Upload
hoangkhanh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
1.1.1. Relevansi dengan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah salah satu cabang
ilmu terapan yang bergerak di ranah sosial. Sebagai suatu cabang ilmu,
pembahasan dilakukan pada isu pembangunan dalam rangka menciptakan
kondisi masyarakat Indonesia yang sejahtera. Sebagai sebuah institusi
pendidikan, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki
tiga fokus kajian yang didasarkan pada isu kesejahteraan di Indonesia. Ketiga
fokus kajian tersebut adalah kebijakan sosial (social policy), pemberdayaan
masyarakat (community empowerment), dan tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility).
Dalam konteks fokus kajian Departemen Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan, penelitian ini memiliki kaitan yang erat dengan pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang ditelaah dalam penelitian ini
adalah pemberdayaan masyarakat yang diterima Kelompok Jumputan Ibu
Sejahtera. Sebagai sebuah industri kecil-menengah, Kelompok Jumputan Ibu
Sejahtera menjadi sasaran berbagai program pemberdayaan masyarakat.
Elemen dalam pemberdayaan masyarakat menjadi jalan masuk bagi
partisipasi anggota kelompok dalam mengembangkan produk unggulannya,
yakni souvenir batik jumput.
2
1.1.2. Aktualitas
Dewasa ini, pembangunan yang dijalankan banyak menggunakan
pendekatan people-centered development atau pembangunan berbasis
masyarakat. Dalam pendekatan ini, masyarakat diposisikan sebagai objek dan
subjek dari pembangunan. Masyarakat sebagai objek berarti masyarakat
menjadi pihak yang menerima manfaat dari pembangunan. Sementara itu,
masyarakat sebagai subjek artinya diberikannya ruang kepada masyarakat
untuk menentukan arah pembangunan sesuai dengan nilai yang dianut.
Dengan menggunakan pendekatan people-centered development, manfaat
yang diperoleh melalui pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Pembangunan berbasis masyarakat dijalankan di berbagai sektor,
termasuk kepariwisataan. Dalam bidang kepariwisataan, community-based
tourism merupakan konsep yang menjadi acuan dalam menjalankan
pembangunan berbasis masyarakat. Konsep ini menekankan peran serta
masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, sampai dengan pemantauan (monitoring) dan evaluasi.
Community-based tourism memberikan akses kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam setiap kegiatan pariwisata. Salah satu upaya dalam
menjalankan community-based tourism adalah melalui pemberdayaan
masyarakat untuk meningkatkan kapasitas serta kekuatannya dalam
pembangunan.
3
Salah satu wujud community-based tourism diejawantahkan melalui
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata
(dahulu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) memberikan dana
stimulan kepada masyarakat untuk merintis suatu desa wisata. Melalui
bantuan dana stimulan tersebut, potensi yang dimiliki suatu daerah dapat
dimanfaatkan secara optimal melalui bidang kepariwisataan. Kehadiran desa
wisata diharapkan memberikan dampak positif terhadap masyarakat, baik
dalam aspek ekonomi maupun sosial-budaya.
Kampung Wisata Tahunan merupakan salah satu hasil dari
pelaksanaan PNPM Mandiri Pariwisata. Destinasi wisata tersebut terkenal
akan aktivitas ekonomi kreatif, yakni pengembangan batik jumput
Berdasarkan Pokja Indonesia Design Power Depdag (dalam Gunadi, 2011),
industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan
daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Pengembangan batik jumput di
Kampung Wisata Tahunan dijalankan oleh beberapa pihak, baik individu
maupun kelompok. Salah satu kelompok yang turut terlibat adalah Kelompok
Jumputan Ibu Sejahtera.
Dilihat dari segi aktualitasnya, penelitian ini masih cukup hangat
untuk diangkat dan dikaji lebih lanjut. Isu pariwisata yang menjadi konteks
penelitian ini menarik untuk dibahas dan sedang banyak diperbincangkan,
termasuk di ranah akademis. Pariwisata dipandang sebagai suatu ‘institusi’
4
yang mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat modern, yaitu
mengembalikan masyarakat kepada situasi harmoni dan keseimbangan (Mac
Cannell dalam Demartoto, 2009: 6). Dengan fungsinya yang penting dalam
kehidupan masyarakat saat ini, pariwisata berkembang menjadi komoditi
pasar. Pariwisata sebagai komoditi pasar tentu saja memberikan dampak
kepada semua elemen masyarakat. Implementasi program pemberdayaan
masyarakat di Kampung Wisata Tahunan, khususnya terhadap Kelompok
Jumputan Ibu Sejahtera, menjadi penting untuk diteliti. Hal ini dikarenakan
unsur-unsur dalam pemberdayaan masyarakat menjadikan manfaat
pembangunan dapat dirasakan oleh semua kelompok masyarakat, terutama
kelompok masyarakat yang termarjinalkan.
Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera yang beranggotakan ibu rumah
tangga turut mempromosikan isu perempuan dan gender melalui penelitian
ini. Berangkat dari banyaknya ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan,
Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera memulai aktivitasnya dalam
pengembangan batik jumput. Perempuan yang masih diasosiasikan dengan
sektor domestik membuat anggota kelompok pada awalnya hanya
menggantungkan perekonomian keluarga kepada pihak laki-laki. Melalui
program pemberdayaan masyarakat, ibu rumah tangga yang tergabung dalam
Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera mulai berpartisipasi dalam pembangunan
pariwisata di Kampung Wisata Tahunan. Dalam skala yang lebih sempit,
anggota kelompok berpartisipasi dalam pengembangan souvenir batik jumput
melalui program pemberdayaan masyarakat yang diterima.
5
1.1.3. Orisinalitas
Suatu penelitian dapat dikatakan orisinil apabila masalah yang
diangkat dalam penelitian belum pernah dikaji oleh peneliti terdahulu. Jika
masalah yang diangkat sudah pernah diteliti sebelumnya, fokus dan
perspektif penelitian dapat dibedakan dengan jelas. Penelitian mengenai
partisipasi telah sering dilakukan, meskipun dalam konteks yang berbeda.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Diah Ayu Septiana
(2016), mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Universitas Gadjah Mada, yang berjudul “Partisipasi Ibu Rumah Tangga
dalam Lembaga Koperasi (Studi tentang Koperasi Wanita “Pertiwi
Gebangsari di Desa Gebangsari, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur)”. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh peneliti, penelitian
Diah menitikberatkan fenomena partisipasi pada ibu rumah tangga. Namun,
partisipasi ibu rumah tangga dalam penelitian Diah dilihat melalui aktivitas
dalam suatu lembaga keuangan.
Penelitian yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat juga pernah
dilakukan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sigit
Nurdiyanto, pada tahun 2015. Judul penelitian Sigit adalah “Partisipasi
Masyarakat dalam Pengembangan Wisata (Studi di Desa Wisata Bleberan,
Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul)”. Terdapat perbedaan dalam
kedua penelitian yang mengangkat tema partisipasi masyarakat ini. Pada
penelitian Sigit, kajian dilakukan pada seberapa jauh partisipasi masyarakat
secara keseluruhan dalam pengembangan wisata di Desa Bleberan.
Sementara itu, fokus penelitian yang penulis lakukan secara spesifik
6
diletakkan pada partisipasi anggota Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera dalam
pengembangan souvenir batik jumput. Program pemberdayaan yang diterima
menjadi jalan masuk partisipasi anggota kelompok dalam penelitian ini.
Penelitian bertemakan partisipasi lainnya dilakukan oleh Maryam
Adro (2014), mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada. Penelitian Maryam berjudul
“Partisipasi Kelompok Pembudidaya Ikan dalam Program CSR PT.
Pertamina DPPU Adisutjipto (Studi tentang KPI Mino Ngudi Lestari dalam
Program CSR PT. Pertamina DPPU Adisutjipto, Dusun Ngayan, Desa
Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta)”. Fokus
penelitian tersebut adalah kelompok pembudidaya ikan sebagai bagian dari
program CSR suatu perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan Maryam,
partisipasi dilihat dari usaha kelompok dalam menjalin relasi dengan pihak
lain dalam rangkaian program CSR PT. Pertamina DPPU Adisutjipto.
Sementara itu, fenomena partisipasi yang diteliti oleh peneliti ditelaah dari
aktivitas internal dan aktivitas eksternal kelompok.
1.2. Latar Belakang
Kesejahteraan merupakan hal yang diinginkan oleh setiap manusia.
Pemenuhan kebutuhan hidup dan pemecahan masalah-masalah sosial yang
dialami oleh masyarakat menjadi faktor penting dalam mencapai kondisi
sejahtera. Untuk mencapai kondisi sejahtera tersebut, pembangunan
senantiasa dilaksanakan dengan berbagai cara oleh pelaku pembangunan di
setiap negara. Sebagian besar negara berkembang, seperti Indonesia,
menerapkan pembangunan berorientasi produksi untuk meningkatkan
7
pertumbuhan ekonomi. Mekanisme tetesan ke bawah (trickle-down effect)
yang sentralistis dinilai paling efisien dalam meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Namun, pembangunan dengan pendekatan tersebut tidak mampu
memberikan dampak signifikan dalam terciptanya kesejahteraan bagi
masyarakat (Soetomo, 2006).
Kegagalan model pembangunan yang berorientasi pada produksi
memunculkan suatu alternatif pembangunan baru, yakni pembangunan
berbasis masyarakat atau people-centered development. Salah satu wujud
nyata pembangunan berbasis masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat, yang muncul sebagai antitesis dari pembangunan
berorientasi produksi dan peningkatan ekonomi, lebih menekankan peran
masyarakat dalam prosesnya. World Health Organization mendefinisikan
pemberdayaan masyarakat sebagai “the process of enabling communities to
increase control over their lives”. Pada dasarnya, terdapat dua unsur penting
pemberdayaan masyarakat, yakni to give ability to dan to give authority to.
Pada unsur pertama, pembangunan dijalankan dengan memberikan
kemampuan kepada masyarakat untuk melepaskan diri secara mandiri dari
belenggu masalah sosial yang dialami. Unsur kedua dalam pemberdayaan
masyarakat mengacu pada sentralisasi dalam pelaksanaan pembangunan
konvensional.
Dalam melaksanakan pemberdayaan, partisipasi masyarakat
diperlukan untuk menyukseskan pembangunan. Seluruh elemen masyarakat
didorong untuk memberikan kontribusi dalam menentukan arah
pembangunan. Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting karena
8
masyarakat yang paling memahami kebutuhannya dan permasalahan yang
terdapat di lingkungannya. Setiap bagian dari masyarakat memiliki
kesempatan sama dalam memengaruhi berjalannya pembangunan yang
diperuntukkan bagi mereka.
Pembangunan berbasis masyarakat dijalankan di berbagai sektor,
salah satunya adalah sektor pariwisata. Dewasa ini, pariwisata merupakan isu
yang ramai diperbincangkan, termasuk di ranah akademis. Pariwisata,
sebagai bentuk modern dari aktivitas pemanfaatan waktu luang (leisure time),
semakin merambah ke masyarakat dunia. Pariwisata berkembang menjadi
sebuah industri besar, bahkan disebut sebagai “industri terbesar sejak akhir
Abad 20” (WTO dalam Demartoto, 2009: 4). Pergerakan barang, jasa, dan
manusia yang berlangsung dalam aktivitas pariwisata tentu saja berdampak
terhadap kehidupan masyarakat yang bersinggungan dengannya. Oleh karena
itu, pembangunan berbasis masyarakat di sektor pariwisata perlu dilakukan
agar terjadi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Pariwisata berbasis masyarakat atau community-based tourism
merupakan konsep pembangunan di sektor pariwisata yang menekankan pada
partisipasi masyarakat dalam setiap lini pembangunan. Masyarakat setempat
harus dilibatkan secara aktif dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi
karena tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas
hidup masyarakat (Demartoto, 2009: 20). Walaupun community-based
tourism menekankan pada peran penting masyarakat dalam menunjang
pembangunan, keterlibatan pemerintah dan swasta juga dibutuhkan. Sebagai
pembuat kebijakan, pemerintah berperan dalam mendorong dan memotivasi
9
masyarakat agar bersedia untuk memberikan kontribusinya dalam proses
pembangunan pariwisata di daerahnya. Pemberdayaan masyarakat menjadi
jalan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
pariwisata.
Dalam kaitannya dengan partisipasi, tidak semua elemen masyarakat
memiliki kekuatan yang sama dalam berpartisipasi dan memberikan
kontribusi. Pada dimensi gender, terdapat jurang yang memisahkan peran dan
posisi antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Sampai saat ini,
laki-laki cenderung diasosiasikan dengan sektor publik yang menghasilkan
uang. Sementara itu, perempuan diasosiasikan dengan sektor domestik,
seperti merawat anak, memasak, dan mengurus keperluan rumah tangga yang
tidak memperoleh penghasilan. Perbedaan posisi dan peran laki-laki dan
perempuan menciptakan pola relasi gender timpang yang meletakkan
perempuan dalam posisi subordinat (Budiman, 1982). Adanya pembagian
dikotomis peran laki-laki dan perempuan inilah yang melemahkan partisipasi
perempuan dalam pembangunan.
Lemahnya partisipasi perempuan akibat pembagian dikotomis peran
terjadi di berbagai sektor, termasuk pariwisata. Sebagai industri yang
berkembang pesat saat ini, pariwisata menyerap banyak tenaga kerja
perempuan. Namun, Richter (dalam World Tourism Organization, 2010)
menggambarkan penyerapan tenaga kerja dalam pariwisata layaknya sebuah
piramida dengan banyaknya perempuan menempati posisi di bagian bawah.
Partisipasi laki-laki dan perempuan di dalam pariwisata pun juga berbeda
(Dunn, 2007). Perempuan cenderung bekerja paruh-waktu atau terlibat dalam
10
pekerjaan yang sifatnya sementara di dalam pariwisata. Oleh karena itu,
perempuan terjebak pada low-skilled jobs dan kesulitan untuk menempati
posisi penting dalam pembangunan pariwisata.
Pola relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan
tersebut dapat menghambat proses pembangunan pariwisata. Masih
terjebaknya perempuan dalam peran tradisionalnya memperkecil akses,
kontrol, dan partisipasinya dalam menentukan arah pembangunan. Dengan
demikian, diperlukan pemberdayaan masyarakat untuk mendorong
partisipasi perempuan dan menghentikan pelanggengan pembatasan peran
perempuan dalam sektor domestik semata. Pemberdayaan masyarakat
dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, khususnya
kelompok marjinal seperti perempuan, sehingga posisi tawarnya semakin
kuat.
Melalui pariwisata berbasis masyarakat, atau community-based
tourism, akses setiap elemen masyarakat terhadap pembangunan menjadi
terbuka. Community-based tourism memungkinkan perempuan untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di daerahnya. Sebagai bagian
dari masyarakat, perempuan dapat turut serta mengembangkan potensi wisata
daerahnya sebagai wujud dari pembangunan pariwisata. Oleh karena itu,
community-based tourism menjadi penting untuk diimplementasikan saat
pariwisata sedang berkembang pesat, terutama di negara berkembang yang
memiliki potensi wisata yang besar.
11
Salah satu perwujudan community-based tourism adalah Kampung
Wisata Tahunan yang terletak di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Destinasi wisata ini terbentuk dari implementasi PNPM Mandiri Pariwisata
yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata.
Kampung Wisata Tahunan menyimpan berbagai potensi dan daya tarik
wisata, mulai dari kesenian hingga ekonomi kreatif. Daya tarik wisata yang
paling menonjol dan menjadi ciri khas adalah kerajinan batik jumput.
Berbeda dengan batik tulis yang lebih dikenal masyarakat, motif yang dibuat
pada batik jumput dibuat dengan cara diikat dan dijelujur menggunakan tali
atau benang. Tali atau benang dalam pembuatan batik jumput memiliki fungsi
yang sama dengan malam atau lilin, yakni membentuk pola pada kain agar
tidak terkena pewarna sehinga tercipta motif-motif yang diinginkan. Kain
yang telah diikat dan dijelujur tersebut dicelupkan ke dalam bahan pewarna.
Di Kampung Wisata Tahunan, terdapat showroom-showroom yang
memamerkan dan menjualkan kreasi batik jumput. Sebagian besar showroom
terletak di sepanjang Jalan Soga. Beberapa showroom tersebut dimiliki oleh
Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera. Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera
merupakan sebuah kelompok industri kecil-menengah yang bergerak di
bidang ekonomi kreatif. Terbentuk pada tahun 2011, kelompok tersebut
menaungi 25 perempuan yang memiliki minat dalam mempelajari dan
mengembangkan batik jumput. Ibu rumah tangga yang menjadi anggota
Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera menjadi pelaku pengembangan daya tarik
wisata yang paling ditonjolkan dari Kampung Wisata Tahunan.
12
Lahirnya Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera diawali dengan
pembentukan kelompok Pemberdayaan Ekonomi Wilayah (PEW). PEW
merupakan program pemberdayaan berbasis ekonomi yang dijalankan oleh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Yogyakarta. Tidak
hanya dari Disperindag Kota Yogyakarta, Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera
juga menerima program pemberdayaan masyarakat dari pihak lainnya.
Pelatihan, pendampingan, studi banding, pameran, dan komponen lainnya
dalam program pemberdayaan masyarakat menunjang anggota Kelompok
Jumputan Ibu Sejahtera sebagai usaha industri kecil-menengah. Kegiatan-
kegiatan tersebut menjadi wahana partisipasi anggota kelompok dalam
mengembangkan batik jumput sebagai souvenir khas Kampung Wisata
Tahunan. Melalui program pemberdayaan masyarakat terhadap Kelompok
Jumputan Ibu Sejahtera, ibu rumah tangga berkesempatan untuk terlibat aktif
dalam proses pembangunan yang berlangsung di sekitarnya sekaligus
meningkatkan kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga. Fenomena partisipasi
perempuan dalam konteks pariwisata tersebut kemudian dijadikan tema
penelitian ini.
1.3. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan
masalah yang dibuat oleh peneliti adalah: Bagaimana partisipasi perempuan
anggota Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera dalam pengembangan souvenir
batik jumput melalui program pemberdayaan masyarakat?
13
1.4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui partisipasi perempuan anggota Kelompok Jumputan Ibu
Sejahtera dalam pengembangan souvenir batik jumput di Kampung
Wisata Tahunan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta
2. Mengetahui implementasi program pemberdayaan masyarakat yang
diterima Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera sebagai kelompok industri
kecil-menengah di bidang ekonomi kreatif
1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberikan tambahan gagasan dan informasi kepada akademisi, baik
peneliti umum maupun yang berlatar belakang Ilmu Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan terkait isu pemberdayaan masyarakat,
terutama terhadap perempuan
2. Memberikan referensi kepada Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera untuk
meningkatkan partisipasi anggota kelompok dalam pengembangan
souvenir batik jumput
3. Memberikan referensi kepada pelaksana program pemberdayaan
masyarakat, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Yogyakarta dalam menjalankan programnya
1.6. Tinjauan Pustaka
1.6.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang
berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut,
Sulistiyani (2004: 77) memaknai pemberdayaan sebagai suatu proses menuju
berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau
14
proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya
kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Diperolehnya daya, kekuatan,
atau kemampuan oleh pihak yang kurang atau belum berdaya menciptakan
kondisi keberdayaan.
Terdapat pemaknaan pemberdayaan lainnya yang sedikit berbeda.
Pranarka dan Prijono (dalam Sulistiyani, 2004) memaknai pemberdayaan
dalam dua arti. Pengertian yang pertama adalah to give power or authority.
To give power or authority berkaitan dengan unsur kekuatan, yang mana
terjadi proses pemberian kekuasaan dan pengalihan kekuatan dari pelaksana
program pemberdayaan masyarakat dengan mendelegasikan otoritas kepada
pihak yang kurang/belum berdaya. Pengertian yang kedua membahas unsur
kemampuan. Dalam konteks tersebut, pemberdayaan diartikan sebagai proses
memberikan kemampuan dan memberikan peluang kepada pihak lain untuk
melakukan sesuatu.
Konsep lain mengenai pemberdayaan masyarakat juga diungkapkan
oleh Winarni (dalam Sulistiyani, 2004). Pemberdayaan masyarakat meliputi
tiga butir inti, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya
(empowering), dan terciptanya kemandirian. Butir pengembangan atau
enabling mengisyaratkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
tidak hanya ditujukan kepada kelompok masyarakat yang tidak memiliki
daya atau kemampuan sama sekali, tetapi juga golongan yang mempunyai
daya terbatas. Enabling dan empowering dalam pemberdayaan diarahkan
untuk menciptakan kemandirian kelompok masyarakat yang dituju.
15
Dari berbagai konsep yang telah dijabarkan, kita dapat melihat bahwa
elemen dasar dari pemberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan
kekuasaan. Kemampuan dapat berupa wawasan, pengetahuan, dan
keterampilan. Sementara itu, kekuasaan berarti pemberian otonomi dan
kesempatan dari pelaksana program pemberdayaan masyarakat kepada
sasaran masyarakat untuk menentukan masa depannya melalui proses
pembangunan. Dalam konteks ini, Ndraha (dalam Suparjan dan Suyatno,
2003: 49-50) mengemukakan beberapa aspek yang perlu menjadi inti dasar
dari pemberdayaan yaitu:
a. Klarifikasi, pengakuan, dan perlindungan terhadap posisi masyarakat
selaku konsumen produk-produk kebijaksanaan, pemerintahan, dan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
b. Klarifikasi, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak dan kewajiban
masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya melalui berbagai
lembaga/media yang dipandang efektif
c. Klarifikasi, pengakuan, peningkatan, dan perlindungan terhadap
bargaining power masyarakat yang diperlukan dalam rangka
memperjuangkan aspirasinya tersebut melalui berbagai lembaga dan
media yang dipandang oleh masyarakat efektif
d. Klarifikasi, pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang jelas dan dapat dipercaya
dari pemerintah, lembaga, dan media lainnya tentang hal-hal yang
menyangkut kepentingan masyarakat. Misalnya melalui Musyawarah
Pembangunan Desa (Musbangdes)
16
e. Klarifikasi, pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak
masyarakat untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup
agar mampu berperan di dalam perubahan sosial yang semakin cepat di
masa depan
Sebagai suatu proses, pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
berlangsung secara bertahap. Menurut Sulistiyani (2004), tahap- tahap yang
harus dilalui meliputi:
a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan
peduli
b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, dan
kecakapan-keterampilan
c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual dan kecakapan-keterampilan
Proses pemberdayaan masyarakat dimulai dari tahap pertama, yakni
tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku dasar dan
peduli. Pada tahap ini, pelaku pemberdayaan masyarakat menyiapkan
prakondisi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kondisi hidup
yang sedang dialami. Kesadaran yang hendak ditumbuhkan bersifat konatif,
yang bermakna peka terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan.
Dengan ditumbuhkannya kesadaran tersebut, masyarakat terdorong untuk
mengembangkan kemampuan individu dan kolektif.
Tahap persiapan dilanjutkan dengan tahap transformasi kemampuan
berupa wawasan, pengetahuan, dan kecakapan-keterampilan. Kelancaran
tahap ini ditentukan oleh intervensi dari pelaksana program pemberdayaan
17
masyarakat yang dilangsungkan pada tahap penyadaran dan pembentukan
perilaku. Pada tahap ini, masyarakat menerima pengetahuan dan berbagai
keterampilan yang relevan dengan kebutuhan. Dengan dijalankannya
transformasi kemampuan pada tahap ini, masyarakat hanya dapat
memberikan partisipasi dalam tingkat yang rendah, yakni sekedar menjadi
pengikut atau obyek pembangunan saja (Sulistiyani, 2004).
Tahap ketiga dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah tahap
peningkatan kemampuan intelektual dan kecakapan-keterampilan. Pada
tahap ini, kemampuan yang diperlukan masyarakat berupa pengetahuan,
wawasan, dan keterampilan terus diperkaya. Kemampuan tersebut menjadi
kekuatan masyarakat untuk mengambil inisiatif dan melahirkan inovasi
pemecahan masalah sosial yang sedang dihadapi. Dalam tahap peningkatan
kemampuan intelektual dan kecakapan-keterampilan, kondisi masyarakat
yang mandiri menjadi tujuan yang hendak dicapai. Pada tahap ini, masyarakat
ditempatkan sebagai subyek pembangunan yang difasilitasi oleh pemerintah.
Sebagai model pembangunan yang gencar dikembangkan dan
diimplementasikan dewasa ini, pemberdayaan masyarakat menjadi jalan
untuk memperkuat posisi kelompok masyarakat di berbagai sektor.
Pariwisata merupakan salah satu ranah diaplikasikannya pemberdayaan
masyarakat. Pariwisata berkembang menjadi industri besar, yang mana
pembangunan berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan manfaat
yang diberikannya. Pemberdayaan masyarakat menjadi elemen yang
mendukung terwujudnya pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.
18
Salah satu praktik pemberdayaan masyarakat di sektor pariwisata
berlangsung di Kampung Wisata Tahunan. Beberapa program pemberdayaan
masyarakat diberikan oleh beberapa pihak kepada anggota Kelompok
Jumputan Ibu Sejahtera di Kampung Wisata Tahunan, Kecamatan
Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Anggota kelompok menerima pelatihan,
pendampingan, studi banding, dan kegiatan lainnya untuk memproduksi dan
mengembangkan souvenir batik jumput dari berbagai institusi. Program
pemberdayaan masyarakat yang diberikan oleh pihak pelaksana kemudian
menjadi wahana partisipasi bagi anggota Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera.
1.6.2. Konsep Partisipasi
Untuk memberikan pemahaman awal mengenai tema penelitian,
beberapa konsep dan teori mengenai partisipasi dijabarkan terlebih dulu.
Sebagian para pakar mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan mental
dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk
ikut serta menyumbangkan kemampuan dalam mencapai tujuan kelompok
dan ikut bertanggung jawab atas tujuan kelompok tersebut (Suparjan dan
Suyatno, 2003: 57). Sedangkan Mubyarto (dalam Suparjan dan Suyatno,
2003: 58) mengartikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu
berhasilnya program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti
harus mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Konsep partisipasi yang lebih terperinci dikemukakan oleh Eugen C.
Erickson dalam Suparjan dan Suyatno (2003: 58). Partisipasi pada dasarnya
mencakup dua bagian, yaitu internal dan eksternal. Individu yang
berpartisipasi secara internal digerakkan oleh eksistensi rasa memiliki (sense
19
of belonging) terhadap komunitas atau kelompok masyarakat. Rasa memiliki
ini mendorong suatu komunitas atau kelompok masyarakat terfragmentasi ke
dalam pelabelan identitas diri. Sementara itu, partisipasi secara eksternal
dimaknai sebagai keterlibatan individu dengan komunitas luar. Komunitas
luar dapat berwujud instansi pemerintah, komunitas atau kelompok
masyarakat lainnya, dan juga wisatawan.
Dalam membahas partisipasi masyarakat, ada baiknya kita juga
memahami prinsip pertukaran dasar (basic exchange principles). Menurut
Suparjan dan Suyatno (2003: 63), masyarakat akan berpartisipasi dalam
pembangunan jika ada insentif (reinforcement) yang bermanfaat bagi mereka.
Sementara jika reinforcement yang diperoleh tersebut cenderung negatif dan
mengakibatkan hukuman atau kerugian, maka kemungkinan besar aktivitas
tersebut akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pemahaman dasar mengenai
kondisi dan kebutuhan riil masyarakat sangat diperlukan agar proses
pembangunan dapat memberikan hasil yang diinginkan.
Partisipasi masyarakat menjadi isu yang menarik dan penting untuk
dibahas dalam kaitannya dengan pembangunan, terutama model
pemberdayaan masyarakat. Menurut Diana Conyers (dalam Suparjan dan
Suyatno, 2003) ada tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai
sifat penting. Pertama, partisipasi masyarakat menjadi suatu alat atau cara
untuk mengetahui kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat di suatu tempat.
Butir-butir informasi tersebut menjadi dasar dalam mengimplementasikan
berbagai kebijakan dan program pembangunan. Alasan yang kedua adalah
diberikannya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
20
pembangunan dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap program
pembangunan yang dilaksanakan. Rasa percaya masyarakat tumbuh karena
adanya rasa memiliki (sense of belonging) dan wawasan yang memadai
terhadap program pembangunan. Yang menjadi alasan ketiga pentingnya
partisipasi masyarakat adalah lahirnya pandangan bahwa pelibatan
masyarakat dalam proses pembangunan menjadi perwujudan hak demokrasi
di suatu negara. Dilibatkannya masyarakat memberi kesan adanya
komunikasi dua arah dalam proses pembangunan. Selain itu, partisipasi pada
hakekatnya merupakan bentuk peningkatan posisi tawar-menawar harga,
sehingga daya tawar masyarakat menjadi seimbang dengan pemerintah dan
pihak pemilik kapital (Suparjan dan Suyatno, 2003).
Partisipasi menjadi unsur penting dalam pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat, sebagai antitesis dari pembangunan yang bersifat
ekonomistik, menempatkan masyarakat sebagai inti dari pembangunan.
Masyarakat didorong untuk terlibat dalam setiap tahap pembangunan, mulai
dari tahap perencanaan hingga pengawasan dan evaluasi. Oleh karena itu,
proses transformasi kemampuan serta pendelegasian wewenang dilakukan
dalam proses pemberdayaan agar masyarakat dapat menentukan arah
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan.
Partisipasi masyarakat dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk.
Menurut Ndraha (dalam Nurdiyanto, 2015), partisipasi dalam dibagi ke
dalam enam bentuk yang berbeda, yakni:
21
a. Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change)
sebagai salah satu titik awal perubahan sosial
b. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap memberi tanggapanterhadap
informasi, baik dalam arti menerima (menaati, memenuhi,
melaksanakan), mengiyakan, menerima dengan syarat, maupun dalam
arti menolaknya
c. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan
keputusan
d. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan
e. Partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil
pembangunan
f. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat
dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat
Club du Sahel (dalam Mikkelsen, 1999) melihat partisipasi melalui
dimensi tingkat paksaaan dalam pelibatan masyarakat serta keaktifannya.
Dalam rangka mempromosikan partisipasi, terdapat beberapa pendekatan
yang dapat digunakan, yakni:
a. Partisipasi pasif, pelatihan dan informasi. Partisipasi jenis ini terwujud
dalam komunikasi satu arah antara pelaku pembangunan (terutama
pegawai proyek) dan masyarakat setempat. Masyarakat diposisisikan
sebagai obyek pembangunan dan hanya dapat menerima informasi dan
arahan mengenai proses pembangunan.
22
b. Sesi partisipasi aktif. Komunikasi dua arah berbentuk dialog diterapkan
dalam partipasi jenis ini. Masyarakat diberikan kesempatan untuk
menyampaikan opini, masukan, dan kritik mengenai jalannya
pembangunan di daerahnya kepada petugas penyuluh dan pelatih dari
luar.
c. Partisipasi dengan keterikatan. Masyarakat setempat diberikan pilihan
untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam kegiatan di dalam
masyarakat atau program pembangunan, baik sebagai individu maupun
kelompok
d. Partisipasi atas permintaan setempat. Program pembangunan yang
dijalankan dalam partisipasi ini didasarkan pada kebutuhan yang
disuarakan oleh masyarakat sendiri. Pihak luar tidak terlibat dalam
menentukan arah pembangunan.
Untuk mendalami pemahaman mengenai partisipasi yang menjadi isu
sentral penelitian ini, peneliti menggunakan teori partisipasi yang
dikemukakan oleh Sherry R. Arnstein yang dikutip oleh Fegence (dalam
Sulistiyani, 2004). Definisi partisipasi oleh Arnstein didasarkan pada
distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas atau kelompok) dan
pemerintah. Pada teori tersebut, jenjang partisipasi masyarakat dijelaskan
menggunakan taksonomi yang dikenal dengan nama A Ladder of Citizen
Participation atau Tangga Partisipasi Publik. Dalam Tangga Partisipasi
Publik, terdapat delapan tingkat partisipasi masyarakat yang dikelompokkan
ke dalam tiga golongan distribusi kekuasaan, yakni nonpartisipasi,
tokenisme, dan kekuasaan masyarakat.
23
Bagan 1.1. Tangga Partisipasi Publik Arnstein
Sumber: Sulistiyani (2004)
Bentuk partisipasi dengan tingkat paling rendah dalam Tangga
Partisipasi Publik Arnstein adalah manipulasi. Tingkat yang lebih tinggi
ditempati oleh partisipasi dalam bentuk terapi. Manipulasi dan terapi
termasuk ke dalam golongan distribusi kekuasaan nonpartisipasi. Tangga
Partisipasi Publik selanjutnya ditempati oleh partisipasi dalam bentuk
menyampaikan informasi, konsultasi, dan peredaman kemarahan. Ketiga
bentuk partisipasi tersebut digolongkan sebagai tokenisme. Dalam konteks
partisipasi, tokenisme dapat dimaknai sebagai tindakan atau upaya simbolis
dalam keterlibatan dengan pembangunan. Bentuk partisipasi paling tinggi
yang digolongkan dalam kekuasaan masyarakat adalah kemitraan,
pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat.
Kekuasaan Masyarakat
• Pengawasan Masyarakat
• Pendelegasian Kekuasaan
Tokenisme
• Peredaman Kemarahan
• Konsultasi
• Menyampaikan informasi
Non-partisipasi
• Terapi
• Manipulasi
24
Pada golongan distribusi kekuasaan nonpartisipasi, partisipasi
masyarakat lebih diakibatkan oleh mobilisasi dari pelaku pembangunan.
Masyarakat hanya diposisikan sebagai obyek pembangunan tanpa dilibatkan
dalam perencanaannya. Keterlibatan masyarakat dalam golongan ini belum
diikuti oleh kesadaran konatif. Pada tangga manipulasi, belum ada
komunikasi antara masyarakat dan pemerintah. Sedangkan pada tangga
terapi, komunikasi tersebut mulai diinisiasi meskipun bersifat satu arah.
Menyampaikan informasi, konsultasi, dan peredaman kemarahan
merupakan bentuk partisipasi yang digolongkan sebagai tokenisme. Dalam
golongan tokenisme, berbagai upaya untuk menampung ide, saran, dan kritik
dari masyarakat terhadap pembangunan berusaha dilakukan. Namun, belum
ada jaminan bahwa suara masyarakat dapat menghasilkan perubahan. Upaya
menampung suara masyarakat menjadi sarana memperoleh legitimasi publik
dalam menjalankan program-program pembangunan.
Tiga tangga teratas dalam Tangga Partisipasi Publik dapat dikatakan
sebagai bentuk partisipasi yang sesungguhnya. Ketiga tangga tersebut
ditempati oleh kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan
masyarakat. Bentuk-bentuk partisipasi teratas dikelompokkan ke dalam
golongan kekuasaan masyarakat. Mulai dari jenjang kemitraan, masyarakat
diposisikan sebagai subyek pembangunan. Masyarakat dijadikan mitra
pemerintah dalam menjalankan pembangunan. Pada tingkat partisipasi
pendelegasian kekuasaan, pemerintah memberikan kesempatan dan otonomi
kepada masyarakat untuk menentukan arah dan strategi pembangunan.
Pengawasan masyarakat menempati tangga teratas dalam Tangga Partisipasi
25
Publik. Pada jenjang ini, masyarakat telah mampu melakukan kontrol
terhadap dinamika pembangunan di daerahnya.
Dalam penelitian ini, partisipasi diamati pada anggota Kelompok
Jumputan Ibu Sejahtera. Kelompok ini beranggotakan ibu rumah tangga yang
bertempat tinggal di Kampung Wisata Tahunan, Kecamatan Umbulharjo,
Yogyakarta. Berawal dari inisiatif bersama untuk menambah keterampilan,
anggota Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera menerima pelatihan,
pendampingan, dan aktivitas pengembangan kapasitas lainnya melalui
pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Penelitian difokuskan pada
partisipasi anggota kelompok dalam pengembangan souvenir batik jumput
melalui program pemberdayaan masyarakat di Kampung Wisata Tahunan.
1.6.3. Konsep Community –Based Tourism
Pariwisata berbasis masyarakat, atau yang lebih dikenal dengan istilah
community-based tourism, merupakan konsep yang banyak digaungkan di
sektor pariwisata dewasa ini. Pergeseran model pembangunan yang bersifat
sentralistik dan top-down menuju pembangunan yang menonjolkan lokalitas
pada akhirnya memunculkan konsep community-based tourism. Dalam
penelitian ini, konsep community-based tourism digunakan untuk
mengerangkai konsep partisipasi, pemberdayaan masyarakat, dan dialektika
yang terjadi di antara keduanya dalam konteks pariwisata.
Dalam ASEAN Community-Based Tourism Standard (2016),
pariwisata berbasis masyarakat didefinisikan sebagai aktivitas pariwisata
yang dimiliki oleh masyarakat dan dikelola pada level komunitas yang
26
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat setempat. Kondisi yang
sejahtera dicapai melalui dukungan terhadap matapencaharian lokal dan
perlindungan terhadap nilai sosio-kultural, tradisi, potensi alam, dan
peninggalan bersejarah. Community-based tourism membuka ruang bagi
masyarakat untuk menyuarakan keinginan. Hal ini bertujuan untuk mencapai
keberhasilan pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang
berkelanjutan.
Demartoto (2009: 20) mengungkapkan bahwa community-based
tourism dikembangkan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keselarasan
antara kepentingan berbagai stakeholders pembangunan pariwisata, termasuk
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selaras dengan yang didefinisikan oleh
ASEAN, community-based tourism memberikan ruang untuk berpartisipasi
kepada masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Masyarakat lokal harus
dilibatkan secara aktif dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi karena
tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat.
Menurut Goodwin dan Santilli (2009), community-based tourism
muncul sebagai alternatif dalam pengembangan pariwisata. Seperti yang
dimaknai oleh The Thailand Community-Based Tourism Institute (dalam
Goodwin dan Santilli, 2009), pariwisata berbasis masyarakat merupakan
“tourism that takes environmental, social, and cultural sustainability into
account. It is managed by the community, for the community, with the purpose
of enabling visitors to increase their awareness and learn about the
community and local ways of life.”
27
World Wildlife Fund mendefinisikan community-based tourism
sebagai bentuk pariwisata yang mana masyarakat (community) lokal
diberikan kontrol dan keterlibatan penuh dalam pengelolaan dan
pengembangannya serta benefit yang besar dengan berlangsungnya kegiatan
pariwisata tersebut (dalam Goodwin dan Santilli, 2009). Dalam penjabaran
ini, definisi masyarakat (community) menyesuaikan dengan struktur sosial
dan institusional yang berlaku. Masyarakat (community) juga tidak dibatasi
dalam skala kolektif, sehingga inisiatif individu turut dinilai sebagai bentuk
partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata.
Partisipasi masyarakat menjadi komponen utama dalam
mengimplementasikan community-based tourism. Masyarakat berperan
penting dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang berpotensi
menjadi daya tarik wisata di suatu wilayah. Untuk memaksimalkan
partisipasi masyarakat, pemberdayaan perlu dilakukan untuk menumbuhkan
kesadaran masyarakat terhadap potensi-potensi tersebut. Oleh karena itu,
kehadiran pemerintah sebagai fasilitator menjadi vital dalam mewujudkan
pembangunan pariwisata menggunakan model community-based tourism.
Pemangku kepentingan lainnya, seperti pihak swasta, turut menghimbau dan
memberikan dorongan agar masyarakat bersedia terlibat dalam pembangunan
pariwisata. Walaupun tidak berarti bahwa masyarakat setempat memiliki hak
mutlak, pembangunan pariwisata berbasis masyarakat tidak akan terwujud
apabila penduduk setempat merasa diabaikan, atau hanya dimanfaatkan, serta
merasa terancam oleh kegiatan pariwisata di daerah mereka (Demartoto,
2009: 21).
28
Konsep community-based tourism membuka ruang yang lebih besar
bagi masyarakat untuk merasakan hasil pembangunan pariwisata.
Masyarakat tidak hanya dibebankan kewajiban untuk turut serta dalam
kegiatan pengembangan daya tarik wisata, tetapi juga dijamin haknya untuk
merasakan manfaat positif dari pembangunan pariwisata. Partisipasi
masyarakat menjadi poin yang vital untuk mewujudkan keseimbangan
tersebut. Menurut Lankford (dalam Kusworo, 2002), terdapat 7 area yang
mengintegrasikan citizen participation (partisipasi masyarakat) dan social
and cultural impact assessment (penilaian dampak sosial dan budaya) dalam
perencanaa pariwisata, yakni identifikasi masalah, proses perencanaan,
proyeksi (projection), penilaian, evaluasi, mitigasi, dan pengawasan
(monitoring).
Dalam kaitannya dengan konsep partipasi dan pemberdayaan
masyarakat, community-based tourism menyeimbangkan kekuatan
pemangku kepentingan dalam tataran good governance, yakni pemerintah,
sektor swasta, dan masyarakat sipil. Melalui community-based tourism,
masyarakat diberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap
kebijakan dan program pemerintah, secara spesifik di bidang pariwisata.
Selain itu, implementasi community-based tourism memungkinkan
masyarakat menjaga peran ekonomi lokal dalam bentuk UMKM dari
penetrasi investor dari luar. “Dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk
masyarakat” menjadi slogan yang menjiwai konsep community-based
tourism.
29
1.6.4. Ketimpangan Pola Relasi Gender
Dalam pembahasan gender, masih terdapat ketidakjelasan dan
kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender. Untuk
memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks
(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, manusia jenis laki-laki adalah
manusia yang memiliki penis dan jakala (kala menjing) Sementara itu, gender
adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu dikenal
lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. (Fakih, 1996: 7-8).
Terbentuknya perbedaan gender (gender differences) antara manusia
laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya
dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial
maupun kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Perbedaan
gender ini kemudian disosialisasikan secara berkesinambungan seakan
perbedaan tersebut merupakan ketentuan dari Tuhan yang tidak dapat
dipertukarkan (Fakih, 1996: 9).
Kerancuan mengenai makna gender dan seks dalam masyarakat
menciptakan pemisahan yang tidak sesuai dalam struktur masyarakat.
Gender, yang sesungguhnya merupakan konstruksi sosial, kemudian
dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan
Tuhan (Fakih, 1996: 11). Hal ini kemudian yang menciptakan adanya
30
pembagian kerja secara seksual di dalam masyarakat. Masyarakat cenderung
beranggapan bahwa perbedaan peran yang diberikan kepada perempuan dan
laki-laki adalah peran yang luhur dan karena itu patut dipertahankan. Dengan
anggapan yang melanggengkan konstruksi perbedaan gender tersebut,
pembagian kerja ini menjadi lembaga kemasyarakatan yang tertua dan
terkuat. (Budiman, 1982).
Dalam pembagian kerja secara seksual, laki-laki diasosiasikan dengan
sektor publik dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aktivitas yang
berkaitan dengan sektor publik biasanya dianggap sebagai kegiatan produktif,
dimana seseorang mendapatkan penghasilan atau barang-barang kebutuhan
hidup, baik untuk individu maupun anggota keluarga lainnya. Sementara itu,
perempuan diasosiasikan dengan sektor domestik yang berkaitan dengan
aktivitas rumah tangga yang mana perempuan tidak mendapatkan gaji dari
kegiatan yang dilakukannya.
Pembagian dikotomis peran tersebut masih dilanggengkan sampai
saat ini, termasuk di ranah pariwisata. Pariwisata menjadi sektor yang mudah
diakses oleh perempuan. Menurut Hemmati (dalam Dunn, 2007), sekitar 46%
tenaga kerja yang diserap oleh sektor pariwisata diisi oleh perempuan. Jumlah
ini lebih besar dibandingkan tenaga kerja perempuan secara global, yakni
sekitar 34%-40%. Hal ini menjadikan pariwisata sebagai sektor yang penting
bagi perempuan.
Yang menjadi kontradiksi dari aksesibilitas perempuan dalam
pariwisata adalah masih dilanggengkannya pola relasi gender yang timpang
31
di dalamnya. Dalam penelitian yang dilakukan Wilkinson dan Pratiwi (dalam
Dunn, 2007) di Indonesia, perempuan akan berpartisipasi aktif di dalam
sektor pariwisata apabila peran yang dijalankannya menyerupai aktivitasnya
di sektor domestik. Selain itu, masyarakat memandang bahwa tour guide
bukanlah pekerjaan yang pantas bagi perempuan. Hal ini dikarenakan
interaksi yang dijalin tour guide perempuan dengan wisatawan dianggap
tidak sesuai dengan nilai dan norma yang dipegang oleh masyarakat.
1.6.5. Ekonomi Kreatif dalam Pariwisata
Dalam Laporan Akhir Perencanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif
Kota Magelang 2014, ekonomi kreatif didefinisikan sebagai penciptaan nilai
tambah berbasis ide yang lahir dari kreativitas sumber daya manusia (orang
kreatif) dan berbasis pemanfaatan ilmu pengetahuan, termasuk warisan
budaya dan teknologi. Ekonomi kreatif bersifat unik karena dimunculkan dari
olahan pikiran seseorang dalam merespon keadaan sekitarnya. Ekonomi
kreatif berkaitan erat dengan industri kreatif. Literatur terkait menjabarkan
industri kreatif sebagai industri yang menghasilkan output dari pemanfaatan
kreativitas, keahlian, dan bakat individu untuk menciptakan nilai tambah,
lapangan kerja, dan peningkatan kualitas hidup.
Industri kreatif, sebagai bagian dari ekonomi kreatif, didefinisikan
sebagai industri berbasis kreativitas individu yang menghasilkan produk
artistik yang memiliki dampak pada kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi
maupun budaya (Hermantoro, 2011: 104). Industri kreatif tidak hanya
memberikan keuntungan finansial kepada individu yang melakoninya,
melainkan juga kelestarian budaya yang dimiliki oleh masyarakat sekitar.
32
Dari definisi tersebut, pengembangan industri kreatif sebagai perwujudan
ekonomi kreatif dapat meningkatkan kualitas hidup manusia dalam berbagai
aspek.
Dalam situs resminya, Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf)
mengelompokkan kegiatan ekonomi kreatif ke dalam enam belas subsektor,
yakni: 1) aplikasi dan pengembang permainan, 2) arsitektur, 3) desain
interior, 4) desain komunikasi visual, 5) desain produk, 6) fashion, 7) film,
animasi, dan video, 8) fotografi, 9) kriya, 10) kuliner, 11) musik, 12)
penerbitan, 13) periklanan, 14) seni pertunjukan, 15) seni rupa, dan 16)
televisi dan radio. Sayangnya, potensi ekonomi kreatif dari keseluruhan
subsektor belum berkembang secara merata. Dalam pemetaan potensi
ekonomi kreatif yang dilakukan oleh Bekraf, terdapat tiga subsektor yang
memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi kreatif, yakni
kuliner, fashion, dan kriya.
Ekonomi kreatif berkaitan erat dan dapat bersinergi dengan sektor
pariwisata. Ekonomi kreatif berpotensi menjadi daya tarik wisata yang dapat
menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah. Keunikan sosial dan
budaya suatu masyarakat merupakan unsur dari kegiatan wisata yang dinilai
patut dijadikan memorabilia. Memorabilia yang diinginkan wisatawan dapat
diwujudkan melalui ekonomi kreatif. Salah satu wujud memorabilia melalui
ekonomi kreatif adalah pembuatan souvenir.
Dalam penelitian yang peneliti lakukan, ekonomi kreatif diwujudkan
dalam pembuatan batik jumput. Batik jumput menjadi ciri khas yang
33
diunggulkan oleh Kampung Wisata Tahunan. Batik jumput yang diproduksi
oleh Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera menarik wisatawan dari luar untuk
membelinya. Keunikan pola dan warna serta proses pembuatannya menjadi
daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan. Berbagai showroom batik jumput
di Kampung Wisata Tahunan menjadi wahana interaksi, yang mana pengrajin
batik dapat memamerkan dan menjual batik buatannya serta wisatawan dapat
membeli batik tersebut sebagai souvenir.
Munculnya Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera di Kampung Wisata
Tahunan menjadi salah satu bentuk gebrakan bagi perempuan di sektor
pariwisata. Kelompok tersebut memberikan alternatif bagi perempuan untuk
berpartisipasi dalam pariwisata. Menurut Norris dan Wall (dalam Dunn,
2007), skala menjadi faktor yang memengaruhi partisipasi perempuan dalam
industri pariwisata. UMKM dan industri kecil-menengah menyediakan
kesempatan bagi perempuan untuk turut terlibat aktif dalam pembangunan
pariwisata, seperti dalam hal produksi kerajinan tangan. Dengan demikian,
pengembangan souvenir batik jumput yang dijalankan Kelompok Jumputan
Ibu Sejahtera menantang peran gender yang dimapankan masyarakat dengan
mendorong kemandirian ekonomi serta peningkatan self-efficacy perempuan.