Upload
vonhi
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perseroan terbatas sebagai salah satu perusahaan yang berbentuk badan
hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan
pinjam meminjam, baik untuk modal kerja atau pun modal untuk mengembangkan
suatu bisnis. Salah satu motif utama suatu badan usaha meminjam atau memakai
modal dari pihak ketiga adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang
dapat diraih, tambahan modal baru dapat dimanfaatkan untuk memperlancar arus
kas perusahaan atau biasa digunakan untuk dalam pengembangan bisnis
perusahaan. Sedangkan di sisi lain, salah satu motif utama pihak kreditur atau
pemberi pinjaman bersedia memberi pinjaman adalah keinginan untuk
memperoleh balas jasa dengan pemberian pinjaman tersebut (misalnya bunga).
Kegiatan pinjam meminjam ini menjadi sesuatu yang lumrah dalam dunia bisnis.
Akan tetapi, dalam dunia bisnis juga tidak terlepas dari resiko kerugian-kerugian,
bahkan besarnya resiko kerugian dapat menjadi pertimbangan utama dalam
menentukan besarnya balas jasa bagi suatu pinjaman.
Melihat hal tersebut maka sangat penting bagi kreditur untuk mengkaji
kinerja dan performa dari perusahaan calon debitur apakah layak atau tidak untuk
diberikan pinjaman. Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan
dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan
keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi
sanggup membayar hutang-hutangnya. Akan tetapi dalam prakteknya kegiatan
bisnis, banyak perusahaan yang menjalankan atau mengembangkan bisnisnya dari
pinjaman kredit, baik itu untuk modal kerja maupun modal barang. Kerugian yang
dialami perusahaan seringkali akhirnya berpengaruh kepada kemampuan
mengembalikan pinjaman kredit tersebut.
Imbas yang dapat terjadi dari kerugian tersebut dalam kegiatan bisnis
adalah menjadi pailit. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi, begitu pula
pada perseroan. Sepanjang kerugian tersebut tidak sampai menggangu arus kas
perusahaan.
Hukum kepailitan Negara Anglo Saxon menyebutnya “bangkruptcy” yang
berarti ketidakmampuan membayar utang. Kata “bangkruptcy” tersebut kemudian
diterjemahkan bangkrut dalam bahasa Indonesia1. Dalam Black’s Law Dictionary
pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari
seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo2. Ketidakmampuan
tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata baik dari debitur sendiri
maupun dari pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke
pengadilan.
Maksud dari pengajuan tersebut sebagai pemenuhan asas publisitas dari
keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa permohonan
tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah
tau keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Keadan ini diperkuat dengan
1 Sentosa Sembiring, 2006, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang
Terkait Dengan Kepailitan, Nuansa Aulia, Bandung, h. 11. 2 Bryan A., 1999, Black’s Law Dictionary, West Group, St. Paul, h. 141.
putusan pengadilan baik yang mengabulkan maupun menolak permohonan
kepailitan tersebut3.
Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut
manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau
membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur
ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka
hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat
dibayar secara tertib dan adil. Lembaga hukum Kepailitan muncul untuk mengatur
tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur dengan
berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata), terutama pasal 1131 dan 1132 tentang piutang-piutang yang
diistimewakan, maupun Undang-Undang Kepailitan.
Pengertian kepailitan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajian pembayaran utang
(selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) menyatakan bahwa
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pada prinsipnya
kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu
dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan
pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan
3 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT Raja
Grafindo, Jakarta, h. 12.
mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak
tanggal kepailitan itu.
Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang
mengatur masalah penyelesaian utang piutang tersebut secara cepat, efektif,
efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk
menyelesaikan masalah utang piutang mereka. Namun disisi lain juga diperlukan
adanya instrumen hukum yang khusus mengatur agar para debitur tetap harus
melunasi kewajiban hutang-hutang mereka dan tidak berniat “nakal” untuk
menghindari kewajiban baik dengan cara berpura-pura pailit maupun selalu
menghindari penagihan.
Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal yang
mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad
yang tidak baik seperti enggan melunasi hutang-hutangnya, berusaha
menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri. Maka perlu adanya suatu
pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi kewajibannya sekaligus
memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi
semua pihak. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang
Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma Nomor 1 Tahun 2000).
Pemberlakuan lembaga paksa badan dibentuk sebagai upaya pembaharuan
dari lembaga penyanderaan (gijzeling) yang pernah berlaku di Indonesia dengan
tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur melarikan diri maupun melakukan
perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa
badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi
kewajibannya sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampas dan
keseimbangan hukum dapat tercapai, namun keberadaan lembaga ini masih
kontroversial4.
Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan
merupakan hal yang berlebihan5. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini
diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi pihak
debitur yang nakal. Hal ini mendorong pemerintah untuk menciptakan suatu
mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi pihak debitur yang
memenuhi kewajibannya, dan mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga
paksa badan.
Paksa badan yang diatur dalam Perma No 1 Tahun 2000 ini berbeda
dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitor mampu, tetapi
membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma No 1 Tahun
2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitor "kelas kakap" yang
mempunyai utang sekurangnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sejak dikeluarkannya perma tentang lembaga paksa badan pada bulan Juni
2000 hingga kini belum seorang pun debitor yang dikenai paksa badan6. Sebagai
contoh, pengadilan negeri Jakarta Selatan menolak permohonan paksa badan yang
4
Anomin, 2008, Penyelesaian hutang piutang,
http://advokatku.blogspot.com/2008/04/penyelesaian-hutang-dengan,html, diakses tanggal 12
Maret 2015 5 Kemal Fasya, 2011, Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak,
http://kemalfasya.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-en-us-x-none.html., diakses tanggal
3 Oktober 2014. 6 Widodo Dwi Putro, 2014, Dewi Themis Tunduk Pada Konglomerat,
http://unisosdem.com/paksa-badan/Juli/2014/article.html, diakses tanggal 29 November 2014.
diajukan Badan Penyehat Perbankan Nasional (selanjutnya disebut BPPN)
terhadap debitor Wellwin Finance (HK) Limited (Ongko Group). Padahal debitor
telah mengakui berutang kepada negara sejumlah Rp 270.000.000,00 (dua ratus
tujuh puluh miliar) dan tidak kooperatif. Selain itu juga BPPN melakukan
tindakan serupa terhadap Samsul Nursalim, Direktur Bank Dagang Nasional
Indonesia dan Group Gajah Tunggal yang juga dinilai tidak kooperatif untuk
menyelesaikan utang-utangnya.
Contoh lain keluarga Gondokusumo dari Grup Dharmala melalui DeMat
Investment berutang 13 juta dollar AS. Sebagai konglomerat, mereka sebenarnya
mampu melunasi utangnya, tetapi tak kooperatif. Badan Penyehat Perbankan
Nasional lalu mengajukan paksa badan kepada pengadilan negeri Jakarta Selatan
terhadap lima anggota keluarga Gondokusumo. Namun, permohonan itu
dipatahkan majelis hakim dengan alasan prosedural dan bukti-bukti tidak
lengkap7.
Terhadap debitor dan para pengurus perseroan yang non kooperatif, BPPN
dan para kreditur telah mengajukan usul paksa badan. Paksa badan seharusnya
dapat diterapkan setelah semua persyaratan yang diwajibkan peraturan dipenuhi.
Kenyataannya paksa badan tidak pernah dapat dilaksanakan secara efektif, baik
dalam penerapan Undang-undang Kepailitan dan PKPU, maupun sebagai
pelaksanaan dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000. Alasan yang
diajukan di antaranya berkaitan dengan perangkat hukum yang belum jelas dan
pasti.
7 Ibid.
Dengan uraian diatas, maka saya sebagai saya tertarik untuk membuat
karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Pengaturan Lembaga Paksa
Badan (Gijzeling) Terhadap Direksi Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi
Putusan Pailit”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab hukum direksi terhadap putusan pailit yang
dijatuhkan kepada perseoran terbatas?
2. Bagaimana pengaturan paksa badan (gijzeling) terhadap direksi perseroan
terbatas yang dinyatakan pailit?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari terjadinya kekaburan dan kesimpangsiuran
pembahasan terhadap permasalahan yang dikaji, yang kadang dapat merumitkan
kajian yang sesungguhnya, maka perlu diadakan pembatasan-pembatasan
terhadap permasalahan yang akan dibahas. Adapun pembatasan-pembatasan yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Permasalahan yang disoroti dalam karya ilmiah ini terbatas pada perihal
tanggung jawab hukum direksi terhadap putusan pailit yang dijatuhkan
kepada perseroan terbatas.
2. Disamping itu permasalahan yang dibahas, terbatas pada perihal
pengaturan lembaga paksa badan (gijzeling) terhadap direksi perseroan
terbatas yang dinyatakan pailit.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan anti plagiat didalam dunia pendidikan di
Indonesia, maka penulis menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah
dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian atau disertasi terdahulu
sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini peneliti akan menampilkan
2 skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan pelaksanaan
penerapan lembaga Paksa badan terhadap direksi perseroan terbatas yang dijatuhi
putusan pailit
Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sejenis
No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
1. Tinjauan Yuridis Terhadap
keberadaan Lembaga Paksa Badan
(Gijzeling) di Indonesia
DA Dislan
(Program Studi
Ilmu Hukum,
Program Sarjana
Universitas
Sumatra Utara)
Tahun 2010
1.Bagaimana
pengaturan
mengenai lembaga
paksa badan
(gijzeling) dalam
sistem hukum
Indonesia?
2.Bagaimanakah
keberadaan
lembaga paksa
badan (gijzeling)
dalam Kepailitan?
2. Analisis Perbandingan Paksa
Badan Menurut Hukum Islam
Dengan Hukum Positif Indonesia
Siti Hamidah
(Program Studi
Ilmu Hukum,
Program Sarjana
Universitas
Brawijaya), Tahun
2011.
1.Bagaimana
Pengaturan Paksa
Badan Menurut
Hukum Islam dan
Hukum Posotof
Indonesia?
2.Analisis
Perbandingan
Bentuk Eksekusi
Paksa Badan
Berdasarkan
Hukum Islam Dan
Hukum Positif
Indonesia?
Tabel 1.2 DAftar Penelitian Penulis
No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
1 Pengaturan Lembaga Paksa Badan
(Gijzeling) Terhadap Direksi
Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi
Putusan Pailit
Luthfi
Andriansyah,
Fakultas Hukum
Universitas
Udayana, Tahun
2014
1.Bagaimana
tanggung jawab
hukum direksi
terhadap putusan
pailit yang
dijatuhkan kepada
Perseoran
Terbatas?
2.Bagaimana
penerapan paksa
badan terhadap
direksi Perseroan
Terbatas yang
dinyatakan Pailit?
1.5 Tujuan Penulisan
Setiap penelitian selalu mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan
penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.5.1 Tujuan Umum
a. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada
bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa seperti
mengadakan penelitian tentang masalah hukum yang timbul
dimasyarakat.
b. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah
secara tertulis.
c. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum kepailitan
dan hukum perusahaan.
d. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan
masyarakat.
1.5.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui bagaimana tanggung jawab hukum direksi terhadap
putusan pailit yang dijatuhkan kepada perseoran terbatas.
b. Mengetahui bagaimana pengaturan paksa badan terhadap direksi
perseroan terbatas yang dijatuhi Putusan Pailit
1.6 Manfaat Penulisan
1.6.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
manfaat akademis untuk pengembangan ilmu hukum, terutama hukum
kepailitan.
1.6.2 Manfaat Praktis
Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan
masukan tentang akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas bagi
direksi dan bagi Perseroan itu sendiri. Juga diharapkan dengan penulisan
ini akan dapat membawa manfaat bagi kepentingan bangsa dan negara
serta masyarakat luas.
1.7 Landasan Teori
Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses
dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk
membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini
pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar
utangnya8. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan harta
kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para
kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para kreditur akan
berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan
pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang
kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta
debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan
kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul
lembaga kepailitan dalam hukum9. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan
bahwa:
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan
perorangan debitur itu”.
Dan Pasal 1132 KUHPerdata menyatan bahwa:
“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur
terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut
8 Imran Nating, 2004, Peranan Kurator dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan
dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo, Jakarta, h. 2 9 Dadang Sukandar, 2011, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang,
http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, diakses tanggal 12 September 2014.
perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur
itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”.
Tujuan Undang-undang kepailitan modern adalah melindungi
kreditur konkuren untuk memperoleh hak-haknya sesuai asas yang
menjamin hak-hak kreditur dengan kekayaan debitur yaitu prinsip pari
passu prorata10
. Pari Passu berarti harta kekayaan debitur dibagikan
secara bersama-sama diantara para kreditur, sedangkan Prorata berarti
pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-
masing kreditur terhadap utang debitur secara keseluruhan. Untuk itu
dilakukan sita umum setelah adanya putusan pailit terhadap semua
kekayaaan yang dimiliki debitur untuk manfaat semua kreditur11
. Sitaan
umum bertujuan untuk mencegah agar debitur tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur.
Berikut ini dikemukakan beberapa prinsip di dalam hukum
kepailitan dimana keberadaannya digunakan sebagai dasar untuk
menemukan suatu hukum12
:
a. Paritas Creditorium adalah para kreditur baik kreditur separatis,
kreditur preferen dan kreditur konkuren mempunyai hak yang sama
tanpa dibedakan terhadap segenap harta benda debitur sehingga jika
10
Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-Undang No. 4 tahun 1998, Grafiti, Jakarta, h. 38. 11
Elijana, 2005, Inventarisasi dan Verifikasi Dalam Rangka Pemberesan Boedel Pailit,
Undang-Undang Kepailitan dan perkembangannya, Pusat Kajian Hukum, Jakarta, h. 270. 12
Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan,
Prenada Media Group, Jakarta, h. 27.
debitur tidak dapat membayar utangnya maka harta kekayaan
debitur menjadi sasaran kreditur.
b. Prinsip Pari Passu Prorate Parte adalah harta kekayaan tersebut
merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus
dibagi secara proporsional (prorate) antara mereka, kecuali jika
antara para kreditur itu ada yang menurut Undang-Undang harus
didahulukan dalam menerima pembayaran tagihan.
c. Prinsip Structured Prorate, bahwa kreditur kepailitan digolongkan
secara struktural yang terdiri dari kreditur separatis, kreditur
preferen dan kreditur konkuren, yang masing-masing kreditur
tersebut berbeda kedudukannya.
d. Prinsip Utang adalah utang yang dijadikan dasar dalam pengajuan
permohoman pailit adalah utang pretasi baik yang timbul sebagai
akibat perjanjian maupun timbul sebagai perintah Undang-undang
serta adanya pembatasan minimum jumlah utang yang dapat
dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit.
e. Prinsip Debt Collection adalah kepailitan merupakan pranata
collective proceeding untuk melakukan likuidasi terhadap harta
pailit yang selanjutnya didistribusikan kepada para krediturnya
karena tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditur akan
berlomba-lomba secara sendiri-sendiri mengklaim aset debitur
untuk kepentingan masing-masing sehingga karena itu hukum
kepailitan mengatasi apa yang disebut collective action problem
yang ditimbulkan dari kepentingan individu dari masing-masing
kreditur tersebut.
f. Prinsip Debt Pooling adalah kepailitan merupakan pranata untuk
mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara
para krediturnya, dimana kepailitan merupakan proses yang
eksklusif yang diatur dengan norma dan prosedur khusus.
g. Prinsip Debt Forgiveness adalah kepailitan merupakan pranata
hukum yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperingan
beban yang harus ditanggunga oleh debitur karena sebagai akibat
kesulitan keuangan sehingga tidak mampu melakukan pembayaran
terhadap utang-utangnya sesuai dengan kesepakatan semula dan
bahkan sampai pada pengampunan atas utang-utangnya sehingga
utang-utangnya tersebut menjadi hapus sama sekali.
h. Prinsip Universal adalah kepailitan berlaku terhadap semua harta
kekayaan debitur pailit, baik yang ada didalam negeri maupun yang
ada diluar negeri.
i. Prinsip Territorial adalah putusan pailit hanya berlaku di Negara
dimana putusan pailit tersebut dijatuhkan dan putusan pailit oleh
pengadilan di Negara asing tidak dapat diberlakukan di Negara yang
bersangkutan.
j. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress yaitu memberi
makna bahwa kepailitan merupakan solusi dari masalah
penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan
dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai
pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.
Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundang-
undangan dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang
menyatakan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung
dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam
Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan untuk
memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.
Penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga
tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama. Maka diberikan syarat
tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif yakni harus memenuhi
utang dalam jumlah tertentu, maupun syarat kualitatif, yakni diragukan
itikad baik pihak pengutang atau penjamin. Indikasi itikad tidak baik
tersebut antara lain penanggung utang atau penjamin diduga
menyembunyikan harta kekayaan, atau terdapat dugaan yang kuat akan
melarikan diri13
.
Perseoan terbatas merupakan salah satu bentuk perusahaan yang
tumbuh dan berkembang di Indonesia disamping bentuk-bentuk badan
usaha lainnya seperti: Koperasi, Firma, CV, dan lain-lain. Perseroan
terbatas dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan maksud
dan tujuan yang telah ditentukan dalam anggaran dasar perseroan
13 Anisia Astuti, 2012, Pengertian dan Syarat Kepailitan, http://hukum-
area.blogspot.com/2009/11/hukum-kepailitan-pengantar.html, diakses tanggal 1 Juli 2015.
terbatas pada saat didirikan. Sebagai badan hukum perseroan terbatas
memiliki unsur-unsur yaitu:
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah;
b. Mempunyai tujuan;
c. Mempunyai organisasi yang teratur.
Unsur-unsur tersebut terkait dengan badan hukum sebagai subyek
hukum yaitu subyek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum
yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi14
.
Dalam pengurusan yang dilakukan organ-organ perseroan terbatas
khususnya direksi suatu perseoran, maka terdapat teori-teori yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
ini antara lain:
1. Prinsip Fiduciary duty dalam pengurusan perseroan terbatas
Dalam pengurusan perseroan, anggotan direksi merupakan
pemegang amanah (fiduciary), karena itu dikatakan bahwa antara
perseroan terbatas dan direksi terdapat hubungan fiducia yang
melahirkan fiduciary duties bagi direksi15
.
Ada 2 (dua) jenis kewajiban pokok dalam fiduciary duty yaitu16
:
a. Kewajiban untuk setia yaitu suatu kewajiban yang
menghendaki direktur dengan persetujuan dan dengan jujur
14 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum perdata Indonesia, Perseroan Terbatas, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 29.
15
Try Widiyono, 2008, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang, dan
Tanggung Jawab, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 38.
16
Gunawan Widjaja, 2008, Resiko Pemilik dan Komisaris PT, Forum Sahabat, Jakarta, h.
45.
melindungi kepentingan perusahaan dan pemegang
sahamnya
b. Kewajiban peduli yaitu sebuah kewajiban yang menghendaki
direktur untuk menjalankan tanggung jawab dengan hati-hati
yang mana seorang yang berhati-hati dengan alasan akan
menggunakan dibawah keadaan yang sama, ketika bertindak
dalam cara yang berbeda.
2. Business Judgement Rule
Teori ini mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat
dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang
dilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur, yang dia yakini sebagai
tindakan terbaik untuk perseroan dan dilakukannya secara jujur,
beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
3. Tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra Vires
Adapun yang dimaksud dengan prinsip ultra vires (pelampauan
kewenangan perseroan) adalah suatu prinsip yang mengatur akibat
hukum seandainya ada tindakan direksi untuk dan atas nama perseroan,
tetapi tindakan direksi tersebut sebenarnya melebihi dari apa yang diatur
dalam anggaran dasar perseroan.
4. Tanggung jawab berdasarkan Prinsip Piercieng The Corporate Veil
Pada umumnya prinsip piercing corporate viel diartikan sebagai
suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau
perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan
pelaku. Dengan demikian, piercieng corporate viel ini pada hakaikatnya
merupakan doktrin yang memindahkan tanggung jawab dari perusahaan
kepada pemegang saham, direksi, atau komisaris dan biasanya doktrin
ini baru diterapkan jika ada klaim dari pihak ketiga kepada perseroan.
1.8 Metode Penelitian
Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian
ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir
yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena
penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Penelitian
merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Metode
penelitian normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik
hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan
oleh Hakim melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the
judicial process)17
. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan
data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas
pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga
diperlukan rencana yang sistematis18
.
1.8.1 Jenis Penelitian
17
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Gratifi
Press, Jakarta, h. 118
18 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitan Hukum, UI-Press, Jakarta, h. 6.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian yuridis normatif. Adapun jenis penelitian yuridis normatif
merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma,
kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan
pendekatan dari berbagai literatur.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan Perundang-undangan (The
Statue approach). Dimana dalam pendekatan ini dilakukan dengan
mengkaji semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dan pendekatan Analis
Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) dimana pendekatan
ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari hal tersebut
peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan
dengan isu yang dihadapi.
1.8.3 Bahan Hukum
Dengan berpangkal tolak dari pendekatan masalah yanag ada, maka
dalam penulisan skripsi ini terdapat bahan-bahan hukum yang terdiri
dari:
1. Bahan Hukum Primer: Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku terkait dengan permasalahan yang
diangkat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang
digunakan meliputi:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131);
c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
d. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Lembaga Paksa Badan.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang
buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat para pakar (doktrin),
serta jurnal-jurnal hukum.
3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
ialah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk
mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan, literatur, tulisan, maupun putusan pengadilan yang
berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data-data tersebut
dilakukan dengan penelitian kepustakaan.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum
normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap
kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara
memasukkan pasal-pasal kedalam kategorikategori atas pengertian dasar
dari system hukum tersebut. Adapun teknik analisa yang dipergunakan
yaitu:
1. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisa yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau non hukum.
2. Teknik Evaluasi adalah penelitian berupa tepat atau tidak tepat,
setuju atau tidak sejutu, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh
peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan
norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun
dalam bahan sekunder.
3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi
karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin