35
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata kegiatan yang dinamis yang melibatkan banyak manusia serta menghidupkan berbagai kegiatan usaha. Jika diamati dari segala pembentuk faktor produksi seperti modal, tanah, tenaga kerja, teknologi dan manajemen, maka pariwisata dapat memberikan kontribusi yang signifikan sebagai katalisator dalam mengembangkan pembangunan (agent of development) dan pemerataan pendapatan masyarakat (re-distribution of income). 1 Aspek yang memberikan perhatian paling besar dalam pembangunan pariwisata adalah aspek ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut, pariwisata dapat dikatakan sebagai suatu industri bahkan kegiatan pariwisata dikatakan sebagai kegiatan bisnis yang berorientasi dalam penyediaan jasa yang dibutuhkan wisatawan seperti accomodation. 2 World Tourism Organization (selanjutnya disebut WTO) dalam perkiraan yang dikeluarkan tahun 1977 mencatat, bahwa pada tahun 1995 arus wisatawan mancanegara mencapai 564 juta orang, maka ditahun 2020 wisatawan mancanegara akan mencapai 1.602 juta orang. Angka tersebut mencerminkan peningkatan mendekati 3 kali lipat dalam kurun waktu 25 tahun, atau pertumbuhan rata-rata 4,3% per tahun. 3 Pariwisata sudah diakui sebagai industri 1 Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 2. 2 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Aditama, Bandung, h.17-18. 3 Andi Mappi Sammeng, 2001, Cakrawala Pariwisata, Balai Pustaka, Jakarta, h. 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdfdinyatakan bahwa, “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitasnya serta layanan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata kegiatan yang dinamis yang melibatkan banyak manusia serta

menghidupkan berbagai kegiatan usaha. Jika diamati dari segala pembentuk faktor

produksi seperti modal, tanah, tenaga kerja, teknologi dan manajemen, maka

pariwisata dapat memberikan kontribusi yang signifikan sebagai katalisator dalam

mengembangkan pembangunan (agent of development) dan pemerataan

pendapatan masyarakat (re-distribution of income).1 Aspek yang memberikan

perhatian paling besar dalam pembangunan pariwisata adalah aspek ekonomi.

Berkaitan dengan hal tersebut, pariwisata dapat dikatakan sebagai suatu industri

bahkan kegiatan pariwisata dikatakan sebagai kegiatan bisnis yang berorientasi

dalam penyediaan jasa yang dibutuhkan wisatawan seperti accomodation.2

World Tourism Organization (selanjutnya disebut WTO) dalam perkiraan

yang dikeluarkan tahun 1977 mencatat, bahwa pada tahun 1995 arus wisatawan

mancanegara mencapai 564 juta orang, maka ditahun 2020 wisatawan

mancanegara akan mencapai 1.602 juta orang. Angka tersebut mencerminkan

peningkatan mendekati 3 kali lipat dalam kurun waktu 25 tahun, atau

pertumbuhan rata-rata 4,3% per tahun.3 Pariwisata sudah diakui sebagai industri

1 Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita,

Jakarta, h. 2. 2 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Aditama, Bandung,

h.17-18. 3 Andi Mappi Sammeng, 2001, Cakrawala Pariwisata, Balai Pustaka, Jakarta, h. 26

2

terbesar di abad ini dan menjadi salah satu sektor andalan di dalam pembangunan

di bidang ekonomi berbagai Negara.4

Perdagangan jasa internasional saat ini semakin menduduki posisi penting

dalam perdagangan dunia. Menurut statistik yang dikeluarkan oleh WTO pada

tahun 2011, transaksi perdagangan jasa telah memberikan kontribusi sebanyak 60

% dari total Gross Domestic Product (GDP) dunia. Hal tersebut merupakan salah

satu bukti nyata bahwa perdagangan jasa internasional berkembang dengan pesat.5

Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat jumlah wisatawan mancanegara

yang paling banyak berkunjung ke Bali selama Januari - Desember 2013 adalah

wisatawan berkebangsaan Australia 826.388 orang, Cina sebanyak 387.533 orang,

Jepang 208.116 orang, Malaysia 199.232 orang, Singapura 138.388 orang, New

Zealand 48.749 orang, Thailand 34.728 orang.6 Banyaknya wisatawan ke Bali

tentunya diimbangi dengan jumlah hotel di berbagai kabupaten / kota di Bali

seperti Kabupaten Badung yang disebut sebagai pintu gerbang pariwisata Pulau

Bali.

Sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia, Bali telah menjadi daerah

tujuan wisata dunia yang keberadaannya sangat populer. Pariwisata merupakan

lokomotif pembangunan perekonomian masyarakat di Bali. Sekitar 80 %

kehidupan dari masyarakat Bali baik secara langsung maupun tidak langsung

4 I Putu Gelgel, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi perdagangan Jasa

(GATS-WTO) Implikasi Hukum dan Antisipasinya, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 1. 5 Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT. Alumni,

Bandung, h. 77. 6 Parwata, 2014, Pariwisata Bali Minim Anggaran Promosi, Majalah Bali Post, Vol. 33. No.

Bali.

3

bergantung pada sektor pariwisata.7 Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Provinsi

Bali merupakan pemegang otoritas dan legitimasi beserta seluruh stakeholder

yang berinteraksi langsung pada tataran implementatif mulai menggulirkan

konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan demi menjaga konsistensi yang

bertujuan memberikan kontribusi bagi Bali itu sendiri.

Pariwisata salah satu andalan dalam memperoleh devisa bagi

pembangunan baik dalam nasional maupun daerah. Berkaitan dengan hal tersebut

pembangunan pariwisata di Indonesia dituntut untuk mampu menciptakan sebuah

inovasi yang terbaru agar nantinya dapat mempertahankan dan meningkatkan

daya saing secara berkelanjutan.8 Industri pariwisata memberikan peluang kepada

masyarakat untuk berusaha dan berwirausaha. Jenis usaha yang ada kaitannya

dengan pariwisata tergantung dari kreativitas para pengusaha baik yang bermodal

kecil maupun besar. Pariwisata merupakan gabungan dari produk barang dan

produk jasa. Keduanya sangat dibutuhkan dan dihasilkan oleh industri pariwisata.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan (Selanjutnya disebut UU Kepariwisataan), dalam Pasal 1 angka 4

dinyatakan bahwa, “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan

didukung berbagai fasilitasnya serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,

pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah”. Oleh sebab itu pariwisata tidak

terlepas dari perdagangan jasa pariwisata, seperti jasa angkutan wisata, jasa

akomodasi wisata, jasa boga, jasa atraksi pariwisata, jasa pertukaran valuta asing

7 I Putu Anom dkk, 2010, Pariwisata Berkelanjutan, Dalam Pusaran Krisis Global, Udayana University Press, Denpasar, h. 45.

8 Made Metu Dahana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan terhadap Wisatawan, Paramitha Surabaya, h. 1.

4

dan jasa pariwisata lainnya. Kondisi tersebut juga memberikan konsekuensi

terhadap tumbuh cepatnya pembangunan dalam bidang pariwisata. Salah satunya

adalah keberadaan pembangunan kegiatan usaha penukaran valuta asing (money

changer). Sarana ini menjadi salah satu peluang yang sangat banyak digunakan

oleh pelaku usaha jasa dan wisatawan sebagai konsumennya, baik oleh wisatawan

domestik maupun wisatawan asing.

Kegiatan usaha penukaran valuta asing (money changer) memiliki kaitan

yang erat dalam pelaksanaan kegiatan perdagangan internasional. Dalam kegiatan

perdagangan internasional, pembeli dan penjual lintas negara tentu mempunyai

mata uang yang berbeda, oleh karena itu pembeli memerlukan kepemilikan atas

mata uang tertentu untuk dapat melakukan transaksi jual beli. Kegiatan usaha

penukaran valuta asing (money changer) dalam hal ini bertugas sebagai perantara

jual beli internasional dengan menyediakan jasa pertukaran uang asing.

Peraturan Perundang-undangan yang erat kaitannya dengan kegiatan usaha

penukaran valuta asing (money changer) adalah Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (yang selanjutnya disebut

UU BI), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu

Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Selanjutnya disebut UU Lalu Lintas

Devisa dan Sistem Nilai Tukar), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan (Selanjutnya disebut UU Perbankan), Undang-undang Nomor 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(Selanjutnya disebut UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang), Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

5

Keuangan (Selanjutnya disebut UU OJK), Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011

tentang Mata Uang (Selanjutnya disebut dengan UU Mata Uang) Bank Indonesia

melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah

ditetapkan.

Pelaksanaan kegiatan usaha jasa penukaran valuta asing (money changer)

diatur dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/15/PBI/ 2014 tentang

Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing bukan Bank (selanjutnya disebut PBI

No. 16/15/PBI/2014). Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia

tersebut, menyatakan bahwa “Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing yang

selanjutnya disebut KUPVA adalah kegiatan jual dan beli Uang Kertas Asing

(UKA), dan pembelian cek pelawat (traveller’s cheque)”. Pengertian pedagang

valuta asing (money changer) dalam peraturan tersebut tidak sama dengan

pengertian pedagang valas (trader) yang melakukan kegiatan jual beli kontrak

derivatif valas berjangka atau jual beli valas melalui internet (Forex Online

Tranding).9 Fungsi dari usaha penukaran valuta asing (money changer) tidak

tergantikan, karena lembaga ini mudah ditemukan bagi pembeli perorangan

terutama wisatawan yang sedang berkunjung ke negara lain. Kondisi tersebut

mengakibatkan merebaknya peluang usaha ini di kawasan pariwisata.

Dalam dunia bisnis, sering kali seseorang memiliki kemampuan untuk

melakukan suatu usaha karena keahlian, kemampuan atau hal-hal lain karena

bidangnya, namun karena seorang tersebut tidak memiliki cukup modal awal,

maka usahanya tersebut tidak dapat dilaksanakannya sesuai dengan ketentuan

9 R. Serfianto Purnomo, dkk, Pasar Uang dan Pasar Valas, 2013, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, h. 131.

6

peraturan yang berlaku.10 Deputi Gubernur Bank Indonesia menjelaskan pulau

Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia memiliki posisi strategis bagi usaha

penukaran mata uang asing. Kegiatan usaha pedagang valuta asing merupakan

salah satu bagian dari jasa yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan

pariwisata di pulau Bali. Maka dari itu, Bank Indonesia memberikan perhatian

penuh di dalam menata industri pariwisata baik dari bisnis maupun kelembagaan

agar terhindar dari penyalahgunaan. Dalam mencegah kejahatan dalam penukaran

valuta asing, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No. 16/15/PBI/ 2014 pada 11

september 2014.11

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010

tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non

Bank, Pasal 1 angka 16 menyatakan bahwa “Usaha yang berisiko tinggi (High

Risk Business) adalah bidang usaha yang potensial digunakan sebagai sarana

melakukan tindak pidana pencucian uang dan/atau sarana Pendanaan Terorisme”.

Dalam lampiran peraturan tersebut, dinyatakan bahwa salah satu usaha yang

beresiko tinggi adalah usaha pedagang valuta asing (money changer).

Dalam ketentuan PBI No. 16/15/PBI/ 2014, Pasal 1 ayat 5 menyatakan

“Penyelenggara KUPVA bukan bank adalah perusahaan berbadan hukum

Perseroan Terbatas bukan Bank yang melakukan KUPVA (money changer)”.

Kewajiban penyelenggara KUPVA bukan bank diatur dalam Pasal 17, yang

menyatakan bahwa :

10 Gunawan Widjaja, 2004, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Prenada Media, Jakarta, h.5. 11 Anonim, 2014, BI Cabut Izin 21 PVA di Bali, Nusa Bali, Edisi Tgl. 21 November 2014,

Denpasar, h. 4.

7

Penyelenggara Bukan Bank wajib memasang : logo penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sertifikat izin usaha yang di terbitkan oleh Bank Indonesia dan tulisan ”Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Berizin” (Authourized Money Changer), dan nama Perseroan Terbatas penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha.

Kegiatan usaha penukaran valuta asing (money changer) bukan bank

maupun perbankan memiliki pangsa pasar yang berbeda. Apabila bank lebih

mengutamakan jual beli valuta asing dalam jumlah besar, lembaga pedagang mata

uang asing (money changer) biasanya digunakan orang untuk menukar valuta

asing dengan jumlah relatif kecil. Pedagang mata uang asing mengambil

keuntungan dari kegiatan jual beli valuta asing dengan menyesuaikan nilai tukar.

Salah satu wilayah di Provinsi Bali dewasa ini yang terindikasi banyak

terdapat money changer illegal adalah Kabupaten Badung. Berdasarkan hasil

sidak hasil sidak asosiasi pedangang valuta asing bersama Bank Indonesia tahun

2013 yang terindikasi kegiatan penukaran valuta asing yang tidak berizin di

daerah Kuta terdapat sebanyak 50 money changer illegal dan di daerah Nusa Dua

terdapat sebanyak 34 money changer illegal.

Masih ada pelaku kegiatan usaha penukaran valuta asing yang tidak

memasang logo penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank

Indonesia, tidak memasang sertifikat izin usaha yang di terbitkan oleh Bank

Indonesia dan tidak berbentuk perseroan terbatas. Menurut Ketua Asosiasi

Pedagang Valuta Asing (APVA) Bali, Ayu Astuti Dharma, sudah menjadi agenda

rutin setiap high season, makin banyak bermunculan “money changer” tidak

berizin. Beliau menambahkan keberadaan money changer tidak berizin tersebut

8

dapat merugikan money changer resmi, sebab tarif yang yang ditawarkan sangat

berbeda dengan tarif yang ditentukan.12

Di samping itu dengan adanya praktek penyelenggaraan jasa money

changer yang tidak memenuhi ketentuan/syarat tertentu tersebut, nantinya dapat

merugikan wisatawan itu sendiri, bahkan adanya kecenderungan pelanggaran hak

asasi manusia bagi wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata yang aman, dan

hak untuk memperoleh jasa pariwisata yang baik dan transparan, serta secara tidak

langsung akan berdampak bagi citra pariwisata Bali di mata dunia. Pentingnya

menjaga atau bahkan meningkatkan kualitas pariwisata di Bali nantinya akan

memberikan dampak positif bagi Indonesia itu sendiri, oleh karena itu maka perlu

adanya perhatian khusus dari semua stakeholders terhadap jasa-jasa pariwisata

yang menjadi instrumen penting dari kegiatan wisata, salah satunya jasa money

changer.

Berpijak dari latar belakang masalah tersebut, maka penting kiranya bagi

peneliti untuk mengkaji mengenai “EFEKTIVITAS PERATURAN BANK

INDONESIA (PBI) NOMOR 16/15/PBI/2014 TENTANG KEGIATAN

USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK TERKAIT JASA

MONEY CHANGER ILLEGAL PADA KAWASAN PARIWISATA DI

KABUPATEN BADUNG”.

12 Anonim, 2014, Belum ada UU untuk Money Changer Illegal, Radar Bali, Edisi Tgl. 9

Agustus 2014, Denpasar, h. 26.

9

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia (PBI)

Nomor 16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing

Bukan Bank terkait dengan jasa money changer illegal pada kawasan

pariwisata di Kabupaten Badung ?

2. Bagaimana sanksi hukum bagi usaha jasa money changer illegal pada

kawasan pariwisata di Kabupaten Badung ?

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang Lingkup penelitian merupakan rangkaian penelitian, yang

menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi

areal penelitian.13 Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari

pokok-pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai

ruang lingkup masalah yang akan dibahas.

Pembatasan dari ruang lingkup masalah ini yaitu peneliti hanya akan

membahas mengenai efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor

16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank

berkaitan dengan jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di

Kabupaten Badung. Permasalahan yang kedua mengenai sanksi hukum bagi jasa

money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung.

13 Bambang Suggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h.111.

10

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yang mengacu kepada judul dan

permasalahan dibedakan antara tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang

bersifat khusus, yang lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut :

1.4.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melaksanakan Tri Dharma

Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan mengenai

suatu permasalahan hukum, sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini terkait

dengan efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014

tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank terkait jasa money

changer pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung.

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan

hukum, dalam hukum pariwisata dan peraturan bank indonesia tentang kegiatan

usaha penukaran valuta asing.

1.4.2 Tujuan Khusus

Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum tersebut di atas,

terdapat juga tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang dimaksud adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengkaji mengenai efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor

16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank

terkait dengan jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di

Kabupaten Badung.

11

2. Untuk mengkaji mengenai mengenai sanksi hukum bagi jasa money changer

illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan untuk dicapai dari hasil penelitian secara teoretis

maupun praktis terhadap pokok permasalahan adalah :

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat teoritis bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal ini adalah ilmu hukum, khususnya

bidang hukum kepariwisataan, yang lebih khusus lagi pada anggota Asosiasi

Pedagang Valuta Asing disamping itu juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai

referensi penelitian selanjutnya khususnya penelitian yang berkaitan dengan usaha

jasa money changer.

1.5.2 Manfaat Praktis

Selain manfaat teoritis, penelitian ini mempunyai manfaat praktis. Adapun

penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada :

1. Bagi lembaga pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia sebagai bahan

pertimbangan dalam membuat kebijakan yang menyangkut jasa money

changer dalam memberikan perlindungan kepada wisatawan selaku

konsumen.

2. Bagi wisatawan maupun pelaku usaha jasa money changer, hasil dalam

penelitian ini dapat berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran

berkaitan hal efektivitas pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor

16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank

12

terkait dengan money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten

Badung.

3. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini bertujuan untuk memberikan

pengetahuan dan ide baru untuk menghasilkan dan meneliti pada tahap lebih

lanjut sehingga suatu saat terdapat aturan yang lebih baik yang berkaitan

dengan usaha jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di

Kabupaten Badung.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil

penelitian tentang “Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor

16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank

terkait dengan Jasa Money Changer Illegal pada Kawasan Pariwisata di

Kabupaten Badung”, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya.

Akan tetapi pernah ada yang meneliti yang terkait tentang valuta asing antara lain:

1. Tesis yang ditulis oleh Inayah dengan judul “Tinjauan Yuridis Praktek

Transaksi Derivatif pada Perdagangan Valuta Asing”. Tesis tersebut ditulis

untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Gadjah Mada tahun

2011. Tesis ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Adapun

permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana praktik

perjanjian transaksi derivatif pada perdagangan valuta asing (2) Bagaimana

pengaturan praktek perjanjian transaksi derivatif pada perdagangan valuta

asing.

13

2. Tesis yang ditulis oleh dari Edi Wahananto dengan judul “Transaksi Derivatif

Valuta Asing dalam Tinjauan Hukum Perjanjian di Indonesia”. Tesis tersebut

ditulis untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Gadjah Mada Tahun

2011. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana

transaksi derivatif valuta asing ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia (2)

Bagaimana pengaturan transaksi derivatif dalam hukum perbankan di

Indonesia.

3. Tesis yang ditulis oleh Glen Ezra Parera, SH, mahasiswa Program Pasca

Sarjana Universitas Indonesia Mada tahun 2011 berjudul “Perlindungan

Hukum bagi Nasabah dalam Transaksi Derivatif Perbankan di Indonesia”.

Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana peran

transaksi derivatif didalam era perekonomian global seperti sekarang ini (2)

Bagaimana peraturan transaksi derivatif perbankan dalam sistem hukum di

Indonesia (3) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap nasabah dalam

transaksi derivatif perbankan di Indonesia.

Berdasarkan dengan hal tersebut dari tesis dengan judul dan permasalahan

diatas, maka menunjukkan bahwa tidak adanya persamaan baik dalam judul

maupun di dalam rumusan masalah dengan penelitian yang akan diteliti.

Penelitian yang akan diteliti oleh peneliti ini dapat di pertanggung jawabkan

keorisinalannya.

1.7 Landasan Teoretis

Landasan teoretis untuk mengidentifikasikan teori hukum umum atau teori

yang bersifat khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,

14

norma-norma dan lain-lain yang akan dipergunakan sebagai landasan untuk

mejawab permasalahan di dalam penelitian. Theories of law will tell one what it is

that makes some rule (norm), rule (norm) system, practice, or institution “legal”

or “not legal” , “law” or “not law”.14 Asas hukum merupakan pikiran-pikiran

yang mendasar yang terdapat didalam dan dibelakang sistem hukum yang masing-

masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan hakim

yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual

dapat dipandang sebagai penjabarannya.15

Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau

menganalisis tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau

permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan

menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak hanya menggunakan metode sintesis saja.

Dikatakan secara kritis karena pertanyaan pertanyaan atau permasalahan teori

hukum tidak cukup dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena

memerlukan argumentasi atau penalaran.16 Dalam penelitian ini digunakan

beberapa teori dan asas yang terkait dengan permasalahan, antara lain :

1.7.1 Teori Sociological Jurisprudence

Teori sociological jurisprudence : Pendasar mazhab sociological

jurisprudence dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrich,

Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Inti pemikiran mazhab ini yang

14 Brian H Bix, 2009, Jurisprudence : Theory and Concept, Thomson Reuters (legal) Limited, London, h. 9.

15Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2003, Hukum Bisnis (Dalam Persepsi Manusia Modern), Refika Aditama, Bandung, h.50.

16 Sudikno Mertokusumo,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka, Yogyakarta, h. 87.

15

berkembang di amerika : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan

hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu

mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.17 Mazhab ini

mengetengahkan tentang pentingnya Living Law yang hidup di dalam masyarakat.

Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sering disebut sebagai “living law and

just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin dalam kehidupan

masyarakat.18 Sociological Jurisprudence pada kenyataannya lebih menekankan

pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak tertulis, fungsi

hukum sebagai rekayasa sosial, pembentukan hukum yang baik dan cara

penerapan hukum.19

“Sosciological jurisprudence”. Pound refers to this as a study of the

peculiar characteristics of the legal order, i.e, an aspect of jurisprudence proper.

Llyod writes effective in action, and based on subjective values. Some other

writters use the term to refer to the Sociological School of Jurisprudence, that is,

those jurists who see in a study of society a means whereby the science of law

might be made more precise. (Ilmu hukum sosiologis Pound menunjuk kajian ini

sebagai suatu kajian studi yang berkarakter khas tertib hukum, yaitu merupakan

suatu aspek ilmu hukum yang sebenarnya. Lyd menuliskan bahwa “ilmu hukum

sosiologis” ini adalah suatu cabang dari ilmu-ilmu normatif, yang bertujuan untuk

lebih mengefektifkan perundang-undangan di dalam pelaksanaannya, dan

17 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 66. 18 Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 19. 19 Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra , 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV.

Mandar Maju, Bandung, h. 124.

16

didasarkan pada nilai-nilai subjektif. Beberapa penulis menggunakan istilah-

istilah ini untuk menunjukkan pada “Aliran Sosiologis dalam Ilmu Hukum”, yaitu,

para yuris yang melihatnya sebagai suatu studi tentang masyarakat untuk

membuat ilmu hukum menjadi lebih akurat).

Teori Sociological Jurisprudence juga dipergunakan untuk membahas

rumusan masalah kedua yaitu bagaimanakah efektivitas Peraturan Bank Indonesia

(PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing

bukan bank berkaitan dengan money changer pada kawasan pariwisata di

Kabupaten Badung.

1.7.2 Teori Efektivitas Hukum

Teori terdiri dari serangkaian pemahaman dari suatu kenyataan yang

tersusun secara sistematis, logik dan konkrit yang melalui serangkaian pengujian

yang telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan masih membutuhkan

serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan pemahaman tentang

suatu hal.20 Teori Efektivitas Hukum atau bekerjanya hukum di dalam masyarakat

menurut William. J Chambliss dan Robert. B Seidmen yang berpendapat tentang

pengaruh hukum.

Salah satu hal fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap

yang bertindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia.

Efektivitas hukum merupakan sebuah proses yang bertujuan agar semua hukum

dapat berlaku secara efektif, keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa

20 B.Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah

Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.28

17

bentuk tolak ukur di antaranya hukumnya sendiri, perilaku masyarakat, sarana dan

fasilitas.21

Melihat efektivitas berkaitan dengan bidang hukum, Achmad Ali

mempunyai pendapat jika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita

pertama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak

ditaati”. Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa pada umumnya faktor

yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan

bagaimana optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di

dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan

perundang-undangan tersebut.22 Penelitian kepustakaan mengenai teori efektivitas memberikan

keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Dalam secara

umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan

yang telah ditetapkan.

Dalam sebuah konsep hukum sangat mempengaruhi agar suatu perilaku

dilakukan oleh lembaga pembuat peraturan dan lembaga kekuasaan negara,

kemudian oleh kekuasaan negara diselenggarakan dengan mempergunakan hukum

sebagai sarana untuk mendorong perilaku yang lebih baik. Lembaga pembuat

hukum bekerja dengan membuat peraturan yang ditujukan untuk mengatur

masyarakat, demikian pula dengan lembaga penegak hukum yang bekerja untuk

21 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali Pers, Jakarta, h. 8. 22 Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta, h.

375.

18

melakukan law enforcement untuk ditegakkan di masyarakat. Robert B. Seidmen

membuat model bekerjanya hukum sebagai berikut :23

feedback

rule of public

feedback

Dari bagan tersebut Seidmen mengajukan empat proposisi. Empat

proposisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peran (Role Occupan) itu diharapkan bertindak.

2. Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial dan lain-lainnya mengenai dirinya.

3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keselurahan kompleks kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran.

23Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h. 46-47.

Area of choise

Law Making Processes

Law Implementing

Role Accopant

Confirmity inducing measures

Area of Choise Area of Choise

19

4. Bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, politik, ideologis dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.24 Bekerjanya hukum dalam masyarakat terkait juga dengan penegakan

hukum dapat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki

keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu lembaga pembuat

hukum (Law Making Institution), lembaga sebagai penerap sanksi, budaya

hukum serta unsur-unsur umpan balik dari proses bekerjanya hukum yang sedang

berjalan.25

Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu konsep

bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan suatu

peraturan perundang-undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis

besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor

utama. Faktor tersebut meliputi keseluruhan komponen sistem hukum, yaitu

faktor substansial, faktor struktural dan faktor kultural.

a. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis termasuk putusan pengadilan;

b. Struktur hukum yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya;

c. Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena tentang hukum.26

24 ibid. 25 Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,

The Habibie Centre, Jakarta, h. 27. 26 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan Termasuk

Interpretasi Undang-Undang, Kencana Prenada Group, Jakarta, h. 204.

20

Penegakan hukum sebagai bagian daripada legal system, tidak dapat

dipisahkan dengan substansi hukum dan budaya hukum.27 Melaksanakan

pengawasan adalah juga menegakkan hukum, penegakan hukum yang secara

khusus yang ditujukan terhadap jasa money changer di kawasan pariwisata di

mana belakangan ini banyak usaha money changer yang tanpa izin sehingga

merugikan konsumen dalam hal ini wisatawan.

Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus mendapat

perhatian keadilan, kemanfaatan atau hasil guna, dan kepastian hukum. Tujuan

pokok dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan atau ketertiban ini, syarat pokok

untuk suatu masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya

keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum dalam

pergaulan antar manusia dalam masyarakat.28 Jadi fungsi hukum disini diartikan

sebagai :

1. Standard of conduct, yakni menjadi ukuran tingkah laku dan kesamaan sikap

yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

2. As tool of social engineering, hukum sebagai alat untuk menyatakan benarnya

suatu tingkah laku yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

3. As tool of justification, hukum sebagai alat untuk menyatakan benarnya suatu

tingkah laku yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

4. As tool of social control, hukum sebagai alat mengontrol pemikiran dan

tingkah laku manusia agar mereka selalu terpelihara moralnya, tidak

27 Siswanto Sunarso, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 110. 28 Moctar Kusumaatmadja, 1998, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional, Bina Cipta, Jakarta, h. 2

21

melakukan perbuatan yang melanggar hukum, norma susila, dan ajaran agama

yang dipeluknya.

5. Rechzeken heid, agar dalam setiap persoalan dan permasalahan yang terjadi

dalam masyarakat ada kepastian hukum untuk dijadikan pegangan oleh

seluruh masyarakat.29

Suatu peraturan atau kaedah hukum dapat berlaku efektif dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto

adalah:

1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup.30

Konsep-konsep mengenai ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan

pengelakan berkaitan dengan hukum yang memuat larangan atau suruhan yang

tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang

kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Kewajiban kegiatan

penukaran valuta asing bukan bank diatur dalam Pasal 17, yang menyatakan

bahwa “Penyelenggara Bukan Bank wajib memasang : logo penyelenggara

KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sertifikat izin usaha yang

di terbitkan oleh Bank Indonesia dan tulisan ”Penyelenggara Kegiatan Usaha

Penukaran Valuta Asing Berizin” (Authourized Money Changer), dan nama

29 Abdul Manan, Op Cit, h. 68. 30 H. Riduan Syahrani, 2013, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 193.

22

Perseroan Terbatas penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada

lokasi usaha”. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum

untuk menegakkan hukum tersebut.

State choose the law as the primary mechanism for veiewing broader

understandings of the responsibility for number of reasons. Law, after all,

pervades our lives and provides the general rules by which we patern our

behavior.31 (Negara memilih hukum sebagai mekanisme utama dalam melihat

pemahaman yang lebih luas terhadap tanggung jawab untuk beberapa alasan,

hukum menjalankan kehidupan kita dan menyediakan aturan-aturan umum

dimana kita harus bertindak).

Sistem hukum yang ada dan telah dijalankan seperti sekarang ini dibentuk

oleh masyarakat dengan tingkat peradaban sosialnya. Tiap-tiap negara mempunyai

karakteristik ideologis yang memiliki perbedaan dan karakteristik inilah yang

kemudian akan memberikan corak hukum yang akan dibangun. Hukum tidak

dapat dilepaskan dari struktur sosialnya. Hukum yang baik adalah hukum yang

tumbuh sesuai perkembangan masyarakatnya. Menurut H.L.A Hart “ the most

prominent general feature of the law at all time and places is that its existence

means that certain kinds of human conduct are no longer option, but in some

sense obligatory”.32 (sifat mengatur hukum yang harus dipatuhi menyebabkan

tuntutan berperilaku manusia pada situasi tertentu bukan lagi merupakan pilihan

melainkan menjadi suatu keharusan). Teori efektivitas hukum dipergunakan untuk

mengkaji permasalahan yang pertama yaitu tentang faktor-faktor yang

31 Saundra Davis Westervelt, 1999, Shifting The Blame, Rutgers University Press, London,

hal. 5. 32 H.L.A Hart, 1998, The Concept of Law, Claredon Press, Oxford, h. 6.

23

mempengaruhi efektivitas pelaksanaan ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI)

Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan

bank terhadap money changer tidak berizin pada kawasan pariwisata di Bali.

Efektivitas berlakunya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014

tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank berkaitan dengan

money changer tidak berizin pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung, dari

perspektif teori efektivitas hukum meliputi keseluruhan komponen sistem hukum,

yaitu faktor substansial, faktor struktural dan faktor kultural.

1.7.3 Teori Kesadaran Hukum

Sosiologi hukum sangat berperan dalam upaya sosialisasi hukum demi untuk

meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga masyarakat secara

keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. Sebagaimana diketahui

bahwa kesadaran hukum ada dua macam :

a. Kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum

b. Kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum

Rumusan Ewick dan Silbey tentang legal conseciousness (kesadaran

hukum) sebagai berikut :

“The term legal consciousness is used by social scientists to refer to ways in which people make sense of law and legal institutions, that is the understandings which give meaning to people experiences and actions”. (Istilah kesadaran hukum digunakan oleh para ilmuan sosial untuk mengacu ke cara-cara di mana orang-orang memaknakan hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang). Kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas hukum adalah unsur

yang saling berhubungan. Sering orang mencampuradukkan antara kesadaran

hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua itu, meskipun sangat erat

24

berhubungannya, namun tidak tetap persis sama. Kedua unsur itu memang sangat

menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di

dalam masyarakat. Teori ini dipergunakan untuk untuk mengkaji permasalahan

kedua sanksi hukum bagi usaha jasa money changer tidak berizin pada kawasan

pariwisata di Kabupaten Badung.

1.7.4 Konsep Kepastian Hukum

Kepastian hukum mengandung dua pengertian. Kedua, adanya aturan yang

bersifat umum yang membuat individu mengetahui dan memahami perbuatan-

perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kedua, adanya keamanan

hukum berupa jaminan kepastian hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum sehingga individu

dapat mengetahui apa yang boleh dilakukan oleh Negara terhadap individu.33

Dengan adanya kepastian hukum di dalam masyarakat akan tahu kejelasan

antara hak dan kewajiban menurut hukum. Kepastian hukum ini dapat dibentuk

melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan

menjadi jelas pula apa yang akan diterapkan. Kepastian hukum berarti memiliki

hukum yang tepat, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumannya.

Konsep kepastian hukum di dalam penelitian ini digunakan untuk

membahas permasalahan yang kedua yaitu mengenai bagaimana ketentuan

pelaksanaan usaha jasa pedagang valuta asing (money changer). Pada PBI No.

16/15/PBI/ 2014, mengenai setiap pedagang valuta asing (money changer ) wajib

logo penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia,

sertifikat izin usaha yang di terbitkan oleh Bank Indonesia dan tulisan

33 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), h. 158.

25

”Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Berizin” (Authourized

Money Changer), dan nama Perseroan Terbatas penyelenggara KUPVA di tempat

yang mudah terlihat pada lokasi usaha, untuk menjadi money changer resmi

sehingga dapat menjamin suatu kepastian hukum bagi setiap konsumen atau

pengguna jasanya tersebut. Money changer mempunyai peran yang cukup penting

pada setiap kawasan pariwisata. Setiap money changer yang tidak terdaftar tidak

akan dapat menjamin suatu kepastian hukum sehingga dapat merugikan para

pengguna jasa.

Apalagi saat ini banyak muncul money changer yang tidak terdaftar di

beberapa kawasan pariwisata di Bali selain merugikan konsumen dengan

mengurangi hasil penilaian uang yang ditukar, sejumlah perusahaan juga sangat

berpotensi menjadi salah satu tempat pencucian uang atau money laundering.34

Teori ini dipergunakan untuk untuk mengkaji permasalahan kedua sanksi hukum

bagi usaha jasa money changer tidak berizin pada kawasan pariwisata di

Kabupaten Badung.

1.7.5 Konsep Illegal

Illegal and unlawful have slightly different meanings, although they are

often used interchangeably. Something that is illegal is against the law, whereas

an unlawful act merely contravenes the rules that apply in a particular context.

(Illegal dan melanggar hukum memiliki makna yang sedikit berbeda, meskipun

mereka sering digunakan secara bergantian. Sesuatu yang ilegal adalah melawan

hukum, sedangkan tindakan yang melanggar hukum hanya bertentangan dengan

aturan yang berlaku dalam konteks tertentu). Konsep illegal di dalam penelitian

34 URL : http://m.bisnis.com/finansial/read/20120213/90/63839/money-changer-40-percent

-pedagang-valas-di-bali-tak-miliki-izin-usaha. Diakses Pada Tanggal 2 September 2014.

26

ini digunakan untuk membahas permasalahan yang pertama dan kedua yaitu untuk

memberikan penjelasan pasal 7 juncto pasal 17 PBI Nomor 16/15/2014 tentang

Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing berkaitan dengan money changer resmi

yang tidak melawan hukum.

1.8 Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini, penulis menyajikan dalam bagan kerangka berpikir

sebagai berikut :

27

Efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor `16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank terkait Jasa Money Changer Illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung

Metode Penelitian Landasan Teori Rumusan Masalah Latar Belakang Masalah

1. Pelaksanaan pasal 7 juncto pasal 17 peraturan BI tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank di kabupaten badung berkaitan dengan jasa money changer belum berjalan efektif

2. Sanksi hukum yang diberikan untuk jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di kabupaten Badung merupakan sanksi

1. Jenis penelittian : hukum empiris

2. Sifatnya Deskriptif 3. Data dan sumber data :

sumber data primer : wawancara dengan BI dan pelaku KUPVA. Sumber data sekunder : Bahan hukum primer, Baham hukum sekunder. Bahan hukum tersier.

4. Teknik pengumpulan data : studi dokumen dan wawancara.

5. Teknik penentuan sample penelitian : Non probabilitas dengan teknik snowball sampling.

6. Pengolahan dan analisa data diolah dan dianalisa secara kualitatif

1. Teori sociological jurisprudance

2. Teori Efektivitas

3. Teori Kesadaran Hukum

4. Konsep kepastian hukum

5. Konsep Illegal

1. Bagaimana pelaksanaan PBI 16/15/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing berkaitan dengan jasa money changer illegal di kabupaten Badung ?

2. Bagaimana sanksi hukum mengenai usaha jasa money changer Illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung ?

1. Pasal 17 PBI 16/15/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank menyatakan bahwa penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan BI, sertifikat izin usaha yang diterbitkan oleh BI dan tulisan “Penyelenggara kegitan usaha penukaran valuta asing berizin (authorized money changer) dan nama perseroan terbatas penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha.

2. Prakteknya masih ada KUPVA tidak memasang logo penyelenggara KUPVA berizin

Hasil Pembahasan

Kesimpulan dan Saran Gambar 1: Kerangka Berpikir

27

28

Dari bagan tersebut, maka dapat diuraikan bahwa Pasal 17 PBI 16/15/2014

tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank menyatakan bahwa

penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan BI, sertifikat izin usaha yang

diterbitkan oleh BI dan tulisan “Penyelenggara kegitan usaha penukaran valuta

asing berizin (authorized money changer) dan nama perseroan terbatas

penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha, Masih

ada pelaku kegiatan usaha penukaran valuta asing tidak memasang logo

penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan tidak

berbentuk perseroan terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan

permasalahan yaitu pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor

16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank

berkaitan dengan jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di

Kabupaten Badung serta sanksi hukum mengenai usaha jasa money changer

Illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. Untuk menjawab

permasalahan tersebut digunakan teori-teori yaitu teori sosiological jurisprudence,

teori efektivitas hukum, teori kesadaran hukum dan konsep kepastian hukum.

Adapun metode penelitian yaitu jenis penelitian adalah empiris dengan adanya

kesenjangan antara ketentuan yang berlaku dengan pelaksanaannya. Sifat

penelitian adalah deskriptif, didukung dengan data dan sumber data, teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan

wawancara. Untuk teknik penentuan sampel penelitian digunakan non

probabilitas teknik snowball sampling dan untuk pengolahan dan analisis data

maka data diolah dan dianalisa secara kualitatif. Hasil pembahasan, yaitu sebagai

29

berikut : pertama Pelaksanaan pasal 7 juncto pasal 17 peraturan BI tentang

kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank di Kabupaten Badung

berkaitan dengan jasa money changer belum berjalan efektif dan kedua sanksi

hukum yang diberikan untuk jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata

di Kabupaten Badung merupakan sanksi secara administrasi.

1.9 Metode Penelitian

1.9.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis empiris, yaitu

metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian

dengan meneliti data sekunder (bahan pustaka) terhadap data primer di lapangan

karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang

hidup dalam masyarakat artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari

keadaan sosial masyarakat dan juga perilaku masyarakat yang sangat terkait

dengan lembaga hukum tersebut.35

Penelitian ini beranjak pada ilmu hukum normatif (peraturan

perundangan), kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi

ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.36 Melakukan pendekatan

terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi

35 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, UI

Press,Jakarta,h.3. 36 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 47.

30

ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. Meneliti atau menelaahnya dari segi

pelaksanaannya, sehingga dapat diimplimentasikan dalam praktek dilapangan.37

Studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-

peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.38 Dengan metode pendekatan

analitis (analytical approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui

makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan oleh peraturan

perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya

dalam praktik.39

1.9.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian terdiri dari tiga jenis penelitian yaitu yang bersifat

ekploratif (penjajakan atau penjelajahan), penelitian yang bersifat deskriptif dan

penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan).40

Pada penulisan ini menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif.

Penelitian yang bersifat deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan

permasalahan yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan

subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Penelitian deskriptif dapat dikatakan sebagai langkah-langkah melakukan

representatif obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang

37 Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 14. 38 Ibid, h. 63. 39Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, CV. Putra Media

Nusantara, Surabaya, h.310. 40 Amiruddin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 25.

31

diselidiki. Dengan penelitian deskriptif maka dapat menggambarkan secara tepat

situasi atau kejadian dan menerangkan hubungan antara kejadian tersebut dengan

masalah yang akan diteliti.

1.9.3 Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi data

primer dan juga data sekunder, antara lain :

1. Data primer (data lapangan), yakni data yang diperoleh terutama dalam hasil

penelitian secara empiris, yaitu penelitian yang dapat dilakukan langsung

dalam masyarakat.41 Data yang didapatkan secara langsung melalui teknik

wawancara dengan informan. Pada penelitian ini akan melakukan wawancara

dengan informan yaitu Bank Indonesia, Polda Bali dan Asosiasi Pedagang

Valuta Asing. Wawancara dengan responden yaitu Perusahaan Kegiatan Usaha

Penukaran Valuta Asing dan Wisatawan.

2. Data sekunder (library research) mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-

buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Data

sekunder ini terdiri dari bahan-bahan hukum yaitu :

a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.42 Bahan

hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan, antara lain :

1. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia;

41 Mukti Fajar & Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Noramtif & Empiris,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.157. 42 Bambang Sunggono, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. h. 113.

32

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan

Sistem Nilai Tukar;

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;

7. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan

usaha penukaran valuta asing bukan bank;

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.43 Bahan hukum sekunder yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah literatur-literatur berupa buku-

buku dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan permasalahan.

c. Bahan hukum tertier yakni bahan-bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Bahan hukum tertier yang digunakan adalah artikel-artikel dari internet

dan Koran.

1.9.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu kegiatan merapikan data dari hasil

pengumpulan data di lapangan sehingga siap dan dapat dipakai untuk dianalisa.44

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

43 Ibid, h. 114. 44 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 72.

33

1. Data studi dokumen atau bahan kepustakaan yang juga disebut sebagai data

sekunder terutama dapat diperoleh dari perpustakaan.45 Maksudnya bahwa

dalam penelitian ini akan dikumpulkan data-data kepustakan yang

dikumpulkan dengan cara membaca dan memahami, selanjutnya dilakukan

teknik pencatatan dengan mengutip teori dan penjelasan yang penting dari

bahan-bahan yang relevan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini,

baik itu berupa kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung.

2. Teknik Wawancara

Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara yaitu

wawancara dengan informan dan responden. Informan adalah orang atau individu

yang memberikan informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang

diketahuinya, sedangkan responden adalah seseorang atau individu yang akan

memberikan respon terhadap beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Responden ini merupakan orang yang terkait secara langsung dengan data yang

dibutuhkan.46 Wawancara dilakukan di Bank Indonesia selaku pemerintah yang

mempunyai wewenang mengawasi kegiatan usaha penukaran valuta asing,

asosiasi pedagang valuta asing, pelaku penukaran valuta asing, dan wisatawan.

1.9.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Penentuan populasi dan sampel tepat sangat penting artinya dalam suatu

penelitian. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang

45 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukun Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 46Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

h. 120.

34

sama.47 Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap

mewakili populasinya. Populasi dalam penelitian ini adalah kawasan pariwisata di

Kabupaten Badung.

Teknik sampling atau cara pengambilan sampel dari populasi dapat

dibedakan menjadi dua yaitu probabilitas atau random dan nonprobabilitas atau

nonrandom.48 Teknik penentuan sampel pada penelitian ini adalah teknik

nonprobabilitas dengan teknik snowball sampling. Dalam snowball sampling,

penarikan sample ini dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi dari

sample sebelumnya. Dalam penelitian ini akan dihentikan dan dianggap telah

mewakili keseluruhan objek penelitian jika menggunakan titik jenuh.

Adapun lokasi penelitian yang dipilih dalam penyusunan penelitian ini

adalah wilayah Kabupaten Badung. Penelitian dilakukan pada Kabupaten Badung

yaitu Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan.

1.9.6 Pengolahan dan Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan melakukan kegiatan merapikan data

dari hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.49

Teknik analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara merapikan data

yang diperoleh dari hasil wawancara pada kawasan pariwisata di Kabupaten

Badung setelah data dikumpulkan kemudian data yang diperoleh dianalisis secara

kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang

47 Bambang Sunggono, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 118. 48 Amiruddin, Op.Cit, h.97. 49 Bagong Suyanto dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Social, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, h. 77.

35

teratur, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan pemahaman

dan interpretasi data.50 Seterusnya data akan dianalisis dengan menggunakan

landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang selanjutnya dipaparkan

dalam bentuk kalimat yang teratur dan bersifat logis dalam pembahasan.

50 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Banyumedia Publising,

Malang, h. 172.