Upload
dangkhanh
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru menandai perubahan peta politik
di Indonesia dari otoritarianisme menuju demokrasi. Perubahan tersebut turut
memberi dampak pada konstelasi sistem politik nasional hingga aras lokal. Era
reformasi memberikan peluang bagi berlangsungnya demokratisasi yang penuh
dengan harapan. Demokratisasi yang salah satunya terejawantahkan dalam
penerapan asas desentralisasi melalui penyelenggaraan pemerintahan daerah
membawa dampak yang mengguncang keberadaan dan peran elit politik lokal
yang telah mapan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa.1
Keruntuhan Rezim Orde Baru membawa implikasi terhadap situasi politik
lokal. Transisi otoritarian menuju demokrasi, di satu sisi membawa harapan akan
demokratisasi. Namun, di lain sisi banyak celah kontradiktif yang muncul dalam
pelaksanaan proses politik oleh para elit politik itu sendiri. Di era demokratisasi
dan desentralisasi untuk memperebutkan dan mempertahankan posisi sebagai elit
politik lokal harus dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat di antara
individu-individu yang mengincar posisi tersebut. Hal ini tidak terjadi pada saat
rezim Orde Baru berkuasa, di mana peran negara sedemikian dominan,
kemunculan dan peran elit poltik lokal tidak bebas dari campur tangan
pemerintah. 1 Haryanto, “Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik,” Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 13, November 2, 2009, 131–48.
2
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, menarik untuk
mencermati keberadaan dan peran elit politik lokal. Tumbangnya rezim Orde Baru
menghadirkan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk mengekspresikan
keberadaan dan perannya yang sebelumnya terkungkung dominasi pemerintah.
Melemahnya peran negara yang diikuti dengan berkembangnya situasi kondusif
bagi demokratisasi, menjadikan elit politik lokal berupaya secara mandiri untuk
tetap dapat ‘survive’. Elit politik lokal harus mampu membangun pijakan baru
sebagai basis kekuasaannya untuk menopang posisinya, hal ini karena mereka
tidak mungkin lagi menyandarkan diri pada negara yang semakin lemah
kontrolnya.2
Situasi ini secara tidak langsung merupakan implikasi dari formasi politik
pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang sedang
berlangsung. Politik pasca orba meletakkan demokrasi liberal sebagai basis
ideologinya. Hal ini menurut Hadiz (2004) merupakan kombinasi yang muncul
dari pemerintahan di tingkat lokal dengan demokrasi liberal akan lebih diterima
dan fleksibel dalam memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar atau
neoliberalisme yang sangat determinan dalam proses politik, baik secara nasional
maupun di aras lokal. Demokrasi liberal menampilkan proses politik yang
dikuasai oleh elit semata yang tentu memiliki sumber daya politik untuk
membangun kekuasaan.
Demokrasi liberal membawa dirinya ke dalam nuansa paradoks.
Demokrasi seolah-olah dimiliki dan diperuntukkan bagi seluruh warga, namun
2 Ibid.
3
pada kenyataannya ia dikuasai oleh elit. Demokrasi yang berlangsung juga tidak
sepenuhnya bebas dari nalar otoritarian, ia mewujud pula sebagai sebuah oligarki
(politik). Oligarki tersebut kemudian menjadi bagian dari fenomena politik di aras
lokal. Oligarki politik kerap disamakan dalam rumpun istilah politik seperti
politik dinasti, politik kekerabatan maupun politik patrimonial. Kendatipun
masing-masing istilah tentu memiliki konteks teori yang berbeda-beda.3 Istilah-
istilah politik tersebut selain terus diperdebatkan secara ontologis, juga membawa
nuansa problematis yang tak kunjung habis. Selain terkesan menyederhanakan
situasi politik, istilah tersebut kiranya belum mampu melihat fenomena politik
(lokal) dengan utuh. Namun, pada intinya kemunculan situasi-situasi tersebut
merupakan implikasi dari berlangsungnya demokrasi liberal.
Politik dinasti atau politik kekerabatan merupakan istilah yang lebih
familiar untuk mendefinisikan praktik politik yang berbasiskan pertalian darah
atau perkawinan, meskipun sebagian pengamat politik ada pula yang
menyebutnya sebagai oligarkhi politik.4 Peneliti akan menggunakan istilah
“Politik Kekerabatan” sebagai sebuah konsep politik dalam penelitian ini
sekaligus sebagai masalah utama yang akan diteliti.
Politik kekerabatan adalah produk yang paling kentara sebagai relasi banal
elit politik dengan kekuasaan daerah. Politik kekerabatan hadir bagaikan mengisi
cawan demokrasi muda Indonesia yang tengah berturbulensi dengan
demokratisasi yang terus melawan kultur otoritariansme cum feodalisme.
3 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan Dan Institusionalisasi Partai Politik Di Indonesia,” Analisis CSIS 40 (2011): 138–159. 4 Alim Bathoro, “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi,” Jurnal FISIP UMRAH, no. 2, Volume 2 (n.d.): 115–125.
4
Membahas tentang politik kekerabatan tentu tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan elit lokal sebagai bagian dari strukturnya. Sejatinya, studi yang
berkaitan dengan elit lokal telah dilakukan oleh beberapa kalangan, antara lain
dilakukan oleh Abdur Rozaki (2004) dan Abdul Hamid (2006). Studi tersebut
memfokuskan pada peran yang dilakukan oleh elit lokal di tengah masyarakat,
dan hubungan ‘patronage’ yang tercipta dalam kaitannya antara elit dengan
massa. Studi tersebut juga menunjukkan hadirnya kekuasaan oligarkis yang
terbangun pada diri elit lokal yang sedemikian kokoh sehingga sulit untuk
dikontrol oleh massa.5
Penelitian-penelitain sebelumnya mengenai fenomena politik kekerabatan
melihat ketidaksiapan local leader di era reformasi sebagai alasan utama
kemunculannya. Militerisme warisan orba yang bertransfromasi ke dalam local
strongmen, bandit, local bosses, preman, hingga kelompok-kelompok berbasis
kekerasan, menandai dinamika politik yang rentan terhadap demokrasi substansial
sehingga memungkinan timbulnya krisis representasi. Analisis lain mengenai
fenomena politik kekerabatan cenderung mengarah kepada analisis institusionalis.
Yakni melihat bahwa politik kekerabatan merupakan bentuk kegagalan dari
institusi politik dalam membentuk demokrasi yang sehat. Partai politik sering
menjadi kambing hitam dalam analisis ini, kegagalan proses kaderisasi dan
pembentukan partai yang bersih membuat elite politik eksis dalam tempo lama
dalam memegang kemudi politik.
5 Haryanto, “Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik,” Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 13, November 2, 2009, 131–148.
5
Berdasarkan penelusuran Kompas6, setidaknya ada 37 kepala daerah
terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat negara lain. Mereka
tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, dan Maluku.
Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna
Sophanah meneruskan jabatan dari suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian
pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati,
Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno,
yang melanjutkan posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun
Ibnu Fuad menggantikan ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.
Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga
dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung
Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati Lampung Selatan Rycko
Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ
Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan
adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.
Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota Tangerang
Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Data tersebut belum
memasukkan kekerabatan yang duduk di lembaga legislatif.
6 Kompas Cyber Media, “Politik Dinasti, Cacat Demokrasi,” KOMPAS.com, accessed August 23, 2016, http://nasional.kompas.com/read/2013/10/19/0818271/Politik.Dinasti.Cacat.Demokrasi.
6
Kabupaten Bantul merupakan wilayah yang turut menjadi bagian dalam
praktik politik kekerabatan. Bagaimana tidak, selama ini Bantul selalu identik
dengan nama besar Samawi. Popularitas akan nama besarnya kerap kali disebut
sebagai rezim karena lamanya mereka berkuasa (15 tahun). Dominasi yang
dilakukan oleh rezim Samawi ini sukses membawa politik lokal di Bantul erat
dengan nama mereka dan menjadikannya sebagai figur representasi politik. Bantul
dibawah rezim Samawi menarik untuk dilihat dalam perspektif kritis. Dua periode
Idham Samawi memimpin Bantul dari tahun 2000-2010, diteruskan secara estafet
kepada sang istri, Sri Surya Widati Samawi pada periode 2010-2015.
Kemenangan-kemenangan yang dituai oleh rezim tersebut selalu telak.
Pada tahun 2000, Idham Samawi menjadi Bupati karena dipilih oleh DPRD
Kabupaten Bantul yang dikuasai oleh PDIP.7 Periode pemilihan berikutnya pada
tahun 2005, Idham Samawi kembali terpilih menjadi Bupati dalam pilkada
langsung dengan memperoleh suara sebesar 72%.8 Pilkada yang ketiga tahun
2010, giliran sang istri, Sri Surya Widati yang memenangkan pilkada Bantul
dengan perolehan suara mencapai 68%.9 Statistik-statistik tersebut kiranya
menunjukkan betapa kuatnya rezim Samawi menguasai demokrasi di Bantul.
Pilkada 2015 muncul sebagai kejutan besar sebab menjadi panggung
terakhir rezim Samawi dalam blantika politik lokal Kabupaten Bantul. Hasil
survei sebelum Pilkada menunjukkan bahwa Ida Samawi selalu unggul
7 “PDIP‐Golkar Menang Di Bantul, PAN Menang Di Gunungkidul,” Detiknews, accessed January 14, 2016, http://news.detik.com/berita/391012/pdip‐golkar‐menang‐di‐bantul‐pan‐menang‐di‐gunungkidul‐. 8 Ibid. 9 “Istri Gantikan Suami Jadi Bupati Bantul,” accessed January 14, 2016, http://politik.news.viva.co.id/news/read/153962‐calon_golkar_pan_menangi_pilkada_bantul.
7
elektabilitasnya pada level internal partai ataupun nama-nama yang coba
ditarungkan dengannya.10 Tak disangka-sangka justru pasangan Suharsono-Halim
menang dengan perolehan suara 52,80% yang kemudian disusul pasangan Ida-
Munir dengan suara 47,20%.11 Tentu hal ini di luar prediksi para pengamat dan
memporak-porandakan anggapan publik bahwa Ida Samawi akan kembali menang
mudah dan telak. Fenomena kejatuhan politik kekerabatan ini menarik untuk
dikaji sebagai bagian dari kontestasi politik (pasca orba) di Bantul. Politik
kekerabatan ternyata tidak serta merta akan terus bercokol dan langgeng di pucuk
kekuasaa daerah. Fenomena ini tentu menjadi sebuah tanda yang menunjukkan
bahwa demokrasi di Bantul mengarah pada demokratisasi yang lebih variatif dan
tidak menjemukan.
Penelitian ini bermaksud mengidentifikasi kontestasi politik pasca orba di
Kabupaten Bantul dengan melihat konteks sosio-historis dan momentum-
momentum politik apa yang terjadi selama rezim Samawi berkuasa. Selain itu
fenomena “Politik Kekerabatan” menarik untuk dikaji sebagai realitas politik di
dalam kontestasi tersebut yang muncul sebagai diskursus dominan. Kekalahan
rezim Samawi pada Pilkada 2015 tak kalah menarik untuk dibahas sebagai bagian
akhir dari berlangsungnya politik kekerabatan di Bantul. Penelitian ini diharapkan
dapat menangkap fenomena politik lokal di Bantul secara utuh dan komprehensif.
10 Nina Atmasari‐Harian Jogja Digital Media, “PILKADA BANTUL : Hasil Survei, Ida Tak Tertandingi Di Internal PDIP,” Harianjogja.com, accessed January 25, 2016, http://www.harianjogja.com/baca/2015/03/31/pilkada‐bantul‐hasil‐survei‐ida‐tak‐tertandingi‐di‐internal‐pdip‐590017. 11 Nina Atmasari‐Harian Jogja Digital Media, “HASIL PILKADA BANTUL : Ini Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Resmi KPU,” Harianjogja.com, accessed January 25, 2016, http://www.harianjogja.com/baca/2015/12/17/hasil‐pilkada‐bantul‐ini‐hasil‐rekapitulasi‐penghitungan‐suara‐resmi‐kpu‐671828.
8
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari pemaparan latar belakang penelitian di atas, maka terdapat
3 rumusan masalah berikut ini, yaitu:
1. Bagaimana konteks sosio-historis politik lokal di Bantul Pasca Orde
Baru?
2. Bagaimana kelangsungan politik kekerabatan rezim Samawi di Bantul
hingga membentuk hegemoni?
3. Bagaimana kejatuhan politik kekerabatan rezim Samawi dan formasi
sosial politik lokal pasca kejatuhan tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan utama dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi sejarah dan geneaologi politik lokal di Kabupaten
Bantul dengan melihat perjalanan era demi era politik sebagai social
setting.
2. Memahami kelangsungan Politik Kekerabatan hingga menjadi sebuah
rezim dan membentuk diskursus yang hegemonik.
3. Mengetahui situasi dan perubahan politik lokal di Kabupaten Bantul
pasca kekalahan rezim Samawi dalam pilkada terakhir.
9
D. Kerangka Konseptual
1. Politik Kekerabatan
Di Indonesia, politik kekerabatan identik dengan pemusatan
kekuasaan di keluarga atau kerabat politik tertentu.12 Ia kerap disamakan
dalam rumpun istilah politik seperti politik dinasti, oligarki politik, politik
patrimonial, hingga klientisme (meskipun masing-masing tentu memiliki
konteks yang berbeda). Politik kekerabatan paling sering disamakan
dengan istilah politik dinasti. Merujuk pada kesamaan aktor ataupun
agensi politik yang melangsungkan praktik politik, yakni berbasiskan pada
pertalian darah, perkawinan, hingga anggota keluarga.13
Popularitas sang tokoh telah membawa sanak familinya menjadi
orang yang dikenal ditengah masyarakat. Sepak terjangnya diikuti
masyarakat, sehingga manakala sang tokoh tidak bisa lagi menjadi pejabat
karena usia, masa jabatan, ataupun tutup usia. Maka sosok di lingkaran
tokoh tersebut dianggap mumpuni menggantikannya dan menjadi
kelompok elit politik. Kelompok elit adalah kelompok yang memiliki
kemampuan untuk yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan
politik. Sehingga, mereka kadang relatif mudah menjangkau kekuasaan
atau bertarung merperebutkan kekuasaan. Sebelum munculnya gejala
politik kekerabatan, kelompok elit tersebut diasosiasikan elit partai politik,
12 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan Dan Institusionalisasi Partai Politik Di Indonesia.” 13 Alim Bathoro, “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi.”
10
elit militer dan polisi, elit pengusaha atau pemodal, elit agama, elit preman
atau mafia, elit artis, serta elit aktifis.14
Politik kekerabatan dalam jabatan kepala dan wakil kepala daerah
sesungguhnya terjadi secara luas. Puluhan kepala daerah terpilih ataupun
gagal dalam pilkada terindikasi punya hubungan kekerabatan dengan
pejabat lain. Berdasarkan penelusuran Kompas15, setidaknya ada 37 kepala
daerah terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat
negara lain. Mereka tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Maluku.
Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati
Indramayu Anna Sophanah meneruskan jabatan dari suaminya, Irianto MS
Syafiuddin. Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti,
Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari,
dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan posisi suami
masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan
ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.
Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda
sehingga dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur
Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati Lampung
Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan
14 Ibid. 15 Media, “Politik Dinasti, Cacat Demokrasi.”
11
anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel
Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.
Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota
Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Data
tersebut belum memasukkan kekerabatan yang duduk di lembaga
legislatif.
Politik kekerabatan dalam perspektif legal formal merupakan
akibat dari proses politik perundang-undangan yang dangkal serta tidak
mempunyai paradigma yang jelas. Absennya niat baik para penyusun
undang-undang menjadi kausa suburnya politik kekerabatan dewasa ini.
Keputusan Mahkamah Konstitusi menemukan validitasnya karena daya
pukul Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ternyata sangat mudah
dilumpuhkan oleh para petahana dengan mengundurkan diri agar sanak
saudaranya atau kroninya dapat menjadi kandidat kepala/wakil kepala
daerah. Perspektif tersebut sejalan dengan berbagai kajian politik dinasti
antara lain di negara yang dianggap kampiun demokrasi, Amerika Serikat.
Politik dinasti bukan sebab, melainkan akibat melekat dari hakikat
kekuasaan itu sendiri.16
Studi politik yang dilakukan oleh Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo,
dan Jason Snyder (2007) mengenai kekerabatan politik di Kongres 16 Kompas Cyber Media, “Politik Dinasti, Sebab Atau Akibat?,” KOMPAS.com, accessed August 23, 2016, http://nasional.kompas.com/read/2015/07/21/17055371/Politik.Dinasti.Sebab.atau.Akibat.
12
Amerika Serikat sejak berdirinya tahun 1789 memberikan beberapa
catatan. Pertama, terjadi korelasi antara politik kekerabatan dan kompetisi
politik. Merebaknya politik kekerabatan berbanding lurus dengan
kompetisi politik yang tidak sehat. Semakin tidak adil aturan main dalam
kontestasi politik, semakin menyuburkan politik kekerabatan. Kedua,
semakin lama seseorang menjadi anggota kongres, semakin cenderung
mendorong keluarganya menjadi anggota lembaga tersebut. Kekuasaan
yang cenderung memproduksi kekuasaan dalam dirinya dalam ungkapan
mereka disebut dengan power begets power.
Hal yang mirip juga pernah dikemukakan Robert Michel (1911),
dengan teorinya yang disebut hukum besi oligarki (the iron law of
oligarchy). Intinya, bahkan dalam kepemimpinan organisasi yang
demokratis, pemimpin cenderung mencengkeram kekuasaannya dan
menggerogoti prinsip-prinsip demokrasi. Putnam (1976) juga
mengingatkan, elite politik pemegang kekuasaan cenderung
melanggengkan kekuasaan (self perpetuating) meskipun mengakibatkan
pembusukan terhadap institusi itu sendiri. Politik kekerabatan juga
semakin meluas karena sistem kekerabatan, seperti favoritisme atau
patronase, kroniisme, dan nepotisme.17
Selain itu, menurut Marcus Mietzner (2009), dalam paper yang
berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and the
Consolidation of the Party System, menilai bahwa kecenderungan politik
17 Ibid.
13
kekerabatan cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Praktik
politik kekerabatan menurutnya tidak sehat bagi demokrasi. Antara lain
karena kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi,
misalnya checks and balances, menjadi lemah.
Kecenderungan pewarisan politik dalam pola pemerintahan lokal
ini berakibat pada pencideraan demokrasi Indonesia. Tidak menjadi
masalah ketika keluarga yang menggantikan posisi kepala daerah
mempunyai kapabilitas yang cukup untuk melanjutkan pemerintahan.
Namun kecenderungan justru menunjukkan bahwa pewarisan politik
kekerabatan ini mengarah pada kelanggengan kekuasaan di daerah. Bisa
saja seorang bupati yang menggantikan suaminya dalam hal pengambilan
keputusan dan penetapan kebijakan masih dipengaruhi oleh sang suami.
Dalam artian bahwa istri hanya dipergunakan sebagai alat oleh sang suami
untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal inilah yang menjadi dilema
dalam demokrasi lokal, disatu sisi pilkada merupakan mekanisme yang
baik dalam aktualisasi kehidupan demokrasi, namun disisi lain terdapat
pencideraan demokrasi akibat munculnya politik kekerabatan yang pada
akhirnya hanya bertumpu pada kelanggengan kekuasaan seseorang.
Berkembangnya politik kekerabatan di Indonesia pada masa
demokrasi elektoral saat ini sungguh merupakan suatu kecenderungan
yang perlu diperlambat bahkan jika mungkin diakhiri. Hal ini tentu tidak
lepas dari banyaknya keburukan dan kelemahan tatanan politik yang diisi
oleh kekerabatan maupun politik kekerabatan tertentu, karena sulitnya
14
kritik, pengawasan, maupun mekanisme checks and balances untuk dapat
berjalan. Dengan bertumbuhnya politik kekerabatan, maka playing field
juga akan semakin timpang karena politik kekerabatan sudah dapat
mengakumulasi pengaruh, kekayaan, penguasaan terhadap wilayah,
maupun kontrol ekonomi tertentu akan lebih mungkin memenangkan
kontestasi politik, dibandingkan calon lain yang sumber dayanya masih
terbatas dan hanya mengandalkan kekuatan harapan.18
Politik kekerabatan menjadi pilihan yang menarik bagi parpol
untuk memenangkan posisi-posisi politik karena adanya keunggulan-
keunggulan elektoral yang nyata dari mereka ini, seperti popularitas,
kekuatan sumber daya finansial, serta kemampuan mobilisasi massa
melalui pengaruh tokoh kekerabatan politik yang sedang menjabat. Dalam
kompetisi pemilukada yang sangat liberal ini, kontestasi terjadi bukan
dalam tingkat ide maupun program, namun lebih dalam pencitraan dan
bahkan Iebih parah Iagi dengan kekuatan uang. Vote buying secara
langsung ke pemilih atau di panitia pemungutan suara terjadi di banyak
tempat, dan ini sudah menjadi semacam mekanisme pamungkas
pemenangan kandidat.19
Kenyataan di atas adalah sebuah trend yang menarik untuk dikaji.
Boleh jadi sebagian orang menganggap wajar hal tersebut muncul, namun
sebagaian lagi menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap
demokrasi. Demokrasi yang pada dasarnya, menuntut transparansi dari
18 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan Dan Institusionalisasi Partai Politik Di Indonesia.” 19 Ibid.
15
semua proses politik tertekan oleh politik kekerabatan. Oleh karena itu
wajar bilamana munculnya politik kekerabatan dianggap membahayakan
kelangsungan demokrasi di Indonesia.20
2. Teori Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe
Menurut Laclau dan Mouffe, hegemoni pertama kali muncul bukan
sebagai persebaran yang luar biasa dari sebuah identitas, melainkan sebuah
respon terhadap terjadinya krisis. Dalam memberikan ilustrasi dari
munculnya konsep hegemoni, bagian pertama buku Hegemoni dan
Strategi Sosialis21 diawali dengan subjudul “The Dilemmas of Rosa
Luxemburg” yang merujuk pada karya Rosa Luxemburg tahun 1906 yakni
The Mass Strike, the Political Party and the Trade Unions. Dalam
karyanya itu, Luxemburg melihat bahwa fragmentasi dalam kelas buruh
merupakan sebuah keharusan, sebagai akibat struktural dari kapitalisme
tahap lanjut. Meskipun begitu, Luxemburg juga melihat bahwa pada saat
yang sama, prospek bagi perjuangan revolusioner bukan ditandai oleh
bekerjanya hukum-hukum ekonomi, melainkan oleh terbentuknya
persatuan kelas buruh secara spontan, melalui medium aksi simbolik. Cara
pandang Rosa Luxemburg ini yang menunjukkan adanya keterpisahan
“teori” dengan “praktik” menunjukkan tanda-tanda atau gejala yang jelas
dari krisis dalam Marxisme, yang menjadi titik-awal analisa Laclau dan
Mouffe. 20 Ibid. 21 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemoni Dan Strategi Sosialis: Postmarxisme Dan Gerakan Sosial Baru (Yogyakarta: Resist Book, 2008).
16
Akibat langsung dari reaksi-reaksi tersebut, yang berujung kepada
fragmentasi sosial, adalah kemunculan konsep “hegemoni” sebagai area
dari sebuah “logika politik” yang baru. Dalam diskursus Marxisme
ortodoks, konsep tersebut hanya berada di tempat yang marjinal, sebagai
penanda untuk teoritisasi peristiwa-peristiwa yang tidak beraturan.
Misalnya dalam tulisan-tulisan Plekhanov, hegemoni mengarahkan
keberagaman tugas-tugas (ekonomi dan politik) yang dipaksakan terhadap
kaum proletar di Russia sebagai hasil dari keterbelakangan ekonomi.
Menurut Laclau dan Mouffe, hubungan relasi pada titik ini hanya
semata-mata dilihat sebagai, “suplemen dari hubungan-hubungan kelas”.
Dengan membedakannya lewat cara Saussure, bisa dikatakan “hubungan
hegemonik selalu merupakan parole, sedangkan hubungan kelas
merupakan langue”.22 Mereduksi hegemoni hanya sekedar status suplemen
tetap dipraktekkan dalam Leninisme, khususnya dalam rumusan Lenin
soal “aliansi kelas” yang diposisikan di bawah kepemimpinan partai
proletariat sebagai garda depan. Merujuk pada “pemusatan ontologis”
kepada proletariat, aliansi kelas dalam kasus ini tidaklah mengubah
identitas-identitas kelas secara esensial yang mengarahkan penyatuan
mereka dengan tuntutan-tuntutan demokratis yang implisit dalam
praktik-praktik hegemonik.
Laclau dan Mouffe menilai terjadinya patahan penting dalam
konsep hegemoni terhadap esensialisme Marxisme yang dipelopori oleh
22 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics (London: Verso, 2001), 51.
17
Antonio Gramsci. Secara khusus Mouffe menilai bahwa pokok terpenting
bagi analisa mengenai konspesi ideologi yang dioperasikan dalam
hegemoni Gramscian adalah melakukan studi dalam hal bagaimana
Gramsci menggambarkan proses formasi hegemoni yang baru.23 Bagi
Lacalu dan Mouffe, Gramsci keluar dari deterministik identitas kelas
peninggalan Plekhanov dan Lenin, dan memfokuskan pada
pengelompokan sosial yang lebih luas yang ia sebut “blok historis” di
mana kesatuan tujuan atau “keinginan kolektif” yang diusung atas dasar
kepemimpinan intelektual dan moral dalam konteks hegemoni politik dan
kultural.
Gramsci menekankan bahwa hegemoni berhasil ketika kelas
penguasa berhasil menyingkirkan kekuatan oposisi, dan memenangkan
persetujuan – baik secara aktif maupun pasif – dari para sekutunya.24
Menurut Gramsci, subyek dari tindakan politik tidak dapat
diidentifikasikan dengan kelas-kelas sosial, pada saat mereka mencapai
bentuk “keinginan kolektif” yang menciptakan ekspresi politik dari sistem
hegemoni yang dikonstruksi melalui ideologi. Formasi dari sebuah
keinginan kolektif bukanlah konsekuensi dari tekanan ideologi kelas
dominan terhadap kelas-kelas lainnya, melainkan produk dari reformasi
moral dan intelektual, yang mengartikulasikan kembali elemen-elemen
ideologis. Jadi secara umum bisa dikatakan bahwa hegemoni dalam
pemahaman Gramsci adalah mengorganisir persetujuan – proses yang 23 Ibid., 122–125. 24 Antonio Gramsci, Selections From Prison Notebooks (London: Lawrence and Wishart, 1986), 104–105.
18
dilakukan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi
dikonstruksi tanpa harus melalui jalan kekerasan atau koersi. Blok
penguasa ini tidak hanya beroperasi di tataran masyarakat politik (political
society), tetapi juga di seluruh masyarakat (civil society).25
Hegemoni adalah bagaimana elemen partikular mampu
mengkonstruksi tuntutan mereka menjadi universal. Sebagaimana dalam
pandangan Louis Althusser, proses seperti dominasi negara terhadap
masyarakat berlangsung melalui aparat-aparat ideologis negara yang
mengkonstruksi kesadaran palsu dalam masyarakat, dan membentengi
masyarakat dari pembentukan pengetahuan akan adanya eksploitasi dan
penindasan. Kesadaran palsu membentuk masyarakat menyetujui
tindakan-tindakan yang diambil oleh negara, sekalipun tidak berkesusaian
dengan kepentingan mereka, proses ini yang disebutnya proses
hegemonisasi yang membuat kelas yang menguasai negara dapat bertahan
lama.26
Namun hal terpenting dari konsepsi hegemoni Gramsci – maupun
lainnya – adalah bagaimana hegemoni merupakan bentuk dari masyarakat
sipil untuk membangun kekuatan politiknya dalam menghadapai rejim
yang opresif dan represif. Dalam konteks ini Gramsci membedakan dua
bentuk hegemoni yakni: transformisme dan hegemoni ekspansif. Kedua
bentuk ini melibatkan sebuah proses simultan revolusi-restorasi. Restorasi
25 Michelle Barrett, The Politics of Truth: From Marx to Foucault (California: Stanford University Press, 1991), 54. 26 Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses: Notes Towards an Investigation (New York: Monthly Review Press, 2001), 98–99.
19
cenderung mendominasi bentuk transformisme, sementara revolusi
cenderung mendominasi bentuk hegemoni ekspansif.
Transformisme bisa dilihat sebagai tipe defensif dari politik, yang
diikuti oleh kekuatan hegemonik dalam sebuah situasi krisis ekonomi dan
politik, dan melibatkan absorpsi secara gradual namun terus-menerus,
dicapai melalui metode yang selalu berubah-ubah sesuai dengan
efektivitas dari elemen-elemen aktif yang diproduksi oleh
kelompok-kelompok yang beraliansi – dan bahkan dari
kelompok-kelompok atau individu yang merupakan kelompok
antagonistik dan kelihatannya merupakan lawan yang tidak terdamaikan.27
Tujuan dari bentuk ini adalah sebuah konsensus yang pasif, yang bisa
menetralisir kekuatan politik yang antagonistik dan memecah- belah
massa.28 Dengan kata lain transformisme merupakan revolusi tanpa massa
– revolusi yang pasif.
Hegemoni ekspansif memiliki karakter anti revolusi pasif. Strategi
dari hegemoni ekspansif adalah berusaha melakukan counter terhadap
upaya kaum borjuis untuk menjaga kepemimpinannya dengan melakukan
regrouping dan rekomposisi dari kekuatan blok hegemonik. Juga
merupakan bentuk strategi ofensif untuk membangun konsensus aktif,
untuk memobilisasi massa dalam sebuah revolusi yang meliputi perubahan
superstruktur politik dan ideologis, dan juga infrastruktur ekonomi.
Hegemoni ekspansif meliputi formasi keinginan bersama, dengan karakter
27 Antonio Gramsci, Selections From Prison Notebooks, 58–59. 28 Chantal Mouffe, Gramsci and Marxist Theory (London: Routledge, 1979), 182.
20
nasional-populer, yang dapat memajukan perkembangan secara utuh dari
tuntutan partikular, dan akhirnya memimpin revolusi dari kontradiksi yang
dinyatakan.29 Sebagaimana dinyatakan Gramsci, tahapan paling politis,
dan menandai keputusan mutlak dari sebuah proses yang maju dari
struktur ke wilayah superstruktur yang kompleks; ini adalah tahapan di
mana ideologi-ideologi yang sebelumnya mulai tumbuh dan kemudian
menjadi “partai”, masuk ke dalam pertentangan dan konflik, sampai satu
di antaranya, atau setidaknya sebuah kombinasi dari keduanya, cenderung
untuk tampil, untuk menguasai, untuk menyebarkan dirinya ke seluruh
masyarakat – membawa serta bukan hanya kesatuan dari tujuan-tujuan
ekonomis dan politis, tetapi juga kesatuan moral dan intelektual,
mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai perjuangan yang tidak
hanya bersifat komunal tetapi juga “universal”, yang kemudian
menciptakan hegemoni sebuah kelompok sosial fundamental atas
kelompok-kelompok yang tersubordinasi.30
Jadi hegemoni bekerja dari dua arah, yakni top-down, pada saat
rejim opresif melakukan hegemonisasi, juga bottom-up, pada saat terjadi
resistensi masyarakat terhadap penindasan atau tekanan rejim. Namun
Gramsci menitikberatkan bahwa perjuangan hegemonik menempatkan
buruh sebagai aktor utama dalam pembentukan blok historis baru sebagai
tahap paling politis dari proses hegemoni.
29 Antonio Gramsci, Selections From Prison Notebooks, 132–133. 30 Ibid., 181–182.
21
Laclau dan Mouffe mendasarkan analisis politik mereka pada teori
hegemoni Gramsci. Bagi Laclau, hegemoni merupakan “kategori pokok
dalam analisa politik”. Namun, sekalipun memijakkan analisanya pada
pemikiran Gramsci, Laclau dan Mouffe menambahkan dimensi- dimensi
lain dari pemikiran Gramsci. Berbeda dengan Gramsci, Laclau dan Mouffe
tidak lagi memfokuskan kelas buruh sebagai agen dari praktek hegemoni.
Mereka mengajukan tesis mengenai agen sosial baru, yang bisa mengisi
ruang kosong dalam gerakan sosial, ketika gerakan buruh melemah, dan
menjadi kekuatan yang tidak strategis dalam gerakan sosial di penghujung
abad keduapuluh.
Meskipun berpijak pada teori hegemoni Gramsci, Laclau dan
Mouffe memiliki perbedaan dengan pemikiran Gramsci dalam melakuan
analisa terhadap kepolitikan, di mana Gramsci memijakkan paradigma
teoritiknya pada analisa kelas, sementara Laclau dan Mouffe memijakkan
paradigma teoritiknya pada analisa diskursus (discourse analysis).
Teori diskursus Laclau dan Mouffe berasumsi bahwa semua obyek
dan tindakan memiliki makna, dan maknanya merupakan produk dari
sistem-sistem partikular yang memiliki perbedaan-perbedaan signifikan,
yang bersifat spesifik secara historis. Teori ini menelaah bagaimana
praktek-praktek sosial mengartikulasikan dan mengkontestasikan
diskursus-diskursus yang membentuk realitas sosial. Praktek-praktek ini
22
menjadi mungkin karena sistem-sistem pemaknaan bersifat contingent31
dan tidak pernah secara penuh/tetap (fixed) menuntaskan wilayah yang
sosial dari pemaknaan.32
Diskursus dalam ranah pemikiran teoritik Laclau dan Mouffe
dijelaskan sebagai, “totalitas terstruktur yang dihasilkan dari praktek
artikulasi”,33 yang mereka contohkan dengan: “Jika saya menyepak sebuah
benda bulat di jalanan, atau jika saya menendang sebuah bola dalam
sebuah pertandingan sepakbola, kenyataan fisiknya adalah sama, namun
maknanya berbeda. Obyeknya hanyalah sepakbola hanya jika itu
membentuk suatu sistem hubungan dengan obyek lainnya, dan
hubungan-hubungan ini tidaklah terberi oleh sekedar rujukan materialitas
obyek-obyek, melainkan dibentuk secara sosial.”34
Dalam teorisasi mereka, teori diskursus meliputi seperangkat
pemahaman luas terhadap politik (the political), yang tak semata-mata 31 Istilah contingent atau contingency agak sulit dicarikan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Secara umum dipahami sebagai keadaan yang bergantung pada sesuatu. Dalam teori Laclau dan Mouffe, contingency bersifat sebagai kondisi‐kondisi bagi kemungkinan (possibility) sekaligus juga sebagai kondisi‐kondisi bagi pembatasan (finitude). Identitas sosial bersifat contingent, karena dibentuk oleh keadaan di luar dirinya. Atau dalam penjelasan Laclau: “contingency bukan berarti sekedar seperangkat hubungan‐hubungan eksternal dan bersifat acak di antara identitas‐identitas, melainkan ketidakmungkinan dari penetepan dengan presisi apapun baik hubungan‐hubungan maupun identitas‐identitas”. Lihat Ernesto Laclau, New Reflections, hal. 20. 32 Sebagaimana sudah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, menurut Laclau, teori diskursus sebagaimana dipahami dalam analisa politik dari pendekatan yang berkaitan dengan gagasan hegemoni, berakar pada tiga perkembangan pemikiran filsafat abad 20. Yakni filsafat analitis (pemikiran Wittgenstein yang belakangan), fenomenologi (analitis eksistensial Heidegger), dan strukturalisme dalam kritik post‐structuralism atas tanda (Barthes, Derrida, Lacan). Tiga aliran ini sangat penting dalam membentuk dasar filosofis dari teori hegemoni, tetapi yang paling akhir, yakni post‐structuralist, yang kemudian menjadi paling penting dan berpengaruh. Lihat Ernesto Laclau, Philosophical Roots of Discourse Theory, hal. 1. 33 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics, 105. 34 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Post‐Marxist Without Apologies (London: New Left Review, 1987), 82.
23
dibatasi oleh lembaga-lembaga (institusi-institusi), namun lebih dari itu,
the political dipahami sebagai sesuatu yang bersifat konstitutif terhadap
(makna) yang sosial (the social), dan secara parsial (contingent)
pemaknaannya ditetapkan (fixed) dalam konstruksi-konstruksi sosial.35
Laclau memberikan tekanan bahwa diskursus-diskursus bersifat contingent
dan produk dari konstruksi historis, yang akan selalu rentan terhadap
kekuatan politik yang dieksklusi dari yang diproduksi, sebagaimana juga
akibat-akibat dislokasi dari peristiwa-peristiwa yang berada di luar
kontrol.36
Dalam analisis diskursus yang dikembangkan Laclau dan Mouffe,
penting untuk merujuk pada konspesi dislokasi (dislocation). Laclau
berpendapat bahwa tindakan para subyek terjadi karena pentingnya
diskursus yang menyampaikan identitas subyek tersebut. Menurut Laclau,
dislokasi memiliki sisi produktif “di satu sisi mengancam
identitas-identitas, di sisi lain merupakan landasan di mana identitas
dibentuk”.37 Oleh karena itu, jika dislokasi merusak identitas dan
diskursus, maka dislokasi juga menimbulkan kelemahan di tingkat makna
yang mendorong dibentuknya konstruksi diskursif baru, yang bertujuan
untuk menambal struktur yang terdislokasi. Laclau mengkarakterisasi
proses dislokasi sebagai, “Subversi diskursus hegemonik oleh
peristiwa-peristiwa yang tidak berhasil didomestifikasikan,
35 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics, 113. 36 Ernesto Laclau, New Reflections on the Revolution of Our Time (London: Verso, 1990), 31–36. 37 Ibid., 39.
24
disombolisasikan atau diintegrasikan di dalam diskursus”. Laclau
melanjutkan, “[…] dengan membuka tata-aturan sosial kepada
praktek-praktek diskursif lainnya, dislokasi-dislokasi merupakan pondasi
pada mana perubahan politik dimungkinkan dan identitas-identitas baru
terbentuk”.38 Hal ini mengasumsikan kategori dislokasi, yang merujuk
pada proses dengan mana contingency dalam struktur diskursif dibuat
kasat mata. Jadi secara umum dislokasi merupakan peristiwa yang tidak
dapat disimbolkan oleh aturan diskursif yang ada, dan menjadi fungsi yang
merusak aturan tersebut. Subyeknya dipaksa untuk mengambil keputusan
atau mengidentifikasikan proyek-proyek politik tertentu, serta diskursus
yang diartikulasikan pada mana identitas politik mengalami krisis dan
struktur harus diciptakan kembali.
Dalam tesis hegemoninya, Laclau memperkenalkan konsep empty
signifiers. Empty signifier merupakan “a signifier without a signified” atau
“penanda tanpa petanda”. Perbedaan antara floating signifiers dan empty
signifiers, yang mana floating signifiers dilihat sebagai elemen- elemen
ambigu yang disebabkan oleh pluralitas pemaknaan dalam sebuah wilayah
diskursif. Sedangkan empty signifiers yang menciptakan nodal point, di
mana empty signifiers dimungkinkan bukan karena pemaknaan yang
berlebihan (surplus of meaning), tetapi dikarenakan ketidakmungkinan
struktural dari penandaan.39
38 Ibid. 39 Dalam terminologi Lacanian, keberadaannya (exist) disebabkan oleh “lack of being” dalam setiap tatanan simbolik (symbolic order). Ketidakmungkinan tersebut muncul keluar dari inabilitas setiap perbedaan linguistik yang bersifat internal untuk mewakili sistematika dari
25
Di sini Laclau berargumen bahwa “the presence of empty signifiers
[…] is the very condition of hegemony”.40 Ini dikarenakan “relasi
hegemonik” merujuk pada mana sebuah penanda partikular (“people”,
“nation”, “revolution”) dikosongkan (emptied) oleh makna partikularnya
sendiri, dan muncul merepresentasikan “the absent fullness”
(ketidakhadiran yang utuh) dari tatanan simbolik. Dalam istilah sosial,
empty signifier muncul untuk memainkan fungsi universal yang
merepresentasikan suatu komunitas atau tatanan sosial secara
keseluruhan.41 Contoh yang diajukan Laclau dalam menjelaskan floating
dan empty signifiers bisa dilihat berikut, Sebuah penanda seperti
“demokrasi”, misalnya, merupakan penanda yang mengambang:
maknanya akan berbeda baik dalam diskursus liberal, anti-fasis radikal dan
anti-komunis konservatif. Namun, bagaimanakah pengembangan ini
terstruktur? Pertama-tama, untuk yang mengambang menjadi
dimungkinkan hubungan di antara penanda dan petanda telah mengalami
kekenduran – jika penanda melekat kuat pada satu dan hanya satu-satunya
petanda, yang mengambang tidak bisa mengambil tempat”.42
Jika “demokrasi” dipresentasikan sebagai sebuah komponen pokok
dari “dunia yang bebas”, penetapan makna dari istilah tersebut tidak akan
muncul semata-mata hanya dengan mengkonstruksi baginya (demokrasi)
keseluruhan sistem. Paradoksnya, hanya signifier yang menegasikan sistem pembedaan (system of difference) yang memungkinkan sistem tersebut merepresentasikan dirinya. Signifier tersebut – empty signifier – yang membentuk, baik kemungkinan dan ketidakmungkinan, pada setiap rantai penandaan (signifying chain). 40 Ernesto Laclau, Emancipation(s) (London: Verso, 1996), 43. 41 Ibid., 45–46. 42 Ernesto Laclau, The Death and Resurrection of the Theory of Ideology (London, 1997), 305.
26
sebuah posisi diferensial, tetapi dengan membuat darinya, satu dari
nama-nama masyarakat yang sudah penuh (fullness) di mana “dunia yang
bebas” dicoba untuk diujudkan, dan ini melibatkan didirikannya sebuah
hubungan yang setara dan sama dengan semua istilah-istilah lainnya dalam
diskursus tersebut. “Demokrasi” bukanlah sinonim dari “kebebasan pers”,
“mempertahankan hak milik” ataupun “afirmasi atas nilai-nilai
kekeluargaan”. Namun apa yang memberikannya dimensi ideologis yang
spesifik terhadap diskursus ‘dunia yang bebas’ adalah pada mana setiap
komponen-komponen diskursif tersebut tidaklah tertutup dalam
keterbedaan partikularitasnya sendiri, melainkan berfungsi juga sebagai
sebuah nama alternatif bagi totalitas kesetaraan pada mana hubungan-
hubungan mereka dibentuk. Jadi, mengambangkan dan mengosongkan
sebuah istilah adalah dua sisi dari bekerjanya diskursif yang sama.43
Jadi dalam pandangan Laclau dan Mouffe, hegemoni secara umum
memiliki validitas dalam menganalisa proses disartikulasi dan reartikulasi
yang bertujuan untuk menciptakan dan menjaga politik, sebagaimana juga
kepemimpinan moral-intelektual. Karena itu bagi Laclau dan Mouffe,
hegemoni merupakan praktek artikulasi yang membangun nodal points
(titik temu), yang secara parsial memperbaiki makna sosial dalam sebuah
sistem difference yang tersusun.44
43 Ibid. 44 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics, 134–137.
27
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk mengekplorasi lebih jauh fenomena politik kekerabatan di
Kabupaten Bantul, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode etnografi. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian
pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan
gejala yang ada dalam kehidupan sosial.45 Sedangkan etnografi menjadi
preferensi utama di dalam penelitian ini karena mendorong sekaligus
memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk terlibat secara aktif dan
mendalam dengan kelompok dan lingkungan dimana penelitian
dilakukan. (Bryman, 2012)
Keterlibatan secara aktif dengan informan meliputi wawancara
yang mendalam dalam jangka waktu tertentu, mendeskripsikan setting dan
latar belakang informan, dan mengumpulkan dokumen-dokumen
mengenai informan yang relevan dengan fokus penelitian. Oleh karena itu,
di dalam mengoperasionalisasikan pendekatan etnografi, penelitian ini
akan menggunakan dua metode utama yakni indepth interview dan data
sekunder. Data sekunder akan dikumpulkan dari berbagai sumber,
termasuk dari pemberitaan media massa, laporan pemerintah hingga LSM-
LSM terkait. Sementara in-depth interview akan dilakukan melalui
wawancara yang mendalam dengan kelompok-kelompok representatif
45 Bambang Rudito, Melia Famiola, 2008, Social Mapping Metode Pemetaan Sosial, Bandung: Rekayasa Sains
28
seperti jurnalis lokal, aktivis LSM, budayawan, DPRD, hingga Idham
Samawi selaku mantan bupati.
Pendekatan etnografi yang dipakai dalam penelitian ini untuk
mengamati secara mendalam dinamika politik lokal yang ada di
Kabupaten Bantul sebagai bagian dari entitas politik lokal di Indonesia.
Fenomena politik kekerabatan di dalam politik lokal sejatinya harus dilihat
secara utuh dalam konteks geopolitik nasional yang membentuknya. Hal
ini penting untuk menemukan simpul-simpul penyebab terjadinya politik
kekerabatan. Oleh sebab itu, metode etnografi dirasa mampu membedah
fenomena politik kekerabatan tersebut dengan kontekstual, tajam, dan
analitif.
2. Penentuan Informan Penelitian
Di dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat proses demokrasi
(untuk melihat politik kekerabatan) dari dua dimensi, yaitu dimensi
pemangku kuasa (ekskutif dan legislatif) dan dimensi masyarakat sipil.
Oleh sebab itu dalam penelitian ini terdapat dua kelompok yang menjadi
informan. Kelompok pertama adalah kelompok masyarakat sipil yang
merepresentasikan rakyat Bantul, diwakili oleh beberapa informan yaitu:
a. Bambang Muryanto - Aliansi Jurnalis Independen - (wawancara
tentang konteks politik lokal orba dan pasca-orba, pengaruh media
lokal)
29
b. Wahyu - Forum LSM - (wawancara tentang hegemoni dinasti Samawi
terhadap civil society, respon civil society dalam struktur politik
kekerabatan)
c. Marwan – Budayawan - (wawancara tentang local bosses dan local
strongmen, partai politik)
d. Bondan Nusantara - Budayawan - (wawancara tentang konteks politik
lokal orba dan pasca-orba, gerakan-gerakan sosial yang dulu
menyokong idham samawi, respon civil society dalam politik
kekerabatan)
e. Irwan – Masyarakat Transparansi Bantul - (wawancara tentang kasus-
kasus hukum dalam rezim Samawi)
Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok elite politik lokal yang
menjadi pemangku kuasa di Kabupaten Bantul, diwakili oleh beberapa
informan yaitu:
a. Anggota DPRD dari PDIP selaku partai pendukung pemerintah
b. Anggota DPRD dari PKS selaku pihak oposisi
c. Idham Samawi selaku mantan Bupati Bantul
3. Teknik Pengumpulan Data
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan dua metode, yakni indepth
interview dan data sekunder. Indepth interview atau wawancara mendalam
digunakan untuk wawancara langsung kepada informan subjek penelitian
30
ini yang peneliti anggap representatif dalam konteks demokrasi politik,
yakni para jurnalis lokal, aktivis LSM, budayawan, DPRD, hingga Idham
Samawi. Wawancara dilakukan dengan menggunakan prinsip triangulasi,
dimana data yang diperoleh dari informan akan di crossceck kepada
informan lain untuk memperoleh data yang valid.
Sedangkan untuk data sekunder, peneliti akan melakukan studi
pustaka dengan mengumpulkan materi-materi yang berasal dari buku,
jurnal, riset-riset yang sudah dilakukan sebelumnya, berita dari media
massa nasional maupun lokal, hingga laporan pemerintah tentang program
pembangunan. Data sekunder penting untuk digunakan dalam penelitian
ini untuk memperkaya data-data yang peneliti nanti temukan, sehingga
politik kekerabatan di Kabupaten Bantul dapat dipahami secara utuh.
4. Instrumen Penelitian
Sebelum melakukan wawancara kepada informan, seorang peneliti
lebih baik menyusun interview guide guna mempermudah proses
wawancara. Berikut merupakan daftar interview guide dalam penelitian
ini:
31
Tabel 1 : Tabel Daftar Interview Guide
Breakdown Rumusan Masalah
Interview Guide Jenis Data Metode Pengumpulan Data
Bagaimana konteks sosio-historis politik lokal di Bantul Pasca Orde Baru?
1. Bagaimana kondisi politik lokal di Indonesia pasca orde baru atau saat era desentralisasi?
2. Adakah hubungan antara politik kekerabatan dengan politik lokal pasca orba? Apakah politik kekerabatan muncul akibat krisis pasca orba?
3. Bagaimana elite politik lokal mendefinisikan “politik lokal” pasca orde baru?
4. Apakah fenomena politik kekerabatan di Indonesia memiliki karakteristik tertentu yang sama satu dengan yang lainnya?
5. Bagaimana hubungan antara elite politik lokal terhadap masyarakat pasca orde baru?
6. Bagaimana konstelasi politik di Kabupaten Bantul sebelum dan setelah orde baru? Serta bagaimana kondisi politik lokal di Bantul kala itu?
Data Deskriptif, Wawancara, Field Note, dan Data Sekunder (Media, Hasil Riset Terdahulu, Jurnal, dan Buku)
Wawancara Mendalam, Studi Pustaka
Bagaimana kelangsungan politik kekerabatan rezim Samawi di Bantul hingga membentuk hegemoni?
1. Mengapa fenomena politik kekerabatan di Kabupaten Bantul dapat eksis berdiri selama 15 tahun? Adakah hubungan dengan situasi pemerintahan sebelum rezim Samawi berkuasa?
2. Ideologi pembangunan seperti apa yang dijalankan oleh rezim Samawi, baik saat Idham Samawi maupun Sri Surya Widarti berkuasa?
3. Bagaimana rezim Samawi merawat relasi kuasa dan politiknya selama memimpin Kabupaten Bantul?
4. Bagaimana relasi dan interaksi institusi-institusi politik di Kabupaten Bantul saat politik kekerabatan rezim Samawi berkuasa?
Data Deskriptif, Wawancara, Field Note, dan Data Sekunder (Media, Hasil Riset Terdahulu, Jurnal, dan Buku)
Wawancara Mendalam, Studi Pustaka
Bagaimana kejatuhan politik kekerabatan rezim Samawi dan formasi sosial politik lokal pasca kejatuhan tersebut?
1. Bagaimana peta politik lokal disaat rezim Samawi bercokol selama 15 tahun?
2. Hal-hal apa saja yang membuat politik kekerabatan Samawi runtuh?
3. Bagaimana masyarakat dan civil society merespon politik kekerabatan yang ada di Kabupaten Bantul?
4. Bagaimana struktur masyarakat di Kabupaten Bantul merespon hegemoni politik yang dilakukan oleh politik kekerabatan rezim Samawi?
5. Apa implikasi dari kejatuhan politik kekerabatan rezim Samawi?
Data Deskriptif, Wawancara, Field Note, dan Data Sekunder (Media, Hasil Riset Terdahulu, Jurnal, dan Buku)
Wawancara Mendalam, Studi Pustaka