18
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air wilayah Indonesia adalah hak bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut UUD 1945, menyatakan bahwa : 1 (2) Cabang-cabang produksi yang paling penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tersebut, hak penguasaan atas Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut Migas, berada pada Negara. Pelaksanaan hak dan penguasaan Negara khusus untuk pertambangan Migas, disebut sebagai pengusahaan pertambangan Migas. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Migas merupakan kekayaan alam Indonesia sebagai salah satu sumber daya mineral yang tak terbaharui (unrenewable), yang menempati posisi penting dalam pembangunan Negara dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa 1 Pasal 33 ayat (2) dan (3), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUANrepository.uph.edu/2022/4/Chapter 1.pdfPerusahaan Negara pemegang Kuasa Pertambangan Migas di Indonesia. 10 PN (Perusahaan Negara) adalah badan hukum usaha yang dimiliki

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air wilayah Indonesia

adalah hak bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Pasal 33 ayat (2)

dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini

disebut “UUD 1945”, menyatakan bahwa : 1

(2) Cabang-cabang produksi yang paling penting bagi Negara dan menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tersebut, hak penguasaan atas

Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut

“Migas”, berada pada Negara. Pelaksanaan hak dan penguasaan Negara khusus

untuk pertambangan Migas, disebut sebagai pengusahaan pertambangan Migas.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Migas merupakan kekayaan alam

Indonesia sebagai salah satu sumber daya mineral yang tak terbaharui

(unrenewable), yang menempati posisi penting dalam pembangunan Negara dan

kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa

1 Pasal 33 ayat (2) dan (3), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2

Pertambangan Migas wajib menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaan

terhadap Migas untuk mencapai tujuan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945.

Pada tahun 1951, Mohammad Hasan sebagai Ketua Komisi Perdagangan

dan Industri Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang untuk

selanjutnya dalam penelitian ini disebut “DPR-RI”, melakukan penelitian selama

beberapa bulan, hingga sampai pada dua kesimpulan yaitu : 2

1. Diyakini penuh, dengan berbagai alasan yang kuat, bahwa ladang-ladang

minyak di Sumatera Utara dapat dinasionalisasi dengan pembayaran ganti

rugi sedemikian rupa;

2. Indonesia tidak mendapatkan pembagian yang setimpal atas operasi

perusahaan minyak asing menurut perjanjian konsesi3 dan peraturan

perpajakan yang berlaku.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, Mohammad Hasan mengajukan mosi yang

akhirnya disetujui dengan suara bulat pada Sidang DPR-RI tanggal 2 Agustus

1951. Dalam mosi tersebut, dimintakan kepada Pemerintah dalam jangka waktu

satu bulan sejak mosi disetujui untuk membentuk suatu Panitia Negara Urusan

Pertambangan yang ditugasi untuk : 4

2 H. Syaiful Bakhri, Hukum Migas; Telaah Penggunaan Hukum Pidana Dalam Perundang-

Undangan, (Yogyakarta : Total Media dan P3IH FHUMJ, 2012), hal. 28 3 Konsesi Pertambangan adalah izin atau wewenang yang diberikan oleh Pemerintah Hindia

Belanda kepada badan hukum atau perorangan untuk melakukan usaha pertambangan berdasarkan

asas domaniak beginsel (domein/milik Negara) dengan disertai kewenangan dapat melakukan

perjanjian dengan pihak lain yang bersifat campuran antara hukum publik dan privat (Adrian

Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal. 82) 4 H. Syaiful Bakhri, Op. Cit., hal. 28-29

3

1. Secepat mungkin menyelidiki soal-soal tambang minyak, tambang timah,

tambang batu bara, tambang emas/perak, dan lain-lain di Indonesia;

2. Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang

sesuai dengan keadaan saat ini;

3. Memberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang sikap pemerintah

terhadap kedudukan status tambang minyak Sumatera Utara dan Cepu

pada khususnya, dan tambang minyak lainnya;

4. Memberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang kedudukan status

tambang timah di Indonesia;

5. Memberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang pajak cukai atas

bahan-bahan minyak dan penetapan harga minyak;

6. Mengajukan usul-usul lain tentang pertambangan yang menguntungkan

Negara;

7. Harus menyelesaikan laporannya dalam waktu selambat-lambatnya tiga

bulan dan menyampaikannya kepada Pemerintah dan Perwakilan Rakyat.

Selain itu, Panitia Negara Urusan Pertambangan juga ditugasi untuk mendesak

Pemerintah untuk menunda pemberian semua konsesi pertambangan maupun

perpanjangan izin yang sudah habis masa berlakunya sampai Panitia Negara

Urusan Pertambangan memberikan rekomendasinya.5

Sebagai tindak lanjut dari hasil kajian Panitia Negara Urusan

Pertambangan, maka sistem konsesi dalam pengusahaan pertambangan tidak lagi

digunakan karena dinilai memberikan hak yang terlalu luas dan terlalu kuat bagi

5 Ibid, hal. 29

4

Pemegang Konsesi, sehingga kemudian diganti dengan Kuasa Pertambangan.

Pengusahaan pertambangan Migas dilakukan oleh Negara dan dilaksanakan hanya

oleh Perusahaan Negara. Hal ini tertuang di dalam Undang-Undang No. 37 Prp.6

Tahun 1960 Tentang Pertambangan, sebagai pengganti “Indische Mijn Wet”, dan

Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi. Selanjutnya pengelolaan Migas Indonesia dilakukan oleh Kementerian

Keuangan dengan kewenangan menunjuk Kontraktor untuk melaksanakan

pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh Perusahaan Negara.

Konsekuensinya semua Pemegang Konsesi Pertambangan Migas yaitu Shell,

Stanvac, dan Caltex pada saat itu beralih menjadi Kontraktor Perusahaan Negara.7

Kemudian juga terjadi perubahan dalam Perusahaan Pertambangan

Negara.8 NV

9 Nederlandsche Indische Aardolie Maatschappij (NV NIAM) yang

dimiliki oleh Pemerintah dan Shell, yang telah diubah menjadi PT PERMINDO

pada tanggal 1 Januari 1959, berakhir sesuai dengan akta pendiriannya pada

tanggal 13 Desember 1960. Kemudian dibentuklah Perusahaan Negara

Pertambangan Minyak Indonesia (PT PERTAMIN) untuk menggantikan PT

PERMINDO berdasarkan Undang-Undang No. 19 Prp. Tahun 1960 Tentang

Perusahaan Negara, dan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960. Menyusul

pada tanggal 10 Desember 1957, PT TMSU di Sumatera Utara juga diubah

6 Prp. adalah singkatan dari Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yang

ditetapkan oleh Presiden dalam keadaan yang mendesak atau memaksa 7 Rahman Agil, “Menilik Sejarah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Migas

Indonesia”, <http://redfox69.wordpress.com/2011/04/01/menilik-sejarah-kontrak-bagi-hasil-

production-sharing-contract-migas-indonesia/>, diakses 15 Februrari 2012 8 H. Syaiful Bakhri, Op. Cit., hal. 31-33

9 NV (Naamloze Vennootschap) adalah jenis badan hukum persekutuan usaha Perseroan Terbatas

yang dipakai pada zaman pemerintahan Hindia Belanda

5

menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT PERMINA), yang kemudian sejak

tanggal 1 Juli 1961 menjadi PN10

PERMINA berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 198 Tahun 1961. Pada pertengahan tahun 1960-an seluruh aset perminyakan

dan gas bumi yang sudah terikat Kontrak Karya11

dikuasai oleh Negara yang

pengelolaannya dilakukan melalui Perusahaan Negara yaitu PN PERTAMIN, PN

PERMINA, dan PN PERMIGAN. Pada tanggal 4 Januari 1966, berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi No. 6/M/Migas/66, seluruh

aset perusahaan PN PERMIGAN diserahkan kepada Departemen Urusan Migas.

Selanjutnya lapangan dan pabrik PN PERMIGAN yang berada di Cepu,

dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan yang kemudian dikenal dengan Akademi

Minyak dan Gas Bumi (AKAMIGAS), sedangkan fasilitas pemasaran diserahkan

kepada PN PERTAMIN dan fasilitas produksi diserahkan kepada PN PERMINA.

Kemudian PN PERTAMIN dan PN PERMINA dilebur menjadi PN

PERTAMINA atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968 Tentang

Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Nasional (PN

PERTAMINA). Kemudian pada tanggal 15 September 1971 didirikanlah

Perusahaan Pertambangan Migas Negara (PERTAMINA) sebagai pengganti PN

PERTAMINA berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang

Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, sebagai satu-satunya

Perusahaan Negara pemegang Kuasa Pertambangan Migas di Indonesia.

10

PN (Perusahaan Negara) adalah badan hukum usaha yang dimiliki oleh Negara 11

Kontrak Karya adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antara Pemerintah Republik

Indonesia dengan perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan perusahaan dalam

Negeri, dan perusahaan swasta dalam Negeri untuk melaksanakan usaha pertambangan di luar

Migas (Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 221)

6

PERTAMINA mengemban tugas sebagai pelaksana pengusahaan

pertambangan Migas. PERTAMINA juga mendapatkan Kuasa Pertambangan

Migas yang meliputi Eksplorasi, Eksploitasi, Pemurnian dan Pengolahan,

Pengangkutan serta Penjualan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PERTAMINA

dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil

yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut “KBH”, dengan syarat

tertentu dan berlaku setelah disetujui oleh Presiden untuk kemudian diberitahukan

kepada DPR-RI. Syarat-syarat dalam kerjasama tersebut, harus diusahakan

sebagai syarat yang paling menguntungkan bagi Negara.

Pada tanggal 23 November 2001, disahkanlah Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya dalam

penelitian ini disebut “UU Migas”, karena Undang Undang Nomor 44 Prp. Tahun

1960 dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan usaha pertambangan

Migas baik dalam taraf nasional maupun internasional. Dengan berlakunya UU

Migas, maka sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) UU Migas terdapat ketentuan yang

dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu :12

1. Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak

dan Gas Bumi;

2. Undang-Undang No. 15 Tahun 1962 Tentang Penetapan PERPU No. 2

Tahun 1962 Tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi

Kebutuhan Dalam Negeri;

12

Pasal 66 ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak

dan Gas Bumi

7

3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi Negara, berikut segala perubahannya, terakhir

dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1974.

4. Segala peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960,

dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971.

Namun, sesuai dengan Pasal 66 ayat (2) UU Migas, segala peraturan pelaksanaan

dari Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak

dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 2070) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang

Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara

Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) dinyatakan

tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan

baru berdasarkan UU Migas tersebut.13

Konsekuensi dari lahirnya UU Migas ini adalah, berubahnya status hukum

PERTAMINA menjadi PT PERTAMINA (PERSERO) yang untuk selanjutnya

dalam penelitian ini disebut “PT PERTAMINA”, pada tanggal 17 September

2003, dan Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Migas.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Migas, yang menyatakan bahwa : 14

(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan

yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia

merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara.

13

Pasal 66 ayat (2), Ibid 14

Pasal 4 ayat (1) dan (2), Ibid

8

(2) Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU Migas, Pemerintah sebagai pemegang

Kuasa Pertambangan Migas, membentuk Badan Pelaksana, yang dikenal sebagai

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang untuk

selanjutnya dalam penelitian ini disebut “BP Migas”. Kemudian dalam Pasal 1

angka 5 UU Migas, menyebutkan bahwa “Kuasa Pertambangan adalah wewenang

yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan

Eksplorasi dan Eksploitasi”.15

Pasal 1 angka 23 UU Migas, menyebutkan bahwa

“Badan Pelaksana adalah merupakan suatu badan yang dibentuk untuk melakukan

pengendalian Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi”.16

Di sinilah letak perbedaannya dengan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun

1960, dimana yang memegang Kuasa Pertambangan Migas adalah Perusahaan

Negara, yaitu PERTAMINA, sedangkan pada UU Migas, yang memegang Kuasa

Pertambangan Migas adalah Pemerintah, dengan membentuk BP Migas sebagai

badan yang melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Konsekuensi yang kedua, berdasarkan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun

1960, kegiatan usaha Migas itu mencakup hulu dan hilir, tetapi berdasarkan UU

Migas, kegiatan usaha Migas dipisahkan antara usaha hulu dan hilir. Untuk hulu

dibentuk BP Migas sedangkan untuk hilir dibentuk Badan Pengatur Hilir (BPH

Migas). Dengan kata lain PERTAMINA sebagai Badan Usaha Milik Negara

15

Pasal 1 angka 5, Ibid 16

Pasal 1 angka 23, Ibid

9

(BUMN) memiliki posisi yang sama dengan Kontraktor Migas lainnya, di bawah

BP Migas dan BPH Migas.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU Migas, Pemerintah sebagai pemegang

Kuasa Pertambangan Migas membentuk Badan Pelaksana yaitu Badan yang

dibentuk untuk melakukan kegiatan pengendalian di bidang Kegiatan Usaha Hulu

Migas, yaitu BP Migas. Kegiatan Usaha Hulu Migas itu sendiri menurut Pasal 6

ayat (1) UU Migas, dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama

yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut “KKS”.17

Pembentukan BP Migas, adalah melalui Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu

Minyak dan Gas Bumi. Dengan demikian, apabila suatu Badan Usaha hendak

mengadakan kerja sama dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas, akan berhubungan

dengan Ditjen Migas dan BP Migas. Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah

Nomor 42 Tahun 2002 Tentang BP Migas, salah satu tugas BP Migas adalah

melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha.18

Pengusahaan Migas di Indonesia terdiri dari dua kegiatan, yaitu Kegiatan

Usaha Hulu yang mencakup Eksplorasi19

dan Eksploitasi20

serta Kegiatan Usaha

Hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.

17

Pasal 6 ayat (1), Ibid 18

Pasal 11 huruf b, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi 19

Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi

untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja

yang ditentukan (Pasal 1 angka 8, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001

Tentang Minyak dan Gas Bumi) 20

Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas

Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur,

pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan

pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya (Pasal 1

angka 9, Ibid)

10

Kegiatan Usaha Hulu, merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu

pada kegiatan usaha Eksplorasi dan kegiatan usaha Eksploitasi. Kegiatan usaha

hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui KKS.21

Menurut Pasal 1 angka 19

UU Migas, “Kontrak Kerja Sama, adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak

kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih

menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”.22

Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan berdasarkan KKS,

yang dimana menurut Pasal 6 ayat (2) UU Migas, paling sedikit memuat : 23

1. Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada

titik penyerahan;

2. Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;

3. Modal dan Resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Badan Usaha

Tetap.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas, bahwa KKS

adalah KBH, atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan

Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka Pemerintah membuat peraturan

mengenai Pembagian Hasil Produksi Migas yang menguntungkan bagi Negara

yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang untuk

selanjutnya dalam penelitian ini disebut “Menteri ESDM” melalui Keputusan

Menteri ESDM. Perhitungan mengenai pembagian hasil produksi Migas diatur

21

Sie Infokum Ditama Binbangkum, Mengenal Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas di Indonesia,

hal. 1 22

Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak

dan Gas Bumi 23

Pasal 6 ayat (2), Ibid

11

dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2010

Tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak

Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya

dalam penelitian ini disebut “PP Cost Recovery & PPh”.

Salah satu perusahaan asing yang telah mengadakan Kontrak Kerja Sama

Eksplorasi dan Eksploitasi Migas dengan BP Migas di Indonesia dan masih

berjalan sampai saat ini adalah PT Chevron Pacific Indonesia yang berkedudukan

di Indonesia, dan merupakan anak perusahaan dari Chevron Corporation yang

berkedudukan di California, Amerika Serikat.

Sejarah PT Chevron Pacific Indonesia di Indonesia24

berawal di tahun

1924 dengan berdirinya Standard Oil Company Of California (SOCAL). Survey

eksplorasi diawali di pulau Sumatra, Jawa Timur dan Kalimantan Timur yang

dimulai pada tahun 1924 dipimpin oleh Emerson M. Butterworth dengan

mengadakan pengeboran minyak di daerah tersebut. Tim Butterworth juga

melakukan survey eksplorasi di bagian utara pulau Papua dan terhenti karena

Indonesia masih dibawah penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1930, tim

tersebut mengajukan izin pengeboran minyak kepada Pemerintah Hindia Belanda

untuk mengajukan pengeboran minyak di pulau-pulau tersebut, karena

berdasarkan survey mereka menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki

kandungan minyak yang cukup potensial. Pada tahun yang sama, Pemerintah

Hindia Belanda memberikan izin kepada SOCAL untuk melanjutkan

24

Yulyanti_TK_PCR, “Info : Sejarah Singkat PT. Chevron Pacific Indonesia | Sejarah PT.

Chevron Pacific Indonesia | Sejarah PT. CPI | Sejarah”,

<http://cheatlinknote.blogspot.com/2011/09/info-sejarah-singkat-pt-chevron-pacific.html>, diakses

15 Februari 2012

12

eksplorasinya di daerah Sumatra Tengah dan dibentuklah NV Nederlanche Pacifik

Petroleum Maatchappij (NPPM) pada bulan Juni 1930.

Pada tahun 1935, SOCAL ditawari pemerintah Hindia Belanda suatu

daerah seluas 600.000 hektar di daerah Sumatra Tengah. Kemudian pada bulan

Juli 1936 SOCAL dan TEXAS Company (TEXACO) yang merupakan dua

perusahaan besar Amerika itu bergabung menjadi California Texas Petroleum

Corporation (CALTEX). Pengeboran minyak di kawasan Riau dimulai pada tahun

1934, namun cadangan minyak yang pertama kali ditemukan NPPM terdapat di

lapangan Sebanga pada bulan Agustus 1940. Kemudian berturut-turut pada bulan

berukutnya ditemukan kembali cadangan-cadangan minyak yang baru antara lain

di lapangan Rantau Bais dan di lapangan Duri pada bulan November 1941.

Pada saat perang dunia ke-2 kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak

oleh NPPM di Riau dihentikan. Semua ladang minyak NPPM di daerah itu

diduduki dan dikuasai oleh tentara Jepang. Pada tahun 1944 Jepang juga

menemukan ladang minyak di Minas yang terbukti memiliki potensi sebagai

penghasil minyak terbesar di dunia. NPPM menghentikan seluruh kegiatannya di

Indonesia sampai masa perang kemerdekaan. NPPM mulai aktif kembali

melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi setelah perang kemerdekaan usai.

Pada tahun 1950-an NPPM berubah nama menjadi Caltex Pacific Oil

Company (CPOC) dan telah menanamkan modalnya lebih dari 50 juta Dollar

Amerika di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960,

ditetapkan bahwa semua kegiatan penambangan Migas di Indonesia hanya

dilakukan oleh PERTAMINA.

13

Pada tahun 1963, CPOC berubah nama menjadi Caltex Pacific Company

(CPC) dan menjadi Kontraktor untuk PERTAMINA. Kemudian pada tahun 1970-

an CPC berubah nama menjadi PT Caltex Pacific Indonesia. Pada bulan

September 1963, diadakanlah Kontrak Karya antara PERTAMINA dengan PT

Caltex Pacific Indonesia yang antara lain isinya menyatakan bahwa wilayah PT

Caltex Pacific Indonesia adalah wilayah yang disebut dengan Kangaroo Block25

dengan luas 9.030 km2.

Pada tahun 1968, diadakan penambahan luas wilayah, yaitu sekitar Minas

Tenggara, Libo Tenggara, Libo Barat dan Sebanga, sehingga luas wilayah kerja

PT Caltex Pacific Indonesia seluruhnya menjadi 9.898 km2. Kemudian kontrak

karya yang berakhir pada tanggal 28 Agustus 1983 diperpanjang menjadi KBH

sampai tanggal 8 Agustus 2001 dengan wilayah kerja seluas 31.700 km2. Dalam

KBH tersebut antara lain menetapkan bahwa PERTAMINA adalah pengendali

manajemen operasional dan harus menyetujui program kerja dan anggaran

tahunan.

Pada tahun 2005, CALTEX, sebagai anak perusahaan CHEVRON dan

TEXACO diakuisisi oleh CHEVRON bersama dengan TEXACO dan UNOCAL,

maka resmi nama PT Caltex Pacific Indonesia berubah menjadi PT Chevron

Pacific Indonesia yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut “PT CPI”.

PT CPI sebagai Kontraktor berkewajiban melaksanakan kegiatan

operasional, menyediakan keahlian teknis, dana investasi, serta biaya operasi, dan

menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) dari bagiannya kepada Negara untuk

25

Disebut dengan Kangaroo Block, karena bentuknya pada peta yang menyerupai hewan kangguru

14

pemenuhan kebutuhan dalam Negeri. Perbandingan pembagian hasil Kegiatan

Usaha Hulu Migas untuk KBH tersebut adalah sebesar 88% (delapan puluh

delapan persen) untuk PERTAMINA dan 12% (dua belas persen) untuk PT CPI

ditambah dengan ketentuan khusus lainnya berupa insentif bagi PT CPI untuk hal-

hal tertentu. Kemudian berdasarkan UU Migas, pemegang Kuasa Pertambangan

Migas di Indonesia adalah Pemerintah dengan membentuk BP Migas, dengan

demikian KBH tersebut beralih dari PERTAMINA kepada BP Migas dengan

KKS baru antara BP Migas dengan PT CPI pada tahun 2001.

Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian

hukum mengenai : Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hasil

Produksi dalam Kontrak Kerja Sama antara BP Migas dengan PT Chevron Pacific

Indonesia.

Alasan mengapa penulis ingin mengadakan penelitian hukum mengenai

hal tersebut di atas adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan prinsip

pembagian hasil produksi dalam KKS antara BP Migas dengan PT CPI sudah

dilaksanakan dengan baik, dan untuk mengetahui seberapa besar timbal balik

yang diberikan oleh PT CPI kepada Negara dan rakyat Indonesia yang telah

memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada PT CPI sebagai Kontraktor

KKS Migas untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu Migas di Indonesia, dan

bagaimana prospek ke depannya bagi masa depan Negara dan rakyat Indonesia.

15

1.2 Rumusan Masalah

Atas dasar latar belakang masalah tersebut, maka timbul beberapa pokok

permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana pelaksanaan prinsip pembagian hasil produksi dalam Kontrak

Kerja Sama antara BP Migas dengan PT Chevron Pacific Indonesia?

2. Bagaimana pelaksanaan pembagian hasil produksi dalam Kontrak Kerja

Sama antara BP Migas dengan PT Chevron Pacific Indonesia menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian hukum ini adalah untuk :

1. Menelusuri dan menemukan, serta menganalisis secara jelas mengenai

pelaksanaan prinsip pembagian hasil produksi dalam Kontrak Kerja Sama

antara BP Migas dengan PT Chevron Pacific Indonesia.

2. Menelusuri dan menemukan, serta menganalisis secara jelas mengenai

pelaksanaan pembagian hasil produksi dalam Kontrak Kerja Sama antara

BP Migas dengan PT Chevron Pacific Indonesia menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku saat ini.

16

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan penulis dalam pembuatan skripsi hukum

ini mempunyai dua manfaat, yaitu :

1. Manfaat Teoritis : penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum mengenai

pembagian hasil produksi dalam Kontrak Kerja Sama Eksplorasi dan

Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi pada khususnya.

2. Manfaat Praktis : penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi para pihak yang terlibat atau terkait dengan pembagian

hasil produksi dalam Kontrak Kerja Sama Eksplorasi dan Eksploitasi

Minyak dan Gas Bumi, baik Pemerintah, Badan Usaha, maupun

masyarakat pada umumnya, serta praktisi hukum pada khususnya.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi hukum ini, penulis akan membaginya kedalam

lima bab, yang terdiri dari :

1. Bab I, membahas Pendahuluan, terbagi kedalam lima sub-bab, terdiri dari

Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

dan Sistematika Penulisan.

Pada Bab I, penulis membahas garis besar dari sejarah peraturan

perundang-undangan mengenai Migas di Indonesia, sejarah pemegang hak

penguasaan atas Migas di Indonesia, sejarah pengelolaan Migas di

Indonesia, sejarah Perusahaan Pertambangan Migas di Indonesia, dan

17

sejarah terbentuknya BP Migas, serta sejarah berdirinya PT CPI di

Indonesia.

2. Bab II, membahas Tinjauan Pustaka, terbagi kedalam dua sub-bab, terdiri

dari Landasan Teori, dan Landasan Konseptual.

Pada Bab II, penulis membahas garis besar mengenai KKS usaha

pertambangan Migas yang dipakai di Indonesia, sejarah peraturan

perundang-undangan dan jenis kontrak yang dipakai dalam bidang

pertambangan Migas di Indonesia, syarat dan ketentuan untuk melakukan

usaha di bidang pertambangan Migas di Indonesia, serta uraian yang

memberikan pemahaman mengenai definisi dan terminologi yang

digunakan dalam penelitian hukum ini.

3. Bab III, membahas Metode Penelitian, terbagi kedalam empat sub-bab,

terdiri dari Jenis Penelitian, Objek Penelitian, Sifat Analisis, serta

Hambatan dan Penanggulangan dalam menulis skripsi hukum.

4. Bab IV, membahas Hasil dan Pembahasan, berisi hasil dari penelitian

hukum yang dilakukan penulis, dan pembahasan dari permasalahan atau

isu hukum yang dibahas dalam penelitian hukum yang dilakukan penulis

berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan oleh penulis.

Pada Bab IV, penulis melakukan pembahasan mengenai pelaksanaan

prinsip pembagian hasil produksi dalam KKS antara BP Migas dengan PT

CPI, dan pelaksanaan pembagian hasil produksi dalam KKS antara BP

Migas dengan PT CPI menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku saat ini.

18

5. Bab V, membahas Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan dari seluruh

pembahasan dari permasalahan atau isu hukum yang dibahas dalam

penelitian hukum yang dilakukan penulis, serta saran yang berbentuk

preskriptif, yang diberikan penulis terhadap permasalahan atau isu hukum

yang dibahas dalam penelitian hukum yang dilakukan penulis.