59
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi (PT) vokasi bertujuan agar mahasiswa mampu berbahasa Inggris dengan tepat (appropriately), yaitu tepat dari segi tata bahasa dan tepat dari segi konteks (Leech, 1983). Untuk mencapai tujuan tersebut, bahasa Inggris dimasukkan sebagai salah satu mata kuliah dalam kurikulum dengan jumlah kredit tertentu. Hal ini, diupayakan untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa akan pembelajaran bahasa Inggris yang cukup. Buku ajar bahasa Inggris dan alat bantu mengajar juga disiapkan oleh masing-masing dosen untuk menyelenggarakan pembelajaran. Selama periode perkuliahan, mahasiswa diajari bahasa Inggris yang menekankan pada keempat keahlian, yaitu berbicara (speaking), mendengar (listening), membaca (reading), dan menulis (writing). Selain diselenggarakan di kelas, pembelajaran bahasa Inggris juga dilakukan di laboratorium bahasa. Hasil analisis sekilas terhadap satuan acara perkuliahan (SAP) mata kuliah bahasa Inggris di Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi, menunjukkan bahwa waktu pembelajaran bahasa Inggris cukup memadai. Mereka diajari bahasa Inggris selama enam semester. Jumlah jam pembelajaran bahasa Inggris mereka berkisar antara empat sampai delapan jam per minggu. Sistem pembagian waktu pembelajaran bahasa Inggris di setiap kelas dikemas secara proporsional untuk mendukung penguasaan kompetensi wicara. Pembagian waktu tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · 20% untuk ranah kognitif, 60% untuk ranah psikomotorik, dan 20% untuk ranah ... bahasa Inggris empat belas orang lulusan Jurusan Pariwisata

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi (PT) vokasi bertujuan

agar mahasiswa mampu berbahasa Inggris dengan tepat (appropriately), yaitu

tepat dari segi tata bahasa dan tepat dari segi konteks (Leech, 1983). Untuk

mencapai tujuan tersebut, bahasa Inggris dimasukkan sebagai salah satu mata

kuliah dalam kurikulum dengan jumlah kredit tertentu. Hal ini, diupayakan untuk

mengakomodasi kebutuhan mahasiswa akan pembelajaran bahasa Inggris yang

cukup. Buku ajar bahasa Inggris dan alat bantu mengajar juga disiapkan oleh

masing-masing dosen untuk menyelenggarakan pembelajaran. Selama periode

perkuliahan, mahasiswa diajari bahasa Inggris yang menekankan pada keempat

keahlian, yaitu berbicara (speaking), mendengar (listening), membaca (reading),

dan menulis (writing). Selain diselenggarakan di kelas, pembelajaran bahasa

Inggris juga dilakukan di laboratorium bahasa.

Hasil analisis sekilas terhadap satuan acara perkuliahan (SAP) mata kuliah

bahasa Inggris di Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi, menunjukkan

bahwa waktu pembelajaran bahasa Inggris cukup memadai. Mereka diajari bahasa

Inggris selama enam semester. Jumlah jam pembelajaran bahasa Inggris mereka

berkisar antara empat sampai delapan jam per minggu. Sistem pembagian waktu

pembelajaran bahasa Inggris di setiap kelas dikemas secara proporsional untuk

mendukung penguasaan kompetensi wicara. Pembagian waktu tersebut adalah

2

20% untuk ranah kognitif, 60% untuk ranah psikomotorik, dan 20% untuk ranah

afektif. Pembelajaran bahasa Inggris dikemas dengan memadukan pengajaran

bahasa atau struktur dan fungsi-fungsi bahasa untuk memfasilitasi penggunaan

bahasa Inggris mahasiswa (Silabus Bahasa Inggris Program Studi D4 Pariwisata,

2015). Durasi dan pengalokasian waktu pembelajaran tertersebut, secara teoretis

seharusnya sangat mendukung penguasaan bahasa Inggris mahasiswa. Namun,

kenyataannya kemampuan bahasa Inggris lulusan masih belum memadai.

Satuan acara perkuliahan (SAP) juga dirancang untuk mendukung

peningkatan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa. Pengajaran teori dan

praktik dilakukan dengan pembagian waktu yang seimbang. Prosedur pengajaran

didisain dengan lengkap mulai dari membuka kelas hingga menutup kelas.

Teknik-teknik pembelajaran pada masing-masing sesi juga dibuat beragam,

seperti diskusi, ceramah, kerja perorangan, kerja kelompok, mempraktikkan

dialog dan demonstrasi di depan kelas. Alat bantu mengajar seperti buku, hand

out, komputer, dan internet juga digunakan (Satuan Acara Perkuliahan Jurusan

Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi, 2015). Semua rancangan tersebut juga

seharusnya sangat mendukung penguasaan bahasa Inggris mahasiswa.

Hasil pengamatan sekilas terhadap pembelajaran bahasa Inggris di

beberapa kelas Program Studi D4 Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi

menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa Inggris dilakukan dengan dua

pendekatan, yaitu nonkomunikatif dan komunikatif. Pendekatan nonkomunikatif

yang diimplementasikan pada saat pembelajaran tersebut adalah menulis narasi

dan mengerjakan latihan, sedangkan pendekatan komunikatif diimplementasikan

3

dengan mempraktikkan dialog atau model percakapan sesuai dengan buku paket,

mempraktikkan model percakapan tersebut ke dalam skup yang lebih luas, seperti

mengembangkan ide baru, berdiskusi secara berpasangan atau berkelompok, serta

mendemonstrasikan hasil diskusi atau dialog yang dipraktikan. Dalam

implementasinya, dosen belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran sesuai

dengan capaian yang digariskan oleh setiap bab. Dalam pembelajaran tersebut,

dosen mengembangkan materi pembelajaran terlalu luas sehingga terjadi

pembiasan dari tujuan yang digariskan. Di samping itu, pembagian waktu untuk

setiap aktivitas pembelajaran tampak tidak seimbang. Dosen menghabiskan waktu

yang cukup lama untuk membuka kelas, melakukan aktivitas elisitasi, dan

pemodelan. Walaupun pembelajaran berfokus lebih banyak pada aktivitas

komunikatif dan menyusupkan pengajaran tata bahasa (grammar) secara implisit,

tetapi durasi praktik berkomunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa masih

terbatas. Selain itu, walaupun dosen memberikan balikan sebelum pembelajaran

ditutup, umpan balik tersebut tidak bisa dilakukan secara optimal karena dosen

tidak bisa memantau aktivitas wicara mahasiswa secara optimal (Observasi

Pembelajaran di Kelas II B Program Studi D4 Pariwisata Perguruan Tinggi

Vokasi, 31 Maret 2015).

Respon para pimpinan hotel dan taman air (water park) di lingkungan

Kuta dan Nusa Dua menyatakan bahwa kompetensi bahasa Inggris para lulusan

Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi yang bekerja di empat perusahan

tersebut masih perlu tingkatkan, khususnya kompetensi wicara. Gambaran ini

diperoleh dari surve dan wawancara terhadap empat pimpinan perusahaan, yaitu

4

Sofitel, Awarta Nusa Dua, Waterbom, dan Kuta Town House tentang kompetensi

bahasa Inggris empat belas orang lulusan Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi

Vokasi. Dari hasil survei tersebut diperoleh gambaran bahwa kompetensi

komunikatif bahasa Inggris para karyawan tersebut masih rendah (Hasil

Wawancara dan Angket dengan para pimpinan hotel dan taman air di Kuta dan

Nusa Dua, Pebruari sampai Maret 2015). Mereka belum mampu memproduksi

ujaran-ujaran bahasa Inggris yang alamiah, kontekstual, dan situasional dengan

kaidah yang tepat. Data kuantitatif yang dirangkum dari pendapat para pimpinan

hotel dan taman air tersebut menunjukkan bahwa 25% dari keseluruhan karyawan

tersebut memiliki tingkat bahasa Inggris menengah (intermediate), 12% memiliki

kemampuan rata-rata, tetapi sebanyak 63% karyawan masih memiliki kemampuan

bahasa Inggris dasar (basic) (Hasil Angket dan Wawancara dengan Lima

Karyawan Asing di Industri Pariwisata, Pebruari sampai Maret 2015).

Gambaran kompetensi bahasa Inggris lulusan Jurusan Pariwisata

Perguruan Tinggi Vokasi juga selaras dengan frekuensi terjadinya keluhan tamu

terhadap kemampuan bahasa Inggris mereka. Dari hasil angket diperoleh bahwa

frekuensi keluhan tamu akibat kemampuan berbahasa Inggris karyawan tersebut

masih tinggi yaitu 50%. Persentase ini masih tergolong tinggi karena setiap hotel

berusaha menekan tingkat keluhan tamu di bawah 5% hingga 0%. Dari

wawancara mendalam yang juga dilakukan tersebut diperoleh bahwa faktor

pemicu terjadinya keluhan tamu adalah sikap dan rasa percaya diri karyawan

dalam berinteraksi, yaitu sebesar 25% dan hambatan bahasa (language barrier),

5

yaitu sebesar 75% (Hasil Angket dan Wawancara dengan Lima Karyawan Asing

di Industri Pariwisata, Pebruari sampai Maret 2015).

Kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan Program Studi D IV

Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi juga membutuhkan kemampuan berbahasa

Inggris yang sangat memadai. Lulusan program studi ini ditargetkan mampu

berbahasa Inggris dengan memadai dan bahasa asing lainnya serta mampu

melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tingkatnya lebih tinggi dari pekerjaan

karyawan biasa. Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah merencanakan dan

melaksanakan event khusus, menyelenggarakan, mengawasi, dan mengevaluasi

kegiatan front office, house keeping, food & baverage, food production,

menangani proses reservasi, serta membuat dan mengelola produk wisata dan

usaha perjalanan wisata. Semua kompetensi ini membutuhkan kemampuan bahasa

Inggris yang sangat memadai (Buku Pedoman Pendidikan Perguruan Tinggi

Vokasi 2015).

Bukti-bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa proses belajar mengajar

(PBM) di Jurusan Pariwisata Perguruan Tinggi Vokasi pada saat ini masih kurang

efektif. Hal ini, disebabkan karena ada beberapa aspek pembelajaran bahasa

Inggris di kelas yang tidak mendapat perhatian. Hasil wawancara terhadap para

informan (Pebruari sampai Maret, 2015) menyatakan, bahwa aspek-aspek yang

perlu ditekankan dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah aktivitas berbahasa

Inggris di kelas, pengenalan kaidah bahasa Inggris, serta pengenalan budaya, dan

kosa kata lewat materi ajar yang otentik seperti teks bacaan, TV, internet, lagu

kata dengan persentase berturut-turut 60%, 25%, 15%. Pendapat para partisipan

6

penelitian ini sangat tepat untuk menutupi kekurangan-kekurangan dalam

melakukan pembelajaran bahasa Inggris di kelas di Jurusan Pariwisata.

Wawancara yang dilakukan terhadap pihak pengguna lulusan menyatakan

bahwa ada beberapa hal yang seyogyanya dilakukan lembaga dalam memberikan

pembelajaran bahasa Inggris tersebut di antaranya: (1) memberikan input kepada

mahasiswa tentang ungkapan-ungkapan yang lazim digunakan oleh penutur asli

atau native speaker (NS) dalam membicarakan topik tersebut; (2) mengenalkan

ungkapan-ungkapan bahasa Inggris yang bersifat kontekstual dan situasional

kepada mahasiswa; (3) mengenalkan slang-slang kepada mahasiswa dan strategi-

strategi berkomunikasi yang digunakan oleh NS pada saat melakukan interaksi

verbal. Selain itu, ada beberapa saran dari informan terhadap pembelajaran bahasa

Inggris di perguruan tinggi, di antaranya materi ajar, strategi belajar mahasiswa,

strategi pembelajaran yang digunakan oleh dosen, serta aktivitas-aktivitas

pendukung pembelajaran (task) (Hasil Wawancara dan Angket dengan Pimpinan

Hotel, Pebruari-Maret 2015).

Kelemahan-kelemahan di atas dapat ditutupi dengan mengajarkan cara

berbahasa yang benar dan baik. Berbahasa yang benar dapat dilakukan dengan

mengikuti kaidah-kaidah bahasa Inggris baku. Di sisi lain, berbahasa yang baik

harus memenuhi aspek-aspek sosial berbahasa seperti yang dikemukakan oleh

Brown dan Levinson (1987), yaitu dengan memperhatikan kekuatan (power)

lawan tutur, jarak sosial (distance) lawan tutur, dan tingkat pemberatan (rank of

imposition) atau dengan memperhatikan dua dimensi yang dikemukakan oleh

7

Leech (1983), yaitu dimensi kaidah bahasa dan dimensi sosial yang dikenal

dengan pragmalinguistik dan sosiopragmatik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di depan, masalah penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah realitas pembelajaran bahasa Inggris di Perguruan Tinggi

Vokasi ditinjau dari segi model, teori dan hasilnya?

2. Model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan pragmatik yang

bagaimanakah memadai digunakan di Perguruan Tinggi Vokasi

Pariwisata?

3. Bagaimanakah kompetensi pragmatik bahasa Inggris mahasiswa

perguruan tinggi vokasi?

4. Bagaimanakah efektivitas dan persepsi mahasiswa dan dosen terhadap

model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan pragmatik?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

Kedua tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran

bahasa Inggris berpendekatan pragmatik di perguruan tinggi (PT) vokasi.

8

1.3.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan khusus penelitian ini

adalah sebagai berikuG: (1) Mendeskripsikan realitas pembelajaran bahasa Inggris

selama ini di Perguruan Tinggi Vokasi; (2) Mengembangkan model pembelajaran

pragmatik bahasa Inggris yang tepat untuk diimplementasikan di perguruan tinggi

vokasi; (3) Mengungkap kompetensi pragmatik bahasa Inggris mahasiswa

Perguruan Tinggi vokasi setelah model pembelajaran bahasa Inggris

berpendekatan pragmatik diimplementasikan; dan (4) Menguji efektifitas serta

mengetahui persepsi mahasiswa dan dosen terhadap model pembelajaran yang

dikemabangkan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan karena akan memberikan dua manfaat. Manfaat

tersebut adalah manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara rinci, disajikan

berikut ini.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini dapat dirinci seperti berikut.

1. Mengembangkan teori pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua

atau bahasa asing di perguruan tinggi vokasi.

2. Memperkokoh eksistensi, kehandalan, serta keyakinan tentang pentingnya

penguasaan kompetensi pragmatik (pragmatic competence) dan kesadaran

9

pragmatik (pragmatic awareness) untuk meningkatkan kompetesi

komunikatif (communicative competence) bahasa Inggris mahasiswa.

3. Memberikan referensi tambahan tentang kajian pragmatik bahasa antara

atau interlanguage pragmatics (ILP) untuk dikembangkan dalam

penelitian-penelitian sejenis yang melibatkan bahasa-bahasa lainnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.

1. Hasil penelitian ini dapat menguatkan pengajaran bahasa Inggris di

perguruan tinggi (PT) vokasi, baik menyangkut pemilihan materi ajar,

pembelajaran, serta penyusunan alat evaluasi.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tuntunan untuk pengembangan buku

ajar untuk pembelajaran bahasa Inggris di PT vokasi.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penyelenggaraan

pelatihan-pelatihan pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan

pragmatik

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memperjelas cakupan penelitian ini maka ruang lingkup penelitian

dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. Kekuatan dan kelemahan pembelajaran bahasa Inggris saat ini di

perguruan tinggi vokasi baik dari segi teori. Pembelajaran saat ini yang

diinvestigasi menyangkut penerapan pendekatan, prosedur pembelajaran,

10

metode pembelajaran, paradigma pembelajaran, kurikulum, serta aktivitas-

aktivitas yang dilakukan di kelas pada saat pembelajaran. Di samping itu,

alat-lat pendukung pembelajaran, seperti materi ajar, kurikulum, silabus,

satuan acara perkuliahan, serta sistem evaluasi pembelajaran juga

dievaluasi.

2. Model pembelajaran bahasa Inggris yang sesuai dengan kebutuhan

pembelajaran bahasa Inggris di PT vokasi pariwisata. Model ini

dikembangkan dengan menggunakan disain dan prosedur pengembangan

yang diajukan oleh Dick dan Carey (1990) yang dipadukan dengan teori

pembelajaran pragmatik secara eksplisit, teori tindak tutur, teori

kompetensi komunikatif (communicative competence), teori sosiokultural

dan teori analisis linguistik. Semua teori pendanping ini (middle range

theory) membantu dalam mengembangkan model yang cocok untuk

diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris di PT vokasi. Kegiatan ini

dilakukan setelah fakta-fakta tentang pengajaran bahasa Inggris di

perguruan tinggi vokasi saat ini telah diketahui serta aspek-aspek yang

diabaikan dalam pengajaran selama ini berhasil diidentifikasi. Kedua aspek

tersebut digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran dengan

pendekatan pragmatik. Setelah draf model pembelajaran dengan

pendekatan pragmatik berhasil dikembangkan, uji coba model dilakukan

untuk mengetahui efektivitasnya terhadap peningkatan kompetensi

pragmatik mahasiswa. Model pembelajaran ini divalidasi baik dari segi isi

11

maupun disain sebelum digunakan sebagai model pembelajaran bahasa

Inggris yang valid.

3. Kompetensi pragmatik partisipan penelitian. Kompetensi pragmatik ini

dilihat dari jumlah dan jenis ujaran-ujaran yang mereka bisa produksi pada

saat diberikan T1 dan T2. Jenis ujaran-ujaran tersebut dikelompokkan ke

dalam beberapa jenis formula semantik menurut taksonomi request dan

refusal dari enam ahli pragmatik.

4. Indikator efektivitas model yang dikembangkan dilihat dari nilai hasil T1

dan T2 yang dicapai oleh partisipan penelitian.

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

`

Dalam bab ini, dikaji beberapa penelitian sebelumnya, konsep, dan teori

yang relevan dengan topik yang diteliti. Subbab 2.1 membahas beberapa

penelitian pragmatik yang dilakukan dalam konteks bahasa kedua (L2) dan bahasa

asing atau foreign language (FL), Subbab 2.2 memaparkan konsep-konsep dasar

yang berhubungan dengan topik penelitian ini, dan subbab 2.3 membahas

beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini. Disain model penelitian

diulas dalam subbab 2.4.

2.1 Kajian Pustaka

Ada beberapa pustaka yang relevan dengan penelitian dikaji dalam subbab

ini. Pustaka-pustaka tersebut berkaitan dengan tindak tutur permintaan (request),

penolakan (refusal), dan pembelajaran pragmatik.

Avert dan Brumberek-Dyzman (2008) menginvestigasi tindak tutur

penolakan (refusal) dalam bahasa kedua (L2). Dengan melibatkan 106 orang

mahasiswa Polandia yang belajar bahasa Inggris sebagai L2 sebagai kelompok

satu dan 84 orang mahasiswa yang belajar biologi. Kajian itu bertujuan untuk

mengungkap apakah mengetahui dan memakai bahasa lain akan memengaruhi

kemampuan pragmalinguistik bahasa pertama (L1) partisipan. Di samping itu,

kajian itu bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan frekuensi

penggunaan formula semantik refusal pada dua kelompok dan mengetahui apakah

13

penggunaan bahasa lain secara terus-menerus memberikan efek pada sikap

pragmatik L2 pada saat membuat tindak tutur refusal mereka. Dengan

menggunakan instrumen Discourse Completion Task (DCT) yang berisikan

situasi-situasi berdasarkan teori sosiokultural Brown dan Levinson (1987),

partisipan diminta untuk mengisi bagian-bagian kosong pada DCT. Analisis

menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada perbedaan signifikan antara

pemakai dan pelajar L2 terhadap kompetensi pragmalinguistik bahasa pertama

partisipan. Perbadaan formula semantik yang ditemukan hanya dipengaruhi oleh

tinggi rendahnya status penutur dan lawan tutur. Formula semantik yang dibuat

partisipan sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh salah satu faktor yaitu

penggunaan DCT tertulis. Instrumen oral role play perlu diujicoba dalam

penelitian ini. Hal ini perlu dicoba dalam suatu penelitian.

Kajian refusal yang dilakukan oleh Martinez-Flor (2013) sangat berbeda.

Untuk menyelidiki keanekaragaman jumlah dan jenis strategi refusal, 16 (enam

belas) pasang mahasiswa jurusan bahasa Inggris dengan tingkat kemahiran di atas

menegah diberikan dua instrumen yaitu DCT tertulis dan oral role play. Dua ratus

delapan puluh delapan sampel respon yang diperoleh kemudian dibandingkan

untuk melihat efektivitas kedua jenis instrumen tersebut. Hasil analisis data

menunjukkan, bahwa secara umum perbedaan efektivitas kedua instrumen

tersebut tidak jauh berbeda, yaitu DCT mampu menghadirkan 51,60% fomula

semantis dan oral role play mampu menghasilkan 48,40% formula semantis.

Dengan menggunakan jumlah partisipan yang relatif kecil, kajian ini menujukkan

bahwa kedua instrumen tersebut sama-sama efektif. Penelitian itu perlu dicoba

14

ulang dengan menggunakan jumlah partisipan yang lebih banyak. Di samping itu,

perbedaan variasi-variasi formula semantik yang dihasilkan setelah menggunakan

kedua instrumen tersebut juga tidak diuraikan.

Kajian tindak tutur refusals yang dilakukan Felix-Brasdefer (2004) sangat

berbeda. Kajian itu dilakukan untuk menyelidiki strategi-strategi kesantunan yang

digunakan oleh NS dan NNS Spanyol pada saat melakukan penolakan dan untuk

mengetahui apakah lama tinggal di luar negeri berpengaruh terhadap produksi

strategi penolakan mereka. Instrumen yang digunakan adalah oral role play dan

verbal report (bandingkan dengan Avert dan Brumberek-Dyzman (2008) dan

Martinez-Flor (2013). Kedua instrumen ini digunakan karena dua alasan, yaitu

gampang untuk memperoleh interaksi percakapan yang lengkap, peneliti dapat

mengontrol percakapan, serta refleksi awareness tentang penggunaan tindak tutur

penolakan yang tepat. Dengan menggunakan kedua instrumen tersebut dan

melibatkan 64 (enam puluh empat) partisipan, yaitu 40 mahasiswa NS dan 24

mahasiswa NNS, diperoleh data interaksi penolakan sebanyak 384. Urutan

penolakan yang dibuat partisipan diuji melalui interaksi head act, pre dan post

refusal serta across conversational turn. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa

partisipan penelitian lebih banyak membuat negosiasi menggunakan mitigasi

leksikal, sintakmatiksis, solidaritas lebih tinggi, serta indirectness yang hampir

menyamai NS. Kajian refusals itu memberikan inspirasi karena menggunakan

oral role play untuk mencari data alamiah tetapi masih melibatkan NS sebagai

perbandingan. Penelitian yang khusus melibatkan partisipan NNS perlu dicoba

dengan menggunakan instrumen lain misalnya discourse completion task (DCT).

15

Kajian refusals dengan menggunakan instrumen tertulis dilakukan oleh

Lin (2014). Dengan melibatkan 90 (sembilan puluh) partisipan penelitian, yaitu

partisipan penelitian Cina berbahasa Mandarin dan partisipan penelitian Cina yang

belajar EFL dan penutur asli AS. Kajian itu ingin mengetahui strategi penolakan

lintas budaya bahasa Cina dan bahasa Inggris dan untuk mengetahui cara pelajar

EFL Cina membuat tindak tutur refusals. Data tindak tutur refusals diperoleh

dengan menggunakan instrumen DCT berbahasa Inggris dan berbahasa Cina

dengan tiga situasi penolakan dan scale response questionnaire (SRQ) untuk

mengetahui kemampuan sosiopragmatik partisipan penelitian. Dalam

implementasinya, partisipan penelitian disuruh untuk membaca instruksi atau

contoh dan melengkapi instrumen selama 30 menit sebelum data tersebut

dikodekan dengan skema Bebee (1990) dan dianalisis dengan statistik. Hasil

analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan strategi penolakan ketiga kelompok

partisipan penelitian tersebut. Pelajar EFL Cina membuat tindak tutur yang

mengancam muka lebih tinggi daripada penutur asli Cina dan penutur asli Inggris

AS. Terdapat kemiripan persepsi tentang penolakan yang mengancam muka

penutur asli Cina dan penutur asli Inggris yaitu penggunaan strategi indirectness

dan adjunct. Melihat fakta tersebut, perlu dicermati alasan pelajar EFL Cina dan

penutur asli Cina memiliki kompetensi-kompetensi pragmatik berbeda. Hal ini,

mungkin disebabkan oleh instrumen pengumpulan data. Untuk itu, perlu dicoba

instrumen yang dapat memberikan data yang lebih represetatif, misalnya oral role

play.

16

Penelitian dalam bidang pragmatik B2 dengan menggunakan instrumen

tertulis juga dilakukan oleh Cordina-Espurz (2013). Dengan melibatkan 192

partisipan penelitian mahasiswa S-2 jurusan Pendidikan dan Filologi bahasa

Inggris yang dibagi menjadi empat kelompok, yaitu beginner, elementary, lower

intermediate, dan upper intermediate, kajian itu dilakukan untuk dua tujuan.

Pertama, untuk mengetahui apakah pelajar dengan profisiensi tinggi mampu

memproduksi lebih banyak strategi refusals dibandingkan dengan mahasiswa

dengan kompetensi lebih rendah. Kedua, apakah mahasiswa dengan kompetensi

lebih tinggi mampu memproduksi strategi penolakan yang lebih beragam

dibandingkan dengan mahasiswa dengan kompetensi lebih rendah. Data digali

dengan menggunakan instrumen DCT dalam beberapa konteks, seperti bank,

universitas, pabrik roti, toko buku, dengan beberapa situasi permintaan (request)

dengan variabel pengontrol, seperti status sosial, jarak sosial dan jenis kelamin.

Respons mahasiswa dianalisis berdasarkan taksonomi penolakan, jumlah setrategi,

dan ketepatan strategi. Data tersebut diuji dengan ANOVA untuk melihat

signifikansi perbedaan di antara kelompok profisiensi tersebut. Setelah dianalisis,

ditemukan strategi refusals paling banyak dilakukan oleh kelompok beginner,

diikuti oleh lower intermediate, elementary dan upper intermediate. Kecakapan

berbahasa berperan dalam menentukan jumlah strategi dalam memproduksi

langsung. Kelompok beginner paling banyak membuat strategi langsung

dibandingkan dengan kelompok lain sedangkan penggunaan adjunct paling

banyak dilakukan oleh kelompok upper intermediate. Berdasarkan kenyataan

bahwa kelompok beginner mampu memproduksi tindak tutur paling banyak,

17

penelitian ini perlu dilakukan lagi dengan menggunakan instrumen berbeda,

seperti oral role play untuk membuktikan kebenaran fakta itu.

Tian (2014) mengkaji refusals bahasa Inggris sebagai B2 pelajar Cina

wanita. Penelitian itu menggunakan instrumen oral role play dengan enam

skenario refusal dan menggunakan variabel PDR (Brown dan Levinson, 1987)

untuk menginvestigasi strategi pragmatik yang cocok diterapkan oleh partisipan

penelitians dalam membuat refusals dalam B2. Di samping itu, kajian itu juga

mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi pilihan strategi tersebut dan menguji

kompetensi pragmatik B2 partisipan penelitians, menangani situasi-situasi

penolakan, serta menyoroti implikasinya terhadap tindakan pedagogis. Partisipan

penelitian diberikan enam situasi sebelum oral role play dilakukan tetapi dengan

menyembunyikan maksud aktivitas tesebut. Tindak tutur partisipan penelitians

direkam dan ditranskripsikan, kemudian dianalisis. Data ujaran partisipan

penelitians dianalisis dengan menggunakan teori kesantunan (Brown dan

Levinson, 1987). Hasil analisis menunjukkan bahwa partisipan penelitians

termotivasi untuk menggunakan strategi tak tangsung dalam keenam situasi.

Mereka menggunakan penyataan non performatif dalam penolakan langsung,

yaitu Don’t pay, I can’t leave my family now, No, I don’t want”. Mereka juga

menggunakan beberapa alasan untuk melengkapi penolakannya, seperti “It’s very

cheap, I have a little child, I already borrow it to Li Mei, My tape recorder is

broken”. Dengan hasil kajian tersebut diyakini bahwa aspek bahasa, pragmatik

dan sosiokultural merupakan faktor yang mempengaruhi pilihan strategi mereka,

18

terdapat hubungan profisiensi linguistik dengan pragmatik B2 partisipan

penelitians dan keterbatasan kompetensi pragmatik B2 mereka.

Sattar, Lah, dan Sulaeman (2011) mengkaji strategi refusals dalam bahasa

Inggris untuk menyelidiki formula semantik yang disukai oleh mahasiswa

Malaysia dalam menolak suatu permintaan dalam konteks akademis. Dengan

melibatkan empat puluh mahasiswa sebagai partisipan penelitian dari S-1 dan S-2.

Kajian itu menggunakan instrumen DCT dengan beberapa situasi. DCT dibuat

berdasarkan dua variabel yaitu relative power dan social distance. Partisipan

penelitian diberikan situasi tertulis dalam bahasa Inggris dan diminta menulis apa

yang mereka akan katakan untuk setiap situasi. Data DCT kemudian diuji dan

dikategorisasi berdasarkan taksonomi Bebee (1990), khususnya direct refusal,

indirect refusal, dan adjunct to refusal. Data tersebut kemudian dianalisis dengan

menggunakan formula semantik seperti a reason, an explanation, dan an

alternative (Fraser, 1981; Olshtain and Cohen, 1983; Bebee, dkk, 1990). Setelah

melakukan analisis data, ditemukan bahwa mahasiswa Malaysia lebih suka

menggunakan pola penolakan tak langsung, dan tindak tutur minta maaf dan

menjelaskan. Pilihan semantik ini banyak digunakan karena pengaruh budaya

rensponden. Pada strategi langsung, partisipan penelitian menghindari

penggunaan strategi seperti mengatakan “no”, sehingga mereka memilih memakai

negative ability. Pada strategi tak langsung, mereka lebeih cenderung

menggunakan excuse dan explanation, dan regret, diikuti dengan alternative,

wish, self defense, dan philosophy.

19

Ren (2012) juga meneliti perkembangan pragmatik siswa khususnya

tindak tutur refusals. Kajian pragmatik B2 itu berupaya menginvestigasi pengaruh

lingkungan belajar terhadap perkembangan pragmatik B2 dua kelompok

partisipan penelitian, yaitu partisipan penelitian dengan pengalaman belajar di luar

negeri atau study abroad (SA) dan dengan pengalaman belajar di Indonesia.

Kajian tersebut juga menyelidiki sejauh mana SA memengaruhi pilihan pragmatik

partisipan penelitian, sejauh mana SA mempengaruhi kosa kata dan adjunct

penolakan mereka, serta sejauh mana SA mempengaruhi kekayaan strategi

penolakan mereka. Partisipan penelitian yang dilibatkan adalah 20 kelompok

dengan pengalaman SA dan 20 kelompok partisipan penelitian dengan

pengalaman belajar di rumah atau study at home (AH). Instrumen penelitiannya

adalah multimedia elicitation task (MET), yaitu DCT berbasis multimedia

komputer dengan delapan skenario tentang refusals. Dalam pelaksanaannya,

partisipan penelitian disuruh menonton satu seri slide di komputer dan mendengar

instruksi serta memulai ujaran yang direkam dan direspon secara lisan. MET

diberikan tiga kali, pada tes awal, tes kedua, dan tes akhir. Data hasil tes dengan

MET dikelompokkan menjadi tiga, yaitu direct refusal, indirect refusal, dan

adjunct to refusal. Dari analisis data diperoleh bahwa kelompok SA melakukan

strategi menghindar (opt out) secara konsisten pada ketiga tes, memiliki

perbendaharaan pragmalinguistik dengan perkembangan yang signifikan,

melakukan strategi opt out paling sering dalam merespon penawaran, dan strategi

opt out merupakan strategi baru bagi mereka. Kelompok partisipan penelitian AT

juga membuat opt out sebagai hal yang baru, mereka memakai opt out paling

20

sering dalam merespon saran teman. Secara keseluruhan, pengalaman belajar di

luar negeri memengaruhi pilihan sosiopragmatik tindak tutur siswa SA.

Penelitian transfer pragmatik khususnya refusal juga dilakukan oleh Abed

(2011). Penelitian itu juga menggunakan instrumen DCT tertulis dengan

melibatkan 55 (lima puluh lima) partisipan penelitian. Penelitian itu bertujuan

untuk mengungkap proses transfer pragmatik pada pelajar EFL Irak tentang

penolakan, kesadaran pragmatik mereka, perbedaan penutur Irak dan AS dalam

menggunakan strategi penolakan dan adjunct, dan perbedaan pelajar pria dan

wanita Irak dalam menggunakan strategi penolakan. Dalam menjaring data, 30

(tiga puluh) pelajar EFL Irak dan 15 NS Arab Irak diberikan DCT, dan 10

(sepuluh) NS bahasa Inggris AS diberikan DCT lewat email. Data formula

semantik berbahasa Arab dan Inggris diklasifikasikan menurut strategi Bebee

(1990). Secara umum, ketiga kelompok tersebut menggunakan indirect strategy

lebih sering dibandingkan dengan direct strategy. Pria Arab tercatat menggunakan

lebih banyak strategi dibandingkan wanita Arab. Kedua kelompok partisipan

penelitian tersebut berbeda dari segi kultur dalam mengatakan refusal. Partisipan

penelitian Irak lebih sering menggunakan statement of excuse, reason,

explanation, statement of regret, statement of wish, dan refusal adjunct. Partisipan

penelitian AS lebih cenderung menggunakan statement of philosophy, statement

of acceptance sebagai penolakan serta evidence khususnya silence. Partisipan

penelitian Irak masih terkategori sadar secara pragmatik. Mereka cenderung

mengadopsi bahasa aslinya ketika menolak.

21

Penelitian produksi tindak tutur refusals itu cukup bervariasi baik dari segi

instrumen, jumlah partisipan penelitian, maupun analisis data. Dari sembilan

kajian itu, lima kajian menggunakan DCT secara utuh, seperti Avert, Brumberek,

Dyzman (2008), Sattar, Lah, Sulaeman (2011), Abed (2011), Ren (2012),

Cordina-Espuzs (2013), dan Lin (2014). Walaupun DCT bukan merupakan

instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini, tetapi beberapa penelitian itu

telah memberikan inspirasi seperti penggunaan statistik ANOVA dalam

menganalisis data (Cordina-Espurz, 2013), dengan mengkombinasikan instrumen

DCT dengan penggunaan bantuan multimedia elicitation task (MET) (Ren, 2012),

atau memodivikasi DCT dengan situasi-situasi lain seperti scale response

questionnaire (Lin, 2014). Beberapa kajian refusals itu telah menggunakan

instrumen oral role play. Kajian Tian (2014) menggunakan oral role play murni

sedangkan Felix-Brasdefer (2014) mengkombinasikan oral role play dengan

verbal report, dan Martinez-Flor (2013) mengkombinasikan oral role play dengan

DCT. Dari ketiga penelitian tentang refusals dengan menggunakan oral role play,

tidak ada satupun yang mengkaji pembelajaran pragmatik tetapi pengembangan

konsep. Walaupun Tian (2014) menggunakan oral role play dan menggunakan

teori kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1987) tetapi

penelitian itu bukan penelitian pengembangan melainkan hanya menggunakan

satu teori, yaitu teori kesantunan. Di samping itu, partisipan penelitian yang

digunakannya masih terbatas.

Kajian tindak tutur request juga telah dilakukan oleh beberapa pakar

dalam bidang pragmatik B2. Hassall (2001) mengkaji kemampuan memodifikasi

22

request oleh mahasiswa Jepang. Sebanyak 187 siswa Jepang yang belajar di

Canada dan 111 siswa NS bahasa Inggris dibandingkan. Dengan menggunakan

kuesioner pilihan ganda berisikan situasi-situasi, kuesioner laporan diri, serta

TOEFL ITP untuk mengetes kecakapan bahasa Inggris partisipan, Hassall (2001)

bermaksud mengungkap tingkat perkembangan pragmatik siswa Jepang dan

menguji tingkat signifikansi efek langsung dan tak langsung dari kompetensi

pragmatik mereka. Dengan menganalisis data dengan tiga langkah, seperti

menggunakan statistik deskriptif, hubungan antarvariabel laten dan variabel yang

diobservasi dan perbandingan empat model diperoleh simpulan bahwa

kemampuan pragmatik bahasa Inggris siswa Jepang dalam menawarkan

mendekati kemampuan siswa NS.

Kajian Uso Juan, Campillo (2002) berbeda dari kajian Hassall (2001)

karena menggunakan buku teks sebagai sumber data. Dari buku teks tersebut

diperoleh 49 (empat puluh sembilan) transkrip yang diambil dari aktivitas

listening. Tujuan kajian itu adalah untuk menganalisis tindak tutur request

ditawarkan dalam materi listening tersebut, serta mengetahui permintaan yang

paling lumrah digunakan. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan

taksonomi Trosborg (1995). Hasil analisis data menunjukkan bahwa kategori 2,

yaitu conventionally indirect request, dan hearer-oriented condition merupakan

kategori yang paling lumrah digunakan dari taksonomi yang dikemukakan

Trosborg (1995), kategori dua muncul paling banyak, disusul oleh kategori tiga,

kategori empat dan kategori satu. Struktur yang paling banyak muncul adalah

ability dan willingness.

23

Bleltran, Martinez-Flor (2004) menyelidiki penggunaan request oleh 12

(dua belas) mahasiswa Inggris yang belajar B1. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui alat modifikasi request yang digunakan partisipan ketika membuat

tindak tutur tersebut serta menganalisis penggunaan alat modifikasi permintaan

internal dan eksternal oleh penutur asli tersebut pada saat melakukan oral role

play secara spontan. Instrumen penggalian data yang digunakan adalah oral role

play dengan 15 (lima belas) situasi. Secara berpasangan, partisipan itu diberikan

30 (tiga puluh menit) untuk melakukan oral role play secara spontan dan tidak

diberikan waktu untuk menyiapkan diri sebelumnya. Mereka membuat tiga

macam kesantunan, yaitu kesantunan tinggi (antar kolega professional yang tidak

dikenal), kesantunan solidaritas (antar teman, keluarga, tetangga), dan kesantunan

hirarkis (antara guru dan siswa). Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa

penggunaan alat modifikasi internal lebih tinggi dari yang eksternal (70%

disbanding 27%). Alat modifikasi yang digunakan adalah openers, softeners,

intensifiers, fillers, preparatory, grounders, disarmers, expanders, promise of

rewards, dan please. Penelitian ini cukup inspiratif dan perlu dicoba pada subjek

berbahasa Inggris sebagai B2.

Penelitian yang menggunakan instrumen oral role play juga dilakukan

oleh Martinez-Flor, Uso-Juan (2006) dengan dua kelompok partisipan mahasiswa

tahun kedua dari jurusan filologi bahasa Inggris dan bahasa Inggris bidang

komputer, yaitu 28 (dua puluh delapan) mahasiswa perempuan dan 12 (dua belas)

mahasiswa laki-laki. Partisipan penelitian disuruh melakukan oral role play secara

berpasangan dan secara spontan untuk direkam. Hasil rekaman ditranskripsikan

24

untuk dianalisis baik jumlah maupun jenis modifikasi internal dan eksternal tindak

tutur request yang dibuatnya. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa

partisipan dari jurusan Filologi bahasa Inggris membuat jauh lebih banyak

modifikasi request dibandingkan dengan mahasiswa jurusan bahasa Inggris

komputer. Kedua kelompok lebih banyak membuat modifikasi internal daripada

eksternal. Pelibatan partisipan penelitian itu masih belum seimbang antara laki-

laki dan perempuan.

Kajian tindak tutur request juga dilakukan oleh Taguchi tiga kali berturut-

turut pada tahun 2006, 2011, dan 2013. Kajian Taguchi pada tahun 2006

mengamati ketepatan produksi tindak tutur request pada 59 (lima puluh sembilan)

pelajar Jepang dikombinasikan dengan 20 (dua puluh) NS. Data diambil dengan

individual oral role play untuk melihat ketepatan pragmatik, tipe-tipe ekspresi dan

perbandingan kedua aspek tersebut. Penelitian tahun 2011 menyelidiki efek

pengalaman belajar terhadap produksi tindak tutur reqest 64 (enam puluh empat)

siswa Jepang dan dikombinasikan dengan 25 (dua puluh lima) NS. Dengan

menggunakan individual pragmatic speaking test partisipan disuruh membaca

situasi dan membuat tindak tutur permintaan. Data yang diperoleh dinilai dalam

tiga aspek, yaitu ketepatan (appropriatemenss), gramatika, dan kelancarannya.

Penelitiannya ketiga tahun 2013 mencoba mengungkap pengaruh individual

differences (ID) terhadap produksi tindak tutur yang tepat dan lancar. Dengan

melibatkan 48 (empat puluh delapan) mahasiswa semester 1, Taghuci (2013)

membuat DCT dan partisipan disuruh untuk membaca dan membuat tindak tutur

request dalam komputer. Hasil analisis kajian itu menunjukkan bahwa skil dan

25

akses leksikon sangat berpengaruh terhadap kelancaran tindak tutur partisipan.

Kajian Taguchi (2006) tentang ketepatan produksi tindak tutur request

menunjukkan bahwa hampir 50% siswa Jepang menggunakan ekspresi santun

dengan menggunakan ekspresi tak langsung dengan struktur would you – V1.

Kajian Taguchi (2011) menunjukkan bahwa profisiensi merupakan faktor penentu

ketepatan produksi tindak tutur partisipan dan tingkat gramatikalitasnya. Di

samping itu, pengalaman belajar di luar negeri juga memberikan pengaruh yang

besar. Ketiga penelitian itu menggunakan instrumen lisan seperti DCT lisan, oral

role play individu, dan individual pragmatic speaking test, tetapi masih dilakukan

dengan sistem monolog sehingga ujaran yang diproduksi partisipan belum bisa

digolongkan alamiah. Penelitian ini akan menggunakan oral role play yang

bersifat dialog.

Kajian request oleh Shively, Cohen (2008) berfokus pada perkembangan

pragmatik request dalam bahasa Spanyol dengan tujuan menganalisis request

yang dilakukan oleh mahasiswa America, efek karakteristik, interaksi dengan

orang Spanyol, peningkatan sensitivitas, dan perkembangan interkultural berefek

terhadap peningkatan kemampuan pragmatik partisipan, aspek apa yang

menyebabkan mereka kurang atau lebih dibandingkan dengan NS. Dengan

menggunakan kuesioner laporan diri dan produksi tindak tutur request tertulis,

serta pre dan post-test, data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kuantitatif

dengan menggunakan SPSS. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tindak

tutur request partisipan mengalami peningkatan setelah mereka belajar 1 semester

di luar negeri. Hal ini, dapat ditopang dengan bukti bahwa siswa mampu meniru

26

NS, seperti menggunakan verba downgrading. Mereka juga mampu mengurangi

penggunaan strategi langsung. Kedua hasil tes menunjukkan bahwa siswa lebih

suka menggunakan query preparatory, sama seperti penelitian Felix-Brasdefer

(2007). Request bahasa Sepanyol yang dilakukan oleh Rebeca Bataller (2010)

agak berbeda. Data dijaring dengan menggunakan open oral role play. Partisipan

yang menjadi partisipan penelitian sebanyak 31 (tiga puluh satu) orang

dihadapkan dengan 1 (satu) orang wanita Spanyol yang berperan sebagai penjual

di warung atau penjual sepatu di toko. Setiap orang diberikan kartu dengan dua

skenario, satu dengan imposisi rendah yaitu requesting something, dan imposisi

tinggi, yaitu asking to change a pair of shoes without receipt. Data yang direkam

kemudian ditranskripsikan dan dianalisis dengan metode kualitatif dan kuantitatif.

Kajian ini berhasil mengungkapkan bahwa partisipan menggunakan dua strategi

request, yaitu strategi langsung dan tak langsung. Strategi langsung digunakan

pada saat meminta sesuatu, dan strategi tak langsung digunakan jika meminta ijin

untuk menukar sepatu tanpa nota. Kajian kedua oleh Rebeca Bataller (2010)

memberikan masukan yang sangat berguna dibandingkan dengan kajian Shively,

Cohen (2008) yaitu tentang penggunaan instrumen open role play untuk

mendapatkan data yang tingkat alamiahnya tinggi. Namun, kajian Shively, Cohen

(2008) juga memberikan pandangan yang berguna, yaitu penggunaan pre dan post

test dan analisis dengan statistik inferensial.

Penelitian tentang produksi request dengan menggunakan oral role play

juga dilakukan oleh Rose (2009). Dengan melibatkan 3 (tiga) kelompok siswa

SMP penelitian itu mengungkap kompetensi serta perkembangan sosiopragmatik

27

dan pragmalinguistik partisipan. Instrumen cartoon oral production task (COPT)

dibuat dengan skenario guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa guru. Dengan

menggunakan parameter taksonomi Blum-Kulka (1989), diperoleh simpulan

bahwa strategi tertinggi hingga terendah adalah conventional, indirectness, hint,

dan direct. Strategi yang frekuensinya menurun adalah alertness dan please.

Secara umum, perkembangan kompetensi pragmalinguistik partisipan jauh lebih

baik dibandingkan dengan sosiopragmatik mereka. Penelitian produksi request

dengan menggunakan partisipan siswa SMP juga dilakukan oleh Brubaek (2013).

Kajian ini ingin menyelidiki kompetensi partisipan, strategi kesantunan dan

kemampuan mengadaptasikan B1 partisipan pada saat memproduksi tindak tutur

dalam bahasa Inggris. Sebanyak 40 (empat puluh) siswa diberikan DCT dengan 4

(empat) situasi. Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori muka (Brown

&Levinson, 1987). Simpulan kajian ini adalah kompetensi pragmatik masih belum

dihiraukan partisipan karena perbendaharaan kata mereka masih terbatas dan

mereka masih pada tingkat perkembangan awal. Sejalan dengan itu, kajian request

dengan instrumen DCT juga dilakukan oleh Economidou-Kogetsidis (2010).

Sebanyak 192 (seratus Sembilan puluh dua) mahasiswa Inggris dan Yunani

dilibatkan untuk melihat hubungan faktor sosial, situasi, dan budaya dengan sikap

permintaan, kesamaan cara membuat request orang Inggris dan Yunani. Instrumen

DCT sebagai instrumen utama dikombinasikan dengan situational assessment

questionnaire (SAQ) dan wawancara dengan semi-structured system. Hasil kajian

disimpulkan bahwa ada kesesuaian lintas budaya yang tinggi antara penutur

28

Yunani dan Inggris, terdapat perbedaan yang signifikan dalam menguji social

power penutur dan lawan tutur.

Kajian request pada tahun yang sama dilakukan oleh Jadidi (2012) dan

Satomi (2012). Penelitian pertama menggunakan DCT untuk meneliti

pengetahuan pragmatik, strategi kesantunan, serta efek jender sebagai variabel

budaya terhadap produksi tindak tutur 63 (enam puluh tiga) mahasiswa TEFL.

Tiga instrumen digunakan untuk menjaring data, yaitu multi-item scale, rating-

table, dan open-ended DCT. Dari analisis tersebut, diperoleh bahwa pengetahuan

laki-laki lebih tinggi 3% dibandingkan wanita, strategi request dan refusal yang

paling lumrah adalah indirectness. Penelitian kedua melibatkan 154 (seratus lima

puluh empat) mahasiswa Jepang dengan menggunakan tiga instrumen, yaitu

motivation questionnaire, proficiency measure, video dictation exercise. Kajian

ini menyelidiki hubungan kausal motivasi pelajar EFL dari Jepang, kemampuan

mereka untuk menggunakan klausa ganda yang kompleks, dan hubungan antara

motivasi belajar dan profisiensi mendengar mereka. Kecakapan mendengar

mahasiswa merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam memprediksi

kesadaran mereka tentang bentuk klausa ganda bahasa target dan rasa percaya diri

mehasiswa di kelas tidak mempengaruhi kesadaran pragmatik bahasa target

mereka.

Dari 14 (empat belas) penelitian request yang dikaji, beberapa dari

penelitian tersebut memberikan inspirasi dan ilham untuk mengadakan penelitian

ini. Instrumen oral role play digunakan oleh beberapa peneliti walaupun dengan

jenis yang agak berbeda, seperti open oral role play (Rebeca Bataler, 2013),

29

cartoon oral prodaction task (Rose, 2009), individual oral role play (Taguchi,

2006), dan oral role play (Bleltran, Martinez-Flor, 2004). Kajian ini akan

menggunakan instrumen oral role play (Bleltran, Martinez-Flor, 2004)

dikombinasikan dengan open role-play (Rebecca Bataller, 2010). Kajian lain yang

memberi sumbangan berguna adalah tentang penggunaan pre test dan post test

(Shively, Cohen, 2008) dan tentang fokus kajian yang ditekankan yaitu

pragmalinguistik dan sosiopragmatik (Rose, 2009) penelitian itu dan masih

menggunakan partisipan penelitian siswa SMP. Penelitian lainnya pada prinsipnya

juga memberikan sumbangan untuk penelitian ini, tetapi kebanyakan masih

menggunakan instrumen DCT tertulis yang masih belum mampu memberikan

data yang alamiah dan masih hanya berfokus pada satu tindak tutur saja yaitu

request. Hanya penelitian Jadidi (2012) yang menyelidiki dua tindak tutur seperti

kajian penelitian ini, yaitu refusal dan request namun penelitian itu menggunakan

instrumen DCT.

Selain penelitian tentang kompetensi produksi tindak tutur refusal dan

request¸ penelitian dalam bidang pembelajaran pragmatik juga telah dilakukan

oleh beberapa peneliti. Artikel yang dibuat oleh Bardovi-Harlig (1996) bertujuan

untuk mengutarakan fungsi dan tugas guru, penatar guru, atau peneliti dalam

pembelajaran pragmatik di kelas. Ada beberapa hal yang mendasari pemikirannya

bahwa perlu usaha yang cukup keras jika kita ingin mengajar pragmatik di kelas,

siswa menghasilkan tindak tutur yang berbeda-beda walaupun dihadapkan pada

situasi yang sama dengan NSs, dan kenyataan bahwa NNSs lebih sering menolak

ajakan, tetapi NSs lebih sering menyarankan atau memberi nasihat (Bardovi-

30

Harlig, dan Hartford, 1996). Tujuan pembelajaran pragmatik di kelas adalah untuk

menciptakan usaha atau keinginan untuk mengembangkan materi ajar. Salah satu

usaha untuk mengembangkan kompetensi pragmatik adalah menyediakan input

baik melalui materi ajar maupun langsung dari guru-guru. Untuk mencapai tujuan

tersebut, guru seyogyanya menyuruh siswa untuk mengobservasi sebanyak-

banyaknya oral role play yang dilakukan oleh NSs, mengembangkan materi awal

berdasarkan bahasa-bahasa otentik untuk dijadikan sebagai input untuk siswa, dan

membuat aktivitas membagi-bagi atau saling menukar temuan (sharing) secara

berkesinambungan lewat acara seminar, konferensi, dan loka karya. Konsep itu

memiliki kemiripan dengan hasil kajian Safont Jorda (2004) yang mengadakan

eksperimen tentang pengajaran pragmatik eksplisit di kelas English for academic

purposes (EAP). Dengan melibatkan 160 (seratus enam puluh) siswa EAP,

penelitian itu mengungkap apakah pengajaran pragmatik eksplisit (Kasper, 1996)

khususnya tindak tutur request mampu memacu siswa untuk menghasilkan

formulasi linguistik bervariasi dan apakah efek positif pengajaran yang

diasumsikan tersebut berpengaruh terhadap aktivitas wicara dan menulis siswa.

Sebelum siswa diberikan DCT untuk diisi dengan formulasi request alternatif,

siswa diajarkan formula-formula request seperti indirect, conversationally

indirect, direct serta contoh-contoh dialog berisikan formulasi request dan dibaca

secara keras-keras. Kemudian siswa diberikan kartu yang berisikan situasi tentang

request dan siswa memberikan respons. Ada dua data yang diperoleh, dari tes

awal dan tes akhir. Data tersebut diuji dengan paired t-test. Hasil analisis

menujukkan bahwa ada efek positif pengajaran pragmatik eksplisit kepada siswa

31

dalam memproduksi tindak tutur request, serta ada peningkatan kuantitas dan

variasi bentuk permintaan yang diterapkan siswa setelah tes akhir.

Penelitian yang dilakukan oleh Gordon (2004) dalam bidang pembelajaran

pragmatik B2 bertujuan untuk menguji efektivitas DCT dalam kelas pragmatik

serta untuk mengembangkan materi ajar ESL dan EFL. Sebanyak 18 (delapan

belas) mahasiswa Cina di Canada pada jurusan IPA, Biologi, Fisika, Matematika,

Ilmu Kepustakaan, dan Kerekayasaan dilibatkan dalam penelitian itu. DCT

berisikan 24 (dua puluh empat) skenario dengan tiga jenis tindak tutur, yaitu

request, refusal, apology. Situasi-situasi tersebut dibuat berdasarkan tiga faktor

sosial, yaitu power, distance, dan rank of imposition. DCT dilengkapi selama lima

belas menit sampai dua puluh menit dan dilanjutkan dengan tes wawancara.

Dalam wawancara tersebut, partisipan disuruh untuk mengelaborasi jawaban yang

telah ditulisnya dalam DCT. Setelah dianalisis, DCT yang telah diadopsi dan

direvisi terbukti berhasil mengenalkan input yang kaya dan mudah dipahami,

memacu partisipan untuk menggunakan bahasa untuk melakukan sesuatu, dan

memotivasi untuk memproses dan menggunakan bahasa.

Kajian yang dilakukan oleh Denny (2008) adalah penelitian tindakan kelas

(PTK). Penelitian itu menyelidiki tindak tutur bernegosiasi dalam bahasa Inggris

di New Zealand. Tujuan penelitian itu adalah mencari materi-materi dan strategi-

strategi yang otentik dengan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari

masyarakat. Ranah bahasa Inggris yang digunakan sebagai subjek penelitian

adalah bahasa Inggris umum. Sebelum dilakukannya kajian, kurikulum yang

diimplementasikan di sekolah di New Zealand direview. Kurikulum berbasis

32

kompetensi tersebut direview untuk dijadikan dasar pembuatan materi ajar dan

langkah-langkah pembelajaran (lesson plan). Kajian Denny (2008) pada dasarnya

mirip dengan kajian Castillo (2009), tetapi Castillo (2009) mengembangkan lebih

dalam sehingga berhasil membuat langkah-langkah pembelajaran yang cukup

lengkap. Dengan mengalami cultural shocked pada saat berinteraksi dengan NSs

di Amerika, Castillo (2009) berupaya untuk mencari pemecahan terhadap masalah

tersebut. Disimpulkan bahwa budaya bahasa target dan lawan tutur merupakan hal

yang sangat perlu dikuasai oleh setiap penutur jika ingin berhasil dalam

melakukan interaksi. Salah satu caranya adalah dengan memiliki kompetensi

pragmatik. Penelitian itu dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu mengetahui

cara yang efektif untuk belajar dan mengajar pragmatik, mengidentifikasi

tantangan dalam pembelajaran pragmatik, serta mereview model dan metode

pembelajaran pragmatik. Data diperoleh dari guru ESL dan EFL, NSs dan NNSs

bahasa Inggris, siswa TESOL, dan professor di universitas bersangkutan.

Menurutnya, cara yang paling baik untuk mempelajari pragmatik adalah dengan

experimental learning. Pembelajaran berbasis ekperimen sangat bermanfaat

karena tindakan dan pikiran seyogyanya berjalinan. Kajian itu berhasil

menghasilkan suatu langkah-langkah pembelajaran yang disingkat dengan

NAPKIN, yaitu need, accurate introduction of subject matter, practice,

knowledge review, internalization, dan natural application. Kajian pengembangan

model pembelajaran ini cukup inspiratif walaupun di dalam kajian ini tidak

dipaparkan dengan lengkap langkah-langkah pegembangan model sehingga

terciptanya model NAPKIN.

33

Kajian yang dilakukan oleh Alcon Soler (2012) juga mirip dengan kajian

Jorda (2004) tentang pengajaran pragmatik secara eksplisit. Secara khusus, Kajian

Alcon Soler (2012) bertujuan untuk mengetahui perdaan dan perubahan

pengajaran pragmatik terhadap kesadaran pragmatik pelajar selama perencanaan

dan pembuatan refusal, dan untuk mengetahui tingkat kedwibahasaan pelajar

berpengaruh terhadap kesadaran pragmatik refusal sebelum dan setelah periode

pengajaran. Partisipan penelitian yang dilibatkan adalah 92 (sembilan puluh dua)

siswa bahasa Inggris sebagai B3. Data dikumpulkan dari berbagai sumber, yaitu

wawancara yang direkam sebelum tes awal, laporan verbal siswa sebelum tes,

pada saat pembelajaran, wawancara direkam setelah tes akhir, dan laporan verbal

setelah tes akhir. Proses pembelajaran dilakukan sebagai berikuG: (1)

mengidentifikasi refusals dalam interaksi, yang dilakukan dengan beberapa

langkah, seperti siswa menonton video berisikan refusal dengan terhadap

undangan P (-) dan D (-), siswa mengidentifikasi urutan refusals dari awal sampai

akhir, guru berfokus pada struktur refusals; (2) menerangkan secara eksplisit

tindak tutur refusals untuk menyediakan informasi pragmalinguistik dan

sosiopragmatik dengan beberapa contoh yang diambil dari video; (3) mengenali

dan memahami urutan penolakan dengan tujuan untuk memperkuat pengetahuan

eksplisit siswa tentang penolakan; dan (4) memberikan kesempatan kepada pelajar

untuk membuat tindak tutur penolakan dengan cara membuat oral role play dan

membandingkannya dengan contoh di video. Hasil analisis menunjukkan bahwa

pengajaran refusal pada tingkat wacana dapat meningkatkan kesadaran

pragmalinguistik pelajar. Namun, dwibahasawan produktif tercatat melebihi

34

dwibahasawan reseptif dalam hal metapragmatik setelah menerima pembelajaran

penolakan.

Kajian yang dilakukan Yuan (2012) bertujuan untuk mengetahui persepsi

siswa tentang pragmatik dalam pembelajaran bahasa Inggris, sejauh mana siswa

berfokus pada pengetahuan pragmatik dalam pembelajaran tersebut, bagaimana

tingkat kompetensi pragmatik mereka, dan strategi apa yang mereka terapkan

dalam pembelajaran bahasa Inggris dan pragmatik. Partisipan penelitian yang

merupakan mahasiswa semester dua di Shanghai diberikan DCT, FGD, dan text

book task. Partisipan diberikan kuesioner untuk dilengkapi untuk menjaring data

kualitatif selain menggunakan pertanyaan terbuka data juga dikumpulkan dengan

menggunakan DCT dan FGD. Yuan (2012) menyimpulkan bahwa mahasiswa

Cina belum berkompeten dalam bidang pragmatik. Mereka belum merupakan

penutur bahasa Inggris sebagai B2 yang efektif dan memiliki tingkat profisiensi

tinggi walaupun mereka memiliki pengetahuan gramatika yang tinggi.

Pembelajaran masih menekankan pada kompetensi bahasa. Kebanyakan task yang

dimuat dalam buku ajar masih menekankan pada bidang linguistik, seperti: kosa

kata, struktur, tata bahasa, dan wacana. Disarankan bahwa pembelajaran

seyogyanya dilakukan dengan memperhatikan dua ranah, yaitu isi pembelajaran,

seperti: pragmatic knowledge, knowledge of intercultural communication,

knowledge of English as a lingua franca, dan knowledge of language learning

strategies, dan proses pembelajarannya, seperti task-based approach, intercultural

communication approach, language learning strategies approach.

35

Kajian yang dilakukan oleh Dewi (2012) berfokus pada pengajaran

kesantunan dengan pendekatan pragmatik. Secara khusus, kajian itu mengungkap

peranan pendekatan pragmatik dalam proses pembelajaran bahasa Inggris,

perbedaan strategi kesantunan dalam merespon undangan, dan apakah penerapan

pendekatan pragmatik tersebut mampu meningkatkan keterampilan berbicara

siswa. Dua pendekatan digunakan dalam kajian itu, yaitu pendekatan kualitatif

untuk menganalisis model pragmatik yang diterapkan dalam pembelajaran

kesantunan serta menganalisis perbedaan-perbedaan strategi kesantunan dalam tes

awal dan tes siklus I. Di sisi lain, pendekatan kuantitatif digunakan untuk

menganalisis angka-angka statistik seperti perolehan nilai rata-rata siswa dalam

mengerjakan DCT. Dua kelompok siswa Sekolah Menengah Atas Pariwisata

(SMAP), yaitu kelas X1 dan X2 dijadikan sebagai partisipan penelitian. Beberapa

langkah dilakukan dalam penelitian ini, seperti mengamati silabus, memilih satu

topik untuk diajar dengan pendekatan pragmatik, memberikan tes DCT untuk

melihat kemampuan awal siswa, membuat silabus dan RPP dengan pendekatan

pragmatik, melakukan pembelajaran, melakukan tes akhir untuk mengetahui

peningkatan kemampuan siswa, dan melakukan refleksi berdasarkan hasil

pengamatan. Pada fase pembelajaran, ada beberapa langkah yang diterapkan,

yaitu menyimak contoh menyatakan dan merespon undangan, mengidentifikasi

kesesuaian strategi, melakukan tanya jawab antara guru dengan siswa,

mengerjakan latihan-latihan percakapan, melengkapi DCT. Data dikumpulkan

dengan metode observasi terhadap kurikulum, silabus, RPP, metode tes untuk

mencari nilai tes awal dan tes siklus I. Indikator ketercapaian yang memuat

36

kesesuaian unsur kalimat, kesesuaian pola kalimat, jumlah informasi, strategi

berkomunikasi, dan kesesuaian dengan konteks dengan menggunakan skala Likert

dengan 5 (lima) nilai digunakan untuk mengukur kinerja siswa. Hasil analisis

yang dilakukan Dewi (2012) menunjukkan bahwa penerapan pendekatan

pragmatik sangat penting dilakukan guru dalam pembelajaran. Hasil tes kedua

menunjukkan bahwa siswa mampu lebih santun setelah mendapatkan

pembelajaran dengan pendekatan pragmatik. Keterampilan siswa meningkat dari

dari X1 (53,1 – 84,4) dan X2 (52,6 – 79,4).

Kajian yang dilakukan Lenchuk dan Ahmed (2013) memiliki kemiripan

dengan kajian Castillo (2009), tetapi berbeda dalam hal penampilan lesson plan.

Kajian itu bertujuan untuk memaknai pragmatik, mengkaji keterkaitannya dengan

budaya, dan merancang lesson plan untuk mengajarkan tindak tutur

complimenting. Kajian itu didasari oleh pandangan bahwa salah satu cara untuk

mengajarkan pragmatik adalah dengan mengenalkan siswa ESL dengan pilihan

bahasa penutur bahasa target. Hal ini, bisa diupayakan dengan mengenalkan siswa

formula-formula percakapan dan ekspresi tindak tutur bahasa tersebut, memacu

mereka untuk mengingat, dan menghafalkannya. Dengan melibatkan siswa ESL

Lenchuk dan Ahmed (2013) mengembangkan lesson plan untuk siswa tingkat

menengah dengan berfokus pada empat keterampilan, yaitu membaca, menulis,

mendengar dan berbicara. Lesson plan itu digunakan pada segala program

pembelajaran B2, memacu siswa untuk mengobservasi dan menemukan tindak

tutur compliment, dan meningkatkan kesadaran siswa terhadap variabel-variabel

sosiolinguistik dan sosiokultural yang mempengaruhi pilihan bahasa penutur.

37

Langkah-langkah yang dimasukkan dalam lesson plan adalah warming up,

reading, acquiring compliment, listening, speaking, discourse completion task,

dan listening. Pengembangan lesson plan ini baik, tetapi belum disinggung

proses-proses validasi yang dilakukan terhadapnya.

Rycker (2014) meneliti strategi yang digunakan oleh NS bahasa Inggris di

Amerika Serikat dan siswa NNS dalam menolak proposal dan dampak pengajaran

pragmatik lintas budaya secara eksplisit khususnya dalam bidang menulis.

Sebanyak 80 siswa SMA di Indianapolis, AS dilibatkan sebagai partisipan dalam

aktivitas menulis penolakan terhadap proposal bisnis internasional. Dalam

simulasi, tim siswa mengirim undangan untuk melakukan kerja sama dan

beberapa orang sisanya menerima proposal sekaligus menulis balasan untuk

menerima atau menolak kerja sama tersebut. Ada 12 (dua belas) penolakan dibuat

oleh siswa NNS dari Belgia dan 9 (sembilan) penolakan dibuat oleh siswa NS dari

AS. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua kelompok partisipan tersebut sama-

sama berusaha memitigasi pesan negatifnya dengan buffers, reason, dan positive

ending, tetapi berbeda dalam mengungkapkan maaf dan berterima kasih. Siswa

AS jauh lebih sering mengungkapkan rasa terima kasih pada saat membuat

penolakan. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran

pragmatik secara eksplisit cukup efektif, tetapi perlu dicoba diterapkan dalam

penelitian lain dengan jumlah partisipan penelitian, topik, dan tindak tutur

berbeda. Cara perolehan data dengan naturally occurring discourse juga perlu

diterapkan dalam penelitian lain.

38

Kesepuluh kajian tentang pengajaran pragmatik L2 atau FL ini pada

prinsipnya saling melengkapi karena masih ada kelemahan pada masing-masing

penelitian tersebut. Pengajaran pragmatik secara eksplisit yang akan

dikembangkan dalam penelitian ini sudah dicoba dalam penelitian Jorda (2004),

Alcon Soler (2012), dan Rycker (2014). Namun, Jorda (2004) menerapkannya

pada pembelajaran tindak tutur request pada 160 (seratus enam puluh) mahasiswa

EAP perempuan dengan menggunakan instrumen perolehan data DCT. Alcon

Soler (2012) menyelidiki pembelajaran pragmatik secara eksplisit membuat

perbedaan atau perubahan kesadaran pragmatik pelajar. Kajian itu dilakukan

dengan membuat tahapan pembelajaran seperti menonton video, mengidentifikasi

refusals, guru menerangkan tindak tutur refusal secara eksplisit, siswa mengenali

tindak tutur refusals, dan melakukan oral role play. Kajian itu memberikan

masukan positif dalam hal pengajaran tindak tutur secara eksplisit dengan role

play, tetapi hanya membahas satu tindak tutur (refusal) dan belum membuat

langkah-langkah pembelajaran yang tervalidasi. De Rycker (2014) mengkaji

pengajaran pragmatik eksplisit dalam bidang menulis dengan menggunakan 80

(delapan puluh) siswa SMA. Jenis data yang digunakan pun masih tergolong

nonnaturally occurring karena kedua penelitian itu menggunakan instrumen

tertulis.

Penelitian pengembangan sempat dilakukan oleh Castillo (2009) dan

Lenchuk dan Ahmed (2013). Penelitian pertama menggunakan beragam

informan, seperti guru ESL, EFL, NSs, NNSs siswa TESOL dan professor.

Kajian Castillo (2009) berhasil membuat prosedur pengajaran yang disingkat

39

dengan NAPKIN. Sejalan dengan penelitian itu, penelitian Lenchuk dan Ahmed

(2013), juga menghasilkan suatu prosedur pengajaran pragmatik, tetapi tidak

diberi nama. Kedua prosedur pengajaran pragmatik ini tidak menggambarkan cara

memvalidasi lesson plan tersebut sehingga tingkat validasinya perlu diuji kembali.

Dibandingkan dengan Castillo (2009), kajian Lenchuk dan Ahmed (2013) masih

perlu dikembangkan karena menggunakan partisipan yang terbatas, yaitu siswa

ESL. Penelitian tersebut juga belum menggunakan instrumen pencari data yang

alamiah, seperti role play, sehingga perlu direplikasi lagi. Kajian Denny (2008)

juga bermaksud mengembangkan suatu lesson plan dengan menggunakan PTK.

Walaupun dilakukan dengan meriviu kurikulum, tetapi kajian itu masih bersifat

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan berkonsentrasi pada tindak tutur

negociating. Di samping itu, penelitian itu juga bukan merupakan research &

development (R&D) dan tidak menjelaskan dengan rinci cara menganalisis data

dan penyajian hasil analisis.

Kajian Bardovi-Harlig (1996) juga memberikan sudut pandang positif

terhadap penelitian ini yaitu mengoptimalkan pragmatic exposure kepada siswa

yaitu dengan memberikan input dari guru, mengobservasi aktivitas berbicara

otentik NSs dan mengembangkan materi otentik. Sejalan dengan itu, Gordon

(2004) dan Yuan (2012) juga menyoroti bagaimana pragmatik bisa diajarkan

kepada siswa. Kajian Gordon (2004) memberikan inspirasi tentang penggunaan

teori sosiokultural PDR dalam mengembangkan instrumen, tetapi penelitian itu

masih mnggunakan DCT yang tidak alamiah. Walaupun tindak tutur request dan

refusal diangkat sebagai objek kajian dan menyoroti ranah pragmalinguitik dan

40

sosiopragmatik, tetapi penelitian ini bukan merupakan penelitian pengembangan

(R&D). Kajian Yuan (2012) memberikan ilham terhadap pengembangan materi

ajar dengan pendekatan pragmatik dengan menyusupkan unsur-unsur pragmatik

dalam isi materi ajar dan proses pembelajaran, tetapi penelitian itu masih

menggunakan DCT dan text book test yang dihindari dalam penelitian ini. Kajian

terakhir oleh Dewi (2012) sangat dekat dengan kajian ini. Kajian itu

mengembangkan model pembelajaran dengan pendekatan pragmatik untuk

meningkatkan kesadaran dan kompetensi pragmatik siswa dengan melihat

peningkatan kesantunan mereka. Tes awal dan tes akhir dengan lima kriteria dan

lima nilai dengan skala Likert juga digunakan, tetapi selain menggunakan DCT

dan subjek siswa SMA, kajian ini belum menampilkan langkah-langkah validasi

model yang berhasil diciptakan.

Dari keseluruhan pustaka yang dikaji, belum ada pustaka yang sepenuhnya

mampu mengakomodasi rencana penelitian ini baik dari segi konteks, teori,

partisipan penelitian, analisis data, instrumen penggalian data, disain penelitian

serta cara menganalisis data. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting

dilakukan untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang ada pada penelitian itu.

Untuk menutupi celah-celah tersebut, kajian ini diupayakan untuk

mengembangkan suatu model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan

pragmatik.

41

2.2 Konsep

Ada beberapa istilah operasional yang dipaparkan dalam sub bab ini.

Istilah operasional tersebut merupakan variabel-variabel baik yang bersifat

eksplisit maupun implisit yang akan membantu untuk memahami ruang lingkup

penelitian ini. Berikut dijelaskan beberapa istilah operasional yang digunakan

dalam penelitian ini.

2.2.1 Model Pembelajaran Berpendekatan Pragmatik

Model pembelajaran berpendekatan pragmatik yang dimaksudkan di sini

adalah model pembelajaran yang memasukkan unsur-unsur pragmatik di dalam

intervensi pedagogisnya. Pragmatik merupakan kajian tentang maksud penutur,

makna kontekstual, kajian ungkapan dengan jarak yang relatif, hubungan tanda

dengan penerjemahannya, serta hambatan yang mereka cegah dalam

menggunakan bahasa dalam interaksi sosial, (Crystal, 1985; Levinson, 1989;

Yule, 2000). Unsur-unsur pragmatik mencakup pengetahuan pragmalinguistik dan

sosiopragmatik. Pragmalinguistik mengkaji aspek linguistik ujaran-ujaran,

sedangkan sosiopragmatik menyoroti ujaran-ujaran tersebut dari sudut konteks

sosialnya (Leech, 1993:15-16).

Model pembelajaran berpendekatan yang dikembangkan memasukkan dan

mengkondisikan semua aspek-aspek pembelajaran dengan kedua unsur pragmatik

tersebut (pragmalinguistik da sosiopragmatik), seperti materi ajar, prosedur

pembelajaran (lesson plan), satuan acara perkuliahan (SAP), dan silabus. Model

42

pembelajaran ini divalidasi oleh beberapa ahli sebelum dinyatakan valid untuk

digunakan.

2.2.2 Kompetensi Pragmatik

Kompetensi pragmatik adalah kemampuan penutur untuk memproduksi

ujaran secara tepat baik dari segi pragmalinguistik maupun sosiopragmatik. Hal

ini dimaksudkan agar penutur mampu menyampaikan ujaran dan lawan tutur

mampu mengertikan maksud ujaran tersebut, sehingga mereka harus memiliki

kompetensi pragmatik. Kompetensi pragmatik sangat penting untuk dikuasai

karena penutur akan mampu menggunakan bahasa secara tepat dalam suatu

konteks sosial dan secara fungsional. Misalnya, memproduksi tindak tutur,

membuat skenario atau skrip suatu pertukaran interaksi dengan memperhatikan

jarak sosial, status sosial antar penutur yang dilibatkan, pengetahuan budaya

mereka, kesantunan, serta menggunakan pengetahuan linguistik baik yang

eksplisit maupun implisit (Liu, 2005; Taguchi, 2009; Brubaek, 2013).

Menurut Taguchi (2009), kompetensi pragmatik, secara lebih spesifik,

adalah kemampuan untuk menggunakan bahasa secara tepat dalam suatu konteks

sosial yang melibatkan kapasitas bawaan dan yang dipelajari serta

mengembangkannya secara alamiah melalui suatu proses sosialisasi. Dengan kata

lain, kompetensi pragmatik adalah penggunaan fungsional suatu bahasa, seperti

produksi tindak tutur dan membuat skenario atau skrip suatu pertukaran interaksi

(Brubaek, 2013). Konsep yang diajukan tentang kompetensi pragmatik selaras

dengan konsep yang dikemukakan oleh Liu (2005), yaitu kemampuan untuk

43

memahami dan memproduksi suatu tindak komunikasi termasuk pengetahuan

seseorang tentang jarak sosial, status sosial antarpenutur yang dilibatkan,

pengetahuan budaya mereka, seperti kesantunan dan pengetahuan linguistik baik

yang eksplisit maupun implisit.

2.2.3 Pengajaran Pragmatik Eksplisit

Pengajaran pragmatik secara eksplisit adalah pembelajaran bahasa Inggris

dengan cakupan-cakupan pragmatik yang dilakukan secara langsung (Jorda,

2004). Dalam mentransfer materi ajar, cakupan-cakupan pragmatik diperkenalkan

secara langsung dan tidak disembunyikan. Pada saat mengajar bahasa Inggris,

dosen mengenalkan formula-formula semantik ”menolak” dan ”menerima”

(refusal) dan (request).

Menurut Ortega (2000), pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan

pragmatik yang bersifat eksplisit dapat dilakukan dengan memberikan tugas atau

aktivitas yang dapat meningkatkan kesadaran pragmatik mahasiswa (awareness-

rising task) dan aktivitas yang dapat menyediakan mahasiswa kesempatan untuk

praktik berkomunikasi atau activities providing communication practice (Ortega,

2000). Mahasiswa diajak mengobservasi aspek-aspek pragmatik bahasa target dari

wacana lisan dan tulisan, serta mahasiswa untuk terlibat dalam interaksi kelompok

di mana siswa ikut dalam oral role play dan simulasi. Hal ini diupayakan agar

siswa mampu meningkatkan kesadaran mereka terhadap aspek-aspek pragmatik

karena pembelajaran pragmatik diyakini berefek pada tingkat kompetensi

pragmatik siswa (Kasper, 1999). Cara lain yang dapat diterapkan dalam

44

pembelajaran pragmatik diusulkan oleh Eslami-Rasekh, dkk. (2004) yaitu dengan

melakukan diskusi dipandu guru, kelompok kooperatif, role play, serta aktivitas

berorientasi pragmatik lainnya. Dengan mengadakan teknik-teknik seperti itu,

disimpulkan bahwa pemahaman siswa tentang tindak tutur meningkat secara

signifikan.

2.2.4 Kemampuan Produksi Tindak Tutur Permintaan dan Penolakan

Kemampuan memproduksi tindak tutur permintaan dan penolakan

merupakan kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa untuk membuat ujaran-

ujaran “permintaan” dan “penolakan”. Tindak tutur “permintaan” dan

“penolakan” yang diproduksi mahasiswa seyogyanya memenuhi kriteria dan

berkompeten secara pragmatik. Tindak tutur yang dihasilkan harus sesuai dengan

kaidah pragmalinguistik, yaitu kaidah-kaidah kebahasaan seperti fonologi,

morfologi, dan sintakmatiksis, dan sosiopragmatik yaitu sesuai dengan konteks

situasi.

2.2.5 Perguruan Tinggi Vokasi

Perguruan Tinggi (PT) vokasi yang dimaksud adalah perguruan tinggi

yang menyediakan program diploma jurusan atau program studi pariwisata yang

ada di Denpasar dan Badung. Perguruan tinggi ini menyediakan diploma dua, tiga,

atau empat pada jurusan tersebut. Ada beberapa PT pada bidang perhotelan yang

ada di Badung dan kota Denpasar.

45

Beberapa PT dijadikan lokus penelitian ini, seperti Politeknik Negeri Bali

(PNB), Sekolah Tinggi Perhotelan (STP) Nusa Dua, Dhyanapura, dan Mapindo.

PT lainnya yang ada di Denpasar dan Badung merupakan pendukung. Keempat

PT ini sudah mewakili semua PT yang ada di Denpasar dan Badung karena

memiliki kemiripan dalam berbagai aspek, seperti jurusan perhotelan,

karakteristik mahasiswa, mata kuliah yang diberikan, input siswa, kualifikasi

tenaga pendidik, jumlah jam perkuliahan bahasa Inggris per minggu, serta jenis

bahasa Inggris yang diberikan PT tersebut. Kemiripan-kemiripan ini digunakan

sebagai indikator bahwa pemilihan hanya satu lokus akan memberikan data yang

representatif untuk mewaliki semua PT tersebut.

2.3 Landasan Teori

Ada dua jenis teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori

payung (grand theory) dan teori pendukung (middle range theory). Teori payung

yang melandasi penelitian ini adalah teori pembelajran bahasa dan pemerolehan

bahsa kedua, khususnya teori noticing hypothesis. Teori pendukung digunakan

untuk membedah permasalahan-permasalahan penelitian.

2.3.1 Teori Payung (Grand Theory)

Teori payung yang melandasi penelitian ini adalah teori noticing

hypothesis. Teori pembelajaran bahasa kedua ini berbasis pada pembelajaran

eksplisit, yaitu pengajaran bentuk-bentuk bahasa yang dilakukan secara langsung

dan nyata. Hipotesis ini menyatakan bahwa suatu input tidak akan menjadi sebuah

46

intake dalam pembelajaran bahasa jika input tersebut tidak diperhatikan atau

dimasukkan (noticed) ke dalam benak pelajar secara sadar (Schmidt, 1990, 2001).

Segala bentuk-bentuk atau struktur bahasa atau yang lainnya harus diperhatikan

(to be noticed) agar menjadi suatu input dan diregister ke dalam pikiran pelajar itu

sendiri secara sadar (consiuosly) (Unlu, 2015). Dengan kata lain, pelajar akan

mampu mendapatkan sesuatu yang benar-benar diperhatikan sehingga menjadi

input, dan memasukkan input tersebut ke dalam pikirannya agar menjadi intake.

Noticing akan terjadi jika didukung oleh sikap positif (positive attitude) serta

lingkungan yang optimal (optimal learning environment). Pelajar tidak akan

berhasil memperoleh fitur-fitur gramatika tanpa didukung oleh minat, perhatian,

dan usaha keras (Schmidt, 1990). Dalam implementasinya, pelajar harus

memperhatikan (notice) materi-materi atau bentuk-bentuk linguistik kemudian

memasukkannya ke dalam pikirannya.

Dua contoh studi kasus berikut akan memperjelas penerapan teori noticing

hypothesis. Wes, seorang pelajar berkebangsaan Jepang yang migrasi ke Amerika

Serikat, mengalami kesulitan dalam mempelajari bahasa Inggris. Selama periode

belajar, dia tidak banyak memperhatikan fitur-fitur gramatika bahasa Inggris,

tidak memasukkan bentuk-bentuk gramatika tersebut ke dalam pikirannya. Setelah

beberapa tahun belajar bahasa Inggris secara tidak formal, dia masih mengatakan

“Yesterday, I’m go beach and tomorrow I’m go beach” tanpa menggunakan kata

sandang, kata depan, dan pemarkah kala. Padahal, dalam kenyataanya, dia sering

mendengar orang-orang mengatakan ujaran seperti “I went to the beach

yesterday” tetapi dia tidak benar-benar memasukkan formula-formula kalimat

47

seperti itu ke dalam pikirannya. Schmidt (1990) berasumsi bahwa Wes kurang

memiliki usaha noticing dan terlalu percaya pada strategi pembelajaran implisit,

belajar melalui interaksi, dengan sangat sedikit memperhatikan bentuk-bentuk

bahasa dan sedikit refleksi sadar tentang struktur bahasa. Scmhidt (1990)

menyimpulkan bahwa pembelajaran secara tidak sadar (unconscious learning)

tidak mungkin dilakukan oleh pelajar dewasa karena kaum dewasa tidak memiliki

kemampuan misterius seperti yang dimiliki anak-anak.

Schmidt (1983) mengalami hal yang kontradiktif. Penguasaan bahasa

Portugisnya yang sempurna disebabkan karena dia mengikuti kelas bahasa

Portugis. Selama mengikuti kursus bahasa Portugis, dia memperoleh banyak input

yang sangat penting lebih penting dari interaksi di kelas. Input yang diperolehnya

berguna karena selama pembelajaran dia secara sadar memasukkan input ke

dalam benaknya (noticed). Dia menyarankan bahwa pelajar harus memperhatikan

dan memasukkan fitur-fitur bahasa sebagai input yang diperolehnya ke dalam

benaknya selama pembelajaran jika input tersebut harus menjadi intake. Noticing

hypothesis telah diimplementasikan dalam menerapkan model pembelajaran

bahasa Inggris pragmatik di PT vokasi.

Teori noticing hypothesis digunakan sebagai landasan karena penelitian ini

merupakan penelitian pembelajaran, yaitu pembelajaran bahasa kedua atau bahasa

asing. Penelitian ini merupakan penelitian pembelajaran bahasa Inggris dengan

pendekatan pragmatik, bukan penelitian pragmatik. Pembelajaran yang dimaksud

adalah pembelajaran bahasa Inggris khususnya dengan konteks perhotelan dengan

menggunakan pendekatan pragmatik. Pembelajaran bahasa Inggris berpendekatan

48

pragmatik bertujuan untuk mengajarkan mahasiswa bentuk-bentuk bahasa Inggris

yang tepat digunakan secara situasional dalam berinteraksi dengan dengan tamu

hotel. Dengan kata lain, tujuan akhir pembelajaran adalah agar mahasiswa sadar

dan mampu memilih bentuk-bentuk bahasa Inggris untuk digunakan sesuai

dengan konteks sosialnya. Sedangkan tujuan akhir penelitian ini adalah untuk

mengetahui apakah teori noticing hypothesis ini valid atau tidak.

2.3.2 Teori Pendukung

Teori pendukung (supporting theory) secara umum digunakan untuk

membedah permasalahan-permasalahan penelitian. Teori ini digunakan untuk

melakukan atau membuat hal-hal khusus dalam pelaksanaan penelitian, seperti

instrumen penggalian data, pembuatan materi pembelajaran, pembuatan langkah-

langkah pembelajaran, atau menganalisis data. Ada beberapa teori pendukung,

seperti teori sosiokultural, teori pembelajaran pragmatik, dan teori tindak tutur.

2.3.2.1 Teori Sosiokultural

Teori sosiokultural digunakan untuk membuat instrumen penggalian data

ujaran tindak tutur request dan refusal partisipan penelitian dan instrumen

pengetesan kompetensi pragmatik mereka. Instrumen yang dimaksud adalah oral

role play card. Teori sosiokultural yang digunakan ini dikemukakan oleh Brown

dan Levinson (1987) yang berfokus pada kesantunan sebagai suatu fenomena

pragmatik.

49

Brown dan Levinson (1987) menyatakan bahwa ada tiga variabel yang

memengaruhi situasi tindak tutur, yaitu kekuatan atau power (P), jarak atau

distance (D), dan tingkat pemberatan atau rank of imposition (R). P mengacu pada

tiga jenis hubungan penutur dan lawan tutur dalam hal status sosial. Ketiga

hubungan tersebut adalah status pendengar atau hearer lebih tinggi, sama, dan

status pendengar lebih rendah. D mengacu pada familiaritas yang dapat

memengaruhi bahasa dan sikap pada dua pelibat tersebut, yaitu hubungan dekat

dan hubungan jauh. R mengacu pada tingkat pemberatan terhadap lawan tutur

yang memuat dua skala, yaitu besar dan kecil. Seperti contoh, dalam permintaan,

jika anda meminta tolong yang besar maka tingkat pemberatannya (R) akan besar

pula dan jika hanya meminta pertolongan kecil, tingkat pemberatannya (R) akan

kecil (Geyang, 2007). Tian (2014) menambahkan bahwa penerapan strategi-

strategi tersebut ditentukan oleh hubungan antara penutur dengan pendengar dan

isi tuturannya. Tingkat R dapat diranking sesuai dengan jarak sosial (D) dan status

sosial (P) penutur dan lawan tutur. Dijelaskan lebih lanjut bahwa status sosial

membuat perbedaan yang besar dalam penerapan strategi. Dan jarak sosial juga

berkontribusi luas terhadap pilihan strategi penutur dan pendengar (Tian, 2014).

Dalam situasi R tinggi, jumlah bentuk-bentuk kesantunan diharapkan tinggi. Jika

hubungan jarak sosial rendah, kesantunan juga harus rendah, dan jika kekuatan

penutur lebih tinggi dari pendengar, bentuk-bentuk kesantunan yang digunakan

diharapkan juga rendah. Ketiga proposisi tersebut ditunjukkan pada gambar

tersebut.

50

Gambar 2.1 Aspek Sosiokultural Brown dan Levinson (1987)

(R) Imposisi Kesantunan (D) Jarak sosial Kesantunan

(P) Kekuatan penutur Kesantunan

Namun implementasi teori sosiokultural ini tidak sepenuhnya murni

seperti yang dipaparkan tadi melainkan dapat dimodifikasi sesuai dengan

kebutuhan dan situasi data yang akan digunakan. Modifikasi ini diperlukan karena

jenis data yang dicari adalah ujaran-ujaran yang digunakan oleh karyawan hotel

pada saat berinteraksi dengan tamu.

Pada situasi meminta (to request) tamu untuk melakukan sesuatu, power

(P +) besifat mutlak atau tidak berubah karena tamu sudah pasti memiliki P+ di

situasi apapun di hadapan staf hotel. Oleh karena itu, pada situasi meminta, P

tidak akan digunakan sebagai aspek pengukuran. Jarak sosial (D) juga memiliki

posisi yang mutlak atau tidak berubah yaitu positif (+) karena dalam koteks hotel

jarak antara tamu dengan staf pasti jauh (+). Namun pemberatan (R) merupakan

satu-satunya aspek yang dapat diubah atau tidak mutlak. Dalam sutuasi meminta

(request), seorang staf hotel bisa meminta tamu untuk melakukan tamu sesuai

dengan prosedur yang berlaku atau pemintaah biasa dengan R-, atau pada situasi

tertentu dapat meminta tamu untuk melakukan sesuatu secara terpaksa atau tidak

51

sesuai dengan prosedur dengan R+. Dengan demikian formula situasi tersebut

dapat digambarkan menjadi P+ D+ R- dan P+ D+ R+.

Dalam situasi menolak (refusal) terhadap permintaan tamu, aspek P dan D

juga bersifat mutlak karena baik stauts maupun jarak sosial tamu masih tetap

tinggi terhadap staf. Namun pemberatan (R) malahan tidak berlaku karena tidak

ada penolakan dengan memberatkan atau meringankan tamu. Penolakan terhadap

tamu tidak melibatkan pemberatan terhadap tamu, baik pemberatan yang kuat atau

pemberatan lemah (R+ dan R-). Oleh karenanya, situasi refusal ini akan

dibedakan menjadi dua, yaitu penolakan biasa di mana karyawan bisa menolak

permintaan tamu karena aturan, dan penolakan terpaksa atau khusus di mana

karyawan tidak bisa menolak tetapi karena alasan tertentu yang tidak mungkin

dinegosiasikan dia harus menolaknya. Keempat situasi tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut. Situasi penolakan ini dapat diformulasikan menjadi

P+ R+ Biasa, dan P+ R+ Khusus. Keempat situasi tersebut dapat digambarkan

sebagai berikut.

Gambar 2.2 Modifikasi teori sosiokultural PDR

Permintaan 1 Permintaan 2 Penolakan 1 Penolakan 2

P+

D+

R+

P+

D+

R-

P+

D+

Biasa

P+

D+

Khusus

Dalam implementasinya oral role play card dengan tindak tutur

permintaan (request) dan penolakan (refusal) ini diformulasikan dengan kode

52

yang sederhana dan mudah dipahami menjadi Rq (R-); Rq (R+); Rf (B); Rf (K).

Rq adalah request dan Rf adalah refusal, B adalah ”biasa” dan K adalah ”khusus”.

2.3.2.2 Teori Pembelajaran Pragmatik

Ada beberapa kajian tentang pembelajaran pragmatik telah dilakukan oleh

beberapa pakar. Madrid dan Sanchez (2001) menawarkan model pembelajaran

yang bersifat eksplisit. Model eksplisit sistematis adalah model pembelajaran

yang berfokus pada pengajaran komponen bahasa target seperti tata bahasa,

fonetik, kosa kata, dan ejaan.

Stern (1992) menyatakan bahwa model eksplisit bersifat rasional, formal,

intelektual dan dilakukan dengan sadar melalui pembelajaran peran, analitis

dengan teori konduktif, mengembangkan strategi metakognitif dan metalinguistik

dengan pendekatan rasionalis. Dengan kata lain, pembelajaran eksplisit bersifat

sadar melalui kemampuan yang spontan, sedangkan pembelajaran implisit bersifat

kurang refleksif, informal dan insidentil dengan pemahaman secara global, lebih

behavioristis, mengembangkan strategi komunikatif, sosial, dan afektif dengan

pendekatan empiris.

Safont Jorda (2004) mengatakan bahwa pembelajaran eksplisit berfokus

pada deskripsi, penjelasan, diskusi tentang fitur pragmatik serta cara

mempraktikkan penggunaan fitur tersebut. Kajian yang dilakukannya

menunjukkan suatu perkembangan positif pada kompetensi pragmatik siswa

setelah mengimplementasikan model pembelajaran tersebut.

53

Ortega (2000) menyarankan dua cara untuk melakukan pembelajaran

pragmatik dan menyimpulkan bahwa pembelajaran eksplisit lebih berhasil dari

pada pembelajaran implisit. Kedua cara pembelajaran eksplisit tersebut adalah

memberikan tugas atau aktivitas yang dapat meningkatkan kesadaran pragmatik

siswa (awareness-rising task) dan aktivitas yang dapat menyediakan siswa

kesempatan untuk praktik berkomunikasi (activities providing communication

practice). Dalam aktivitas yang pertama, siswa diajak mengobservasi aspek-aspek

pragmatik bahasa target dari wacana lisan dan tulisan. Aktivitas yang kedua

mensyaratkan siswa untuk terlibat dalam interaksi kelompok dan siswa ikut dalam

oral role play dan simulasi. Hal ini, diupayakan agar siswa mampu meningkatkan

kesadaran mereka terhadap aspek-aspek pragmatik karena pembelajaran

pragmatik diyakini berefek pada tingkat kompetensi pragmatik siswa (Kasper,

1999). Cara lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran pragmatik diusulkan

oleh Eslami-Rasekh, dkk. (2004) yaitu dengan melakukan diskusi dipandu guru,

kelompok koperatif, role-play, serta aktivitas berorientasi pragmatik lainnya.

Dengan mengadakan teknik-teknik seperti itu, disimpulkan bahwa pemahaman

siswa tentang tindak tutur meningkat secara signifikan. Salah satu cara yang dapat

ditempuh dari serangkaian teknik tersebut adalah dengan meneliti kesalahan atau

penyimpangan sosiopragmatik atau paralinguistik yang dilakukan oleh para siswa

untuk digunakan sebagai topik pengajaran dan informasi metapragmatik untuk

seluruh siswa. Pembelajaran metapragmatik dan diskusi metapragmatik untuk

meningkatkan perolehan aspek pragmatik siswa (House, 1996) dapat juga

54

dikombinasikan dengan beberapa aktivitas, di antaranya penilaian metapragmatik,

umpan balik introspektif, wawancara yang semi terstruktur, dan oral role play.

Dari beberapa teori pembelajaran pragmatik yang dipaparkan, teori

pembelajaran pragmatik secara eksplisit (Safont Jorda, 2004) dan teori

pembelajaran pragmatik yang memacu adanya ”awareness-rising task” dan

”activities providing communication practice” (Ortega, 2000) yang digunakan

dalam penelitian pengembangan ini. Penelitian pengembangan model

pembelajaran bahasa Inggris pragmatik ini mengadopsi model pembelajaran

ekplisit dan implisit.

2.3.2.3 Teori Tindak Tutur

Teori tindak tutur atau speech act diilhami oleh buah pikiran Austin

(1955), yang mengatakan bahwa pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia

juga melakukan sesuatu. Jika seseorang mengatakan “saya berjanji” (I promise),

dia sebenarnya tidak hanya mengucapkan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan

tindakan berjanji. Dia berjanji akan melakukan hal yang diujarkan (Nadar,

2009:11). Tuturan ini disebut tuturan performatif, sedangkan kata kerja yang

digunakan dalam tuturan ini disebut kata kerja performatif (lihat Yule, 2000;

Levinson, 1985; Austin, 1962). Cohen (2008:2) menambahkan bahwa tindak tutur

sering, tetapi tidak selalu, merupakan suatu bahasa yang terpola dan bersifat rutin

yang penutur asli dan juga penutur serta penulis nonasli lakukan. Mereka secara

pragmatik dianggap berkompeten walaupun dengan berbagai versi dialeknya

55

menggunakan bahasa tersebut dengan fungsi-fungsi bahasanya, seperti

mengucapkan terima kasih, memuji, meminta, menolak, dan mengeluh.

Terkait dengan pendapat Austin (1962), Searle (1977:22) juga mengatakan

hal yang senada yaitu menggunakan suatu bahasa berarti kita terlibat dalam suatu

bentuk tindakan, atau berbicara adalah melakukan suatu tindakan menurut aturan.

Dilihat dari macam-macam tindakan yang dihasilkannya, tindak tutur dibedakan

menjadi tiga, di antaranya, tindak lokusioner (utterance act/locutionary act),

tindak ilokusioner (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act)

(Searle, 1975; Yule, 2000; Nababan, 1987) dan Levinson (1989). Namun Cohen

(2008:214) melihat dari segi maknanya, yaitu ujaran“Do you have a watch?”

secara literal menanyakan apakah seseorang memiliki sebuah arloji dan ada

padanya sekarang. Makna ini disebut dengan makna sesungguhnya atau “makna

proposisional”, yaitu meminta (request). Di sisi lain, ada suatu makna yang

dimaksud oleh penutur (intended illocutionary meaning) atau makna yang tersirat

yaitu meminta agar lawan tutur memberitahu penutur pukul berapa sekarang.

Jika dicermati ada banyak jenis dan contoh tindak tutur, tetapi dalam

kajian ini tindak tutur yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah tindak

tutur permintaan (request) dan penolakan (refusal). Pemilihan tindak tutur ini

dilakukan berdasarkan rangkuman yang dibuat peneliti setelah mengadakan survei

dan wawancara dengan beberapa manager HRD hotel tentang ujaran-ujaran yang

sering digunakan pegawai hotel kepada tamu. Di samping itu, tindak tutur

permintaan dan penolakan sangat potensial untuk mengukur tingkat kesantunan

penuturnya (Brown dan Levinson, 1987). Tindak tutur permintaan dan penolakan

56

bersifat unik dalam percakapan asimetris yaitu percakapan yang memiliki status

partisipan tutur yang tidak sama karena kedua tindak tutur ini memiliki tujuan

yang bertentangan (convicting goals). Tindak tutur permintaan termasuk

kesantunan positif (positive politeness) dan tindak tutur penolakan termasuk

kesantunan negatif (negative politeness). Tindak tutur suatu merupakan tindak

tutur yang melanggar muka negative, yaitu kemauan orang untuk tidak disuruh-

suruh, sedangkan tindak tutur penolakan melanggar muka positif yaitu kemauan

orang untuk tetap dihargai. Dengan kata lain, tindak tutur suatu meminta

merupakan tindakan yang mengancam muka (face threatening acts). Meminta

juga membuat kedekatan dan keakraban karena penutur harus merasa cukup dekat

dengan lawan tutur untuk bisa meminta untuk melakukan sesuatu yang karenanya

permintaan tersebut harus juga dianggap masuk dalam kesantunan positif (positive

politeness).

Ketiga teori pragmatik ini merupakan teori pendukung bukan teori payung

karena bersifat mendukung dan melengkapi proses, seperti pembuatan instrumen

pengumpulan data, membuat alat uji, menentukan tindak tutur, serta menentukan

pendekatan pembelajaran.

57

2.4 Model Penelitian

Gambar 2.3 Model Penelitian

Pendekatan Kualitatif Teknik Observasi,

Perekaman, Pencatatan

Model Pembelajaran

Bahasa Inggris

Berpendekatan Pragmatik

di PT Vokasi Pariwisata

Kondisi Pembelajaran Saat Ini

Formula Semantik Baru Request

& Refusal pada Konteks

Perhotelan

Sekuensi Ujaran Tindak Tutur

Request & Refusal

Model Pembelajaran

yang Dikembangkan

Temuan:

Model

Model Pembelajaran

yang Tepat

Efektivitas Model

Pembelajaran yang

Dikembangkan

Kondisi

Pembelajaran Saat

Ini

Tindak Tutur

Sosiokultural

R & D

Noticing Hypotesis

Pembelajaran Pragmatik

Pragmalinguistik

Sosiopragmatik

Linguistik

Konten Pembelajaran

Proses Pembelajaran

Buku Ajar

Sintakmatik Pembelajaran

Alat Evaluasi Pembelajaran

Rubrik Penilaian Pembelajaran

Kartu oral role play

5 Formula Baru

Sekuensi T T Rq dan

Rf (SIRAT)

Kompetensi

Pragmatik Partisipan

Penelitian

58

Bagan di atas menggambarkan aspek-aspek yang akan digunakan sebagai pijakan

dalam penelitian ini. Aspek-aspek tersebut adalah penentuan target atau tujuan penelitian,

metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, perumusan masalah penelitian, teori yang

digunakan dalam penelitian, serta model pengembangan yang digunakan.

Target penelitian ini adalah terbentuknya model pembelajaran bahasa Inggris dengan

pendekatan pragmatik di Perguruan Tinggi Vokasi Perhotelan. Metodologi yang digunakan

untuk melakukan penelitian ini mencakup beberapa hal sebagai berikut. Partisipan yang

dilibatkan sebagai subjek penelitian adalah mahasiwa perogram studi D4 Pariwisata

Perguruan Tinggi Vokasi. Penelitian ini berlokasi di Program Studi D4 Jurusan Pariwisata

Perguruan Tinggi Vokasi. Ada tiga jenis data yang digunakan dalam penelitian, yaitu

pembelajaran bahasa Inggris di Program Studi D4 saat ini, Jurusan Pariwisata Perguruan

Tinggi Vokasi, perilaku awal dan karakteristik mahasiswa, serta hasil tes. Teknik yang

digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik observasi, simak (bebas) libat cakap, dan

pencatatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif dan

kuantitatif. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Penyajian hasil analisis dilakukan

dengan teknik formal dan nonformal.

Permasalahan yang dipecahkan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi empat.

Satu, pembelajaran bahasa Inggris saat ini di Program Studi D4 Jurusan Pariwisata Perguruan

Tinggi Vokasi saat ini. Dua, model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan

pragmatik yang memadai untuk diterapkan di perguruan tinggi vokasi. Ketiga, kompetensi

pragmatik bahasa Inggris mahasiswa perguruan tinggi okasi. Empat, efektivitas model

pembelajaran dan persepsi dosen dan mahasiswa terhadap model pembelajaran yang

dikembangkan.

Keempat permasalahan tersebut dipecahkan dengan menggunakan beberapa teori.

Teori pembelajaran pragmatik bahasa kedua (B2) (Safont Jorda, 2004) dan teori noticing

59

hypothesis (Schmidt, 1990) digunakan untuk memecahkan masalah satu dan dua, yaitu

pembelajaran bahasa Inggris saat ini di Perguruan Tinggi Vokasi dan model pembelajaran

bahasa Inggris dengan pendekatan pragmatik yang memadai untuk diterapkan di perguruan

tinggi vokasi. Teori kompetensi komunikatif (communicative competence) (Canale & Swain,

1980; Canale, 1983; Calce-Murcia, 2007), teori Sosiokultural (Brown dan Levinson, 1987),

teori tindak tutur (Searle, 1975; Leech, 1990, Yule, 2000) digunakan untuk membahas

permasalahan tiga dan empat.

Model yang digunakan dalam melakukan pengembangan model pembelajaran bahasa

Inggris ini adalah model research and development (R&D) yang dikembangkan oleh Dick

and Carey (1985). Model pengembangan ini memuat beberapa langkah. Model

pengembangan ini digunakan karena memuat langkah-langkah yang lengkap dan cocok untuk

pengembangan model pembelajaran bahasa Inggris di Perguruan Tinggi Vokasi. Temuan

penelitian pengembangan ini adalah model pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan

pragmatik di Perguruan Tinggi Vokasi yang sudah teruji dan tervalidasi.