12
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Islam-Kristen (sebutan akrab: Salam-Sarane) di Maluku pada satu sisi, terkesan sangatlah damai, rukun dan hidup saling berdampingan. Hubungan Salam-Sarane ini terbangun lestari dalam satu khasana kearifan lokal di Maluku yang dinamakan“Pela”. 1 Pela sebagai sebuah sistem kekerabatan yang menekankan relasi persaudaraan (orang basudara:bersaudara) telah menghasilkan sebuah sinergi, equal, dan penghargaan. Implementasi dari konsepsi orang basudarasecara kontekstual teraktualisasi ketika kedua negeri bersamasama melakukan masohi(tindakan kerjasama dan tolong menolong) pembangunan rumah ibadah (Mesjid dan Gereja), pihak saudara pela akan menyediakan segala bahan materiil dan tenaga fisik. Tindakan ini dianggap sebagai sebuah kewajiban mutual yang justru semakin mempererat ikatan Pela Gandong antar negeri. 2 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik individu maupun komunitas dalam satu negeri yang berpela adalah relasi persaudaraan. Persaudaraan ini erat terbangun dalam aktifitas bersama yang saling melihat pemenuhan kebutuhan hidup kedua belah pihak. Ironisnya, Pela dalam konteks berlangsungya konflik ternyata belumlah efektif berguna sebagai instrumen penanganan konflik. Konflik tetap saja tak dapat dihindari dan terhentikan. Budaya Pela Gandong yang sarat dengan nilai keluhuran: penghargaan dan penghayatan terhadap kepelbagaian, salah satunya keagamaan “telah terselewengkan” atau dimanipulasi dan direkaya dalam pandangan-pandangan keagamaan yang berdimensi politik: sistem kekuasaan yang sektarian. 3 1 Pela sebenarnya berasal dari kata peia yang berarti „saudara‟. Makna dari hubungan ini sangat penting dikaitkan dengan tradisi „perburuan kepala‟ manusia di antara suku-suku di sana. Yang akan diburu adalah kepala dari mereka yang bukan „saudara‟. Jika itu „saudara‟ maka perkelahian bahkan perdebatan pun dilarang. Seri budaya pela gandong dari pulau ambon. (lembaga kebudayaan daerah Maluku, 1997), 15-19 2 Roubrenda N. Ralahallo. Kultur Damai Berbasis Tradisi Pela Dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Psikologi Volume, 36,2,2009. 177 188 3 Forum Kepedulian Kerusuhan Maluku (FKKM):Studi Kritis atas Kerusuhan Maluku (Ambon) dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta, 1999

BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan Islam-Kristen (sebutan akrab: Salam-Sarane) di Maluku pada satu

sisi, terkesan sangatlah damai, rukun dan hidup saling berdampingan. Hubungan

Salam-Sarane ini terbangun lestari dalam satu khasana kearifan lokal di Maluku

yang dinamakan“Pela”.1 Pela sebagai sebuah sistem kekerabatan yang

menekankan relasi persaudaraan (orang basudara:bersaudara) telah menghasilkan

sebuah sinergi, equal, dan penghargaan. Implementasi dari konsepsi “orang

basudara” secara kontekstual teraktualisasi ketika kedua negeri bersama‐sama

melakukan “masohi”(tindakan kerjasama dan tolong menolong) pembangunan

rumah ibadah (Mesjid dan Gereja), pihak saudara pela akan menyediakan segala

bahan materiil dan tenaga fisik. Tindakan ini dianggap sebagai sebuah kewajiban

mutual yang justru semakin mempererat ikatan Pela Gandong antar negeri.2

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar

Islam-Kristen baik individu maupun komunitas dalam satu negeri yang berpela

adalah relasi persaudaraan. Persaudaraan ini erat terbangun dalam aktifitas

bersama yang saling melihat pemenuhan kebutuhan hidup kedua belah pihak.

Ironisnya, Pela dalam konteks berlangsungya konflik ternyata belumlah efektif

berguna sebagai instrumen penanganan konflik. Konflik tetap saja tak dapat

dihindari dan terhentikan. Budaya Pela Gandong yang sarat dengan nilai

keluhuran: penghargaan dan penghayatan terhadap kepelbagaian, salah satunya

keagamaan “telah terselewengkan” atau dimanipulasi dan direkaya dalam

pandangan-pandangan keagamaan yang berdimensi politik: sistem kekuasaan

yang sektarian.3

1 Pela sebenarnya berasal dari kata peia yang berarti „saudara‟. Makna dari hubungan ini sangat

penting dikaitkan dengan tradisi „perburuan kepala‟ manusia di antara suku-suku di sana. Yang

akan diburu adalah kepala dari mereka yang bukan „saudara‟. Jika itu „saudara‟ maka perkelahian

bahkan perdebatan pun dilarang. Seri budaya pela gandong dari pulau ambon. (lembaga

kebudayaan daerah Maluku, 1997), 15-19 2 Roubrenda N. Ralahallo. “Kultur Damai Berbasis Tradisi Pela Dalam Perspektif Psikologi

Sosial”. Jurnal Psikologi Volume, 36,2,2009. 177 – 188 3 Forum Kepedulian Kerusuhan Maluku (FKKM):Studi Kritis atas Kerusuhan Maluku (Ambon)

dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta, 1999

Page 2: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

2

Pela Gandong4merupakan sebuah pranata adat dan budaya masyarakat

Maluku yang telah mengintegrasikan masyarakat Maluku yang tersekat oleh

identitas keagamaan (Islam-Kristen) dalam ikatan “persaudaraan abadi”

(terkukuhkan melalui ritual adat pela yang dianggap sakral). Hubungan Pela

Gandong adalah perikatan saudara antara beberapa negeri/desa.5 Kendati

hubungan sekutu pela Islam-Kristen baik, namun hal itu hanya terbatas pada

sekutu pela saja. Ia tidak bersifat general bagi semua negeri. Hal itu terlihat jelas

dalam pengalaman konflik tidak pernah terjadi konflik antar sekutu Pela

Gandong. Bahkan sesama saudara “pela” saling melindungi dan membantu

selama terjadinya konflik. Namun itu hanya terbatas pada sekutu pela, karena

tetap akan terjadi penyerangan pada daerah-daerah lain yang tidak berhubungan

pela. Pela sebenarnya sebuah relasi yang sangat ekslusif sebatas hubungan antar

saudara.6

Berdasarkan pemahaman diatas, maka harus diakui bahwa posisi sentral adat,

sebagai sebuah lembaga yang mempersatukan masyarakat yang berPela Gandong

secara eksklusif ternyata masih memiliki keterbatasan. Hubungan persaudaraan

Islam-Kristen dalam adat budaya Pela Gandong itu tidak mengakomodir

kepelbagaian identitas etnis masyarakat Maluku. Misalnya, para migran yang

berasal dari Sulawesi: Bugis, Buton, Makassar dan Jawa yang tidak terintegrasi ke

dalam struktur tradisional dan adat tersebut.

Pada sisi lain, historitas hubungan kedua komunitas agama ini ternyata juga

memperlihatkan adanya pertikaian atau konflik yang terekam menjadi memori

4 Istilah Pela Gandong yang dimaksudkan menunjuk pada dua kata yang memiliki satu

pengertian yakni: hubungan persaudaraan. Bdg. D.C.M. Pattiruhu. Seri budaya Pela-Gandong

dari pulau Ambon, Ambon. LKDM, 1997. 2-3. Terdapat beberapa jenis Pela: pela darah atau

pela batu karang. Ditetapkan dengan ketat melalui sumpah para leluhur dengan meminum darah.

Pela ini abadi dan melarang perkawinan antar sekutu pela, berkewajiban saling membantu dalam

masa perang atau krisis; pela-gandong: didasarkan pada ikatan keturunan kekeluargaan

(pernikahan leluhur: pela tempat-sirih: terbentuk setelah ada peristiwa kecil, untuk memulihkan

kedamaian setelah ada peristiwa pertikaian, atau setelah satu negeri member bantuan kepada

negeri yang lain. Lihat. John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: menggali dari tradisi Pela di

Maluku. (Salatiga : Satya Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi

Sosiologi Agama, 2007), 171-178. 5 Konon ikatan persaudaraan pela terbentuk sesuai konteks pembentukannya, misalnya:

pertikaian dua negri yang berakhir dengan tanda ada dua pihak yang kalah dan yang menang.

Lihat: Frank. L. Coley, Mimbar dan Tahta (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 183-188 6 J. Manuputty & D. Wattimnela, “Konflik Maluku” dalam Potret Retak Nusantara: Studi Kasus

Konflik di Indonesia. Center for Security and Peace Studies, Editor,

Lambang,Trijono,ddk,(Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada,2004), 94

Page 3: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

3

pahit yang mendarah-daging dalam tubuh orang Maluku. Perjumpaan Islam-

Kristen dimulai sejak abad ke-16dalam bingkai perlawanan kekuasaan

Islam7versus kepentingan Portugis dan Belanda. Motif beragama kala itu sudah

sangatlah terpolitisasi dan diskriminatif. Orang yang menjadi Kristen akan

dianggap merupakan musuh Islam, begitu pula sebaliknya, menjadi Islam sama

artinya dengan melawan kekuasaan Penjajah. Konflik makin menguat ketika

kekuasaan VOC selama 70 tahun (1605-1675) secara intensif melakukan

Protestantisasi terhadap penduduk yang beragama lain di pulau Ambon serta

wilayah bagian-bagian lain di Maluku. Ketegangan yang mengeras makin nampak

eksplisit ketika Pemerintah Belanda yang memanfaatkan para penduduk setempat

yang telah dikristenkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan mereka dengan

modus-modus: memberikan kesempatan kepada orang Kristen untuk mengikuti

pendidikan, terlibat usaha dagang dan bekerja sebagai pegawai dan tentara

kolonial, dan tidak sebaliknya terhadap orang Islam.8

Berbagai penelusuran historis hubungan Islam-Kristen di Maluku hendak

menjelaskan bahwa ketika relasi agama-agama (Islam-Kristen) ditempatkan

dalam suatu “arena publik”: politik dan kekuasaan maka, terdapat fenomena relasi

ketidaksetaraan. Individu maupun komunitas agama (Islam-Kristen) dijadikan

objek yang diperdayakan, diperalat dan dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan

kekuasaan.

Konflik atau pertikaian antara komunitas Islam-Kristen di Maluku, kota

Ambon mulai pecah pada 19 Januari 1999, diawali dengan perseteruan antara dua

orang pemuda, masing-masing 1dari Kristen dan 1 dari Islam. Perseteruan antar

pribadi ini kemudian berkembang menjadi perseteruan komunal dan merambat

dengan sangat cepat dengan isu-isu yang memposisikan keduanya dengan

mengatas namakan latar belakang agamanya masing-masing. Pemaknaan konflik

7 Kekuasaan Islam (dalam bidang perdagangan rempah-rempah) telah terbangun sejauh sebelum

masuknya bangsa Eropa: Portugis di Maluku. Keuasaan Islam terpusat di Tarnate dan Tidore.

Atas dasar kepentingan ekonomi inilah proses Islamisasi terjadi di Hitu ( daerahUtara Pulau

Ambon), Sedangkan Portugis, sebagai “peletak dasar sosial” kekristenan berkepentingan untuk

meluaskan kekuataan melawan para pedagang Asia. Perjumpaan Protugis-Islam pada masa ini

telah menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antara penduduk Ambon. Hitu, Tarnate-TidoreI

(slam) –Portugis. Bnd, John. Chr. Ruhulessin, Etika Publik. . . (1997), 214-219. 8 Yance Z. Rumahuru,“Agama sebagai Fondasi Perkembangan Masyarakat dan Perubahan

Sosial: Studi Kasus Orang Hatuhaha di Negeri Pelauw Maluku Tengah”. Harmoni: Jurnal

Multikultural & Multireligius. 2013. Vol. 12,144-160

Page 4: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

4

dirumuskan sebagai “perang agama”. Selama konflik ini, bentrokan dan

kekejaman yang dilakukan dari kedua belah pihak menjadi berkepanjangan dan

berdampak destruktif secara fisik dan psikis: ribuan korban jiwa, pegungsian

sepertiga dari penduduk Maluku dan Maluku Utara, hancurnya infrastruktur

(ekonomi, pendidikan dsb) dan trauma psikologis yang dialami masyarakat

Maluku (Muslim-Kristen). Konflik menjadi problematika kemanusiaan yang

digumuli oleh seluruh komponennya (baik individu dan komunitas). 9

Konflik yang berujung ketidakharmonisan hubungan kedua agama (Islam-

Kristen) merupakan hal yang telah merusak kesatuan di dalam masyarakat.

Hubungan masyarakat kedua komunitas yang diidealkan (integrasi) dihalangi oleh

dampak psikologi-sosial: trauma, stress, hilangnya rasa percaya diri, frustasi, rasa

cemas, rasa takut, kebencian, dendam yang terus menghantui kehidupan

masyarakat. Trauma konflik yang dialami mendorong segregasi yang

teridentifikasi dalam mana letak pemukiman yang dulunya berbaur; aktifitas

sosial dan ritual keagamaan (tempat ibadah) kini telah terkotak-kotakan menurut

letak hunian masing-masing komunitas pasca konflik.

Masyarakat kini telah sampai pada titik pemahaman yang mendasar bahwa

konflik tidak membawa keuntungan bagi mereka namun menyebabkan kerugian

dengan terciptanya suasana yang tidak harmonis diantara masyarakat. Pemaknaan

diri sebagai korban menjadi substansi dari realitas konflik sebagai memori

kolektif. Dalam konteks pasca konflik masyarakat Maluku tanpa membedakan

latar belakang agama itu telah berstatus korban.

Sebagai respon terhadap hal tersebut, individu maupun instansi (pemerintah-

gereja) telah menunjukan kepekaan terhadap fenomena-fenomena kemajemukan,

menyadari dan mengakui pentingya dialog dan kerjasama lintas agama sebagai

upaya untuk memupuk kesatuan dalam menggapai visi bersama dan yang intrinsik

dalam semua ajaran agama dan kearifan lokal Maluku, yakni perdamaian: rukun

dan harmonis. Kerukunan yang didukung oleh ajaran agama dan kearifan lokal

tersebut berubah menjadi kasus-kasus konflik antar umat beragama yang faktanya

tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan dan pemahaman keber-agama-an yang

9 Cate, Buchanan. Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua

dan Poso. (LIPI, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue. Geneva. 2011),15

Page 5: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

5

eksklusif dan parsial.10

Melainkan juga sebagai akumulasi persoalan-persoalan

lingkup sosial, ekonomi, politik dan dsb.11

Konflik adalah luapan dari krisis

ekonomi dan politik: sejarah sosial (kolonial) dan politik permainan kekuasaan

tingkat nasional bahkan internasional, bisnis militer.12

Selanjutnya, dialog dan kerjasama antar kedua komunitas ini terakomodir

dalam berbagai program-program lintas instansi (pemerintah dan swasta) yang

menjaring berbagai komponen masyarakat dari berbagai latar belakang yang

berbeda dengan sejumlah kegiatan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan

manusia secara utuh; fisik-psikis, jasmani-rohani ritual semisal, menjaga

pengamanan bersama ketika umat kristen merayakan natal, begitu juga sebaliknya

islam dan moment institutif; memfasilitasi ruang-ruang diskusi pemantapan

pemahaman teologis masing-masing agama yang menolak fanatisme agama.13

Promotor dari kegiatan-kegiatan ini tidak lain dilakoni oleh tokoh-tokoh Agama

dan tokoh Adat dari masing-masing komunitas.

Peran tokoh-tokoh masyarakat (adat-agama) terkhususnya kristen menjadi

indikator betapa pentingnya posisi pelayan juga umat dalam kapasitas struktur dan

fungsional dalam memaksimalkan tanggungjawab pastoralianya, antara lain:

penyembuhan, mendukung, membimbing dan memelihara (mendamai)14

ditengah-tengah konteks hubungan pribadi maupun komunitas sebagai klien

dalam menghadapi problematika psikologi-sosial yang menerpa pasca konflik

yang bermuara pada “derita komplikasi” hubungan Islam-Kristen di kota Ambon.

10

Eksklusifitas dan parialistas pemahaman beragama dibahasakan oleh I. W. J. Hendriks,

sebagai Ideologi dualistis hierarkis: spritualitas yang mengarah ke dalam dan individualistis

(kelembagaan Gereja dijadikan sebagai tujuan utama bergereja). Indikatornya dalam teologi dan

ajaran gereja tentang extra Ecclesia nulla salus (dualistis pemahaman: keselamatan hanya di

dalam gereja dan karena itu orang lain harus harus dijadikan Kristen). Menganggap agama kristen

yang superior dan agama lain inferior. Pemahan ini tidak menghargai pluralisme masyarakat.

Band. I.W.J. Hendriks “Ketika Gereja Bicara”, dalam Carita Orang Basudara,Kisah-Kisah

Perdamaian dari Maluku Editor : Jacky Manuputty,dkk (Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku &

PUSAD Paramadina,2014), 129-140 11

Alirman Hamzah, “Hubungan Antar Umat Beragama: Pengalaman Rukun dan Konflik di

Indonesia”, Jurnal TAJDID. Vol. 2,2014,155-179 12

George JunusAditjondro, “Orang-Orang Jakarta Di Balik Tragedi Maluku”. Moluccas

International Campaign for Human Right,2001. 13

Hakis, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, “Komunikasi Antar Umat Beragama di

Kota Ambon ” Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 5, 2011,98-113 14

William A. Clebsch, Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, (Englewood

Cleffs, N. J : Prentice-Hall, 1964),33.

Page 6: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

6

Problematika hubungan Islam-Kristen pasca konflik dengan berbagai

fenomena sebab-akibat, memunculkan persoalan-persoalan menyangkut keutuhan

hidup masyarakat (umat: individu-komunitas) secara ekonomi, sosial-budaya,

psikologi dan spiritual. Dalam menanggulangi dan mengantisipasi realita

konfliktual di Maluku, maka dibutuhkan sebuah pembaruan terhadap pendekatan

pelayanan konseling (pastoral) dengan cara membangun suatu paradigma

pelayanan yang lintas agama dan budaya15

yang bermuara bagi terciptanya suatu

pendekatan konseling konflik.

Problematika konflik yang terjadi di Maluku mereprentasikan bagaimana

agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas sosial yang menyatukan

serta membedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan

dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka”, yang akan kokoh di

tengah situasi konflik. Benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan

perdamaian, tetapi juga benar jika dikatakan bahwa semua agama, baik dalam

sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari

beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok. Agama dan kekerasan

saling berhubungan dan ambiguitas, yang sangat nyata.16

Untuk itu, paradigma

dan pendekatan konseling lintas agama dan budaya merupakan sebuah solusi

alternatif merangkul, mempertemukan, pendampingan, pemecahan masalah

hubungan Islam-Kristen baik individu-komunitas (masyarakat) tanpa

mengabaikan eksistensi kepelbagaian secara khusus agama-agama dengan seluruh

kekhasannya yang membedakan satu dengan yang lain.

Paradigma pelayanan konseling lintas agama dan budaya memandang

dinamika hubungan Islam-Kristen dalam kontek sebelum dan saat konflik yang

dibingkai dalam budaya Pela Gandong sebagai ruang perjumpaan dan

pendampingan antar individu dan komunitas. Budaya Pela Gandong telah

mengakomodir keberadaan dan peradaban ke-Maluku-an yang interkultural dan

intereligius. Kesadaran akan pentingya pengaruh agama dan budaya akhirnya

15

J. D. Engel, mendefenisikan konseling lintas agama dan budaya sebagai suatu proses

pemberian bantuan dari seorang konselor terhadap klien yang berbeda latar belakang agama dan

budaya. Istilah lintas agama dan budaya memuat perbandingan antar kedua kelompok yang

berbedaa agama atau budaya yang bermuatan nilai. Bnd. J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-

isu Kontemporer, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016),80 16

Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi. Meretas kebersamaan: Polisi, Kebebasan Beragaman

dan Perdamaian. (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011),160-163

Page 7: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

7

membuka wawasan bagi upaya membangun sebuah pendekatan konseling yang

berbasis niai-nilai (spiritual) agama dan budaya.

Hubungan Islam-Kristen di dalam Pela Gandong telah digoyahkan oleh

konflik berdarah yang sarat dengan muatan kepentingan, ketidakpuasan

masyarakat terkhususnya realitas termarginalkan, represif, kemiskinan orang

Maluku sehingga mudah terprovokasi dan diperalat oleh “kekuasaan“, yang telah

terefleksikan dalam pemaknaan sebagai korban. Realitas konflik yang telah

menciptakan intensitas dan kualitas kerjasama dan dialog praksis sosial seluruh

komponen masyarakat Maluku memperlihatkan adanya dimensi pemberdayaan

masyarakat sebagai aktor atau subjek konseling lintas agama dan budaya dengan

mekanisme pelayanan yang korporatif yang lintas profesi dan instansi.

Pendekatan konseling lintas agama dan budaya akan memandang hubungan

Islam-Kristen dalam Pela Gandong yang telah dihancurkan oleh konflik berdarah

di kota Ambon sebagai momentum merevitalisasi esensi gagasan Pela

Gandong:“orang basudara“ sebagai instrumen pemulihan atau perdamaian

hubungan Islam-Kristen di Maluku.

Berdasarkan pada apa yang telah diuraikan di atas, peneliti kemudian tertarik

untuk dapat memahami lebih mendalam melalui penelitian dengan mengangkat

judul:

“Pela Gandong Sebagai Konseling Orang Basudara Dan Agen Perdamaian

Konflik Islam-Kristen Di Ambon”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang di atas maka, masalah penelitian dirumuskan

sebagai berikut: bagaimana Pela Gandong sebagai konseling orang basudara dan

agen perdamaian konflik islam-kristen di Ambon?. Rumusan penelitian

dijabarkan dalam pokok-pokok penelitian, antara lain:

1. Bagaimana hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebelum dan saat

konflik di kota Ambon?

2. Bagaimana konflik berdarah di kota Ambon dikaji dari prespektif hubungan

Islam-Kristen dalam Pela Gandong serta dari pendekatan konseling lintas

agama dan budaya?

Page 8: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

8

3. Bagaimana mengembangkan hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandon

sebagai pendekatan konseling orang basudara dan agen perdamaian konflik

Islam-Kristen di Ambon?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Pela Gandong sebagai

konseling orang basudara dan agen perdamaian konflik islam-kristen di Ambon.

Tujuan penelitian ini dijabarkan dalam pokok-pokok sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis hubungan Islam-Kristen dalam Pela

Gandong sebelum dan saat konflik di kota Ambon.

2. Mengkaji konflik berdarah di kota Ambon dari prespektif Islam-Kristen

dalam hubungan Pela Gandong serta dari pendekatan konseling lintas agama

dan budaya.

3. Mengembangkan hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebagai

pendekatan Konseling orang basudara dan agen perdamaian konflik Islam-

Kristen di Ambon.

D. Signifikansi Penelitian

Adapun signifikansi penelitian yaitu secara akademis dan Praktis:

1. Akademis.

Menjadi bahan informasi bagi peningkatan ilmu pengetahuan dan referensi

bagi penelitian selanjutnya di bidang Konseling Pastoral untuk menyikapi

realitas konflik Islam-Kristen di kota Ambon sebagai salah satu setting-

konseling masyarakat multikulrual-multireligius.

2. Praktis.

Memberikan kontribusi kepada Gereja Protestan Maluku dalam upaya

mengoptimalkan pelayanan konseling (Pastoral) bagi pertumbuhan dan

perkembangan spritualitas umat (masyarakat) Kristen. Spiritualitas keumatan

tidak hanya terkait sebuah relasi dengan yang “transenden” tetapi selebihnya

yakni sebuah relasi sosial-praksis yang lintas agama dan budaya di Ambon.

Page 9: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

9

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitif dengan pendekatan

kualitatif. Pendekatan kualitatif menekankan segi akurasi data, maka akan

menggunakan pendekatan induktif, yang artinya data akan dikumpulkan, didekati,

dan diabstrasikan.17

Untuk iu, penelitian ini memuat prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dari objek dan perilaku yang dapat

dipahami. Data yang telah dideskripsikan memerlukan ketajaman analisa, objektif

dan sitematik sehingga diperoleh ketepatan interpretasi, sebab-akibat dari suatu

fenomena atau gejala yang bagi pendekatan kualitatif adalah totalitas.

Selanjutnya, Penelitian dengan metode deskriptif meneliti status sekelompok

manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem, pemikiran ataupun suatu

kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi,

secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat-sifat serta hubungan

antara fenomena, sedangkan penelitian dengan studi analitis bertujuan untuk

menguji hipotesis-hipotesis dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam tentang

hubungan-hubungan. Metode deskriptif dan analitis juga mendesain studi historis

yang mencakup aspek mencari material, menguji secara kritis asal dan keaslian

sumber sejarah, serta validasi dari sumber tersebut memberikan interpretasi dan

pengelompokan fakta-fakta, serta hubungannya dengan formulasi serta

melukiskan hasil penemuan.18

Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka akan dideskripsikan dan

dianalisis hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebelum, saat konflik di

kota Ambon. Selanjutnya, akan dikaji hubungan Islam-Kristen dalam Pela

Gandong yang tergoyahkan oleh konflik dari prespektif hubungan Islam-Kristen

dalam Pela Gandong serta dari pendekatan konseling lintas agama dan budaya.

Melaluinya, fakta historis konflik Islam-Kristen dalam hubungan Pela Gandong

yang telah dideskripsikan dan dianalisis (terkaji) tersebut akan dikembangkan

menja disebuah pendekatan Konseling Konflik Lintas Agama dan Budaya dalam

konteks masyarakat di kota Ambon, dalam hal ini yakni: Pendekatan Konseling

Orang Basudara dan agen perdamaian konkflik di kota Ambon.

17

Lht. Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: dari Denzin Guba dan

Penerapannya (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 5. 18

M. Natzir, Metode Penelitan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009),55-62, 89.

Page 10: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

10

Penelitian mengambil lokasi di Kota Ambon, tepatnya pada masyarakat atau

jemaat atau negeri (Baca: desa) Batu merah (Islam) – Passo (Kristen). Alasan

dipilihnya Batu merah-Passo sebagai tempat penelitian adalah karena keduanya

memiliki hubungan sebagai Pela Gandong. Selain itu, Batu merah yang terdiri

dari ± 3-10% komunitas Kristen dan 90% komunitas Muslim, juga merupakan

lokasi pertama berlangsungnya konflik yang berkepanjangan di kota Ambon.

Teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini,

yakni wawancara. Wawancara adalah pertemuan antar dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, untuk mengkostruksikan makna dalam

suatu topik tertentu secara mendalam, tentang partisipan dalam

menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi. Jenis-jenis pertanyaan

dalam wawancara saling berkaitan, antara lain: tentang pengalaman, perasaan,

pendapat, dan pengetahuan19

para informan kunci (partisipan) yakni, para tokoh

masyarakat, tokoh adat, tokoh agama mengenai pengetahuan mereka tentang

bagaimana relasi Islam-Kristen sebelum dan pada saat dari prespektif Pela

Gandong; serta individu-komunitas Islam-Kristen tentang pengalaman

menghadapi secara langsung konflik dengan berbagai dampak yang diderita dan

dialami secara pribadi, serta dalam pelestarian hubungan Pela Gandong antar

masing-masing komunitas.

Guna pengumpulan dan pengkajian data atau informasi maka, sumber data

dipilih secara purposive dan snowball sampling.20

Purposive sampling adalah

teknik pengambilan sampel data dengan pertimbangan orang yang dianggap

paling tahu tentang apa yang peneliti harapkan, atau sebagai orang penting

sehingga akan memudahkan penjelajahan objek/situasi sosial yang diteliti.

Sedangkan, snowball sampling adalah teknik pengambilan informan atau

sumberdata yang ada pada awalnya berjumlah sedikit, lama-lama menjadi besar.

Pengumpulan data berhenti ketika tidak ada informasi yang baru lagi. Jadi,

penentuan sumber data atau informan dalam penelitian kualitatif dilakukan saat

peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung. Caranya

yaitu seorang peneliti memilih orang tertentu yang dipertimbangkan akan

19

Penjelasan lebih dalam tentang wawancara dapat dibaca dalam Prof. Dr. Sugiyono. Metode

Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &D . (Jakarta: CV. Alfabet), 231-236 20

Prof. Dr. Sugiono,Metode Penelitian…,(2008),220

Page 11: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

11

memberikan data yang diperlukan, selanjutnya berdasarkan data atau informasi

yang diperoleh dari sampel sebelumnya itu peneliti dapat menetapkan sampel

lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data lebih lengkap.21

Untuk itu, sumber data atau informan, terkait dengan penelitian ini, antara

lain: masing-masing satu orang tokoh Adat, tokoh Agama, tokoh Masyarakat

negeri Batumerah-Passo (Islam-Kristen-Protestan maupun Katolik) sebagai

informan kunci yang notabenenya pernah dan sementara menjabat pada lembaga-

lembaga yang ada pada wilayah tersebut (Purposive sampling). Para informan

kunci ini kemudian memberikan rekomendasi informan-informan yang lainnya

seperti warga jemaat atau masyarakat (umat Kristen-Muslim) yang telah

berdomisili jauh sebelum konflik dan mengalami dampak langsung dari konflik

yang pernah terjadi (Snowball Sampling). Akhirnya, proses pengambilan sampel

ini diharapkan dapat memberikan data penelitian secara komprehensif.

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dengan mengorganisasikan data

ke dalam kategori, menjebarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun

ke dalam pola, memilah mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan

membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami. Teknik analisa data yang

digunakan dalam penelitian kualitatif ini dijabarkan dalam tahap-tahap, sebagai

berikut (Model Miles dan Huberman): Reduksi Data, Penyajian Data dan

Penarikan kesimpulan.22

Untuk itu, data yang diperoleh melalui wawancara

selanjutnya akan dideskripsikan dan dianalisis, dengan menggunakan landasan

teoris sebagai pisau analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru

dari hasil penelitian.

21

Sugiono, Metode Peneltian. . . ,(2008),301 22

Sugiono, Metode Peneltian…,(2008), 247-249

Page 12: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/1/T2_752012008_BAB I.pdf · Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar Islam-Kristen baik

12

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Tesis ini terdiri dari enam bab, dideskripsikan sebagai berikut:

Bab satu, tentang pendahuluan yang meliputi: latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika

penulisan. Bab dua, tentang landasan teoritis yang memuat teori konflik, Pela

Gandong, dan konseling Lintas Agama dan Budaya yang meliputi: Konflik Islam

Kristen (lintasan sejarah konfliktual hubungan Islam-Kristen, manajemen konflik,

dan resolusi konflik); Pela Gandong (Sejarah dan pemaknaan, Pela dalam tatanan

sturuktur sosial masyarakat Ambon, nilai-nilai budaya Pela Gandong); Konseling

Lintas Agama dan Budaya (konsepsi agama dan budaya, dan konseling Lintas

Agama dan Budaya). Bab tiga, tentang temuan hasil penelitian yang meliputi:

deskripsi hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong Negeri Batumerah-Passo

sebelum konflik di Ambon; kajian konflik berdarah Islam-Kristen di Negeri

Batumerah-Passo dalam hubungan Pela Gandong di Ambon; kajian hubungan

Islam-Kristen dalam Pela Gandong Negeri Batumerah-Passo pada saat konflik.

Bab empat, tentang pembahasan dan analisa hasil penelitian yang meliputi:

hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebelum; dan saat konflik di kota

Ambon; hubungan Pela Gandong sebagai resolusi terhadap konflik berdarah

Islam-Kristen di Ambon; Hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong dari

prespektif konseling lintas agama dan budaya. Bab lima, tentang pengembangan

Pela Gandong sebagai pendekatan konseling orang basudara, yang meliputi:

landasan filosofis dan nilai spiritual hubungan Islam-Kristen dalam Pela

Gandong; desain konseling orang basudara; pendekatan, teknik, permasalahan,

tujuan, sasaran pencapaian, dan sasaran akhir konseling orang basudara. Bab

enam, tentang penutup yang meliputi: kesimpulan, berupa temuan-temuan hasil

penelitian, pembahasan dan analisis, serta saran-saran berupa konstribusi dan

rekomendasi untuk penelitian lanjutan.