22
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Gerakan demonstrasi merupakan bagian dari cara masyarakat mengekspresikan wujud berdemokrasi. Sebab, wujud kemerdekaan/ kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang dituangkan dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Jaminan UU Nomor 9 Tahun 1998, Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Artinya, setiap gerakan demonstrasi sebagai sebuah gerakan sosial, tidak bisa diklaim hanya milik sekelompok orang, misalnya oleh kelompok aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), atau oleh para akademisi (mahasiswa). Sementara masyarakat jelata, kaum pinggiran atau komunitas yang hidup di wilayah terpencil dianggap tidak memiliki hak atau menjadi bagian dari UU Nomor 9 Tahun 1998. Sebagai Warga Negara Indonesia, hak kemerdekaan/kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, dalam bentuk demonstrasi, pawai dan mimbar bebas menjadi hak dasar dari setiap warga negara. Namun, dalam mewujudkan hak-hak dasar tersebut, terkadang muncul kesalahan dalam menilai sebuah gerakan demonstrasi massa. Demonstrasi massa yang dilakukan di wilayah nusantara selalu diberi stigma buruk berdasarkan pemetaan wilayah, artinya kalau demonstrasi yang dilakukan di wilayah Indonesia Tengah dan atau Indonesia Barat, tidak mendapat stigma buruk dan dianggap wajar, sah, dan dibolehkan. Akan tetapi jika demonstrasi dilakukan di wilayah Timur Indonesia selalu dikonotasikan sebagai gerakan anti pemerintah,

BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

  • Upload
    leanh

  • View
    238

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Gerakan demonstrasi merupakan bagian dari cara masyarakat

mengekspresikan wujud berdemokrasi. Sebab, wujud kemerdekaan/

kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi

manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi

Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang dituangkan dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Jaminan UU Nomor 9 Tahun 1998, Tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, tidak bisa dibatasi oleh

ruang dan waktu. Artinya, setiap gerakan demonstrasi sebagai sebuah

gerakan sosial, tidak bisa diklaim hanya milik sekelompok orang,

misalnya oleh kelompok aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),

atau oleh para akademisi (mahasiswa). Sementara masyarakat jelata,

kaum pinggiran atau komunitas yang hidup di wilayah terpencil

dianggap tidak memiliki hak atau menjadi bagian dari UU Nomor 9

Tahun 1998.

Sebagai Warga Negara Indonesia, hak kemerdekaan/kebebasan

menyampaikan pendapat di muka umum, dalam bentuk demonstrasi,

pawai dan mimbar bebas menjadi hak dasar dari setiap warga negara.

Namun, dalam mewujudkan hak-hak dasar tersebut, terkadang

muncul kesalahan dalam menilai sebuah gerakan demonstrasi massa.

Demonstrasi massa yang dilakukan di wilayah nusantara selalu diberi

stigma buruk berdasarkan pemetaan wilayah, artinya kalau

demonstrasi yang dilakukan di wilayah Indonesia Tengah dan atau

Indonesia Barat, tidak mendapat stigma buruk dan dianggap wajar, sah,

dan dibolehkan. Akan tetapi jika demonstrasi dilakukan di wilayah

Timur Indonesia selalu dikonotasikan sebagai gerakan anti pemerintah,

Page 2: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

2

pro disintegrasi bahkan selalu dihubung-hubungkan dengan GPK

(Gerakan Pengacau Keamanan) yang sering terjadi pada sebagian

wilayah Timur Indonesia.

Gerakan demonstrasi di Kabupaten Kaimana – Provinsi Papua

Barat, merupakan gerakan demonstrasi yang memiliki “kesamaan nilai”

serta tujuan yang tidak jauh berbeda dengan gerakan demonstrasi yang

terjadi, atau dilakukan oleh kelompok demonstrasi di pelosok

nusantara. Yang penulis maksud dari “kesamaan nilai” tersebut

didasarkan pada konteks anak bangsa, yang mengakui dan menjunjung

tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu,

kemerdekaan berpendapat, berdemonstrasi, pawai, mimbar bebas yang

diakomodir dalam dalam UU Nomor Nomor 9 Tahun 1998 wajib

dihormati dan diberi ruang kepada mereka yang ingin

menyelenggarakannya.

Jika di ibukota negara demonstrasi dilakukan berjilid-jilid

dengan selalu berpaut pada angka seperti 411, 212 dll dianggap sah,

maka gerakan demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana dengan

menggunakan simbol adat, sangat layak diterima dan harus diakui. Hal

ini disebabkan karena keduanya berangkat dari prespektik masing-

masing, dan yang membedakan kedua gerakan demonstrasi terletak

pada penggunaan at-rubut, yang satunya condong menggunakan

simbol keagamaan dan cenderung mengaitkan dengan angka 411 dan

412, maka terindikasi tujuan gerakan tersebut ingin menciptakan

momentum untuk generasi baru. Sementara untuk gerakan

demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana yang menggunakan simbol

adat, gerakan ini lebih menekankan pada keterhubungan mereka

dengan sejarah leluhur. Jadi singkatnya adalah, gerakan demonstrasi

massa di Jakarta lebih condong pada upaya menciptakan sejarah,

sementara demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana lebih condong

pada pengulangan sejarah masa lalu.

Sikap masyarakat ini secara prinsip mereka tidak menciptakan

simbol-simbol baru, dan karena itu, gerakan demonstrasi massa yang

dilakukan bertujuan membangun kembali kesadaran pemerintah

Page 3: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

3

bahwa masyarakat itu sudah ada, jauh sebelum pemerintah hadir dan

menjadikan mereka sebagai warga negara Indonesia.

Sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, maka Kaimana dibentuk menjadi kabupaten pemekaran

yang berada di wilayah Provinsi Papua Barat. Usia Kabupaten Kaimana

jika dihitung dari masa karakteker tahun 2003 hingga tahun 2017,

lebih kurang usia Kabupaten Kaimana berada pada angka empat belas

tahun. Diusianya yang masih remaja, kabupaten ini mengalami banyak

permasalahan sosial, yang juga dialami oleh wilayah-wilayah

pemekaran yang berada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain

masalah sosial, pemerintah diperhadapkan dengan masalah

demonstrasi masa yang dilakukan berjilid-jilid dengan menggunakan

simbol adat.

Sebenarnya penulis ingin membuka penulisan bab ini dengan

uraian yang menyentuh pada latar belakang masalah. Namun, ada hal

penting yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca, berkaitan

dengan hakikat gerakan demonstrasi massa. Pada bagian awal bab ini,

penulis mencoba untuk mengedepankan UU Nomor 9 Tahun 1998

Tentang Kebebasan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh

Pemerintah Republik Indonesia. Bahwa demonstrasi massa di

Kabupaten Kaimana terhadap implementasi kebijakan pemerintah

merupakan bagian dari substansi demokrasi. Selain itu penelitian ini

tidak mempersoalkan sisi benar dan salah dari gerakan demonstrasi

tersebut, akan tetapi penulis lebih fokus pada latar belakang masalah

yang berhubungan dengan dasar kebijakan Pemerintah Daerah

Kabupaten Kaimana, disertai dengan persoalan mendasar munculnya

gerakan perlawanan tersebut.

Pemerintah secara sah, memiliki kewenangan untuk membuat

kebijakan terhadap permasalahan yang dihadapi dalam ruang publik

yang menjadi wilayah otoritasnya. Karena itu, sangatlah keliru jika ada

kegiatan demonstrasi massa yang berusaha menyoalkan dan atau

memprotes kebijakan yang dibuat. Dalam membuat kebijakan, tidak

selamanya seorang pemimpin harus melahirkan kebijakan riil, ada juga

pemimpian yang cenderung memilih untuk membuat kebijakan yang

Page 4: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

4

tidak nampak. Artinya, dalam kondisi tertentu, seorang pimpinan bisa

memilih untuk membuat kebijakan nyata yang dirasakan oleh

masyarakat, tetapi pada sisi lain, dia bisa memilih untuk membuat

kebijakan yang tampak nyata. Ada alasan tertentu yang melatar

belakangi sikap tersebut, mengapa seorang pimpinan cenderung

membuat kebijakan yang nyata, dan pada sisi lain, mengapa dia lebih

memilih tidak membuat kebijakan nyata. Yang dipikirkan dari konteks

ini sesungguhnya bukan pada membuat kebijakan dan atau tidak

membuat kebijakan, melainkan dilihat adalah, dampak dari kebijakan

selalu menjadi ukuran untuk melahirnya sebuah kebijakan.

Sebagai penentu kebijakan (policy maker) pada wilayah

pemerintahan Kabupaten Kaimana, tanggangung jawab mengola

masalah sosial adalah menjadi kewenangan seorang kepala daerah.

Kewenangan seorang kepala daerah dalam hubungannya dengan

masalah sosial, hanya bisa terhubung melalui sebuah kebijakan, sebab

kebijakan memiliki substansi kepedulian seorang kepala daerah atas

permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat sebagai sumber

pemegang dan sumber pemberi mandat di alam demokrasi.

Dalam konteks kewenangan tersebut, lahirlah berbagai kebijakan

yang dibuat untuk menjawab sejumlah masalah sosial yang dihadapi

masyarakat. Masyarakat sebagai bagian terpenting dari masalah sosial

tentu akan membuat reaksi atas sebuah kebijakan, karena masyarakat

selalu berada dalam ruang implementasi kebijakan. Karena itu, reaksi

masyarakat tidak bisa dihubungkan dengan kebijakan secara verbal

(non implementasi), tetapi selalu berhubungan dengan kebijakan riil

(terimplementasi). Di ruang kebijakan riil inilah, sebuah kebijakan

diuji. Artinya, ketika sebuah kebijakan masih terbatas pada rancangan

tim kerja pemerintah dalam sebuah birokrasi, sejauh itu masyarakat

tidak memiliki kewenangan menilai, menyoalkan atau menolak

kebijakan tersebut. Alasannya jelas, karena dalam ruang birokrasi,

“pemerintah memiliki hak merancang sebuah kebijakan”, namun

ketika kebijakan berada pada ruang implementasi dan muncul reaksi

dari masyarakat, maka hal itu memberi tanda bahwa ada faktor-faktor

kepentingan yang sengaja diselipkan pada sebuah kebijakan.

Page 5: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

5

Dalam melakukan pembangunan di Tanah Papua khususnya di

Kabupaten Kaimana yang meliputi delapan suku asli antara lain:

Mairasi, Kuri, Irarutu, Oburau, Madewana, Koiwae, Napiti dan Miere, banyak orang tidak memahami kalau setiap suku memiliki konsep

pembangunan yang dimulai dari konsep membangun individu, konsep

membangun marga/klan, dan konsep membangun suku serta

membangun wilayah yang mereka diami. Konsep masyarakat ini tentu

berbenturan dengan pandangan yang dianut oleh pemerintah yang

melihat masyarakat sebagai obyek pembangunan. Dalam merancang

kebijakan pembangunan terhadap delapan suku di Kabupaten Kaimana,

pembuat kebijakan tidak bisa memulai dari cara berfikir kalau

masyarakat lokal tidak memiliki sesuatu terhadap diri, lingkungan dan

masa depan mereka. Haruslah dipahami bahwa delapan suku di

Kabupaten Kaimana bukan penunggu yang mendiami suatu wilayah

atau tempat tertentu tanpa latar belakang, mereka punya sejarah,

mereka punya mitos, mereka punya tarian dan nyanyian, mereka

punya religi, dan semua yang mereka miliki itu merupakan modal

hidup yang dapat membuat mereka mampu bertahan dalam konteks di

mana mereka ada hingga saat ini.

Terkadang dalam mendesain pembangunan terhadap masyarakat

lokal, pihak yang mendesain pembangunan mengalami tantangan yang

bisa menyebabkan kegagalan dalam pembangunan. Hal ini

sesungguhnya disebabkan karena sosok manusia dan alam yang akan

dibangun, dilihat dan dipahami sebagai dua pribadi yang tidak

memiliki sesuatu (alam selalu dipandang tidak memiliki hubungan

manusia). Dampaknya adalah pada akhirnya, desain pembangunan

akan melahirkan benturan konflik antara pihak yang membangun dan

pihak yang dibangun.

Apa yang dimiliki delapan suku asli di Kabuapetn Kaimana, tidak

boleh dipahami sebagai sesiatu yang nir logis. Sebab sesuatu yang

logika tidak dimulai dari kumpulan pikiran aku dan kau (hanya

sekolompok orang), dan meniadakan logika orang lain. Seharusnya

pembangunan harus dimulai dari kumpulan pikiran aku, kau dan

mereka (melibatkan semua pihak), maka hal itu menunjukan bahwa

Page 6: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

6

semua unsur telah diajak untuk duduk berpikir berasama sehingga hasil

pembangunan dapat dikatakan sebagai hasil pikir, hasil juang dan

bangun bersama.

Pertanyaan yang terkadang muncul dalam benak masyarakat

modern adalah benarkah masyarakat lokal delapan suku di Kabupaten Kaimana memiliki konsep pembangunan”? pertanyaan berikut adalah

“kapan konsep tersebut ada dan bisa terealisasi”?

Menjawab dua pertanyaan tersebut, penulis perlu

menyampaikan bahwa kumpulan konsep pembangunan dalam

kehidupan masyarakat lokal merupakan warisan dari generasi ke

generasi. Konsep tersebut kalau dibahasakan dalam bahasa sederhana

masyarakat lokal delapan suku disebut “tete nene moyang punya janji”, pertanyaan kedua, “kapan konsep tersebut bisa terealisasi”? menjawab

pertanyaan kedua maka masyarakat lokal menempatkan konsep “tete nene moyang punya janji” sebagai NSPK1 (Norma, Standar, Presedur

dan Kriteria) dan menghubungkannya dengan kehadiran pemerintah

serta pihak-pihak yang akan melaksanakan pembangunan dalam

wilayah adat mereka. NSPK ini telah ada dan digunakan oleh

masyarakat lokal sebagai standar umum dalam menilai dan

menghubungkan janji leluhur dengan perilaku pemerintahan, apakah

ada kecocokan dengan NSPK konsep adat yang mereka terima dari

leluhur atau berbeda dengan janji tersebut.

1 Dalam UU Nomr 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah BAB IV Pasal 9 ayat 3 menyebutkan “Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintahan Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota”. Pasal 16 Ayat 1 “Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat 3 berwenang untuk: (a) “menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan”; dan (b) “melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah”. Dalam konsep masyarakat adatis, NSPK ini telah ada sebagai bentuk etika budaya. NSPK konsep masyarakat lokal yang digunakan terhadap setiap kebijakan pemerintah dan para investor yang melakukan pembangunan dalam wilayah adat mereka, karena itu jika pembangunan tidak sesuai dengan NSPK yang ditetapkan oleh “tete nene moyang pung jani”, maka terkadang terjadi penolakan dari pihak masyarakat lokal.

Page 7: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

7

Untuk merealisasikan “tete nene moyang punya janji”. masyarakat lokal membuka diri menerima konsep dan kebijakan

pembangunan seperti: penyerahan wilayah adat kepada pemerintah

untuk melakukan membangun infrastruktur, mengikuti program

pendidikan, program kesehatan, memilih menjadi pemeluk salah satu

agama dari agama yang distandarkan oleh pemerintah. Dalam

kenyataan ketika masyarakat adat menjatuhkan pilihan menjadi

pemeluk salah agama standar pemerintah, konsekwensinya adalah

masyarakat lokal harus meninggalkan nilai-nilai kepercayaan lokal

yang di dalamnya termuat NSPK. Pada tingkat yang paling akhir,

masyarakat lokal diajak untuk mengakui otoritas pemerintahan sebagai

institusi yang berdaulat dan bertanggungjawab membawa masyarakat

lokal menuju kehidupan yang lebih baik (sejahtera). Keberhasilan

pemerintah dalam konteks ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi

pemerintah untuk mewujudkan mimpi masyarakat lokal yang

berkaitan dengan “tete nene moyang punya janji”. Artinya, ketika

pemerintah telah berhasil mengajak masyarakat lokal untuk mengikuti

ajakan pemerintah, maka dalam hal tersebut pemerintah telah

meletakan dan melegalkan dirinya sebagai wujud dari janji leluhur

yang mereka nantikan selama ini.

Strategi pemerintah yang diawali dengan mengubah cara

pendang masyarakat lokal merupakan barometer dalam mendaratkan

kebijakan pembangunan. Karakter masyarakat lokal yang pada awalnya

tempramental, penuh kecurigaan dan cemburuh terhadap kehadiran

pihak luar, telah diyakinkan oleh pemerintah bahwa, pemerintah

mampu merealisasikan konsep-konsep leluhur yang dimiliki dengan

cara mengimplementasikan sejumlah kebijakan pemerintah. Karena

itu, kebijakan pembangunan tidak saja terfokus pada apa yang akan

dibangun, namun pada sisi lain, pemerintah sudah meyakinkan mereka

(masyarakat lokal) bahwa kehadiran pemerintah adalah wujud dari

janji leluhur. Konteks ini dengan sendirinya akan menjadi pintu masuk

dalam membangun masyarakat lokal di Kabupaten Kaimana.

Gagal dan berhasilnya suatu kebijakan pembangunan tidak

semata-mata tergantung pada pihak pembuat kebijakan, atau hanya

Page 8: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

8

tergantung pada masyarakat dalam wilayah tertentu. Dua kutup

berbeda, atas (pemerintah) bawah (masyatrakat) merupakan titik

penentu berhasil tidaknya sebuah kebijakan pembangunan, karena itu

dua instrumen pembangunan utama (pemerintah dan masyarakat)

memiliki kewajiban untuk saling menghormati posisi masing-masing.

Konteks ini diwujudkan dengan tujuan agar kegagalan realisasi

kebijakan pembangunan bisa diminimalisir.

Munculnya gerakan demonstrasi massa, terhadap implementasi

kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana, menjadi sorotan

tersendiri. Konteks ini memunculkan pertanyaan, sejauh mana

pemerintah memengaruhi masyarakat lokal, dalam hal implementasi

kebijakan pembangunan. Mengingat fungsi utama dari kepemimpinan

adalah sejauh mana seorang pemimpin mampu memengaruhi pihak

lain yang berada pada wilayah/otoritasnya. Hal lain yang perlu

diperhatikan dalam kaitan dengan kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah antara lain, bahwa sebuah kebijakan tidak serta merta

dibuat dan langsung diimplementasikan, ada sejumlah tahapan

prosedur yang harus dibuat hingga tahapan implementasi. Namun,

dalam kenyataannya, demonstrasi masyarakat adat dengan

menggunakan simbol adat menunjukan bahwa terdapat titik

kelemahan dalam kebijakan tersebut. Titik lemah dari kebijakan

tersebut dengan sendirinya berimplikasi terhadap kinerja pelayanan

birokrasi pemerintah terhadap publik. Titik lemah kebijakan tersebut

tidak berarti bahwa pemerintah berada pada posisi yang sangat lemah,

namun ada kesan tersendiri bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten

Kaimana belum mampu mengenal konteks masyarakat yang berada

dalam wilayah kerjanya, dan pemerintah belum memainkan peran

sebagai inkarnasi dari “tete nene moyang punya jani” yang dimiliki dan

ditunggu oleh masyarakat adat.

Merunut sejarah delapan suku asli di Kabupaten Kaimana, sejak

awal masing-masing suku telah memiliki simbol adat. Simbol-simbol

tersebut secara prinsip adalah milik seluruh masyarakat adat, dan

penggunaannya untuk kepentingan masyarakat lokal. Setiap simbol

masyarakat lokal memiliki dua sifat yang berbeda. Pertama, simbol adat

Page 9: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

9

yang bersifat khusus tertutup (ekslusif) dan berlaku hanya pada

marga/klan tertentu. Simbol ini, tidak dibenarkan untuk digunakan

oleh marga lain yang tidak memiliki kaitan dengan marga/klan pemilik

simbol. Sebab simbol yang berlaku dalam marga/klan tertentu memiliki

hubungan dengan sebutan nama leluhur mereka. Jika ternyata terjadi

penyalahgunaan simbol adat oleh marga/klan atau pihak lain, maka

akan dikenahi sanksi adat. Kedua, simbol adat yang bersifat sakral

terbuka (inklusiv), berlaku umum. Artinya, simbol adat tersebut

berlaku untuk semua marga/klan dalam komintas suku. Alasan

mengapa penggunaan simbol ini berlaku umum untuk setiap

marga/klan, sebab asal mula simbol tersebut secara umum telah

digunakan oleh leluhur mereka dalam komunitas suku tersebut. Dari

runutan sejarah simbol masyarakat lokal, jika dihubungkan dengan

demonstrasi massa yang terjadi di Kabupaten Kaimana maka

pemanfaatan simbol adat telah bergeser di luar wilayah otoritasnya

(adat). Artinya, penggunaan simbol tidak lagi berada dalam ranahnya,

sebab ranah pemerintah dan ranah adat merupakan dua institusi yang

berbeda dan memiliki kewenangan simbol masing-masing.

Sebagaimana penjelasan pada bagian awal, bahwa kebijakan

pemerintah untuk menata permasalahan publik di Kabupaten Kaimana,

didasarkan pada sejumlah masalah sosial yang bersifat klasik antara

lain: pendidikan, infrastruktur (aksesibiliti) penambahan ruas jalan

darat, pelebaran bandara udara Utarom, pembenahan jumlah

penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) dan tenaga kontrak,

peningkatan daya saing ASN (Aparatur Sipil Negara) melalui mutasi

reguler ASN, peningkatan kualitas iman umat melalui program wisata

rohani (ziara dan ibadah haji).

Menghadapi konteks seperti ini, dibutuhkan kebijakan strategi

seorang kepala daerah. Kebijakan strategi dibuat tidak hanya bertujuan

untuk mencapai hasil yang telah menjadi target, melainkan ada hal

penting yang perlu dicapai yang berhubungan dengan pemerataan

keadilan sosial yang berimplikasi pada upaya memperkecil ruang

kesenjangan sosial antara orang lokal dengan para migran yang berasal

dari luar wilayah Kabupaten Kaimana – Provinsi Papua Barat.

Page 10: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

10

Langkah-langkah konrit yang diambil untuk tujuan tersebut

ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Artinya, apa yang terpikir dan

terkonsep dalam ruang birokrasi, ternyata dalam ruang implementasi

kebijakan muncul fenomena dan hasil yang berbeda, hal itu ditandai

dengan adanya demonstrasi massa yang melakukan pemalangan

menggunakan simbol adat terhadap sejumlah infrastruktur pemerintah,

seperti pemalangan terhadap kantor Bupati Kaimana, Kantor Dinas PU,

Kantor Dinas Kesehatan, Perumahan Dinas Pimpinan Sekolah Dasar,

dan pemalangan alat berat milik kontraktor, Pemalangan Kantor

Distrik Teluk Arguni dan pemalangan kantor P.T. Quest Geofissical

Asia sebagai sub kontraktor P.T. ChrisEnergi yang melakukan sesmik

MIGAS (Minyak dan Gas) di daerah Distrik Teluk Arguni dan Teluk

Arguni Bawah.

Sikap demonstrasi massa yang berbuntut pemalangan

menggunakan simbol adat, tidak bisa dipahami negatif atau sebagai

bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Karena demonstrasi

massa tidak dilakukan terhadap sebuah kebijakan, melainkan dilakukan

dalam ruang implementasi kebijakan. Dalam ruang inilah, rakyat

melihat kebijakan pemerintah sebagai bentuk jawaban atas masalah

yang dihadapi. Karena itu, dalam menilai sikap demonstrasi massa di

Kabupaten Kaimana, masalah tersebut tidak bisa diletakan dalam porsi

demonstrasi massa versus kebijakan, melainkan demonstrasi massa

versus implementasi kebijakan pemerintah.

Demonstrasi merupakan bagian dari kebebasan manusia dan

telah diakomodir dalam UU Nomor 9 Tahun 1998, Tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU Nomor 9

Tahun 1998, tidak hanya dilihat sebagai bentuk dukungan pemerintah

atas kebebesan berpendapat warga negara, tetapi di sisi lain,

pemerintah ingin menyampaikan pesan kepada semua komponen agar

tidak berlebihan menilai negatif sebuah gerakan demonstrasi massa

terhadap pemerintah. Sebab rung demonstrasi massa dalam dunia

demokrasi merupakan ruang komunikasi massa yang disampaikan

kepada pemerintah atas sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh

Page 11: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

11

masyarakat terkait dengan apa yang mereka rasakan yang memiliki

kaitan langsung dengan implementasi kebijakan.

Kita patut mencatat bersama, sejarah perjalanan Bangsa

Indonesia selama masa ORBA (Orde Baru), tidak ada satu kekuatan

yang bisa menumbang rezim kuat saat itu, namun hanya melalui

demonstrasi massa rezim kuat ORBA bisa digulingkan. Hal ini tidak

berarti bahwa demonstrasi massa memiliki sisi negatif yang terkesan

memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintah. Tetapi pada sisi

positif kegiatan demonstrasi masa bisa dilihat sebagai ruang komunikasi

antara pemerintah dengan masyarakat yang memungkinkan

pemerintah mendapat informasi terkait dengan implementasi

kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Berdasarkan fakta, pemerintah

memiliki keterbatasan dalam melakukan pemantauan atas sejumlah

kebijakan yang sementara diimplementasikan, dengan demikian fungsi

kontrol masyarakat melalui demonstrasi massa bisa dijadikan sumber

informasi dan alat kontrol terhadap sejumlah implementasi kebijakan

yang dianggap bermasalah.

Sejalan dengan konteks tersebut, terkadang pemerintah bersama

rakyat berada pada dua sudut pandang yang berbeda. Hal ini

disebabkan karena mengawali kehadiran kepemimpinan seorang

kepala daerah, rakyat telah terkotak-kotak oleh pegaruh para elit

politik daerah sehingga menyebabkan muncul kelompok-kelompok

yang bermuara pada kelompok oposisi dan kelompok kualisi. Dalam

konteks ini dibutuhkan sikap pemenang PILKADA untuk kembali

menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu komunitas

masyarakat. Jika hal ini tidak dapat diwujudkan maka kelompok yang

berseberangan akan terbentuk secara permanen selama masa

kepemimpinan seorang kepala daerah dan akan berdampak menjadi

kelompok oposisi dalam pemerintahan.

Konteks ini telah terjadi di Kabupaten Kaimana. Kelompok

lawan poliik yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok oposisi,

terus menyuarakan kegagalan implementasi kebijakan Pemerintah

Daerah Kabupaten Kaimana. Kelompok ini tidak hanya sebatas

penyampaikan suara dalam bentuk demonstrasi massa, lebih dari itu

Page 12: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

12

sikap demonstrasi yang dilakukan dilegalkan dengan menggunakan

simpul-simpul simbol adat. Dari sikap ini demonstrasi massa ingin

menyampaikan kepada pemerintaah bahwa sebagai kelompok oposisi,

mereka juga adalah bagian dari masyarakat adat, dengan demikian

apapun yang mereka lakukan adalah sah sebagai masyarakat Kaimana

dan sebagai masyarakat adat.

Simbol adat dalam komunitas masyarakat lokal merupakan

identitas yang tidak memiliki hubungan dengan pemerintah dan politik

modern. Kebiasaan masyarakat lokal hidup bersama simbol-simbol adat

merupakan bagian dari suatu sistem pemerintahan adat yang sudah

terbentuk sejak lama. Kehidupan masa lalu tersebut dikemas dalam

bentuk tata aturan yang tersimpul dalam berbagai bentuk simbol, serta

tanda-tanda untuk mengatur jalannya roda kepemimpinan

pemerintahan masyarakat adat.

Pada masa lalu, simbol masyarakat adat menjadi benteng

kekuatan untuk mengamankan keberadaan dan keberlangsungan

kehidupan komunitas masyarakat adat dari berbagai ancaman. Dalam

konteks tersebut, simbol adat memiliki fungsi ganda secara internal

untuk menyatukan masyarakat lokal, dan secara eksternal menjaga

komunitas masyarakat adat dari ancaman luar. Dalam menggunakan

simbol adat sebagai alat perlawanan terhadap implementasi kebijakan,

ada pemahaman sebagian masyarakat adat bahwa kebijakan

pemerintah dilihat sebagai bentuk ancaman terhadap keberadaan

masyarakat lokal, dengan demikian solusi yang ditempuh oleh

masyarakat adat adalah dengan melakukan demonstrasi massa untuk

menghentikan implementasi kebijakan yang dianggap tidak berpihak

kepada masyarakat adat. Jalan satu-satunya untuk mengehentikan

permasalahan tersebut butuh dialog antara pemerintah dengan pihak

masyarakat adat.

Berangkat dari paparan latar belakang masalah yang diuraikan

penulis, maka judul yang dianggap sangat tepat untuk kajian tesis ini

adalah: “Resisitensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat Terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana. Judul ini hendak

menerangkan empat hal yaitu: pertama, simbol adat tidak hanya

Page 13: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

13

dipandang sebagai aksesoris atau at-ribut masyarakat lokal, simbol adat

merupakan kumpulan spiritualitas masyarakat adat yang tersimpul dan

berbentuk simbol kekuatan dan yang menyatu dalam kehidupan

mereka beratus-ratus tahun yang lalu; kedua, gerakan perlawanan

tidak bisa dikonotasikan sebatas gerakan anti pemerintah dengan

tujuan yang bersifat negatif. Artinya, gerakan perlawanan yang terjadi

memiliki kaitan dengan implementasi kebijakan yang bermasalah.

Karena itu, penggunaan simbol adat menandakan bahwa aspirasi yang

disampaikan adalah benar-benar murni berasal dari pemilik simbol;

ketiga, bahwa alur sebuah kebijakan yang dibuat tidak bisa dimulai dari

pembuat kebijakan, sebab dalam dunia demokrasi kebijakan selalu

berawal dari mandat rakyat yang diserahkan dari rakyat, oleh rakyat,

dan untuk rakyat. Karena itu substansi kebijakan haruslah menjawab

sejumlah masalah dari pemberi/pemegang mandat yang disebut rakyat.

Dari uraian latar belakang masalah yang disampaikan oleh

penulis, maka munculnya gerakan perlawanan simbol adat terhadap

kebijakan pemerintah disebabkan pada indikator utama yaitu

“terbentuknya wilayah delapan suku menjadi kabupaten”. Indikator

utama ini sangat berasalan dan bisa diukur berdasarkan fakta sejarah

masa dulu dan masa sekarang. Catatan singkatnya adalah bahwa pada

masa lampau sebelum wilayah delapan suku menjadi sebuah kabupaten

terlepas dari kabupaten induk (Kabupaten Fakfak), riak-riak

demonstrasi massa tidak pernah ada. Baru setelah wilayah adat delapan

suku resmi menjadi kabupaten muncullah gerakan demonstrasi massa.

Demonstrasi massa bisa saja terjadi karena ada sejumlah kepentingan

dalam politik, bisa juga didasarkan pada sejumlah kebijakan yang

terimplementasi tetapi tidak menjawab substansi masalah yang

berhubungan dengan kepentingan masyarakat, bisa juga disebabkan

karena penghuni wilayah otoritas adat yang merasa semakin tergeser

dari wilayah adat mereka.

Indikator yang disampaikan oleh penulis tidak hanya didasarkan

pada data yang diperoleh penulis saat melakukan penelitian. Sebagai

seorang Pendeta yang bertugas pada lembaga GPI Papua (Gereja

Protestan Indonesia di Papua) di wilayah pemerintahan Kabupaten

Page 14: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

14

Kaiamana kurun waktu dua puluh tahun (1995 – 2015). Berdasarkan

fakta selama dua puluh tahun hidup bersama masyarakat adat, penulis

membandingkan antara kehidupan masyarakat adat masa lalu sebelum

Kaimana menjadi kabupaten dengan kondisi setelah menjadi

kabupaten, situasi sosial sangatlah jauh berbeda.

Perbedaan konteks yang dimaksud oleh penulis adalah, bahwa

sebelum wilayah ini menjadi kabupaten, masyarakat lokal delapan suku

sangat harmonis, antara sesama suku maupun dengan pemerintah. Baru

sekitar tahun 2003 disaat wilayah adat delapan suku memasuki tahapan

pemekaran kabupaten (karakteker) dan memasuki tahapan PILKADA

(Pemilihan Kepala Daerah) tahun 2005, masyarakat digiring masuk

dalam ruang-ruang kepentingan para elit politik daerah. Kondisi ini

pada akhirnya melahirkan gesekan-gesekan kepentingan yang

berdampak pada kebijakan pembangunan.

Dampak tersebut mulai terasa pada kebijakan pembangunan

seperti kepincangan pembangunan infrastruktur, suasana keamanan

tidak kondisif yang berdampak pada keinginan para investor untuk

menanam modal di daerah, hal ini turut memengaruhi sektor ekonomi

serta pelayanan birokrasi pemerintahan. Keadaan ini pada akhirnya

akan mengurucut membentuk muara masalah sosial yang membelit

kehidupan masyarakat.

Uraian latar belakang yang disampaikan penulis, menurut hemat

penulis, belum ada penulisan terdahulu yang mengangkat dan menulis

tentang pokok utama dari tesis ini. Kalaupun terdapat penulisan

terdahulu terkait dengan bentuk-bentuk perlawanan masyarakat adat

terhadap pemerintah, atau pihak-pihak lain yang bersentuhan dengan

pembangunan dalam wilayah masyarakat adat, namun substansi kajian

yang dibuat masih sangat berbeda jauh dengan tulisan ini.

Dari tulisan-tulisan terdahulu yang dibaca oleh penulis, kajian

yang di kedepankan, berkaitan dengan penggunaan simbol adat sebagai

tanda sasi atau tanda larangan. Kajian terdahulu tersebut tidak

melibatkan unsur-unsur modern seperti demonstrasi massa, sementara

untuk kajian tesis ini, penggunaan simbol adat di Kabupaten Kaimana,

telah mengikutsertakan unsur modern seperti mobilisasi massa,

Page 15: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

15

penggunaan MEDSOS sebagai ANT (Aktor Network), penggunaan

peralatan soundsystem, ijin pihak keamanan, orasi mimbar bebas yang

disampaikan kepada pihak pemerintah. Ada hal yang menarik dari

kajian ini bahwa keberanian masyarakat adat tidak hanya

menggunakan simbol adat tetapi mereka mampu memasuki ruang

privat pemerintah dan melakukan pemalangan.

Tulisan-tulisan terdahulu tersebut penulis membaginya dalam

tiga bagian; pertama, jurnal yang ditulis mewakili beberapa wilayah di

Provinsi Papua anatara lain: “Masalah Sosial dan Konflik Masyarakat

Adat Papua dengan P.T. Freeport Indonesia”, “Pengrajin Noken Pada

Suku Bangsa Amungme di Desa Limau Asri Kabupaten Mimika”,

“Peran Kepala Suku Dalam Sistem Noken Pada Pemilukada di

Kabupaten Dogiay”; kedua, jurnal yang mewakili konteks umum

wilayah di Tanah Papua “Solusi Damai di Tanah Papua (Mengubur

Tragedi HAM dan Mencari Jalan Kedamaian)”; ketiga, Jurnal yang

mewakili wilayah Provinsi Papua Barat antara lain: “Prilaku Politik

Kepala Distrik Dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat

Distrik Kaimana Kota-Kabupaten Kaimana” dan “Peran Kepala Suku

Mairasi Dalam Mengatasi Konflik Pertanahan di Distrik Kaimana Kota-

Kabupaten Kaimana”. Untuk kejelasan setiap jurnal maka bagian ini

penulis menguraikan isi dan tujuan setiap jurnal secara singkat sebagai

berikut:

1. Tulisan tentang “Masalah Sosial dan Konflik Masyarakat Adat Papua dengan P.T. F.I. (P.T. Freeport Indonesia) (Tinjauan Antropologi) oleh: Nita Safitri. Departemen Antropologi FISIP

Universitas Sumatera Utara. Dalam penjelasannya mengatakan bahwa:

Kasus Suku Amungme2 dan Suku Kamoro3 terhadap kehadiran P.T. F.I

mengakibatkan masyarakat kehilangan tanah dan hutan mereka

sebagai sumber kehidupan akibat pengelolaan tambang. Akibatnya

pada tahun 1969 muncul perlawanan suku Amungme dan suku

Kamoro. Bentuk perlawanan ini didasarkan pada: 2 Salah satu suku yang mendiami wilayah pegunungan, tepat berada di Kabupaten Mimika 3 Salah satu suku yang berada di wilayah selatan Papua dalam wilayah Kabupaten Mimika.

Page 16: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

16

a. perusakan lingkungan hidup, yang pada akhirnya

memengaruhi pola mata pencaharian, pekerjaan dan

hubungan sosial;

b. peningkatan ketegangan sosial akibat perubahan-perubahan

yang terlalu cepat;

c. timbulnya konflik antar kelompok, antar generasi, antar

rakyat dengan pemerintah sehingga terjadi disharmoni dalam

masyarakat;

d. timbul kesenjangan sosial terutama antar penduduk asli

dengan pendatang;

e. adanya keinginan-keinginan ekonomi karena ganti rugi yang

tidak memadai;

f. munculnya ketidakpastian hidup, terutama bagi yang

tergusur;

g. gangguan psikologis dan stres, akibat tekanan masalah sosial.

(Sariyun 1996, Suparian, 1998, Adi, 2002);

Dari ketujuh poin ini muncul sikap masyarakat suku Amungme yang ditandai dengan pemancangan tombak dan anak panah di lokasi

pertambangan di gunung Gesberg4 dan kompleks perumahan di

Tambagapura sebagai simbol penolakan mereka terhadap kehadiran

P.T. FI5 (Freeport Indonesia)

2. Tulisan tentang simbol noken dengan judul: “Pengrajin Noken6 Pada Suku Bangsa Amungme di Desa Limau Asri – Kecamatan Iwaka Kabupaten Mimika – Provinsi Papua” oleh: Dedi Dekme. Kesimpulan

4 Nama gunung tempat beroperasi perusahan tambang P.T. Freeport Indonesia 5 Lihat Jurnal Ilmu Sosial – Fakultas ISIPOL UMA. Tentang : Masalah Sosial dan Konflik Masyarakat Adat Papua dengan P.T. FI (P.T. Freeport Indonesia) (Tinjauan Antropologi) oleh: Nita Safitri. Departemen Antropologi FISIP Universitas Sumatera Utara. Prespektif/Volume 4/Nomor 1/April 2011. 6 Tas asli orang Papua yang dibuat dari kulit kayu genemo (melinjo) dan dari bahan-bahan/kulit kayu lain yang berasal dari hutan.

Page 17: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

17

dari tulisan ini adalah: menceritakan tentang noken sebagi simbol

masyarakat adat yang digunakan sebagai tanda ucapan selamat datang

dan selamat jalan terhadap kerabat atau orang lain, selain itu “noken” sebagai simbol kesuburan bagi seorang gadis/perempuan suku bangsa

Amungme7.

3. Tulisan tentang “Solusi Damai di Tanah Papua (Mengubur Tragedi HAM dan Mencari Jalan Kedamaian) Oleh: Natalius Pigai.

Fokus dari jurnal ini adalah berkaitan dengan pelanggaran HAM (Hak

Azasi Manusia) di Tanah Papua yang diuraikan menjadi tiga bagian

penting antara lain: Pertama, pelanggaran HAM bidang sipil dan

politik di Papua dan Papua Barat; kedua, pelanggaran HAM yang

menjadi perhatian internasional saat ini; ketiga, pelanggaran HAM

bidang hak ekonomi, sosial dan budaya di Papua. Kesimpulan terakhir

dari tulisan ini memberi penegasan tentang menyelesaikan berbagai

pelanggaran HAM sebagaimana yang ditawarkan oleh KOMNAS HAM

(Komisi Nasional Hak Azasi Manusia) dan LIPI (Lembaga Ilmu

Penelitian Indonesia).8

4. Tulisan tentang: “Peran Kepala Suku Dalam Sistem Noken Pada Pemilukada di Distrik Kamu Kabupaten Dogiyai Provinsi Papua Tahun 2013”. Fokus dari jurnal ini menguraikan tentang sistem penggunaan

noken sebagai pengganti kotak suara dengan dua sistem; pertama:

sistem big man yaitu suara diserahkan atau diwakilkan kepada kepala

suku yang mereka percaya, dan kedua: sistem noken gantung sehingga

dapat dilihat oleh masyarakat saat memasukan kartu suara berdasarkan

kesepakatan.

Kesimpulan tulisan ini khususnya untuk kedua sistem yang

berhubungan dengan kepala suku adalah: pertama, masyarakat adat

telah menganggap seorang kepala suku sebagai pemimpin yang

memiliki kemampuan menyelesaikan masalah-masalah, kedua: kepala

7 Lihat “Pengrajin Noken Pada Suku Bangsa Amungme di Desa Limau Asri – Kecamatan Iwaka Kabupaten Mimika – Provinsi Papua” oleh: Dedi Dekme. Dalam Jurnal Holistik, tahun VIII No.16/Juli-Desember 2015.hlm.2. 8 Lihat Jurnal administrasi Publik Volume 11 Nomor 2, Oktober 2014. Oleh Natalius Pigai.

Page 18: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

18

suku telah diberi kewenangan untuk mengatur sistem adat dan

masalah-masalah yang berhubungan dengan sistem adat yang berlaku.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan Pilkada di

Kabupaten Dogiyai, oleh seorang kepala suku dianggap memiliki

tanggungjawab sebagai berikut, 1) mengumpulkan masyarakat dan

memberi arahan untuk mendengar visi misi para kandidat, 2) seorang

kepala suku bertanggung jawab menampung aspirasi masyarakat, dan

3) seorang kepala suku bertaggung jawab membawa dan mengawal

hasil Pilkada, serta menyerahkan hasilnya kepada KPU (Komisi

Pemilihan Umum) Kabupaten Dogiyai.9

5. Tulisan tentang: “Perilaku Politik Kepala Distrik Dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat di Distrik Kaimana Kota - Kabupaten Kaimana”. Fokus tulisan ini mengarah pada dua hal antara

lain: pertama, perilaku politik kepala distrik yang berkaitan dengan

partisipasi politik masyarakat di Distrik Kaimana Kota, kedua: faktor-

faktor yang mendasari perilaku politik kepala distrik terkait dengan

peningkatan partisipasi masyarakat.

Dari fokus penelitian tersebut disimpulkan bahwa: 1) perilaku

pemerintah Distrik Kaimana Kota masih dipengaruhi oleh karakter

bawaan (watak individu), sehingga memengaruhi prinsip-prinsip

utama pemerintahan yaitu pelayanan kepada masyarakat; 2) partisipasi

politik masyarakat belum maksimal, yang dimulai dari proses hingga

keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemilihan (Pileg, Pilkada dan

Pemilihan Kepala Kampung); dan 3) ketidakmampuan kepala Distrik

Kaimana Kota untuk memaksimalkan peningkatan partisipasi politik

masyarakat Kaimana dengan indikator adanya intervensi oleh oknum

pejabat yang berkuasa10.

6. Tulisan tentang “Peran Kepala Suku Mairasi Dalam Mengatasi Konflik Pertanahan di Distrik Kaimana Kota - Kabupaten Kaimana Provinsi Papua Barat”. Yang menjadi titik sentuh pada penulisan ini

9 Lihat Yerianto Tarima dkk. Peran kepala suku dalam sistem noken pada pemilukada di Distrik Kamu kabupaten Dogiyai Provinsi Papua tahun 2013.hal.4, 10 Lihat Efan L.P.Sirfefa. Perilaku Politik Kepala Distrik Dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat di Distrik Kaimana Kota - Kabupaten Kaimana

Page 19: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

19

antara lain: pertama, tindakan mengenai urusan tanah yang

berhubungan erat antara tanah dan persekutuan (golongan manusia),

yamg menguasai tanah itu; kedua, penyelenggaraan hukum sebagai

upaya untuk mencegah adanya pelanggaran hukum (preventieve rechtzorg), supaya hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya, ketiga, penyelenggaraan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum

itu dilanggar (represieve rechtzorg).

Peran serta kepala suku Mairasi dalam mengatasi konflik

pertanahan di Kaimana dihadapkan pada tiga permasalahan besar

antara lain: 1) pihak yang dianggap sebagai saksi, keberatan menjadi

saksi, hal ini dikarenakan ada rasa ketakutan terhadap kesaksiannya

yang bisa menyebabkan konflik baru; 2) ketidakjelasan batas tanah

dengan berpatokan pada tanda-tanda alam (pohon, kali, dll) yang

menjadi batas tanah. Ketika terjadi perubahan karena pembangunan

dan hilangnya tanda-tanda alam tersebut, mengakibatkan munculnya

konflik batas tanah antara pihak-pihak yang menggunakan tanda-tanda

alam sebagai batas tanah; 3) ketidakjelasan pemilik tanah, kepemilikan

bukti hak atas tanah (surat pelepasan pemilik tanah dan sertifikat)

lebih dari satu orang. Hal ini pun turut memperkeruh bahkan

mengakibatkan konflik antara para pemilik pertama (penggarap) dan

para pembeli, kondisi ini diperburuk juga dengan meningkatnya nilai

jual tanah yang mengakibatkan terjadinya praktek jual atas jual

(overlep) tanah dalam komunitas suku Mairasi11 di dalam keluarga

tertentu. Kondisi inilah yang mengakibatkan kesulitan kepala suku

Mairasi menyelesaikan konflik pertanahan di Kabupaten Kaimana.

Dari keenam tulisan terdahulu, penulis melihat masing-masing

tulisan memberi penekanan yang berbeda-beda berdasarkan konteks

dan substansi masalah yang dihadapi. Berdasarkan uraian keenam

jurnal tersebut penulis mengelompokannya sebagai berikut:

a. bahwa konflik yang terjadi di Papua dan Papua Barat selalu

berhubungan dengan tuntutan OAP (Orang Asli Papua) yang

11 Salah satu nama suku di Kabupaten Kaimana

Page 20: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

20

berhubungan dengan tanah adat, hutan garapan, kekayaan

tambang (migas), dan permasalahan HAM;

b. bahwa konflik yang terjadi dengan pihak pemerintah atau

dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan di Tanah

Papua, selalu dijadikan konflik terbuka dan pada akhirnya

melibatkan pihak keamanan untuk meredahkan konflik;

c. penggunaan simbol adat OAP sangat beragam manfaat serta

tujuannya. Merujuk pada poin a, penggunaan simbol adat

seperti tombak, busur panah dll, penggunaannya didasarkan

pada kondisi di mana hak-hak mereka dirampas. Selain simbol

tombak, busur panah, ada pula yang memiliki sisi

kelembutan/cinta kasih seperti simbol noken yang digunakan

untuk peristiwa menyambut tamu, dan simbol demokrasi;

d. peran kepala suku dalam kehidupan OAP masih sangat

memainkan peran penting. Bahkan kepala suku dipandang

sebagai simbol kekuatan, keperkasaan dan simbol komando

yang harus dipatuhi;

e. kehadiran pemerintah di Tanah Papua masih dianggap oleh

OAP sebagai institusi yang belum mampu menghadirkan

pelayanan prima tehadap masyarakat. Oleh karenanya

kehadiran pemerintah di daerah masih dianggap sebagai abdi

pemerintah, bukan kepada masyarakat.

Dari simpulan tersebut, penulis menarik benang merah, bahwa

setiap simbol adat masyarakat lokal memiliki fungsi masing-masing.

Dari masing-masing fungsi tersebut, masyarakat lokal sangat

memahami dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan mereka.

Masalah Penelitian

Pemekaran wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota

yang terjadi secara nasional, memiliki tujuan dan fungsi untuk

Page 21: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

21

menjawab sejumlah permasalahan sosial yang dihadapi oleh

masyarakat.

Sejalan dengan tujuan tersebut, maka untuk mengatasi

permasalahan yang dihadapi OAP di Kabupaten Kaimana, berbagai

kebijakan dibuat oleh pemerintah. Namun dalam kenyataan muncul

demonstrasi massa menggunakan simbol-simbol adat menentang

kebijakan pemerintah. Konteks ini pada akhirnya melahirkan konflik

antara pemerintah dengan masyarakat adat.

Dari gesekan konflik yang terjadi antara pemerintah dengan

masyarakat adat, jika kondisi ini dinarasikan dalam bentuk rumusan

masalah maka uraian rumusan masalah tersebut seperti begini:

“implementasi kebijakan yang tidak sesuai dengan prosedur kebijakan

mengakibatkan konflik antara masyakat adat dan pemerintah sebagai

pembuat kebijakan”.

Dari rumusan masalah tersebut penulis menggunakan dua

pertanyaan penelitian antara lain:

1. Bagaimana pemerintah mengimplementasi kebijakan

pembangunan terhadap permasalahan sosial yang dihadapi

oleh masyarakat di Kabupaten Kaimana ?

2. Mengapa masyarakat melakukan perlawanan dengan

menggunakan simbol adat terhadap kebijakan pemerintah

daerah Kabupaten Kaimana?

Tujuan Penelitian

Dari kedua rumusan pertanyaan tersebut, maka tujuan penelitian

ini adalah:

1. Hendak menjelaskan sikap Pemerintah Daerah Kabupaten

Kaimana dalam mengimplementasi kebijakan;

2. Hendak menjelaskan sikap dan bentuk perlawanan

masyarakat lokal menggunakan simbol adat terhadap

implementasi kebijakan.

Page 22: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/1/T2_092016007_BAB I.pdf · tinggi UUD 1945 serta nilai-nilai luhur Pancasila. Karena itu, kemerdekaan berpendapat,

22

Manfaat Hasil Penelitian

Harapan penulis dari hasil studi tesis dengan judul “Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat Terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana”, pada aras teoretik maupun praktik,

menjadi masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana,

LDA (Lembaga Dewan Adat), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),

dan Lembaga Keagamaan yang berada di Kabupaten Kaimana–Provinsi

Papua Barat, dalam menjalankan tugas pelayanan kemasyarakatan.