Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, tingkat kejadian penyakit tidak
menular terus meningkat, salah satunya adalah Diabetes Melitus. Diabetes melitus
(DM) merupakan penyakit kronis yang umum terjadi pada dewasa yang
membutuhkan supervisi medis berkelanjutan dan edukasi perawatan mandiri.
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, kadar gula tinggi menjadi penyebab utama
terjadinya komplikasi terkait DM (Black, J.M & Hawks, J.H, 2014). Diabetes
merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular, dan merupakan
penyebab utama untuk kebutaan, serangan jantung, stroke, gagal ginjal, dan
amputasi kaki, 80% penyakit diabetes dapat dicegah (WHO, 2016).
Prevalensi kejadian diabetes melitus terus meningkat sehingga menarik
perhatian terutama kalangan praktisi kesehatan. Menurut Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), pada tahun 2015 sekitar 415 juta orang hidup dengan diabetes,
kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta orang di tahun 1980an. Pada tahun 2040 diduga
jumlah penderita diabetes melitus akan meningkat menjadi 642 juta (IDF Atlas,
2015). sekitar 80% diabetes terdapat di negara yang berpenghasilan rendah dan
menengah, pada tahun 2015, persentase orang dewasa dengan diabetes adalah
8,5% (1 dari 11 orang dewasa menderita diabetes). Pada tahun 2014 diperkirakan
96 juta orang dewasa dengan diabetes berada di 11 negara anggota di wilayah
regional Asia Tenggara, dan ini merupakan jumlah terbesar mengingat sekitar
sepertiga kasus secara global (WHO, 2016).
Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi 4 status klinis yang berbeda,
meliputi DM Tipe 1, DM Tipe 2, Gestasional, atau tipe DM spesifik. Di antara
tipe DM yang ada, DM tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih
dari 90%) (Witasari, 2009 dalam Magfirah, Sudiana, & Widyawati, 2015).
UPN "VETERAN" JAKARTA
2
Menurut Black, J.M & Hawks, J.H, (2014) prevalensi DM tipe II lebih
tinggi pada ras Amerika pribumi, Amerika-Afrika, Amerika Hispanik, orang yang
lebih tua, danobesitas. DM merupakan penyebab kebutaan pada usia 20-74 tahun
dan gagal ginjal kronis.
Diabetes Melitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas
sel terhadap insulin, kadar insulin yang menurun namun insulin tetap dihasilkan
oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe 2 termasuk dalam non
insulin dependent diabetes melitus ( Slamet, S, 2008 dalam Fatimah, R, 2015).
Diabetes Melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang dominan dengan
persentase 90-95% dari semua kasus. Menurut Internasional of Diabetic
Ferderation (2015) tingkat prevalensi global penderita diabetes melitus pada
tahun 2014 sebesar 8,3% dari keseluruhan penduduk di dunia dan mengalami
peningkatan pada tahun 2014 menjadi 387 juta kasus.
Indonesia merupakan negara yang menempati urutan ke 7 dengan penderita
diabetes melitus sejumlah 8,5 juta penderita setelah Cina, India, Amerika Serikat,
Brazil, Rusia, dan Mexico. Perkiraan terakhir Internasional of Diabetic
Ferderation , ada sebanyak 382 juta orang yang hidup dengan diabetes didunia
pada tahun 2013. 16 tahun mendatang diperkirakan akan meningkat menjadi 592
juta, diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum
terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa
disadari dan tanpa pencegahan (Infodatin, 2014).
Menurut data Riskesdas (2018) prevalensi diabetes melitus berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun, menurut provinsi 2013-2018
rata rata terjadi peningkatan dari 1,5% di tahun 2013 meningkat menjadi 2,0% di
tahun 2018 dari keseluruhan penduduk sebanyak 250 juta jiwa, sedangkan
prevalensi diabetes mellitus menurut Konsesus PERKENI (2011) berdasarkan
pemeriksaan darah pada penduduk umur ≥ 15 tahun, 2013-2018 terjadi
peningkatan dari 6,9% di tahun 2013 meningkat menjadi 8,5% di tahun 2018,
sedangkan prevalensi diabetes mellitus menurut Konsesus PERKENI (2015)
berdasarkan pemeriksaan darah pada penduduk umur ≥ 15 tahun, 2013-2018
terjadi peningkatan dari 6,9% di tahun 2013 meningkat menjadi 10,9% di tahun
2018.
UPN "VETERAN" JAKARTA
3
Di Provinsi Jawa Barat sendiri, ada cukup banyak penderita diabetes,
terhitung 1,8% dari total populasi. Provinsi Jawa Barat berada di peringkat 18
untuk kasus Diabetes Melitus di Indonesia (Riskesdas, 2018). Diabetes melitus
yang sudah terjadi komplikasi menjadi penyebab mortalitas tertinggi ketiga di
Indonesia, 2/3 orang dengan diabetes di Indonesia tidak mengetahui dirinya
memiliki diabetes, dan berpotensi untuk mengakses layanan kesehatan dalam
kondisi terlambat sudah dengan komplikasi (WHO, 2016).
Penderita rawat jalan di puskesmas menurut golongan umur 45-75 tahun di
kota depok tahun 2017, sudah mulai di dominasi oleh penyakit tidak menular,
Diabetes Melitus berada pada urutan ke 5 sebesar 7,57% penderita setelah
penyakit Hipertensi Primer sebesar 35,04% kemudian penyakit ISPA menduduki
posisi kedua sebesar 8,72%, penyakit Dispepsia sebesar 7,80% pada posisi ketiga,
dan Myalgia sebesar 7,76%. Diabetes Melitus masuk ke dalam 10 besar penyakit
terbanyak pada pasien rawat jalan puskesmas di kota depok tahun 2017 dengan
jumlah sekitar 28.214 penderita (2,98%) (Lb1 Simpus, 2017 dalam Profil
Kesehatan Kota Depok Tahun 2017).
Diabetes Melitus dapat terjadi karena kurangnya kontrol kadar gula darah,
kadar gula darah pada pasien DM berhubungan dengan stress yang dihadapinya.
Stres mengaktifkan system neuroendokrin dan system saraf simpatis melalui
hipotalamus pituitari-adrenal sehingga menyebabkan pelepasan hormon-hormon
seperti epinefrin, kortisol, glukagon, ACT, kortikosteroid, dan tiroid yang dapat
mempengaruhi kadar glukosa darah penderita diabetes. Selain itu selama stress
emosional, pasien DM juga dikaitkan dengan perawatan diri yang buruk seperti
pola makan, latihan, dan penggunaan obat-obatan (Hasaini, 2015 dalam
Simanjuntak & Simamora, 2017).
Penatalaksanaan Diabetes Melitus terdapat 4 cara untuk mengontrol kadar
gula darah. Cara menjaga kadar gula darah tersebut yaitu; terapi menggunakan
obat atau farmakologi, terapi gizi dan nutrisi, edukasi cara manajemen diabetes
mandiri, dan aktivitas fisik (American Diabetes Association, 2014). Untuk
mencegah terjadinya komplikasi DM, diperlukan pengontrolan terapeutik dan
teratur melalui gaya hidup pasien DM tipe 2. Dalam melaksanakan pengontrolan
kadar gula darah terdapat beberapa cara diantaranya adalah dengan terapi
UPN "VETERAN" JAKARTA
4
relaksasi, yang diantaranya terdiri dari PMR, Benson, nafas dalam, relaksasi
autogenik (Moyad & Hawks, 2009 dalam Limbong M, Jaya R, & Ariani Y, 2015).
Teknik relaksasi dengan gerakan instruksi yang lebih sederhana dari pada teknik
relaksasi lainnya, hanya memerlukan waktu 15-20 menit, dapat dilakukan dengan
posisi berbaring, duduk dikursi dan duduk bersandar yang memungkinkan klien
dapat melakukannya dimana saja adalah relaksasi autogenik (Greenberg, 2002
dalam Limbong M, Jaya R, & Ariani Y, 2015).
Relaksasi Autogenik merupakan bentuk mind body intervention, bersumber
dari dalam diri sendiri yang berupa kata-kata atau kalimat pendek yang bisa
membuat pikiran menjadi tentram, membuat kata-kata atau kalimat motivasi
dilakukan dengan membayangkan diri sendiriberada dalam keadaan tenang dan
damai, berfokus pada detak jantung dan pengaturan nafas (Aryani, 2007 dalam
Supriadi D, Hutabarat E, & Putri V, 2015). Penggunaan terapi komplementer ini
semakin meningkat selama beberapa dekade terakhir, bahkan terapi ini sudah
menjadi bagian dari keperawatan sejak periode Florence Nightingale seperti
tertulis dalam bukunya Notes on Nursing pada tahun 1859.
Penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati & Indriyani R (2017) yang
berjudul “Terapi Relaksasi Teknik Nafas Dalam (Deep Breathing) Dalam
Menurunkan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II” Teknik
pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara dan observasi, Metode
penyajian data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah analisa deskriptif.
mendeskripsikan atau penggambaran terhadap suatu obyek yang diamati melalui
sampel atau data yang telah terkumpul melalui observasi dan wawancara dan
kemudian membuat kesimpulan secara umum. Dari hasil penelitian menunjukan
bahwa penerapan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan kadar gula
darah pada pasien Diabetes Melitus tipe II sangat efektif dikarenakan dapat
merilekskan dan mengurangi stress sehingga kadar gula darah dapat turun yang
dibuktikan dengan hasil penelitian.
Adapun hasil penelitian lainnya yang berjudul “ Pengaruh latihan pasrah
Diri terhadap tingkat stress dan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe
2 di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta” oleh Susanti & Rahmah
(2015). Dengan desain penelitian Quasi Experimental dan sampel sebanyak 40
UPN "VETERAN" JAKARTA
5
orang yang terdiagnosa DMT 2, dan sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok intervensi dan kontrol. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
adanya pengaruh latihan pasrah diri terhadap tingkat stress dan kadar gula darah
pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang dibuktikan dengan hasil penelitian (p
value < 0,05). Penelitian ini membuktikan bahwa relaksasi autogenik membawa
perintah tubuh melalui autosugesti untuk rileks sehingga pernafasan, tekanan
darah, gula darah, denyut jantung serta suhu tubuh dapat dikendalikan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 2
April 2019, didapatkan data dari Puskesmas Pancoran Mas Depok bahwa setiap
bulannya ada sekitar 382 pasien yang rutin kontrol untuk memeriksakan diri ke
puskesmas, hasil tersebut didapatkan dari rata-rata jumlah kunjungan pada bulan
Januari 403 orang dan bulan Februari 360 orang, dan mendapatkan obat berupa
metformin dan glimipirid. Berdasarkan hasil wawancara dari pihak puskesmas
diketahui bahwa perawat yang ada di Puskesmas Pancoran Mas sudah non-
fungsional, dan berdasarkan hasil wawancara terhadap 5 pasien yang menderita
DMT2, mereka rata-rata memiliki nilai gula darah ≥200 mg/dl, sering mengalami
kaki kesemutan, berkemih dimalam hari, selalu merasa lapar dan haus. Mereka
mengatakan saat kontrol ke puskesmas hanya mendapatkan terapi obat-obatan dan
mereka juga mengatakan belum mengetahui dan belum pernah melakukan terapi
komplementer terapi relaksasi autogenik. Tiga dari lima orang mengatakan bosan
dengan penggunaan obat-obatan, namun mereka tetap datang ke puskesmas
karena khawatir akan terjadi komplikasi jika tidak diobati. Sisanya dua dari lima
orang mengatakan baru selama 2 bulan ini rajin kontrol ke puskesmas.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengambil
penelitian mengenai “pengaruh relaksasi autogenik terhadap kadar glukosa darah
pada pasien diabetes melitus tipe 2”.
I.2 Rumusan Masalah
Diabetes melitus tipe 2 menjadi masalah kesehatan yang serius, baik
dinegara maju maupun di negara berkembang karena insidensinya terus
meningkat. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang umum terjadi
pada dewasa yang membutuhkan supervisi medis berkelanjutan dan edukasi
UPN "VETERAN" JAKARTA
6
perawatan mandiri. Diabetes Melitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi
akibat insensivitas sel terhadap insulin, kadar insulin yang menurun namun insulin
tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe 2 termasuk
dalam non insulin dependent diabetes melitus ( Slamet, S, 2008 dalam Fatimah, R,
2015).
Indonesia merupakan negara yang menempati urutan ke 7 dengan penderita
diabetes melitus sejumlah 8,5 juta penderita setelah Cina, India, Amerika Serikat,
Brazil, Rusia, dan Mexico. Perkiraan terakhir Internasional of Diabetic
Ferderation , ada sebanyak 382 juta orang yang hidup dengan diabetes didunia
pada tahun 2013. 16 tahun mendatang diperkirakan akan meningkat menjadi 592
juta, diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum
terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa
disadari dan tanpa pencegahan (Infodatin, 2014).
Di Provinsi Jawa Barat sendiri, ada cukup banyak penderita diabetes,
terhitung 1,8% dari total populasi. Provinsi Jawa Barat berada di peringkat 18
untuk kasus Diabetes Melitus di Indonesia (Riskesdas, 2018). Diabetes melitus
yang sudah terjadi komplikasi menjadi penyebab mortalitas tertinggi ketiga di
Indonesia, 2/3 orang dengan diabetes di Indonesia tidak mengetahui dirinya
memiliki diabetes, dan berpotensi untuk mengakses layanan kesehatan dalam
kondisi terlambat sudah dengan komplikasi (WHO, 2016).
Penderita rawat jalan di puskesmas menurut golongan umur 45-75 tahun di
kota depok tahun 2017, sudah mulai di dominasi oleh penyakit tidak menular,
Diabetes Melitus berada pada urutan ke 5 sebesar 7,57% penderita setelah
penyakit Hipertensi Primer sebesar 35,04% kemudian penyakit ISPA menduduki
posisi kedua sebesar 8,72%, penyakit Dispepsia sebesar 7,80% pada posisi ketiga,
dan Myalgia sebesar 7,76%. Diabetes Melitus masuk ke dalam 10 besar penyakit
terbanyak pada pasien rawat jalan puskesmas di kota depok tahun 2017 dengan
jumlah sekitar 28.214 penderita (2,98%) (Lb1 Simpus, 2017 dalam Profil
Kesehatan Kota Depok Tahun 2017).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 2
April 2019, didapatkan data dari Puskesmas Pancoran Mas Depok bahwa setiap
bulannya ada sekitar 382 pasien yang rutin kontrol untuk memeriksakan diri ke
UPN "VETERAN" JAKARTA
7
puskesmas, hasil tersebut didapatkan dari rata-rata jumlah kunjungan pada bulan
Januari 403 orang dan bulan Februari 360 orang, dan mendapatkan obat berupa
metformin dan glimipirid. Berdasarkan hasil wawancara dari pihak puskesmas
diketahui bahwa perawat yang ada di Puskesmas Pancoran Mas sudah non-
fungsional, dan berdasarkan hasil wawancara terhadap 5 pasien yang menderita
DMT2, mereka rata-rata memiliki nilai gula darah ≥200 mg/dl, sering mengalami
kaki kesemutan, berkemih dimalam hari, selalu merasa lapar dan haus. Mereka
mengatakan saat kontrol ke puskesmas hanya mendapatkan terapi obat-obatan dan
mereka juga mengatakan belum mengetahui dan belum pernah melakukan terapi
komplementer terapi relaksasi autogenik. Tiga dari lima orang mengatakan bosan
dengan penggunaan obat-obatan, namun mereka tetap datang ke puskesmas
karena khawatir akan terjadi komplikasi jika tidak diobati. Sisanya dua dari lima
orang mengatakan baru selama 2 bulan ini rajin kontrol ke puskesmas.
Berdasarkan fenomena tersebut untuk meminimalisir terjadinya komplikasi
dari peningkatan kadar gula darah yang tidak dapat dikontrol, maka peneliti ingin
melakukan penelitian dengan judul “Apakah ada pengaruh relaksasi autogenik
terhadap kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe 2”?.
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi
autogenik terhadap kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2.
I.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran karakteristik responden penelitian yang meliputi:
usia, jenis kelamin, lama menderita DMT2, dan IMT pada penderita
diabetes melitus tipe 2.
b. Mengidentifikasi gambaran kadar gula darah sebelum dan sesudah
dilakukan relaksasi autogenik pada pasien diabetes melitus tipe 2.
c. Menganalisis pengaruh antara usia terhadap kadar gula darah pada pasien
diabetes melitus tipe 2.
UPN "VETERAN" JAKARTA
8
d. Menganalisis pengaruh jenis kelamin terhadap kadar gula darah pada
pasien diabetes melitus tipe 2.
e. Menganalisis pengaruh lama menderita diabetes melitus tipe 2 terhadap
kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2.
f. Menganalisis pengaruh IMT terhadap kadar gula darah pada pasien
diabetes melitus tipe 2.
g. Menganalisis perbedaan rata-rata kadar gula darah sebelum dan sesudah
dilakukan teknik relaksasi autogenik pada kelompok kontrol dan
intervensi pada pasien diabetes melitus tipe 2.
h. Menganalisis perbedaan rata-rata kadar gula darah sesudah dilakukan
relaksasi autogenik pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pada
pasien diabetes melitus tipe 2.
i. Menganalisis perbedaan rata-rata selisih kadar gula darah sebelum dan
sesudah dilakukan relaksasi autogenik pada kelompok kontrol dan
intervensi pada pasien diabetes melitus tipe 2.
I.4 Manfaat Penelitian
I.4.1 Bagi Responden
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru dalam mengatasi
peningkatan kadar gula darah dan responden dapat secara mandiri melakukan
teknik relaksasi autogenik, guna untuk mengontrol kadar gula darah sehingga
meminimalisir terjadinya komplikasi dari diabetes melitus tipe 2.
I.4.2 Bagi Paramedis
Diharapkan terapi nonfarmakologi teknik relaksasi autogenik dapat
digunakan sebagai intervensi keperawatan dalam penanganan pasien diabetes
melitus tipe 2 dalam mengontrol kadar gula darah.
UPN "VETERAN" JAKARTA
9
I.4.3 Bagi Akademis
Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi kepada mahasiswa dalam
kegiatan proses belajar mengajar tentang intervensi dalam menurunkan kadar gula
darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu dengan melakukan terapi
nonfarmakologi teknik relaksasi autogenik.
I.4.4 Bagi Peneliti
Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar oleh peneliti
selanjutnya dalam penelitian pengaruh teknik relaksasi autogenik terhadap kadar
gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2, dan diharapkan dapat
mengembangkan penelitian lebih lanjut terkait pengaruh teknik relaksasi
autogenik dengan memperluas kajian dengan merubah atau menambah variabel
lain.
UPN "VETERAN" JAKARTA