69
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakit tersendiri yang menggambarkan dermatitis atopik pada periode bayi akan berlanjut menjadi rhinitis alergika, alergi makanan dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi dipengaruhi oleh faktor genetik, dan faktor lingkungan mulai dari masa intrauterin sampai dewasa (Wahn, 2004). Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan melakukan deteksi dan intervensi dini, salah satunya adalah dengan identifikasi kelompok risiko tinggi atopi melalui riwayat atopi keluarga (Harsono, 2005). Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan urtikaria adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga dengan kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan lingkungan (Harsono, 2005). Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan kulit yang bersifat kronis, dengan onset puncak terjadi pada usia kurang dari 12 bulan dan sebagian besar kasus dermatitis atopik terjadi pada beberapa tahun pertama dalam kehidupan (Moore dkk., 2004; Illi dkk., 2004). Dermatitis atopik merupakan manifestasi paling dini dari penyakit alergi. Sebesar 50% penderita dermatitis atopik akan menjadi asma dan 75% menjadi rhinitis alergika (Spergel dan Schneider, 1999; Won Oh dkk., 2007). Penelitian The Copenhagen Prospective Study on Asthma in Childhood Cohort Study in High-Risk Children ( COPSAC) pada tahun 2006 menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi memiliki

  • Upload
    lethuy

  • View
    218

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakit tersendiri yang

menggambarkan dermatitis atopik pada periode bayi akan berlanjut menjadi

rhinitis alergika, alergi makanan dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi

dipengaruhi oleh faktor genetik, dan faktor lingkungan mulai dari masa intrauterin

sampai dewasa (Wahn, 2004). Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan

melakukan deteksi dan intervensi dini, salah satunya adalah dengan identifikasi

kelompok risiko tinggi atopi melalui riwayat atopi keluarga (Harsono, 2005).

Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan

urtikaria adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga

dengan kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan

lingkungan (Harsono, 2005). Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan

kulit yang bersifat kronis, dengan onset puncak terjadi pada usia kurang dari 12

bulan dan sebagian besar kasus dermatitis atopik terjadi pada beberapa tahun

pertama dalam kehidupan (Moore dkk., 2004; Illi dkk., 2004). Dermatitis atopik

merupakan manifestasi paling dini dari penyakit alergi. Sebesar 50% penderita

dermatitis atopik akan menjadi asma dan 75% menjadi rhinitis alergika (Spergel

dan Schneider, 1999; Won Oh dkk., 2007).

Penelitian The Copenhagen Prospective Study on Asthma in Childhood

Cohort Study in High-Risk Children ( COPSAC) pada tahun 2006 menunjukkan

2

bahwa insiden kumulatif dermatitis atopik pada 3 tahun pertama sebesar 40%,

dimana identifikasi gejala dermatitis atopik pertama kali pada usia 1 bulan

(Halkjaer dkk., 2006). Angka kejadian dermatitis atopik meningkat 2-3 kali dalam

beberapa dekade terakhir, dan telah menjadi masalah kesehatan di beberapa

negara berkembang (Lee dkk., 2004). Peningkatan kejadian dermatitis atopik

menimbulkan dampak beragam di antaranya biaya pengobatan yang tinggi. Pada

dermatitis atopik derajat sedang diperlukan sedikitnya 6 minggu terapi dengan

steroid pada 12 bulan pertama kehidupan dengan biaya pengobatan yang melebihi

penyakit diabetes mellitus tipe juvenile (Moore dkk., 2004).

Dermatitis atopik merupakan hasil interaksi faktor genetika dan

lingkungan termasuk interaksi fetoplasenta, alergen ruangan dan polusi udara

serta nutrisi. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa atopi pada

masa anak kemungkinan disebabkan kelainan genetika, dimana kembar

monozigot lebih berisiko dibandingkan dengan kembar heterozigot dan orang tua

dengan penyakit alergi memiliki anak-anak yang berisiko tinggi mengalami asma

(Liu dkk., 2003). Uehara dan Kimura pada tahun 1993 melaporkan pada 60%

orangtua dengan dermatitis atopik memiliki anak yang menderita dermatitis

atopik. Prevalensi dermatitis atopik anak sebesar 81% apabila kedua orang tuanya

menderita dermatitis atopik, dan menjadi 59% bila hanya salah satu dari orang

tuanya menderita dermatitis atopik dan pasangannya menderita alergi saluran

napas. Prevalensi menjadi 56% bila salah satu orangtuanya menderita dermatitis

atopik sedangkan pasangannya tidak menderita alergi saluran napas ataupun

dermatitis atopik (Boediardja, 2004).

3

Pencegahan primer alergi pada awal kehidupan bayi sangat penting,

karena ketika respons IgE sudah dimulai maka kaskade inflamasi alergi akan terus

berlangsung sepanjang masa bayi dan kemudian sensitisasi terhadap alergen lain

akan terjadi. Pencegahan primer sebaiknya dimulai sebelum terjadi sensitisasi

terhadap alergen. Beberapa intervensi awal yang dapat dilakukan adalah dengan

mengidentifikasi populasi risiko tinggi dan manipulasi lingkungan antara lain

penghindaran asap rokok (Harsono, 2005). Salah satu cara identifikasi populasi

risiko tinggi di Indonesia adalah melalui penentuan nilai atopi keluarga terhadap

janin/bayi baru lahir dengan kartu deteksi dini risiko alergi Ikatan Dokter Anak

Indonesia – Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (IDAI-POGI).

IDAI bekerja sama dengan POGI telah melakukan sosialisasi kartu

deteksi dini sejak tahun 2005, yang kemudian diperbarui pada tahun 2009 (IDAI,

2009). Pengaruh faktor lingkungan, higiene dan gaya hidup dalam peningkatan

kejadian penyakit alergi menyebabkan perlunya evaluasi peranan kartu deteksi

dini alergi, yang hanya mengklasifikasikan tingkat risiko alergi berdasarkan faktor

atopi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan

kejadian dermatitis atopik berdasarkan nilai atopi dalam kartu deteksi dini

keluarga.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan dengan

nilai atopi lebih dari 0 lebih tinggi daripada nilai atopi 0?

4

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbandingan kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-

4 bulan dengan nilai atopi 0 dan nilai atopi lebih dari 0.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui perbandingan risiko dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan

antara bayi dengan riwayat atopi positif (nilai atopi keluarga > 0) dan

tanpa riwayat atopi (nilai atopi keluarga = 0).

2. Mengetahui perbandingan risiko dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan

antara bayi dengan tingkat risiko sedang (nilai atopi keluarga 1-3) dengan

tingkat risiko tinggi (nilai atopi keluarga 4-6).

3. Mengetahui waktu munculnya dermatitis atopik berdasarkan nilai atopi

keluarga (0, dan >0).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat praktis

Penelitian ini membantu meningkatkan kesadaran tenaga medis akan peran

riwayat atopi keluarga terhadap kejadian dermatitis atopik sehingga

identifikasi populasi risiko tinggi dapat terlaksana dan mengurangi kejadian

dermatitis atopik.

5

2. Manfaat akademik

Penelitian ini dapat memberi masukan dan tambahan ilmu pengetahuan baru

bagi sejawat dokter spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis dokter anak,

dokter umum dan bidan, serta mahasiswa kedokteran, sehingga kartu deteksi

dini risiko alergi dapat menjadi salah satu sarana pembelajaran dalam

mengklasifikasikan tingkat risiko alergi bayi/janin. Selanjutnya diharapkan

penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut.

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Atopi

2.1.1 Definisi

Atopi berasal dari bahasa Yunani, atopos, yang berarti strange

diseases atau out of place, dalam bahasa Indonesia berarti di luar kebiasaan atau

penyakit yang tidak biasa dan pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke

pada tahun 1923 (Hartert dan Ker, 2009; Soebaryo, 2004; Zulkarnain, 2009).

Atopi didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang dan atau keluarga untuk

membentuk antibodi IgE sebagai respon terhadap alergen (Wahn dan Mutius,

2007). Atopic march atau perjalanan alamiah penyakit alergi adalah istilah untuk

menerangkan perkembangan dari kelainan atopik, dari dermatitis atopik pada

bayi, alergi makanan pada bayi dan anak, rinitis alergika pada anak usia sekolah

dan asma pada anak yang lebih besar dan remaja sampai dewasa. Atopi

dihubungkan dengan perkembangan penyakit alergi yaitu dermatitis atopik, alergi

makanan, rhinoconjunctivitis dan asma (Liu, 2006).

2.1.2 Perjalanan Alamiah Penyakit Atopi

Perjalanan alamiah penyakit atopi atau yang dikenal dengan atopic

march adalah perjalanan alamiah manifestasi klinis penyakit atopi, yang ditandai

dengan peningkatan immunoglobulin E sebagai respon antibodi dan munculnya

gejala klinis pada awal kehidupan, bertahan selama beberapa tahun atau dekade,

dan menghilang secara spontan sesuai usia (Wahn dan Mutius, 2007).

7

Meskipun banyak terdapat variasi individual, manifestasi penyakit

atopi sudah mulai muncul pada dekade pertama kehidupan, seiring dengan

maturnya sistem imun. Gejala klinis seringkali tidak tampak pada saat lahir.

Produksi IgE sudah dimulai sejak umur kehamilan 11 minggu namun sensitisasi

spesifik terhadap alergen makanan ataupun inhalan tidak dapat dideteksi dengan

metode standar (Wahn dan Mutius, 2007).

Insiden tertinggi dermatitis atopik dan alergi makanan adalah pada 2

tahun pertama kehidupan. Penyakit alergi yang sering terjadi pada umur 0 – 3

bulan adalah dermatitis atopik, alergi makanan, dan wheezing. Kemudian disusul

dengan asma, rhinitis alergika, rhinoconjunctivitis yang seperti berbaris

membentuk allergic march (Liu dkk., 2003).

Sofranac, 2008 melaporkan peningkatan risiko asma pada sejumlah

169 anak dermatitis atopik yang diikuti selama 4 tahun. Meskipun dermatitis

atopik meningkat pada 51% dan menghilang pada 34% pasien, 15% pasien

dengan dermatitis atopik persisten memiliki risiko lebih besar terhadap asma.

Sesuai dengan penelitian lain, penelitian ini juga menunjukkan bahwa sensitisasi

yang terjadi lebih awal lebih beresiko terhadap penyakit asma. Penelitian ISAAC

(International Study of Asthma and Allergies in Childhood) tahun 2003 yang

meneliti prevalensi dermatitis atopik, rhinitis allergika dan asma di seluruh dunia

dengan menggunakan kuesioner yang tervalidasi, menunjukkan adanya hubungan

kuat antara prevalensi dermatitis atopik dengan prevalensi rhinitis alergika dan

asma. Prognosis asma lebih baik pada anak yang tanpa riwayat dermatitis atopik.

Pada evaluasi perjalanan penyakit asma selama 10 tahun pada pasien asma tanpa

8

riwayat dermatitis atopik, 41% pasien membaik, 52% menjadi asma ringan, dan

5% menjadi asma berat. Sebaliknya, pada penderita asma dengan riwayat

dermatitis atopik didapatkan 34% membaik, 54% menjadi asma ringan dan 11%

menjadi asma berat atau meninggal (Paller and Spergel, 2003).

Gambar 2.1. Grafik Allergic March

(Dikutip dari Liu, 2006)

Terdapat 4 karakteristik utama dalam perjalanan alamiah penyakit

alergi, yaitu dermatitis atopik, alergi makanan, rhinitis alergika dan asma. Alergi

makanan dan dermatitis atopik muncul pertama kali, tidak langsung setelah lahir,

tetapi pada bulan awal kehidupan. Kondisi ini dapar berlanjut dan berkembang

pada beberapa anak selama usia pra sekolah. Rhinitis alergika dan asma mulai

tampak pada usia 3-4 tahun dan berlanjut sampai usia sekolah. Anak-anak yang

mengalami dermatitis atopik dan atau alergi makanan sering berlanjut menjadi

rhinitis alergika dan asma (Liu, 2006; Hartert dan Ker, 2009).

2.1.3 Pencegahan Primer Penyakit Atopi

Pencegahan primer terhadap alergi pada trimester pertama kehidupan

bayi sangat penting, karena sekali respons IgE yang sudah dimulai, kaskade

9

inflamasi alergi akan terus berlangsung sepanjang usia kehidupan bayi, dan

sensitisasi terhadap allergen makanan yang lain akan terjadi. Beberapa intervensi

yang bisa dilakukan antara lain : identifikasi populasi risiko tinggi, manipulasi

lingkungan antara lain dengan diet eliminasi, pencegahan primer, dan pencegahan

sekunder (Harsono, 2005).

Telah diketahui bahwa alergi erat kaitannya dengan faktor genetik.

Pada saat ini beberapa petanda pada region kromosom spesifik telah ditemukan

dan berhubungan erat dengan dermatitis atopik atau asma, sedangkan region lain

bertanggung jawab pada manifestasi alergi yang lain. Di masa yang akan datang,

bila penelitian genetik ini membuahkan hasil, akan bermanfaat dalam berperan

menentukan tindakan pencegahan primer, atau tindakan pengobatan yang tepat

(Harsono, 2005).

Pencegahan primer ditujukan pada populasi dengan risiko tinggi, tetapi

belum menunjukkan gejala alergi. Pencegahan primer sebaiknya : 1) dapat

dilaksanakan pada keseluruhan populasi, 2) tidak beresiko, dan 3) murah (Wahn,

2004). Pada umumnya disepakati bahwa pencegahan primer dimulai sedini

mungkin sebelum terjadi sensitisasi (Harsono, 2005).

2.1.3.1 Pemeriksaan IgE Tali Pusat

Produksi IgE dimulai di hepar fetus dan paru-paru pada minggu ke 11

kehidupan intrauterine, di cairan amnion pada minggu ke 13 dan di lien pada

minggu ke 21. Akan tetapi, sel yang memproduksi IgE masih jarang sampai bayi

berusia 9 bulan. Beberapa sel IgE+ dapat dideteksi di plasenta tetapi tidak ada

bukti yang menunjukkan adanya produksi lokal IgE. Antibodi terhadap makanan

10

yang dikonsumsi ibu hamil telah ditemukan di cairan amnion. Fetus tidak dapat

merespon dengan antibodi IgE melawan antigen makanan yang dikonsumsi ibu.

Beberapa antigen dapat melewati barier plasenta, yang bersifat permeabilitas

selektif, dimana hanya IgG yang dapat melewatinya, karena arteri tali pusat tidak

dapat mengangkut IgE ibu, IgA dan IgM (Cantani, 2008).

Beberapa penelitian mengenai kadar IgE tali pusat mengemukakan

mengenai beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap kadar IgE tali pusat.

Faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar IgE tali pusat adalah riwayat

atopi pada orang tua dan atau kadar IgE orang tua yang tinggi, umur kehamilan <

38 minggu, paparan intrauterin terhadap alkohol dan atau kafein, paparan

intrauterin terhadap progesterone dan metoprolol, jenis kelamin laki-laki, riwayat

atopi maternal, riwayat merokok selama kehamilan, faktor yang berhubungan

dengan tali pusat seperti kontaminasi oleh darah ibu, tehnik pengambilan sampel

darah tali pusat, musim ketika lahir dimana kadar IgE lebih tinggi pada musim

semi dan musim dingin (Cantani, 2008).

Pemeriksaan kadar IgE telah lama dikembangkan untuk menegakkan

diagnosis penyakit alergi. Croner dkk. pada tahun 1990 melakukan evaluasi

terhadap 1701 anak dari lahir sampai usia 11 tahun, didapatkan 82% anak dengan

peningkatan kadar IgE tali pusat sampai 0,9 UI/ml (nilai normal : 0,12 – 1,28

kU/l) berkembang menjadi penyakit alergi, dimana 68% yang telah tegak dan

15% masih kemungkinan. Dari penelitian tersebut didapatkan sensitifitas sebesar

26%, spesifisitas 94% dan efektifitas sebagai metode skrining sebesar 72%.

Hansen dkk. mengambil kesimpulan bahwa kadar IgE tali pusat tidak dapat

11

digunakan sebagai faktor prediktif resiko atopi pada bayi, dengan hasil penelitian

PPV (Positive Predictive Value) 44-48% dan sensitifitas sebesar 15-17 %

dibandingkan dengan sensitifitas riwayat atopi keluarga positif sebesar 55-58%.

Peneliti sepakat bahwa meskipun sensitif tetapi pemeriksaan kadar IgE tali pusat

tidak dapat digunakan sebagai marker untuk memperkirakan perkembangan

penyakit atopi dan bukan sebuah metode skrining untuk pencegahan primer alergi

yang baik (Cantani, 2008).

2.1.3.2 Nilai Atopi Keluarga

Pemeriksaan IgE tali pusat dianggap belum dapat digunakan sebagai

marker untuk mendeteksi resiko penyakit atopik atau sebagai metode skrining

untuk pencegahan primer alergi. Sambil menunggu tersedianya metode skrining

atau marker yang sensitif dan spesifik serta mudah diaplikasikan, maka para

peneliti sepakat untuk menggunakan riwayat atopi keluarga sebagai strategi dalam

pencegahan penyakit alergi, salah satunya melalui metode dari Kjellman yaitu

dalam bentuk skor nilai atopi keluarga (family atopy score) (Cantani, 2008).

Para peneliti dalam mengambil kesimpulan bahwa metode yang paling

tepat saat ini untuk memprediksi penyakit atopi adalah skor nilai atopi keluarga.

Hubungan antara riwayat atopi keluarga dengan dermatitis atopik memiliki

sensitifitas 80% dan spesifitias 85% (p<0,01), dan dapat digunakan sebagai

identifikasi dini resiko alergi pada neonatus (Cantani, 2008).

12

Tabel 2.1 Skor nilai atopi keluarga (family atopy score) berdasarkan anamnesis

riwayat atopi keluarga

Skor

Keluarga Dinyatakan Diduga

Ayah 2 1

Ibu 2 1

Saudara kandung 2 1

(Dikutip tanpa modifikasi dari Cantani, 2008)

2.1.3.3 Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi IDAI POGI

Kartu deteksi dini risiko alergi IDAI POGI adalah kartu yang berisi

tabel penilaian nilai atopi keluarga, yang berfungsi untuk menentukan tingkat

risiko alergi pada janin/ bayi baru lahir, yang dikeluarkan oleh IDAI (Ikatan

Dokter Anak Indonesia) dan POGI (Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia).

Dalam kartu deteksi dini disebutkan bahwa apabila kedua orang tua tidak

memiliki riwayat alergi maka sekitar 5-15% bayi berisiko terkena alergi, apabila

kedua orang tua tidak memiliki riwayat alergi tetapi satu saudara sekandung

terkena alergi maka sekitar 25-30% bayi berisiko terkena alergi. Apabila salah

satu orang tua memiliki riwayat alergi maka 40% bayi berisiko terkena alergi, dan

apabila kedua orang tua memiliki riwayat alergi maka 40-60% bayi berisiko

terkena alergi. Bila kedua orang tua memiliki manifestasi alergi yang sama, maka

risiko terkena alergi meningkat 60-80% (IDAI, 2009).

Nilai atopi keluarga diberikan kepada semua anggota keluarga dengan

tanda-tanda alergi seperti dermatitis/ eksim, diare, muntah, kolik, pilek, nafas

berbunyi dan asma. Nilai 2 diberikan kepada anggota keluarga yang dinyatakan

oleh dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 diberikan kepada anggota

13

keluarga yang diduga terkena alergi, dan nilai 0 diberikan kepada anggota

keluarga yang tanpa riwayat alergi apapun. Nilai atopi keluarga yang diperoleh

kemudian dijumlahkan dan dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu nilai atopi 0,

1-3 dan 4-6. Nilai atopi keluarga 0 merupakan tingkat risiko kecil (5-15%), nilai

atopi 1-3 merupakan tingkat risiko sedang (20-40%), dan nilai atopi 4-6

merupakan tingkat risiko tinggi (40-60%) (IDAI, 2009).

Tabel 2.2 Kondisi riwayat alergi keluarga dan nilai atopi dalam kartu deteksi dini

risiko alergi IDAI POGI

Kondisi Nilai

Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi

yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi

2

Ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi

diduga terkena alergi

1

Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi

tanpa riwayat alergi apapun

0

( Dikutip tanpa modifikasi dari IDAI, 2009)

Tabel 2.3 Total nilai atopi keluarga dan tingkat risiko alergi bayi/janin

Total Nilai Atopi Keluarga Tingkat risiko alergi bayi/janin

0 Risiko kecil

1-3 Risiko sedang

4-6 Risiko tinggi

(Dikutip tanpa modifikasi dari IDAI, 2009)

14

2.2 Dermatitis Atopik

2.2.1 Definisi

Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit kronis, berulang, ditandai

dengan adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat, dan distribusinya pada

tempat-tempat tertentu dari tubuh (Beck, 2004; Sicherer dan Sampson, 2004;

Leung, 2003; Williams, 2005) ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas,

disertai edema, vesikel, dan basah pada stadium akut, dan penebalan kulit

(likenifikasi) pada stadium kronis (Williams, 2005). Dermatitis atopik lebih sering

terjadi saat masa kanak-kanak (Beck, 2004; Sicherer dan Sampson, 2004; Leung,

2003).

Dermatitis atopik sering dihubungkan dengan penyakit atopi yang lain

seperti asma, rhinitis alergi, urtikaria, dan alergi makanan (Krafchik, 2008). Beck

(2004) mengatakan pasien dermatitis atopik yang parah dengan kadar IgE yang

cukup tinggi, perjalanan penyakitnya akan mengarah ke penyakit-penyakit atopik

lain seperti rinitis alergika (60%), atau asma atopik (30%). Dengan demikian

fokus penanganan dermatitis atopik sejak dini ini adalah pada allergic march,

yaitu mencegah perjalanan penyakit dermatitis atopik ini ke arah rinitis alergi atau

asma. Meskipun disebut atopik, 60 % anak dengan gambaran klinik dermatitis

atopik, tidak memperlihatkan sensitisasi yang dimediasi oleh IgE terhadap

alergen (Williams, 2005).

2.2.2 Epidemiologi

Menurut International Study of Asthma and Allergies in Childhood,

prevalensi dari gejala dermatitis atopik pada anak berumur 6-7 tahun selama

15

periode 1 tahun, bervariasi dari kurang dari 2 persen di Iran dan Cina, sampai

sekitar 20 persen di Australia, Inggris , dan Skandinavia (Williams, 2005). Insiden

dermatitis atopik, seperti juga asma tampaknya meningkat di daerah perkotaan di

negara-negara barat, dengan estimasi sebanyak 2,5 kali lipat dari tahun 1960

sampai tahun 1990 di Eropa utara (Beck, 2004). Pada bayi dengan risiko tinggi,

48-65% kasus dermatitis atopik ditemukan pada usia 6 bulan pertama, dimana

sebagian besar ditemukan pada usia kurang dari 4 bulan yaitu sebesar 57%,

sejumlah 75-80% kasus terjadi pada usia kurang dari 1 tahun, dimana prevalensi

laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 1,5 : 1 (Cantani, 2008).

Survey di negara berkembang menunjukkan 10-20% anak menderita

dermatitis atopik. Hanya sedikit penelitian epidemiologi dermatitis atopik pada

etnis Asia. Di Singapura prevalensi dermatitis atopik pada anak sekolah kelas 1

dan 6 tingkat sekolah dasar dan kelas 1 sekolah menengah atas sebesar 20,8%.

Rasio pria dan wanita kurang lebih sama, pria sedikit lebih banyak pada usia 7 dan

12 tahun sedangkan pada kelompok usia 16 tahun wanita sedikit lebih banyak.

Prevalensi pada ras Cina dan Melayu lebih tinggi daripada India, kebanyakan

kelainan kulit ini timbul saat usia kurang dari 10 tahun pada kelompok usia 16

tahun. Pada populasi anak kembar, 37% terdapat riwayat dermatitis atopik pada

ibu atau bapaknya. Di Hongkong prevalensi dermatitis atopik sebesar 20,1% pada

anak usia 7-9 tahun. Di Indonesia tahun 2000 ditemukan 23,67% kasus baru

dermatitis atopik anak dari 611 kasus baru penyakit kulit lainnya dan berada pada

peringkat pertama dari 10 penyakit kulit anak terbanyak pada 7 rumah sakit

pendidikan di lima kota di Indonesia (Jacoeb , 2004).

16

2.2.3 Patofisiologi

Patofisiologi dermatitis atopik adalah adanya disfungsi imun yang

menyebabkan terbentuknya IgE, dan gangguan barrier epitel kulit. Teori hipotesis

yang pertama disebut juga teori imun hipotesis, menyatakan pada individu yang

sehat, terdapat keseimbangan antara 2 subpopulasi sel T yang utama yaitu Th1

dan Th2. Tetapi pada individu tertentu terdapat ketidakseimbangan dimana

terdapat dominansi Th2, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin yaitu

interleukin (IL) 4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony-stimulating

factor (GM CSF), yang menyebabkan peningkatan jumlah IgE dan menurunkan

kadar interferon gamma. Namun demikian pada dermatitis atopik yang kronis,

jenis sel Th1 yang dominan. Selain kedua sub populasi sel T tersebut, sel lain

yang juga terlibat dalam proses ini adalah sel Langerhans, keratinosit, dan sel B

(Krafchik, 2008).

Hipotesis yang kedua melibatkan defek fungsi barier dari stratum

korneum epitel kulit pada pasien dermatitis atopik, yang memudahkan masuknya

antigen yang berakibat pada terbentuknya sitokin inflamasi. Xerosis juga

diketahui berhubungan dengan gejala pada dermatitis atopik. Bukti-bukti

menunjukkan bahwa terdapat kehilangan fungsi yang kompleks akibat mutasi dari

gen filaggrin (FLG) pada pasien dermatitis atopik di Eropa dan mutasi filaggrin

tipe yang lain di Jepang. Gen ini bermutasi pada pasien dengan ichthyosis vulgaris

yang berhubungan dengan dermatitis atopik dengan onset pada masa awal

kehidupan dan penyakit pada saluran nafas pada pasien dermatitis atopik.

Perubahan ini hanya terlihat pada 30 % pasien di Eropa, sehingga memunculkan

17

dugaan bahwa faktor genetik berperan pada patogenesis penyakit dermatitis atopik

(Krafchik, 2008).

Pada dermatitis atopik, terjadi peningkatan kehilangan air

transepidermal, defek pada badan lamelar yang disebabkan oleh ketidakknormalan

produksi ceramide karena defek pada filagrin. Inflamasi yang terjadi disebabkan

kerusakan epidermal barrier secara primer ataupun sekunder, sampai saat ini

belum diketahui dengan jelas, tetapi dengan diketahuinya keterlibatan filaggrin

dalam disrupsi epitel, dapat dijelaskan bahwa hal ini dapat meningkatkan

penetrasi dari alergen lingkungan, yang bertanggung jawab pada patogenesis

terjadinya dermatitis atopik (Krafchik, 2008; Soebaryo, 2004).

2.2.4. Respon Imun Sistemik

Penderita dermatitis atopik memiliki kadar eosinofil darah tepi dan

kadar IgE serum yang tinggi. Hampir 80 % anak dengan dermatitis atopik akan

berkembang menjadi rinitis alergika atau asma. Sensitisasi alergen melalui kulit

merupakan suatu predisposisi terjadinya penyakit saluran pernafasan karena

efeknya pada respon alergi sistemik (Soebaryo, 2004).

Sel T dari penderita dermatitis atopik memproduksi interleukin (IL) 4,

IL-5, dan IL-13, tetapi hanya sedikit memproduksi interferon gamma. Perubahan

imunologi ini sangat penting karena IL-4 dan IL-13 adalah satu-satunya sitokin

yang menginduksi transkripsi dari germline pada Cε ekson, sehingga memicu

perubahan ke arah IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi adesi molekul

vaskuler seperti molekul-1 yang terlibat dalam infiltrasi eosinofil dan down

regulation dari aktivitas sitokin Th1. IL-5 berperan dalam perkembangan,

18

aktivasi, dan kelangsungan hidup dari sel eosinofil. Sebaliknya, IFN γ

manghambat sintesis IgE sama seperti penghambatannya pada proliferasi Th2 dan

ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Berkurangnya produksi IFN γ oleh sel T pada

pasien dermatitis atopik, merupakan hasil dari berkurangnya produksi IL-18. Sel

T sitotoksik juga ditemukan menurun pada pasien dermatitis atopik (Leung,

2003).

Pada pasien dermatitis atopik terdapat peningkatan kecenderungan

untuk mengalami infeksi bakteri, virus, dan jamur kulit. Staphylococcus aureus

ditemukan pada 90% dari lesi kulit pada dermatitis atopik. Lesi kulit pada

sebagian pasien dermatitis atopik, terdapat S. aureus yang mensekresi

superantigen seperti enterotoksin A, B, dan toxin shock syndrome toksin-1.

Kebanyakan pada pasien dermatitis atopik, lesi kulitnya ditemukan adanya

produksi antibodi IgE spesifik yang secara langsung melawan superantigen yang

dikeluarkan oleh staphylococcus. Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa

superantigen menginduksi terbentuknya IgE spesifik pada pasien dermatitis atopik

dan degranulasi sel mast in vivo jika superantigen berpenetrasi melalui barrier

epitel yang rusak (Leung, 2003).

Salah satu faktor penting pada memberatnya dermatitis atopik adalah

siklus gatal dan menggaruk. Trauma yang berulang pada keratinosit berakibat

pada dilepaskannya beberapa sitokin. Sitokin–sitokin penting yang dilepaskan

termasuk IL-1 dan TNF- α. IL-1 dan TNF- α dan sitokin yang sejenis diperlukan

untuk menginduksi adesi molekul yang menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi

19

yang lain menuju kulit. Baik sel lokal maupun sel yang menginfiltrasi, sama-sama

menghasilkan inflamasi (Won-Oh dkk., 2007).

2.2.5 Faktor Risiko

2.2.5.1. Genetik

Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kompleks yang

merupakan hasil interaksi beberapa faktor. Beberapa gen telah diidentifikasi dapat

menjelaskan beberapa kasus namun faktor genetik bukan faktor tunggal penyebab

dermatitis atopik. Peran lingkungan ikut berperan penting, seperti dalam

penelitian pada anak Jamaica yang tinggal di London memiliki risiko 2 kali lipat

lebih tinggi untuk mengalami dermatitis atopik dibanding anak-anak Jamaica yang

tinggal di Jamaica (Boediardja, 2004; William, 2008; Soebaryo, 2004).

Transmisi dari gen pembawa risiko atopi ini berasal dari beberapa

lokus gen (Schafer, 2006). Penurunan gen risiko atopi ini sangat kuat berasal dari

gen ibu dan ditemukan bahwa terdapat peran yang potensial dari kromosom 5q31-

33 yang terkandung dalam keluarga gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-

CSF yang diekspresikan oleh sel Th2 (Leung, 2003).

Menurut Janeway dkk. (2001), kromosom 11q dan 5q mempunyai

peran yang penting dalam atopi, dimana gen-gen pada kromosom ini mengkode

subunit β dari reseptor IgE yang memiliki afinitas tinggi. Kromosom 5 terdiri

kelompok gen yang diantaranya mengkode IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13

dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sitokin-

20

sitokin ini sangat penting dalam aktifitas IgE, kelangsungan hidup eosinofil, dan

proliferasi sel mast.

Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Moore dkk. (2004) tentang

faktor prediktor perinatal terhadap dermatitis atopik pada 6 bulan pertama

kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi memiliki risiko lebih besar

untuk terjadinya dermatitis atopik, dan riwayat atopi pada ibu memiliki risiko

lebih besar dibandingkan dengan riwayat atopi pada ayah. Riwayat dermatitis

atopik pada orangtua adalah faktor risiko penting terjadinya dermatitis atopik pada

anak, dan kejadian dermatitis atopik pada kembar monozigot lebih tinggi daripada

kembar dizigot (Boediardja, 2004; Liu dkk., 2003).

2.2.5.2. Alergen Makanan

Pada awal abad ke-20, Schloss, Talbot, dan Blackfan

mempublikasikan suatu laporan kasus mengenai perbaikan klinis yang dialami

oleh pasien dermatitis atopik setelah dilakukan penghindaran terhadap makanan-

makanan tertentu dalam diet mereka. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa

alergen menginduksi aktivasi sel mast yang dimediasi IgE dan menghasilkan

suatu hasil akhir berupa reaksi hipersensitifitas yang dikarakteristikkan dengan

adanya infiltrasi monosit dan limfosit pada jaringan, contohnya kulit. Pola dari

ekspresi sitokin yang ditemukan pada limfosit yang menginfiltrasi lesi dermatitis

atopik yang akut adalah predominan Th2, IL-4, IL-5, IL-13. Sebagai tambahan,

sitokin-sitokin ini memicu masuknya eosinofil yang telah aktif, dan melepaskan

produk-produk dari eosinofil. Sel Langerhans yang menghasilkan IgE, diregulasi

21

oleh sitokin-sitokin ini sehingga menjadi sangat efisien dalam tugasnya

mengantarkan alergen pada sel T (Leung, 2003).

Fiocchi dkk. dalam review-nya terrhadap sedikitnya 15 penelitian dari

tahun 1975 sampai tahun 2003, didapatkan alergen susu sapi paling sering

menimbulkan alergi (Sinagra dkk, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh

Rennick dkk. (2006), dilakukan skin prick test alergen makanan pada populasi

bayi dermatitis atopi derajat sedang dan berat yang mendapat ASI. Didapatkan

91,5 % positif terhadap satu atau lebih alergen makanan di antaranya susu sapi,

putih telur, kacang dan gandum.

Menurut Hanifin (1992), diperkirakan alergen makanan diabsorpsi

melalui usus halus, kemudian memasuki sirkulasi dan terikat dengan sel mast

yang telah tersensitisasi dengan IgE spesifik di kulit. Interaksi ini akan

melepaskan histamin dan mediator-mediator lain yang menyebabkan eritema dan

pruritus. Hal yang mendukung perkiraan mekanisme ini adalah pada pasien

dermatitis atopik terdapat peningkatan permeabilitas usus terhadap molekul-

molekul makanan yang berukuran besar. Kemungkinan yang lain adalah

mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast usus, akan menuju sirkulasi dan

menyebabkan reaksi pada kulit dan saluran nafas.

Dermatitis atopik tidak selalu disebabkan oleh alergi makanan, tapi

dapat diprovokasi oleh makanan tertentu. Suatu penelitian yang dilakukan dengan

sampel pasien dermatitis atopik yang dirawat di rumah sakit, terbukti bahwa

alergen makanan dapat menimbulkan eksaserbasi sebesar 32% - 40%. Yang

menarik adalah alergen yang bertanggung jawab terhadap lebih dari 90% reaksi

22

tersebut adalah susu sapi, telur ayam, gandum, kedelai, kacang dan ikan. Hasil ini

ternyata konsisten dengan penelitian akhir tahun 1980 dan akhir tahun 1990

(Schafer, 2006).

Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa dengan eliminasi

makanan yang diperkirakan sebagai penyebab, terjadi penurunan dalam jumlah

spontaneous basophil histamine release (SBHR) pada anak dengan dermatitis

atopik yang telah lama mengkonsumsi makanan dimana dia alergi terhadap

makanan tersebut (Leung, 2003). Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa

eleminasi dari alergen makanan yang relevan, dapat memberikan perbaikan gejala

pada kulit, dan pemberian kembali makanan tersebut, memicu terulangnya gejala

(Leung, 2003).

Suatu penelitian prospektif dan acak German Infant Nutrition and

Prevention Study (GINI) yang dilakukan Laubereau (2004), didapatkan data yang

valid tentang efek pencegahan dermatitis atopik pada formula hipoalergenik,

dimana penggunaannya dapat menurunkan insiden dermatitis atopik setelah 1

tahun pada anak tanpa predisposisi genetik. Sebaliknya, insiden dermatitis atopik

menurun pada anak dengan riwayat dermatitis atopik pada keluarga hanya bila

diberikan formula ekstensif hidrolisis berbasis kasein.

2.2.5.3. Pengenalan Makanan Padat Dini

Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (saat umur 4 bulan)

berhubungan dengan meningkatnya risiko dermatitis atopik, karena memudahkan

masuknya makromolekul dari alergen makanan melalui saluran cerna yang

imatur. Imaturnya saluran cerna ini mulai dari saliva yang masih sedikit

23

menghasilkan enzim ptialin pencerna karbohidrat, pH lambung yang cukup tinggi

sehingga penghancuran makanan tidak sempurna, dan tight junction usus yang

masih longgar. Kombinasi ini menghasilkan makanan dalam bentuk molekul yang

besar, atau disebut juga makromolekul. Komite nutrisi AAP menyarankan

penundaan pemberian makanan padat sampai umur 4 bulan dimana telah terjadi

maturasi dan kesiapan dari sistem saraf dan saluran cerna (Sicherer dan Sampson,

2004). Hasil sebaliknya didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Snijders

dkk.(2007), bahwa tidak ada hubungan antara pemberian makanan padat dini

dengan dermatitis atopik.

2.2.5.4 Aeroalergen

Aeroalergen adalah suatu substansi , biasanya protein atau glikoprotein

berukuran 10-50 kDa yang terdapat di udara, yang mampu untuk menginduksi

respon IgE (sensitisasi) pada seseorang yang mempunyai predisposisi genetik.

Aeroalergen dibedakan menjadi dua yaitu alergen luar rumah, dan alergen dalam

rumah (Yunginger, 2003).

a. Alergen Luar Rumah

Sumber utama alergen luar rumah adalah pollen dan jamur. Paparan

terhadap pollen tergantung dari jenis tanaman dan lokasi tumbuhnya.

Diperkirakan 20-100 serbuk pollen/m3, cukup untuk menimbulkan sensitisasi

pada individu tertentu. Serbuk pollen berdiameter antara 10-100 µm, dan

kebanyakan menempati rongga hidung atau nasofaring Jamur banyak terdapat di

negara-negara dengan kelembaban tinggi, termasuk Indonesia. Beberapa spesies

24

jamur yang dapat menimbulkan sensitisasi adalah Alternaria, Aspergillus,

Cladosporium, dan Penicillium (Yunginger, 2003).

Kebanyakan alergi pada manusia disebabkan oleh sejumlah kecil

alergen protein inhalan yang dapat menimbulkan produksi IgE pada individu yang

rentan. Kita menghirup banyak macam protein yang tidak semuanya menginduksi

timbulnya IgE. Kebanyakan protein yang bersifat alergen inhalan berukuran

sangat kecil, dan mempunyai sifat larut yang tinggi. Pada kontak dengan mukosa

hidung misalnya, partikel alergen yang kecil ini, contohnya pollen, akan berdifusi

ke dalam mukosa. Alergen secara tipikal dipresentasikan pada sistem imun dalam

dosis yang sangat rendah, mengubah keseimbangan Th2 yang akan menginduksi

produksi dari IgE dalam responnya terhadap dosis alergen yang sangat kecil ini.

Produksi antibodi IgE memerlukan sel Th2 yang memproduksi Interleukin (IL) 4

dan IL-13, dan hal ini dapat dihambat oleh Th1 yang memproduksi interferon – γ

(IFN-γ) ( Janeway dkk., 2001).

b. Alergen dalam rumah

Alergen dalam rumah contohnya tungau debu rumah, bulu binatang

dan kecoa. Dilihat dari struktur dan fungsinya alergen dalam rumah adalah berupa

protein atau glikoprotein dengan berat molekul 10-50 kDa. Alergen ini akan

memicu diferensiasi sel T menjadi sel Th2 yang memproduksi IL-4, IL-13 dan

menginduksi terbentuknya IgE (Yunginger, 2003).

Tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronyssimus), adalah suatu

parasit yang menginvasi inangnya dengan cara mensekresi enzim proteolitik yang

merusak keutuhan jaringan sehingga memudahkan parasit masuk ke dalam

25

jaringan host. Diduga bahwa enzim yang dihasilkan tersebut secara aktif akan

memicu respon dari Th2. Alergenisitas dari Dermatophagoides pteronyssimus

(Der p 1 ) ini juga dipicu oleh sifat proteolitiknya terhadap beberapa reseptor

protein pada sel B dan sel T. Selain itu Der p 1 ini juga mampu memecah subunit

α dari reseptor IL-2 dan CD 25 dari sel T. Hilangnya aktivitas reseptor IL-2 akan

mengganggu jumlah sel Th1, sehingga akan terjadi dominansi jumlah sel Th2

(Janeway dkk., 2001).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi lesi kulit eksematous

yang gatal setelah dilakukan bronchial inhalation challenge dengan aeroalergen

pada pasien dermatitis atopik yang tersensitisasi dengan alergen inhalan. Aplikasi

suatu aeroalergen pada permukaan kulit, menimbulkan suatu lesi kulit yang

eksematoid pada 30% - 50% pasien dermatitis atopik. Reaksi positif ditimbulkan

oleh alergen tungau debu rumah, bulu binatang dan jamur (Leung, 2003).

Aeroalergen terutama tungau debu rumah telah lama diketahui sebagai

faktor pencetus dermatitis atopik. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk

meneliti hubungan antara pengurangan alergen load dan titik akhir klinis.

Sebagian besar penelitian ini memiliki dampak yang bermanfaat dalam

menurunkan prevalensi dermatitis atopik, meskipun penelitian-penelitian yang

lebih kecil belum dapat mengkonfirmasinya. Hubungan klinis antara dermatitis

atopik dengan sensitisasi terhadap tungau debu rumah dapat dilihat pada suatu

penelitian epidemiologi pada 2201 anak sekolah. Dan hubungan yang linear antara

derajat sensitisasi terhadap tungau debu rumah dengan derajat keparahan

dermatitis atopik juga telah dilaporkan (Schafer, 2006).

26

Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa penghindaran terhadap

aeroalergen berhasil menghasilkan perbaikan klinis pada dermatitis atopik. Data

laboratorium menunjukkan bahwa terdapat antibodi IgE terhadap alergen inhalan

yang spesifik pada kebanyakan pasien dermatitis atopik. Penelitian terakhir

menemukan bahwa 95 % serum pasien dermatitis atopik terdapat antibody IgE

terhadap alergen tungau debu rumah jika dibandingkan dengan jumlah 42 % pada

pasien asma. Derajat sensitisasi alergen inhalan ini berbanding lurus dengan

derajat keparahan penyakit dermatitis atopik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

respon imun pada kulit pasien dermatitis atopik ditimbulkan oleh alergen inhalan

atau aeroalergen (Leung, 2003).

b. Binatang dalam rumah

Hubungan antara binatang dalam rumah terhadap terjadinya penyakit

atopi telah banyak diteliti. Studi terdahulu mendukung bahwa binatang peliharaan

merupakan faktor risiko terjadinya penyakit atopi terutama pada bayi yang

berisiko tinggi. Di pihak lain, beberapa penelitian terkini mendapatkan hasil

bahwa alergen tertentu malah memberikan efek pencegahan terhadap terjadinya

penyakit atopi (Schafer, 2006). Moore dkk. (2004) mendapatkan adanya kecoa di

dalam rumah merupakan salah satu faktor prediktor terjadinya dermatitis atopik

pada 6 bulan pertama kehidupan. Binatang-binatang lain yang telah diteliti untuk

hal ini adalah kelinci, tikus, guinea pig, dan pada penelitian epidemiologi di

Jerman mendapatkan bahwa tikus merupakan faktor risiko dermatitis atopik, dan

pada anak sekolah didapatkan peningkatan kejadian dermatitis atopik jika

memelihara kelinci dan babi guinea di dalam rumah (Schafer, 2006). Metodologi

27

penelitian yang baik dan teliti diperlukan untuk mengetahui hubungan antara

binatang dengan dermatitis atopik (Schafer, 2006).

Penelitian-penelitian pada anak-anak yang tumbuh dan besar di

peternakan menunjukkan efek protektif terhadap sensitisasi alergen dan penyakit

atopi, yang diperkirakan karena paparan endotoksin (Schafer, 2006).

c. Faktor lingkungan yang lain

Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara manifestasi atopi

dengan eksema dengan parameter polusi udara. Di Jerman Barat dan Timur

didapatkan hubungan linear yang signifikan antara parameter paparan NOx

terhadap prevalensi dermatitis atopik dengan hasil 16,5 % dibandingkan dengan

14,9 % pada kontrol. Hasil yang sama didapatkan bahwa insiden dermatitis atopik

meningkat pada daerah dengan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi. Ekspose

terhadap komponen volatil organik khususnya toluene, juga dihubungkan dengan

terjadinya dermatitis atopik pada anak (Schafer, 2006).

Asap rokok juga diduga berhubungan dengan dermatitis atopik.

Penelitian terhadap 421 anak prasekolah yang ibunya pada waktu hamil dan

menyusui merokok, memiliki angka risiko 2,3 kali dibanding dengan yang tidak

merokok (Benn dkk. dkk., 2004; Schafer, 2006). Menurut Terr (2003), asap rokok

memiliki efek sebagai adjuvant terhadap produksi antibodi IgE total dan IgE

spesifik.

2.2.6 Gejala Klinis

Gejala klinis yang spesifik yaitu adanya rasa gatal (pruritus) yang

hebat, dengan tempat predileksi yang khas, berlangsung kronis dan residif, serta

28

adanya stigmata atopik pada pasien maupun anggota keluarga yang lain. Tempat

predileksi merupakan hal yang paling penting untuk diketahui dari pasien

dermatitis atopik. Wajah adalah daerah yang paling sering terkena pada bayi

muda serta permukaan ekstensor dari lengan dan kaki pada usia 8-10 bulan.

Sedangkan pada anak-anak yang lebih tua, remaja dan orang dewasa, daerah yang

sering ditemukan kelainan adalah antecubital dan fossa poplitea, wajah dan leher

(Zulkarnain, 2009).

Berikut merupakan gejala klinis dermatitis atopik yang sering dijumpai

pada bayi dan anak-anak, antara lain :

1. Pruritus

Pruritus atau gatal merupakan gejala utama pada dermatitis atopik.

Keluhannya dapat menjadi parah sehingga mengganggu tidur, menyebabkan

pasien mudah marah, dan mengalami tekanan emosional, baik bagi dirinya

ataupun keluarga terdekatnya. Kulit atopik memiliki ambang rangsang rendah

terhadap gatal sedangkan rasa gatal menimbulkan keinginan menggaruk.

Tindakan menggaruk yang berlangsung lama akan membuat kulit menjadi tebal

(likenifikasi), ekskoriasi dan merusak sawar kulit. Kelainan kulit pada dermatitis

atopik sangat bergantung pada keparahan peradangan, tahapan penyembuhan yang

tidak bersamaan, garukan terus menerus dan terjadinya infeksi sekunder (Jacoeb,

2004; Zulkarnain, 2009).

Histamin, neuropeptida, protease, kinin dan sitokin diduga berperan

dalam rasa gatal dalam dermatitis atopik. IL-31 merupakan interleukin yang

diproduksi oleh sel T yang meningkatkan kemampuan sel-sel hematopoitik dan

29

merangsang produksi sitokin dalam proses peradangan di jaringan epitel. Proses

ini sangat gatal dan IL 31 dan reseptornya diekspresikan berlebihan di lokasi lesi

kulit. Paparan eksotoksin S. aureus meningkatkan IL-31 di jaringan kulit (Beiber,

2008).

Beberapa stimulus dikatakan sebagai perangsang timbulnya gatal,

udara panas dan keringat (96%), wool (91%), tekanan emosional (81%), makanan

yang memicu vasodilatasi (49%), alkohol (44%), infeksi saluran napas bagian atas

(36%) dan tungau debu rumah (35%). Penderita atopik memiliki respons terhadap

iritan kulit lebih besar dibandingkan dengan individu non atopik. Bahan iritan

tersebut antara lain sabun, deterjen, kontak dengan jus buah, sayuran, daging,

bahan kimia dan asap. Sebagai pemicu gatal, bahan iritan mampu mencetuskan

dermatitis atopik, demikian juga alergen hirup (tungau debu rumah, bulu

binatang, serbuk sari) (Jacoeb, 2004; Zulkarnain, 2009).

2. Stigmata dermatitis atopik

Tanda yang dipakai untuk menentukan seseorang dalam keadaan atopi

disebut dengan stigmata atopi. Bila stigmata tersebut terdapat pada kulit disebut

sebagai atopic diathesis kulit. Stigmata ini secara signifikan lebih sering

didapatkan pada pasien dermatitis atopik dibandingkan pada individu sehat dan

dapat digunakan sebagai petunjuk untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik.

Yang termasuk dalam stigmata dermatitis atopik antara lain :

a. Kulit kering (xerosis)

Kelainan khas berupa kulit kering, sedikit bersisik, tanpa tanda

inflamasi dan meliputi seluruh bagian tubuh. Kulit yang terkena terlihat

30

kering, kasar, kusam dan bila dioles pelembab akan segera kering kembali.

Kondisi ini dimulai pada saat bayi dan menurun sesuai dengan penyakitnya.

Kulit kering terjadi sebagai akibat dari kemampuan mengikat air sel

keratinosit atopik yang menurun dan adanya peningkatan kehilangan air

transepidermal. Ketidakmampuan fungsi sawar pada kulit atopik memudahkan

penyerapan zat iritan ataupun zat alergen, sedangkan berbagai

mikroorganisme, misalnya virus, bakteri dan jamur dapat menembus sawar

tersebut dengan mudah. Semua keadaan tersebut mampu memicu peradangan

dan merangsang gatal. Kekeringan dapat bertambah bila terkena air, sabun

alkalis, udara dengan kelembaban rendah, sinar matahari, serta cuaca dingin

(Cantani, 2008; Jacoeb, 2004; Santosa, 2008; Zulkarnain, 2009).

b. Palmar hiperlinearlity (and soles)

Pada umumnya pasien dermatitis atopik sejak lahir memiliki banyak

garis palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang hidup. Pada

kondisi kronis, sebanyak 88% pasien memiliki kulit yang cenderung kering,

menebal dan mudah terbelah (fisura), tergantung terhadap adanya pajanan

kontak dengan faktor eksogen. Palmar hiperlinearlity (and soles) ditemukan

pada 28%-88% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa, 2008;

Zulkarnain, 2009).

c. Dennie-Morgan infraorbital fold

Kelainan ini pertama kali dilaporkan oleh Dennie dan diungkapkan

oleh Morgan. Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris,

berupa satu atau dua cekungan di bawah kelopak mata bagian bawah.

31

Ditemukan pada 12%-85% penderita dermatitis atopik dari berbagai variasi

etnis. Keadaan ini muncul pada saat lahir, atau segera sesudah lahir dan

bertahan sepanjang hidup, nampak seperti edema dari kelopak mata bawah

dan menimbulkan suatu gambaran dari atopic diathesis. Namun tanda ini

bukan suatu petanda patognomonik dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa,

2008; Zulkarnain, 2009).

d. White dermographism

Bila kulit individu tanpa dermatitis atopik digores oleh suatu benda

tumpul, maka akan timbul suatu garis merah mengikuti dermografisme, yang

muncul dalam waktu 15 detik di tempat goresan. Setelah itu akan diikuti

(biasanya dalam 15-45 detik) dengan erythematosa (disebabkan suatu axon-

reflex vasodilatation dari arteriol). Respon akhirnya berupa urtika (disebabkan

oleh transudasi dari cairan kapiler yang terlu ka oleh kulit yang digores dalam

waktu 1-3 menit kemudian). Individu dengan dermatitis atopik menunjukkan

suatu pemucatan kulit yang berlawanan dan disebut sebagai dermografisme

putih. Setelah digores akan muncul lebih dulu garis merah lalu digantikan

(biasanya dalam waktu 10 detik) dengan suatu garis putih tanpa disertai urtika,

oleh karena itu digunakan istilah dermografisme putih. Walaupun keadaan ini

tidak patognomonik untuk dermatitis atopik, tetapi kadang-kadang dapat

digunakan untuk diagnosis dermatitis atopik. Keadaan ini ditemukan pada

38%-100% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa, 2008;

Zulkarnain, 2009).

32

e. Facial Pallor

Pasien dermatitis atopik mempunyai berbagai kelainan fisiologis yang

tak dapat diterangkan dan respon paradoks terhadap berbagai stimuli. Pada

ujung tangan dan muka bagian sentral terutama hidung, mulut, telinga

cenderung menjadi pucat bila terpajan udara dingin. Diduga hal ini disebabkan

oleh adanya reaktivitas pembuluh darah yang abnormal dimana terjadi

vasokonstriksi pembuluh darah kecil sehingga menimbulkan warna pucat di

jaringan sekelilingnya. Keadaan ini ditemukan pada 22%-85% penderita

dermatitis atopik, dimana biasanya ditemukan pada penderita dermatitis atopik

yang juga mengalami white dermographism (Cantani, 2008; Santosa, 2008;

Zulkarnain, 2009).

f. (Peri-)Orbital darkening (Allergic shiners)

Sebagian besar penderita dermatitis atopik mengalami gambaran corak

biru keabuan di sekitar area mata dengan corak yang terlihat lebih nyata pada

area sub orbital. Kadang-kadang meluas dan disertai dengan edema, sehingga

anak tampak seperti kelelahan. Keadaan ini ditemukan pada kebanyakan

pasien dermatitis atopik usia anak dan dewasa muda. (Peri-) Orbital

darkening merupakan manifestasi adanya bendungan pembuluh darah, yang

disebabkan oleh adanya penekanan pada pleksus venosus. Proses didahului

dengan edema di hidung dan rongga paranasal dan bengkak serta perubahan

warna menjadi lebih nyata akibat garukan berulang di mata dan adanya

rangsangan sel melanosit (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).

33

g. Tanda Herthoge

Tanda ini didefinisikan sebagai suatu penipisan atau hilangnya bagian

lateral alis mata. Prevalensi kejadian ini sebesar 39% pada penderita dermatitis

atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).

h. Keratosis piliaris

Keratosis pilliaris adalah kelainan keratinisasi folikel rambut yang

ditandai dengan adanya papul berkelompok, hyperkeratosis folikular, keras,

berbentuk kerucut. Lesi ini paling banyak ditemukan di tubuh, pantat dan sisi

luar dari lengan dan kaki, serta member gambaran penampilan kulit yang

mirip kulit ayam yang tercabut bulunya. Keadaan ini paling sering muncul

pada masa kanak-kanak, mencapai pusat insidens pada masa remaja dan akan

berkurang pada masa dewasa (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).

i. Cheilitis

Cheilitis berupa kulit yang kering dan bersisik di bagian atas dan

bagian bawah bibir, seringkali muncul sejak masa kanak-kanak. Dermatitis

atopik pada bibir dapat mengakibatkan bibir pecah-pecah mirip angular

cheilitis dan perioral eczema. Hal tersebut mengakibatkan kebiasaan

membasahi bibir dengan air liur untuk mengurangi kekeringan pada bibir dan

menghilangkan sisik yang melekat. Cheilitis juga dapat disebabkan karena

pajanan zat iritan dari makanan dan minuman yang dikonsumsi secara terus

menerus (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009 ).

34

j. Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi

Anak dengan dermatitis atopik ditemukan memiliki ciri kepribadian

yang khas berupa adanya gangguan psikologis berkaitan dengan rasa gatal,

insomnia, stress yang berlanjut menjadi perubahan perilaku misalnya agresif

dan mudah tersinggung (Zulkarnain, 2009).

k. Katarak dan keratokonus

Katarak diderita oleh 8%-20% kasus dermatitis atopik, kebanyakan

bilateral, tetapi dapat unilateral, dikenal dengan sindrom Andogsky. Katarak

subkapsular anterior terdapat pada 4-12% penderita dermatitis atopic. Katarak

subkapsular posterior sering merupakan efek samping pemakaian

kortikosteroid oral atau topikal yang dipakai untuk kelopak mata. Keratokonus

adalah pemanjangan permukaan kornea, terjadi karena gosokan pada mata

terus menerus sehingga terjadi proses degenerasi kornea. Keratokonus

ditemukan pada 1% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain,

2009).

l. Peningkatan risiko infeksi Staphylococcus aureus dan Herpes Simplex

Pada umumnya penderita dermatitis atopik ditemukan adanya

perubahan imunitas selular. Secara klinis ini ditandai dengan adanya

kerentanan mengalamin infeksi sekunder akibat bakteri seperti S. aureus, virus

seperti herpes simplex, molluscum contagiosum, jamur maupun parasit (;

Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).

35

m. Pityriasis Alba

Pada area yang sebelumnya terkena dermatitis atopik, terutama daerah

wajah, leher dan tubuh bagian atas, dapat timbul bercak hipopigmentasi

dengan ukuran yang bervariasi, ukuran diameter mencapai 1 cm, berbatas jelas

disertai dengan sisik halus, yang kadang-kadang menyerupai tinea korporis

atau vitiligo. Pityriasis alba dilaporkan terjadi pada 35%-44% pada penderita

dermatitis atopik. Penyebab dari pityriasis alba ini masih belum diketahui,

diduga merupakan suatu dermatitis non spesifik (kemungkinan suatu bentuk

ringan dari dermatitis atopik). Kebanyakan kasus disebabkan pajanan sinar

matahari dan gangguan perlindungan dari penebalan stratum korneum serta

disebabkan adanya gangguan melanisasi sel epidermal (Cantani, 2008;

Zulkarnain, 2009).

n. Eksim puting susu

Eksim pada puting susu ditemukan pada 12%-23% pasien dermatitis

atopik. Pada area putting susu, tampak adanya papula dan vesikel kemerahan

yang basah, simetris dan dapat meluas ke area payudara di sekitarnya. Eksim

pada puting susu merupakan kriteria yang dapat dipercaya untuk penegakan

diagnosis dermatitis atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).

2.2.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau

fase perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga saat dewasa. Pada

36

setiap anak didapatkan derajat keparahan yang bervariasi, tetapi secara umum

mereka mengalami pola distribusi yang serupa (Zulkarnain, 2009).

Distribusi manifestasi klinis dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan

tahapan usia penderita dermatitis atopik, yaitu : (Cantani, 2008; Jacoeb, 2004;

Zulkarnain, 2009)

1. Fase bayi (early infantile phase)

Fase ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Lesi awal dermatitis atopik

muncul pada bulan pertama kehidupan, biasanya bersifat akut, sub akut,

rekuren, simetris di kedua pipi, di dahi dan kulit kepala. Lesi tampak berupa

bercak kemerahan bersisik yang sedikit basah. Bagian ekstensor tungkai

bawah dan lengan dapat terkena. Hal ini berhubungan dengan daerah kulit

yang kontak dengan tanah saat bayi mulai belajar merangkak. Lesi kulit

muncul sebagai bintil-bintil merah kecil yang terasa gatal yang dapat

bergabung membentuk bercak yang berukuran besar. Pada umumnya lesinya

polimorfik, cenderung eksudatif, kadang-kadang disertai dengan infeksi

sekunder atau pioderma.

2. Fase anak (childhood phase)

Fase ini terjadi pada usia 2-12 tahun. Sejalan dengan pertumbuhan

bayi menjadi anak-anak, pola distribusi lesi kulit mengalami perubahan.

Awitan lesi muncul sebelum usia 5 tahun. Sebagian fase ini merupakan

kelanjutan fase bayi. Tempat predileksi terutama di daerah fleksural bersifat

simetris dan sangat jarang terjadi di daerah wajah, selain itu juga dapat

mengenai bagian lateral dan anterior leher. Manifestasi klinis berupa

37

dermatitis sub akut dan cenderung kronis. Pada kondisi kronis tampak lesi

hiperpigmentasi, hyperkeratosis dan likenifikasi. Akibat adanya rasa gatal dan

garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut scratch marks. Kulit

tangan biasanya kering, kasar, garis palmar lebih dalam dan nyata, serta

mengalami luka (fisura). Selain itu bibir terlihat kering, bersisik, sudut bibir,

terlihat terbelah (cheilitis), demikian pula bagian sudut lobus telinga sering

mengalami fisura. Lesi dermatitis atopic pada fase anak dapat juga ditemukan

di paha dan pantat.

3. Fase dewasa (adolescent phase)

Fase ini terjadi pada usia lebih dari 12 tahun. Bentuk lesi kulit pada

fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit pada fase akhir anak-anak. Pada

umumnya ditemukan adanya penebalan kulit di daerah belakang lutut dan

fleksural siku serta tengkuk leher. Akibat adanya garukan secara berulang dan

perjalanan penyakit yang kronis, lesi ditandai dengan adanya hiperpigmentasi,

hyperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris. Lokasi lesi

menjadi lebih luas, selain fossa cubiti dan poplitea, dapat juga ditemukan di

bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan dorsum pedis. Pada fase

remaja, area di sekitar puting susu juga dapat terkena.

2.2.8 Diagnosis

Sampai saat ini belum didapatkan adanya gambaran klinis maupun

pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penegakan diagnosis dermatitis

atopik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan identifikasi gambaran morfologi yang

38

sering terdapat pada dermatitis atopik dan ditunjang oleh adanya riwayat atopi

dalam keluarga. Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk

menegakkan diagnosis dermatitis atopik, antara lain kriteria Hanifin Rajka dan

kriteria Williams. Masing-masing kriteria memiliki keunggulan dalam ketepatan

dan kecepatan. Kriteria Williams lebih spesifik, sedangkan kriteria Hanifin Rajka

lebih sensitif (Zulkarnain, 2009).

Uji kulit terhadap berbagai alergen dan pengukuran kadar IgE bukan

merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik,

melainkan untuk membuktikan adanya hipersensitivitas terhadap bahan alergen

tertentu.

2.2.8.1 Kriteria Hanifin dan Rajka

Menurut Hanifin dan Rajka, kriteria diagnosis dermatitis atopik adalah

sebagai berikut :

Kriteria Mayor (harus terdapat 3) yaitu a). gatal, b). penampakan dan

distribusi lesi yang tipikal yaitu pada bayi dan anak-anak, lokasinya di wajah dan

bagian ekstensor tubuh, sedangkan pada dewasa lokasinya di bagian fleksor tubuh

dan terdapat likenifikasi, c). terdapat periode relaps yang sering dan kronis, d).

terdapat riwayat atopi sebelumnya dan riwayat atopi pada keluarga (Zulkarnain,

2009).

Sedangkan kriteria minor meskipun kurang spesifik bisa terdapat 3

atau lebih yaitu a). Xerosis atau kulit kering, b). IgE yang reaktif, c). Ichtyosis,

keratosis pilaris, hiperlinearity pada telapak tangan, d). dermatitis pada tangan

atau kaki, e). fisura periaurikuler, f). cheilitis, g). gatal bila berkeringat h).

39

aksentuasi pada perifolikuler, i). eksema pada puting susu, j). Pityriasis alba, k).

meningkatnya tendensi mengalami infeksi kulit (Staphylococcus aureus, virus dan

jamur), l). reaktifitas tes kulit tipe 1 (immediate type), m). wajah pucat/ eritema

fasialis, n). onset usia awal, o). Dermatitis di lipatan leher anterior, p).

konjungtivitis berulang, q). katarak subkapsular anterior, r). keratokonus, s).

perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosional, t).

intoleransi makanan, u). Intoleransi terhadap wol, v).hiperpigmentasi daerah

orbita, w). lipatan infraorbital Dennie-Morgan, dan x). white dermographism

(Zulkarnain, 2009).

Kriteria diagnosis Hanifin Rajka berguna dalam menegakkan diagnosis

dermatitis atopik. Kriteria ini juga didukung oleh UK Working Party’s Diagnostic

Criteria for Atopic Dermatitis.

Untuk mendiagnosis dermatitis atopik pada bayi, digunakan kriteria

Hanifin Rajka untuk bayi, yaitu kriteria mayor yang terdiri dari: a). riwayat

keluarga yang menderita dermatitis atopik, b). pruritus, c). eksim pada daerah

wajah atau ekstensor atau dermatitis likenifikasi, d). daerah popok dan atau wajah

sekitar mulut atau daerah hidung bebas dari lesi kulit. Kriteria minor yang terdiri

dari : a) xerosis/ichthyosis/palmar hiperlinearlity, b) fisura periaurikuler, c)

chronic scalp scaling, d) aksentuasi perifolikuler (Zulkarnain, 2009).

2.2.9 Diagnosis Banding

Secara klinis dermatitis atopik memiliki gambaran papul, vesikel,

plak, nodulus dan ekskoriasi sehingga diagnosis bandingnya cukup banyak.

40

Keadaan yang harus dipertimbangkan termasuk di antaranya dermatitis seboroik,

psoriasis dan neurodermatitis (liken simpleks kronik). Gatal juga dijumpai pada

beberapa penyakit sistemik, misalnya keganasan, tiroid dan gangguan hepar atau

ginjal, oleh karena itu anamnesis dan pemeriksaan kulit yang teliti diperlukan.

Dermatitis adalah gejala klinis dan bukan diagnosis spesifik. Semua eksim

memiliki gambaran histopatologik spongiosis, tetapi tidak semua gambaran

spongiosis secara klinis merupakan eksim sehingga berbagai diagnosis banding

harus diperhitungkan (Zulkarnain, 2009).

Pengalaman dan ketelitian klinis diperlukan untuk membedakan

dermatitis atopik dengan penyakit lainnya. Berikut ini merupakan gambaran klinis

beberapa pembanding dermatitis atopik yang disajikan dalam bentuk tabel

(Zulkarnain, 2009).

Tabel 2.4 Gambaran klinis beberapa diagnosis banding dermatitis atopik

Penyakit Gambaran klinis

Dermatitis seboroik

Psoriasis

Neurodermatitis

Dermatitis kontak

Skabies

Dermatitis herpetiformis

Dermatofita

Imunodefisiensi sekunder

Lesi kulit berminyak, skuama, riwayat

keluarga tidak ada

Plak pada daerah ekstensor, kulit kepala,

gluteus, pitted nails

Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada

Riwayat kontak, ruam di tempat kontak,

riwayat keluarga tidak ada

Papul, sela jari positif ditemukan tungau

Vesikel berkelompok di daerah lipatan

Plak dengan central healing, KOH negative

Riwayat infeksi berulang

(Dikutip tanpa modifikasi dari Jacoeb, 2004)

Kadangkala pasien dengan kelainan kulit memiliki riwayat atopik

mengalami dermatitis kontak. Bila ternyata kekambuhannya dicetuskan oleh

peristiwa kontak maka uji tempel harus dilakukan untuk mencegah kekambuhan.

41

Dermatitis kontak, dermatitis seboroik, dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis

banding dermatitis atopik pada anak (Jacob, 2004; Zulkarnain, 2009).

Tabel 2.5 Cara membedakan dermatitis kontak alergik, dermatitis atopik dan

dermatitis seboroik pada anak

Dermatitis seboroik

infantile

Dermatitis

atopik

Dermatitis

kontak alergika

Usia

Keadaan

umum

Gatal

Tidur

Distribusi lesi

Stigmata atopi

Uji kulit RAST

Prognosis

< 3 bulan

baik

tidak ada

normal

dapat mengenai

daerah popok

tidak ada

negatif

hilang dengan

bertambahnya umur

>2-3 bulan

iritabel

++++

sulit tidur

daerah popok

bersih

ada

positif (80%)

kronis residif

semua umur,

anak jarang

baik

+++

normal

terlokalisir di

daerah kontak

biasanya tidak

ada

negatif

sembuh setelah

eliminasi kontak

(Dikutip dari Zulkarnain, 2009)

2.2.10 Penatalaksanaan

Penyebab pasti dermatitis atopik masih belum diketahui, oleh karena

itu pengobatannya terutama masih bersifat simptomatik. Penyakit ini dapat

bermanifestasi mulai dari yang ringan sampai berat sekali dengan berbagai faktor

pencetus yang bervariasi sehingga memerlukan beragam pendekatan sistematik

dan holistik dalam penatalaksanaannya. Hingga saat ini penatalaksanaan

dermatitis atopik terutama ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit,

mencegah atau mengurangi kekambuhan sehingga dapat mengatasi penyakit

dalam jangka waktu lama serta mengubah perjalanan penyakit. Sebaiknya

42

penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama, bukan hanya untuk

mengatasi kekambuhan (Sugito, 2009).

The Second International Consensus Conference on Atopic Dermatitis

(ICCAD II) diselenggarakan di Amerika Serikat pada tahun 2002 untuk menyusun

suatu pedoman internasional mengenai pilihan terapi yang ada sekarang dan di

masa depan untuk penatalaksanaan dermatitis atopik. Disepakati suatu algoritme

sebagai dasar pedoman praktek klinis yang dapat digunakan untuk

penatalaksanaan dermatitis atopik pada stadium apapun dan di negara manapun

(Sugito, 2009).

Pengobatan awal dermatitis atopik terdiri atas penggunaan tak terbatas

pelembab untuk hidrasi kulit yang disertai edukasi kepada pasien dan atau orang

tua/pengasuhnya untuk menghindari faktor pencetus. Dalam keadaan flare, dapat

diberikan kortikosteroid topikal jangka waktu pendek. Penghambat kalsineurin

topikal juga merupakan pilihan lain pada fase akut tersebut untuk mengatasi

inflamasi dan pruritus. Bila radang telah teratasi, kembali hanya diberikan

pelembab (Sugito, 2009).

Untuk pengobatan pemeliharaan pada kasus yang persisten atau sering

kambuh, dapat diberikan penghambat kalsineurin topikal. Pimekrolimus terbukti

dapat mencegah progresivitas penyakit dan mengurangi terjadinya flare.

Takrolimus juga efektif untuk pengobatan dermatitis atopik jangka waktu lama,

walaupun pengaruhnya terhadap insidens flare belum diteliti. Kortikosteroid

topikal hanya diberikan pada eksaserbasi akut, dengan demikian lama

43

penggunaannya dapat dikurangi. Bila sudah remisi, pelembab dilanjutkan (Sugito,

2009).

Bersamaan dengan pengobatan, beberapa terapi tambahan perlu

dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, mulai dari menghindari faktor

pencetus sampai dukungan psikologis. Infeksi dapat mengubah perjalanan

penyakit, sehingga bila terdapat infeksi harus dievaluasi dan diberikan antibiotik,

antijamur, dan antiviral yang sesuai secepatnya. Sebelum melakukan pemberian

antiinflamasi, infeksi klinis pada lesi harus sudah teratasi (Sugito, 2009).

Bila gejala dermatitis atopic refrakter dan tidak dapat diatasi dengan

penghambat kalsineurin topikal maupun kortikosteroid topikal secara intermiten,

beberapa pilihan dapat dipertimbangkan, bergantung pada keadaan pasien. Pilihan

tersebut antara lain fototerapi, kortikosteroid yang lebih poten maupun sediaan

oral, imunosupresan : siklosporin, metotreksat, atau azatioprin (sendiri-sendiri

atau dalam kombinasi), dan psikoterapi/psikofarmakologi (Sugito, 2009).

44

Gambar 2.2 Algoritma penatalaksanaan dermatitis atopik

(Dikutip tanpa modifikasi dari Sugito, 2009)

Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit

Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh terhadap keluarga

Remisi

Penyakit

(tidak ada

tanda dan

gejala)

Pelembab, edukasi

Terapi

tambahan/adjuvant

- Hindari faktor-

faktor pencetus

- Infeksi

bakterial :

antibiotik oral

dan atau

topikal

- Infeksi viral :

terapi antiviral

- Intervensi

psikologis

- Antihistamin

Mengatasi pruritus dan

inflamasi akut

- Kortikosteroid topikal

atau

- Penghambat

kalsineurin topikal

- Pimekrolimus 2 kali

sehari atau takrolimus

2 kali sehari

Terapi pemeliharaan

Untuk penyakit persisten dan atau sering kambuh

- Pada tanda dini rekurensi gunakan

penghambat kalsineurin topikal untuk

mencegah progresivitas penyakit

- Pimekrolimus untuk mengurangi terjadinya

flare

- Kortikosteroid topikal secara intermitten

- Penggunaan kalsineurin topikal jangka waktu

lama untuk pemeliharaan

Penyakit berat dan refrakter

- Fototerapi

- Kortikosteroid topikal poten

- Siklosporin

- Metotreksat

- Kortikosteroid oral

- Azatioprin

- Psikoterapi

45

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Angka kejadian dermatitis atopik meningkat 2-3 kali dalam beberapa

dekade terakhir dan telah menjadi masalah kesehatan di beberapa negara

berkembang. Salah satu dampak peningkatan kejadian tersebut adalah biaya

pengobatan yang tinggi dan penurunan kualitas hidup penderita dan keluarganya.

Dermatitis atopik merupakan manifestasi awal penyakit alergi yang sering

dijumpai pada awal masa kehidupan. Perjalanan alamiah penyakit alergi

menggambarkan bahwa dermatitis atopik pada masa bayi akan berlanjut menjadi

rhinitis alergika, alergi makanan dan atau asma. Upaya pencegahan kejadian

dermatitis atopik pada awal kehidupan diharapkan kelak akan dapat mencegah

kejadian penyakit alergi lainnya. Pada umumnya disepakati bahwa pencegahan

primer dimulai sedini mungkin sebelum terjadi sensitisasi.

Dermatitis atopik merupakan penyakit kompleks, hasil interaksi dari

berbagai faktor. Faktor genetik berupa kelainan pada kromosom

2,3,5,6,11,12,13,14,16,17, dan 20, riwayat atopi keluarga yang positif; faktor

lingkungan baik debu rumah, hewan peliharaan, pajanan dengan asap dan serbuk

sari; faktor makanan seperti pajanan dengan alergen makanan (protein susu sapi,

kacang-kacangan, produk susu sapi, dsb), kekurangan omega-3, asam folat dan

kekurangan antioksidan; faktor hygiene seperti penggunaan antiseptik berlebihan,

kejadian infeksi yang berkurang, jumlah anggota keluarga kecil, akan

46

menyebabkan gangguan keseimbangan Th1 dan Th2 didalam tubuh, bahkan sejak

janin dalam kandungan. Ketidakseimbangan antara Th1 dan Th2 akan

menyebabkan dominasi Th2, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin yaitu IL-

4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Sitokin tersebut akan merangsang sel B untuk

memproduksi IgE, dan memicu proliferasi, diferensiasi dan rekruitment dari

eosinofil.

Ketika dalam kandungan, secara alamiah sirkulasi fetoplasenta akan

memproduksi Th2 lebih banyak untuk mempertahankan kehamilan dan janin akan

terpapar oleh sitokin Th2 lebih tinggi daripada Th1. Setelah lahir, bayi non atopik

akan mengalami pergeseran keseimbangan Th1 danTh2, dimana Th1 akan

meningkat pelahan selama satu tahun pertama kehidupan dan mencapai

keseimbangan antara Th1 dan Th2. Sedangkan pada bayi atopik pergeseran

keseimbangan ini tidak terjadi sehingga masih terdapat dominasi Th2 dalam tahun

awal kehidupan.

Identifikasi populasi risiko tinggi, yaitu pada bayi atopik merupakan salah

satu strategi pencegahan primer yang penting. Salah satu metode yang digunakan

di Indonesia adalah melalui kartu deteksi dini alergi IDAI POGI. Kartu deteksi

dini alergi ini mampu mengidentifikasi populasi risiko tinggi berdasarkan nilai

atopi keluarga. Peranan faktor lingkungan, higiene dan gaya hidup dalam

perkembangan penyakit alergi menyebabkan perlunya pengkajian ulang peranan

kartu deteksi dini alergi, yang hanya mengklasifikasikan tingkat risiko alergi

berdasarkan faktor atopi keluarga.

47

3.2 Kerangka Konsep

3.3 Hipotesis Penelitian

Kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan dengan nilai atopi

lebih dari 0 lebih tinggi daripada bayi usia 0-4 bulan dengan nilai atopi 0.

1. Usia kehamilan

2. Diet

- Susu Formula

- ASI eksklusif

- Pengenalan makanan

padat terlalu dini

3. Hygiene

- Infeksi neonatal

- Imunisasi

- Jumlah saudara

kandung dalam

keluarga

4. Lingkungan

- Paparan asap rokok

- Hewan peliharaan

Riwayat atopi keluarga

Nilai Atopi Keluarga dalam

Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi

Nilai 0

(risiko

kecil)

Dermatitis atopik

Nilai 4-6

(risiko

tinggi)

Nilai 1-3

(risiko

sedang)

48

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan rancangan penelitian kohort

prospektif, untuk mengetahui perbandingan kejadian dermatitis atopik antara nilai

atopi keluarga > 0 dan = 0 pada bayi usia 0-4 bulan. Sampel penelitian diikuti

selama 4 bulan kemudian diamati adanya dermatitis atopik atau tidak.

Bagan 4.1 Skema rancangan penelitian

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar mulai 1 Juni 2012

sampai dengan 31 Desember 2012.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah ibu hamil dan bayi yang

dilahirkannya hingga usia 4 bulan. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah

Sampel

Kriteria

inklusi &

eksklusi

Nilai atopi

keluarga =0

Dermatitis

Atopik

Tidak

Diikuti selama 4 bulan

Nilai atopi

keluarga > 0

Dermatitis

Atopik

Tidak

49

ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan

RSUP Sanglah Denpasar saat trimester ketiga, dan atau melahirkan di Ruang

Bersalin RSUP Sanglah Denpasar mulai 1 Juni 2012 sampai 31 Juli 2012 dan bayi

yang dilahirkannya hingga berusia 4 bulan.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah populasi terjangkau yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.2.1 Kriteria Eligibilitas

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1) tinggal di Bali dan tidak

berencana keluar Bali selama 4 bulan mendatang, 2) dapat dihubungi melalui

telepon, 3) orang tua menyetujui bayinya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Sebagai kriteria eksklusinya adalah 1) ibu hamil dengan gejala imunodefisiensi

sekunder, 2) ibu hamil dengan penyakit autoimun dan atau mendapat terapi

kortikosteroid jangka panjang. Sampel penelitian dinyatakan drop out apabila : 1)

bayi lahir mati, 2) bayi dengan kelainan kongenital, 3) lost of follow up. Sampel

penelitian dinyatakan lost of follow up apabila 1) tidak dapat dihubungi melalui

telepon sesuai yang tercantum dalam kuesioner dan atau alamat rumah yang

tercantum tidak dapat dilacak, 2) bayi meninggal sebelum terdiagnosis dermatitis

atopik.

4.3.2.2 Perhitungan Besar Sampel

Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive

sampling), yaitu dilakukan subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan

50

kriteria eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan sampai tercapai jumlah sampel

yang diinginkan.

Untuk menentukan besar sampel minimal berdasarkan rumus :

(Machine, 1997)

Zα = derivate baku alfa untuk α = 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%

sebesar 1,96

Zβ = derivate baku beta untuk β = 0,20 dengan tingkat kepercayaan 95%

sebesar 0,84

P1 = estimasi kejadian bayi dermatitis atopik yang lahir dari orang tua dengan

riwayat atopi, diambil dari kepustakaan yaitu sebesar 0,32 (Halkjaer

dkk., 2006)

Q1 = 1 – P1, diperoleh nilai 0,68

P2 = estimasi kejadian bayi dermatitis atopik yang lahir dari orang tua tanpa

riwayat atopi yaitu sebesar 0,05

Q2 = 1 – P2, diperoleh nilai 0,95

P1-P2 = selisih proporsi yang dianggap bermakna, yaitu sebesar 0,27

P = proporsi total

= (P1+P2)/2, diperoleh nilai 0,18

Q = 1 – P, diperoleh nilai 0,82

Sehingga diperoleh jumlah sampel minimal sebesar n1 = n2 = 32 orang.

( Zα 2

(P1-P2)2

51

Untuk antisipasi drop out yang diperkirakan 10%, maka jumlah sampel minimal

adalah n1 = n2 = 36 orang.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Identifikasi Variabel

Variabel bebas : nilai atopi keluarga

Variabel tergantung : dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan

Variabel pengganggu : paparan asap rokok, paparan hewan peliharaan (anjing dan

kucing), cara persalinan, status imunisasi, infeksi saat

neonatus, jumlah saudara kandung dalam keluarga,

pemberian makanan padat terlalu dini, pemberian ASI

eksklusif, paparan susu formula

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

1. Nilai atopi keluarga adalah total nilai riwayat atopi keluarga sesuai kondisi

yang disebutkan dalam kartu deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI. Nilai

diberikan terhadap anggota keluarga (bapak, ibu dan saudara kandung

janin) yang memiliki gejala alergi, seperti dermatitis/eksema, kemerahan

di kulit, diare, muntah, kolik, pilek nafas berbunyi, asma. Nilai 2 : untuk

ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang

dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 : untuk ibu,

bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang diduga

terkena alergi, nilai 0 : untuk ibu, bapak atau salah satu saudara sekandung

janin/bayi tanpa riwayat alergi apapun. Kemudian nilai yang diperoleh dari

52

bapak, ibu dan saudara kandung janin dijumlahkan. Dibedakan menjadi 2

tingkatan yaitu : nilai 0, dan nilai >0 (skala variabel ordinal).

2. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis, berulang, ditandai dengan

adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat,dan distribusinya pada

tempat-tempat tertentu dari tubuh, biasanya pada pipi dan bagian ekstensor

ekstremitas tubuh pada bayi. Diagnosis dermatitis atopi pada penelitian ini

ditegakkan dengan kriteria Hanifin dan Rajka untuk bayi. Dibedakan

menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal).

3. Berat badan lahir adalah berat badan yang diukur saat bayi lahir

menggunakan satuan gram dan diukur dalam 1 jam pertama setelah lahir,

dibedakan menjadi <2500 gram dan ≥2500 gram (skala variabel ordinal).

4. Usia kehamilan adalah usia kehamilan ibu saat melahirkan bayi, dihitung

berdasarkan hari pertama haid terakhir dan hari saat bayi dilahirkan.

Dibedakan menjadi < 37 minggu dan ≥ 37 minggu (skala variabel ordinal).

5. Cara persalinan adalah metode yang digunakan untuk melahirkan bayi.

Dibedakan menjadi pervaginam dan sectio caesaria (skala variabel

nominal).

6. Paparan asap rokok adalah terdapat anggota keluarga dan atau selain

anggota keluarga yang merokok di dalam rumah, terutama di sekitar

tempat tidur bayi. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel

nominal).

7. Paparan bulu hewan peliharaan adalah terdapat kontak rutin dengan hewan

peliharaan yaitu kucing dan anjing yang tinggal serumah atau sering

53

berkeliaran di tempat tinggal bayi. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala

variabel nominal).

8. Status imunisasi adalah kelengkapan imunisasi bayi sesuai dengan jadwal

imunisasi IDAI 2011. Dibedakan menjadi lengkap dan tidak lengkap

(skala variabel nominal).

9. Infeksi saat neonatus adalah infeksi yang terjadi saat bayi berusia kurang

dari 1 bulan. Penegakan diagnosis infeksi dilakukan oleh dokter spesialis

anak dan diketahui berdasarkan catatan medis bayi. Dibedakan menjadi ya

dan tidak (skala variabel nominal).

10. Jumlah saudara kandung adalah jumlah total saudara kandung bayi yang

tinggal serumah dengan bayi. Dibedakan menjadi <3 dan ≥3 (skala

variabel kategorikal ).

11. Pemberian makanan padat dini adalah bayi diberikan makanan padat

(bubur, buah) sebelum berusia 4 bulan. Dibedakan menjadi ya dan tidak

(skala variabel nominal).

12. ASI eksklusif adalah bayi mendapatkan ASI sejak awal kelahirannya

sampai usia 4 bulan, tanpa disertai susu formula. Dibedakan menjadi ya

dan tidak (skala variabel nominal).

13. Paparan susu formula adalah bayi pernah mendapatkan paparan susu

formula dari awal kelahirannya sampai usia 4 bulan, baik pemberian susu

formula penuh atau ASI yang dikombinasi dengan susu formula.

Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal).

54

4.5 Instrumen Penelitian

1. Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi IDAI-POGI

Kartu yang digunakan untuk menentukan nilai atopi keluarga berdasarkan

anamnesis riwayat alergi pada bapak, ibu dan saudara kandung bayi.

Berdasarkan nilai atopi keluarga dapat ditentukan tingkat risiko alergi

bayi.

2. Kuesioner

Berisi identitas lengkap orang tua dan data riwayat alergi orang tua dan

saudara kandung bayi, faktor-faktor resiko lain yang dapat memicu

munculnya dermatitis atopik serta gejala-gejala dermatitis atopik.

Kuesioner dilengkapi setiap saat ketika melakukan follow up baik ketika

subjek penelitian melakukan pemeriksaan ke Poliklinik Anak, evaluasi

melalui telepon ataupun kunjungan rumah.

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Cara Penelitian

4.6.1.1 Pengambilan Sampel Penelitian

Ibu hamil yang kontrol di Poliklinik kandungan dan kamar bersalin

RSUP Sanglah yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi diberikan informasi

lengkap mengenai penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk bekerja sama

dalam penelitian ini, serta menandatangani informed consent. Bapak atau ibu dari

bayi melengkapi data di kuesioner yang tersedia, mengisi identitas lengkap dan

55

mencantumkan nama, no telp rumah atau HP saudara terdekat dari bapak atau ibu

hamil tersebut untuk mencegah lost of follow up.

4.6.1.2 Penentuan Nilai Atopi Keluarga

Peneliti melakukan anamnesis mengenai riwayat alergi pada bapak,

ibu dan anak kandung lainnya. Riwayat alergi bapak ditanyakan langsung pada

bapak sampel penelitian. Apabila bapak sampel tidak ikut serta maka anamnesis

riwayat alergi bapak dilakukan melalui telepon.

Riwayat alergi yang ditanyakan mencakup gejala dari penyakit

alergi, yaitu dermatitis atopik/eksem, rhinitis alergika, asma bronkial, dan alergi

makanan. Pertanyaan mengenai riwayat dermatitis / eksem, kemerahan, diare,

kolik, muntah, pilek, nafas berbunyi dan asma juga ditanyakan dan apakah gejala

alergi tersebut sudah didiagnosis oleh dokter atau belum.

Hasil anamnesis dikonversikan menjadi nilai keluarga dalam kartu

deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI, dimana :

Nilai 2 : untuk ibu, bapak, dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang

dinyatakan oleh dokter terkena alergi,

Nilai 1 : untuk ibu, bapak, dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang

diduga terkena alergi,

Nilai 0 : untuk ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi tanpa

riwayat alergi apapun,

kemudian nilai keluarga yang diperoleh dijumlahkan.

Total nilai keluarga yang diperoleh dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :

1) Kelompok dengan nilai 0,

56

2) kelompok dengan nilai 1-3, dan

3) kelompok dengan nilai 4-6.

Berdasarkan perhitungan nilai atopi keluarga, maka keluarga dengan

total nilai atopi 0 dimasukkan sebagai kelompok tanpa riwayat atopi, keluarga

dengan total nilai atopi lebih dari 0 dimasukkan sebagai kelompok dengan riwayat

atopi.

4.6.1.3 Evaluasi Rutin / Follow Up

Tim peneliti akan menghubungi subjek penelitian pada hari persalinan

yang diperkirakan dan dilakukan pengambilan meliputi cara persalinan, berat

badan saat lahir, usia kehamilan saat lahir. Apabila bayi lahir mati maka subjek

penelitian dinyatakan drop out.

Bayi yang memenuhi kriteria inkulsi diikuti selama 4 bulan atau

sampai tegak diagnosis dermatitis atopik. Follow up dilakukan setiap bulan

terhitung sejak hari lahir ketika orang tua memeriksakan bayinya secara rutin

setiap bulan ke Poliklinik Anak RSUP Sanglah. Apabila bayi tidak kontrol ke

Poliklinik Anak RSUP Sanglah dalam kurun waktu 2x24 jam, maka dilakukan

follow up melalui telepon/Short Messages Services (SMS). Dalam follow up

melalui telepon/SMS, ditanyakan secara rinci mengenai gejala dermatitis atopik

yang muncul pada bayi, apabila dicurigai ada gejala dermatitis atopik seperti

kemerahan pada pipi dan ekstremitas, disertai gatal, maka tim peneliti melakukan

kunjungan rumah atau sampel penelitian disarankan ke Poliklinik Anak RSUP

Sanglah..

57

Ketika kunjungan rumah tim peneliti melakukan evaluasi ulang gejala

dan tanda untuk memastikan gejala dermatitis atopik atau bukan. Apabila gejala

sesuai dengan kriteria Hanifin Rajka, maka bayi disarankan ke Poliklinik Anak

RSUP Sanglah untuk menegakkan diagnosis dan mendapatkan terapi. Apabila,

diagnosis dermatitis atopik telah ditegakkan, maka bayi tersebut dianggap telah

memenuhi tujuan dari penelitian ini dan tidak dilakukan follow up lagi di bulan

berikutnya, namun tetap disarankan untuk kontrol rutin ke divisi alergi imunologi

Poliklinik Anak RSUP Sanglah Denpasar. Apabila gejala dan tanda yang

dilaporkan ternyata bukan gejala dermatitis atopik, maka sampel akan dilakukan

follow up lagi di bulan berikutnya.

Orang tua juga telah diberikan informasi lengkap mengenai gejala dan

tanda dermatitis atopik dan apabila orang tua menjumpai tanda dan gejala

tersebut, maka orang tua dianjurkan untuk menghubungi peneliti. Apabila sampai

usia 4 bulan, tidak ditemukan gejala dermatitis atopik pada bayi, maka bayi

dimasukkan ke dalam kelompok bukan dermatitis atopik.

Selama follow up rutin setiap bulan, dicatat juga data-data lain yang

diperlukan seperti riwayat imunisasi, nutrisi yang diberikan (ASI dan atau susu

formula) dan riwayat penyakit infeksi yang pernah diderita.

4.6.1.4 Diagnosis Dermatitis Atopik

Penegakan diagnosis dermatitis atopik dilakukan berdasarkan kriteria

Hanifin Rajka oleh residen senior yang bertugas di Poliklinik Anak, yang

sebelumnya telah dilakukan uji Kappa (nilai 72,2%). Peneliti termasuk dalam

58

residen senior dan telah diikut sertakan dalam penilaian uji Kappa. Subjek dengan

dermatitis atopik diterapi sesuai standar pelayanan medis di poliklinik anak RSUP

Sanglah. Dokter residen senior (6 orang) yang menegakkan diagnosis dermatitis

atopik tidak mengetahui nilai atopi keluarga dari bayi tersebut.

59

4.6.2 Alur Penelitian

Gambar 4.2 Skema alur penelitian

Ibu hamil dari poliklinik kandungan dan kamar bersalin RSUP

Sanglah

Kriteria inklusi dan

eksklusi

Sampel Penelitian

Anamnesis riwayat atopi keluarga : ayah, ibu dan saudara

kandung bayi

Nilai atopi keluarga dalam kartu deteksi

dini risiko alergi IDAI-POGI

Analisis Data

Bayi dilakukan follow up rutin

setiap bulan selama 4 bulan

Nilai atopi keluarga

= 0

Nilai atopi

keluarga > 0

Bukan dermatitis

atopik

Dermatitis

atopik

60

4.6.3 Prosedur Pengumpulan Data

4.6.3.1 Data Nilai Atopi

Nilai atopi keluarga diperoleh dari anamnesis riwayat alergi keluarga,

berdasarkan kartu deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI. Kepada ibu hamil

ditanyakan riwayat alergi pada dirinya sendiri dan anak kandung sebelumnya.

Pertanyaan riwayat alergi meliputi :

1. Pernahkah ibu mengalami gejala alergi seperti dermatitis/eksema? Nafas

berbunyi? Asma?

2. Pernahkan ibu dinyatakan oleh dokter menderita alergi?

3. Pernahkah salah satu anak kandung ibu mengalami gejala alergi seperti

dermatitis/eksema? Kemerahan disertai gatal pada saat bayi, didaerah pipi

atau tungkai? Diare atau muntah setelah minum susu formula? Kolik?

Pilek yang tidak sembuh dengan pengobatan? Nafas berbunyi “ngik-

ngik”? asma?

4. Pernahkan salah satu anak kandung ibu dinyatakan oleh dokter menderita

alergi?

Riwayat alergi bapak ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Apabila

bapak tidak hadir saat wawancara terhadap ibu dilakukan, maka wawancara

terhadap bapak akan dilakukan melalui telepon. Pertanyaan riwayat alergi yang

ditanyakan meliputi :

1. Pernahkah bapak mengalami gejala alergi seperti dermatitis/eksema?

Nafas berbunyi? Asma?

2. Pernahkan bapak dinyatakan oleh dokter menderita alergi?

61

Dari hasil anamnesis tersebut di atas, kemudian dikonversikan ke dalam nilai

atopi keluarga sesuai tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Kondisi dan nilai atopi keluarga

Kondisi Nilai

Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi

yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi

2

Ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi

diduga terkena alergi

1

Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi

tanpa riwayat alergi apapun

0

Dari tabel di atas maka akan diperoleh nilai total atopi keluarga, yang kemudian

dapat diprediksi tingkat risiko alergi janin sesuai tabel di bawah ini.

Tabel 4.2 Nilai atopi keluarga dan tingkat risiko alergi janin

Nilai Atopi Keluarga Tingkat risiko alergi bayi/janin

0 Risiko kecil

1-3 Risiko sedang

4-6 Risiko tinggi

Bersamaan dengan dilakukan pengambilan data mengenai nilai atopi

keluarga, juga ditanyakan mengenai identitas lengkap keluarga dan informasi lain

seperti paparan asap rokok dan hewan peliharaan di rumah, sesuai dengan yang

tertera di kuesioner.

4.6.3.2 Data Dermatitis Atopik

Setelah orang tua menandatangani informed consent untuk ikut serta

dalam penelitian, maka ibu hamil dan janin yang dikandungnya akan diikuti

sampai bayi berusia 4 bulan atau sampai didiagnosis dermatitis atopik. Diagnosis

62

dermatitis atopik ditegakkan dengan kriteria Hanifin Rajka, yang terdiri dari

kriteria mayor dan minor.

4.7 Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan

program komputer. Karakteristik subjek penelitian ditampilkan dalam bentuk

narasi dan tabel. Normalitas data dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov

(p>0,05). Untuk data yang berdistribusi normal ditampilkan mean dan standart

deviasi, sedangkan data yang berdistribusi tidak normal ditampilkan median dan

nilai minimum maksimum. Perbandingan kejadian dermatitis atopik pada masing-

masing kelompok nilai atopi keluarga dianalisis dengan uji Chi-square. Kemudian

waktu munculnya dermatitis atopik pada masing-masing kelompok nilai atopi

keluarga ditampilkan dalam kurva Kapplan Meier.

4.8 Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat izin dan kelaikan etik (ethical clearance)

dari Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/RSUP Sanglah No: 101/UN.14.2/Litbang/III/2012, dan surat

izin Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah No:

LB..02.01./II.C5.D11/3197/2012.

63

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Selama periode penelitian, terdapat total 280 sampel yang terpilih dan

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian terbagi menjadi 2

kelompok yaitu kelompok dengan nilai atopi keluarga = 0 yang setelah dilakukan

follow up selama 4 bulan, terdapat 3 sampel meninggal dunia dan 11 sampel lost

of follow up sehingga diperoleh 218 sampel. Pada kelompok nilai atopi keluarga >

0 terdapat 1 sampel meninggal dunia dan 1 sampel lost of follow up sehingga

diperoleh 46 sampel (Gambar 5.1). Alasan lost of follow up adalah sampel

penelitian tidak dapat dihubungi kembali saat penelitian berlangsung. Penyebab

kematian pada 4 sampel penelitian adalah karena sindroma aspirasi mekoneal

sebanyak 1 sampel, penyakit membran hialin sebanyak 2 sampel dan asfiksia

berat sebanyak 1 sampel. Karakteristik dasar sampel penelitian ditampilkan pada

Tabel 5.1.

Uji normalitas Kolmogorov Smirnov dilakukan pada data karakteristik

sampel penelitian dan diperoleh nilai p > 0,05 pada kedua kelompok.

64

Gambar 5.1 Skema hasil penelitian

Ibu hamil yang kontrol di Poliklinik kandungan saat trimester ketiga dan di kamar

bersalin (mulai 1 Juni 2012 – 31 Juli 2012)

n = 452

Kriteria Eksklusi 1 suspek imunodefisiensi

sekunder

23 tinggal di luar Bali (penduduk tidak tetap)

Kriteria Inklusi

n = 428

Nilai atopi keluarga = 0

n = 232

Consecutive random

sampling

n= 280

Nilai atopi keluarga > 0

n = 48

Follow up rutin selama 4

bulan

3 meninggal

11 lost of follow up

Nilai atopi keluarga = 0

n = 218

Nilai atopi keluarga > 0

n = 46

1 meninggal

1 lost of follow up

Dermatitis Atopik (+)

n = 8

Dermatitis Atopik (-)

n = 25 Dermatitis Atopik (+)

n = 21

Dermatitis Atopik (-)

n = 210

65

Tabel 5.1 Karakteristik demografis subjek penelitian

Variabel n (%) Nilai atopi keluarga

(n, %)

>0

(n=46)

0

(n=218)

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

142 (53,8)

122 (46,2)

23 (50)

23 (50)

119 (54)

99 (45)

Umur Ibu, tahun

median (min-maks)

25 (19-37)

25 (19-37)

25,5 (19-37)

Umur Ayah, tahun

median (min-maks)

27 (20-40)

26 (21-38)

27 (20-40)

Tingkat pendidikan ibu

SD

SMP

SMU

S1 atau sederajat

6 (2,3)

77 (29,2)

165 (62,5)

16 (6,1)

0 (0)

15 (32,6)

29 (63,0)

2 (4,3)

6 (2,7)

62 (28,4)

136 (62,4)

14 (6,4)

Tingkat pendidikan bapak

SD

SMP

SMU

S1 atau sederajat

4 (1,5)

68 (25,8)

176 (66,7)

16 (6,1)

0 (0)

13 (28,2)

31 (67,4)

2 (4,3)

4 (1,8)

55 (25,2)

145 (66,5)

14 (6,4)

5.2. Perbandingan variabel penelitian terhadap kejadian dermatitis atopik

Tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna antara jenis kelamin, berat

badan lahir, cara persalinan, usia kehamilan, pemberian ASI eksklusif, paparan

susu formula, hewan peliharaan, riwayat infeksi, dan jumlah saudara kandung

pada kedua kelompok (p>0,05).

Sebesar 86,2% sampel dengan paparan asap rokok mengalami dermatitis

atopik dan 65,5% tidak mengalami dermatitis atopik. Hasil uji Chi-square

menunjukkan ada perbedaan bermakna secara statistik pada paparan asap rokok

antara kelompok dermatitis atopik dan bukan dermatitis atopik (p = 0,02). Faktor

pemberian makanan padat dini dan status imunisasi tidak dapat dilakukan analisis

bivariat karena hubungan antara kedua variabel bersifat konstan (Tabel 5.2).

66

Tabel 5.2 Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap kejadian

dermatitis atopik

Variabel Dermatitis Atopik

p

IK 95% Ya

(n = 29)

Tidak

(n = 235)

RR

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

13 (44,8)

16 (55,2)

129 (54,9)

106 (45,1)

0,6

0,30

0,3-1,4†

Usia kehamilan

< 37 minggu

≥ 37 minggu

4 (13,8)

25 (86,2)

24 (10,2)

211 (89,8)

1,4

0,55

0,4-4,3†

Berat badan saat lahir

< 2500 gram

≥ 2500 gram

6 (20,7)

23 (79,3)

27 (11,5)

208 (88,5)

2,0

0,16

0,7-5,3†

Cara persalinan

Pervaginam

Sectio caesaria

19 (65,5)

10 (34,5)

164 (69,8)

71 (30,2)

0,8

0,64

0,4-1,8†

Jumlah saudara

kandung

<3

≥3

27 (93,1)

2 (6,8)

217 (92,3)

18 (7,7)

1,1

0,88

0,2-5,0†

Paparan asap rokok

Ya

Tidak

25 (86,2)

4 (13,8)

154 (65,5)

81 (34,5)

3,2

0,02

1,1-9,7†

Hewan peliharaan

Ya

Tidak

1 (3,4)

28 (96,5)

14 (5,9)

221 (94)

0,6

0,58

0,1-4,4†

ASI eksklusif

Ya

Tidak

16 (55,2)

13 (44,8)

152 (64,9)

83 (35,1)

0,7

0,31

0,3-1,5†

Paparan susu formula

Ya

Tidak

13 (44,8)

16 (55,2)

83 (35,1)

152 (64,9)

1,5

0,31

0,7-3,2†

Status imunisasi*

Lengkap

Tidak lengkap

0 (0)

29 (100)

0 (0)

235 (100)

Riwayat infeksi

neonatus

Ya

Tidak

0 (0)

29 (100)

6 (2,5)

229 (97,4)

0,4

1,1

1,0–1,2†

Pemberian makanan*

padat dini

Ya

Tidak

0 (0)

29 (100)

0 (0)

235 (100)

Keterangan :

*tidak dapat diuji † Uji Chi-Square

67

Tabel 5.3 Hasil analisis multivariat pengaruh paparan asap rokok terhadap

kejadian dermatitis atopik*

Variabel adjusted RR IK95% p

Paparan asap rokok 3,5 1,0-11,5 0,04

Nilai atopi keluarga 22,5 8,8-57,0 0,001

*Uji regresi logistik

Hasil uji Chi-Square antara variabel paparan asap rokok terhadap kejadian

dermatitis atopik didapatkan nilai p = 0,02 dengan RR 3,2 dan IK95% 1,1-9,7.

Untuk menyingkirkan bias terhadap hasil penelitian ini dilakukan analisis

multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil uji regresi logistik menunjukkan

pengaruh antara paparan asap rokok terhadap kejadian dermatitis atopik dengan

nilai adjusted risiko relatif (RR) sebesar 3,5 dan IK95% 1,0-11,5 (p = 0,04) (Tabel

5.3).

5.3 Perbandingan Nilai Atopi Keluarga Dan Kejadian Dermatitis Atopik

Insiden dermatitis atopik pada populasi penelitian ini sebesar 10,9%.

Untuk memperjelas peran nilai atopi keluarga terhadap risiko alergi, peneliti juga

menghitung insiden dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi > 0 yaitu sebesar

45,6%, sedangkan insiden dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi 0 sebesar

3,6%. Dari hasil uji Chi-square diperoleh adanya perbedaan bermakna kejadian

dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi keluarga > 0 dibandingkan kelompok

nilai atopi 0 dengan risiko relatif (RR) sebesar 12,4 dan IK95% 5,8 – 26,3

(p=0,001) (Tabel 5.4). Analisis multivariat dengan uji regresi logistik

menunjukkan ada pengaruh nilai atopi keluarga terhadap kejadian dermatitis

atopik dengan nilai adjusted risiko relatif (RR) sebesar dan IK95% 8,8-57,0 (p =

0,001)

68

Kelompok nilai atopi keluarga > 0 dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu

kelompok dengan nilai atopi 1-3 dan kelompok dengan nilai atopi 4-6. Dari hasil

uji Chi-square didapatkan adanya perbedaan bermakna kejadian dermatitis atopik

pada kelompok nilai atopi keluarga 4-6 dibandingkan kelompok nilai atopi 1-3

dengan risiko relatif sebesar 5,5 dan IK95% 2,2 – 13,8 (p=0,001) (Tabel 5.5).

Tabel 5.4 Hasil analisis perbandingan nilai atopi keluarga > 0 dan nilai atopi

keluarga = 0 dengan kejadian dermatitis atopik

Nilai atopi keluarga Dermatitis atopik RR IK 95% p

Ya

(n= 29)

Tidak

(n= 235)

>0 (risiko sedang-

tinggi)

21 25 12,4 5,8 – 26,3 0,001*

0 (risiko kecil) 8 210

Keterangan : * uji Chi-square

Tabel 5.5 Hasil analisis perbandingan nilai atopi keluarga 1-3 dan nilai atopi

keluarga 4-6 dengan kejadian dermatitis atopik

Nilai atopi keluarga Dermatitis atopik RR IK 95% p

Ya

(n= 21)

Tidak

(n= 25)

4-6 (risiko tinggi) 17 3 5,5 2,2 -13,8 0,001*

1-3 (risiko sedang) 4 22

Keterangan : * uji Chi-square

5.4 Waktu Munculnya Dermatitis Atopik

Waktu munculnya dermatitis atopik pada masing-masing kelompok nilai

atopi keluarga ditampilkan dalam kurva Kapplan Meier (Gambar 5.2). Pada kurva

tampak kejadian dermatitis atopik muncul pada usia 1 bulan pada kelompok

dengan nilai atopi > 0. Rerata terjadinya event adalah 2,5 bulan (standar error

0,189) dengan IK 95% 3,1-3,8 pada kelompok dengan nilai atopi > 0, dan pada

69

kelompok dengan nilai atopi 0 didapatkan rerata terjadinya event adalah 3,5 bulan

(standar error 0,203) dengan IK95% 2,1-2,9. Perbedaan antara kedua kurva

tersebut dengan signifikansi 0,01 menunjukkan bahwa perbedaan tersebut

signifikan.

Gambar 5.2 Kurva Kapplan Meier

Waktu (bulan)

Dermatitis

atopik

0 = ya

1 = tidak