20
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (menurut Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan). Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, dimana kebakaran hutan sendiri terjadi akibat dari faktor disengaja maupun tidak disengaja. Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan sebagian besar diakibatkan oleh kelalaian manusia seperti kegiatan buka lahan untuk berladang, berkebun, penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya dengan cara membakar hutan. Faktor kebakaran hutan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini. Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang disebabkan oleh faktor alami ataupun karena kelalaian manusia. Contoh kebakaran hutan karena ketidak sengajaan seperti akibat membuang puntung rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-sisa perkemahan dan pembakaran dari pembukaan lahan yang tidak terkendali. Sedangkan secara alami kebakaran hutan diakibatkan oleh gesekan ranting yang kering akibat dari rendahnya curah hujan yang menyebabkan kemarau berkepanjangan. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Mengingat dampak kebakaran hutan tersebut, maka upaya perlindungan terhadap kawasan hutan dan tanah sangatlah penting. Hal tersebutlah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan- pendekatan atau parameter untuk penentuan daerah rawan kebakaran hutan. Yang diharapkan nantinya dapat membantu dalam pengupayaan pencegahan terhadap kebakaran hutan. Dipilihnya lokasi penelitian di Kawasan Taman Nasional Baluran bukanlah tanpa sebab. Lokasi ini dipilih karena memiliki kerawanan kebakaran yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67782/potongan/diploma-2013... · BAB I PENDAHULUAN 1.1 ... kerawanan kebakaran hutan dengan tingkatan kerawanan

  • Upload
    ngonhu

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (menurut Undang Undang Nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan).

Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, dimana

kebakaran hutan sendiri terjadi akibat dari faktor disengaja maupun tidak disengaja.

Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan sebagian besar diakibatkan oleh kelalaian

manusia seperti kegiatan buka lahan untuk berladang, berkebun, penyiapan lahan untuk

ternak sapi, dan sebagainya dengan cara membakar hutan. Faktor kebakaran hutan karena

kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan yang terjadi saat ini

banyak disebabkan karena faktor ini. Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor

tidak disengaja, yang disebabkan oleh faktor alami ataupun karena kelalaian manusia.

Contoh kebakaran hutan karena ketidak sengajaan seperti akibat membuang puntung

rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-sisa perkemahan dan pembakaran dari

pembukaan lahan yang tidak terkendali. Sedangkan secara alami kebakaran hutan

diakibatkan oleh gesekan ranting yang kering akibat dari rendahnya curah hujan yang

menyebabkan kemarau berkepanjangan.

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup

kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi

hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya

mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai,

danau, laut dan udara. Mengingat dampak kebakaran hutan tersebut, maka upaya

perlindungan terhadap kawasan hutan dan tanah sangatlah penting. Hal tersebutlah yang

mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan-

pendekatan atau parameter untuk penentuan daerah rawan kebakaran hutan. Yang

diharapkan nantinya dapat membantu dalam pengupayaan pencegahan terhadap

kebakaran hutan. Dipilihnya lokasi penelitian di Kawasan Taman Nasional Baluran

bukanlah tanpa sebab. Lokasi ini dipilih karena memiliki kerawanan kebakaran yang

2

cukup tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis penggunaan lahan serta curah hujan

yang rendah di kawasan tersebut. Selain itu, di kawasan ini juga terdapat berbagai jenis

satwa langka yang dikawatirkan apabila terjadi kebakaran hutan dapat mengganggu

kelangsungan hidup dari satwa-satwa tersebut.

Pencegahan sejak awal perlu dilakukan dalam penangan kebakaran hutan. Dimana

dalam aplikasinya dapat menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi

geografi (SIG). Dengan teknologi ini kebakaran hutan dapat dicegah dengan pembuatan

Peta Rawan Kebakara Hutan. Dimana untuk teknologi penginderaan jauh dapat

dimanfaatkan dalam pemantauan perubahan penutup lahan di kawasan hutan yang

menjadi sumber dari terbentuknya bahan bakar. Selain itu, dengan teknologi tersebut juga

dapat membantu untuk pemantauan suhu permukaan yang menjadi salah satu faktor

pendukung terjadinya kebakaran hutan. Pemanfaatan teknologi SIG dalam pembuatan

Peta Rawan Kebakaran Hutan merupakan hasil dari proses analisis spasial yang tersusun

dari peta bahaya kebakaran hutan dan peta pemicu kebakaran hutan. Peta bahaya

kebakaran didasarkan pada data cuaca, kondisi geografis, dan jenis vegetasi, sehingga

lebih berhubungan dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran. Sedangkan peta pemicu

kebakaran merupakan peta interaksi sosial dari budaya manusia terhadap alam

(lingkungannya) yang berkemungkinan dapat menimbulkan api akibat dari interaksi

manusia tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi belum dimanfaatkan

secara optimal di Taman Nasional Baluran untuk mengetahui lokasi hutan yang

berpotensi terjadi kebakaran hutan. selain itu, tersedianya data penginderaan jauh serta

data-data spasial di Taman Nasional Baluran masih berupa data lama yang belum

dilakukannya pembaruan data.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui sebaran potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Baluran

Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur tahun 2013.

3

1.4 MANFAAT

1. Sebagai gambaran untuk kewaspadaan kawasan hutan yang masuk dalam zona tingkat

kerawanan kebakaran hutan dengan tingkatan kerawanan tinggi.

2. Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dapat digunakan untuk

pemantauan secara rutin pada kawasan hutan yang berpotensi terjadi kebakaran hutan.

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

1.5.1 PENGINDERAAN JAUH

Penginderaan jauh ialah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang

obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang telah diperoleh dengan

menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang

dikaji (Sutanto, 1986). Alat yang dimaksud ialah alat pengindera atau sensor. Pada

umumnya sensor dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang,

satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lainnya. Hasil dari perekaman sensor tersebut

berupa data penginderaan jauh. Data harus diterjemahkan menjadi informasi tentang

obyek, daerah atau gejala yang diindera. Proses dari penenrjemahan data menjadi

informasi tersebut disebut dengan analisis atau interpretasi data.

Komponen atau parameter yang terdapat dalam penginderaan jauh meliputi

beberapa hal di bawah ini :

a. Sumber Tenaga

Terdapat dua macam sumber tenaga yang digunakan dalam penginderaan

jauh.Kedua sumber tenaga tersebut meliputi sumber tenaga aktif dan sumber tenaga

pasif. Sumber tenaga pasif diperoleh secara alami oleh sensor, sebagai contoh

tenaga yang berasal dari sinar matahari, emisi/pancaran suhu benda-benda

permukaan bumi.Sumber tenaga dari matahari mencapai bumi dipengaruhi oleh

waktu (jam, musim), lokasi dan kondisi cuaca.Kedudukan matahari terhadap tempat

di bumi berubah sesuai dengan perubahan musim. Pada musim di saat matahari

berada tegak lurus di atas suatu tempat, jumlah tenaga yang diterima lebih besar

diterima dibandingkan dengan pada musim lain di saat kedudukanya condong

terhadap tempat itu. Tempat-tempat di ekuator menerima tenaga lebih banyak di

bandingkan dengan tempat-tempat di lintang tinggi. Untuk waktu dan letak yang

sama, jumlah sinar yang mencapai bumi dapat berbeda bila kondisi cuaca berbeda.

4

Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap dan awan, maka akan semakin sedikit

tenaga yang dapat mencapai bumi. Sedangkan sumber tenaga aktif ialah sensor

secara aktif menyediakan energi sendiri dengan mengeluarkan sinyal terhadap

obyek.Tenaga yang datang diterima oleh sensor dapat berupa tenaga pantulan

maupun tenaga pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi.

b. Atmosfer

Amosfer membatasi bagian spektrum elektromagnetik yang dapat digunakan dalam

penginderaan jauh. Pengaruh tersebut merupakan fungsi panjang gelombang yang

bersifat selektif.

c. Interaksi antara Tenaga dan Obyek

Tiap obyek memiliki karakteristik tertentu dalam memantulkan atau memancarkan

tenaga ke sensor. Pengenalan obyek dilakukan dengan mengamati karakteristik

spektral obyek terhadap masing-masing panjang gelombang yang digunakan yang

tergambar pada citra.

d. Sensor

Tenaga yang datang dari obyek di permukaan bumi diterima dan direkam oleh

sensor.Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum

elektromagnetik.Kemampuan sensor untuk menyajikan gambaran obyek terkecil

disebut resolusi spasial yang menunjukkan kualitas sensor.

e. Perolehan Data

Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yaitu dengan interpretasi

visual, dan dapat pula secara digital yaitu dengan menggunakan komputer.

f. Pengguna Data

Pengguna data merupakan komponen penting dalam penginderaan jauh. Kerincian

dan kesesuaiannya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan diterima

tidaknya data penginderaan jauh oleh para penggunanya.

Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan citra

Landsat 8 serta dalam pengolahannya menggunakan salah satu software atau piranti

lunak untuk pengolahan citra yaitu Envi 4.5. Dimana citra satelit serta software

pengolahan citra tersebut mempunyai spesifikasi sebagai berikut:

5

1.5.1.1 CITRA LANDSAT 8

Satelit Landsat-8 diluncurkan oleh NASA pada tanggal 11 Februari 2013

bertempat di Vandenberg Air Force Base, California. Satelit dengan resolusi

radiometrik 16 bit ini terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi yang

mampu mengorbit bumi setiap 99 menit dan merekam daerah yang sama setiap 16 hari

(resolusi temporal). Landsat 8 memiliki area scan seluas 170 km x 183 km.

Dibandingkan dengan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki beberapa

keunggulan khususnya terkait spesifikasi band yang dimiliki maupun panjang rentang

spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Sebagaimana telah diketahui,

warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue (RGB).

Dengan makin banyaknya band sebagai penyusun RGB komposit, maka warna-warna

obyek menjadi lebih bervariasi. Hal ini di karenakan Landsat 8 memiliki sensor

Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan

jumlah kanal sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9)

berada pada OLI dan 2 lainnya ( band 10 dan 11 ) pada TIRS.

Tabel 1.1 Spesifikasi Band pada Citra Landsat 8

Bands Wavelength

(micrometers)

Resolution

(meters)

Band 1 – Coastal aerosol 0,43 – 0,45 30

Band 2 – Blue 0,45 – 0,51 30

Band 3 – Green 0,53 – 0,59 30

Band 4 – Red 0,64 – 0,67 30

Band 5 – Near Infrared (NIR) 0,85 – 0,88 30

Band 6 – SWIR 1 1,57 – 1,65 30

Band 7 – SWIR 2 2,11 – 2,29 30

Band 8 – Panchromatic 0,50 – 0,68 15

Band 9 - Cirrus 1,36 – 1,38 30

Band 10 – Thermal Infrared (TIRS) 1 10,60 – 11,19 100

Band 11 – Thermal Infrared (TIRS) 2 11,50 – 12,51 100

6

1.5.1.2 PIRANTI LUNAK ENVI 4.5

ENVI (The Environment For Visualizing Images) merupakan suatu image

processing system yang revolusioner yang dibuat oleh Research System, Inc (RSI).

Dari permulaannya ENVI dirancang untuk kebutuhan yang banyak dan spesifik untuk

mereka yang secara teratur menggunakan data penginderaan jauh dari satelit dan

pesawat terbang. ENVI menyediakan data visualisasi yang menyuluruh dan analisis

untuk citra dalam berbagai ukuran dan tipe, semuanya dalam suatu lingkungan yang

mudah dioperasikan dan inovatif untuk digunakan. ENVI menggunakan Graphical

User Interface (GUI). ENVI menggunakan format data raster dan Ascii (text) sebagai

header file. Data raster disimpan sebagai 'binary stream of bytes' berupa format Band

Sequential (BSQ), Band Interleaved by Pixel (BIP) dan Band Interleaved by Line

(BIL). ENVI juga mendukung berbagai tipe format lainnya seperti : byte, integer, long

integer, floating-point, double-precision, complex dan double-precision complex.

ENVI memiliki tiga jendela utama yaitu The Main Display Window yaitu untuk

menampilkan semua tampilan citra dalarn full resolution yang dibatasi oleh kotak

pada scroll, The Scroll Window yaitu untuk menampilkan seluruh citra pada file, dan

The Zoom Window yaitu untuk menampilkan perbesaran dari main display window

yang dibatasi oleh kotak pada window.

1.5.2 SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

SIG ialah suatu sistem yang tersusun dari tahapan input, proses, dan output

dimana dalam pengoprasiaannya menggunakan komputer serta seluruh datanya

memiliki koordinat agar sesuai posisi realita di lapangan. Input dalam SIG merupakan

data yang menjadi bahan untuk tahap pemrosesan. Dimana data dalam SIG berupa

data vektor yang terbagi menjadi tiga macam yaitu: point, line, dan polygon. Data

point berfungsi untuk menunjukkan lokasi atau objek dalam bentuk titik seperti objek

pasar, sekolah, tempat wisata dan lain-lain. Selanjutnya untuk data line berfungsi

untuk menggambarkan objek dalam bentuk garis seperti contoh: sungai, jalan, kontur,

dan lain-lain. Sedangkan untuk data polygon berfungsi untuk menggambarkan objek

dalam bentuk area yang memiliki informasi luasan dan keliling seperti contoh:

permukiman, kawasan hutan, persawahan, dan lain-lain. Tahap pemrosesan pada SIG

merupakan tahap pengolahan data untuk mencapai tujuan dari aplikasi SIG itu sendiri.

7

Dalam tahap ini data diolah menggunakan berbagai macam tool seperti: overlay,

buffer, merge, dissolve, dan lainnya. Tahap terakhir dalam SIG ialah output yang

merupakan tahap dalam penyajian peta. Dimana seluruh hasil pada tahap pemrosesan

disajikan semenarik mungkin sesuai dengan ilmu kartografi untuk di jadikan sebuah

peta yang memiliki informasi agar dapat mempermudah pembaca peta dalam mencari

informasi. Dalam penelitian ini menggunakan salah satu software SIG dari ESRI yaitu

Arcgis 10.1 untuk pengolahan data spasial agar menjadi sebuah peta. Dimana

spesifikasi dari software atau piranti lunak tersebut tertera sebagai berikut:

1.5.2.1 PIRANTI LUNAK ARCGIS DEKSTOP

ArcGIS 10.1 mulai dirilis oleh Esri pada awal tahun 2012 dengan bertemakan

Sharing and Collaboration, dimana pengguna akan menemukan bahwa versi ini akan

lebih memudahkan untuk analisis geospasial dan pemetaan pada lebih banyak

pengguna tanpa pengguna tersebut harus ahli dalam GIS. ArcGIS merupakan Software

pengolah data spasial yang mampu mendukung berbagai format data gabungan dari

tiga software yaitu ArcInfo, ArcView dan ArcEdit yang mempunyai kemampuan

komplet dalam geoprocessing, modelling dan scripting serta mudah diaplikasikan

dalam berbagai type data. Dekstop ArcGis terdiri dari 4 modul yaitu Arc Map, Arc

Catalog, Arc Globe, dan Arc Toolbox dan model bolder.

a. Arc Map mempunyai fungsi untuk menampilkan peta untuk proses, analisis peta,

proses editing peta, dan juga dapat digunakan untuk mendesain secara kartografis.

b. Arc Catalog digunakan untuk management data atau mengatur managemen file –

file, jika dalam Windows fungsinya sama dengan explor.

c. Arc Globe dapat digunakan untuk data yang terkait dengan data yang universal,

untuk tampilan 3D, dan juga dapat digunkan untuk menampilkan geogle earth.

d. Model Boolder digunakan untuk membuat model boolder / diagram alur.

e. Arc Toolbox digunakan untuk menampilkan tools – tools tambahan.

1.5.3 KONSEP RISIKO BENCANA

Berdasarkan dari UU No. 24 Tahun 2007, bencana dapat didefinisikan sebagai

peristiwa atau rangkain dari peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

serta penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor

8

non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana sering dianggap sebagai sesuatu yang sulit untuk dihindari, sehingga bentuk

penanggulangan yang dapat dilakukan adalah berupa tindakan pertolongan segera

mungkin. Perkembangan dari suatu pemahaman dan pengetahuan tentang bencana

kemudian memunculkan paradigma baru penanggulangan bencana, yaitu mitigasi

bencana. Dalam paradigma mitigasi, fokus perhatian terhadap penanggulangan

bencana adalah pada pengurangan tingkat ancaman, intensitas dan frekuensi bencana,

sehingga kerugian, kerusakan, dan korban jiwa dapat dikurangi (UNDP. 2004).

Contoh-contoh bentuk mitigasi antara lain pembangunan infrastruktur pencegah

bencana, perencanaan tata ruang dan sebagainya. Upaya mitigasi juga seringkali tidak

ampuh karena bencana sering terjadi pada magnitudo yang tidak dapat ditangkal oleh

produk-produk mitigasi. Perkembangan-perkembangan tersebut kemudian

memunculkan paradigma baru yaitu pengurangan risiko bencana (Pine, 2009; van

Westen, 2009a).

Risiko adalah sesuatu yang belum terjadi dan usaha proyeksi masa depan.

Terdapat dua kemungkinan dalam menghadapi risiko, yaitu menguranginya atau

menghilangkannya sama sekali (GTZ, 2004). Risiko merupakan penetapan sesuatu

yang prosprektif dan khayal, dan dengan demikian berarti adalah ketidakpastian. Efek

dari bahaya alam pada benda atau orang-orang dari daerah tertentu merupakan

hubungan timbal balik yang kompleks dan memiliki efek domino. Risiko bencana

merupakan fungsi dari kerawanan (hazard) dan kerentanan (vulnerability), dan elemen

yang berisiko (element at risk). UNDP (2004), GTZ (2004), dan Smith dan Petley

(2008) mendefinisikan struktur konseptual risiko sebagai berikut:

Risiko = ( Bahaya × Kerentanan ) × Elemen yang Berisiko

Bahaya adalah suatu kejadian fenomena alam yang dapat menyebabkan

kehilangan nyawa atau kerusakan bagi objek, gedung, atau lingkungan (GTZ, 2004).

Pengukuran dan penentuan bahaya didasarkan pada tipe, kekuatan, dan tingkat

frekunsi kejadiannya. Bahaya dan kerentanan secara serentak harus hadir di lokasi

yang sama menimbulkan risiko, yang kemungkinan menjadi bencana jika hal tersebut

benar-benar terjadi. Kerentanan terhadap jenis bahaya tertentu bervariasi bergantung

pada konteksnya: misalnya, pada suatu kawasan hutan kerentanan muncul pada jenis

9

penutup lahan yang mudah terbakar serta kondisi suhu yang mendukung dalam proses

pengeringan dari bahan bakar kondisi inilah yang dapat menyebabkan terjadinya

kebakaran hutan. Menurut Van Westen dan Kingma (2009) konsep kerentanan

memiliki cakupan interpretasi yang cukup luas, yang awalnya bermula dari respon

disiplin ilmu sosial terhadap ilmu risiko bencana di tahun 1970-an. Dari berbagai

definisi kerentanan, van Westen dan Kingma (2009) kemudian menyusun sifat umum

dari kerentanan itu sendiri, yaitu:

a. Multi-dimensional, artinya kerentanan dpengaruhi oleh berbagai faktor seperti

fisik, sosial, lingkungan, institusi, dan manusia.

b. Dinamis, artinya kerentanan dapat berubah seiring waktu.

c. Bergantung skala, artinya bahwa kerentanan dapat diekspresikan pada skala yang

berbeda.

d. Spesifik-lokasi, artinya setiap lokasi memiliki pendekatan yang berbeda-beda.

UN-ISDR (2004) menyebutkan terdapat empat jenis kerentanan yang idealnya

menjadi risiko total suatu bahaya, yaitu kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan

lingkungan. Pada kenyataannya aspek kerentanan adalah aspek yang banyak

dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat melalui tingkat kesadaran dan kesiapan

akan bencana alam. Kerentanan dapat dinilai dengan menghitung potensi kerugian

akibat peristiwa alam. Dikarenakan potensi kerugian dari bencana memiliki cakupan

yang luas, maka perhitungannya secara kuantitatif dapat terfokus kepada suatu objek

tertentu, yang disebut sebagai elemen yang berisiko (GTZ, 2004). Menurut Van

Westen (2009) menjelaskan bahwa elemen yang berisiko ialah semua objek (manusia,

binatang, aktivitas, dan proses) yang dapat terkena dampak negatif dari fenomena

yang berbahaya di suatu tempat tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam hal ini termasuk pula bangunan, fasilitas, populasi, peternakan, aktivitas

ekonomis, jasa pelayanan publik, dan lingkungan.

1.5.4 PETA ZONASI TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN

Merupakan peta dalam bentuk area yang menyajikan lokasi dari kawasan hutan

pada suatu daerah yang rawan akan kebakaran hutan. Dimana peta disajikan dalam

tingkatan kerawanan berdasarkan gradasi warna yang menyampaikan informasi

kerawanan akan kebakaran hutan. Peta tersebut tersusun dalam 2 (dua) informasi peta

atau hasil dari overlay (gabungan) peta bahaya kebakaran dan peta pemicu kebakaran.

10

Peta bahaya kebakaran sendiri berfungsi untuk menunjukkan rawannya kawasan hutan

untuk terjadi kebakaran hutan secara alami. Dan hal tersebut dapat memicu terjadinya

kebakaran hutan akibat interaksi manusia dengan hutan yang di informasikan pada

peta pemicu kebakaran.

1.5.5 PETA BAHAYA KEBAKARAN

Merupakan peta yang menunjukan wilayah dari kawasan hutan pada suatu

daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran. Pada peta ini lebih mendasarkan pada

tingkat bahaya kebakaran hutan secara alami yang terjadi akibat dari kondisi iklim,

topografi, dan jenis dari penutup lahannya. Sehingga dalam pemilihan parameter

penyusun peta tersebut haruslah disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Dalam

penelitian ini parameter penyusun peta bahaya kebakaran hutan meliputi : Curah

Hujan, Hotspot dalam bentuk area, Kemiringan lereng, Jarak sumber air terhadap

kawasan hutan, dan Jenis penggunaan lahan.

1.5.6 CURAH HUJAN

Curah hujan pada suatu wilayah berpengaruh pada tingkat kekeringan di suatu

wilayah tersebut. Sehingga akan meningkatkan tingkat dari bahaya kebakaran hutan di

wilayah tersebut. Hal ini disebabkan oleh peningkatan dari bahan bakar atau bahan

yang mudah terbakar seperti dedaunan yang telah kering serta penurunan dari kadar air

yang berdampak pada penurunan dari kelembaban hutan. Pada penelitian ini data

curah hujan pada suatu wilayah akan diklasifikasikan berdasarkan curah hujan tahunan

serta diberikan nilai skoring pada tiap kelasnya. Dimana untuk parameter curah hujan

sendiri diberikan bobot sebesar 30. Pemberian bobot tersebut didasarkan pada analisis

parameter curah hujan yang mempengaruhi pada tingkat kelembaban hutan. Sehingga

tinggi rendahnya dari curah hujan tersebut akan berpengaruh pada kondisi kandungan

air pada penutup lahan atau bahan bakar. Pemberian bobot untuk parameter curah

hujan ini masuk pada tingkat besarnya bobot pada urutan ke pertama dari seluruh

parameter penyusun peta rawan kebakaran hutan. Hal tersebut dikarenakan curah

hujan memegang peranan penting untuk ketersediaanya kandungan air pada penutup

lahan yang menjadi faktor penghambat dalam terjadinya kebakaran hutan.

11

Tabel 1.2 Pengharkatan Curah Hujan Tahunan Tahun 2010

Curah Hujan Klasifikasi Skor Bobot

< 1250 mm/thn Sangat Rendah 5

30

1251 - 1500 mm/th Rendah 4

1501 – 1750 mm/th Sedang 3

1751 – 2000 mm/th Tinggi 2

< 2001 mm/th Sangat Tinggi 1

Sumber: Puspitasari (2011)

1.5.7 SUHU

Tinggi rendahnya suhu temperatur di permukaan bumi sangat mempengaruhi

tingkat dari bahaya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan dengan meningkatnya suhu

dipermukaan bumi yang didukung dengan kondisi curah hujan yang rendah pada suatu

wilayah, maka bahan bakar akan mudah untuk terbakar. Dengan kata lain suhu dapat

mendukung sumber api secara alami yang diakibatkan oleh gesekan dari ranting

kering yang nantinya akan menyulut bahan bakar. Suhu sendiri dalam penelitian ini

diperoleh dari pengolahan Citra Landsat 8 saluran 10 dan 11 yang merupakan salauran

untuk sensor TIR (Thermal Infra Red). Citra tersebut selanjutnya akan diolah

menggunakan software Envi 4.5 dengan menggunakan metode single band. Dalam

proses pengolahannya untuk dapat memperoleh informasi suhu di perlukan

perhitungan secara matematis dengan menggunakan rumus algoritma untuk jenis Citra

Landsat 8. Dimana untuk rumus dari algoritma tersebut seperti berikut ini :

Rumus Konversi Nilai Pixel ke TOA ( Top of Atmosphere ) Radian

Lλ = MLQcal + AL

Dimana :

Lλ = TOA spectral radiance ( watts/( m2 × srad × µm )

ML = Band-specific multiplicative rescaling factor ( from the

metadata )

Qcal = Digital Number ( DN )

AL = Band-specific additive rescaling factor ( from the

metadata )

12

Rumus Konversi Nilai Radian ke Brightness Temperature

Dimana :

T = Brightness Temperature ( K )

Lλ = TOA spectral radiance ( watts/( m2 × srad × µm )

K1 = Band-specific thermal conversion constant ( from the metadata )

K2 = Band-specific thermal conversion constant ( from the metadata )

Selanjutnya hasil pada nilai suhu tersebut karena masih dalam satuan Kelvin

maka diubah terlebih dahulu menjadi Celcius sebelum dilakukan skoring. Pada

paramer suhu ini dalam analis tinggi rendahnya pengaruh suhu terhadap kebakaran

hutan diberikan bobot sebesar 15. Dimana klasifikasi suhu tersebut tertera pada tabel

berikut :

Tabel 1.3 Pengharkatan Suhu dalam Celcius

No Suhu ( oC ) Kelas Kerawanan Skor Bobot

1 < 25 Rendah 1

15 2 25 – 30 Sedang 2

3 > 30 Tinggi 3

Sumber : Lembaga Penerbangan dan Antariksa ( LAPAN )

1.5.8 JENIS PENUTUP LAHAN

Komponen utama dari bahaya kebakaran hutan ialah jenis penutup lahan. Hal

ini dikarenakan tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar tersebut berasal dari

penutup lahan seperti contoh: Pohon Jati yang sedang meranggas karena pengaruh

suhu dan curah hujan akan menggugurkan daunnya, daun tersebut akan mengering dan

menjadi bahan bakar yang akan mudah terbakar bila tersulut api. Berbeda dengan

penutup lahan yang hanya sebatas tanah terbuka yang tidak menghasilkan bahan bakar

maka sangat rendah akan potensi bahaya kebakaran. Oleh sebab itulah pada tiap jenis

penutup lahan diberikan nilai atau skor sesuai dengan bahayanya terhadap kebakaran

hutan. Pemberian skor tersebut selanjutnya diberikan pembobotan sebesar 25. Hal ini

dikarenakan penutup lahan akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan kerawanan

13

kebakaran hutan yang didukung oleh curah hujan yang rendah. Klasifikasi untuk jenis

penutup lahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.4 Pengharkatan Jenis Penutup Lahan

Tipe Vegetasi atau Penutupan Lahan Skor Bobot

Belukar

Savanna

Hutan Tanaman

Permukiman/Transmigrasi

Belukar rawa

Hutan lahan kering sekunder

Pertanian Kering campur semak

Hutan Rawa Sekunder

Perkebunan

Hutan Rawa Sekunder

Hutan Lahan Kering Primer

Hutan Rawa Primer

Pertanian Lahan Kering

Hutan Mangrove Sekunder

Hutan Mangrove Primer

Pertambangan

Tanah Terbuka

Tambak

7

7

7

7

6

6

6

5

5

5

4

4

3

3

2

2

1

0

25

1.5.9 KEMIRINGAN LERENG

Bahaya kebakaran hutan pada suatu kawasan hutan juga dipengaruhi oleh adanya

angin yang dapat memperluas area kebakaran. Dimana cepat lambatnya penyebaran

api tergantung dari kecapatan angin tersebut. Selain itu, angin juga dapat

membesarkan titik api sehingga dapat meluas secara cepat untuk membakar bahan

bakar. Dalam penelitian ini besarnya kecapatan angin ditentukan dari ketinggian

tempat atau kemiringan lereng. Hal ini dikarenakan semakin tinggi ketinggian tempat,

semakin rendah pula angin yang bertiup hal ini disebabkan oleh pengaruh gaya

gesekan yang menghambat laju udara. Adanya gunung, pohon, dan topografi yang

tidak rata memberikan gaya gesekan yang besar pada pergerakan angin. Gaya gesekan

Sumber: Ruecker (2002), Barus dan Gandasasmita (1996), dan Hoffman

(2000) dengan Perubahan

14

tersebutlah yang menyebabkan angin mengalami penurunan kecepatan. Daerah yang

memiliki topografi yang tinggi pastilah memiliki gaya gesekan yang tinggi apabila

dibandingkan dengan daerah yang memiliki topogrifi rendah. Selain itu, diwilayah TN

Baluran sangat dekat dengan lautan yang berada pada arah utara dan timur dari

kawasan hutan tersebut. Hal ini menambah tingkat kecepatan angin didaerah yang

datar di TN Baluran.

Apabila terdapat titik api di daerah yang datar maka api akan semakin cepat

membesar akibat kencangnya tiupan angin yang berasal dari lautan disekitar TN

Baluran tersebut. Pada penelitian ini data kemiringan lereng diperoleh dari Citra

SRTM yang diolah dengan menggunakan metode Slope dan selanjutnya diberikan

pengharkatan atau skoring serta diberikan bobot sebesar 10 seperti pada tabel berikut:

Tabel 1.5 Pengharkatan Kemiringan Lereng

No Kemiringan Lereng(%) Kelas Kerawanan Skor Bobot

1 0 – 8 Sangat Tinggi 5

10

2 8 – 15 Tinggi 4

3 16 – 25 Sedang 3

4 26 – 40 Rendah 2

5 >40 Sangat Rendah 1

Sumber: SK Dirjen RRL No: 041/Kpts/V/1998 Tentang Kriteria Lahan Menggunakan Aspek

Spasial

1.5.10 JARAK SUMBER AIR

Fungsi sumber air dalam kebakaran hutan berkaitan dengan ketersediaan air untuk

pemadaman kebakaran hutan. Dimana semakin jauh jarak hutan dengan sumber air

maka semakin rawan terjadi kebakaran hutan dan sebaliknya. Sehingga walaupun

hutan masuk dalam zona bahaya kebakaran tinggi dengan jarak hutan dengan sungai

tersebut dekat maka akan mempermudah dalam pemadaman kebakaran hutan sebelum

meluas. Selain itu, dengan adanya sumber air ini di dalam hutan akan mempercepat

mobil pemadam kebakaran milik Polisi Hutan dalam pengisian air tanpa harus mengisi

di resort tempat mobil di parkir. Sehingga pemadaman kebakaran hutan dapat

dilakukan secara cepat. Serta dengan adanya sumber air tersebut juga dapat digunakan

sebagai langkah pertama atau tindakan pertama dalam pemadaman kebakaran hutan

sebelum mobil pemadam kebakaran datang. Dalam penelitian ini jarak sumber air di

tentukan dengan menggunakan analisis Buffer selanjutnya tiap kelas jarak di berikan

15

nilai atau skoring serta diberikan bobot sebesar 5. Dimana skor tertinggi untuk jarak

sumber air yang jauh dengan hutan dan sebaliknya seperti tabel berikut :

Tabel 1.6 Pengharkatan Sumber Air

No Buffer Sumber Air (m) Kelas Kerawanan Skor Bobot

1 0 – 150 Rendah 1

5 2 150 – 300 Sedang 2

3 > 300 Tinggi 3

Sumber : Balai Konserfasi Sumber Daya Alam Wilayah Kabupaten Bantul

1.5.11 PETA PEMICU KEBAKARAN HUTAN

Merupakan peta yang menyajikan informasi faktor pemicu kebakaran hutan yang

disebabkan oleh interaksi budaya manusia dengan alam. Atau dengan kata lain

kebakaran hutan yang di akibatkan oleh kelalaian manusia baik yang di sengaja

maupun yang tidak. Dalam penyusunannya peta tersebut tersusun dari parameter:

Jarak permukiman dengan hutan dan Jarak jalan terhadap hutan. Namun, dikarenakan

Kawasan Taman Nasional Baluran tidak terdapat permukiman sehingga dalam

penyusunan peta pemicu kebakaran hutan hanya menggunakan satu parameter saja

yaitu jarak jalan terhadap hutan.

1.5.12 JARAK JALAN

Jarak jalan terhadap hutan dalam pengaruhnya terhadap kebakaran hutan hampir

sama dengan jarak permukiman terhadap hutan. Hal ini dikarenakan dengan dekatnya

jarak jalan terhadap hutan maka akses menuju hutan disekitar jalan pun juga akan

sering. Sehingga tindakan ceroboh ketika sedang berkendara seperti membuang

puntung rokok diluar area jalan (hutan di sekitar jalan) akan memicu timbulnya api

yang berakhir dengan kebakaran hutan. Selain itu, dengan adanya akses jalan tersebut

dapat mempermudah masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan hutan. Interaksi

tersebut dapat berdampak buruk akibat dari kelalaian masyarakat yang menyebabkan

timbulnya api sebagai pemicu kebakaran hutan. Seperti yang terjadi pada tanggal 14

Juli 2012 kebakaran hutan melanda Taman Nasional Baluran. Kebakaran tersebut

disinyalir akibat dari warga yang kerap membuang puntung rokok sembarangan ketika

sedang merumput atau sedang melintasi jalan di sekitar TN Baluran. Sehingga dalam

penelitian ini jarak jalan terhadap hutan dipilih untuk menjadi parameter pemicu

16

kebakaran hutan. Dalam pengolahan datanya jarak jalan diperoleh dari hasil analisis

Buffer yang selanjutnya jarak jalan mulai untuk dikelaskan. Tiap kelas jarak

selanjutnya diberi nilai atau skor sesuai dengan jauh dekatnya jarak jalan terhadap

hutan serta selanjutnya diberikan bobot sebesar 20. Dimana skor tertinggi untuk jarak

jalan yang dekat dengan hutan dan sebaliknya.

Tabel 1.7 Pengharkatan Jarak Jalan

No Buffer Jarak Jalan ( m ) Kelas Kerawanan Skor Bobot

1 0 – 500 Tinggi 3

20 2 500 – 1000 Sedang 2

3 > 1000 Rendah 1

Sumber: Arianti ( 2006 )

1.6 KERANGKA PEMIKIRAN

Peta rawan kebakaran hutan tersusun dari peta bahaya kebakaran hutan dan peta

pemicu kebakaran hutan. Dimana peta bahaya kebaran hutan menunjukan kondisi alami

pada suatu kawasan hutan akan tingkat bahaya kebakaran hutan secara alami. Sedangkan

peta pemicu kebakaran hutan menunjukan tingkat tinggi rendahnya interaksi manusia

dengan hutan yang dapat menyebabkan kebakaran hutan akibat dari kegitannya di sekitar

kawasan hutan. Sehingga apabila suatu kawasan hutan memiliki tingkat bahaya hutan

yang tinggi dan memiliki tingkat pemicu kebakaran yang tinggi maka kawasan hutan

tersebut sangatlah rawan akan terjadinya kebakaran hutan. Peta bahaya kebakaran hutan

tersusun dari parameter: suhu, curah hujan, jenis penutup lahan, jarak sumber air dengan

hutan, dan kemiringan lereng. Sedangkan peta pemicu kebakaran tersusun dari parameter

jarak jalan terhadap hutan. Dalam proses pengolahan peta rawan kebakaran hutan seluruh

data terlebih dahulu di potong sesui dengan batas wilayah penelitian yaitu TN Baluran.

Selanjutnya menentukan suhu di kawasan TN Baluran dengan menggunakan citra landsat

8 band 10 dan 11 saluran thermal. Dalam pengolahannya citra landsat 8 yang masih

dalam bentuk nilai pixel di ubah terlebih dahulu menjadi nilai radian dengan

menggunakan rumus Lλ = MLQcal + AL. Kemudian barulah hasil dari pengubahan nilai

radian tersebut di konversi untuk memperoleh nilai suhu dengan rumus

.

Dikarenakan hasil perolehan suhu masih dalam satuan Kelvin maka hasil dikonversi

terlebih dahulu untuk menjadi satuan Celcius sebelum di lakukan proses skoring.

Menentukan besar kemiringan lereng dengan menggunakan Citra SRTM yang diolah

17

dengan menggunakan slope untuk memperoleh besaran kimirangan lereng dalam satuan

persen. Selanjutnya dari hasil tersebut dilakukan reclassify untuk membuat kelas baru

pada kemiringan lereng sesuai dengan kelas kemiringan yang diharapkan barulah pada

tahap terakhhir pemberian nilai skor tiap nilai kemiringan lereng tersebut. Pada tahap

selanjutnya jarak sumber air dan jalan terhadap hutan di tentukan dengan menggunakan

buffer analysist. Dimana jarak yang dipakai sesuai dengan tabel klasifikasi tiap parameter

dengan satuan meter. Setelah hasil buffer tersebut selesai barulah hasil jarak sumber air

dan jarak jalan terhadap hutan diberikan nilai skor atau skoring sesuai dengan kriterianya

masing-masing. Kemudian untuk curah hujan dan jenis penutup lahan karena data

berjenis data sekunder maka data tersebut langsung di berikan nilai harkat atau skoring.

Namun, khusus untuk data jenis penutup lahan akan didukung dengan data lapangan di

TN Baluran untuk memberikan data yang up to date serta data yang valid. Selanjutnya

seluruh data yang telah memiliki nilai harkat akan di overlay dengan menggunakan

metode Intersect dan selanjutnya di kelaskan menjadi kelas rendah, sedang, dan tinggi

berdasarkan jumlah total nilai harkat tersebut. Barulah pada tahap terakhir dilakukan

layout peta secara kartografi untuk memperoleh hasil peta yang menarik dan mudah

untuk di pahami akan kandungan informasi pada peta tersebut.

18

Curah Hujan

tahun 2010

Citra SRTM daerah

TN Baluran

Sumber Air ( sungai

& batas pantai )

Data Penutup

Lahan tahun 2011

Citra Landsat 8 saluran

thermal th 2013

Slope Buffer Survei Lapangan Konversi ke Radian

Lλ = MLQcal + AL

Clip / Potong berdasarkan batas kawasan Taman Nasional Baluran

Skoring

Overlay (Intersect)

Jalan

Buffer

Skoring

Clip / Potong berdasarkan batas kawasan Taman Nasional Baluran

Peta Bahaya

Kebakaran

Peta Pemicu

Kebakaran

Peta Zonasi Tingkat

Kerawanan Kebakaran

Hutan Kab Bondowoso

dan Situbondo

Reclassify Konversi ke Suhu

𝑇 𝐾

𝑙𝑛 𝐾 𝐿λ

Gambar 1.1 Diagram Alir Penelitian

19

1.7 BATASAN ISTILAH

a. Bahan Bakar adalah bagian pada tumbuhan yang telah mengering menjadi bahan

organik yang mudah terbakar apabila tersulut api.

b. Brightness Temperature adalah tingkat kecerahan pada citra TIR atau Thermal Infra

Red yang menggambarkan informasi nilai suhu.

c. Buffer adalah metode analisis pada software GIS yang berfungsi untuk mengidentifikasi

jarak dalam bentuk area.

d. Dissolve adalah metode analisis pada software GIS yang berfungsi untuk

menyederhanakan attribute table pada suatu data spatial.

e. Kerawanan adalah suatu keadaan rawan yang pasti memiliki ancaman atau gangguan baik

yang berasal dari faktor alam, faktor non alam, dan faktor sosial sehingga mengakibatkan

korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis.

f. Kerentanan adalah suatu kondisi atau kharakteristik geologis, biologis, klimatologis,

geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka

waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam mencapai kesiapan, dan

mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya (Bappenas, 2008).

g. Landsat 8 adalah citra generasi baru dari satelit Landsat dengan 11 band yang telah

diluncurkan oleh NASA sebagai penerus misi dari Landsat 7.

h. Merge adalah metode analisis pada software GIS yang berfungsi untuk menggabungkan

dua obyek spatial menjadi satu.

i. Radian adalah nilai matematis dari hasil pengubahan nilai pixel pada data raster.

j. Rawan adalah suatu kondisi yang dapat berpotensi terjadi gangguan atau bahaya.

k. Reclassify adalah tool yang berada pada software GIS yang berfungsi untuk

memberikan klasifikasi ulang atau klasifikasi baru.

l. Rentan adalah kondisi yang mudah untuk menyebabkan gangguan atau bahaya apabila

terpicu oleh suatu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan atau bahaya tersebut.

m. Single band adalah metode dalam menampilkan nilai suhu pada citra TIR yang hanya

menggunakan satu band pada citra TIR tersebut.

n. TN Baluran adalah salah satu Taman Nasional di Indonesia yang terletak di Kecamatan

Banyuputih Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur yang di tetapkan sebagai

Kawasan Taman Nasional pada tanggal 23 Mei 1997 berdasarkan SK Menteri Kehutanan

No. 279/Kpts.-VI/1997.

20

o. Overlay adalah penggabungan dua peta atau lebih yang berfungsi untuk mencari peta

analisi.

p. Peta Bahaya Kebakaran Hutan adalah peta yang menunjukan wilayah dari kawasan

hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran yang terjadi akibat

dari pengaruh faktor alam.

q. Peta Kerawanan Kebakaran Hutan adalah peta dalam bentuk area yang menyajikan

lokasi dari kawasan hutan pada suatu daerah yang rawan akan kebakaran hutan.

r. Peta Pemicu Kebakaran Hutan adalah peta yang menyajikan informasi faktor pemicu

kebakaran hutan yang disebabkan oleh interaksi budaya manusia terhadap hutan.