34
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peranan penting dalam hidup dan kehidupan masyarakat diantaranya sebagai prasarana dalam bidang Perindustrian, Perumahan, Jalan adalah tanah. Tanah dapat dinilai sebagai benda tetap yang dapat digunakan sebagai tabungan masa depan. Tanah merupakan tempat pemukiman dari sebagian besar umat manusia, disamping sebagai sumber penghidupan bagi manusia yang mencari nafkah melalui usaha tani dan perkebunan, yang akhirnya tanah juga yang dijadikan persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia. 1 Tanah juga mempunya nilai investasi bagi seorang yang mempunyai tanah. Pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum akan mendapatkan ganti rugi tidak hanya berupa uang semata bisa berbentuk tanah dan yang lainnya. Pada dasarnya tanah memiliki nilai ekonomis dan sosial jadi bisa melakukan pelepasan hak untuk kepentingan umum. Jadi tidaklah benar seorang yang menjual tanah berarti menjual miliknya, yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama dikuasainya. 2 Di sisi lain tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat secara adil dan merata, juga harus dijaga kelestariannya. 3 Tanah adalah sumber daya alam yang merupakan kebutuhan primer manusia. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang tidak berkaitan dengan tanah. Menjadi persoalan ketika pembagunan harus dilakukan, sementara itu ketersediaan Negara (tanah yang dikuasai langsung 1 Abdurrahman, 1983, Masalah Hak-Hak Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 1 2 Soedharyo Soimin, 1993, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 82 3 Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 1.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah ... Status Hak dan Pengadaan Tanah ... berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim

  • Upload
    buique

  • View
    217

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peranan penting dalam hidup dan kehidupan masyarakat diantaranya sebagai prasarana

dalam bidang Perindustrian, Perumahan, Jalan adalah tanah. Tanah dapat dinilai sebagai benda

tetap yang dapat digunakan sebagai tabungan masa depan. Tanah merupakan tempat pemukiman

dari sebagian besar umat manusia, disamping sebagai sumber penghidupan bagi manusia yang

mencari nafkah melalui usaha tani dan perkebunan, yang akhirnya tanah juga yang dijadikan

persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia.1

Tanah juga mempunya nilai investasi bagi seorang yang mempunyai tanah. Pelepasan

hak atas tanah untuk kepentingan umum akan mendapatkan ganti rugi tidak hanya berupa uang

semata bisa berbentuk tanah dan yang lainnya. Pada dasarnya tanah memiliki nilai ekonomis dan

sosial jadi bisa melakukan pelepasan hak untuk kepentingan umum.

Jadi tidaklah benar seorang yang menjual tanah berarti menjual miliknya, yang benar dia

hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama dikuasainya.2 Di sisi lain tanah harus

dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat secara adil dan merata,

juga harus dijaga kelestariannya.3

Tanah adalah sumber daya alam yang merupakan kebutuhan primer manusia. Hampir

tidak ada kegiatan manusia yang tidak berkaitan dengan tanah. Menjadi persoalan ketika

pembagunan harus dilakukan, sementara itu ketersediaan Negara (tanah yang dikuasai langsung

1 Abdurrahman, 1983, Masalah Hak-Hak Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah di

Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 1 2 Soedharyo Soimin, 1993, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,

hal. 82 3 Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,

Bayumedia Publishing, Malang, hal. 1.

oleh Negara) sangat terbatas. Demi terlaksananya pembangunan, terpaksa tanah yang sudah

dipunyai atau dikuasai oleh rakyat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembanguan fisik.

Dalam perolehan tanah untuk keperluan pembangunan itulah tidak jarang terjadi “benturan”.4

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting

untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sehubungan dengan hal

tersebut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(selanjutnya disebut UUPA) merupakan pelaksanaan langsug dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

yang menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Ini merupakan pengejawantahan aspirasi Indonesia dalam pembaharuan hukum tanah

nasional. Nilai ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang melekat pada tanah

tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar

yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu. Mengenai tanah sebagai hak milik, bahwa

:“hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh atas tanah.” Ketentuan ini tentunya memberikan

kekuatan hukum bagi masyarakat yang memiliki hak milik atas tanah.

Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945, pemerintah perlu mengadakan pembangunan dalam segala aspek kehidupan

masyarakat. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka pembangunan nasional adalah

pembangunan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan raya, pemukiman rakyat,

pasar tradisional, pembangunan gedung mall dan sebagainya.

Pembangunan nasional untuk kepentingan umum seperti ini diperlukan lahan yang sangat

luas dan pemiliknya pun sangat banyak. Untuk memenuhi kebutuhan tanah tersebut dilakukan

4 Suparjo Sujadi, ed., 2011, Pergulatan Pemikiran Dan Aneka Gagasan Seputar Hukum

Tanah Nasional, BP FHUI, Depok, hal. 159.

pembebasan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang

terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum tanah nasional khususnya

Penjelasan Umum Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, UU No. 2 Tahun 2012.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, bahwa bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai Negara tersebut, memberi wewenang

kepada negara, diantaranya untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat (2) huruf a Undang-

Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960).

Menyelenggarakan penyediaan tanah dalam berbagai keperluan masyarakat dan negara,

pemerintah dapat mencabut hak-hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian yang layak

menurut cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18 Undang-Undang tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960), apabila upaya melalui cara musyawarah

gagal membawa hasil (Penjelasan Umum Undang-Undang tentang Pencabutan Hak-Hak Atas

`Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, UU No. 20 Tahun 1961). Hak menguasai

negara atas tanah, juga memberikan wewenang kepada Negara untuk mengatur.

Untuk melaksanakan wewenang pengaturan tersebut, hal yang sudah disadari oleh

pembentuk UUPA, bahwa hukum tanah yang dibangun itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri,yaitu hukum adat, secara teoritik, hukum tanah yang

dibangun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Freiderich Carl Von Savigny,

mengatakan bahwa hukum itu bukan hanya dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk

perundang-undangan, namun hukum adalah jiwa bangsa (Volkgeist),5 dan pencabutan hak atas

tanah oleh negara untuk kepentingan umum harus dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang

layak dan sebaiknya harus diperoleh melalui musyawarah, maka pengambilan hak atas tanah

untuk kepentingan umum, seharusnya akan diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.

Menurut Habermas mengatakan bahwa validitas hukum ditentukan oleh konsensus yang

dibuat oleh elemen-elemen masyarakat. ia tidak melihat nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi

acuan validitas hukum itu sebagai nilai-nilai obyektif, karena itu, maka nilai-nilai itu harus

ditemukan melalui consensus bersama,6 sehingga sengketa akan relatif jarang terjadi. Akan tetapi

kenyataannya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, masih banyak menimbulkan sengketa

antara pemerintah dengan para pemilik tanah baik sebagai perseorangan maupun badan hukum

yang terkena proyek pembebasan tanah.

Saat ini sangat sulit melakukan pembangunan di atas tanah negara. Kenyataan

menunjukkan bahwa pembangunan membutuhkan tanah, tetapi di sisi lain tanah Negara yang

tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut semakin terbatas, karena tanah yang ada sebagian

telah dikuasai/dimiliki oleh masyarakat dengan suatu hak. Agar momentum pembangunan tetap

dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang

memerlukan bidang tanah, maka upaya hukum dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah

tersebut dalam memenuhi pembangunan antara lain dilakukan melalui pendekatan pembebasan

hak maupun pencabutan hak.7

5 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara,

Jakarta, hal. 164. 6 Reza A.A. Wattimena, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-

Habermas, Kanisius, Yogyakarta, hal. xvi-xvii. 7 Chaizi Nasucha, 1994, Politik Ekonomi Pertanahan Dan Struktur Perpajakan Atas

Tanah, Kesaint Blanc, Jakarta, hal.74.

Jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak masyarakat.

Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. Pembangunan yang

tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan

tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan

dengan memperhatikan prinsip- prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku.

Di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan

dengan cara pencabutan hak atas tanah. Dalam hal ini banyak permasalahan yang muncul karena

kelemahan regulasi. Wujud peraturan yang ada belum bisa memberikan jaminan kepastian

hukum terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Selain itu aspek

material dari semua peraturan yang ada, kurang memadai sehingga menimbulkan masalah.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 telah berlaku Undang-

undang Nomor 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui

PMDN (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Nomor 15 Tahun 1975 jo PMDN Nomor 2 Tahun

1976, kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum (selanjutnya disebut Keputusan Presiden 55/93),

sejak tanggal 17 Juni 1993, semua pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum dilakukan

dengan peraturan ini yang pelaksanaannya ditunjang dengan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 (selanjutnya disebut

PMNA/Ka.BPN 1/1994).

Pada kenyataannya dalam pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam

musyawarah. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun

1993 karena sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam melaksanakan pembangunan

untuk kepentingan umum dan dikaitkan dengan telah berlakunya Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah.

Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan tahun

2012 Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan

Tanah. Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam

Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun

2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, Rancangan Undang-undang

(RUU) Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum akhirnya disahkan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam sidang Paripurna tanggal 16 Desember 2011

yang lalu. Sesuai dengan Pasal 73 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, maka RUU tersebut menjadi sah sebagai undang-undang paling

lama 30 hari sejak RUU tersebut disahkan. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang

disahkan pada tanggal 14 Januari 2012, maka Indonesia memiliki payung hukum setingkat

undang-undang guna memperlancar pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan

umum. Namun bagaimana undang-undang ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi

pemegang hak atas tanah yang terkena dampak bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 71

Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk

Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.

Fakta yang ada pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

menimbulkan gejolak dalam praktiknya, dimana adanya pemaksaan dari para pihak baik

pemerintah yang menetapkan harga secara sepihak maupun pemilik tanah menuntut harga yang

dianggap tidak wajar, sementara itu perangkat hukum yang ada belum mampu mengakomodir

dua kepentingan yang berbeda tersebut, akhirnya terjadi dengan cara pemaksaan dan intimidasi

terhadap masyarakat dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Sebenarnya pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 sudah ada acuan yang

dijadikan dasar ganti rugi tanah yang digunakan untuk kepentingan umum adalah Nilai Jual

Obyek Pajak (NJOP). Hal ini diatur dalam Pasal 15 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang

menyatakan dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas nilai Jual Obyek Pajak

(NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun

berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia

nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang

bangunan dan nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di

bidang pertanian.

Pemerintah di sini justru dianggap sebagai upaya memaksakan kehendaknya untuk

memberikan ganti rugi berdasarkan NJOP. Hal ini disebabkan NJOP ini nilainya jauh di bawah

harga pasaran. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut di atas

penetapan ganti rugi dilakukan secara musyawarah (negosiasi) untuk mufakat (Pasal 37 sampai

Pasal 39). Namun hal ini nampaknya belum juga menyelesaikan masalah karena pemerintah

menginginkan harga serendah-rendahnya. Sedangkan pemilik tanah menuntut harga yang tinggi,

yang dianggap tidak wajar, sementara itu perangkat hukum yang ada belum mampu

mengakomodir dua kepentingan yang berbeda tersebut, sehingga sampai saat ini terjadi dengan

cara pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat dalam hal pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum.

Seiring amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pada Perpres Nomor 71 Tahun

2012 ketentuan ganti rugi berdasarkan NJOP di tiadakan, diganti dengan ketentuan Pasal 66

Perpres Nomor 71 Tahun 2012 yang mengatur bahwa nilai ganti rugi ditetapkan dengan

musyawarah dengan menggunakan nilai ganti rugi yang ditetapkan penilai yang ditunjuk sebagai

dasar musyawarah. Hal ini menunjukkan adanya norma kabur dalam pengaturan nilai ganti rugi,

yang berarti juga tidak memberikan perlindungan terhadap nilai ganti rugi tapi menyerahkan kepada

mekanisme musyawarah yang belum bisa dipastikan akan terjadi kesepakatan.

Akibat hukum bila musyawarah dan mufakat tidak mencapai kesepakatan, maka negara

dalam hal ini pemerintah akan tetap melaksanakan pengambilalihan tanah untuk kepentingan

umum dengan berdasarkan pada pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di

Indonesia diderivasikan dari Hak Menguasai Negara. Selain itu dengan konsep fungsi sosial hak

atas tanah yang juga menjadi legitimasi negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk

kepentingan umum ini. Sebenarnya pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di

Indonesia menunjukkan dominasi kewenangan di tangan pemerintah sebagai lembaga eksekutif.

Pelibatan DPRD dan masyarakat setempat dalam rencana pembangunan terkesan hanya

prosedural-formal, karena persetujuan para wakil rakyat dan rakyat tersebut hanya terhadap suatu

kegiatan pembangunan tertentu tanpa dijelaskan konsekuensi apabila terjadi ketidaksetujuan.

Penelusuran kepustakaan baik melalui perpustakaan maupun surat kabar, majalah

mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian8, terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan pengadaan tanah bagi pembangunan guna kepentingan umum

yaitu :

1. Tesis dari ADI AKBAR, NIM B4B 007 003, alumni Program Studi Magister

Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2009dengan judul tesis

“Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan Lingkar Utara Kota Tegal”.

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni:

a. Bagaimana proses pengadaan tanah untuk pembangunan proyek jalan lingkar utara

kota Tegal?

b. Kendala atau hambatan apa dalam proses pengadaan tanah tersebut dan bagaimana

upaya yang dilakukan?

2. Tesis dari WAHYU CANDRA ALAM, NIM B4B 008284 alumni Program Studi

Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2010 dengan judul

tesis “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kurang Dari Satu Hektar Dan

Penetapan Ganti Kerugiannya”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam

penelitian tesis tersebut yakni :

a. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum dengan luas kurang dari satu hektar di Kota Tangerang?

8 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy,

Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23

b. Bagaimanakah Penetapan Ganti Kerugiannya terhadap Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dengan Luas Kurang Dari Satu Hektar di

Kota Tangerang?

Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang

dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum bagi

Pemegang Hak Milik atas Tanah untuk Kepentingan Umum,” belum ada yang membahasnya,

sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah orisinalitas atau keasliannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research questions sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan ganti rugi bagi pemegang hak milik atas tanah yang dipergunakan

untuk kepentingan umum?

2. Bagaimana akibat hukum apabila tidak terjadi kata sepakat dalam musyawarah?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, menghubungkan

dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang dilakukan memiliki tujuan yang

jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah:

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk pengembangan

ilmu hukum terkait paradigma Science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma

ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian atas kebenaran, khususnya terkait dengan

materi perlindungan hukum bagi pemilik hak atas tanah untuk kepentingan umum.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut

:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan ganti rugi bagi pemegang hak atas tanah

yang dipergunakan untuk kepentingan umum.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum apabila tidak terjadi kata sepakat

dalam musyawarah.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu sebgai

berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam penelitian tesis ini yaitu, menambah

wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya terhadap hukum pertanahan di bidang kenotariatan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang didapat dari penelitiantesis ini yaitu, bagi kalangan

dibidang hukum pertanahan dapat dijadikan referensi atau pengetahuan tambahan dalam hal

mengambil hak milik atas tanah yang akan diperuntukkan bagi pembangunan untuk kepentingan

umum, manfaat bagi penulis adalah untuk mengembangkan ilmu hukum di bidang Hukum

Pertanahan dan Kenotariatan.

1.5 Landasan Teoritis

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, adapun

teori-teori dan konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini yaitu :

1.5.1 Landasan Teoritis

1.5.1.1Teori Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) UUD 45, menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum,

bukan negara kekuasaan belaka.Suatu negara hukum, seperti diungkapkan oleh Frans Magnis

Suseno, adalah didasarkan pada suatu keinginan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas

dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan dari segenap tindakan negara, dan

hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh

masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Ada

empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya

berdasarkan hukum, yaitu: (1) kepastian hukum, (2) tuntutan perlakuan yang sama (3) legitimasi

demokratis, dan (4) tuntutan akal budi9.

Plato, adalah seorang filsuf Yunani, orang pertama kali melahirkan pemikiran tentang

paham “negara hukum” yang terkenal dalam tulisannya nomoi. Kemudian berawal dari

pemikiran tersebut, berkembanglah konsep continental dan rechtsstaat, konsep Anglo Saxon, dan

the rule of law serta konsep-konsep lainnya.10

Diskursus tentang negara hukum kemudian mulai berkembang saat mencuatnya

pemikiran tentang teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ke tujuh-belas hingga

abad ke delapan-belas. Secara umum, dalam teori negara hukum, dikenal adanya dua macam

konsepsi tentang negara hukum, yang terdiri dari konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat,

9 Franz Magnis Suseno , 1988, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

hal. 295. 10 Mohammad Tahir Azhari, 1992, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-

Prinsipnya Dlihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan

Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 73-74.

dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law. Istilah rechtsstaat dikenal dalam

negara-negara Eropa Kontinental, paham ini dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant,

Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. The rule of law, dikembangkan dalam negara-negara anglo

saxon, para penganut common law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris. Namun

demikian, pada dasarnya kedua konsepsi tersebut memiliki satu maksud yang serupa, yaitu

adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan penghirmatan atas martabat manusia the

dignity of man.

Perbedaan rechtstaat dengan rule of law, dapat ditelusuri sejarah perkembangan dua

konsep yang berpengaruh tersebut. Konsep rechtstaat berasal dari Jerman dan konsep the rule of

law berasal dari Inggris. Istilah rechstaat mulai popular di Eropa sejak abad XIX, sedangkan

istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun

1855 dengan judul Introduction to the Study of the Law of the Constitutions.

Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya

revolusioner. Paham negara rechtsstat dilukiskan dengan ”negara penjaga malam”

(nachtwakersstaat), tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum dan

keamanan (de openbare orde en veligheid).

Dalam arti formal the rule of law berarti organized public power, atau kekuasaan umum

yang terorgainsasi. Dalam arti material, the rule of law didefinisikan sebagai rule of just law,

artinya dalam konsep the rule of law, di dalamnya tercakup pula keadilan yang sifatnya lebih

substantive dan esensial, tidak sekadar memfungsikan bunyi dari undang-undang tertulis.

Tentang persamaan di depan hukum, A.V Dicey menerangkan semua kelompok

masyarakat memiliki ketertundukan yang sama di mata hukum umum Negara, yang di jalankan

oleh peradilan umum. The Rule of Law tidak mengenal adanya pengecualian bagi pejabat

pemerintah atau orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warganegara secara

keseluruhan, seperti halnya ada pengadilan administrative..11

Berdasarkan uraian tentang rechtsstaat dan rule of law maka dapat disimpulkan bahwa

rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuanya masing-masing mengutamakan segi yang

berbeda. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi

rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before The law. Akibat

adanya perbedaan titik berat dan pengoperasian tersebut, munculah unsur-unsur yang berada

antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law.

Konsep negara hukum Indonesia dipengaruhi juga oleh paham Eropa Kontinental

(rechtsstaat) dan Anglo Saxon (the rule of law), pengaruh kedua konsep negara hukum tersebut

dinyatakan Padmo Wahyono sebagai berikut :

”Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, dengan rumusan rechtsstaat, dengan

anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada

umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan

dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.”12

Teori negara hukum ini dapat digunakan karena dalam suatu negara hukum, hukum yang

merupakan kekuasaan tertinggi dipakai untuk mengatur masyarakat. Dimana hukum merupakan

suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif, hukum juga mampu dipakai di

tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan

dalam bidang penegakan hukum.

1.5.1.2Teori Perundang-Undangan

11 A.V Dicey, 2008, Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj),

Nusamedia, Bandung, hal. 262. 12 Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ke-2,

Ghalai Indonesia, Jakarta, hal. 151

Untuk mengatur suatu Negara di perlukan undang-undang. Dalam hal pengadaan tanah

untuk kepentingan umum, undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk

mengatur penggunaan tanah, termasuk untuk kepentingan umum. Untuk menerangkan hal ini

diperlukan Teori Perundang-undangan.

Dapat kita lihat dalam Teori Perundang-Undangan disebutkan bahwa dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas yang perlu dipahami untuk

memastikan bahwa suatu perundang-undangan yang dihasilkan merupakan suatu produk

kekuasaan yang berdasarkan konsep negara hukum secara baik, atau disebut sebagai peraturan

perundang-undangan yang baik.13 Adapun asas-asas tersebut adalah:

1. asas undang-undang tidak berlaku surut;

2. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undangan menurut teori jenjang

norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan Hans Kelsen.14 Asas ini

menyebutkan bahwa undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

3. Asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang

lama).

4. Asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih khusus

mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya sama).

Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen, yang

menyatakan bahwa sistem hukum yang berbentuk perundang-undangan merupakan sistem anak

tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegang

13 Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit IND-

HILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, hal. 13-15 14 Natabaya, 2008, Sistem Peraturam Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit

Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, hal. 23-32.

pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus

berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).

Menurut Kelsen norma hukum yang paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak

konkrit (abstrak),15 contoh norma hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila.

Salah seorang tokoh yang mengembangkan Teori Stufenbau adalah Hans Nawiasky.

Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma

menurut teori ini adalah:16

1. Norma fundamental negara

2. Aturan dasar negara

3. Undang-undang formal. dan

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan

konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum

dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.

Penerapan teori pada struktur tata hukum di Indonesia, struktur hierarki tata hukum

Indonesia dan dikaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, struktur tata hukum Indonesia adalah:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

15 Hans Kelsen, 2006, Teori tentang Hukum (Penerjemah Soemadi), Konstitusi Press,

Jakarta, hal. 124-126. 16 Ibid.

5. Peraturan Presiden; dan

6. Peraturan Daerah, Provinsi, dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten Kota.

Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi. Hal ini

mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam

Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila

sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak

dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.

Dapat di simpulkan bahwa keberadaan suatu norma hukum harus lah berpegang pada

norma hukum yang lebih tinggi, dan sudah semestinya antar tingkatan norma hukum yang satu

dan yang lain saling mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas dasar pancasila

sebagai cita hukum bangsa.

Menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari

aspek peraturan peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau pengundangannya.

Pemahaman yang ada tentang segala peraturan di bidang yang sama/ada masih tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru, serta banyaknya peraturan yang

telah diganti (dan diperbarui), akan menjadi persoalan manakala masih terkandung makna bahwa

sepanjang dalam peratutan pengganti, pembaharu tersebut tidak secara tegas mengganti, berarti

norma yang di peraturan lama masih hidup dan berlaku. Dengan demikian, pengaturan yang

tegas tentang mana ketentuan yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku merupakan suatu

kedaan yang tidak boleh tidak harus terpenuhi dalam setiap penerbitan peratran perundang-

undangan.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asas-asas,

selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undang-undang) harus

memiliki :

1. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan filsafat hidup

masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan yang intinya berisi nilai-nilai

moral, etika, budaya maupun keyakinan dari bangsa tersebut,17 sebagaimana dikenal

dalam adagium quid legex sine moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas).18.

2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan

harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum masyarakatnya agar

ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman dan kesadaran hukum masyarakatnya

sesuai dengan hal-hal yang diatur.

3. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau suatu peraturan

perundang-undangan, maka harus lahir dari pihak yang mempunyai kewenangan

membuatnya (landasan yuridis formal), mengakuan terhadap jenis peraturan yang

diberlakukan (landasan yuridis material)

Dalam suatu Negara penggunaan Teori Perundang-undangan sangat penting, dimana

untuk mengatur masyarakat perlu undang-undang. Dalam pengadaan tanah, undang-undang

memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah, termasuk untuk

kepentingan umum.

1.5.1.3Teori Kewenangan

17 Sukanda Husin, 2009, Hukum dan Perundanga-undangan, Pusat Pengembangan

Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru, hal. 17-18. 18 Friedman, W., 1960, Legal Theory 4th Edition, Steven & Sons Limited, London, hal.

229.

Teori kewenangan dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, undang-undang

memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah termasuk untuk

kepentingan umum. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering

ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu

saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan,

demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang.

Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah

dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).19

Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan

kewenangan sebagai berikut :

“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari

Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan

Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-

orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan)

tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan

untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.20

Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan

mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

Dalam wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang

pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini

dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah

pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah

memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN

19 Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal.

35-36 20 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta

hal. 29

lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada

mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari

Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.21

Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan

atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang

diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.

Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto

berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna

yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan

Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam

proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu:

1. hukum;

2. kewenangan (wewenang);

3. keadilan;

4. kejujuran;

5. kebijakbestarian; dan

6. kebajikan.22

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan

dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah

21 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , hal. 90 22 Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam

Indonesia, Yogjakarta, hal. 37-38

hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah

kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.

Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat.

Dalam konsep hukum di negara Indonesia istilah kewenangan atau wewenang seharusnya

digunakan dalam konsep hukum publik.23Secara yuridis, pengertian wewenang adalah

kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-

akibat hukum.24

Dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan

yang oleh K.C. Wheare dinyatakan, “first of all it is used to describe the whole system of

government of a country, the collection of rule are partly lega, in the sense that courts of law ill

recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of

law strictly so called”25 yang artinya pertama, dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari

suatu negara adalah merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur

pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, kedua yaitu dalam arti sempit

merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang

dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain.

Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan

(Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar

wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari

23 Philipus M. Hadjon, 1998, Penataan Hukum Administrasi, FH UNAIR, Surabaya,

hal. 20 24 Paulus Efendie Lotulung, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal. 65 25 K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press,

London, pp.1.

Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara

dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh

undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.26

Kaitan teori kewenangan dengan penelitian ini yaitu kewenangan yang dimiliki oleh

pemerintah secara atribusi yaitu kewenangan untuk mengadakan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum, yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 pemerintah

mempunyai wewenang untuk menggunakan tanah hak milik masyarakat untuk pembangunan

kepentingan umum dengan memberikan ganti kerugian yang layak bagi hak atas tanah yang

diambil oleh pemerintah tersebut.

1.5.1.4 Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang

diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut

untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan

dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa

Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang

sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.27 Bahwa

hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik

untuk memperoleh keadilan sosial.

Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia

adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum,

26 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di

Indonesia, Liberty, Yogjakarta, hal. 154 27 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja

Rusdakarya, Bandung, hal. 118.

kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar

tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.

Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat

merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu

berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan

bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek

hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta

tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan

dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang

melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani

kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.28

Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya

adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa

terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa

mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu

menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut,

dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi

setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep

perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan

oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada

28 Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.

Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64.

korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang

diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi.

Dengan demikian Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-

subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:29

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum

terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan

maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau

batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda,

penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah

dilakukan suatu pelanggaran.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa salah satu sifat dan

sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam

bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap

individu dalam masyarakat.

1.5.1.5 Konsep Pengadaan Tanah

29 Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.

Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah

setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang

berhak atas tanah tersebut (Pasal 1 angka 1 Keppres No. 55 Tahun 1993). Dalam Peraturan

Presiden No. 36 Tahun 2005 sebagai penganti Keppres di atas, disebutkan bahwa pengadaan

tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi

kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 Perpres No. 36

Tahun 2005). Kemudian Perpres No. 65 Tahun 2006 mengubah lagi pengertian pengadaan tanah

setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada yang

melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan

dengan tanah.

Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan

menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang

berhak. Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki obyek pengadaan tanah.

Obyek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan dan

tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.

Pengertian Pengadaan tanah selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 71

Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Pengadaan Tanah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pengadaan tanah adalah kegiatan pelepasan

hak atas tanah dengan memberikan ganti-rugi yang pemanfaatannya harus untuk kepentingan

umum.

Adapun asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan penjelasan Pasal 2

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum “Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasaarkan

asas : kemanusian, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,

kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan”.

1. Kemanusiaan

Pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi

manusia, harkat, dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional.

2. Keadilan

Memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses

pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan

yang baik.

3. Kemanfaatan

Hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan

masyarakat, bangsa dan Negara.

4. Kepastian

Memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk

pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti

kerugian yang layak.

5. Keterbukaan

Pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada

masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.

6. Kesepakatan

Proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan

untuk mendapatkan kesepakatan bersama.

7. Keikutsertaan

Dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik

secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan

pembangunan.

8. Kesejahteraan

Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan

kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.

9. Keberlanjutan

Kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan, untuk

mencapai tujuan yang diharapkan.

10. Keselarasan

Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan

masyarakat dan Negara.

1.5.1.6Konsep Kepentingan Umum

Pengertian dari istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang sifatnya begitu

umum dan belum ada penjelasan secara lebih spesifik dan terinci untuk operasionalnya sesuai

dengan makna yang terkandung dalam istilah tersebut. Secara sederhana kepentingan umum

dapat dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang

luas, namun pengertian ini mempunyai batasan. Kepentingan umum adalah termasuk

kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat dengan memperhatikan

segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional

dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.30

Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 18, menyatakan bahwa “Untuk kepentingan

umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-

hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang

diatur dengan Undang-undang”.

Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria maka kepentingan umum

termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas

tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur

dengan undang-undang. Kepentingan umum ini sama dengan dianut oleh Undang-Undang Pokok

Agraria hanya ditambah satu kriteria baru yakni untuk kepentingan pembangunan.

30 John Salindeho, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 40.

Kepentingan umum dalam pelaksanaan pembebasan tanah yang diatur dalam Bijblad

Nomor 11372 juncto Bijblad Nomor 12476 yang telah dicabut dengan Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 15 tahun 1975 tentang Ketentuan ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan

Tanah, dalam menimbang dinyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam

usaha-usaha pembangunan, baik yang dilakukan oleh instansi maupun untuk kepentingan swasta,

khususnya untuk keperluan Pemerintah dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan

tanah dan sekaligus mentukan besarnya ganti rugi atas tanah yang diperlukan secara teratur, tertib

dan seragam. Berdasarkan peraturan tersebut maka pembebasan tanah dapat dijalankan untuk

kepentingan swasta dan keperluan Pemerintah, asalkan untuk usaha pembangunan untuk

keperluan Pemerintah.

Dari segi yuridis pengertian kepentingan umum menurut pandangan Benhard Limbong

bahwa kepentingan umum dapat berlaku sepanjang kepentingan tersebut tidak bertentangan

dengan hukum positif maupun hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat

yang penerapannya bersifat kasuistis. Ditinjau dari segi sosiologis, kepentingan umum adalah

adanya keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa, dan negara yang

bertujuan untuk memelihara ketertiban dan mencapai keadilan di masyarakat yang luas dalam

bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, pendidikan dan

kesehatan.31

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

31 Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Bernhard Limbong I ) hal.147.

Jenis penelitian ini termasuk ke dalam metodologi penelitian yang sangat penting untuk

mengetahui karakter penelitian yang akan diangkat. Beranjak dari adanya kekaburan norma

dalam Pasal 66 Peraturan President Nomor 71 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa “ nilai ganti

rugi di tetapkan dengan musyawarah dengan menggunakan nilai ganti rugi yang di tetapkan

penilai yang di tunjuk sebagai dasar musyawarah”, menimbulkan berbagai macam penafsiran

karena tidak adanya acuan yang di jadikan dasar ganti rugi tanah yang di gunakan untuk

kepentingan umum. Berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya Pasal 15 Peraturan President

Nomor 65 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa “ dasar perhitungan ganti rugi didasarkan atas

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan musyawarah. Oleh karena itu, berdasarkan pada kekaburan

norma dalam ketentuan Pasal 66 Peraturan President Nomor 71 Tahun 2012, maka jenis

penelitian yang di gunakan adalah jenis penelitian normatif.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga jenis pendekatan untuk membahas

permasalahan yang ada, yaitu :

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Dalam pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan penelitian yang

mensinkronkan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal.32 Peneliti

menggunakan pendekaatan ini untuk menelaah perundang-undangan yang terkait dengan

permasalahan yang di bahas dalam peneltiain ini.

2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Conseptual Approach)

Konsep hukum di gunakan untuk menganalisa konsep-konsep yang relevan dalam

penelitian ini sehingga memperoleh hasil yang diinginkan. Dengan kata lain dalam

32 Rony Hanitijo Sumitro, 1990, Metode Peneltian Hukum dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal. 27.

pendekatan konsep peneliti merujuk pada konsep-konsep hukum yang dapat di temukan

dalam pendangan-pandangan para sarjana atau doktrin-doktrin hukum.

3. Pendekatan kasus (case approach)

Pendekatan yang memungkinkan peneliti untuk memahami kasus hukum tentang

pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara lebih mendalam tentang suatu sistem

atau lembaga atau suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat memperkecil

kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan

hukum tertentu.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Untuk mengkaji dan membahas permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan

sumber bahan hukum yang berupa bahan-bahan hukum yang mencakup bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Sumber bahan hukum yang di gunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Sumber Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji,

terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

f. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

g. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk

Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah

h. Peraturan President Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan

Atas Peraturan President Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

2. Bahan hukum sekunder yang di gunakan adalah :

a. Buku-buku hukum mengenai Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah dan Kepentingan

umum.

b. Jurnal-jurnal Ilmiah

c. Internet dan situs resmi.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan studi dokumen atau studi kepustakaan. Teknik studi dokumen ini dilakukan

dengan cara mengumpulkan semua bahan-bahan hukum yaitu, peraturan perundang-undangan

dan bahan-bahan bacaan yang relevan untuk memperoleh data yang objektif dan akurat yang

terkait dengan masalah Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan

Umum.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang di pergunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis, yang tidak dapat di hindari

penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi

dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti

penafsiran, gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.

3. Teknik Kontruksi berupa pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan analogi dan

pembalikan proposisi.

4. Teknik Evaluasi adalah penilai berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju,

benar atau tidak benar, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,

proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer

maupun dalam bahan hukum sekunder.

5. Teknik Argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus

didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan

permasalahan hukum makin banyak argument makin menunjukan kedalam penalran

hukum.

6. Teknik Sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum

atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun

antara yang tidak sederajat.33

33 Buku Pedoman, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program

Studi Magister Hukum Universitas, hal. 55