14
1 BAB I PENDAHULUAN Stres akulturatif yang dialami mahasiswa perantauan menjadi hal yang penting untuk dikaji karena mengakibatkan dampak negatif bagi mahasiswa tersebut, seperti perasaan mengalami diskriminasi, mengganggu kesehatan mental, depresi, dan bahkan kecenderungan untuk bunuh diri. Atas dasar hal tersebut, stres akulturatif menjadi hal yang menarik untuk dikaji guna mengetahui stres akulturatif yang dialami mahasiswa perantauan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang pentingnya mengelola stres akulturatif yang difokuskan pada stres akulturatif mahasiswa Papua yang melanjutkan studi di Universitas Kristen Satya Wacana di Kota Salatiga. Stres akulturatif ini diteliti berdasarkan pertimbangan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam menjalankan studi juga berkaitan dengan kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap budaya atau lingkungan asing dan terhadap tugas-tugas akademiknya. Selain itu, pendidikan tinggi dirasakan sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa bertahan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis melihat dua faktor yang mempengaruhi stres akulturatif, yakni hardiness dan dukungan sosial teman, serta apakah ada hubungan antara hardiness dan dukungan sosial teman dengan stres akulturatif pada mahasiswa asal Papua.

BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13230/1/T2_832014701_BAB I.pdf · hal yang penting untuk dikaji karena mengakibatkan dampak ... Proses adaptasi dengan keadaan

  • Upload
    phamnhu

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

Stres akulturatif yang dialami mahasiswa perantauan menjadi

hal yang penting untuk dikaji karena mengakibatkan dampak negatif

bagi mahasiswa tersebut, seperti perasaan mengalami diskriminasi,

mengganggu kesehatan mental, depresi, dan bahkan kecenderungan

untuk bunuh diri. Atas dasar hal tersebut, stres akulturatif menjadi hal

yang menarik untuk dikaji guna mengetahui stres akulturatif yang

dialami mahasiswa perantauan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka

dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang

pentingnya mengelola stres akulturatif yang difokuskan pada stres

akulturatif mahasiswa Papua yang melanjutkan studi di Universitas

Kristen Satya Wacana di Kota Salatiga. Stres akulturatif ini diteliti

berdasarkan pertimbangan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam

menjalankan studi juga berkaitan dengan kemampuannya dalam

menyesuaikan diri terhadap budaya atau lingkungan asing dan terhadap

tugas-tugas akademiknya. Selain itu, pendidikan tinggi dirasakan

sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya

manusia agar bisa bertahan menghadapi persaingan yang semakin ketat.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis melihat dua faktor yang

mempengaruhi stres akulturatif, yakni hardiness dan dukungan sosial

teman, serta apakah ada hubungan antara hardiness dan dukungan

sosial teman dengan stres akulturatif pada mahasiswa asal Papua.

2

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memacu

setiap bangsa, termasuk Indonesia sebagai suatu negara yang sedang

berkembang untuk berlomba-lomba meningkatkan produktivitas

bangsanya agar tidak mengalami ketertinggalan. Salah satu cara

meningkatkan produktivitas adalah dengan meningkatkan kualitas

sumber daya manusia/SDM. Kualitas SDM yang tinggi dalam hal

penguasaan IPTEK, keterampilan sosial dan personal dapat menjadikan

SDM mampu bersaing secara profesional dan sehat sesuai dengan

bidang yang dikuasainya. Persaingan yang semakin ketat dalam

memperoleh pekerjaan yang baik merupakan salah satu faktor yang

mendorong setiap orang ingin meraih pendidikan tinggi, tidak terbatas

hanya sampai pada Sekolah Menengah Atas (SMA) tetapi juga sampai

ke universitas atau perguruan tinggi (Hasibuan, 2003).

Berkaitan dengan perguruan tinggi atau universitas, Hidajat &

Sodjakusumah (2000) dalam penelitiannya mengatakan bahwa di

Indonesia, pendidikan tinggi dirasakan sangat penting dalam rangka

meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa bertahan

menghadapi persaingan yang semakin ketat. Bila dibandingkan dengan

jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia, jumlah perguruan tinggi

masih jauh dari memadai. Sarana dan prasarana yang berkualitas di

bidang pendidikan sepertinya hanya tersedia di kota-kota besar,

terutama di pulau Jawa. Hal ini terbukti dari jumlah perguruan tinggi

baik negeri maupun swasta yang terdapat di pulau Jawa yang lebih

banyak dibanding dengan perguruan tinggi yang terdapat di luar pulau

Jawa.

3

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi (DIKTI) tahun 2016, jumlah keseluruhan perguruan

tinggi yang ada di Indonesia sebanyak 4.445 perguruan tinggi, dengan

2.068 terdapat di pulau Jawa. (www.dikti.org.2016). Rata-rata

perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terdapat di pulau Jawa

tersebut merupakan perguruan tinggi yang berkualitas. Hal ini

membuat setiap orang, khususnya siswa yang baru lulus dari Sekolah

Menengah Atas (SMA) yang berasal dari luar pulau Jawa lebih

tertarik untuk melanjutkan studinya di pulau Jawa. Selain itu,

banyaknya alternatif fakultas/jurusan yang dapat dipilih sesuai

dengan minat masing-masing menjadi salah satu daya tarik untuk

melanjutkan studi di pulau Jawa (Hidajat & Sodjakusumah, 2000).

Belajar di perguruan tinggi jauh berbeda dengan belajar di

sekolah lanjutan tingkat atas, baik waktu, teknik, maupun tujuannya.

Oleh karena itu mahasiswa yang baru menginjak dunia perguruan

tinggi perlu mengadakan adaptasi yang baik dengan situasi belajar,

terutama untuk mengetahui teknik dan metode belajar yang baik.

Dengan mengetahui cara belajar yang baik tersebut dapat

memungkinkan efisiensi waktu dan tenaga dalam belajar (Burhanudin,

2004). Pada setiap transisi dari jenjang pendidikan yang lebih rendah ke

jenjang yang lebih tinggi, peserta didik akan dihadapkan berbagai

pengalaman dan persoalan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Santrock (2002a), bahwa transisi dari sekolah lanjutan tingkat atas

menuju perguruan tinggi juga bisa memiliki beberapa sisi yang positif.

Siswa menjadi merasa lebih dewasa, mendapatkan banyak pelajaran

yang dapat dipilih, memiliki waktu untuk bersama teman sebaya,

4

memperoleh lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi gaya

hidup dan nilai yang berbeda-beda, menikmati kebebasan dari

pengawasan orang tua, dan menjadi lebih tertantang secara intelektual

dengan adanya tugas-tugas akademik.

Salah satu universitas yang menjadi pilihan bagi pelajar dari

berbagai daerah di seluruh Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke

tingkat pendidikan tinggi adalah Universitas Kristen Satya Wacana

(UKSW) di kota Salatiga. Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah

khususnya mahasiswa Papua perlu melakukan adaptasi terhadap

kondisi setempat karena adanya perbedaan karakteristik sosial budaya.

Proses adaptasi dengan keadaan masyarakat dan budaya setempat tidak

selamanya berlangsung mulus. Ada berbagai tantangan dan masalah

yang dihadapi oleh mahasiswa Papua di UKSW, termasuk penyesuaian

diri mereka yang dapat membuat mereka tertekan dan mengalami stres

yang terakumulasi dengan adanya tekanan saat bertemu dengan situasi

kehidupan yang berbeda, seperti makanan, gaya pakaian, pengaturan

keuangan, penggunaan waktu, relasi interpersonal, kondisi cuaca

(iklim), dan transportasi umum. Siswanto (2007) dalam penelitiannya

mengatakan bahwa kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian

diri dengan situasi dan tuntutan yang ada dapat menimbulkan tekanan-

tekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan. Kekurangmampuan dalam

melakukan penyesuaian diri tersebut bila dibiarkan tanpa penyelesaian

akan mempengaruhi kesehatan mental.

Dari hasil wawancara dengan 21 mahasiswa Papua yang kuliah

di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, yang dilakukan pada

bulan Februari 2016, diketahui bahwa terdapat permasalahan yang

5

muncul akibat proses adaptasi. Dari survey awal yang dilakukan,

ternyata 18 orang mahasiswa mengalami kesulitan ketika pertama

berada di kota Salatiga. Kesulitan yang paling dirasakan yaitu dalam

hal bahasa, cuaca, makanan, dan pergaulan sehingga menimbulkan

tekanan-tekanan bagi mahasiswa tersebut. Sementara itu, beberapa

mahasiswa yang lainnya mengatakan cukup dapat menikmati situasi

yang baru dan membuat diri mereka merasa nyaman, “enjoy”, dan

bangga. Adanya fenomena-fenomena positif dan negatif tersebut

menyimpulkan adanya masalah yang terkait dengan stres, khususnya

stres yang berkaitan dengan penyesuaian terhadap lingkungan baru,

atau sering disebut sebagai stres akulturatif.

Berdasarkan pertimbangan bahwa keberhasilan mahasiswa

dalam menjalankan studi juga berkaitan dengan kemampuannya dalam

menyesuaikan diri terhadap budaya atau lingkungan asing dan terhadap

tugas-tugas akademiknya, maka stres akulturatif penting untuk diteliti.

Hal ini didukung dengan pendapat Griffith (1983, dalam Nevid dkk.,

2005) bahwa kemampuan adaptasi terhadap kebiasaan-kebiasaan

masyarakat yang baru, dipadukan dengan tradisi kultural yang

mendukung dan perasaan memiliki identitas etnik akan menghasilkan

penyesuaian diri yang baik.

Dari hasil wawancara tersebut di atas, ditemukan bahwa

berkaitan dengan kesulitan adaptasi dalam hal bahasa, mengakibatkan

mahasiswa Papua mengalami tekanan karena ada beberapa mahasiswa

Papua yang diejek dan ditertawakan karena logat bahasanya yang

berbeda dengan mahasiswa Jawa, dan pada akhirnya berdampak negatif

yaitu mahasiswa Papua cenderung membatasi diri untuk berbicara atau

6

bergaul dengan mahasiswa Jawa. Akibatnya mahasiswa Papua

cenderung berteman atau bergaul hanya dengan sesama mahasiswa

Papua lainnya. Berkaitan dengan kesulitan bahasa juga dapat

menimbulkan dampak negatif, seperti hasil penelitian Snyder

dkk.(1987, dalam Nevid, dkk., 2005) yang menemukan bahwa orang-

orang Meksiko-Amerika yang kurang fasih berbahasa inggris

menunjukkan lebih banyak tanda-tanda kecemasan dan depresi

dibandingkan dengan orang-orang Meksiko-Amerika yang fasih

berbahasa inggris. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang dapat

melakukan adaptasi dengan bahasa Jawa, dampak positifnya adalah

mahasiswa tersebut menjadi lebih percaya diri dan merasa bangga

ketika dapat berinteraksi dengan teman-teman yang berasal dari Jawa.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok imigran,

beradaptasi terhadap budaya setempat sambil mempertahankan

identitas etnik secara psikologi menguntungkan (Nevid dkk., 2005).

Imigran Hispanik-Amerika mengganti bahasa Spanyolnya dengan

bahasa Inggris sehingga dapat lebih menyesuaikan diri dengan kultur

setempat (Griffith, 1983, dalam Nevid dkk., 2005).

Permasalahan lainnya adalah mahasiswa Papua mengalami

kesulitan untuk menerima makanan yang berasal dari Jawa (yaitu

cenderung manis), dampak negatifnya mahasiswa sering kehilangan

selera makan dan pada akhirnya mengalami penuruan berat badan. Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian Pumariega (1986, dalam Nevid dkk.,

2005), yang menemukan bahwa Siswa SMA Hispanik-Amerika yang

tingkat akulturasinya lebih tinggi menunjukkan nilai yang lebih tinggi

dalam tes yang berkaitan dengan anoreksia (gangguan pola makan yang

7

ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan dan ketakutan

akan kegemukan) dibandingkan dengan siswi yang tingkat

akulturasinya lebih rendah, dengan menggunakan tes atau kuesioner

sikap makan. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang mampu

beradaptasi dengan masakan makanan dari Jawa yang berdampak

positif mereka tetap dapat menikmati makanan tersebut dan memiliki

pola makan yang baik. Bahkan beberapa mahasiswa ada yang menjadi

lebih gemuk ketika merantau di Kota Salatiga.

Berbagai kesulitan yang dialami oleh mahasiswa Papua

berkaitan dengan proses adaptasi ini ternyata berdampak pada

gangguan psikis serta gangguan fisik sebagai akibat dari kondisi

psikis yang terganggu. Mahasiswa yang bersangkutan merasakan

adanya perasaan kesepian, homesick, mudah bosan, cepat lelah, merasa

cemas, kesulitan dalam penyesuaian sosial dan budaya, serta

mengalami gangguan fisik seperti pusing, maag, diare, masalah

pencernaan, sesak nafas, flu, dan sakit tipus. Hal tersebut sesuai dengan

hasil penelitian Ortega dkk. (2000, dalam Nevid dkk., 2005) yang

menemukan bahwa pada subjek Hispanik-Amerika, semakin tinggi

tingkat akulturasi semakin besar kemungkinan mereka mengalami

suatu gangguan psikologis. Penelitian yang dilakukan Hovey & King

(1997, dalam Hovey, 2000) pada imigran Latin di Amerika,

menyebutkan bahwa stres akulturatif berhubungan dengan depresi dan

kecenderungan bunuh diri. Hal ini didukung oleh penelitian Hovey

(2000) yang menyebutkan bahwa imigran Latin yang berada di

Amerika juga mengalami stres akulturatif. Penelitian itu menyebutkan

bahwa selama proses akulturasi, stres akan menghasilkan tingkat

8

depresi dan kecenderungan bunuh diri yang cukup signifikan. Dengan

kata lain, individu yang mengalami peningkatan stres akulturatif

berpotensi mengembangkan tingkat depresi dan kecenderungan bunuh

diri. Stres akulturatif yang dialami individu membawa dampak negatif

bagi individu yang bersangkutan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Oliver dkk., (1999, dalam Baron & Byrne, 2005), bahwa di kalangan

mahasiswa di perguruan tinggi, distres yang mereka alami seringkali

meliputi kecemasan dan depresi, yang mungkin pada akhirnya dapat

mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan minuman beralkohol dan

gangguan makan. Stres yang dimaksud adalah suatu peristiwa fisik atau

psikologis apapun yang dipersepsikan sebagai ancaman potensial

terhadap kesehatan fisik atau emosional. Peristiwa fisik atau psikologis

tersebut muncul sebagai gejala ketika mahasiswa mengalami tekanan

mental atau stres.

Dampak dari akulturasi tidak selalu negatif, terdapat beberapa

keuntungan yang didapat ketika melakukan adaptasi atau berakulturasi,

seperti hasil penelitian terhadap remaja Asia-Amerika, menunjukkan

bahwa remaja yang memiliki identitas etnik tampak lebih mampu

menyesuaikan diri secara psikologis dan memiliki tingkat self-esteem

yang lebih tinggi (Huang dkk., 1994, dalam Nevid dkk., 2005). Pada

suatu kesempatan, Berry dkk. (1999) menyimpulkan bahwa akulturasi

kadang meningkatkan peluang hidup seseorang dan kesehatan mental.

Stres akulturatif merupakan suatu fenomena yang mungkin mendasari

suatu reduksi dalam status kesehatan individu (aspek fisik, psikologis,

dan sosial). Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al. 2007) mengatakan

bahwa aspek-aspek dari stres akulturatif yang menonjol pada

9

mahasiswa dapat berhubungan dengan kurang mahirnya bahasa atau

ketidakbiasaan dengan praktek-praktek budaya yang berlaku dan

pengalaman sistem nilai yang bertentangan. Murphy (1965, dalam

Berry dkk., 1999) menemukan bahwa beberapa kelompok yang

berakulturasi mungkin lebih diterima dan ditempatkan lebih tinggi

dalam hierarki berprestasi.

Dari hasil wawancara juga ditemukan adanya perbedaan dalam

menghadapi masalah yang berkaitan dengan proses adaptasi antara

mahasiswa Papua yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Slavin dan Rainer (1990, dalam Crockett et.al., 2007) menemukan

hubungan signifikan yang berbeda antara penyesuaian diri dan stres

akulturatif pada wanita dan laki-laki Latin Meksiko di Amerika. Dalam

suatu penelitian pada imigran Hispanik, terdapat hubungan yang kuat

antara stres yang terjadi dalam upaya untuk adaptasi terhadap kultur

dan lingkungan baru dengan kondisi distres psikologis. Imigran wanita

menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan

imigran pria (Salgado dkk,, 1990, dalam Nevid dkk., 2005). Uppaluri

et.at (2001, dalam Il Livingston et.al, 2007) mengatakan bahwa wanita

imigran Karibia yang datang ke Amerika lebih banyak menderita gejala

depresi dan keluhan somatik ketika melakukan adaptasi dengan kultur

yang baru dibandingkan dengan imigran laki-laki.

Uraian di atas memberi gambaran apabila proses adaptasi tidak

berhasil dilakukan dengan baik akan menimbulkan tekanan atau stres

oleh sebab itu stres akulturatif penting untuk diteliti.

Stres yang dialami individu tidak muncul dengan sendirinya,

melainkan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam suatu

10

kesempatan, Smet (1994) mengungkapkan faktor-faktor yang

mempengaruhi stres adalah peubah dalam individu, karakteristik

kepribadian, peubah sosial kognitif, hubungan dengan lingkungan

sosial, dan strategi coping. Pada faktor karakteristik kepribadian, salah

satunya adalah kepribadian “ketabahan” (hardiness). Pada faktor

hubungan dengan lingkungan sosial, salah satunya adalah dukungan

sosial. Mengacu pada faktor tersebut, maka dua peubah tak gayut yang

akan diteliti adalah hardiness dan dukungan sosial teman.

Konsep hardiness pertama kali dikemukakan oleh Kobasa

(1984, dalam Smet, 1994) yang mengonseptualisasikan tentang

hardiness sebagai tipe kepribadian yang penting sekali dalam

perlawanan terhadap stres. Kobasa memulai dengan adanya perbedaan-

perbedaan interpersonal dalam kontrol pribadi dan mengkombinasikan

peubah ini dengan yang lain, agar dapat dihasilkan tipe kepribadian

yang lebih komprehensif.

Hasil penelitian yang dilakukan Kobasa & koleganya (1979,

dalam Nevid dkk., 2005) menemukan bahwa individu yang memiliki

hardiness tidak pernah mencoba untuk menjauhkan diri dari situasi dan

pekerjaan mereka. Hardiness yang dimiliki ini yang kemudian

menyebabkan individu tidak mudah merasakan stres. Berikutnya Nevid

dkk. (2005) menyatakan bahwa hardiness sebagai suatu kelompok trait

penahan stres yang ditandai dengan adanya komitmen, tantangan, dan

pengendalian.

Berdasarkan hasil penelitian Kobasa & koleganya (1979, dalam

Nevid dkk., 2005) seperti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

individu yang memiliki hardiness tidak pernah mencoba untuk

11

menjauhkan diri dari situasi dan pekerjaannya. Selanjutnya, yang

menjadi ketertarikan peneliti adalah apakah hardiness juga dapat

meminimalisir stres akulturatif pada mahasiswa, khususnya mahasiswa

Papua dalam melakukan adaptasi budaya di Salatiga.

Pertanyaan penelitian di atas muncul karena masih belum jelas

apakah hardiness selalu dapat menolong individu yang mengalami

stres. Sebagaimana pendapat Florian et.al. (1995, dalam Eschleman

et.al., 2010), bahwa konseptualisasi hardiness masih diperdebatkan.

Secara khusus, para peneliti telah menyarankan bahwa komponen

tantangan dari hardiness tidak berkontribusi pada prediksi hasil

kesehatan. Pendapat Florian et.al. (1995, dalam Eschleman et.al., 2010)

ini mengandung arti pula bahwa tidak selamanya hardiness dapat

menahan efek stres, sehingga masih perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut mengenai hardiness dalam hubungannya dengan stres,

khususnya stres akulturatif.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi stres adalah dukungan

sosial, hal ini sesuai dengan pendapat Smet (1994). Kajian psikologi

kesehatan menunjukkan bahwa hubungan yang suportif secara sosial

juga bisa meredam efek stres, membantu orang mengatasi stres dan

menambah kesehatan. Dukungan sosial bermanfaat tatkala individu

mengalami stres, dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi

mana yang digunakan untuk mengatasi stres (Sarason dkk.,1994, dalam

Taylor dkk., 2009).

Uraian di atas menunjukkan bahwa adanya dukungan sosial

dapat menekan stres yang dirasakan individu, namun berbeda dengan

pendapat Baron & Byrne (2005), yang mengatakan bahwa meskipun

12

seseorang yang menghadapi masalah seperti stres, sangat

membutuhkan dukungan, upaya yang canggung untuk memberikan rasa

nyaman justru dapat membuat situasi menjadi semakin buruk. Hal ini

juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solberg

et.al. (1994 dalam Crockett et.al., 2007). Kedua penelitian tersebut

menemukan hasil yaitu tidak ditemukan bukti bahwa dukungan sosial

berhubungan dengan stres psikologis ataupun penyesuaian diri pada

mahasiswa Latin.

Perbedaan hasil penelitian dan pendapat tokoh di atas

menunjukkan hal yang masih belum jelas apakah dukungan sosial dapat

menekan stres, atau bahkan dukungan sosial dapat memicu stres.

Perbedaan inilah yang menjadi dasar bahwa hubungan antara dukungan

sosial dengan stres akulturatif masih perlu dilakukan penelitian

kembali.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

Apakah Hardiness dan Dukungan Sosial Teman secara simultan atau

parsial berpengaruh terhadap Stres Akulturatif mahasiswa Papua

di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka

penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

13

a. Menentukan pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan

sosial teman terhadap stres akulturatif pada mahasiswa Papua

laki-laki di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

b. Menentukan pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan

sosial teman dengan stres akulturatif pada mahasiswa Papua

perempuan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

c. Menentukan perbedaan stres akulturatif mahasiswa Papua di

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ditinjau dari jenis

kelamin.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik

manfaat teoretis maupun manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu

bagi psikologi sosial khususnya psikologi lintas budaya dalam

hubungannya antara stres akulturatif mahasiswa Papua, hardiness,

dan dukungan sosial teman.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi pihak-pihak terkait, yaitu:

a. Mahasiswa. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

informasi atau acuan mahasiswa Papua yang akan kuliah di Pulau

Jawa khususnya Kota Salatiga, yang berkaitan dengan masalah stres

akulturatif, hardiness, dan dukungan sosial teman.

14

b. Universitas. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

informasi atau acuan pihak universitas dalam menangani

mahasiswanya dalam kaitannya dengan permasalahan stres

akulturatif, hardiness, dan dukungan sosial teman.

1.4.3 Manfaat Bagi Penulis

a. Dapat memahami pentingnya peran hardiness dan dukungan sosial

teman dalam penurunan stres akulturatif.

b. Melalui penelitian ini penulis dapat membuat sebuah karya ilmiah

terkait dengan hubungan hardiness dan dukungan sosial teman

dengan stres akulturatif mahasiswa Papua dalam rangka meraih

gelar Master Sains Psikologi.