61
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan campuran merupakan fenomena sosial yang semakin berkembang di Kabupaten Badung. Perkawinan campuran berimplikasi terhadap berbagai peristiwa lain yang bersifat ekonomi, sosial maupun hukum. Salah satu implikasi perkawinan campuran adalah Hak Pakai atas rumah hunian Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI) tanpa membuat perjanjian kawin. Pulau Bali merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya. Diantara semuanya itu, Kabupaten Badung merupakan pusat dari aktivitas pariwisata masyarakat Bali. Kabupaten Badung banyak terdapat obyek pariwisata dan akomodasi berupa hotel-hotel bertaraf nasional dan internasional. Hal inilah kemudian yang membuat tidak sedikit wisatawan mancanegara berkunjung ke Bali dan menetap di Kabupaten Badung. Kehadiran orang asing di Kabupaten Badung tidak semata-mata untuk tujuan wisata melihat keindahan alam Bali berupa sumber daya yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan. Banyak juga orang asing yang bertujuan untuk melakukan investasi. Sumber daya tersebut menjadi modal dan menjadi daya tarik tersendiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah perjanjian kawin sebelum melangsungkan perkawinan. Akibat dari perkawinan yang tidak membuat perjanjian kawin adalah, adanya persatuan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan campuran merupakan fenomena sosial yang semakin

berkembang di Kabupaten Badung. Perkawinan campuran berimplikasi terhadap

berbagai peristiwa lain yang bersifat ekonomi, sosial maupun hukum. Salah satu

implikasi perkawinan campuran adalah Hak Pakai atas rumah hunian Warga

Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang melakukan perkawinan

campuran dengan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI) tanpa

membuat perjanjian kawin.

Pulau Bali merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang terdiri dari 8

(delapan) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya. Diantara semuanya itu, Kabupaten

Badung merupakan pusat dari aktivitas pariwisata masyarakat Bali. Kabupaten

Badung banyak terdapat obyek pariwisata dan akomodasi berupa hotel-hotel

bertaraf nasional dan internasional. Hal inilah kemudian yang membuat tidak

sedikit wisatawan mancanegara berkunjung ke Bali dan menetap di Kabupaten

Badung.

Kehadiran orang asing di Kabupaten Badung tidak semata-mata untuk

tujuan wisata melihat keindahan alam Bali berupa sumber daya yang terdiri dari

sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan

sumber daya buatan. Banyak juga orang asing yang bertujuan untuk melakukan

investasi. Sumber daya tersebut menjadi modal dan menjadi daya tarik tersendiri

2

bagi orang asing untuk datang ke Kabupaten Badung melalui penyelenggaraan

kepariwisataan.

Implikasi orang asing datang ke Kabupaten Badung sebagai salah satu

daerah pariwisata di Bali telah melahirkan salah satu hubungan hukum

keperdataan antara orang asing dengan penduduk WNI setempat, yakni berupa

perkawinan. Secara teoretik, perkawinan antara orang-orang yang melintasi

wilayah negara disebut perkawinan campuran internasional. Hal ihwal tentang

perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) diatur dalam Pasal 57 sampai

dengan Pasal 62. Ditentukan dalam Pasal 57 UU Perkawinan bahwa, perkawinan

campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada

hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Ketentuan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan mengatur

mengenai harta benda dalam perkawinan. Harta benda dalam perkawinan yang

dimiliki oleh pasangan suami istri kerap sekali memunculkan persoalan hukum

yang berkepanjangan manakala perkawinan suami istri itu putus di pertengahan

jalan dengan putusan cerai. Masing-masing suami atau istri merasa yang paling

berhak atas harta yang dihasilkan dalam perkawinannya. Permasalahan harta

benda dalam perkawinan dihadapi pula oleh pasangan perkawinan campuran

khususnya harta berupa tanah.1

Permasalahan yang muncul bagi pasangan WNA dan WNI yang

melangsungkan perkawinan adalah, kebanyakan dari mereka tidak membuat

1Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, hal. 8.

3

perjanjian kawin sebelum melangsungkan perkawinan. Akibat dari perkawinan

yang tidak membuat perjanjian kawin adalah, adanya persatuan harta antara WNA

dan WNI tersebut. Akibat hukum dari penyatuan harta dalam perkawinan ini

adalah, segala sesuatu dalam perkawinan yang dimiliki oleh WNA adalah juga

milik WNI yang terikat perkawinan. Begitu pula sebaliknya, apabila WNI kawin

dengan WNA dengan penyatuan harta, maka WNI tidak dapat memiliki Hak

Milik atas tanah di Indonesia, karena secara tidak langsung kepemilikan tanah

juga menjadi milik pihak WNA. Hal itu dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut

Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA) yang menyebutkan seorang

WNA dilarang memiliki tanah dengan status Hak Milik di Indonesia.2

Larangan WNA untuk memiliki tanah di Indonesia dilandasi ketentuan

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa, Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini menegaskan

bahwa, negara memiliki hak untuk menguasai segala sesuatu yang berkaitan

dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya atau dikenal

dengan istilah “hak menguasai dari Negara”. Hak menguasai dari Negara

merupakan bagian dari hak bangsa yang beraspek publik. Aspek publik

memposisikan negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia.3

2Aslan Noor, 2006, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, CV Mandar

Maju, Bandung, hal. 85. 3Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, 2008, Hak-Hak Atas Tanah : Seri Hukum Harta

Kekayaan, Penerbit Kencana, Jakarta, hal. 13.

4

Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada

Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai

oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai tanah

oleh Negara, dijabarkan dalam bentuk kewenangan tertentu untuk

penyelenggaraan hak tersebut. Kewenangan yang diberikan oleh UUPA

digolongkan dalam tiga bagian, yaitu pengaturan peruntukan, pengaturan

hubungan hukum antara orang dengan bagian-bagian tanah dan pengaturan

hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum. Hal tersebut merupakan

intisari dari pengaturan Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menyangkut kewenangan

yang diturunkan oleh negara kepada Pemerintah.4

Asas utama dalam UUPA terkait dengan pembentukan Hukum Tanah

Nasional adalah asas nasionalitas, yaitu asas yang hanya memberikan hak kepada

WNI dalam hal pemilikan hak atas tanah, yang menutup kemungkinan WNA

untuk dapat memilikinya. Penerapan asas nasionalitas dalam UUPA, terutama

dalam kepemilikan hak atas tanah, memberikan konsekuensi adanya perbedaan

perlakuan antara WNI dengan WNA. Perbedaan perlakuan tersebut adalah wajar,

terutama terkait dengan kedudukan tanah bagi masyarakat Indonesia yang

memiliki kedudukan yang penting.

Asas nasionalitas dalam UUPA, seperti dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1)

UUPA dan dalam penerapan pada pasal-pasal yang mengatur Hak Milik atas

tanah, tidak sepenuhnya melarang WNA untuk memiliki hak atas tanah. Menurut

4Boedi Harsono, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas

Trisakti, Jakarta, hal. 46-47 (selanjutnya disebut Boedi Harsono I).

5

ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA, pada intinya hanya WNI yang memiliki Hak

Milik. Ketentuan tersebut dipertegas pada ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA yang

pada intinya mengatur pelepasan hak bagi WNA yang karena kondisi tertentu

memperoleh Hak Milik setelah berlakunya UUPA.

Orang asing atau Badan Hukum Asing (BHA) hanya dapat memiliki Hak

Pakai, sementara bagi Hak Guna Usaha pada Pasal 30 UUPA yang pada intinya

tidak dapat dimiliki asing walaupun terdapat pengecualian tertentu, sebagaimana

diatur pada Pasal 55 ayat (2) UUPA.5 Dengan demikian, perbedaan perlakuan

antara WNI dan WNA sebagai konsekuensi dari asas nasionalitas, tidak secara

kaku diterapkan. Artinya, pembentuk UUPA memiliki pandangan bahwa

penguasaan asing terhadap tanah dimungkinkan dalam rangka pembangunan

nasional walaupun hubungan WNA dengan tanah berbeda dengan hubungan

antara WNI dengan tanah yang memiliki hubungan sepenuhnya. Bahwa WNA

hanya dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, selama kepentingan WNI

tidak terganggu, dan juga pengusahaan tanah oleh WNA itu dibutuhkan oleh

pemerintah dalam rangka ekonomi Indonesia.6

Jadi, bagi pasangan WNA-WNI yang tidak dapat memiliki tanah dengan

status Hak Milik, masih dapat memiliki tanah dengan status Hak Pakai.

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 UUPA, definisi dari Hak Pakai adalah sebagai

berikut :

“Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang

5Iwan Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet. 1,

Arkola, Surabaya, hal. 26. 6Hasan Wargakusumah, 2010, Hukum Agraria, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.

33.

6

memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam

perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa

atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan

dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini”.

Pemberian Hak Pakai kepada WNA sepatutnya dapat memberikan

kenyamanan bagi WNA yang menguasai tanah di Indonesia. Begitu pula terkait

pemberian Hak Pakai bagi pasangan suami-istri WNA dan WNI. Terlebih lagi

pada masa yang akan datang, mobilitas dari WNA yang masuk ke Indonesia

diyakini akan semakin bertambah sebagai akibat kemajuan masyarakat di berbagai

bidang, dan tentunya perkawinan beda kewarganegaraan semakin banyak terjadi.

Melihat kondisi tersebut, maka dibutuhkan adanya perangkat peraturan

perundang-undangan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi WNA serta

pasangan perkawinan campuran WNA dan WNI yang ingin memiliki tanah untuk

dijadikan tempat tinggal di Indonesia. Peraturan dimaksud sepatutnya dapat

perlindungan hukum bagi WNA dan pasangan perkawinan campuran antara WNA

dengan WNI.7

Pemberian Hak Pakai kepada WNA selanjutnya diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal

atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (selanjutnya

disebut PP Nomor 103 Tahun 2015). Ketentuan Pasal 2 PP Nomor 103 Tahun

2015 ini menyebutkan orang asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal

atau hunian dengan Hak Pakai. Orang asing yang dapat memiliki rumah tempat

tinggal atau hunian adalah orang asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal orang asing

7Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 122.

7

meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian dapat diwariskan. Dalam hal

ahli waris merupakan orang asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di

Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PP Nomor 103 Tahun 2015, rumah tempat

tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing merupakan rumah

tunggal di atas tanah Hak Pakai atau Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai

berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Masih berdasarkan ketentuan Pasal 4 di

atas, selain merupakan rumah tunggal, rumah tempat tinggal atau hunian yang

dimiliki oleh orang asing dapat juga berupa Satuan Rumah Susun (Sarusun) yang

dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 PP

Nomor 103 Tahun 2015, pengertian Rumah Tunggal adalah rumah yang

mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun

tepat pada batas kaveling. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 PP

Nomor 103 Tahun 2015, pengertian Satuan Rumah Susun (Sarusun) adalah unit

rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi

utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.

Ketentuan Pasal 6 PP Nomor 103 Tahun 2015 menyatakan bahwa, rumah

tinggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu 30

(tiga puluh) tahun. Hak Pakai dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua

puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan berakhir, Hak Pakai dapat

diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.

Sedangkan ketentuan Pasal 7 PP Nomor 103 Tahun 2015 rumah tunggal di

atas tanah Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian

8

diberikan Hak Pakai untuk jangka waktu yang disepakati tidak lebih lama dari 30

(tiga puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu berakhir, Hak Pakai dapat

diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun sesuai

kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah. Dalam hal jangka waktu

perpanjangan berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling

lama 30 (tiga puluh) tahun sesuai kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah.

Meskipun Hak Pakai bagi WNA telah diatur dalam PP Nomor 103 Tahun

2015, namun Hak Pakai masih dianggap tidak mampu memberikan kepastian

hukum bagi para WNA dan pasangan WNA dan WNI. Mereka merasa Hak Pakai

masih banyak memiliki celah-celah yang dapat merugikan mereka. Salah satunya

adalah, adanya syarat untuk mengajukan permohonan Hak Pakai bagi WNA, yaitu

WNA harus memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (selanjutnya disingkat KITAS)

atau Kartu Izin Tinggal Tetap (selanjutnya disingkat KITAP). Permasalahan

muncul apabila KITAS tidak dapat diperpanjang sedangkan Hak Pakai sudah akan

habis dan harus diperpanjang. Selain itu, mereka juga terus dihadapkan pada

ketakutan suatu saat Hak Pakai mereka dapat dicabut sewaktu-waktu oleh

pemerintah Indonesia dengan alasan demi kepentingan umum, dengan atau tanpa

ganti rugi yang jelas yang tentunya bukan merupakan suatu kepastian hukum yang

dikehendaki oleh WNA.

Ketakutan-ketakutan tersebut di atas kemudian membuat banyaknya WNA

dan pasangan WNA-WNI yang kemudian memilih untuk memiliki tanah di

Indonesia dengan berdasarkan kepercayaan. Maksudnya adalah, seorang WNA

atau pasangan perkawinan WNA-WNI, karena telah menjalin hubungan baik

9

dengan seorang WNI maka muncul kepercayaan di antara mereka. Kepercayaan

ini kemudian menjadi dasar bagi WNA atau pasangan WNA-WNI dan WNI

tersebut untuk sepakat membeli sebidang tanah atas nama WNI tersebut dengan

biaya dari pihak WNA atau pasangan perkawinan WNA-WNI tersebut.

Selanjutnya tanah tersebut dipergunakan oleh pihak WNA atau pasangan WNA-

WNI sebagai tempat tinggal sampai batas waktu yang tidak terbatas. Hal ini sering

menjadi pilihan oleh karena tidak terbatasnya waktu Hak Milik atas tanah, serta

kemudahan untuk menjual tanah tersebut suatu saat nanti apabila pihak WNA atau

pasangan WNA-WNI tersebut tidak lagi menggunakan tanah tersebut.

Akan menjadi lebih rumit apabila suatu tanah dengan Hak Pakai (di atas

tanah negara) milik WNA atau pasangan WNA-WNI hendak dijual kepada orang

lain (terutama WNI), oleh karena proses administrasi tanah yang harus dilakukan

lebih rumit daripada pengalihan tanah Hak Milik, serta adanya tambahan biaya

kompensasi ke negara untuk meningkatkan Hak Pakai ke Hak Milik. Hal-hal

tersebut tentunya membuat minat pembeli (terutama WNI) terhadap tanah tersebut

menurun drastis. Kesulitan dalam penjualan tentunya tidak mau dihadapi oleh

para WNA dan pasangan WNA-WNI ketika mereka hendak mengalihkan tanah

mereka.8

Berdasarkan kesulitan yang dihadapi WNA ketika bermaksud membeli

rumah di Indonesia seperti yang dikemukakan di atas, maka kebanyakan WNA

memiliki cara kepemilikan hak atas tanah secara terselubung yang merupakan

bentuk kepemilikan hak atas tanah yang secara formal diatasnamakan orang lain

8Maria S.W. Sumardjono, 2010, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,

Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria I), hal.42.

10

berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Hal seperti itu tentunya sangat bertentangan

dengan hukum positif di Indonesia, dan dianggap sebagai penyelundupan hukum.

Hal ini yang disebut sebagai perjanjian nominee yang memperjanjikan secara

administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama WNI, tetapi

penguasaan fisik tanah hak milik tersebut dikuasai oleh WNA.9

Sementara itu, meskipun kepemilikan rumah atau tanah sebagai Hak Pakai

oleh WNA sudah diatur dalam PP Nomor 103 Tahun 2015, namun dalam PP

Nomor 103 Tahun 2015 sendiri masih terdapat ketidakjelasan pengaturan (norma

kabur). Norma kabur ini terdapat dalam ketentuan Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun

2015 yang mengatur sebagai berikut :10

(1) Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang

Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara

Indonesia lainnya.

(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan

harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara

suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.

Ketentuan Pasal 3 ayat (1) tersebut di atas tidak menjelaskan WNI lainnya

yang tidak melakukan perkawinan campuran dapat memiliki hak atas tanah yang

dipersamakan dengan dengan WNI yang melaksanakan perkawinan dengan

WNA. Selain itu kekaburan atau ketidakjelasan dari ketentuan Pasal 3 PP Nomor

103 Tahun 2015 tersebut di atas hanya mengatur bagi pasangan WNA dan WNI

yang menikah dengan perjanjian pemisahan harta yang dibuat dengan akta

Notaris. Pengaturan ini tidak menjelaskan bagaimana dengan pasangan WNA dan

WNI yang hanya membuat perjanjian kawin secara di bawah tangan atau bahkan

9Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 52. 10Aslan Noor, loc. cit.

11

tidak membuat perjanjian kawin sama sekali, mengingat banyak pasangan WNA

dan WNI yang membuat perjanjian kawin di bawah tangan atau tidak membuat

perjanjian kawin (berlaku seperti halaman 3).

Ketentuan Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 yang hanya mengatur

perkawinan campuran yang membuat perjanjian pemisahan harta dengan akta

Notaris bertentangan pula dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1)

UU Perkawinan yang mengatakan pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan

perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Selain itu

dalam bagian ketiga mengenai Perkawinan Campuran yang diatur dalam Pasal 57

sampai dengan Pasal 62 UU Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan

campuran tidak mempersyaratkan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat

dengan akta Notaris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, terjadi norma

konflik antara Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 dengan Pasal 29 dan Pasal 57

sampai dengan Pasal 62 UU Perkawinan.

Berangkat dari adanya norma kabur dalam Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun

2015 yang tidak mengatur bagaimana dengan pasangan WNA dan WNI yang

hanya membuat perjanjian kawin secara di bawah tangan atau bahkan tidak

membuat perjanjian kawin sama sekali dan norma konflik antara Pasal 3 PP

Nomor 103 Tahun 2015 yang hanya mengatur perkawinan campuran yang

membuat perjanjian pemisahan harta dengan akta Notaris, padahal Pasal 29 ayat

(1) dan Pasal 57 sampai Pasal 62 UU Perkawinan menyatakan bahwa suatu

12

perkawinan campuran tidak mempersyaratkan adanya perjanjian perkawinan

terlebih-lebih dibuat dengan akta Notaris, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dalam bentuk tesis. Menurut peneliti hal tersebut menarik dan penting

untuk dibahas agar tidak terjadi kebingungan dalam praktek Notaris sehubungan

dengan jaminan kepastian hukum. Adapun judul dari tesis ini adalah “Hak Pakai

Atas Rumah Hunian Warga Negara Asing Dalam Perkawinan Campuran

Tanpa Perjanjian Kawin”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan Hak Pakai atas Rumah Hunian bagi Warga Negara

Asing yang melakukan perkawinan campuran?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari perkawinan campuran terhadap tanah yang

telah dimiliki atas nama Warga Negara Indonesia tanpa membuat perjanjian

kawin sebelumnya?

1.3 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-

perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan Hak Pakai atas rumah hunian WNA yang

Melakukan Perkawinan Campuran tanpa Membuat Perjanjian Kawin, yaitu :

1. Penelitian Ni Made Irpiana Prahandari dengan judul “Penguasaan Hak Milik

Atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing Dengan

13

Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Kasus)”. Tesis dari

Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Tahun 2014 dengan rumusan masalah :

a. Bagaimanakah keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga

Negara Indonesia (WNI) oleh Warga Negara Asing (WNA) yang

dilakukan oleh Notaris dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah?

b. Apakah akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan hak milik atas tanah

milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh

Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah?

Kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang kepemilikan tanah oleh

WNA. Perbedaannya, jika penelitian Ni Made Irpiana Prahandari meneliti

tentang penguasaan Hak Milik atas tanah milik WNI oleh WNA dengan akta

Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka penelitian yang akan dilakukan

ini meneliti tentang Hak Pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang

kawin dengan WNA tanpa perjanjian kawin. Selain itu perbedaan yang

lainnya, penelitian Ni Made Irpiana Prahandari menggunakan pendekatan

penelitian perundang-undangan, pendekatan fakta dan pendekatan analisis

konsep hukum, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan

pendekatan perundang-undangan, pendekaan konsep dan pendekatan kasus.

2. Penelitian Michael Wisnoe Barata dengan judul “Kepemilikan Hak Atas

Tanah Bagi Warga Negara Asing dan Kewarganegaraan Ganda”. Tesis dari

Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia Tahun 2012

dengan rumusan masalah :

14

a. Bagaimana dengan kepemilikan hak-hak atas tanah beserta bangunan bagi

warga negara asing dan badan-badan hukum asing, menurut Undang-

Undang Pokok Agraria?

b. Bagaimana dengan status kepemilikan hak atas tanah yang dapat dimiliki

oleh anak hasil dari perkawinan campuran yang berstatus

kewarganegaraan ganda menurut Undang-Undang kewarganegaraan dan

Undang-Undang Pokok Agraria?

Kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang kepemilikan tanah oleh

WNA. Perbedaannya, jika penelitian Michael Wisnoe Barata meneliti tentang

kepemilikan hak atas tanah bagi WNA dan kewarganegaraan ganda, maka

pada penelitian yang akan dilakukan ini meneliti tentang Hak Pakai atas

rumah hunian WNA atau WNI yang kawin dengan WNA tanpa perjanjian

kawin. Selain itu perbedaan yang lainnya, penelitian Michael Wisnoe Barata

menggunakan metode penelitian gabungan antara metode penelitian hukum

normatif dan empiris, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan

menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-

undangan, pendekaan konsep dan pendekatan kasus.

3. Penelitian I Putu Indra Mandhala Putra dengan judul “Kepemilikan Hak

Pakai Atas TanahBagi Warga Negara Asingdi Kabupaten BadungProvinsi

Bali”. Tesis dari Program Studi Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas

Udayana Tahun 2012 dengan rumusan masalah :

a. Hak-hak atas tanah apa saja yang dapat dimiliki oleh WNA?

b. Bagaimana mekanisme perolehan hak atas tanah bagi WNA di Kabupaten

Badung?

15

Kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang kepemilikan tanah oleh

WNA di Kabupaten Badung. Perbedaannya, jika penelitian I Putu Indra

Mandhala Putra meneliti tentang kepemilikan Hak Pakai atas tanah bagi

WNAdi Kabupaten Badung, maka pada penelitian yang akan dilakukan ini

meneliti tentang Hak Pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang kawin

dengan WNA tanpa perjanjian kawin. Selain itu perbedaan yang lainnya,

penelitian I Putu Indra Mandhala Putra menggunakan metode penelitian

hukum empiris, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan

menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-

undangan, pendekaan konsep dan pendekatan kasus.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian

yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa

penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya

baik substansi maupun metodologinya.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,

menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang

dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian

hukum ini adalah :

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini, yaitu untuk

mengetahui dan menganalisis Hak Pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang

16

kawin dengan WNA tanpa perjanjian kawin.Diharapkan pula hasil penelitian ini

dapat memberikan sumbangan pemikiran secara konseptual dalam bidang hukum

Agraria terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses).

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis yang akan dilakukan ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan Hak Pakai atas Rumah

Hunian bagi Warga Negara Asing yang melakukan perkawinan campuran.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari perkawinan campuran

terhadap tanah yang telah dimiliki atas nama Warga Negara Indonesia tanpa

membuat perjanjian kawin sebelumnya.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun

manfaat praktis, sebagai berikut :

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan

ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum Agraria dan hukum perkawinan

campuran dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah tanpa perjanjian kawin.

2. Dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang bermaksud meneliti

kepemilikan tanah bagi WNA atau WNA yang kawin dengan WNI.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Memberikan pandangan kepada masyarakat khususnya WNA dan WNA yang

kawin dengan WNI mengenai pengaturan yang seharusnya terhadap

pemilikan tanah dan bangunan oleh WNA.

17

2. Memberikan pemahaman bagi Notaris/PPAT dalam rangka mencegah

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh WNA dalam penguasaan atas

tanah dan bangunan di wilayah Indonesia.

1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.6.1 Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi kebenaran umum. Menurut Kerlinger,11 sebuah teori adalah

seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu

pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan

variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan

konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.

Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian

sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Adapun teori dan konsep serta asas yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Teori Kepastian Hukum, dan Teori Perjanjian.

1.6.1.1 Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum digunakan untuk membahas rumusan masalah yang

pertama dan kedua mengingat kepastian hukum bagi WNA atau WNA yang

kawin dengan WNI tanpa perjanjian kawin untuk dapat memiliki tanah di

Indonesia. Dalam Teori Kepastian Hukum, kepastian memiliki arti “ketentuan,

ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum

11Fred N. Karlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research,Holt, Rinehart, hal. 16-17.

18

menjadi Kepastian Hukum, memiliki arti “perangkat hukum suatu Negara yang

mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.”12

Mengingat pembicaraan di sini dalam perspektif hukum, maka tema

kepastian pada prinsipnya selalu dikaitkan dengan hukum. Oleh sebab itu,

pengertian kepastian yang relevan untuk diambil di sini, yaitu pengertian kedua

dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun, sebelum itu, ada baiknya untuk

mengetahui latar belakang pemikiran mengenai nilai Kepastian dalam hukum

terlebih dahulu.

Kepastian hukum menurut Soedikno Mertokusumo, merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi dalam Penegakan Hukum. Menurut Mertokusumo,

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu

yang diharapkan dalam keadaan tertentu.13

Tema Kepastian hukum sendiri secara historis, merupakan tema yang

muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan yang dinyatakan oleh

Montesquieu,14 yaitu dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas

penciptaan undang-undang itu di tangan pembentuk undang-undang, sedangkan

12Anton M. Moeliono, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.

652. 13Soedikno Mertokusumo, 1992, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,

(selanjutnya disingkat Soedikno I), hal. 145. 14Pada dasarnya, konsep Pemisahan Kekuasan mengandung 3 hal pokok, yakni; (1) bahwa

tidak seorangpun yang diperbolehkan membentuk lebih dari satu cabang kekuasaan; (2) bahwa

lembaga kekuasaan pemerintah tidak diperbolehkan mengendalikan atau mempengaruhi

pelaksanaan dari fungsi cabang kekuasaan lainnya; dan (3) tidak satupun lembaga pemerintah

yang melaksanakan fungsi dari cabang-cabang kekuasaan lainnya. Lihat dalam E. C. S. Wade and

Godfrey Phillips, 1971, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practive of the

Constitution Including Central and local Government, the citizen and the State and Administrative

Law by E.C. C. Wade and G. Godfrey Phillips, Eighth Edition, Longman Limited Group, London.

19

hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan ini undang-undang saja.15

Pendapat Montesquieu, yang ditulis dalam bukunya De I’esprit des lois (The

Spirirt of Laws) pada tahun 1748, merupakan reaksi terhadap kesewenang-

wenangan kaum monarki karena kepala kerajaan amat menentukan sistem hukum

dan peradilan pada saat itu dan secara nyata menjadi pelayan monarki.16

Pada tahun 1764, seorang pemikir hukum Italia, Casare Beccaria, menulis

buku berjudul De delitti e delle pene, yang menerapkan gagasan Montesquieu

dalam bidang hukum pidana. Baginya, seseorang dapat dihukum jika tindakan itu

telah diputuskan oleh legislatif sebelumnya, dan oleh sebab itu, eksekutif dapat

menindak dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggar apa yang

telah diputuskan oleh pihak legislatif. Gagasannya ini kemudian dikenal sebagai

asas nullum crimen sine lege, yang pada tujuannya memberikan perlindungan

hukum bagi setiap warga negara terhadap kesewenang-wenangan negara.17

Persoalan kepastian yang diungkapkan di atas, karena selalu dikaitkan

dengan hukum, memberikan konsekuensi bahwa kepastian hukum di sini selalu

15Kodifikasi hukum ke dalam buku-buku hukum turut menguatkan pengaruh pemikiran ini,

karena para ahlihukum dewasa itu sepaham bahwa hukum yang lengkap itu adalah hukum yang

ada dalam buku-buku hukum (undang-undang) yang telah dimodifikasi. Pandangan yang

mengikuti pemikiran Monstesquieu ini, mempengaruhi tugas hakim di peradilan pada abad 19,

ketika itu, apa yang tidak pasti dalam Hukum Kebiasaan harus dihilangkan demi Kepastian

(Hukum). Pendapat ini merupakan sebuah buah aliran Legisme yang berkembang kuat pada abad

itu. Lihat L.J van Apeldoorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 25, Pradnya Paramita,

Jakarta,hal. 391-394. 16Utrecth dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar

Baru dan Sinar Harapan, Jakarta,hal. 388. 17Machtel Boot, 2002, Nullum Crimen Sine Lege and Subjek Matter Jurisdiction of the

International Criminal Curt: Genocide, Crimes Agaist Humanity, War Crimess, Intersentia,

Antwerpen, hal. 83-85; istilah lain terhadap asas ini, yang dikenal dalam Hukum Pidana di

Indonesia, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poeneli, atau asa Legalitas. Lihat dalam

E. Utrecth dan Moh. Saleh Djindang, op. cit., hal. 388. Pemikiran Legalitas ini oleh Immanuel

Kant pada tahun 1797, di dalam bukunya Metaphysik der Sittn (Metafisika Kesusilaan), mendapat

tantangan yang amat kuat. Bagi Kant, kesesuaian atau ketidaksesuaian dalam tindakan hukum

yang lahirlah tidak berarti memperoleh nilai moralnya. Jadi apa yang menurut atau tidak menurut

hukum, tidak bisa dinilai motif moralnya, karena orang pada dasarnya tidak sanggup untuk dinilai

mutlak moralitas orang lain. Lihat dalam S. P Lili Tjahjadi, 1991, Hukum Moral: Ajaran

Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Yogyakarta, hal. 47-48.

20

mempersoalkan hubungan hukum antara warga dan negara. Padahal sebagai

sebuah nilai, kepastian hukum tidak semata-mata selalu berkaitan dengan negara,

karena esensi dari kepastian hukum adalah masalah perlindungan dari tindakan

kesewenang-wenangan. Maka dari itu, aktor-aktor yang mungkin melakukan

kesewenang-wenangan, tidak terbatas pada negara saja, tetapi juga oleh

sekelompok pihak lain di luar negara.

Mengapa dalam diskursus hukum, persoalan kepastian hukum selalu

dikaitkan dengan negara ? Dalam diskursus orisinalnya, pada masa Yunani

Kuno,18 perdebatan mengenai peran negara, dan relasinya dengan hukum, dalam

melindungi warga negara merupakan salah satu topik utamanya.19 Perlindungan

terhadap warga negara memang terletak pada negara, jika negara itu mengakui

adanya konsep Rechtstaat.20 Dalam konsep ini, suatu negara dianggap menganut

prinsip Rechtstaat, apabila dalam penyelenggaraan negara itu dilakukan menurut

hukum, yang dituangkan dalam konstitusi.21 Jadi, apabila ada sekelompok pihak

di luar negara yang mempunyai kekuasaan dan berpotensi untuk digunakan secara

sewenang-wenang, negaralah yang pertama-tama bertanggung jawab untuk

memberikan perlindungan bagi warga negaranya. Karena negara adalah subjek

yang mendapat perintah dari konstitusi dan hukum untuk melaksanakan

kepentigan umum menurut ketententuan hukum yang baik.

18Penggunaan kembali tema-tema yang ada dalam masa Yunani Kuno (dan sebagian pada

masa Romawi, karena Romawi masih mendapat pengaruh dari pemikiran Yunani Kuno) pada

dasarnya merupakan pilihan untuk tetap konsisten pada metode kajian yang telah ditetapkan pada

bagian permulaan tulisan ini (bab utama). 19Franz Magnis-Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.79. 20Perihal Rechstaat dapat dilihat dalam Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia: Analisis

Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 19. 21Ibid., mengaitkan tema hukum dengan negara, sebagaimana telah ditunjukan pada bagian

bab pertama, sesungguhnya lebih tepat ditempatkan pada masa pasca Abad Pertengahan, ketika

hukum telah disistematiskan dalam sistem hukum negara ini inkonsisten secara metodis, karena

terdapat perbedaan mendasar yakni; bahwa tema hukum Abad Pertengahan dan sesudahnya, mulai

membahs hubungan hukum dan negara dalam tatanan yang konkret.

21

Keberadaan negara dan hukum (konstitusi) pada dasarnya merupakan

perwujudan dari kehendak bersama rakyat yang berdaulat, oleh sebab itu nilai

kepastian yang dalam hal ini berkaitan dengan hukum, merupakan nilai yang pada

prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari

kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang. Secara lain, hukum memberikan

tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Disinilah letak relasi antara

persoalan kepastian hukum dengan peranan negara terlihat.

Terkait dengan pemahaman nilai kepastian hukum, yang harus

diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen

hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam

hukum positif. Bahkan peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja,

negara pun mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakkannya.

Pemahaman semacam inilah yang menjadi latar belakang, mengapa pengertian

kepastian hukum oleh Anton M. Moeliono dan Soedikno Mertokusumo,

dirumuskan seperti di atas.

Jaman sekarang, ketika konsep Rechstaat yang telah dianggap klasik itu

telah mulai diperkaya dengan gagasan-gagasan lainnya, maka persoalan kepastian

hukum bukan lagi semata-mata menjadi tanggung jawab negara seorang.

Kepastian hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi

kehidupan, di luar peranan negara itu sendiri dalam penerapan hukum legislasi

maupun yudikasi. Setiap orang atau pihak tidak diperkenankan untuk bersikap

tindak semena-mena.

Dengan demikian, pada era sekarang prinsip kepastian hukum

menekankan pada penegakan hukum yang berdasarkan pembuktian secara formil,

22

artinya suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika

melanggar aturan tertulis tertentu. Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan

yang tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan dan sebagainya dapat dianggap

sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak ada

undang-undang yang melarangnya.22 Dilema antara penegakan hukum yang

mengedepankan pada prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan merupakan

persoalan yang sudah ada sejak lama. Keduanya sama-sama ada di dalam

konsepsi negara hukum.23 Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam

tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum rechstaat,

sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo

Saxon dengan konsep negara hukum the rule of law.

Definisi kepastian hukum yang berkaitan dengan permasalahan

penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian atau kontrak belum diatur secara

holistic dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian,

ukuran kepastian hukum dalam permasalahan penyalahgunaan keadaan dalam

kontrak terbatas pada ada atau tidaknya peraturan yang mengatur perbuatan

tersebut. Selama perbuatan tersebut tidak dilarang dalam hukum materiil, maka

perbuatan tersebut dianggap boleh. Kepastian hukum merupakan produk dari

22Mahfud M.D., 2007, “Kepastian Hukum Tabrak Keadilan”, dalam Fajar Laksono, (Ed.);

Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti,

Bandung, (selanjutnya disingkat Mahfud I), hal. 91. 23Mahfud M.D., 2007, “Dilema Sifat Melawan Hukum: Kepastian Hukum atau Keadilan?”,

dalam Fajar Laksono, (Ed.); Ibid., (selanjutnya disingkat Mahfud II), hal. 89.

23

hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum maka

datanglah kepastian.24

Di Indonesia prinsip kepastian hukum tidak berlaku sebagai prinsip

tunggal dalam sistem hukum Indonesia. Sejak berlakunya Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti

oleh Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, selain menerapkan bunyi undang-undang, hakim juga harus menggali

nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hal ini berarti, selain

kepastian hukum, dunia peradilan pun menekankan pada rasa keadilan. Pasal 1

ayat (3) UUD NRI 1945 hasil amandemen juga menyatakan Indonesia adalah

‘negara hukum’ tanpa lagi mencantumkan istilah rechstaat. Perubahan ini untuk

memberikan ruang, baik pada asas kepastian hukum sekaligus pada asas keadilan

yang dipertegas di dalam ketentuan Pasal 28 huruf h UUD NRI 1945, yang

menekankan pentingnya kemanfaatan dan keadilan.25

Baik itu kepastian hukum maupun pemenuhan rasa keadilan, diakomodasi

di dalam sistem hukum Indonesia. Akomodasi atas keduanya kemudian

menimbulkan dilema karena dalam praktek keduanya tidak diperlakukan secara

integratif tetapi secara alternatif.26 Akomodasi kedua prinsip tersebut yang dalam

kenyataannya sering termanifestasi menjadi prinsip yang bertentangan

menimbulkan ambiguitas orientasi dan cenderung kontradiktif. Aparat penegak

hukum menjadi mempunyai dalih untuk memilih prinsip mana yang akan

digunakan demi mencari kemenangan semata dan bukan mencari kebenaran.

24Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan

Manusia dan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 85. 25Mahfud I, op. cit.,hal. 102. 26Mahfud I, op. cit.,hal. 102.

24

Permasalahan lain menurut Satjipto Rahardjo adalah, bahwa di Indonesia

kepastian hukum seakan menjadi cap dagang dan primadona setiap wacana

mengenai hukum dan peraturan-peraturan formil. Doktrin ini bermasalah karena

hubungan hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Peraturan hukum

tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Hal yang sebenarnya terjadi dan

mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan tidak otomatis

menciptakan kepastian hukum.

Pengejawantahan doktrin ini secara ekstrim terdapat dalam prinsip “hakim

sebagai mulut undang-undang” yang dikemukan oleh Montesquieu. Tragedi

hukum modern sebenarnya dimulai dari prinsip tersebut. Sejak hukum dituliskan,

maka dalam berhukum, orang terpaku pada pembacaan peraturan. Dengan

demikian, memiliki resiko besar untuk meminggirkan keadilan, kemanfaatan, dan

segala hal ihwal yang masuk akal (reasonableness). Jika diproyeksikan kepada

tuntutan keadilan dan kemanfaatan, maka kepastian hukum dapat menjadi

penghambat, karena apabila kepastian hukum diikuti secara mutlak maka hukum

hanya akan berguna bagi hukum sendiri tetapi tidak untuk masyarakat.27

Ada juga konsep kepastian hukum yang lain dikemukakan oleh Maria

S.W. Sumardjono, yang menyatakan bahwa secara normatif, kepastian hukum itu

memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara

operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan

peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan

27Satjipto Rahardjo, op. cit.,hal. 90.

25

konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.28 Kemudian menurut Van

Apeldoorn kepastian hukum meliputi dua hal, yakni:

1. Kepastian hukum adalah hal yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari

hukum, dalam hal-hal yang konkrit. Pihak-pihak pencari keadilan

(yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal

tertentu, sebelum ia memulai dengan perkara;

2. Kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para

pihak terhadap kewenang-wenangan hakim. Roscoe Pound juga

menambahkan bahwa yang disebut dengan kepastian hukum adalah

predictability yang artinya terukur dan dapat diperhitungkan.29

Peraturan perundang-undangan memuat norma hukum yang dijabarkan

secara tertulis dalam ketentuan pasal-pasal. Peraturan perundang-undangan akan

memberikan jaminan kepastian hukum dan mengikat secara umum setelah

diundangkan secara resmi. Sehubungan dengan terdapatnya kekaburan norma dan

konflik norma dalam penelitian ini, hal-hal tersebut dapat menimbulkan tidak

adanya jaminan kepastian hukum dalam praktek hukum.

Terkait dengan kepastian hukum bahwa hanya WNI yang bisa memiliki

tanah dengan status Hak Milik, dalam UUPA diatur mengenai Asas Nasionalitas.

Asas nasionalitas adalah asas utama dalam UUPA terkait dengan pembentukan

Hukum Tanah Nasional yang hanya memberikan hak kepada WNI dalam hal

pemilikan hak atas tanah, yang mana telah menutup kemungkinan WNA untuk

28Maria S.W Sumardjono, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan

Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti”, Makalah disampaikan dalam Seminar

Kebijaksanaan Baru di BidangPertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan

Perbankan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria II), hal. 1. 29Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),

Chandra Pratama, Jakarta, hal. 134 -135.

26

dapat memilikinya. Penerapan asas nasionalitas dalam UUPA, terutama dalam

kepemilikan hak atas tanah, memberikan konsekuensi adanya perbedaan

perlakuan antara WNI dengan WNA. Perbedaan perlakuan tersebut adalah wajar,

terutama terkait dengan kedudukan tanah bagi masyarakat Indonesia yang

memiliki kedudukan yang penting.

Asas nasionalitas dalam UUPA tidak sepenuhnya melarang orang asing

untuk memiliki hak atas tanah, seperti dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA dan dalam

penerapan pada pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah. Menurut

ketentuan Pasal 21 ayat (1), pada intinya hanya WNI yang memiliki Hak Milik.30

Ketentuan tersebut dipertegas pada Pasal 21 ayat (3), yang pada intinya mengatur

pelepasan hak bagi WNA yang karena kondisi tertentu memperoleh Hak Milik

setelah berlakunya UUPA.31 Orang asing atau badan hukum asing hanya dapat

memiliki Hak Pakai, sementara bagi Hak Guna Usaha pada Pasal 30 yang pada

intinya tidak dapat dimiliki asing walaupun terdapat pengecualian tertentu,

sebagaimana diatur pada Pasal 55 ayat (2) UUPA.32

Dengan demikian, perbedaan perlakuan antara WNI dan WNA sebagai

konsekuensi dari asas nasionalitas, tidak secara kaku diterapkan. Artinya,

pembentuk UUPA memiliki pandangan bahwa penguasaan asing terhadap tanah

dimungkinkan dalam rangka pembangunan nasional walaupun hubungan asing

dengan tanah berbeda dengan hubungan antara WNI dengan tanah yang memiliki

hubungan sepenuhnya. Bahwa orang asing hanya dapat mempunyai hak atas tanah

di Indonesia, selama kepentingan WNI tidak terganggu, dan juga pengusahaan

30Martin Roestamy, 2011, Konsep-konsep Hukum Kepemilikan Properti bagi asing

dihubungkan dengan Hukum Pertanahan, Alumni, Bandung, hal.99. 31Ibid. 32Ibid.

27

tanah oleh orang asing itu dibutuhkan oleh pemerintah dalam rangka ekonomi

Indonesia.

Kepastian hukum juga dapat memberikan kepastian terhadap adanya

norma kabur yang melatarbelakangi penelitian ini. Dalam hal menghadapi norma

hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undang-

undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan

penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh

masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Salah satu

metode yang dapat dipergunakan adalah metode interpretasi. Secara umum ada 11

(sebelas) macam metode interpretasi hukum, yaitu: interpretasi gramatikal,

historis, teleologis/sosiologis, komparatif, futuristik/antisipatif, restriktif,

ekstensif, autentik, interdisipliner, dan multidisipliner,33 yang diuraikan sebagai

berikut:

1. Interpretasi Gramatikal

Interpretasi gramatikal atau penafsiran tata bahasa adalah suatu

penafsiran dengan mencari arti atau makna ketentuan aturan hukum

(undang-undang) dari kata-katanya menurut pemakaian bahasa sehari-hari

dan/atau pemakaiannya secara teknis yuridis.34 Interpretasi gramatikal atau

interpretasi menurut bahasa ini memberikan penekanan pada pentingnya

kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap sesuatu

objek. Sukar dibayangkan, hukum ada tanpa adanya bahasa. Positief recht

33Habibul Umam Taqiuddin, 2013, Teori Penalaran Hukum, http://habibulumamt.

blogspot.com. Akses 4 Desember 2016. 34I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum, Bali

Aga, Denpasar, hal. 42-44.

28

bestaat dus alleen maar dankzij het feit dat de mens een taal heeft35

hukum positif itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memiliki

bahasa.

Menurut Bruggink, men kan zelfs nog verder gaan en stellen dat

ook het recht als conceptueel systeem alleen maar vorm kan krijgen in het

denken van de mens, dankzij de taal die hij spreekt.36 Hukum sebagai

sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia

adalah karena bahasa yang digunakan untuk berbicara. Oleh sebab itu

pula, James A Holland dan Julian S. Webb mengemukakan, bahwa bahasa

merupakan salah satu faktor kunci untuk bagaimana kita dapat mengetahui

sengketa hukum (legal disputes) yang sebenarnya dikonstruksi oleh hakim

(pengadilan). Law and fact, dan law and language hukum dan fakta, dan

hukum dan bahasa merupakan 2 (dua) variabel kunci untuk memahami

sengketa hukum di peradilan. The legal process is intrinsically bound up

with language proses hukum secara intriksik diikat dengan bahasa.37

Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode

penafsiran obyektif merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang

paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang

dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya.

Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari sekedar

‘membaca undang-undang.’ Dari sini arti atau makna ketentuan undang-

35J.J.H. Bruggink, 1993, Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Den Haag:

Kluwer-Deventer, hal.13. 36Ibid. 37James A. Holland and Julian S. Webb, 1991, Learning Legal Rules, Blackstone Limited,

Great Britain, hal.73, 82.

29

undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti

bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang.

Interpretasi menurut bahasa ini juga harus logis.38

Terdapat 3 (tiga) pendekatan contextualism yang dapat digunakan

dalam metode penafsiran ini, yaitu:

a. Noscitur a socis, yaitu suatu hal diketahui dari associated-nya.

Artinya, suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya;

b. Ejusdem generis, artinya, sesuai dengan genusnya. Maksudnya, suatu

kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya. Misalnya:

konsep rechtmatigheid dalam hukum administrasi belum tentu sama

maknanya dalam hukum perdata dan pidana.

c. Expressum facit cassare tacitum, artinya kalau suatu konsep sudah

digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain. Contoh:

kalau konsep rechtmatigheid sudah digunakan dalam hukum tata usaha

negara maka konsep yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan

hukum perdata atau hukum pidana.39

2. Interpretasi Historis

Interpretasi historis atau interpretasi sejarah dibedakan menjadi

“sejarah hukum” dan “sejarah undang-undang”. Dalam interpretasi sejarah

hukum, suatu ketentuan aturan hukum (undang-undang) dicari arti atau

maknanya dari sejarah perkembangan suatu lembaga hukum atau figur

hukum. Sedangkan dalam interpretasi sejarah undang-undang, makna atau

38Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2002,

Penemuan Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal.14-15. 39Ian McLeod, 2013, Legal Method, Basingstoke, 9th Edition, Palgrave Macmillan, hal.279-

282.

30

arti dari suatu ketentuan aturan hukum (undang-undang) dicari dengan

cara menelusuri sejarah terbentuknya undang-undang tersebut.40

Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan

dapat juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan

itu sendiri. Penafsiran ini dikenal dengan interpretasi historis. Ada 2 (dua)

macam interpretasi historis, yaitu: penafsiran menurut sejarah undang-

undang; dan penafsiran menurut sejarah hukum.

Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari

maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat atau dikehendaki

oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukkannya. Pikiran

yang mendasari metode interpretasi ini ialah bahwa undang-undang adalah

kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam teks undang-

undang. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga

interpretasi subjektif, karena penafsir menempatkan diri pada pandangan

subjektif pembentuk undang-undang, sebagai lawan interpretasi menurut

bahasa yang disebut metode objektif. Sedangkan, metode interpretasi yang

hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum

disebut dengan interpretasi menurut sejarah hukum.41

3. Interpretasi Teleologis/Sosiologis

Interpretasi sistematis adalah suatu penafsiran untuk menentukan

arti atau makna suatu ketentuan peraturan hukum (undang-undang) dengan

cara mengkaitkannya dengan ketentuan pasal-pasal lainnya.42 Interpretasi

40I Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.44. 41Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal.17-18. 42I Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.44.

31

teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undang-undang ditetapkan

berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini

undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai

lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan

masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu

diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini

peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi

sosial yang baru. Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan

keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.43

4. Interpretasi Komparatif

Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode

penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara

beberapa aturan hukum. Tujuan hakim memperbandingkan adalah

dimaksudkan untuk mencari kejelasan mengenai makna dari suatu

ketentuan undang-undang.44 Interpretasi perbandingan dapat dilakukan

dengan jalan membandingkan penerapan asas-asas hukumnya

(rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-undangan yang lain

dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping perbandingan tentang

latar-belakang atau sejarah pembentukan hukumnya.

5. Interpretasi Futuristik/Antisipatif

Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat

antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang yang belum

43Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal. 15-16. 44Ibid, hal.19.

32

mempunyai kekuatan hukum.45 Dengan demikian, interpretasi ini lebih

bersifat ius constituendum (hukum atau undang-undang yang dicitakan)

daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku pada

saat sekarang).

6. Interpretasi Restriktif

Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang

bersifat membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang,

ruang lingkup ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam

metode penafsiran ini adalah prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam

peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain

selain yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau

dengan kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat

diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut

peraturan perundang-undangan itu sendiri.

7. Interpretasi Ekstensif

Interpretasi ekstensif adalah penjelasan yang bersifat melampaui batas-

batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.46 Interpretasi ekstensif

merupakan metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-

batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal.47 Jadi,

maksudnya adalah bahwa interpretasi ekstensif ini digunakan dengan

45Ibid. 46Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal.19-20. 47Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,

Sinar Grafika, Jakarta, hal.71.

33

maksud untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan cara

melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.

8. Interpretasi Autentik

Interpretasi autentik dalam bahasa Belanda disebut sebagai volledig

bewijs opleverend, yang berarti bahwa interpretasi autentik ini “...

memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah atau

yang resmi”.48 Penafsiran autentik ini dilakukan oleh pembuat undang-

undang itu sendiri, jadi hakim tidak diperkenankan untuk melakukan

penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan dalam

pengertiannya dalam undang-undang itu sendiri.

9. Interpretasi Interdisipliner

Johnny Ibrahim dalam bukunya mengungkapkan bahwa metode

interpretasi interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila ia melakukan

analisis terhadap kasus yang ternyata substansinya menyangkut berbagai

disiplin atau bidang kekhususan dalam lingkup ilmu hukum, seperti

hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi atau hukum

internasional. Hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada

harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu

cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.49 Sebagai contoh,

interpretasi atas pasal yang menyangkut tindak pidana “korupsi”, dimana

48Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang

Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta, hal.118. 49Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,

Malang, hal.48.

34

hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal tersebut dari berbagai disiplin

yaitu hukum pidana, administrasi negara, dan hukum perdata.

10. Interpretasi Multidisipliner

Dalam metode interpretasi multidisipliner, selain menangani dan

berusaha membuat terang suatu kasus yang dihadapinya, seorang hakim

juga harus mempelajari dan mempertimbangkan berbagai masukan dari

disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.50 Hal ini berarti hakim

membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu yang lain dalam menjatuhkan

putusan, demi membuat suatu putusan yang adil dan memberi kepastian

hukum. Biasanya dalam melakukan interpretasi multidisipliner tersebut,

hakim akan mendatangkan para ahli atau pakar dalam disiplin ilmu terkait

untuk dimintakan keterangan mereka sebagai saksi ahli yang memberikan

keterangan di bawah sumpah.

Terkait dengan permasalahan norma konflik yang juga menjadi dasar

penelitian ini, menurut Brower sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja,

solusinya adalah dengan berpegang pada asas preferensi.51

Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan

atau urutan). Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah.

Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak

menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau

konflik di dalamnya. Jika ternyata ada pertentangan yang terjadi dalam suatu

sistem peraturan perundang-undangan maka salah satu dari keduanya harus ada

50Ibid. 51Ibid., hal. 33 dikutip dari P.W. Brower (Ed.), 1991, Coherence and Conflict in Law,

Kluwer, W.E. Tjeenk Wilink, Zwole, hal. 205.

35

yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan. Oleh karena itu diperlukan asas-asas

yang mengatur mengenai kedudukan masing-masing peraturan perundang-

undangan, terkait dengan hal tersebut setidaknya terdapat 3 asas (adagium) dalam

tata urutan peraturan perundang-undangan yang dikenal sebagai asas preferensi,

yaitu:

1. Asas lex superior derogat legi inferiori

Terkait asas lex superior derogat legi inferiori Kusnu Goesniadhie

menyatakan bahwa:

Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

tingkatannya lebih tinggi yang mengatur materi normatif yang sama.

Jika terjadi pertentangan, maka peraturan perundang-undangan yang

tingkatannya lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan

perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah, dan karena

adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan maka hal

demikian berlaku asas lex superior derogat legi inferiori.52

2. Asas lex posteriori derogat legi priori

Selanjutnya terkait asas lex posteriori derogat legi priori Kusnu

Goesniadhie yang menyatakan bahwa:

Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang

lama dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur

materi normatif yang sama. Kalau diundangkan peraturan perundang-

undangan yang baru dengan tidak mencabut peraturan perundang-

undangan yang lama yang mengatur materi normatif yang sama

sedangkan kedua-duanya saling bertentangan satu sama lain, maka

peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan

perundang-undangan yang lama, hal demikian berlaku asas lex

posteriori derogat legi priori.53

3. Asas lex specialis derogat legi generali

52Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan

yang baik, A3, Malang, hal. 36. 53Ibid., hal.36.

36

Terkait dengan asas lex specialis derogat legi generali, Kusnu

Goesniadhie menyatakan bahwa:

Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang

bersifat umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat

khusus, sedangkan kedua-duanya mengatur materi normatif yang

sama. Jika terjadi demikian maka peraturan perundang-undangan yang

bersifat khusus akan mengesampingkan peraturan perundang-

undangan yang bersifat umum, hal demikian akan berlaku asas lex

specialis derogat legi generali.54

Menurut P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon,

dalam menghadapi konflik antar norma hukum, dapatlah dilakukan langkah

praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu:

Pertama, Pengingkaran (disavowal). Langkah ini seringkali merupakan

suatu paradoks dengan mempertahankan tidak ada konflik norma. Seringkali

konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam konflik pragmatis

atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang

lazim, yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat dan juga

hukum publik dengan berargumentasi bahwasanya 2 (dua) hukum tersebut

diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan

tersebut ada konflik norma.

Kedua, yaitu Penafsiran ulang (reinterpretation). Dalam kaitan penerapan

3 (tiga) asas preverensi hukum haruslah dibedakan, yang pertama adalah

reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preverensi, menginterpretasikan

lagi norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel

54Ibid., hal.37.

37

Ketiga, Pembatalan (invalidation). Terdapat 2 (dua) macam, yaitu abstrak

normal dan praktikal. Pembatalan abstrak normal dilakukan misalnya oleh suatu

lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) ke

bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal yaitu

tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret. Dalam praktik peradilan

Indonesia, dikenal dengan mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah

Tempo, hakim mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena

bertentangan dengan Undang-Undang Pers.

Keempat, Pemulihan (remedy). Dengan melakukan pertimbangan

pemulihan, dapat untuk membatalkan satu ketentuan. Misalnya dalam hal satu

norma yang unggul dalam overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi,

maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, dengan memberikan

kompensasi.55

Selain itu, untuk menyelesaikan norma konflik juga digunakan

harmonisasi dari norma-norma yang berkonflik tersebut. Harmonisasi hukum

dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa

dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya

terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni. Rudolf

Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi

hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan, dan kepentingan antara

55Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009 Argumentasi Hukum, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, hal.31.

38

individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh Stammler "a just

law aims at harmonizing individual purposes with that of society".56

Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata "harmonia" yang

artinya :"terlibat secara serasi dan sesuai". Secara filsafat dapat diartikan

kerjasama antaraberbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor

tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Dalam perspektif psikologi diartikan

sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran, dan

perbuatan individu,sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang berlebihan.57

Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas,

dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan

fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara individu-individu

dengan negara atau pemerintah sehingga menampakkan teori harmonisasi hukum.

Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya tentang

harmonisasi hukum, diantaranya:

1. L.M.Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup

penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,

keputusan hakim, system hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan

peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan

kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan dan

mengorbankan pluralisme hukum.58

56Kusni Goesniadhi S., 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan

Yang Baik, Nusa Media, Malang, hal. 2. 57Hasan Sadzily, 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, hal.1262. 58L.M. Gandhi, 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, (Pidato

Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia

Umum, Kanisius, Yogyakarta, hal.88.

39

2. Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah upaya

atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal

yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses

untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan,

keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam suatu kesatuan

kerangka system hukum nasional.59

3. Wicipto Setiadi menyatakan pengharmonisasian adalah upaya untuk

menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan, dan membulatkan konsepsi

suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan peraturan

perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang

lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-

undangansehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan

atau tumpang tindih (overlapping).60

4. Juniarso Ridwan menyatakan harmonisasi merupakan suatu upaya atau

proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan

dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.61

5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman memberikan

pengertian harmonisasian hukum sebagai kajian ilmiah untuk menuju

proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-

nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis, pengkajian terhadap

rancangan peraturan perundang-undangan dalam berbagai aspek apakah

59Kusni Goesniadhie S., op.cit. 60Wicipto Setiadi, 2007, ”Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki

Kualitas Perundang-undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2, hal. 48. 61Juniarso Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,

Nuansa, Bandung, hal. 219-220

40

telah mencerminkan keselarasan dan kesesuaian dengan peraturan

perundang-undangan yang lain, hukum yang tidak tertulis yang hidup

dalam masyarakat,... dan seterusnya.62

Sidharta mengemukakan beberapa kemungkinan yang menyebabkan

terjadinya disharmonisasi dalam system hukum dan instrument penyelesaiannya,

yaitu:

1. Terjadinya inkonsistensi secara vertikal dan dari segi format peraturan

yakni peraturan yang hierarkinya lebih tinggi, misalnya antara peraturan

pemerintah dengan undang-undang. Instrumen penyelesaiannya adalah

asas hukum lex superior derogat legi inferiori, yang artinya adalah

peraturan yang lebih tinggi tingkatannya akan mengesampingkan

peraturan yang lebih rendah.

2. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa

peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu berlaku

daripada yang lain. Instrument penyelesaiannya adalah asas hukum lex

posteriori derogat legi priori, yang artinya adalah peraturan yang lebih

belakangan akan mengesampingkan peraturan yang sebelumnya.

3. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi peraturan, yakni

beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi peraturan

yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan lainnya.

Instrument penyelesaiannya adalah asas hukum lex specialis derogat legi

generali, yang artinya adalah peraturan yang lebih khusus cakupannya

mengesampingkan peraturan yang lebih umum.

62Ibid, hal.223.

41

4. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi dalam satu

peraturan yang sama, misalnya ketentuan Pasal 1 bertentangan dengan

ketentuan Pasal 15 dari satu undang-undang yang sama. Instrument

penyelesaian adalah asas hukum lex posteriori derogat legi priori, yang

artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan

peraturan yang sebelumnya.

5. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda, misalnya

antara undang-undang dan putusan hakim (instrument penyelesaiannya

adalah asas hukum res judicate pro veritate habeteur, yang artinya putusan

hakim harus dianggap benar sekalipun bertentangan dengan undang-

undang sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya), antara

undang-undang yang bersifat memaksa dan kebiasaan (instrument

penyelesaiannya adalah lex dura sed tamen scripta, yang artinya undang-

undang tidak dapat diganggu gugat Pasal 15AE/Algemene Bepalingen van

Wetgeving voor Indonesie) atau antara Undang-Undang yang bersifat

mengatur dan kebiasaan (instrument penyelesaiannya adalah asas hukum

die normatie ven kraft des faktis chen, yang artinya perbuatan yang

berulang-ulang akan memberi kekuatan berlaku normatif).63

Secara umum, dalam instrument penyelesaian disharmonisasi hukum

dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi dan metode

konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman, dimasa lalu memang telah

diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan metode-metode

interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu yang akhirnya diperoleh

63Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir

Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir

Indonesia), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 62-64.

42

sekadar petunjuk yang kabur. Hal ini karena sulit memperoleh pemahaman

tentang motif-motif sesungguhnya dari hakim dalam mengambil keputusan karena

yangterlihat hanya argument yang dikemukakan secara eksplisit dalam kamusnya.

Selain melalui metode interpretasi dan konstruksi, yang berkaitan dengan

instrument penyelesaian disharmonisasi hukum ini adalah melalui penemuan

hukum (rechtsvinding).

1.6.1.2 Teori Perjanjian

Teori perjanjian digunakan untuk membahas dan menganalisis rumusan

masalah yang kedua, yaitu mengenai akibat hukum apabila dalam perkawinan

campuran pasangan WNA-WNI telah memiliki tanah atas nama WNI tanpa

membuat perjanjian kawin sebelumnya. Menurut Abdulkadir Muhammad,

perjanjian adalah hubungan hukum, hubungan hukum itu timbul karena adanya

peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan dalam lingkup

harta kekayaan.64 Mengenai pengertian perjanjian ini, J. Satrio mengemukakan

pendapatnya bahwa perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi

ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan

lain bahwa perjanjian berisi perikatan.65 Scanlon menyatakan bahwa perjanjian

merupakan janji antara para pihak yang membuatnya yang mempunyai aspek

moral dan aspek kekuatan memaksa sebagai kekuatan mengikatnya.66

64Abdulkadir Muhammad, 2003, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 199. 65J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 5 (selanjutnya disebut J. Satrio I). 66T.M. Scanlon, 2001, “Promise and Contracts”, dalam Peter Benson, (Ed.);The Theory of

Contract Law, Cambridge University Press, New York, hal. 99.

43

Menurut Pasal 1313 Burgerljik Wetboek , Stb. 1847: 23 (selanjutnya

disebut BW), suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari peristiwa ini,

muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

Dengan kata lain, perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang

yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian

perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau

ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian, adalah

bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Perjanjian adalah sumber

perikatan.67

Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa perjanjian adalah

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Hubungan hukum tersebut

didasarkan pada kata sepakat atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Dalam hukum perjanjian berlaku beberapa asas, dan asas-asas hukum

perjanjian terdapat dalam Buku III BW, yaitu :68

1. Asas kebebasan berkontrak

Adalah setiap orang bebas mengadakan perjanjian, hal ini dikarenakan

hukum perjanjian menganut sistem terbuka, yaitu memberikan kebebasan

seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi

apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Setiap

orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa saja, baik itu

67Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal. 1 (selanjutnya disebut

subekti I). 68Salim H. S., 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 9-13.

44

bentuknya, isinya serta pada siapa perjanjian itu hendak ditujukan. Asas ini

merupakan kesimpulan dari isi Pasal 1338 BW, yang berbunyi, semua

persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat

ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena

alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang dan persetujuan harus

dilaksanakan dengan itikad baik.

Berdasarkan Pasal 1338 BW tersebut di atas, maka dapat dinyatakan

bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah menurut undang-undang

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas

kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting dalam hukum

perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan

hak asasi manusia dalam mengadakan perjanjian sekaligus memberikan

peluang bagi perkembangan hukum perjanjian. Selain itu asas ini juga

merupakan dasar dari hukum perjanjian yang meskipun tidak tertulis dengan

kata-kata yang banyak dalam undang-undang, tetapi seluruh hukum perdata

kita didasarkan padanya.69

2. Asas konsensualisme

Perjanjian sudah dapat dikatakan ada atau lahir dengan adanya kata

sepakat dari pihak yang membuat perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal

1320 BW yang menyebutkan adanya empat syarat sahnya perjanjian, salah

satunya adalah kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan diri.

3. Asas kekuatan mengikat atau asas Pacta Sunt Servanda

69Purwahid Patrik, 2006, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit

UNDIP, Semarang, hal. 4.

45

Merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan

mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para

pihak mengikat mereka yang membuatnya dan perjanjian tersebut berlaku

seperti undang-undang. Asas ini berarti bahwa perjanjian hanya berlaku bagi

para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) BW

yang menyatakan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuat.

4. Asas itikad baik

Bahwa orang yang akan membuat perjanjian harus dilakukan dengan

itikad baik. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan

sebagai kejujuran seseorang yaitu apa yang terletak pada seorang pada waktu

perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif, adalah

bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hukum harus didasarkan pada norma

kepatuhan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam

masyarakat. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) BW.

5. Asas kepribadian atau personalitas

Merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan

melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan

perseorangan saja. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340

BW yang menyebutkan pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan

perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.

Teori perjanjian dalam penelitin ini digunakan untuk membahas mengenai

perjanjian kawin dalam perkawinan campuran. Sebelum membahas perjanjian

kawin, disini diuraikan terlebih dahulu tentang perkawinan campuran.

46

Seperti telah diutarakan sebelumnya setelah berlakunya Undang-Undang

Perkawinan, telah terjadi unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Walaupun

demikian, pembuat undang-undang tidak menutup kemungkinan bagi terjadinya

perkawinan campuran di kalangan penduduk negara Indonesia. Oleh karenanya,

masalah perkawinan campuran ini tetap masih dapat dijumpai pengaturannya

dalam undang-undang tersebut, sebagaimana yang diatur dalam Bagian Ketiga

dari Bab XII, Ketentuan-Ketentuan Lain.

Bagian Ketiga dari Bab XII UU Perkawinan, terdiri dari 6 pasal, yaitu

dimulai dari Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Ditentukan dalam Pasal 57 UU

Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan

antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan

salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Dari perumusan Pasal 57 UU Perkawinan tersebut, berarti bahwa Undang-

Undang Perkawinan telah mempersempit pengertian perkawinan campuran

dengan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang WNI dengan WNA.

Pengertian tersebut berbeda dari pengertian perkawinan campuran yang selama

ini, baik menurut ilmu hukum maupun yurisprudensi tentang perkawinan

campuran sebelum diundangkannya UU Perkawinan. Dengan demikian,

perkawinan antar sesama WNI yang tunduk kepada hukum yang berlainan tidak

termasuk dalam rumusan Pasal 57 UU Perkawinan tersebut. Hal ini sejalan

dengan pandangan pemerintah Indonesia yang hanya mengenal pembagian

penduduk atas warga negara dan sejalan pula dengan cita-cita unifikasi hukum

yang dituangkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut.

47

Pasal 58 UU Perkawinan selanjutnya mengatakan, bagi orang-orang yang

berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat

memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan

kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-

Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Sedangkan Pasal 59

ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa kewarganegaraan yang diperoleh

sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang

berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

Sementara pada Pasal 59 ayat (2) UU Perkawinan ditentukan bahwa, perkawinan

campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan

ini.

Pasal 60 UU Perkawinan kemudian menyatakan, perkawinan campuran

baru dapat dilangsungkan bilamana para pihak telah memenuhi syarat-syarat

perkawinan sebagai ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi masing-masing

pihak (ayat (1)). Hal mana haruslah dibuktikan dengan surat keterangan dari

mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang

mencatat perkawinan (ayat (2)). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk

memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan,

pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh

dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat

keterangan itu beralasan atau tidak (ayat (3)). Jika pengadilan memutuskan bahwa

penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan

yang dimkasud dalam ayat (3) tersebut (ayat (4)). Selain syarat-syarat yang

48

ditentukan dalam Pasal 60 UU Perkawinan tersebut, UU Perkawinan

memerintahkan pula supaya perkawinan campuran itu dicatat oleh pegawai

pencatat yang berwenang (ketentuan Pasal 61 ayat (1)).

Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa

memperlihatkan terlebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat

keterangan yang membuktikan bahwa syarat-syarat sebagai yang telah ditentukan

oleh Pasal 60 UU Perkawinan, diancam dengan hukuman pidana kurungan selama

1 (satu) bulan. Sedangkan bagi pegawai yang mencatat perkawinan tersebut

ancaman hukumannya ditingkatkan menjadi hukuman kurungan 3 (tiga) bulan dan

ditambah pula dengan hukuman jabatan (ketentuan Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3)).

Ketentuan terakhir mengenai perkawinan campuran menurut Pasal 62 UU

Perkawinan, mengatur masalah kedudukan anak yang lahir dari perkawinan

campuran. Ditentukan dalam pasal tersebut bahwa, dalam perkawinan campuran

kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) UU Perkawinan.

Dalam perkawinan campuran sangat rentan terjadi perselisihan, mengingat

perkawinan campuran berlangsung dari 2 (dua) individu yang menganut hukum

dari negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam perkawinan campuran

disarankan untuk membuat perjanjian kawin atau prenuptial agreement sebelum

perkawinan dilangsungkan. Untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin

terjadi dalam perkawinan campuran.

Prenuptial agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang

dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon

pengantin yang akan menikah. Perjanjian pra nikah berlaku sejak pernikahan

49

dilangsungkan dan isinya mengatur bagaimana harta kekayaan suami istri akan

dibagi jika terjadi perceraiaan atau kematian dari salah satu pasangan. Perjanjian

ini juga bisa memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga akan diatur atau

ditangani selama pernikahan berlangsung.70

Sudikno Mertokusomo menyatakan pengertian perjanjian kawin sebagai

suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat

kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak

pernikahan dilangsungkan.71 Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa kata

perjanjian kawin diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta

benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana salah satu pihak berjanji atau

dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak

menuntut pelaksanaan perjanjian itu.72 R. Soetojo Prawirohamidjodo, mengatakan

bahwa, perjanjian kawin adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon suami

isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-

akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.73

Berdasarkan pengertian perjanjian kawin yang diberikan oleh ketiga ahli

tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa perjanjian kawin merupakan perjanjian

yang dibuat oleh calon pasangan suami isteri sebelum atau pada saat

dilangsungkannya perkawinan. Dari ketentuan ini perjanjian kawin tidak boleh

dibuat sesudah perkawinan dilangsungkan. Pada umumnya perjanjian kawin berisi

70Happy Susanto, 2008, Pembagian harta gono-gini saat terjadi perceraiaan, Visimedia,

Jakarta, hal. 35. 71Sudikno Mertukusomo, 2009, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

(selanjutnya disingkat Soedikno II), hal. 97. 72Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Perseujuan Tertentu,

Sumur, Bandung, hal. 11 (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I). 73R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1982, Hukum Orang dan Keluarga,

Alumni, Bandung, hal .57.

50

tentang kesepakatan mengenai harta ataupun kesepakatan lainnya yang dirasa

perlu diperjanjikan oleh calon pasangan suami istri. Selanjutnya perjanjian kawin

ini diatur baik dalam BW maupun UU Perkawinan yang diuraikan sebagai

berikut.

1. Perjanjian kawin menurut BW

Pasal 119 BW mengatur sejak perkawinan dilangsungkan berlaku

persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri. Hal ini berlaku jika

tidak dibuat perjanjian kawin yang membuat kesepakatan lain. Dari ketentuan

tersebut dapatlah dibuat perjanjian kawin yang menyimpang dari asas

percampuran bulat harta kekayaan. Kesepakatan dalam perjanjian kawin

dibuat dengan tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 139

sampai dengan Pasal 167 BW.

Dalam arti formal perjanjian kawin adalah tiap perjanjian kawin yang

dilangsungkan sesuai ketentuan undang-undang antara calon suami istri

mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa isinya.74 Menurut

Wirjono Prodjodikoro, kata perjanjian kawin diartikan sebagai suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam

mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal,

sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.75

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa,

pengertian perjanjian kawin merupakan perjanjian antara calon suami dengan

74H.A. Damanhuri, 2007, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar

Maju Bandung, hal. 1. 75Wirjono Prodjodikoro I, op. cit., hal. 11.

51

calon istri yang dibuat sebelum berlangsungnya perkawinan yang pada

intinya mengatur persatuan dan/atau pemisahan harta bawaan dari calon suami

atau calon istri. Dengan membuat perjanjian kawin, suami isteri mempunyai

kesempatan untuk saling terbuka. Mereka dapat berbagi rasa atas keinginan-

keinginan yang hendak disepakati tanpa harus merugikan salah satu pihak.

Dilihat dari status hukumnya, perjanjian kawin itu sifat dan hukumnya

tidak wajib dan juga tidak diharamkan. Artinya, perjanjian kawin itu sifat dan

hukumnya adalah diperbolehkan tergantung kemauan para pihak. Namun

dengan adanya perjanjian kawin, hubungan suami isteri akan terasa aman

karena jika suatu saat hubungan mereka ternyata retak bahkan berujung pada

pembatalan perkawinan ataupun perceraian, maka ada sesuatu yang dapat

dijadikan pegangan dan dasar hukum.76

Dengan demikian maksud perjanjian kawin untuk mengatur akibat

perkawinan terhadap harta. Jika dibuat perjanjian kawin maka tidak ada harta

bersama lagi. Pembuatan perjanjian kawin tidak boleh dengan paksaan,

ancaman, dan kekhilafan. Tujuan pembuatan perjanjian kawin diatur dalam

Pasal 139 dan Pasal 140 BW sebagai berikut:

a. Membatasi atau bahkan meniadakan kebersamaan harta menurut undang-

undang (Pasal 139 BW);

b. Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan

sehingga tanpa bantuan isteri maka suami tidak dapat melakukan

perbuatan yang bersifat memutus (agar suami tidak bisa berlaku semena-

mena), diatur dalam Pasal 140 BW.

Anak di bawah umur yang telah memenuhi syarat-syarat untuk

melakukan perkawinan juga dianggap cakap untuk membuat perjanjian kawin,

76Muchsin, 2008, “Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif HukumNasional”, Varia

Peradilan, No. 273, Jakarta, hal. 33.

52

dengan syarat dalam pembuatan perjanjian kawin tersebut, anak yang masih di

bawah umur itu dibantu oleh orang yang mengerti isi dari perjanjian kawin

yang dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 151 BW yang mempersyaratkan hal-

hal sebagai berikut:

a. Harus memenuhi syarat cakap untuk melangsungkan perkawinan (batas

umur untuk laki-laki 18 tahun dan 15 tahun untuk perempuan);

b. Harus dibuat dengan bantuan orang tua atau wali yang berupa izin :

1) izin tertulis;

2) orang yang berhak memberikan izin hadir dan turut menandatangani

perjanjian tersebut.

Bagi anak luar kawin, yang mendampingi dan memberi izin untuk

membuat perjanjian kawin adalah wali atau wali pengawas.

Pasal 147 BW mengatur bahwa perjanjian kawin harus dibuat dengan

akta notariil (ketentuan hukumnya sempurna) sebelum pernikahan

berlangsung dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian.

Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak

boleh ditentukan saat lain untuk itu.

Berlakunya perjanjian kawin sampai terjadi perceraian atau kematian

menurut asas kebebasan berkontrak untuk perjanjian kawin ada batasan-

batasan yang harus dipatuhi, untuk isi batasan tersebut adalah :

a. Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan pasal 1335 BW, yaitu

suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang

palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.

b. Tidak dibuat janji yang menyimpang dari hak yang timbul dari kekuasaan

suami sebagai kepala keluarga. Hak yang timbul dari kekuasaan orang tua,

53

hak yang ditentukan oleh undang-undang untuk suami-isteri yang hidup

terlama (Pasal 140 ayat (1) BW).

c. Tidak dibuat janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan

orang-orang menurunkannya (Pasal 141 BW).

d. Tidak dibuat janji yang menyatakan salah satu pihak akan memikul hutang

yang lebih besar dari bagiannya dalam aktiva (Pasal 142 BW).

e. Calon suami istri tidak boleh membuat janji dengan kata-kata umum

bahwa hukum harta perkawinan mereka akan diatur oleh hukum negara

asing (menurut Pasal 143 BW).

2. Perjanjian Kawin menurut Undang-Undang tentang Perkawinan

Menurut Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan mengatur masalah-masalah

kapan dan dalam bentuk apa perjanjian perkawinan diadakan. Perjanjian

kawin dapat diadakan oleh calon suami isteri “pada waktu” perkawinan atau

“sebelum” perkawinan dilangsungkan. Berapa lama waktu “sebelum” tersebut

tidak dijelaskan/diatur lebih lanjut. Jadi “sebelum” menunjuk pada waktu yang

tidak tentu, tetapi jelas tidak menunjuk pada masa perkawinan. Pada masa

perkawinan (selama perkawinan berlangsung), suami istri tidak diperbolehkan

membuat perjanjian kawin.

Berdasarkan peraturan tersebut di atas maka perjanjian kawin hanya dapat

diadakan sebelum perkawinan atau pada waktu perkawinan. Pada waktu

perkawinan berarti saat dilangsungkannya upacara perkawinan.

Bentuk perjanjian kawin yang ditentukan dalam Pasal 29 ayat (2) UU

Perkawinan ini adalah perjanjian tertulis, perjanjian tertulis tentu saja sangat

54

berkaitan dengan suatu akta otentik yang merupakan suatu akta dalam bentuk

undang-undang dan dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang (misalkan

Notaris).77 Dalam bagian akhir ayat (1) ini dinyatakan “... setelah mana isinya

berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”, sehingga

apabila perjanjian kawin tertulis tersebut berlaku juga bagi pihak ketiga, itu berarti

perjanjian tertulis sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik, sehingga akan

mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.

Menurut R. Subekti, tiga kekuatan akta otentik adalah kekuatan

pembuktian formal dan materil serta pembuktian kepada pihak ketiga (kekuatan

pembuktian keluar). Kekuatan yang terakhir itu hanya dimiliki oleh akta otentik,

sedangkan akta dibawah tangan hanya memiliki kekuatan pembuktian formal dan

materil (sempurna bagi para pihak yang membuatnya, tapi tidak untuk pihak

ketiga), sepanjang diakui atau tidak dipungkiri oleh pembuatnya.78 Kekuatan

pembuktian formal adalah bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang

ditulisnya dalam akta tersebut, sedangkan kekuatan pembuktian materil berarti

apa yang diterangkan dalam akta tersebut adalah benar adanya.79 Apabila

perjanjian kawin dibuat dibawah tangan maka perjanjian kawin tersebut tidak

diketahui oleh masyarakat sehingga perjanjian kawin tersebut hanya mengikat

bagi pihak-pihak yang membuatnya dalam hal ini pasangan suami istri dan tidak

mengikat bagi pihak ketiga.

Sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan mengatur perjanjian

kawin belaku juga terhadap pihak ketiga setelah disahkan oleh pegawai pencatat

77R. Subekti, 1985, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 28. 78Ibid., hal. 31-32. 79Ibid., hal. 30.

55

perkawinan. Akan tetapi perjanjian itu tidak serta merta dapat disahkan oleh

pegawai pencatat perkawinan tersebut, karena apabila perjanjian kawin yang telah

dibuat oleh pasangan calon suami istri tadi melanggar batas-batas hukum, agama,

dan kesusilaan (Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan), maka pegawai

pencatat perkawinan berwenang menolak mengesahkannya. Batas-batas hukum

tentu menunjuk pada ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat memaksa, bukan

suatu anjuran atau kebolehan. Begitu pula batas-batas agama yang berarti bahwa

ketentuan-ketentuan yang berupa larangan dari agama pasangan calon suami isteri

tidak boleh dilanggar.

Unsur kesusilaan yang tumbuh dalam masyarakat juga harus diperhatikan,

misalnya walaupun UU Perkawinan tidak mengatur soal perceraian, karena

sepakat dari pasangan calon suami istri memperjanjikan bahwa perkawinan dapat

putus karena kesepakatan dari pasangan tersebut. Isi perjanjian itu tidak layak dan

melanggar kesusilaan dalam masyarakat, karena pada hakekatnya perkawinan

adalah kekal, abadi dan untuk selamanya.

1.6.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis,

maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut :

56

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Berangkat dari adanya norma kabur dalam Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun

2015 dan norma konflik antara Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 dengan Pasal

29 ayat (1) dan Pasal 57 sampai Pasal 62 UU Perkawinan, maka dalam penelitian

UUPA

1. Bagaimanakah pengaturan Hak Pakai atas Rumah Hunian bagi Warga Negara Asing

yang melakukan perkawinan campuran?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari perkawinan campuran terhadap tanah yang telah

dimiliki atas nama Warga Negara Indonesia tanpa membuat perjanjian kawin

sebelumnya?

Hak Pakai Atas Rumah Hunian Warga Negara Asing dan/atau Warga Negara Indonesia

yang Kawin dengan Warga Negara Asing tanpa Perjanjian Kawin

Pasal 42 UUPA, Hak Pakai dapat

dipunyai orang asing yang

berkedudukan di Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat

Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia

Pasal 21 UUPA Larangan

Kepemilikan Tanah oleh

Warga Negara Asing

Asas Nasionalitas

Rumusan Masalah

Norma konflik antara Pasal

3 PP Nomor 103 Tahun 2015 dengan Pasal 29 ayat

(1) dan Pasal 57 sampai

Pasal 62 UU Perkawinan

Norma Kabur :

Pasal 3 PP Nomor 103

Tahun 2015

57

ini digunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

(normative legal research) merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara

mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap

suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan

penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen

peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.80 Penelitian hukum normatif

juga disebut penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah

atau norma dalam hukum positif.81 Dalam peneltian normatif hukum dipandang

identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga

atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif

yang otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.82

1.7.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi

hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam

kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan,

yaitu:83

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

80Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal. 34. 81Johny Ibrahim, op.cit, hal. 295. 82Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta,

hal 13-14. 83Johnny Ibrahim, op. cit., hal. 300-301.

58

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian

hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai.

Permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah

mengenai hak pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang kawin dengan WNA

tanpa perjanjian kawin. Oleh karenanya, metode pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case

approach).

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Masing-masing sumber bahan hukum yang diteliti tersebut akan diuraikan di

bawah ini sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

akan dikaji, terdiri dari :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria.

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

59

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

e. Burgerljik Wetboek , Stb. 1847: 23.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah

Tempat Tinggal atau Hunian oleh Warga Negara Asing yang

Berkedudukan di Indonesia.

g. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah

Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di

Indonesia.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,

jurnal-jurnal ilmiah, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta

simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian penelitian

hukum ini.84

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus hukum,85 Surat kabar, majalah mingguan, buletin dan internet

juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi

yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.86

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penulisan ini yaitu melalui teknik telaah kepustakaan (study

84Johny Ibrahim,op. cit., hal. 392. 85Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15. 86Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Sources of Public Policy,

Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

60

document) dengan sistem kartu (card system) yakni setelah mendapat semua

bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap

penting bagi penelitian yang digunakan.87 Sistem kartu yang digunakan dalam

penulisan ini adalah kartu kutipan untuk mencatat nama pengarang/penulis, judul

buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap penting agar bisa menjawab

permasalahan dalam penulisan ini. Dalam penerapan teknik telaahan kepustakaan

ini didukung pula dengan penggunaan teknik bola salju (snow ball) yakni dengan

menemukan bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari satu literatur

ke literatur lainnya.

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,

melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat

kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan

hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara

deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai

berikut :88

1. Teknik deskriptif, yaitu dengan menguraikan suatu kondisi atau posisi dari

proposisi-proposisi hukum atau non hukum apa adanya.

2. Teknik interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum. Penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran

87Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hal. 13. 88Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2015, Buku Pedoman

Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 55.

61

gramatikal, yaitu penafsiran berdasarkan teks pada proposisi-proposisi hukum

atau non hukum.

3. Teknik sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau

konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak

sederajat.