Upload
yonikeren
View
217
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
belum ada
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Pembelajaran berbasis siswa sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru dalam proses pendidikan
dan pengajaran. Kita pahami bahwa suatu kegiatan belajar dengan sendirinya melibatkan
keaktifan peserta didik, meskipun keaktifan mereka berada dalam kadar atau derajat yang
berbeda-beda.
Peningkatan mutu pendidikan senantiasa harus dilakukan, diperbaharui dan disempurnakan. Hal
ini terjadi karena pendidikan pada dasarnya menyiapkan peserta didik untuk mandiri terjun ke
masyarakat.
Pencapaian tujuan peningkatan mutu tersebut sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang menunjukkan gejala semakin menuntut kualitas lulusan yang lebih cakap,
terampil dibanding lulusan terdahulu.
Salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan adalah pembaharuan pendekatan pembelajaran.
Dimana telah kita maklumi bersama pendidikan masa lalu menganut pendekatan Teacher Center,
yaitu pendekatan yang otorita, aktivitas berada di tangan guru sehingga mengakibatkan proses
belajar mengajar menjadi ajang pementasan guru dan sering mengabaikan potensi anak, keadaan
anak, dan kemauan/kehendak anak, serta kebutuhan anak dan masyarakat.
Untuk memberi kesempatan dan keleluasaan kepada anak sesuai hakikat belajar, maka perlu
kiranya dicari suatu alternatif pembelajaran yang dapat mengantisipasi kebutuhan anak dan
masyarakat.
1
Pembelajaran berbasis siswa (aktif learning) atau lebih dikenal CBSA merupakan satu
pendekatan yang berusaha mengingatkan kepada kita untuk melaksanakan pembelajaran
manusiawi, yang memberikan keleluasaan anak berkembang seoptimal mungkin sesuai potensi
yang dimiliki, dan kehadiran CBSA nampaknya juga mengandung maksud hendak mendorong
guru-guru untuk bersungguh-sungguh menyelenggarakan proses pengajaran yang
memungkinkan peserta didik terlibat dalam kadar keaktifan belajar yang tinggi. Pengajaran juga
hendaknya berpusat pada peserta didik (student-centered instruction) karena pada dasarnya
mengajar adalah memberikan bekal kepada peserta didik untuk siap terjun dalam masyarakat.
1. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang melatar belakangi keaktifan siswa?
2. Apakah konsep keaktifan siswa itu?
3. Bagaimana arah, tujuan, dan prinsip keaktifan siswa?
4. Bagaimana kemampuan anak yang diharapkan dalam aktif learning?
5. Bagaimana cara pengembangan aktif learning?
6. Apa sajakah organisasi pembelajarannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Pengembangan Pembelajaran Siswa Aktif
Kegiatan pendidikan pada hakikatnya telah berjalan sejak manusia ada. Upaya-upaya pendidikan
dilakukan dalam rangka memberikan kemampuan pada peserta didik untuk dapat hidup secara
mandiri dan hidup bersama masyarakat. Pada masyarakat yang peradabannya masih primitif,
pendidikan atau proses pendewasaan masih sederhana dan memerlukan waktu yang relatif
pendek. Seorang anak dianggap dewasa bila ia telah mampu berdiri sendiri atau mampu mencari
makan sendiri dengan membawa hasil buruannya serta memperlihatkannya pada orang tuanya.
Keterlibatan anak secara aktif pada saat itu merupakan ciri khas dalam proses pendewasaan anak.
Socrates dalam bentuk dialog telah berhasil melibatkan peserta didiknya secara aktif baik dalam
segi kemampuan mental maupun intelektual dan emosionalnya. Bahkan pada tahun 1935, belajar
aktif ini telah digalakkan oleh Jean Piaget. Melihat proses pendidikan di masa silam itu, upaya
melibatkan anak secara aktif dalam proses pendidikan bukanlah merupakan hal yang baru.
Proses pendidikan semacam ini sekarang lebih dikenal sebagai active learning. Adapun berbagai
konsep pembelajaran active learning, diantaranya PAKEM, PAIKEM dan i2m3 (interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi).
3
Cara belajar mengajar berdasarkan CBSA memusatkan pada peranan, inisiatif, dan keikutsertaan
anak didik yang tinggi dalam menetapkan masalah, mencari informasi, dan memusatkan cara
pemecahan masalah. Sedangkan cara belajar mengajar yang tidak berdasarkan CBSA pada
dasarnya memusatkan aktivitas pada guru. Gurulah yang mengambil inisiatif, melakukan
aktivitas, dan menentukan cara pemecahan masalah. Strategi semacam ini akan menghasilkan
manusia-manusia yang konsumtif, kurang kreatif, dan berkurangnya kemampuan untuk
menghadapi tantangan-tantangan hidup di masa depan.
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan.PAIKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif,
dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus
menciptakan suasana yang memotivasi siswa agar aktif bertanya, mempertanyakan, dan
mengemukakan gagasan.
Pembelajaran inovatif bisa mengadaptasi dari model pembelajaran yang menyenangkan.
Learning is fun merupakan kunci yang diterapkan dalam pembelajaran inovatif. Jika siswa sudah
menanamkan hal ini di pikirannya tidak akan ada lagi siswa yang pasif di kelas, perasaan
tertekan dengan tenggat waktu tugas, kemungkinan kegagalan, keterbatasan pilihan, dan tentu
saja rasa bosan.
Kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi
berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang
menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga
waktu curah perhatiannya (“time on task”) tinggi.
Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil belajar.
Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu
tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung,
sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika
pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak
ubahnya seperti bermain biasa.Pada dasarnya PAKEM dan PAIKEM merupakan satu konsep
yang sama. Tetapi pada konsep PAIKEM ditambahkan istilah inovatif.
Kegiatan belajar bagi anak usia sekolah dasar mempunyai arti dan tujuan tersendiri. Hal ini
berkaitan dengan ciri-ciri atau karakteristik anak yang bersangkutan. Kegiatan belajar mengajar
yang secara praktis dikembangkan guru di sekolah dasar, dituntut untuk berorientasi pada
perkembangan anak secara tepat. Inilah suatu pendekatan pengajaran yang dikenal dengan
sebutan Developmentally Appropriate Practice (DAP).
Pendekatan ini mendasarkan pada pemahaman baik dimensi umur anak maupun dimensi
individualnya. Dengan pendekatan DAP pengajar berorientasi pada apa yang peserta didik sukai,
apa yang peserta didik harapkan, atau bahkan apa yang peserta didik mungkin inginkan.
Melalui pendekatan DAP, arti tujuan belajar bagi anak sudah tentu menjadi demikian penting.
Tujuan itu tidak cukup hanya dijelaskan dengan rumusan tujuan intruksional saja. Memahami
tujuan yang dicanangkan bagi terjadinya proses belajar yang diharapkan anak sekolah dasar,
seorang guru akan selalu dituntut untuk menyadari adanya tujuan-tujuan pengiring.
Developmentally Appropriate Practice (DAP) merupakan suatu kerangka acuan, filosofis atau
pendekatan mengenai bagaimana berinteraksi dan bekerja bersama anak (peserta didik).
Pendekatan DAP didasarkan atas akumulasi data atau fakta dan hasil-hasil penelitian yang
menerangkan tentang sesuatu yang disukai oleh peserta didik. Dalam setiap pelaksanaan
pengajaran, guru akan selalu dituntut untuk mampu membuat keputusan. Keputusan inilah yang
akan menetapkan apakah suatu pengajaran yang ditempuh guru itu telah mempertimbangkan
pengetahuan mengenai anak atau belum.
B. Konsep Keaktifan Siswa
Pendidikan bukan sekedar memberi, tetapi menumbuhkan keberanian pada siswa untuk berbuat
atau melakukan sesuatu. Setiap siswa berkesempatan untuk belajar sesuai dengan minat dan
kebutuhannya masing – masing. Namun sistem pembelajaran tersebut cenderung tidak tampak
jelas, melainkan masih berupa rencana belajar yang disusun bersama antara peserta didik dan
guru. Dengan menekankan pada minat dan kebutuhan siswa secara perorangan, maka siswa
dengan bantuan gurunya dapat menyusun rencana belajar sesuai dengan minat dan kebutuhan
masing – masing.
Proses pembelajaran yang dilakukan dalam kelas merupakan aktivitas menstransformasikan
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Pengajar diharapkan mengembangkan kapasitas belajar,
kompetensi dasar, dan potensi yang dimiliki oleh siswa secara penuh. Pembelajaran yang
dilakukan lebih berpusat pada siswa, sehingga siswa ikut berpartisipasi dalam proses
pembelajaran, dapat mengembangkan cara – cara belajar mandiri, berperan dalam perencanaan,
pelaksanaan, penilaian proses pembelajaran itu sendiri, maka disini pengalaman siswa lebih
diutamakan dalam memutuskan titik tolak kegiatan.
Proses pembelajaran perlu mengarahkan perilaku dan perbuatan menuju ke tingkat
perkembangan yang diharapkan. Potensi yang hidup itu perlu mendapatkan kesempatan yang
luas untuk berkembang. Namun bila tanpa pengarahan dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan
yang akan menggangu bahkan merusak perkembangan siswa, sehinggan para siswa tidak
menjadi manusia sebagaimana yang diharapkan.
Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat merangsang dan mengembangkan bakat yang
dimilikinya, berfikir kritis, dan dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari – hari.
Disamping itu pengajar dapat merekayasa sistem pembelajaran secara sistematis, sehingga dapat
merangsang keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan antara guru dan siswa, harus mengacu pada
peningkatan aktivitas dan partisipasi siswa. Pengajar / guru tidak hanya melakukan kegiatan
menyampaikan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap kepada siswa. Akan tetapi, guru juga harus
mampu membawa siswa untuk aktif dalam berbagai bentuk belajar; berupa belajar penemuan,
belajar mandiri, belajar berkelompok, belajar memecahkan masalah, dsb.
Dengan melibatkan siswa berperan dalam kegiatan pembelajaran, berarti kita
mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimiliki siswa secara penuh. Dalam
konsep kompetensi, kita harus mampu mendeteksi kemampuan minimal siswa (kompetensi
dasar) kemudian mendeteksi tercapainya suatu indikator – indikator yang dilahirkan oleh
kompetensi dasar tadi. Sehingga guru akan lebih mudah dalam membuat soal evaluasi bagi
siswa. Hasil dari evaluasi tersebut akan mempengaruhi beberapa aspek sebelumnya seperti
Kompetensi Dasar (tujuan) dan proses penyampaian materi pembelajaran. Karena hasil evaluasi
tersebut juga merupakan suatu indikator bagi seorang guru.
C. Arah, Tujuan, dan Prinsip Keaktifan Siswa
Akhir-akhir cukup ramai guru dan calon guru yang meng-klik ihwal PAIKEM, ini
mengingatkan kita pada beberapa tahun yang silam, di mana masih kental kebiasaan guru
mengajar dengan D3CH (duduk, dengar, diam, catat, hafalkan). Pemerintah pun mencoba
membasminya dengan metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang pelaksanaannya dimulai
dari sekolah-sekolah dasar. Kemudian, pemerintah mengharapkan metode CBSA itu diminati
oleh guru se Indonesia. Tetapi entah kenapa dan salah siapa, kenyataannya sekarang banyak guru
kembali melakukan proses belajar-mengajar seperti biasanya. Dan seakan-akan belum pernah
mendengar adanya pendekatan CBSA.
Sampai kemudian muncul dan giat dikembangkan pendekatan PAKEM di era Kurikulum
Berbasis Kompetensi (2004) yang berapa saat kemudian dimantapkan lagi menjadi PAIKEM
(Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif dan Menyenangkan). Secara normatif pemerintah
menuliskan pendekatan dalam proses pembelajaran itu di PP 19/2005 tentang Standar Nasional
Pendidikanm Pasal 19 ayat(1), yang oleh I Nyoman Degeng disebut sebagai i2m3 (interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi)
Meskipun cukup panjang waktu untuk mengenalkan dan memraktikkan PAIKEM dan i2m3
sampai menjelang dihadirkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ke semua
sekolah/madrasah, tetapi belum banyak yang mengatakan, bahwa PAIKEM dan i2m3 mampu
menghasilkan perubahan nyata di ruang-ruang kelas hingga kini.
Sebab, jika para guru berhasil menerapkannya teori PAIKEM dan I2M3-nya, maka sekolah akan
betul-betul menjadi zona nyaman bagi anak-anak. Pada aspek sikap, anak-anak akan menjadi
dinamis, demokratis, aktif, kolaboratif, dan ceria. Sekolah bagi anak-anak tidak boleh menjadi
tempat yang menjemukan, apalagi menakutkan, tetapi mencerdaskan secara komprehensif.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya untuk mengarahkan anak didik ke dalam proses
belajar sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pembelajaran hendaknya memperhatikan kondisi individu anak karena merekalah yang akan
belajar. Anak didik merupakan individu yang berbeda satu sama lain, memiliki keunikan masing-
masing yang tidak sama dengan orang lain.
Pembelajaran yang kurang memperhatikan perbedaan individual anak dan didasarkan pada
keinginan guru, akan sulit untuk dapat mengantarkan anak didik ke arah pencapaian tujuan
pembelajaran. Kondisi seperti inilah yang pada umumnya terjadi pada pembelajaran
konvensional. Konsekuensi dari pendekatan pembelajaran seperti ini adalah terjadinya
kesenjangan yang nyata antara anak yang cerdas dan anak yang kurang cerdas dalam pencapaian
tujuan pembelajaran. Kondisi seperti ini mengakibatkan tidak diperolehnya ketuntasan dalam
belajar, sehingga sistem belajar tuntas terabaikan. Hal ini membuktikan terjadinya kegagalan
dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menyadari kenyataan seperti ini para ahli berupaya untuk mencari dan merumuskan strategi yang
dapat merangkul semua perbedaan yang dimiliki oleh anak didik. Strategi pembelajaran yang
ditawarkan adalah strategi belajar aktif (active learningstrategy).
Secara umum tujuan pendidikan membentuk manusia yang mampu berpartisipasi bagi
penyempurnaan pembangunan bangsa. Dengan demikian aktif learning diarahkan tujuan
tersebut. Sedangkan aktif learning bertujuan untuk mengembangkan kemampuan murid agar
mampu belajar mandiri, sehingga ia memperoleh pengetahuan, ketrampilan, sikap yang
menunjang pembentukkan kepribadian yang mandiri.
Aktif learning atau yang biasa dikenal CBSA mengembangkan pola berpikir antisipatif. Hal ini
didasarkan kenyataan tidak semua hasil pendidikan nantinya dapat diterapkan, yang diseabkan
perubahan yang sangat cepat di masyarakat. Sehingga belajar diharapkan dapat memperoleh
pengetahuan, kemampuan berpikir kritis, logis, dan sistematis, terampil dalam menerapkan iptek.
Serta memiliki kemampuan dan kebiasaan untuk terus belajar.
Dari arah dan tujuan CBSA, maka pelaksanaan CBSA harus berpedoman pada prinsip yang
ditinjau dari siswa dan prinsip yang ditinjau dari peran guru. Prinsip CBSA ditinjau dari siswa,
pada prinsipnya adalah mengurangi dominasi guru dan mengarahkan kebiasaan siswa belajar
sendiri, sehingga murid terbiasa belajar teratur, murid mampu memanfaatkan sumber informasi,
murid mandiri dalam belajar, murid berani mewujudkan minat, keinginan dan gagasan, murid
berani berperan dalam persiapan PBM, timbul rasa ingin tahu, dll.
Prinsip CBSA ditinjau dari peran guru, yaitu guru harus dapat membuat perencanaan belajar
sehingga murid aktif secara mental, fisik dan sosial secara penuh dengan cara memberi
kesempatan anak dapat melakukan kegiatan belajar, menciptakan aneka situasi belajar,
mendorong keterlibatan siswa dalam belajar, mendorong interaksi siswa, mendorong anak
bergaul, melayani perbedaan individu.
Belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang aktif yang melibatkan panca indera atau
fisik dan psikis kita. Agar siswa mengalami proses belajar, kita harus merancang pembelajaran
agar siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Berkenaan dengan belajar aktif,
setiap individu harus melakukan sendiri aktifitas belajar karena belajar tidak dapat diwakilkan
kepada orang lain. Siswa yang tidak banyak bertanya ketika belajar, bukan berarti ia tidak aktif,
sebab mungkun saja pendengaran, penglihatan, perasaan, pikiran, dan unsure lainnya aktif
belajar. Oleh karena itu setiap kegiatan belajar harus dirancang untuk meningkatkan kadar
aktivitas pembelajaran.
Upaya umtuk mengaktifkan siswa perlu selalu kita lakukan mengingat setiap individu memiliki
potensi seperti rasa ingin tau, kemampuan menganalisis, memecahkan masalah, melakukan
sintesis, dan aspek aktivitas lainnya.
D. Kemampuan Anak yang diharapkan Melalui CBSA
Pembelajaran berbasis siswa memberi makna bahwa proses pendidikan harus mampu
mengantarkan peserta didik untuk menguasai kemampuan yang sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Siswa belajar dengan caranya masing-masing untuk mencapai standar itu.
Pembelajaran dilakukan dengan menekankan pada interaksi individu dengan lingkungannya
sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuannya sendiri. Pembelajaran yang dilaksanakan di
kelas harus dapat membantu siswa untuk memahami makna pengetahuan melalui metode yang
memberikan kreasi untuk menemukan. siswa di didik untuk mampu memiliki daya saing yang
tinggi dengan sejumlah kompetitor. Pemerolehan dan penguasaan perubahan perilaku
(pengetahuan, sikap, ketrampilan) melalui pengalaman belajar dapat terwujud apabila anak
terlibat secara aktif dalam belajar.
Keaktifan dan keterlibatan itu terwujud dalam partisipasi siswa dalam mendengar, menulis,
bertanya, mengukur, membandingkan, mengatakan, bercerita, menjawab, bercakap, berdiskusi,
dan sebagainya. Keaktifan baik yang tampak maupun yang tak tampak, sebenarnya lebih
diutamakan pada keaktifan yang tak tampak berupa: berpikir, menganalisa, memecahkan
masalah, dengan menggunakan prinsip, teeori, konsep, dan sebagainya. Akan tetapi kedua
keaktifan tersebut tak dapat dipisahkan, dimana keduanya membentuk proses pengembangan.
Proses pengembangan kemampuan berpikir – pembentukan sikap nilai dan proses
pengembangan kemampuan mental, fisik, sosial – pembentukan ketrampilan sikap – penyaringan
– pembentukan merupakan wahana pengembangan kemampuan.
Sesuai dengan prinsip CBSA kemampuan yang diharapkan siswa dalam pembelajaran berbasis
siswa dapat berupa keberanin peserta didik untuk menunjukkan minat, keinginan, dan dorongan
yang ada pada dirinya. Keinginan dan keberanian untuk ikut serta dalam kegiatan belajar. Usaha
dan kreativitas peserta didik, keingintahuan yang kuat, dan rasa lapang dada, mampu berpikir
kritis dan kreatif.
Lewat desain pembelajaran yang variatif dan kreatif, anak-anak perlahan-lahan akan menyadari
betapa beragam dan kompleksnya hidup ini. Sebuah kekuatan refleksi akan masuk dalam spirit
pembelajaran itu sehingga secara bertahap akan mempertajam hati nurani mereka. Bahkan,
pembelajaran variatif dan kreatfi pun akan mengasah hati nurani guru itu sendiri untuk selalu
mengedepankan kebutuhan belajar anak demi masa depan mereka.
Pada akhirnya, sebuah harapan besar lahirnya kepedulian anak-anak pada dirinya sendiri, orang
lain, lingkungan, dan Sang Pencipta akan terwujud tatkala pembelajaran itu mampu memberi
ruang dan peluang bagi mereka untuk berekspresi dalam aksi nyata. Kaki menjadi sebuah simbol
yang kuat bagi anak-anak untuk peduli melakukan hal baik. Peduli dengan kemampuan dirinya
untuk membantu teman yang sedang dalam kesusahan belajar, bahkan kesusahan materi. Peduli
pada masyarakat miskin lewat usaha bakti sosial. Peduli akan mentalitas yang baik untuk
membuang sampah pada tempatnya, jujur dalam ulangan, sopan pada siapapun, dan sembahyang
sesuai agama dan kepercayaannya.
Akhirnya, pendidikan sudah waktunya untuk mengupayakan pendidikan menyeluruh dalam
tataran praktis dan nyata, bukan hanya formalitas belaka. Pendidikan yang sungguh-sungguh
merangkul kognitif, hati nurani, dan kepedulian dalam satu kesatuan yang utuh menjadi harapan
ibu pertiwi. Saatnya pula menjadi guru yang kompeten, berhatinurani, dan peduli akan proses
pembelajaran yang baik untuk anak-anak bangsa ini.
E. Cara Pengembangan KBM di SD dengan Strategi CBSA
Ada kecederungan seseorang mengajarkan sesuatu, sebagaimana sesuatu itu diajarkan
kepadanya. Sampai saat ini, model mengajar ceramah merupakan model yang mendominasi dan
menjadi umum dalam pendidikan formal di berbagai belahan dunia.
Tak pernah ada hasil yang berbeda bila kita selalu menggunakan cara yang sama. Metode
pengajaran satu arah jelas merupakan metode yang tidak optimal dalam mengembangkan
kemampuan, baik bagi guru maupun siswa. Sementara itu, dialog, perbedaan pendapat yang
dikomunikasikan akan lebih melibatkan keduabelah pihak untuk saling mencari, saling berbagi,
dan mengasah totalitas pribadi dosen dan mahasiswa.
Active learning merupakan jawaban alternatif untuk mendapatkan hasil yang berbeda. Kenapa?
Karena pendekatan active learning merupakan pendekatan yang sesuai dengan cara kerja otak.
Kata active learning atau belajar aktif sudah tidak asing di telinga kita. Banyak institusi
pendidikan menyatakan bahwa mereka menyelenggarakan belajar aktif. Pemerintah pun
menggalakkan program belajar aktif diterapkan di sekolah-sekolah.
Keaktifan bukan sekedar belajar kelompok atau berpasangan. Seyogyanya, belajar mengaktifkan
secara fisik, sosial emosional, dan mental. Lebih lengkap: Keaktifan fisik dicapai melalui inkuri
pencarian bahan/materi, menyiapkan kerja, dan sebagainya. Keaktifan Sosial mencakup
bagaimana bekerja sama dalam berbagai situasi dan berbagai kegiatan. Ia secara tidak langsung
berinteraksi dengan orang lain (orang dewasa, teman sebaya). Dalam bersosialisasi ia belajar
bergaul, bekerjasama, berbicara dengan orang tak dikenal, orang yang memiliki kompetensi
(berkembanglah kemampuan berkomunikasi, bahasa komunikasi, memperluas pergaulan,
mengendalikan diri, munculnya keberanian, ketahanan mental, kegigihan).
Keaktifan intelektual melalui berbagai alat-alat berpikir dengan menggunakan berbagai
keterampilan-keterampilan intelektual . Terkembangkanlah kemampuan mendengar orang lain,
berbicara dan menyampaikan gagasan, berfikir untuk solusi, mempertajam penglihatan, dan
sebagainya (yang sebenarnya berbagai keaktifan itu tak terpisah, demikianpun dalam aktifitas
dan pengembangannya terjadi secara simultan).
Dalam cara belajr Duduk, Dengar, Cacat dan Hafal sudah dianggap biasa apabila guru dalam
mengelola kelas sekolah dasar tanpa menggunakan alat atau sumber yang lain selain buku seperti
peralatan elektronik, globe, dan peralatan laboraturium karena mereka menganggap alat – alat
bantu tersebut mahal. Beberapa cara pengembangan kegiatan belajar yaitu lingkungan sebagai
sumber belajar, lembar kerja dan fungsinya, alat peraga buatan, pengelolaan perbedaan individu,
pengajaran klasikal, pengajaran dengan menggunakan kelompok siswa.
Penggunaan lingkungan sebagai sarana dan bahan belajar mengingatkan kita akan pentingnya
interaksi siswa dengan lingkungan dengan segala persoalannya. Pembelajaran berbasis siswa
menuntut guru untuk lebih menaruh perhatian terhadap keberadaan dan kebutuhan siswanya
sehingga siswa merasa dihargai sebagai individu. Guru harus mampu menumbuhkan rasa
percaya diri siswa agar kelak mampu menghadapi segala tantangan yang menghadangnya. Selain
itu peran guru dalam pembelajaran yang berpedoman kepada pembelajaran berbasis siswa adalah
menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang kondusif. Suasana belajar yang kondusif dapat
tercapai apabila guru mampu mengelola siswa dan sarana pembelajran dengan baik, serta mampu
mengendalikannya agar selalu tercipta suasana belajar yang menyenangkan.
Seorang guru pun harus mampu berinovasi dalam menciptakan dan mengoperasionalkan media
pengajaran. Guru memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada siswa untuk
berkembang melalui caranya sendiri melalui metode pembelajaran tertentu. Selain sebagai
motivator, dalam pembelajaran berbasis siswa guru juga berperan sebagai pengamat dan
fasilitator yang mampu membimbing dan memberi arah untuk mencapai tujuan. Kemampuan
berkomunikasi dengan siswa dan menyampaikan informasi pelajaran dengan baik dapat
menanamkan sikap positif pada diri siswa, seperti membantu siswa dalam memahami kelemahan
dan kelebihan yang ada pada dirinya, menumbuhkan kepercayaan diri, serta membantu
mengungkapkan pemikiran dan perasaan siswa.
Guru harus dapat menghargai siswa sebagai pribadi yang unik yang memiliki sifat-sifat yang
khas. Keterampilan interpersonal guru diperlukan untuk membantu siswa dalam mempelajari
berbagai hal yamg diperlukan dalam mencapai tingkat kedewasaan. Untuk dapat mengukur
kemampuan yang telah dicapai oleh siswa, guru juga harus mampu sebagai evaluator, baik
terhadap kegiatan pembelajaran maupunm terhadap kemampuan siswa.
Menurut pemikiran Gibbs, E. Mulyasa, 2003 (dalam http//akmadsudrajat.wordpress.com) hal-hal
yang perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah
dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut, memberikan
kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas terarah, melibatkan
siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya, memberikan pengawasan yang tidak
terlalu ketat dan tidak otoriter, melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses
pembelajaran secara keseluruhan. Sikap menerima apa adanya, patuh, taat, menyebabkan guru
menjadi objek yang tidak pernah habis. Bila, sikap guru pasif seperti ini kemajuan/peningkatan
akan jauh dari harapan. Untuk itu, rekan guru beranilah untuk berubah, beranilah untuk mencoba
melakukan hal baru, pemecahan masalah kelas secara mandiri (bukan berarti tidak bertanya pada
pihak lain). Guru harus berani membebaskan diri dari keterkungkungan. Guru harus rajin
membaca, berinteraksi dengan pihak lain, bersikap kritis terhadap diri sendiri, senantiasa
merefleksi diri untuk menemukan kekurangan, dan segera bergerak untuk memperbaiki dirinya
dan memperbaiki kinerjanya.
Guru memiliki kewengan untuk menjadi guru yang merdeka dalam merencana, melaksanakan,
dan menilai hasil kinerjanya (meskipun pemerintah juga memiliki kewenangan untuk
mengevaluasi kinerja guru). Guru harus membaca lengkap isi undang-undang sistem pendidikan
nasional dan undang-undang guru dan dosen. Guru harus mampu menempatkan diri secara
proporsional, tentu demikian seluruh pendidikan nasional, hendaknya mampu menempatkan
sesuai proporsi masing.
Saat ini kesejahteraan guru sudah meningkat, meskipun belum seperti harapan, namun
peningkatan kesejahteraan perlu disyukuri dengan meningkatkan kualitas diri dan kinerjanya.
Bergeraklah guru sahabat semua orang, bergeraklah dan beranilah bergerak memperbaiki diri
(kalau sudah baik meningkatlah). Peningkatan kita sebagai insane pendidik, akan mengakselerasi
kualitas pendidikan kita segera mengejar ketertinggalan.
1. F. Organisasi Pengajaran
CBSA bukanlah belajar kelompok atau belajar mengelompok atau belajar bersama, akan tetapi
suatu strategi pendekatan yang mengembangkan keaktifan semua personil yang terlibat dalam
KBM.
Keaktifan utama yang dituntut adalah keaktifan mental dan bukan keaktifan gerak/fisik dan
sosial/interaksi semata. Kekatifan tersebut diupayakan agar logika, estetika, dan praktika anak
dapat berkembang seoptimal mungkin.
Dalam melaksanakan KBM keaktifan tidak harus dilaksanakan dengan diskusi atau kerja
kelompok, ajan tetapi dikembangkan dengan problem-problem sehingga merangsang anak untuk
senantiasa senang/emosi, cinta/emosi, butuh/need (mental), berpikir, memecahkan problem
(intelek), berkreasi/imajinasi. Dengan kondisi belajar yang menyenangkan anak akan dengan
sepenuh hati belajar dan belajar akan menjadi need dalam dirinya.
Pengajaran dapat diorganisasikan secara individual, kelompok, berpasangan. Pengelompokkan
perlu diperhatikan besar kelompok, organisasi kelompok, sifat kelompok, tujuan kelompok.
Dalam membuat kelompok harus memperhatikan kemauan anak, minat, bakat, prestasi belajar.
Pengelompokkan berdasar prestasi dalam KBM harus dilakukan dengan pertimbangan anak
pintar akan mudah bekerja dengan anak pintar, anak pintar akan cenderung aktif fan anak bodoh
pasif. Pengelompokkan tanpa memperhatikan tingkat prestasi akan meruskan mental anak.
Organisasi pembelajaran memiliki dimensi untuk menjadikan organisasi dapat terus bertahan.
Organisasi seperti ini dinamakan organisasi pembelajar, karena dimensi-dimensi ini akan
memungkinkan organisasi untuk belajar, berkembang, dan berinovasi. Dimensi-dimensi itu yaitu
:
1. 1. Mental Model
Respon manusia terhadap situasi yang terjadi di lingkungannya sangat dipengaruhi oleh asumsi
dan kebiasaan yang selama ini berlaku. Di dalam organisasi, berlaku pula kesimpulan yang
diambil mengenai ’how things work’ di dalam organisasi. Hal ini disebut dengan mental model,
yang dapat terjadi tidak hanya pada level individual tetapi juga kelompok dan organisasi.
Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam organisasi
yang terus berubah, mental model ini kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik dan
menghambat adaptasi yang dibutuhkan.
1. 2. Pemikiran System Thinking
Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerjasama untuk menghasilkan kinerja
yang optimal. Unit-unit antara lain ada yang disebut divisi, direktorat, bagian, atau cabang.
Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan
pekerjaan secara sinergik. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergik ini hanya
akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain, dan memahami
juga dampak dari kinerja unit tempat dia bekerja pada unit lainnya.
Seringkali dalam organisasi orang hanya memahami apa yang dia kerjakan dan tidak memahami
dampak dari pekerjaan dia pada unit lainnya. Selain itu seringkali timbul fanatisme seakan-akan
hanya unit dia sendiri yang penting perannya dalam organisasi dan unit lainnya tidak berperan
sama sekali. Fenomena ini disebut dengan ego-sektoral. Kerugian akan sangat sering terjadi
akibat ketidakmampuan untuk bersinergi satu dengan lainnya. Pemborosan biaya, tenaga dan
waktu. Terlepas dari adanya perasaan bahwa unit diri sendiri adalah unit yang paling penting,
tidak adanya pemikiran sistemik ini akan membuat anggota perusahaan tidak memahami konteks
keseluruhan dari organisai.
Kini semakin banyak organisasi yang mengandalkan pada struktur tanpa batas(borderless
organization), atau kalaupun masih menggunakan struktur organisasi berbasis fungsi, kini
fungsi-fungsi yang terkait dengan proses yang sama dibuat saling melintas batas fungsi.
Organisasi yang demikian disebut organisasi lintas fungsi atau cross-functional organization.
Organisasi yang demikian ini akan membuat proses pembelajaran lebih cepat karena masing-
masing orang dari fungsi yang berbeda akan berbagi pengetahuan dan pengalaman.
1. 3. Shared Vision
Oleh karena organisasi terdiri atas berbagai orang yang berbeda latar belakang pendidikan,
kesukuan, pengalaman serta budayanya, maka akan sangat sulit bagi organsasi untuk bekerja
secara terpadu kalau tidak memiliki visi yang sama. Selain perbedaan latar belakang karyawan,
organisasi juga memiliki berbagai unit yang pekerjaannya berbeda antara satu unit dengan unit
lainnya. Untuk menggerakkan organisasi pada tujuan yang sama dengan aktivitas yang terfokus
pada pencapaian tujuan bersama diperlukan adanya visi yang dimiliki oleh semua orang dan
semua unit yang ada dalam organisasi.
1. 4. Personal Mastery
Organisasi pembelajar memerlukan karyawan yang memiliki kompetensi yang tinggi agar bisa
beradaptasi dengan tuntutan perubahan, khususnya perubahan teknologi dan perubahan
paradigma bisnis dari paradigma yang berbasis kekuatan fisik (tenaga otot ) ke paradigma yang
berbasis pengetahuan (tenaga otak). Selain itu kecepatan perubahan tipe pekerjaan, telah
menyebabkan banyak pekerjaan yang tidak diperlukan lagi oleh organisasi karena digantikan
oleh tipe pekerjaan baru, atau digantikan oleh pekerjaan yang menuntut penggunaan teknologi.
Bilamana pekerja tidak mau belajar hal baru, maka dia akan kehilangan pekerjaan. Selain itu
banyak pekerjaan yang ditambahkan pada satu pekerjaan (job-enlargement), ataujob
rotation (mutasi karyawan) agar memudahkan karyawan untuk memahami kegiatan di unit kerja
yang lain demi terwujudnya sinergi.
Untuk memenuhi persyaratan perubahan dunia kerja ini semua pekerja di sebuah organisasi
harus memiliki kemauan dan kebiasaan untuk meningkatkan kompetensi dirinya dengan terus
belajar. Kompetensi dirinya bukan semata-mata di bidang pengetahuan, tetapi kemampuan
berinteraksi dengan orang lain, menyelesaikan konflik, dan saling mengapresiasi pekerjaan orang
lain. Organisasi lintas fungsi seperti yang telah dibicarakan di atas akan mempercepat proses
pembelajaran individu di dalam organisasi.
1. 5. Team Learning
Kini makin banyak organisasi berbasis team, karena rancangan organisasi dibuat dalam lintas
fungsi yang biasanya berbasis team. Kemampuan organisasi untuk mensinergikan kegiatan team
ini ditentukan oleh adanya visi bersama dan kemampuan berfikir sistemik seperi yang telah
dibicarakan di atas. Namun demikian tanpa adanya kebiasaan berbagi wawasan sukses dan gagal
yang terjadi dalam suatu team, maka pembelajaran organisasi akan sangat lambat, dan bahkan
berhenti. Pembelajaran dalam organisasi akan semakin cepat kalau orang mau berbagi wawasan
dan belajar bersama-sama. Oleh karena itu semangat belajar dalam team, cerita sukses atau gagal
suatu team harus disampaikan pada team yang lainnya. Berbagi wawasan pengetahuan dalam tim
menjadi sangat penting untuk peningkatan kapasitas organisasi dalam menambah modal
intelektualnya.
BAB III
KESIMPULAN
Keaktifan siswa (aktif learning) atau lebih sering disebut CBSA merupakan konsep dalam
mengembangkan keaktifan proses belajar mengajar baik keaktifan mengenai kegiatan guru
maupun siswa. Peserta didik dipandang sebagai komponen yang paling penting dalam system
dan proses pengajaran. Pendekatan CBSA memusatkan pada peranan, inisiatif, dan keterlibatan
anak didik dalam menetapkan masalah, mencari informasi, dan memecahkan masalah.
CBSA bertujuan untuk mengembangkan kemampuan murid agar mampu belajar mandiri,
sehingga ia memperoleh pengetahuan, ketrampilan, sikap yang menunjang pembentukkan
kepribadian yang mandiri. Di samping itu, dengan CBSA diharapkan siswa dapat memperoleh
penguasaan materi seoptimal mungkin. Sehingga dalam pelaksanaannya CBSA harus
berpedoman pada prinsip yang ditinjau dari siswa dan prinsip yang ditinjau dari peran guru.
Dari arah dan tujuan CBSA, maka pelaksanaan kemampuan yang diharapkan siswa dalam
pembelajaran berbasis siswa dapat berupa keberanin peserta didik untuk menunjukkan minat,
keinginan, dan dorongan yang ada pada dirinya. Keinginan dan keberanian untuk ikut serta
dalam kegiatan belajar. Usaha dan kreativitas peserta didik, keingintahuan yang kuat, dan rasa
lapang dada, mampu berpikir kritis dan kreatif.
Cara pengembangan CBSA adalah dengan penggunaan lingkungan sebagai sarana dan bahan
belajar, guru pun harus mampu berinovasi dalam menciptakan dan mengoperasionalkan media
pengajaran, guru harus dapat menghargai siswa sebagai pribadi yang unik yang memiliki sifat-
sifat yang khas, guru sebagai pendorong dan partisipatif serta bukan pemberi
informasi.Pengajaran dapat diorganisasikan secara individual, kelompok, berpasangan.
Pengelompokkan perlu diperhatikan besar kelompok, organisasi kelompok, sifat kelompok,
tujuan kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Atwi Suparman, 1977. Desain Intruksional. Jakarta: Pusat Antar Universitas.
http//akmadsudrajat.wordpress.com)
http//www.kompasiana.com)
http//pembelajaran berbasis siswa.sung wali.htm)
M. Ansyar dan H. Nurtain. 1991. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum.Jakarta: Depdikbud
Dijen Dikti.
Mulyani Sumantri, Johar Permana.2001. Strategi Belajar Mengajar.Bandung: CV. MAULANA.
PENGEMBANGAN INOVASI KURIKULUMPEMBELAJARAN BERBASIS KEAKTIFAN SISWA
Di ajukan untuk memenuhi tugas UAS Matakuliah: Inovasi dan Difusi Teknologi Pendidikan
Oleh :
Yoni Tri Kushendarto
0906174
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia