Upload
phamthien
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan Islam-Kristen (sebutan akrab: Salam-Sarane) di Maluku pada satu
sisi, terkesan sangatlah damai, rukun dan hidup saling berdampingan. Hubungan
Salam-Sarane ini terbangun lestari dalam satu khasana kearifan lokal di Maluku
yang dinamakan“Pela”.1 Pela sebagai sebuah sistem kekerabatan yang
menekankan relasi persaudaraan (orang basudara:bersaudara) telah menghasilkan
sebuah sinergi, equal, dan penghargaan. Implementasi dari konsepsi “orang
basudara” secara kontekstual teraktualisasi ketika kedua negeri bersama‐sama
melakukan “masohi”(tindakan kerjasama dan tolong menolong) pembangunan
rumah ibadah (Mesjid dan Gereja), pihak saudara pela akan menyediakan segala
bahan materiil dan tenaga fisik. Tindakan ini dianggap sebagai sebuah kewajiban
mutual yang justru semakin mempererat ikatan Pela Gandong antar negeri.2
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa relasi yang telah terbangun antar
Islam-Kristen baik individu maupun komunitas dalam satu negeri yang berpela
adalah relasi persaudaraan. Persaudaraan ini erat terbangun dalam aktifitas
bersama yang saling melihat pemenuhan kebutuhan hidup kedua belah pihak.
Ironisnya, Pela dalam konteks berlangsungya konflik ternyata belumlah efektif
berguna sebagai instrumen penanganan konflik. Konflik tetap saja tak dapat
dihindari dan terhentikan. Budaya Pela Gandong yang sarat dengan nilai
keluhuran: penghargaan dan penghayatan terhadap kepelbagaian, salah satunya
keagamaan “telah terselewengkan” atau dimanipulasi dan direkaya dalam
pandangan-pandangan keagamaan yang berdimensi politik: sistem kekuasaan
yang sektarian.3
1 Pela sebenarnya berasal dari kata peia yang berarti „saudara‟. Makna dari hubungan ini sangat
penting dikaitkan dengan tradisi „perburuan kepala‟ manusia di antara suku-suku di sana. Yang
akan diburu adalah kepala dari mereka yang bukan „saudara‟. Jika itu „saudara‟ maka perkelahian
bahkan perdebatan pun dilarang. Seri budaya pela gandong dari pulau ambon. (lembaga
kebudayaan daerah Maluku, 1997), 15-19 2 Roubrenda N. Ralahallo. “Kultur Damai Berbasis Tradisi Pela Dalam Perspektif Psikologi
Sosial”. Jurnal Psikologi Volume, 36,2,2009. 177 – 188 3 Forum Kepedulian Kerusuhan Maluku (FKKM):Studi Kritis atas Kerusuhan Maluku (Ambon)
dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta, 1999
2
Pela Gandong4merupakan sebuah pranata adat dan budaya masyarakat
Maluku yang telah mengintegrasikan masyarakat Maluku yang tersekat oleh
identitas keagamaan (Islam-Kristen) dalam ikatan “persaudaraan abadi”
(terkukuhkan melalui ritual adat pela yang dianggap sakral). Hubungan Pela
Gandong adalah perikatan saudara antara beberapa negeri/desa.5 Kendati
hubungan sekutu pela Islam-Kristen baik, namun hal itu hanya terbatas pada
sekutu pela saja. Ia tidak bersifat general bagi semua negeri. Hal itu terlihat jelas
dalam pengalaman konflik tidak pernah terjadi konflik antar sekutu Pela
Gandong. Bahkan sesama saudara “pela” saling melindungi dan membantu
selama terjadinya konflik. Namun itu hanya terbatas pada sekutu pela, karena
tetap akan terjadi penyerangan pada daerah-daerah lain yang tidak berhubungan
pela. Pela sebenarnya sebuah relasi yang sangat ekslusif sebatas hubungan antar
saudara.6
Berdasarkan pemahaman diatas, maka harus diakui bahwa posisi sentral adat,
sebagai sebuah lembaga yang mempersatukan masyarakat yang berPela Gandong
secara eksklusif ternyata masih memiliki keterbatasan. Hubungan persaudaraan
Islam-Kristen dalam adat budaya Pela Gandong itu tidak mengakomodir
kepelbagaian identitas etnis masyarakat Maluku. Misalnya, para migran yang
berasal dari Sulawesi: Bugis, Buton, Makassar dan Jawa yang tidak terintegrasi ke
dalam struktur tradisional dan adat tersebut.
Pada sisi lain, historitas hubungan kedua komunitas agama ini ternyata juga
memperlihatkan adanya pertikaian atau konflik yang terekam menjadi memori
4 Istilah Pela Gandong yang dimaksudkan menunjuk pada dua kata yang memiliki satu
pengertian yakni: hubungan persaudaraan. Bdg. D.C.M. Pattiruhu. Seri budaya Pela-Gandong
dari pulau Ambon, Ambon. LKDM, 1997. 2-3. Terdapat beberapa jenis Pela: pela darah atau
pela batu karang. Ditetapkan dengan ketat melalui sumpah para leluhur dengan meminum darah.
Pela ini abadi dan melarang perkawinan antar sekutu pela, berkewajiban saling membantu dalam
masa perang atau krisis; pela-gandong: didasarkan pada ikatan keturunan kekeluargaan
(pernikahan leluhur: pela tempat-sirih: terbentuk setelah ada peristiwa kecil, untuk memulihkan
kedamaian setelah ada peristiwa pertikaian, atau setelah satu negeri member bantuan kepada
negeri yang lain. Lihat. John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: menggali dari tradisi Pela di
Maluku. (Salatiga : Satya Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi
Sosiologi Agama, 2007), 171-178. 5 Konon ikatan persaudaraan pela terbentuk sesuai konteks pembentukannya, misalnya:
pertikaian dua negri yang berakhir dengan tanda ada dua pihak yang kalah dan yang menang.
Lihat: Frank. L. Coley, Mimbar dan Tahta (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 183-188 6 J. Manuputty & D. Wattimnela, “Konflik Maluku” dalam Potret Retak Nusantara: Studi Kasus
Konflik di Indonesia. Center for Security and Peace Studies, Editor,
Lambang,Trijono,ddk,(Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada,2004), 94
3
pahit yang mendarah-daging dalam tubuh orang Maluku. Perjumpaan Islam-
Kristen dimulai sejak abad ke-16dalam bingkai perlawanan kekuasaan
Islam7versus kepentingan Portugis dan Belanda. Motif beragama kala itu sudah
sangatlah terpolitisasi dan diskriminatif. Orang yang menjadi Kristen akan
dianggap merupakan musuh Islam, begitu pula sebaliknya, menjadi Islam sama
artinya dengan melawan kekuasaan Penjajah. Konflik makin menguat ketika
kekuasaan VOC selama 70 tahun (1605-1675) secara intensif melakukan
Protestantisasi terhadap penduduk yang beragama lain di pulau Ambon serta
wilayah bagian-bagian lain di Maluku. Ketegangan yang mengeras makin nampak
eksplisit ketika Pemerintah Belanda yang memanfaatkan para penduduk setempat
yang telah dikristenkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan mereka dengan
modus-modus: memberikan kesempatan kepada orang Kristen untuk mengikuti
pendidikan, terlibat usaha dagang dan bekerja sebagai pegawai dan tentara
kolonial, dan tidak sebaliknya terhadap orang Islam.8
Berbagai penelusuran historis hubungan Islam-Kristen di Maluku hendak
menjelaskan bahwa ketika relasi agama-agama (Islam-Kristen) ditempatkan
dalam suatu “arena publik”: politik dan kekuasaan maka, terdapat fenomena relasi
ketidaksetaraan. Individu maupun komunitas agama (Islam-Kristen) dijadikan
objek yang diperdayakan, diperalat dan dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan
kekuasaan.
Konflik atau pertikaian antara komunitas Islam-Kristen di Maluku, kota
Ambon mulai pecah pada 19 Januari 1999, diawali dengan perseteruan antara dua
orang pemuda, masing-masing 1dari Kristen dan 1 dari Islam. Perseteruan antar
pribadi ini kemudian berkembang menjadi perseteruan komunal dan merambat
dengan sangat cepat dengan isu-isu yang memposisikan keduanya dengan
mengatas namakan latar belakang agamanya masing-masing. Pemaknaan konflik
7 Kekuasaan Islam (dalam bidang perdagangan rempah-rempah) telah terbangun sejauh sebelum
masuknya bangsa Eropa: Portugis di Maluku. Keuasaan Islam terpusat di Tarnate dan Tidore.
Atas dasar kepentingan ekonomi inilah proses Islamisasi terjadi di Hitu ( daerahUtara Pulau
Ambon), Sedangkan Portugis, sebagai “peletak dasar sosial” kekristenan berkepentingan untuk
meluaskan kekuataan melawan para pedagang Asia. Perjumpaan Protugis-Islam pada masa ini
telah menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antara penduduk Ambon. Hitu, Tarnate-TidoreI
(slam) –Portugis. Bnd, John. Chr. Ruhulessin, Etika Publik. . . (1997), 214-219. 8 Yance Z. Rumahuru,“Agama sebagai Fondasi Perkembangan Masyarakat dan Perubahan
Sosial: Studi Kasus Orang Hatuhaha di Negeri Pelauw Maluku Tengah”. Harmoni: Jurnal
Multikultural & Multireligius. 2013. Vol. 12,144-160
4
dirumuskan sebagai “perang agama”. Selama konflik ini, bentrokan dan
kekejaman yang dilakukan dari kedua belah pihak menjadi berkepanjangan dan
berdampak destruktif secara fisik dan psikis: ribuan korban jiwa, pegungsian
sepertiga dari penduduk Maluku dan Maluku Utara, hancurnya infrastruktur
(ekonomi, pendidikan dsb) dan trauma psikologis yang dialami masyarakat
Maluku (Muslim-Kristen). Konflik menjadi problematika kemanusiaan yang
digumuli oleh seluruh komponennya (baik individu dan komunitas). 9
Konflik yang berujung ketidakharmonisan hubungan kedua agama (Islam-
Kristen) merupakan hal yang telah merusak kesatuan di dalam masyarakat.
Hubungan masyarakat kedua komunitas yang diidealkan (integrasi) dihalangi oleh
dampak psikologi-sosial: trauma, stress, hilangnya rasa percaya diri, frustasi, rasa
cemas, rasa takut, kebencian, dendam yang terus menghantui kehidupan
masyarakat. Trauma konflik yang dialami mendorong segregasi yang
teridentifikasi dalam mana letak pemukiman yang dulunya berbaur; aktifitas
sosial dan ritual keagamaan (tempat ibadah) kini telah terkotak-kotakan menurut
letak hunian masing-masing komunitas pasca konflik.
Masyarakat kini telah sampai pada titik pemahaman yang mendasar bahwa
konflik tidak membawa keuntungan bagi mereka namun menyebabkan kerugian
dengan terciptanya suasana yang tidak harmonis diantara masyarakat. Pemaknaan
diri sebagai korban menjadi substansi dari realitas konflik sebagai memori
kolektif. Dalam konteks pasca konflik masyarakat Maluku tanpa membedakan
latar belakang agama itu telah berstatus korban.
Sebagai respon terhadap hal tersebut, individu maupun instansi (pemerintah-
gereja) telah menunjukan kepekaan terhadap fenomena-fenomena kemajemukan,
menyadari dan mengakui pentingya dialog dan kerjasama lintas agama sebagai
upaya untuk memupuk kesatuan dalam menggapai visi bersama dan yang intrinsik
dalam semua ajaran agama dan kearifan lokal Maluku, yakni perdamaian: rukun
dan harmonis. Kerukunan yang didukung oleh ajaran agama dan kearifan lokal
tersebut berubah menjadi kasus-kasus konflik antar umat beragama yang faktanya
tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan dan pemahaman keber-agama-an yang
9 Cate, Buchanan. Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua
dan Poso. (LIPI, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue. Geneva. 2011),15
5
eksklusif dan parsial.10
Melainkan juga sebagai akumulasi persoalan-persoalan
lingkup sosial, ekonomi, politik dan dsb.11
Konflik adalah luapan dari krisis
ekonomi dan politik: sejarah sosial (kolonial) dan politik permainan kekuasaan
tingkat nasional bahkan internasional, bisnis militer.12
Selanjutnya, dialog dan kerjasama antar kedua komunitas ini terakomodir
dalam berbagai program-program lintas instansi (pemerintah dan swasta) yang
menjaring berbagai komponen masyarakat dari berbagai latar belakang yang
berbeda dengan sejumlah kegiatan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan
manusia secara utuh; fisik-psikis, jasmani-rohani ritual semisal, menjaga
pengamanan bersama ketika umat kristen merayakan natal, begitu juga sebaliknya
islam dan moment institutif; memfasilitasi ruang-ruang diskusi pemantapan
pemahaman teologis masing-masing agama yang menolak fanatisme agama.13
Promotor dari kegiatan-kegiatan ini tidak lain dilakoni oleh tokoh-tokoh Agama
dan tokoh Adat dari masing-masing komunitas.
Peran tokoh-tokoh masyarakat (adat-agama) terkhususnya kristen menjadi
indikator betapa pentingnya posisi pelayan juga umat dalam kapasitas struktur dan
fungsional dalam memaksimalkan tanggungjawab pastoralianya, antara lain:
penyembuhan, mendukung, membimbing dan memelihara (mendamai)14
ditengah-tengah konteks hubungan pribadi maupun komunitas sebagai klien
dalam menghadapi problematika psikologi-sosial yang menerpa pasca konflik
yang bermuara pada “derita komplikasi” hubungan Islam-Kristen di kota Ambon.
10
Eksklusifitas dan parialistas pemahaman beragama dibahasakan oleh I. W. J. Hendriks,
sebagai Ideologi dualistis hierarkis: spritualitas yang mengarah ke dalam dan individualistis
(kelembagaan Gereja dijadikan sebagai tujuan utama bergereja). Indikatornya dalam teologi dan
ajaran gereja tentang extra Ecclesia nulla salus (dualistis pemahaman: keselamatan hanya di
dalam gereja dan karena itu orang lain harus harus dijadikan Kristen). Menganggap agama kristen
yang superior dan agama lain inferior. Pemahan ini tidak menghargai pluralisme masyarakat.
Band. I.W.J. Hendriks “Ketika Gereja Bicara”, dalam Carita Orang Basudara,Kisah-Kisah
Perdamaian dari Maluku Editor : Jacky Manuputty,dkk (Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku &
PUSAD Paramadina,2014), 129-140 11
Alirman Hamzah, “Hubungan Antar Umat Beragama: Pengalaman Rukun dan Konflik di
Indonesia”, Jurnal TAJDID. Vol. 2,2014,155-179 12
George JunusAditjondro, “Orang-Orang Jakarta Di Balik Tragedi Maluku”. Moluccas
International Campaign for Human Right,2001. 13
Hakis, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, “Komunikasi Antar Umat Beragama di
Kota Ambon ” Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 5, 2011,98-113 14
William A. Clebsch, Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, (Englewood
Cleffs, N. J : Prentice-Hall, 1964),33.
6
Problematika hubungan Islam-Kristen pasca konflik dengan berbagai
fenomena sebab-akibat, memunculkan persoalan-persoalan menyangkut keutuhan
hidup masyarakat (umat: individu-komunitas) secara ekonomi, sosial-budaya,
psikologi dan spiritual. Dalam menanggulangi dan mengantisipasi realita
konfliktual di Maluku, maka dibutuhkan sebuah pembaruan terhadap pendekatan
pelayanan konseling (pastoral) dengan cara membangun suatu paradigma
pelayanan yang lintas agama dan budaya15
yang bermuara bagi terciptanya suatu
pendekatan konseling konflik.
Problematika konflik yang terjadi di Maluku mereprentasikan bagaimana
agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas sosial yang menyatukan
serta membedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan
dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka”, yang akan kokoh di
tengah situasi konflik. Benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan
perdamaian, tetapi juga benar jika dikatakan bahwa semua agama, baik dalam
sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari
beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok. Agama dan kekerasan
saling berhubungan dan ambiguitas, yang sangat nyata.16
Untuk itu, paradigma
dan pendekatan konseling lintas agama dan budaya merupakan sebuah solusi
alternatif merangkul, mempertemukan, pendampingan, pemecahan masalah
hubungan Islam-Kristen baik individu-komunitas (masyarakat) tanpa
mengabaikan eksistensi kepelbagaian secara khusus agama-agama dengan seluruh
kekhasannya yang membedakan satu dengan yang lain.
Paradigma pelayanan konseling lintas agama dan budaya memandang
dinamika hubungan Islam-Kristen dalam kontek sebelum dan saat konflik yang
dibingkai dalam budaya Pela Gandong sebagai ruang perjumpaan dan
pendampingan antar individu dan komunitas. Budaya Pela Gandong telah
mengakomodir keberadaan dan peradaban ke-Maluku-an yang interkultural dan
intereligius. Kesadaran akan pentingya pengaruh agama dan budaya akhirnya
15
J. D. Engel, mendefenisikan konseling lintas agama dan budaya sebagai suatu proses
pemberian bantuan dari seorang konselor terhadap klien yang berbeda latar belakang agama dan
budaya. Istilah lintas agama dan budaya memuat perbandingan antar kedua kelompok yang
berbedaa agama atau budaya yang bermuatan nilai. Bnd. J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-
isu Kontemporer, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016),80 16
Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi. Meretas kebersamaan: Polisi, Kebebasan Beragaman
dan Perdamaian. (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011),160-163
7
membuka wawasan bagi upaya membangun sebuah pendekatan konseling yang
berbasis niai-nilai (spiritual) agama dan budaya.
Hubungan Islam-Kristen di dalam Pela Gandong telah digoyahkan oleh
konflik berdarah yang sarat dengan muatan kepentingan, ketidakpuasan
masyarakat terkhususnya realitas termarginalkan, represif, kemiskinan orang
Maluku sehingga mudah terprovokasi dan diperalat oleh “kekuasaan“, yang telah
terefleksikan dalam pemaknaan sebagai korban. Realitas konflik yang telah
menciptakan intensitas dan kualitas kerjasama dan dialog praksis sosial seluruh
komponen masyarakat Maluku memperlihatkan adanya dimensi pemberdayaan
masyarakat sebagai aktor atau subjek konseling lintas agama dan budaya dengan
mekanisme pelayanan yang korporatif yang lintas profesi dan instansi.
Pendekatan konseling lintas agama dan budaya akan memandang hubungan
Islam-Kristen dalam Pela Gandong yang telah dihancurkan oleh konflik berdarah
di kota Ambon sebagai momentum merevitalisasi esensi gagasan Pela
Gandong:“orang basudara“ sebagai instrumen pemulihan atau perdamaian
hubungan Islam-Kristen di Maluku.
Berdasarkan pada apa yang telah diuraikan di atas, peneliti kemudian tertarik
untuk dapat memahami lebih mendalam melalui penelitian dengan mengangkat
judul:
“Pela Gandong Sebagai Konseling Orang Basudara Dan Agen Perdamaian
Konflik Islam-Kristen Di Ambon”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang di atas maka, masalah penelitian dirumuskan
sebagai berikut: bagaimana Pela Gandong sebagai konseling orang basudara dan
agen perdamaian konflik islam-kristen di Ambon?. Rumusan penelitian
dijabarkan dalam pokok-pokok penelitian, antara lain:
1. Bagaimana hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebelum dan saat
konflik di kota Ambon?
2. Bagaimana konflik berdarah di kota Ambon dikaji dari prespektif hubungan
Islam-Kristen dalam Pela Gandong serta dari pendekatan konseling lintas
agama dan budaya?
8
3. Bagaimana mengembangkan hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandon
sebagai pendekatan konseling orang basudara dan agen perdamaian konflik
Islam-Kristen di Ambon?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Pela Gandong sebagai
konseling orang basudara dan agen perdamaian konflik islam-kristen di Ambon.
Tujuan penelitian ini dijabarkan dalam pokok-pokok sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis hubungan Islam-Kristen dalam Pela
Gandong sebelum dan saat konflik di kota Ambon.
2. Mengkaji konflik berdarah di kota Ambon dari prespektif Islam-Kristen
dalam hubungan Pela Gandong serta dari pendekatan konseling lintas agama
dan budaya.
3. Mengembangkan hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebagai
pendekatan Konseling orang basudara dan agen perdamaian konflik Islam-
Kristen di Ambon.
D. Signifikansi Penelitian
Adapun signifikansi penelitian yaitu secara akademis dan Praktis:
1. Akademis.
Menjadi bahan informasi bagi peningkatan ilmu pengetahuan dan referensi
bagi penelitian selanjutnya di bidang Konseling Pastoral untuk menyikapi
realitas konflik Islam-Kristen di kota Ambon sebagai salah satu setting-
konseling masyarakat multikulrual-multireligius.
2. Praktis.
Memberikan kontribusi kepada Gereja Protestan Maluku dalam upaya
mengoptimalkan pelayanan konseling (Pastoral) bagi pertumbuhan dan
perkembangan spritualitas umat (masyarakat) Kristen. Spiritualitas keumatan
tidak hanya terkait sebuah relasi dengan yang “transenden” tetapi selebihnya
yakni sebuah relasi sosial-praksis yang lintas agama dan budaya di Ambon.
9
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitif dengan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif menekankan segi akurasi data, maka akan
menggunakan pendekatan induktif, yang artinya data akan dikumpulkan, didekati,
dan diabstrasikan.17
Untuk iu, penelitian ini memuat prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dari objek dan perilaku yang dapat
dipahami. Data yang telah dideskripsikan memerlukan ketajaman analisa, objektif
dan sitematik sehingga diperoleh ketepatan interpretasi, sebab-akibat dari suatu
fenomena atau gejala yang bagi pendekatan kualitatif adalah totalitas.
Selanjutnya, Penelitian dengan metode deskriptif meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem, pemikiran ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi,
secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat-sifat serta hubungan
antara fenomena, sedangkan penelitian dengan studi analitis bertujuan untuk
menguji hipotesis-hipotesis dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam tentang
hubungan-hubungan. Metode deskriptif dan analitis juga mendesain studi historis
yang mencakup aspek mencari material, menguji secara kritis asal dan keaslian
sumber sejarah, serta validasi dari sumber tersebut memberikan interpretasi dan
pengelompokan fakta-fakta, serta hubungannya dengan formulasi serta
melukiskan hasil penemuan.18
Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka akan dideskripsikan dan
dianalisis hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebelum, saat konflik di
kota Ambon. Selanjutnya, akan dikaji hubungan Islam-Kristen dalam Pela
Gandong yang tergoyahkan oleh konflik dari prespektif hubungan Islam-Kristen
dalam Pela Gandong serta dari pendekatan konseling lintas agama dan budaya.
Melaluinya, fakta historis konflik Islam-Kristen dalam hubungan Pela Gandong
yang telah dideskripsikan dan dianalisis (terkaji) tersebut akan dikembangkan
menja disebuah pendekatan Konseling Konflik Lintas Agama dan Budaya dalam
konteks masyarakat di kota Ambon, dalam hal ini yakni: Pendekatan Konseling
Orang Basudara dan agen perdamaian konkflik di kota Ambon.
17
Lht. Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: dari Denzin Guba dan
Penerapannya (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 5. 18
M. Natzir, Metode Penelitan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009),55-62, 89.
10
Penelitian mengambil lokasi di Kota Ambon, tepatnya pada masyarakat atau
jemaat atau negeri (Baca: desa) Batu merah (Islam) – Passo (Kristen). Alasan
dipilihnya Batu merah-Passo sebagai tempat penelitian adalah karena keduanya
memiliki hubungan sebagai Pela Gandong. Selain itu, Batu merah yang terdiri
dari ± 3-10% komunitas Kristen dan 90% komunitas Muslim, juga merupakan
lokasi pertama berlangsungnya konflik yang berkepanjangan di kota Ambon.
Teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini,
yakni wawancara. Wawancara adalah pertemuan antar dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, untuk mengkostruksikan makna dalam
suatu topik tertentu secara mendalam, tentang partisipan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi. Jenis-jenis pertanyaan
dalam wawancara saling berkaitan, antara lain: tentang pengalaman, perasaan,
pendapat, dan pengetahuan19
para informan kunci (partisipan) yakni, para tokoh
masyarakat, tokoh adat, tokoh agama mengenai pengetahuan mereka tentang
bagaimana relasi Islam-Kristen sebelum dan pada saat dari prespektif Pela
Gandong; serta individu-komunitas Islam-Kristen tentang pengalaman
menghadapi secara langsung konflik dengan berbagai dampak yang diderita dan
dialami secara pribadi, serta dalam pelestarian hubungan Pela Gandong antar
masing-masing komunitas.
Guna pengumpulan dan pengkajian data atau informasi maka, sumber data
dipilih secara purposive dan snowball sampling.20
Purposive sampling adalah
teknik pengambilan sampel data dengan pertimbangan orang yang dianggap
paling tahu tentang apa yang peneliti harapkan, atau sebagai orang penting
sehingga akan memudahkan penjelajahan objek/situasi sosial yang diteliti.
Sedangkan, snowball sampling adalah teknik pengambilan informan atau
sumberdata yang ada pada awalnya berjumlah sedikit, lama-lama menjadi besar.
Pengumpulan data berhenti ketika tidak ada informasi yang baru lagi. Jadi,
penentuan sumber data atau informan dalam penelitian kualitatif dilakukan saat
peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung. Caranya
yaitu seorang peneliti memilih orang tertentu yang dipertimbangkan akan
19
Penjelasan lebih dalam tentang wawancara dapat dibaca dalam Prof. Dr. Sugiyono. Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &D . (Jakarta: CV. Alfabet), 231-236 20
Prof. Dr. Sugiono,Metode Penelitian…,(2008),220
11
memberikan data yang diperlukan, selanjutnya berdasarkan data atau informasi
yang diperoleh dari sampel sebelumnya itu peneliti dapat menetapkan sampel
lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data lebih lengkap.21
Untuk itu, sumber data atau informan, terkait dengan penelitian ini, antara
lain: masing-masing satu orang tokoh Adat, tokoh Agama, tokoh Masyarakat
negeri Batumerah-Passo (Islam-Kristen-Protestan maupun Katolik) sebagai
informan kunci yang notabenenya pernah dan sementara menjabat pada lembaga-
lembaga yang ada pada wilayah tersebut (Purposive sampling). Para informan
kunci ini kemudian memberikan rekomendasi informan-informan yang lainnya
seperti warga jemaat atau masyarakat (umat Kristen-Muslim) yang telah
berdomisili jauh sebelum konflik dan mengalami dampak langsung dari konflik
yang pernah terjadi (Snowball Sampling). Akhirnya, proses pengambilan sampel
ini diharapkan dapat memberikan data penelitian secara komprehensif.
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dengan mengorganisasikan data
ke dalam kategori, menjebarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun
ke dalam pola, memilah mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami. Teknik analisa data yang
digunakan dalam penelitian kualitatif ini dijabarkan dalam tahap-tahap, sebagai
berikut (Model Miles dan Huberman): Reduksi Data, Penyajian Data dan
Penarikan kesimpulan.22
Untuk itu, data yang diperoleh melalui wawancara
selanjutnya akan dideskripsikan dan dianalisis, dengan menggunakan landasan
teoris sebagai pisau analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru
dari hasil penelitian.
21
Sugiono, Metode Peneltian. . . ,(2008),301 22
Sugiono, Metode Peneltian…,(2008), 247-249
12
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Tesis ini terdiri dari enam bab, dideskripsikan sebagai berikut:
Bab satu, tentang pendahuluan yang meliputi: latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan. Bab dua, tentang landasan teoritis yang memuat teori konflik, Pela
Gandong, dan konseling Lintas Agama dan Budaya yang meliputi: Konflik Islam
Kristen (lintasan sejarah konfliktual hubungan Islam-Kristen, manajemen konflik,
dan resolusi konflik); Pela Gandong (Sejarah dan pemaknaan, Pela dalam tatanan
sturuktur sosial masyarakat Ambon, nilai-nilai budaya Pela Gandong); Konseling
Lintas Agama dan Budaya (konsepsi agama dan budaya, dan konseling Lintas
Agama dan Budaya). Bab tiga, tentang temuan hasil penelitian yang meliputi:
deskripsi hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong Negeri Batumerah-Passo
sebelum konflik di Ambon; kajian konflik berdarah Islam-Kristen di Negeri
Batumerah-Passo dalam hubungan Pela Gandong di Ambon; kajian hubungan
Islam-Kristen dalam Pela Gandong Negeri Batumerah-Passo pada saat konflik.
Bab empat, tentang pembahasan dan analisa hasil penelitian yang meliputi:
hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebelum; dan saat konflik di kota
Ambon; hubungan Pela Gandong sebagai resolusi terhadap konflik berdarah
Islam-Kristen di Ambon; Hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong dari
prespektif konseling lintas agama dan budaya. Bab lima, tentang pengembangan
Pela Gandong sebagai pendekatan konseling orang basudara, yang meliputi:
landasan filosofis dan nilai spiritual hubungan Islam-Kristen dalam Pela
Gandong; desain konseling orang basudara; pendekatan, teknik, permasalahan,
tujuan, sasaran pencapaian, dan sasaran akhir konseling orang basudara. Bab
enam, tentang penutup yang meliputi: kesimpulan, berupa temuan-temuan hasil
penelitian, pembahasan dan analisis, serta saran-saran berupa konstribusi dan
rekomendasi untuk penelitian lanjutan.