Alur dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan
sudut-sudut tinjauan pada kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan.
a. Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu(1)Alur Lurus / Progresif
Apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis atau runtut. Alur progresif biasanya menunjukkan kesederhanaan dalam penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti.
(2)Alur Sorot Balik / FlashbackAlur ini disebut juga alur regresif yaitu urutan kejadian yang dikisahkan tidak bersifat kronologis. Cerita mungkin dimulai dari tahap tengah atau akhir baru kemudian tahap awal cerita.
(3)Alur CampuranApabila dalam sebuah cerita kedua alur baik progresif dan regresif digunakan secara bergantian.
b. Berdasarkan Kriteria Jumlah(1)Alur Tunggal
Alur tunggal sering digunakan jika pengarang ingin memfokuskan dominasi seorang tokoh tertentu sebagai pahlawan.
(2)Alur SubplotSubplot sesuai dengan namanya, hanya merupakan bagian dari alur utama. Subplot berisi cerita “kedua”yang ditambahkan dan bersifat memperjelas, memperluas pandangan kita terhadap alur utama dan mendukung efek keseluruhan cerita (Nurgiyantoro dalam Abrams, 1981:138).
c. Berdasarkan Kriteria Kepadatan(1)Alur Padat
27
Alur padat dijumpai pada cerita yang memiliki pelaku lebih sedikit sehingga hubungan antar pelaku erat. Tiap-tiap rinciannya, tiap-tiap tokoh, lakuan, dan peristiwanya merupakan bagian vital dan integral.
(2)Alur LonggarHubungan tokoh longgar karena banyak pelaku, selain itu hubungan peristiwa-peristiwa longgar, seolah-olah peristiwa itu berdiri sendiri. Bila salah satu peristiwa hilang cerita pokoknya masih dapat dipahami.
d. Berdasarkan Kriteria Isi(1)Alur Peruntungan
Alur peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan, yang menimpa tokoh (utama) cerita yang bersangkutan.
(2)Alur TokohanAlur tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjadi fokus perhatian.alur tokohan lebih banyak menyoroti keadaan tokoh daripada kejadian-kejadian yang ada.
(3)Alur pemikiranAlur pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan.
e. Secara sederhana alur drama terbagi menjadi lima tahap.(1)Eksposisi, tahap ini mengisahkan tentang kejadian yang telah terjadi
dan yang sedang terjadi.(2)Komplikasi, tahap ini adalah awal mula ketegangan dihadirkan.
Ketegangan akan menaik, lambat, atau cepat.(3)Klimaks, tahap ini adalah tegangan tikaian atau konflik mencapai
puncaknya.(4)Resolusi, tahap ini konflik telah memeroleh peleraian. Tegangan akibat
terjadinya konflik telah menurun.(5)Keputusan/denoument, ini adalah tahap penyelesaian.
J. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pembelajaran sastra di sekolah bukan “membentuk” siswa menjadi sastrawan
atau ahli sastra, melainkan “hanya” membimbing siswa agar dapat memahami,
menikmati, menulis, serta mengapresiasi karya sastra (Wiyanto, 2005:1).
Begitu pula dengan pembelajaran sastra yang berupa drama. Pemilihan materi
drama di sekolah harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan
perkembangan psikologi siswa. Seorang guru sangat diperlukan untuk
28
membimbing, memperkenalkan, dan membuat siswa menyenangi dan
menggemari drama, karena selain merupakan gabungan dari pelajaran sastra
dan keterampilan berbahasa (menyimak, menulis, membaca, berbicara) drama
juga dapat mengantarkan siswa menuju kedewasaannya dengan melatih mereka
untuk mengalami berbagai pengalaman hidup manusia dalam naskah yang
dibawakan.
Guru drama hendaknya mampu memperkenalkan drama kepada siwa,
kemudian membimbing apresiasi drama, membuat mereka menyenangi,
menggemari, dan menjadikan drama sebagai salah satu bagian yang
menyenangkan dalam kehidupan mereka.
Tujuan pokok pembelajaran sastra di sekolah adalah membina apresiasi anak didik yaitu membina agar anak memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati, dan menghormati suatu cipta sastra. Salah satu kesimpulan Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia tahun 1966 “Pengajaran kesusastraan agar memperoleh efek sebesar-besarnya hendaklah diarahkan pada tingkat apresiasi”. Pembinaan apresiasi sastra harus dilakukan secara langsung. Siswa harus dibimbing untuk mengetahui dan menikmati keindahan cipta sastra. Selain itu, faktor guru sebagai pelaksana perlu mendapat perhatian khusus (Jabrohim, 1994:158-160).
29
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Penelitian secara kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan
pada angka-angka, melainkan mengutamakan kedalaman penghayatan
terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris (Semi,
1993:23).
Dengan metode deskriptif kualitatif ini, peneliti memberikan gambaran yang
objektif tentang keadaan yang sebenarnya serta diperkuat dengan interpretasi
tentang penokohan dan alur dalam naskah drama Dapur karya Fitri Yani dan
implikasinya pada pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama Dapur karya Fitri
Yani.
C. Prosedur Penelitian
Dalam menganalisis naskah Dapur karya Fitri Yani, penulis menggunakan
prosedur penelitian sebagai berikut:
30
1. Membaca dan memahami naskah drama Dapur karya Fitri Yani secara
keseluruhan
2. Mencatat dialog-dialog penting yang berhubungan dengan penokohan dan
alur dalam naskah drama Dapur karya Fitri Yani
3. Menyimpulkan dan memaparkan penokohan dan alur dalam naskah drama
Dapur karya Fitri Yani
4. Menghubungkan hasil penelitian dengan pembelajaran sastra di Sekolah
Menengah Atas (SMA).
D. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data secara analitik
dan dramatik untuk menganalisis terkait penokohan, menurut Nurgiyanto
sebagai berikut:
1. Cara analitik
Membaca secara langsung keterangan pengarang mengenai penokohan dan
alur. Antara lain dengan pengamatan dimensi fisiologis, sosiologis dan
psikologis.
2. Cara dramatik
a. melihat penggambaran tokoh dalam bentuk lahir, seperti bentuk
wajah, hidung, rambut, postur tubuh, cara berpakaian, berdandan, suka
tersenyum, atau cemberut, pandangan tajam atau suka melotot
b. melihat pelukisan jalan pikiran seperti memperhatikan saat tokoh
berdialog dengan dirinya sendiri mengenai sesuatu hal, misalnya
tentang hidup, kematian, cinta, agama, dan Tuhan.
31
c. melihat reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, mislnya apakah ia
tertawa, menangis, mengeluh, putus asa, atau tabah
d. melihat lingkungan tokoh seperti dengan melihat kamar si tokoh,
pembaca akan tahu apakah ia rajin atau jorok.
e. memperhatikan dialog tokoh dengan tokoh lain
f. menghubungkan penokohan dengan kurikulum KTSP dan
pembelajaran sastra khususnya drama di Sekolah Menengah Atas
(SMA)
Sedangkan untuk menganalisis alur, maka penulis akan menggunakan tahapan
alur seperti yang dikemukakan Asul Wiyanto (2002:25) , sebagai berikut:
a. Eksposisi
Tahap eksposisi ini disebut tahap perkenalan
b. Konflik
Tahap konflik berarti pemain drama sudah terlibat dalam persoalan pokok.
Pada tahap ini mulai ada insiden. Insiden inilah yang memulai plot drama.
c. Komplikasi
Pada tahap komplikasi, insiden kemudian berkembang menimbulkan
konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet. Banyak persoalan yang
kait-mengait, tetapi semuanya masih tanda Tanya.
d. Krisis
Pada tahap ini berbagai konflik sampai pada puncaknya (klimaks)
e. Resolusi
Pada tahap ini dilakukan penyelesaian konflik-konflik.
32
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin.1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung. Sinar baru
Hasanuddin,1996, Drama Karya Dalam Dua Dimensi, Bandung,Angkasa
Jabrohim. 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
M. Atar. 1993. Metode Penelitian Satra. Bandung. Angkasa
Mulyasa, Dr. E, M.Pd , 2009.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,, Bandung
Nurgiyantoro dr burhan, 1998.Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta
Soemanto Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta. media pressindo
Tambajong Japi.1981. Dasar-Dasar Drama Turgi.Bandung. Pustaka Prima
Wiyanto asul 2005, , Kesusastraan Sekolah Jakarta,Pt Grasindo