22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perseroan terbatas sebagai salah satu perusahaan yang berbentuk badan hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan pinjam meminjam, baik untuk modal kerja atau pun modal untuk mengembangkan suatu bisnis. Salah satu motif utama suatu badan usaha meminjam atau memakai modal dari pihak ketiga adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, tambahan modal baru dapat dimanfaatkan untuk memperlancar arus kas perusahaan atau biasa digunakan untuk dalam pengembangan bisnis perusahaan. Sedangkan di sisi lain, salah satu motif utama pihak kreditur atau pemberi pinjaman bersedia memberi pinjaman adalah keinginan untuk memperoleh balas jasa dengan pemberian pinjaman tersebut (misalnya bunga). Kegiatan pinjam meminjam ini menjadi sesuatu yang lumrah dalam dunia bisnis. Akan tetapi, dalam dunia bisnis juga tidak terlepas dari resiko kerugian-kerugian, bahkan besarnya resiko kerugian dapat menjadi pertimbangan utama dalam menentukan besarnya balas jasa bagi suatu pinjaman. Melihat hal tersebut maka sangat penting bagi kreditur untuk mengkaji kinerja dan performa dari perusahaan calon debitur apakah layak atau tidak untuk diberikan pinjaman. Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · Hukum kepailitan Negara Anglo Saxon menyebutnya ... Dalam Black’s Law Dictionary pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan

  • Upload
    vonhi

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perseroan terbatas sebagai salah satu perusahaan yang berbentuk badan

hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan

pinjam meminjam, baik untuk modal kerja atau pun modal untuk mengembangkan

suatu bisnis. Salah satu motif utama suatu badan usaha meminjam atau memakai

modal dari pihak ketiga adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang

dapat diraih, tambahan modal baru dapat dimanfaatkan untuk memperlancar arus

kas perusahaan atau biasa digunakan untuk dalam pengembangan bisnis

perusahaan. Sedangkan di sisi lain, salah satu motif utama pihak kreditur atau

pemberi pinjaman bersedia memberi pinjaman adalah keinginan untuk

memperoleh balas jasa dengan pemberian pinjaman tersebut (misalnya bunga).

Kegiatan pinjam meminjam ini menjadi sesuatu yang lumrah dalam dunia bisnis.

Akan tetapi, dalam dunia bisnis juga tidak terlepas dari resiko kerugian-kerugian,

bahkan besarnya resiko kerugian dapat menjadi pertimbangan utama dalam

menentukan besarnya balas jasa bagi suatu pinjaman.

Melihat hal tersebut maka sangat penting bagi kreditur untuk mengkaji

kinerja dan performa dari perusahaan calon debitur apakah layak atau tidak untuk

diberikan pinjaman. Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan

dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan

keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi

sanggup membayar hutang-hutangnya. Akan tetapi dalam prakteknya kegiatan

bisnis, banyak perusahaan yang menjalankan atau mengembangkan bisnisnya dari

pinjaman kredit, baik itu untuk modal kerja maupun modal barang. Kerugian yang

dialami perusahaan seringkali akhirnya berpengaruh kepada kemampuan

mengembalikan pinjaman kredit tersebut.

Imbas yang dapat terjadi dari kerugian tersebut dalam kegiatan bisnis

adalah menjadi pailit. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi, begitu pula

pada perseroan. Sepanjang kerugian tersebut tidak sampai menggangu arus kas

perusahaan.

Hukum kepailitan Negara Anglo Saxon menyebutnya “bangkruptcy” yang

berarti ketidakmampuan membayar utang. Kata “bangkruptcy” tersebut kemudian

diterjemahkan bangkrut dalam bahasa Indonesia1. Dalam Black’s Law Dictionary

pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari

seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo2. Ketidakmampuan

tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata baik dari debitur sendiri

maupun dari pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke

pengadilan.

Maksud dari pengajuan tersebut sebagai pemenuhan asas publisitas dari

keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa permohonan

tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah

tau keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Keadan ini diperkuat dengan

1 Sentosa Sembiring, 2006, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang

Terkait Dengan Kepailitan, Nuansa Aulia, Bandung, h. 11. 2 Bryan A., 1999, Black’s Law Dictionary, West Group, St. Paul, h. 141.

putusan pengadilan baik yang mengabulkan maupun menolak permohonan

kepailitan tersebut3.

Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut

manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau

membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur

ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka

hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat

dibayar secara tertib dan adil. Lembaga hukum Kepailitan muncul untuk mengatur

tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur dengan

berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut

KUHPerdata), terutama pasal 1131 dan 1132 tentang piutang-piutang yang

diistimewakan, maupun Undang-Undang Kepailitan.

Pengertian kepailitan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajian pembayaran utang

(selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) menyatakan bahwa

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan

dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim

pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pada prinsipnya

kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu

dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan

pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan

3 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT Raja

Grafindo, Jakarta, h. 12.

mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak

tanggal kepailitan itu.

Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang

mengatur masalah penyelesaian utang piutang tersebut secara cepat, efektif,

efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk

menyelesaikan masalah utang piutang mereka. Namun disisi lain juga diperlukan

adanya instrumen hukum yang khusus mengatur agar para debitur tetap harus

melunasi kewajiban hutang-hutang mereka dan tidak berniat “nakal” untuk

menghindari kewajiban baik dengan cara berpura-pura pailit maupun selalu

menghindari penagihan.

Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal yang

mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad

yang tidak baik seperti enggan melunasi hutang-hutangnya, berusaha

menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri. Maka perlu adanya suatu

pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi kewajibannya sekaligus

memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi

semua pihak. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang

Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma Nomor 1 Tahun 2000).

Pemberlakuan lembaga paksa badan dibentuk sebagai upaya pembaharuan

dari lembaga penyanderaan (gijzeling) yang pernah berlaku di Indonesia dengan

tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur melarikan diri maupun melakukan

perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa

badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi

kewajibannya sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampas dan

keseimbangan hukum dapat tercapai, namun keberadaan lembaga ini masih

kontroversial4.

Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan

merupakan hal yang berlebihan5. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini

diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi pihak

debitur yang nakal. Hal ini mendorong pemerintah untuk menciptakan suatu

mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi pihak debitur yang

memenuhi kewajibannya, dan mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga

paksa badan.

Paksa badan yang diatur dalam Perma No 1 Tahun 2000 ini berbeda

dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitor mampu, tetapi

membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma No 1 Tahun

2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitor "kelas kakap" yang

mempunyai utang sekurangnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sejak dikeluarkannya perma tentang lembaga paksa badan pada bulan Juni

2000 hingga kini belum seorang pun debitor yang dikenai paksa badan6. Sebagai

contoh, pengadilan negeri Jakarta Selatan menolak permohonan paksa badan yang

4

Anomin, 2008, Penyelesaian hutang piutang,

http://advokatku.blogspot.com/2008/04/penyelesaian-hutang-dengan,html, diakses tanggal 12

Maret 2015 5 Kemal Fasya, 2011, Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak,

http://kemalfasya.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-en-us-x-none.html., diakses tanggal

3 Oktober 2014. 6 Widodo Dwi Putro, 2014, Dewi Themis Tunduk Pada Konglomerat,

http://unisosdem.com/paksa-badan/Juli/2014/article.html, diakses tanggal 29 November 2014.

diajukan Badan Penyehat Perbankan Nasional (selanjutnya disebut BPPN)

terhadap debitor Wellwin Finance (HK) Limited (Ongko Group). Padahal debitor

telah mengakui berutang kepada negara sejumlah Rp 270.000.000,00 (dua ratus

tujuh puluh miliar) dan tidak kooperatif. Selain itu juga BPPN melakukan

tindakan serupa terhadap Samsul Nursalim, Direktur Bank Dagang Nasional

Indonesia dan Group Gajah Tunggal yang juga dinilai tidak kooperatif untuk

menyelesaikan utang-utangnya.

Contoh lain keluarga Gondokusumo dari Grup Dharmala melalui DeMat

Investment berutang 13 juta dollar AS. Sebagai konglomerat, mereka sebenarnya

mampu melunasi utangnya, tetapi tak kooperatif. Badan Penyehat Perbankan

Nasional lalu mengajukan paksa badan kepada pengadilan negeri Jakarta Selatan

terhadap lima anggota keluarga Gondokusumo. Namun, permohonan itu

dipatahkan majelis hakim dengan alasan prosedural dan bukti-bukti tidak

lengkap7.

Terhadap debitor dan para pengurus perseroan yang non kooperatif, BPPN

dan para kreditur telah mengajukan usul paksa badan. Paksa badan seharusnya

dapat diterapkan setelah semua persyaratan yang diwajibkan peraturan dipenuhi.

Kenyataannya paksa badan tidak pernah dapat dilaksanakan secara efektif, baik

dalam penerapan Undang-undang Kepailitan dan PKPU, maupun sebagai

pelaksanaan dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000. Alasan yang

diajukan di antaranya berkaitan dengan perangkat hukum yang belum jelas dan

pasti.

7 Ibid.

Dengan uraian diatas, maka saya sebagai saya tertarik untuk membuat

karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Pengaturan Lembaga Paksa

Badan (Gijzeling) Terhadap Direksi Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi

Putusan Pailit”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana tanggung jawab hukum direksi terhadap putusan pailit yang

dijatuhkan kepada perseoran terbatas?

2. Bagaimana pengaturan paksa badan (gijzeling) terhadap direksi perseroan

terbatas yang dinyatakan pailit?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari terjadinya kekaburan dan kesimpangsiuran

pembahasan terhadap permasalahan yang dikaji, yang kadang dapat merumitkan

kajian yang sesungguhnya, maka perlu diadakan pembatasan-pembatasan

terhadap permasalahan yang akan dibahas. Adapun pembatasan-pembatasan yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Permasalahan yang disoroti dalam karya ilmiah ini terbatas pada perihal

tanggung jawab hukum direksi terhadap putusan pailit yang dijatuhkan

kepada perseroan terbatas.

2. Disamping itu permasalahan yang dibahas, terbatas pada perihal

pengaturan lembaga paksa badan (gijzeling) terhadap direksi perseroan

terbatas yang dinyatakan pailit.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan anti plagiat didalam dunia pendidikan di

Indonesia, maka penulis menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah

dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian atau disertasi terdahulu

sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini peneliti akan menampilkan

2 skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan pelaksanaan

penerapan lembaga Paksa badan terhadap direksi perseroan terbatas yang dijatuhi

putusan pailit

Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sejenis

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1. Tinjauan Yuridis Terhadap

keberadaan Lembaga Paksa Badan

(Gijzeling) di Indonesia

DA Dislan

(Program Studi

Ilmu Hukum,

Program Sarjana

Universitas

Sumatra Utara)

Tahun 2010

1.Bagaimana

pengaturan

mengenai lembaga

paksa badan

(gijzeling) dalam

sistem hukum

Indonesia?

2.Bagaimanakah

keberadaan

lembaga paksa

badan (gijzeling)

dalam Kepailitan?

2. Analisis Perbandingan Paksa

Badan Menurut Hukum Islam

Dengan Hukum Positif Indonesia

Siti Hamidah

(Program Studi

Ilmu Hukum,

Program Sarjana

Universitas

Brawijaya), Tahun

2011.

1.Bagaimana

Pengaturan Paksa

Badan Menurut

Hukum Islam dan

Hukum Posotof

Indonesia?

2.Analisis

Perbandingan

Bentuk Eksekusi

Paksa Badan

Berdasarkan

Hukum Islam Dan

Hukum Positif

Indonesia?

Tabel 1.2 DAftar Penelitian Penulis

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1 Pengaturan Lembaga Paksa Badan

(Gijzeling) Terhadap Direksi

Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi

Putusan Pailit

Luthfi

Andriansyah,

Fakultas Hukum

Universitas

Udayana, Tahun

2014

1.Bagaimana

tanggung jawab

hukum direksi

terhadap putusan

pailit yang

dijatuhkan kepada

Perseoran

Terbatas?

2.Bagaimana

penerapan paksa

badan terhadap

direksi Perseroan

Terbatas yang

dinyatakan Pailit?

1.5 Tujuan Penulisan

Setiap penelitian selalu mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan

penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1.5.1 Tujuan Umum

a. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada

bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa seperti

mengadakan penelitian tentang masalah hukum yang timbul

dimasyarakat.

b. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah

secara tertulis.

c. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum kepailitan

dan hukum perusahaan.

d. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan

masyarakat.

1.5.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui bagaimana tanggung jawab hukum direksi terhadap

putusan pailit yang dijatuhkan kepada perseoran terbatas.

b. Mengetahui bagaimana pengaturan paksa badan terhadap direksi

perseroan terbatas yang dijatuhi Putusan Pailit

1.6 Manfaat Penulisan

1.6.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan

manfaat akademis untuk pengembangan ilmu hukum, terutama hukum

kepailitan.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan

masukan tentang akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas bagi

direksi dan bagi Perseroan itu sendiri. Juga diharapkan dengan penulisan

ini akan dapat membawa manfaat bagi kepentingan bangsa dan negara

serta masyarakat luas.

1.7 Landasan Teori

Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses

dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk

membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini

pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar

utangnya8. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan harta

kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para

kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para kreditur akan

berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan

pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang

kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta

debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan

kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul

lembaga kepailitan dalam hukum9. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan

bahwa:

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik

yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan

perorangan debitur itu”.

Dan Pasal 1132 KUHPerdata menyatan bahwa:

“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur

terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut

8 Imran Nating, 2004, Peranan Kurator dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan

dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo, Jakarta, h. 2 9 Dadang Sukandar, 2011, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang,

http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, diakses tanggal 12 September 2014.

perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur

itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”.

Tujuan Undang-undang kepailitan modern adalah melindungi

kreditur konkuren untuk memperoleh hak-haknya sesuai asas yang

menjamin hak-hak kreditur dengan kekayaan debitur yaitu prinsip pari

passu prorata10

. Pari Passu berarti harta kekayaan debitur dibagikan

secara bersama-sama diantara para kreditur, sedangkan Prorata berarti

pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-

masing kreditur terhadap utang debitur secara keseluruhan. Untuk itu

dilakukan sita umum setelah adanya putusan pailit terhadap semua

kekayaaan yang dimiliki debitur untuk manfaat semua kreditur11

. Sitaan

umum bertujuan untuk mencegah agar debitur tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur.

Berikut ini dikemukakan beberapa prinsip di dalam hukum

kepailitan dimana keberadaannya digunakan sebagai dasar untuk

menemukan suatu hukum12

:

a. Paritas Creditorium adalah para kreditur baik kreditur separatis,

kreditur preferen dan kreditur konkuren mempunyai hak yang sama

tanpa dibedakan terhadap segenap harta benda debitur sehingga jika

10

Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening

Juncto Undang-Undang No. 4 tahun 1998, Grafiti, Jakarta, h. 38. 11

Elijana, 2005, Inventarisasi dan Verifikasi Dalam Rangka Pemberesan Boedel Pailit,

Undang-Undang Kepailitan dan perkembangannya, Pusat Kajian Hukum, Jakarta, h. 270. 12

Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan,

Prenada Media Group, Jakarta, h. 27.

debitur tidak dapat membayar utangnya maka harta kekayaan

debitur menjadi sasaran kreditur.

b. Prinsip Pari Passu Prorate Parte adalah harta kekayaan tersebut

merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus

dibagi secara proporsional (prorate) antara mereka, kecuali jika

antara para kreditur itu ada yang menurut Undang-Undang harus

didahulukan dalam menerima pembayaran tagihan.

c. Prinsip Structured Prorate, bahwa kreditur kepailitan digolongkan

secara struktural yang terdiri dari kreditur separatis, kreditur

preferen dan kreditur konkuren, yang masing-masing kreditur

tersebut berbeda kedudukannya.

d. Prinsip Utang adalah utang yang dijadikan dasar dalam pengajuan

permohoman pailit adalah utang pretasi baik yang timbul sebagai

akibat perjanjian maupun timbul sebagai perintah Undang-undang

serta adanya pembatasan minimum jumlah utang yang dapat

dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit.

e. Prinsip Debt Collection adalah kepailitan merupakan pranata

collective proceeding untuk melakukan likuidasi terhadap harta

pailit yang selanjutnya didistribusikan kepada para krediturnya

karena tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditur akan

berlomba-lomba secara sendiri-sendiri mengklaim aset debitur

untuk kepentingan masing-masing sehingga karena itu hukum

kepailitan mengatasi apa yang disebut collective action problem

yang ditimbulkan dari kepentingan individu dari masing-masing

kreditur tersebut.

f. Prinsip Debt Pooling adalah kepailitan merupakan pranata untuk

mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara

para krediturnya, dimana kepailitan merupakan proses yang

eksklusif yang diatur dengan norma dan prosedur khusus.

g. Prinsip Debt Forgiveness adalah kepailitan merupakan pranata

hukum yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperingan

beban yang harus ditanggunga oleh debitur karena sebagai akibat

kesulitan keuangan sehingga tidak mampu melakukan pembayaran

terhadap utang-utangnya sesuai dengan kesepakatan semula dan

bahkan sampai pada pengampunan atas utang-utangnya sehingga

utang-utangnya tersebut menjadi hapus sama sekali.

h. Prinsip Universal adalah kepailitan berlaku terhadap semua harta

kekayaan debitur pailit, baik yang ada didalam negeri maupun yang

ada diluar negeri.

i. Prinsip Territorial adalah putusan pailit hanya berlaku di Negara

dimana putusan pailit tersebut dijatuhkan dan putusan pailit oleh

pengadilan di Negara asing tidak dapat diberlakukan di Negara yang

bersangkutan.

j. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress yaitu memberi

makna bahwa kepailitan merupakan solusi dari masalah

penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan

dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai

pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.

Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundang-

undangan dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang

menyatakan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung

dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam

Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan untuk

memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.

Penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga

tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama. Maka diberikan syarat

tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif yakni harus memenuhi

utang dalam jumlah tertentu, maupun syarat kualitatif, yakni diragukan

itikad baik pihak pengutang atau penjamin. Indikasi itikad tidak baik

tersebut antara lain penanggung utang atau penjamin diduga

menyembunyikan harta kekayaan, atau terdapat dugaan yang kuat akan

melarikan diri13

.

Perseoan terbatas merupakan salah satu bentuk perusahaan yang

tumbuh dan berkembang di Indonesia disamping bentuk-bentuk badan

usaha lainnya seperti: Koperasi, Firma, CV, dan lain-lain. Perseroan

terbatas dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan maksud

dan tujuan yang telah ditentukan dalam anggaran dasar perseroan

13 Anisia Astuti, 2012, Pengertian dan Syarat Kepailitan, http://hukum-

area.blogspot.com/2009/11/hukum-kepailitan-pengantar.html, diakses tanggal 1 Juli 2015.

terbatas pada saat didirikan. Sebagai badan hukum perseroan terbatas

memiliki unsur-unsur yaitu:

a. Adanya harta kekayaan yang terpisah;

b. Mempunyai tujuan;

c. Mempunyai organisasi yang teratur.

Unsur-unsur tersebut terkait dengan badan hukum sebagai subyek

hukum yaitu subyek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum

yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi14

.

Dalam pengurusan yang dilakukan organ-organ perseroan terbatas

khususnya direksi suatu perseoran, maka terdapat teori-teori yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian

ini antara lain:

1. Prinsip Fiduciary duty dalam pengurusan perseroan terbatas

Dalam pengurusan perseroan, anggotan direksi merupakan

pemegang amanah (fiduciary), karena itu dikatakan bahwa antara

perseroan terbatas dan direksi terdapat hubungan fiducia yang

melahirkan fiduciary duties bagi direksi15

.

Ada 2 (dua) jenis kewajiban pokok dalam fiduciary duty yaitu16

:

a. Kewajiban untuk setia yaitu suatu kewajiban yang

menghendaki direktur dengan persetujuan dan dengan jujur

14 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum perdata Indonesia, Perseroan Terbatas, Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 29.

15

Try Widiyono, 2008, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang, dan

Tanggung Jawab, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 38.

16

Gunawan Widjaja, 2008, Resiko Pemilik dan Komisaris PT, Forum Sahabat, Jakarta, h.

45.

melindungi kepentingan perusahaan dan pemegang

sahamnya

b. Kewajiban peduli yaitu sebuah kewajiban yang menghendaki

direktur untuk menjalankan tanggung jawab dengan hati-hati

yang mana seorang yang berhati-hati dengan alasan akan

menggunakan dibawah keadaan yang sama, ketika bertindak

dalam cara yang berbeda.

2. Business Judgement Rule

Teori ini mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat

dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang

dilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur, yang dia yakini sebagai

tindakan terbaik untuk perseroan dan dilakukannya secara jujur,

beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

3. Tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra Vires

Adapun yang dimaksud dengan prinsip ultra vires (pelampauan

kewenangan perseroan) adalah suatu prinsip yang mengatur akibat

hukum seandainya ada tindakan direksi untuk dan atas nama perseroan,

tetapi tindakan direksi tersebut sebenarnya melebihi dari apa yang diatur

dalam anggaran dasar perseroan.

4. Tanggung jawab berdasarkan Prinsip Piercieng The Corporate Veil

Pada umumnya prinsip piercing corporate viel diartikan sebagai

suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau

perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan

pelaku. Dengan demikian, piercieng corporate viel ini pada hakaikatnya

merupakan doktrin yang memindahkan tanggung jawab dari perusahaan

kepada pemegang saham, direksi, atau komisaris dan biasanya doktrin

ini baru diterapkan jika ada klaim dari pihak ketiga kepada perseroan.

1.8 Metode Penelitian

Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian

ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir

yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena

penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Penelitian

merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Metode

penelitian normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik

hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan

oleh Hakim melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the

judicial process)17

. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,

mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan

data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas

pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga

diperlukan rencana yang sistematis18

.

1.8.1 Jenis Penelitian

17

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Gratifi

Press, Jakarta, h. 118

18 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitan Hukum, UI-Press, Jakarta, h. 6.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian yuridis normatif. Adapun jenis penelitian yuridis normatif

merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma,

kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan

pendekatan dari berbagai literatur.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan Perundang-undangan (The

Statue approach). Dimana dalam pendekatan ini dilakukan dengan

mengkaji semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dan pendekatan Analis

Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) dimana pendekatan

ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari hal tersebut

peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian

hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan

dengan isu yang dihadapi.

1.8.3 Bahan Hukum

Dengan berpangkal tolak dari pendekatan masalah yanag ada, maka

dalam penulisan skripsi ini terdapat bahan-bahan hukum yang terdiri

dari:

1. Bahan Hukum Primer: Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku terkait dengan permasalahan yang

diangkat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang

digunakan meliputi:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131);

c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4756);

d. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang

Lembaga Paksa Badan.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang

buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat para pakar (doktrin),

serta jurnal-jurnal hukum.

3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

ialah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk

mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan

perundang-undangan, literatur, tulisan, maupun putusan pengadilan yang

berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data-data tersebut

dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum

normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap

kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara

memasukkan pasal-pasal kedalam kategorikategori atas pengertian dasar

dari system hukum tersebut. Adapun teknik analisa yang dipergunakan

yaitu:

1. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisa yang tidak dapat

dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya

terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum

atau non hukum.

2. Teknik Evaluasi adalah penelitian berupa tepat atau tidak tepat,

setuju atau tidak sejutu, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh

peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan

norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun

dalam bahan sekunder.

3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi

karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat

penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin

banyak argument makin menunjukkan kedalaman penalaran

hukum.