35
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanyaan “Mengapa manusia menggunakan bahasa ?”, umumnya dijawab dengan “untuk mengomunikasikan pemikiran” yang selanjutnya dikenali sebagai fungsi bahasa (Crystal, 1987:10). Namun, bagaimana manusia mengomunikasikan pemikiran mereka dengan adanya ragam bahasa sebagai kendala perlu mendapatkan perhatian. Dalam hal keberagaman bahasa, setiap bahasa berbeda dalam sistem fonetik, fonologi, morfologi, semantik bahkan leksikon yang kesemuanya memiliki regularities of the underlying language system or code (Scandera dan Burleigh, 2005:1) atau disebut juga rule-governed mengikuti serangkaian kaidah tertentu yang berfungsi mengatur penggunaan bahasa yang digunakan (Dardjowidjojo, 2009:11-12). Pemahaman tentang kontras dan kesinambungan struktur pada sistem yang dipelopori oleh Saussure dikenal dalam sistem fonologi (Foley, 1997:93). Hal ini dapat dipahami karena bahasa utamanya adalah sesuatu yang diucapkan, parole sebagai performance atau keluaran bahasa (Scandera dan Burleigh, 2005:1), bukan dituliskan. Sistem perekaman pemikiran dan ujaran dengan menggunakan tulisan menjadi langkah perubahan penting dalam bahasa yang terjadi belakangan yang perkembangannya dilakukan oleh para pendahulu (Wood, 1954:1). Sistem bunyi-bunyian yang diproduksi manusia beragam, sehingga akan memunculkan persoalan dalam interaksi seseorang yang mencoba berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki lingkungan pengguna bahasa yang berbeda. Dalam kasus penggunaan bahasa Inggris oleh penutur bukan Inggris terkait pemerolehan bahasa kedua, pembelajar umumnya melakukan kegagalan dalam memproduksi bunyi yang native like (seperti penutur asli), terutama jika mereka termasuk kategori pembelajar yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/60875/potongan/S2-2013... · Dalam BI atau bahasa Indonesia, perbedaan dalam produksi satu suara untuk satu

  • Upload
    dinhnhu

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanyaan “Mengapa manusia menggunakan bahasa?”, umumnya

dijawab dengan “untuk mengomunikasikan pemikiran” yang selanjutnya

dikenali sebagai fungsi bahasa (Crystal, 1987:10). Namun, bagaimana

manusia mengomunikasikan pemikiran mereka dengan adanya ragam

bahasa sebagai kendala perlu mendapatkan perhatian. Dalam hal

keberagaman bahasa, setiap bahasa berbeda dalam sistem fonetik, fonologi,

morfologi, semantik bahkan leksikon yang kesemuanya memiliki

regularities of the underlying language system or code (Scandera dan

Burleigh, 2005:1) atau disebut juga rule-governed – mengikuti serangkaian

kaidah tertentu yang berfungsi mengatur penggunaan bahasa yang

digunakan (Dardjowidjojo, 2009:11-12).

Pemahaman tentang kontras dan kesinambungan struktur pada sistem

yang dipelopori oleh Saussure dikenal dalam sistem fonologi (Foley,

1997:93). Hal ini dapat dipahami karena bahasa utamanya adalah sesuatu

yang diucapkan, parole sebagai performance atau keluaran bahasa

(Scandera dan Burleigh, 2005:1), bukan dituliskan. Sistem perekaman

pemikiran dan ujaran dengan menggunakan tulisan menjadi langkah

perubahan penting dalam bahasa yang terjadi belakangan yang

perkembangannya dilakukan oleh para pendahulu (Wood, 1954:1).

Sistem bunyi-bunyian yang diproduksi manusia beragam, sehingga

akan memunculkan persoalan dalam interaksi seseorang yang mencoba

berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki lingkungan pengguna

bahasa yang berbeda. Dalam kasus penggunaan bahasa Inggris oleh penutur

bukan Inggris terkait pemerolehan bahasa kedua, pembelajar umumnya

melakukan kegagalan dalam memproduksi bunyi yang native like (seperti

penutur asli), terutama jika mereka termasuk kategori pembelajar yang

2

mulai belajar sesudah lewat masa kanak-kanak. Kurangnya akurasi dalam

menimbulkan sistem bunyi yang target like (layaknya bahasa sasaran), dapat

dipengaruhi oleh bahasa pertama yang dikenal dengan istilah first language

interference (Krashen, 1981:64).

Hipotesis analisis kontrastif yang dipaparkan Lado (1957)

menegaskan bahwa sistem bunyi bahasa kedua (yang selanjutnya disebut

B2) yang memiliki kedekatan karakteristik atau mirip dengan sistem bunyi

bahasa pertama (yang selanjutnya disebut B1), ditemukan lebih mudah

dipelajari. Beberapa model dalam penelitian yang lebih kini, antara lain

Perceptual Assimilation Model – Model Asimilasi Persepsional (Best dan

Strange, 1992:305-331) serta Speech Learning Model – Model

Pembelajaran Pengucapan (Flege,1995:437-470), menunjukkan perbedaan

pendapat dengan hipotesis analisis kontrastif dalam hal formasi kategori

bunyi B2 yang justru muncul pada bunyi B2 yang rata-rata mirip dengan

B1, dibandingkan kasus bunyi yang sangat mirip maupun sangat berbeda,

juga adanya kecenderungan pembelajar untuk menghasilkan kemiripan yang

lebih besar pada kategori target like jika ketidakmiripan yang ada pada

kedua bahasa lebih besar sehingga memberikan paparan yang memadai dan

pengalaman dengan bahasa target. Terlepas dari perbedaan model tersebut

diatas dalam hal arah pengaruh B1 pada pembentukan B2, karakteristik

tersebut tetap mengemuka.

Mereka yang mengetahui dan mempelajari bahasa Inggris secara tidak

sadar akan memiliki kemampuan untuk mengenali bahwa segmen-segmen

bunyi dalam bahasa ini tidak tergantung pada bagaimana sebuah kata dieja

dalam tulisan. Mereka akan dapat menggambarkan semua bunyi yang

digunakan, mengetahui di mana harus meletakkan break atau jeda, dan tidak

bermasalah untuk secara berkesinambungan melakukan pergerakan

artikulator untuk memproduksi bunyi-bunyi tersebut dengan tepat (Fromkin,

1993:177-178). Akan tetapi, penutur bahasa lain terkadang memiliki

kekurangan kemampuan aktual untuk mengelompokkan bunyi-bunyi bahasa

Inggris ke dalam urutan unit yang berbeda dalam menyampaikan makna.

3

Hal ini dikarenakan Written English – bahasa Inggris tertulis, dibentuk dari

huruf dan Spoken English – bahasa Inggris oral, yang dibentuk dari bunyi

merupakan dua hal yang sangat berbeda (Hancock, 2003:10). Transkripsi

written text yang dikenal juga sebagai sistem ejaan dari 26 alfabet, lebih

sederhana dan tidak sama dibandingkan dengan transkripsi spoken yang

lebih rumit yang dalam American English – bahasa Inggris Amerika

mewakili 15 bunyi vokal dan 28 bunyi konsonan (Fromkin, 1993:207-209)

dan dalam bahasa Inggris yang dipakai di Australia menurut Finegan dan

rekan (1992:34) mewakili 20 bunyi vokal yakni 12 vokal murni dan 8

diftong (Finegan dan rekan, 1992:40) dan 24 bunyi konsonan. Perbedaan

antara jumlah fonem dalam bahasa dan huruf dalam abjad akan

mempengaruhi bagaimana sebuah kata diucapkan.

Dalam BI atau bahasa Indonesia, perbedaan dalam produksi satu suara

untuk satu kata yang sama, dapat mengarah kepada variasi dialek misalnya

bunyi [ə] dan [e] yang bersifat interchangeable atau dapat dipertukarkan

tanpa merubah makna pada [məlawan] – BI standar dan [melawan] – dialek

Indonesia bagian barat Sumatera dan bagian timur, atau bunyi [a] dan [ə] di

posisi ultima pada [bagaimana] – BI standar dan [bagaimanə] – dialek

Indonesia Melayu. Contoh lain yang berkaitan dengan panjang-pendek

bunyi dapat dilihat pada penggunaan variasi [marI] dan [mari:] serta [Ikut]

dan [Iku:t] yang dianggap berbeda hanya jika dipandang dari sisi ekstra-

linguistik saja, yakni menunjukkan kedekatan penutur dan bertujuan untuk

memberi kesan persuasif. Makna semacam ini yang menurut Finegan dan

rekan (1992:136-137) digambarkan sebagai makna sosial yang

mengidentifikasikan karakter sosial penutur dan situasi karakter bahasa yang

digunakan dan makna afektif yang menyatakan perasaan, perilaku dan

pendapat tentang informasi yang terdapat dalam konteks.

Dalam bahasa Inggris, perbedaan tersebut dapat mengakibatkan

kesalahpahaman karena perbedaan kualitas panjang-pendek bunyi bersifat

fonemis yakni membedakan makna. Dapat dipastikan akan timbul masalah

ketika sebuah kata diucapkan dengan cara yang berbeda, khususnya dalam

4

kasus penggantian antar bunyi vokal yang memiliki posisi lidah yang sama

misalnya pada dua bunyi vokal depan tinggi [i:] dan [I]. Kata sheep /ʃi:p/

„biri-biri‟ (n) dan ship /ʃIp/ „kapal‟ (n), meskipun memiliki kelas kata yang

sama yakni kata benda, namun masing-masing leksikon tersebut merujuk

pada dua benda yang berbeda. Penggunaan sistem bunyi yang tidak pada

tempatnya pada kalimat The Johnsons go to Australia by ship, memberi

gambaran makna yang benar-benar berbeda apakah keluarga Johnson pergi

ke Australia menggunakan kapal atau biri-biri. Contoh lain dapat dilihat

pada deep /di:p/ (adj) „dalam‟ dan dip /dIp/ (v) „mencelupkan‟ jelas

memiliki bunyi, kelas kata dan arti yang berbeda, tetapi mungkin terdengar

dan diucapkan dengan cara yang sama oleh pembelajar EFL (English as A

Foreign Language) - Inggris sebagai bahasa asing.

Menurut Jones (1957: 65-68), masalah ini muncul pada banyak

pembelajar asing dan khususnya penutur bahasa Romawi karena mereka

menggunakan bunyi yang terlalu tense atau tegang yang kenyataannya

mereka tidak membuat pembedaan yang dibutuhkan antara bunyi pendek

bahasa Inggris [I] dan bunyi panjang [i:]. Lado (1954: 1-2) menambahkan,

bahwa masalah dapat juga timbul disebabkan oleh realisasi bunyi [i:] yang

muncul pada beberapa ejaan dalam kata seperti pada read, see, people,

machine, believe, receive, we dan key. Dari kata-kata yang disajikan tersebut

ditemukan bahwa ejaan ea, ee, eo, i, ie, ei, e dan ey dibaca dengan

pengucapan yang sama yaitu [i:] sehingga transkripsi fonetis dari kata-kata

tersebut menjadi /ri:d, si:, pi:pl, məʃi:n, bIli:v, rIsi:v, wi; dan ki:/ dalam

kamus Oxford (1980) yang bagi pembelajar bahasa kedua, khususnya yang

tidak memiliki sistem pengucapan dan penulisan yang berbeda pada bahasa

yang dikuasainya, menjadi kendala dalam perealisasian bunyi-bunyi

tersebut.

Dardjowidjojo (2009:49) membandingkan bunyi dalam bahasa Inggris

dan menyatakan bahwa beberapa bunyi tidak ditemukan dalam BI.

Mengenai bunyi vokal, BI bahkan dikatakan tidak memiliki konsistensi

dalam pengucapan. Ada yang menyebutkan sepuluh (Chaer, 2009: 42) dan

5

ada yang enam berdasarkan kedudukan lidah dan bulat tidaknya bibir

(Alieva et al, 1991: 34), sementara bahasa Inggris memiliki sekurang-

kurangnya sebelas bunyi vokal yang kemudian mengakibatkan adanya

masalah besar bagi penutur Indonesia dalam mempelajari bunyi vokal

bahasa Inggris (2009:54).

Penelitian internal bahasa tidak dapat dilepaskan dari faktor non-

kebahasaan seperti pengaruh sosial penutur yang membatasinya. Doktrin

dasar dari strukturalisme yang diusung Foley menggarisbawahi pengaruh

lingkungan terhadap dinamika yang terjadi pada tubuh bahasa dikarenakan

sifat dari elemen benda tidak terletak benda-benda tersebut, tetapi pada

hubungan di antaranya. Signifikansi hanya ditemukan dalam keterkaitan

semua elemen tersebut pada sistem sehingga pada keseluruhan sistemlah

terletak karakter kontras dan perbandingan yang selanjutnya mendefinisikan

masing-masing dan setiap elemen di dalamnya (Foley, 1997: 92-93). Latar

belakang pembelajar pastinya mempengaruhi pemerolehan B2, terutama

kaitannya dengan karakter kontras dan perbandingan dengan B1 yang

terletak pada sistemnya. Gagasan ini merujuk pada penutur Indonesia yang

mempelajari bahasa Inggris dengan karakteristik sistem bunyi yang berbeda.

Menurut Holmes (1992:11, 16-17), beberapa faktor sosial bersifat

relevan dalam memperhitungkan penggunaan variasi bahasa tertentu,

bahkan hubungan antara pilihan kebahasaan dan konteks sosial lebih mudah

dilihat ketika bahasa-bahasa yang berbeda dilibatkan. Lebih lanjut,

hubungan antara bahasa dan sosial dapat digambarkan dalam empat arah

pengaruh yaitu struktur sosial dapat mempengaruhi ataupun menentukan

struktur dan atau perilaku linguistik, struktur dan perilaku linguistik dapat

mempengaruhi ataupun menentukan struktur sosial, pengaruh bi-directional

atau dua arah dimana bahasa dan sosial saling mempengaruhi satu sama lain

dan hubungan yang independen atau tidak ada hubungan sama sekali antara

struktur linguistik dan sosial (Wardhaugh, 1986:9-10). Penelitian

menyangkut faktor-faktor sosial dalam hubungannya dengan bahasa dapat

6

menggunakan klasifikasi jenis kelamin, usia, kelas dan lokasi geografis

(Cutting, 2008:59).

Terkait ujaran, faktor lain yang tidak dapat diabaikan dalam memberi

pengaruh signifikan terhadap produksi bunyi adalah proses mental atau

variabel psikologis mengenai persepsi terhadap bagaimana bunyi-bunyi itu

dibuat, fitur-fitur mana yang terlibat dan bagaimana bunyi-bunyi itu

digabungkan. Perbedaan satu bunyi dengan bunyi yang lain yang terletak

pada fitur distingtif sangat penting untuk diketahui dalam membedakan

pasangan minimal (Dardjowidjojo, 2003:47-48). Dalam hal persepsi,

penutur BI yang tidak mengenal fitur distingtif fonem panjang-pendek

karena tidak terdapat pada sistem bunyi BI akan mengalami kendala untuk

memproduksi atau tidak memproduksi bunyi tersebut dalam pengucapan

kata-kata berbahasa Inggris. Variabel lain adalah terkait akuisisi

bahasabahasa pertama seseorang, motivasi, perilaku dan faktor individual

lain (Steinberg dkk, 1982:169).

Pelajar dari wilayah timur biasanya mengalami kesulitan untuk

menyesuaikan diri pada waktu melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa,

terutama dalam keterampilan berbahasa Inggris mereka. Ini didapatkan

melalui pengamatan penulis sebagai pengajar bahasa Inggris di tiga

universitas swasta di Yogyakarta. Kebanyakan dari mereka tidak dapat

berkompetisi dengan pelajar dari wilayah lain, oleh karena itu penelitian ini

mengambil penutur bahasa Indonesia dari wilayah timur sebagai objek.

Penelitian ini berupa studi kasus dengan sampel dari penelitian ini

mahasiswa tahun pertama Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan

(STTKD) Yogyakarta dari tiga program studi yaitu Manajemen Transportasi

Udara, Ground Handling atau tata operasi darat dan Pramugari, memiliki

kepentingan khusus dalam pengucapan bahasa Inggris. Hal ini berkaitan erat

dengan pekerjaan di dunia kedirgantaraan yang akan digeluti nantinya yang

menyinggung tanggung jawab dalam memberikan announcement atau

pengumuman di bandara dan di sebuah penerbangan. Ketepatan pengucapan

bunyi-bunyi bahasa Inggris akan meminimalkan pemahaman yang salah

7

terhadap informasi yang disampaikan. Ragam latar belakang non-

kebahasaan pastinya memberikan kontribusi pada variasi produksi fonem-

fonem vokal bahasa Inggris mereka. Kajian ini difokuskan pada mahasiswa

yang berasal dari Indonesia wilayah timur selain untuk membatasi terlalu

banyaknya varian latar belakang wilayah penutur BI tetapi juga mengingat

bahwa mahasiswa STTKD dari daerah tersebut cukup meningkat dalam

kurun waktu 5 tahun terakhir.

1.2 Rumusan Masalah

Beranjak dari penjelasan tentang latar belakang di atas, penelitian ini

merumuskan masalah seputar fonem panjang-pendek monoftong vokal

bahasa Inggris antara lain:

1. Bagaimana sistem fonem vokal panjang dan pendek pada bahasa

Inggris dalam gagasan kontras dengan bunyi vokal Bahasa Indonesia?

2. Bagaimana para penutur bahasa Indonesia di wilayah timur

menghasilkan fonem vokal panjang dan pendek dalam bahasa Inggris?

3. Bagaimana latar belakang non-kebahasaan mempengaruhi penutur

bahasa Indonesia di wilayah timur dalam memproduksi panjang-

pendek bunyi vokal bahasa Inggris yang membedakan makna?

1.3 Tujuan Penelitian

Memperhatikan latar belakang dan masalah yang dirumuskan,

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendiskripsikan bunyi-bunyi panjang dan pendek vokal bahasa

Inggris dan bahasa Indonesia.

2. Mengetahui dan mendiskripsikan bagaimana penutur bahasa Indonesia

di wilayah timur merealisasikan bunyi-bunyi panjang dan pendek

vokal bahasa Inggris.

3. Mendeskripsikan bagaimana latar belakang non-kebahasaan penutur

bahasa Indonesia memberi pengaruh dalam menentukan produksi

fonem panjang dan pendek vokal bahasa Inggris.

8

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan terlaksananya penelitian yang didasarkan pada rumusan

masalah dan tujuan penelitian ini, diharapkan akan didapatkan beberapa

manfaat antara lain:

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Memberikan wawasan tentang fonem panjang-pendek yang

terdapat dalam bahasa Inggris dan bagaimana bunyi-bunyi

tersebut membedakan makna.

2. Menggambarkan fenomena bunyi panjang-pendek dalam bahasa

Indonesia sebagai variasi bahasa.

3. Sebagai acuan mengenai variasi bunyi bahasa Inggris yang

diproduksi oleh penutur bahasa Indonesia dalam kategori

kelompok sosial dan kondisi internal tertentu.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Keberagaman bahasa dalam gagasan kontras bahasa Inggris dan

Indonesia pada tataran fonologi akan menimbulkan pemahaman

lintas budaya demi kepentingan komunikasi dan sosialisasi dua

negara yang berbeda.

2. Hasil penelitian ini akan memberi manfaat praktis pada bidang

pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia

khususnya bidang fonologi terkait identifikasi dan latihan

pengucapan sehingga dapat mempermudah dan memberi

sensitifitas pembelajar Indonesia dalam mengucapkan dan

membedakan bunyi-bunyi tersebut dengan tepat.

3. Temuan terkait faktor non-kebahasaan penutur yang

mempengaruhi produksi fonem bunyi panjang-pendek, akan

memberi kontribusi kepada pengajar bahasa Inggris untuk

penutur bahasa Indonesia, dalam merancang disain

pembelajaran untuk kefasihan dan ketepatan.

9

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian terdahulu terkait segmentasi bunyi telah dilaksanakan di

banyak negara yang mana bahasa Inggris masih dianggap sebagai bahasa

asing. Kebanyakan dari analisis tersebut menunjukkan kesulitan dan

masalah yang dihadapi pembelajar EFL dalam memproduksi bunyi-bunyi

yang native-like seperti yang muncul pada penelitian yang dilakukan oleh

Thao (2007) yang menunjukkan upaya orang Vietnam untuk mengucapkan

bunyi konsonan akhir pada kata bahasa Inggris yang mengarah kepada

omitting atau penghilangan bunyi, penambahan bunyi schwa atau

penggantian dengan bunyi-bunyi yang lebih mendekati bunyi yang ada pada

bahasa ibu (mother tongue) mereka.

Penelitian lain (Prachanboriban, 1958; Lakhawatana, 1969;

Chanyasupab, 1982; Malarak, 1998; dan Mano-im, 1999) seperti yang

dikutip oleh Yangklang (2006) menunjukkan bahwa pelajar Thailand

cenderung mengucapkan bunyi bahasa Inggris dengan tidak tepat yaitu

menggantikannya dengan bunyi konsonan Thailand. Bunyi yang dimaksud

adalah bunyi konsonan akhir pada kebanyakan kata bahasa Thailand

diturunkan oleh para pelajar. Sebagai contoh, kata “fine”, “find” dan “file”

semuanya diucapkan secara mirip.

Mengenai bunyi vokal bahasa Inggris, Deterding (2007) menaruh

perhatian serius pada pembelajar EFL di Singapura. Dari temuannya,

Deterding membedakan kualitas bunyi vokal variasi bahasa Inggris

Singapura, Malaysia, Brunei, Hongkong dalam hal intonasi pada 41 siswa

perempuan yang membaca “The Wolf”. Latar belakang etnik memberi peran

dalam perbedaan ini. Prawati (2007) dalam analisisnya juga menunjukkan

masalah yang serupa dalam mendiskriminasikan bunyi diantara siswa

semester pertama program studi bahasa Inggris di Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Riau, khususnya dalam membedakan bunyi vokal pendek dan

panjang.

Menyinggung tentang peranan latar belakang non-kebahasaan dalam

pelafalan bunyi bahasa Inggris, Senel (2006) menggunakan pembelajar

10

bahasa Inggris di Turki sebagai responden. Pembahasannya mencakup

faktor bahasa ibu, usia, jumlah paparan, kemampuan fonetis, kepribadian

dan perilaku serta motivasi. Drilling adalah tehnik yang dimunculkan

sebagai saran pada penelitian tersebut guna mengatasi kesulitan dalam

mengucapkan bahasa target secara akurat.

Dengan demikian, penelitian tentang variasi panjang-pendek fonem

vokal bahasa Inggris oleh penutur bahasa Indonesia wilayah timur ini belum

pernah diteliti sebelumnya sehingga layak untuk dikaji lebih dalam.

1.6 Landasan Teori

Dari parent language atau bahasa proto Indo-Eropa yang selanjutnya

mengerucut menjadi rumpun bahasa Primitive Germanic dengan sub-divisi

West Germanic (Wood, 1954:13), hanya bahasa Jerman yang diantara

bahasa-bahasa serumpun lainnya sama dengan bahasa Inggris dalam

memiliki karakter bunyi vokal panjang-pendek pembeda makna.

Menjadikan pembahasan tentang panjang-pendek fonem vokal ini menarik

karena di kalangan sub-divisi tersebut, hanya kedua bahasa tersebut yang

menekankan perbedaan signifikan bunyi lax atau kendur dan tense atau

tegang untuk pasangan minimalnya.

Masing-masing vokal panjang-pendek dalam bahasa Inggris yang

muncul pada masa late Old English, yaitu periode akhir bahasa Inggris

Kuno dan bertahan hingga Middle English, yakni bahasa Inggris

Pertengahan dengan masa kemunculan The Great Vowel Shift oleh Grimms

sebagai wujud perkembangan bunyi vokal, vokal-vokal pendek

dipanjangkan atau sebagai akibat peminjaman kata dari bahasa Perancis

(Wood, 1954:75-76) yang dibedakan menggunakan parameter fonetik tense

vs lax sebagai distictive feature yang menurut Chomsky dan Halle (1968:65)

provide a representation of an utterance which can be intepreted as a set of

instructions to the physical articulatory system.

Tataran linguistik menyangkut produksi bunyi vokal dikategorikan

dalam fonologi yang secara umum mempelajari, menganalisis dan

11

membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa dan selanjutnya dibagi menjadi

dua objek studi menurut hierarki satuan bunyi yaitu fonetik dan fonemik.

Fonetik dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi

bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai

fungsi sebagai pembeda makna atau tidak (Verhaar, 1977:12; Ramelan,

1982:3). Sementara fonemik (disebut fonologi oleh sarjana lain Fromkin,

1993:216; Finegan dan rekan, 1992:34) dikenal sebagai studi fonologi yang

memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna (Chaer,

2003:102; Verhaar, 2010:68-69).

1.6.1 Fonetik

Lebih lanjut penjelasan mengenai fonetik digambarkan melalui

urutan proses terjadinya bunyi bahasa dimana ada tiga jenis fonetik yakni

fonetik artikulatoris, fonetik akustik dan fonetik auditoris (Chaer,

2003:103). Bagaimana bunyi bahasa itu diucapkan dan dibuat sesuai

mekanisme alat-alat bicara yang ada dalam tubuh manusia serta bagaimana

bunyi bahasa diklasifikasikan berdasarkan artikulasinya dimasukkan dalam

fonetik artikulatoris atau dikenal juga sebagai fonetik organis atau fonetik

fisiologis (Chaer, 2003:103; Marsono, 2008:2). Sementara itu, penggunaan

alat-alat fisik untuk mempelajari sifat dari gelombang bunyi yang dihasilkan

dalam bahasa manusia disebut dengan fonetik akustik. Pada fonetik akustik,

penggunaan mesin untuk mengenali bunyi secara otomatis, identifikasi

suara dan memproduksi bunyi-bunyi sintetik dapat dilakukan (Finegan dkk,

1992:39). Yang terakhir yakni fonetik auditori berkutat pada persepsi bunyi

oleh otak melalui telinga pendengarnya. Fonetik ini masih sedikit mendapat

perhatian dan peran pada linguistik saat ini (Fromkin, 1993:179).

Fonetik artikulatoris dikatakan banyak berkaitan dengan linguistik

sehingga cenderung mendapat porsi lebih besar dalam pembahasan dalam

kajian (Marsono, 2008:2). Lebih lanjut kategori fonetik ini dibagi lagi

menjadi beberapa kelompok berdasarkan mekanisme aliran udara paru-paru

(pulmonic airstream mechanism) yang pembagiannya antara lain dilihat dari

12

arah aliran udara yang dikeluarkan dari paru-paru (egressive atau ejective

airstream mechanism) yang ditemukan pada bahasa Inggris dan dibanyak

bahasa Amerika di India, Afrika dan Caucasia, maupun arah aliran udara

yang dihisap masuk paru-paru (ingressive atau implosive airstream

mechanism dan clicks) yang terdiri dari dua jenis dimana jenis pertama

implosive ditemukan pada bahasa Amerika orang Indian, Afrika, India dan

Pakistan, sementara jenis kedua clicks ditemukan pada bahasa Bantu Selatan

seperti Xhosa dan Zulu serta bahasa yang dipakai oleh Bushmen dan

Khoikhoi (Fromkin, 1993:187). Pembahasan pembagian fonetik artikulatoris

selanjutnya, didasarkan pada bunyi pulmonic egressive airstream

mechanism yaitu bunyi dihasilkan oleh aliran udara keluar dari paru-paru.

Pengelompokan bunyi pulmonic egressive airstream mechanism

oleh Fromkin (1993:187) yang pertama dilihat dari pembedaan bunyi

bersuara dan tidak bersuara. Proses produksi bunyi sesuai kategori ini terjadi

karena adanya aliran udara dari paru-paru bergerak melalui batang

tenggorok dan melalui pembukaan di antara pita-pita suara sehingga

membentuk celah yang disebut glottis. Jika pita-pita suara terbuka, aliran

udara tidak terhambat sehingga mengalir bebas ke dalam supraglottal

cavities (bagian dari vocal tract di atas glottis), maka bunyi yang dihasilkan

adalah tak bersuara. Bunyi ini diwakilkan oleh [p, t, k] dan [s]. Sebaliknya,

jika pita-pita suara menyatu, aliran udara menekan jalan keluar dan

mengakibatkan pita-pita tersebut bergetar sehingga menghasilkan bunyi

yang bersuara. Bunyi-bunyi tersebut diwakilkan oleh [b, d, g] dan [z].

Perbedaan ini menjadi salah satu fitur fonetik yang penting dalam bahasa

Inggris.

Pengelompokan selanjutnya oleh Fromkin (1993:189) dilihat dari

perbedaan tempat keluaran aliran udara yakni hanya mulut (oral) atau

hidung dan mulut (nasal). Dalam menghasilkan bunyi bersuara, ada

perbedaan antara bunyi [b] dan [m]. Jika melihat bagaimana proses

menghasilkan bunyi bersuara diatas, kedua bunyi tersebut dikategorikan

dalam kelompok bunyi bersuara, tetapi ada perbedaan yang signifikan dari

13

tempat keluaran udaranya. Yang pertama, udara yang mengalir keluar

terjadi ketika langit-langit lunak yang disebut velum (soft palate) yang

berada di bagian belakang atas mulut, terangkat sampai menyentuh bagian

belakang tenggorokan sehingga menghalangi aliran udara ke arah hidung

maka udara hanya dapat keluar melalui mulut. Bunyi berikutnya dihasilkan

dengan sedikit menurunkan velum sehingga udara mengalir keluar bukan

hanya melalui mulut saja, melainkan juga melalui hidung lewat velum.

Inilah fitur fonetik berikutnya dalam fonetik artikulatori yang

memungkinkan satu bunyi dimasukkan dalam lebih dari satu kelas

klasifikasi, misalnya [b] yang oral bersuara.

1.6.1.1 Bunyi Konsonan

Pengelompokan fonetik artikulatoris berikutnya dibagi berdasarkan

tempat penyempitan aliran udara yang membedakan produksi bunyi ketika

seseorang mengganti bentuk rongga mulut salah satunya dengan

menggerakkan bibir dan lidah. Perubahan tempat penyempitan alat-alat

bicara (artikulator) dalam rongga mulut disebut juga dengan fonetik organik

yang menghasilkan bunyi konsonan (Verhaar, 2010:31) yakni dibagi

menjadi sepuluh antara lain penyempitan yang terjadi, (1) di antara akar

lidah dan dinding belakang rongga kerongkongan menghasilkan bunyi [h],

(2) di antara pangkal lidah dan anak tekak menghasilkan bunyi [ɍ], (3) di

antara pangkal lidah dan langit-langit lunak menghasilkan bunyi [k, g, ŋ, x]

dan [ɦ], (4) di antara tengah lidah dan langit-langit keras menghasilkan [ʃ, ʒ,

c] dan [j], (5) di antara daun lidah dan langit-langit keras menghasilkan [s]

dan [z], (6) di antara ujung lidah dan langit-langit keras menghasilkan [d],

(7) di antara ujung lidah dan gigi atas menghasilkan [t] dan [d], (8) di antara

ujung lidah dan lengkung gigi atas menghasilkan [Ɵ] dan [ð], (9) di antara

bibir bawah dan gigi atas menghasilkan [f] dan [v], serta terakhir (10) di

antara bibir atas dan bibir bawah menghasilkan [p, b] dan [wb]. Kesemua

jenis tempat penyempitan oleh Verhaar tersebut dikenal sebagai tempat

14

artikulasi kecuali yang disebut terjadi di antara pita-pita suara karena

dilakukan untuk menghasilkan bunyi vokal [a] atau [o].

Fitur-fitur fonetik berikutnya adalah merupakan penggolongan

bunyi berdasarkan cara artikulasinya. Melalui penggolongan ini, kedua

bunyi alveolar tak bersuara [t] dan [s] yang tidak dapat dijelaskan dengan

pembedaan aliran udara apakah oral atau nasal, dapat dibedakan. Fromkin

(1993:193-198) membaginya menjadi:

1. Hambat yaitu kondisi aliran udara yang masuk ke rongga mulut

dihentikan dengan sempurna untuk waktu tertentu dan kontinuan yaitu

keadaan aliran udara berlanjut keluar karena interupsi yang tidak

sempurna karena mulut yang terbuka. Dalam menghasilkan bunyi

nasal, aliran udara dihambat sempurna oleh mulut, oleh karena itu,

meskipun aliran udara “melarikan diri” melalui hidung, istilah hambat

ditujukan pada proses penghentian menggunakan mulut sehingga

bunyi nasal tetap digolongkan sebagai hambat. Bunyi-bunyi hambat

non-nasal disebut juga plosif atau letupan karena udara yang dihambat

di mulut “meletup” pada waktu penghambatnya dilepaskan.

2. Aspirat yakni kondisi aliran udara yang dihambat menghasilkan ekstra

tekanan udara segera sesudah hambatan dilepas akibat kondisi

lingkungan dan non-aspirat yaitu pita suara yang mulai bergetar

seketika pada waktu mulut mulai dibuka. Kedua kondisi ini

disebabkan oleh bunyi yang ada pada lingkungannya.

3. Frikatif yang merupakan cara artikulasi dalam memproduksi bunyi

yang tidak dihambat sempurna tetapi hanya dihambat agar tidak

mengalir dengan bebas. Yang termasuk dalam pengelompokan ini,

juga masuk dalam kategori kontinuan karena meskipun aliran udara

dihambat pada waktu melalui rongga mulut, tapi tidak terhambat

sempurna sehingga mengakibatkan munculnya getaran atau friksi

melalui celah yang sempit. Selanjutnya ada bunyi afrikatif yang

dihasilkan dengan hambatan sempurna diikuti segera dengan

pelepasan lambat. Bunyi ini dikategorikan juga sebagai hambat.

15

4. Liquids dan glides. Bunyi yang masuk jenis pertama terjadi jika

hambatan yang ditimbulkan tidak sempurna, tetapi tidak cukup kuat

juga menimbulkan friksi. Jenis liquids lateral terjadi jika aliran udara

keluar melalui celah sisi lidah, sementara jenis getaran atau trill atau

di beberapa bahasa disebut retroflex, tap atau flap ditimbulkan oleh

hambatan dengan menggetarkan ujung lidah dengan aliran udara

keluar sebagian. Bunyi jenis berikutnya (glides), dihasilkan dengan

hambatan yang sangat minim bahkan hampir tidak ada dan pada

waktu kemunculannya pada sebuah kata biasanya segera mengikuti

atau diikuti oleh bunyi vokal sehingga lidah dikatakan melakukan

transisi mendekati atau menjauhi bunyi vokal disekitarnya.

1.6.1.2 Bunyi Vokal

Apabila aliran udara yang keluar dari paru-paru dihambat

berdasarkan letak dan cara artikulasinya dengan tingkat hambatan yang

beragam maka akan dihasilkan bunyi konsonan. Sebaliknya, aliran udara

yang bebas keluar melalui pita suara yang terbuka dan melewati rongga

mulut tanpa hambatan dan tanpa penyempitan menghasilkan bunyi vokal,

oleh karenanya semua bunyi vokal adalah bersuara (Jones, 1957:23).

Pembeda lain bunyi vokal dari konsonan adalah relatifitas kenyaringan atau

kekuatan dorongan mencakup length, kekuatan nafas dan pitch dari suara

yang konstan sehingga menjadikannya sonoran (MacCarthy, 1956:25).

Lebih rinci bunyi ini dijelaskan Pike (1971:13-14) sebagai bunyi vokoid

yang dihasilkan dengan udara yang keluar (1) dari mulut, (2) di atas pusat

lidah (sehingga tidak lateral) dan (3) tanpa friksi pada mulut.

Yang membedakan masing-masing bunyi vokal adalah

penggolongan berdasarkan kualitas konfigurasi pita suara maupun bentuk

dan ukuran rongga mulut yangbertindak sebagai ruang resonan untuk aliran

udara bersuara mengikuti jalannya melalui laring (Fromkin, 1993:199;

MacCarthy, 1956:27; Jones, 1957:30). Bagian lidah yang berbeda dapat

dinaikkan maupun diturunkan. Bentuk bibir dapat direntangkan atau

16

membundar. Arus udara dapat pula dikeluarkan melalui hidung sehingga

menghasilkan nasal. Selanjutnya fitur lain yang menggambarkan vokal

dibedakan dari lama tidaknya bunyi tersebut dihasilkan.

1.6.1.3 Vokal Kardinal Daniel Jones

Serangkaian Vokal Kardinal telah diperlengkapi menjadi bunyi

vokal dari kualitas akustik yang sudah direvisi beserta dengan posisi lidah

dan bibirnya. Setiap bunyi vokal dari bahasa apapun, dapat dijelaskan

dengan merujuk pada bunyi-bunyi „Kardinal‟ ini sehingga setiap orang dari

seluruh dunia dapat mengucapkan setiap bunyi yang diberikan dengan

tingkat akurasi yang besar. Setiap bunyi vokal dikelompokkan menurut

bagian lidah mana yang paling tinggi di mulut, dan seberapa ketinggian dari

bagian tersebut dengan dibatasi oleh vowel limit sehingga bunyi tetap dapat

dihasilkan tanpa hambatan karena akan menghasilkan bunyi konsonan

(MacCarthy, 1956:28-29).

Kondisi ketinggian lidah yang semaksimal mungkin dan maju jauh

ke depan secara konsisten menghasilkan bunyi [i] dengan bentuk bibir

melebar, sementara itu kondisi lidah yang paling rendah dan ditarik

semaksimal mungkin ke belakang secara konsisten menghasilkan bunyi [ɑ]

dengan bentuk bibir tidak bundar (Jones, 1957:31-33)1.

1.6.2 Fonologi

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, fonologi bukanlah sekedar

proses identifikasi bunyi-bunyi yang menjadi bagian fonetik antara lain

penentuan letak maupun cara artikulasi dalam menghasilkan bunyi-bunyian,

akan tetapi dalam arti luas, apakah identifikasi tersebut memiliki identitas

yang sama atau berbeda. Jika secara “fungsional”, dua bunyi dianggap

memiliki identitas yang berbeda, maka bunyi tersebut dapat disebut sebagai

1 Lampiran 1

17

“fonem”. Identitas yang dimaksud disini adalah fitur pembeda makna.

Identitas ini berlaku hanya di dalam satu bahasa yang sama saja, oleh karena

itu, fonem pembeda makna pada satu bahasa, tidak selalu menjadi fonem

pada bahasa yang lain (Verhaar, 2010:67-68). Pada saat penentuan identitas,

ada proses pemberlakukan sistem yang dilakukan dan oleh karenanya

fonologi dibedakan dari fonetik.

1.6.2.1 Fonem

Fonem merupakan unit struktural penutur asli yang mengatur bunyi

sebuah bahasa secara otomatis dan tanpa sadar (Pike, 1971:57). Orang

asing yang tidak terlatih tidak mengenali secara intuitif unit bunyi native.

Sebaliknya, mereka biasanya “tuli” terhadap beberapa unit bunyi native dan

cenderung “mendengar” hanya unit bunyi mereka sendiri meskipun native

tersebut sedang berbicara. Dalam menjelaskan sistem bunyi dari setiap

bahasa, penting untuk memberi pembeda atau contrastive unit (Gimson,

1970:44-45) pada masing-masing bunyi ujaran (speech-sound) yakni

formasi organik bunyi dan kualitas akustik definit yang tidak memiliki

kemampuan untuk variasi (Jones, 1957:49).

Menyinggung pembahasan sebelumnya mengenai fonologi,

memandang bunyi dari sisi fungsional adalah pendekatan untuk mengetahui

bagaimana segmen bunyi digunakan dalam ujaran, bukan hanya dalam

bentuk bunyi fisik individual tetapi dalam family (kelompok bunyi) yang

terdiri dari sebuah bunyi penting bahasa tersebut (yang paling sering

digunakan dalam family) bersama dengan bunyi-bunyi lain yang

berhubungan yang “menggantikan”-nya dalam rangkaian bunyi tertentu

atau dalam kondisi length atau stress khusus (Jones, 1957:49; Katamba,

1989:18).

1.6.2.2 Menentukan Fonem

Dalam proses empiris pemberlakuan suatu sistem pada sebuah

bunyi dalam menentukan apakah sebuah bunyi dikategorikan sebagai

18

“fungsi pembeda” yakni sifat khas fonem, dapat dilakukan beberapa

pengujian. Yang pertama adalah penggunaan pasangan minimal yang

menentukan fonem dengan melihat adakah penggantian sebuah bunyi pada

sebuah kata mengarah kepada perbedaan arti sehingga menghasilkan kata

yang berbeda. Selanjutnya dengan sistem distribusi pelengkap bunyi pada

kata. Kondisi ini dapat digunakan untuk menentukan bunyi tertentu sebagai

fonem atau tidak, yakni dengan membandingkan dua atau lebih bunyi yang

tidak pernah muncul pada konteks atau lingkungan yang sama. Dengan

demikian, jika sebuah bunyi didapati tidak pernah muncul di awal kata

sementara bunyi lain didapati tidak pernah muncul di akhir kata, maka

kedua bunyi tersebut dikatakan dua fonem yang berbeda. Fitur distingtif

adalah cara lain yang memanfaatkan penggunaan identifikasi fitur fonetik

sebagai kontras sebuah bunyi dengan bunyi lainnya dalam pasangan

minimal sehingga dapat disebut fonem. Fitur fonetik dalam pengujian ini

dikatakan distingtif ketika nilai + yang ditemukan pada fitur di kata tertentu

menjadi kontras dengan nilai – pada fitur di kata yang lain. (Fromkin,

1993:218-224).

Lebih lanjut fitur distingtif dijelaskan oleh Chomsky dan Halle

(1968:64-65) sebagai elemen minimum pembentuk transkripsi fonetik,

leksikon dan fonologis menggunakan kombinasi dan jalinan. Berfungsi

sebagai alat klasifikasi yang memegang peran dalam entry penggolongan

leksikon, fitur distingtif bersifat binary dengan dua nilai + (plus) atau -

(minus). Berfungsi sebagai parameter fonetis, fitur distingtif memberikan

representasi dari sebuah ujaran yang dapat diintepretasikan sebagai sebuah

rangkaian instruksi untuk sistem artikulatori fisik atau sebagai sebuah

tingkat penyempurnaan representasi persepsi. Oleh karena fungsi kedua ini,

maka fitur distingtif dikurung dalam simbol […] yang juga mengurung

representasi dari fonetik.

Chomsky dan Halle (1968:299-329) mengurai secara terperinci

rangkaian universal dari fitur fonetis dalam daftar fitur individual yang

semuanya mewakili kemampuan fonetis manusia. Masing-masing fitur

19

merupakan skala fisik yang dijelaskan dalam dua poin yang dirancang

dengan antonim kata sifat: tinggi-tidak tinggi, bersuara-tak bersuara, tegang-

tidak tegang (kendur) beserta korelasi artikulatori dari masing-masing fitur.

Skala ini yang disebut kebineran oleh Jakobson yang menghadapkan pada

situasi dua pilihan sebagai jawaban terhadap seperangkat pertanyaan „ya

atau tidak‟ dalam prosedur identifikasi rangkaian Tanya/Jawab/Perintah

(Lass 1991:89-90). Ada lima jenis fitur utama dalam pengelompokan

Chomsky dan Halle, dengan masing-masing subdivisi. Keseluruhan fitur

yang dimaksud adalah sebagai berikut yang dikelompokkan dalam tabel 1.1:

Tabel 1.1 Klasifikasi Jenis Fitur Distingtif Universal

No. Pembagian

Jenis Fitur

Subdivisi Fitur Sub-subdivisi Fitur Sub-

subsubdivisi

Fitur

1. Kelas Utama

(aliran udara)

1. Sonoran (konfigurasi

rongga vocal tract

untuk suara spontan)

vs Nonsonoran

2. Vokalik (bebas) vs

Nonvokalik

3. Konsonantal

(dihambat/dihentikan)

vs Nonkonsonantal

2. Rongga (cavity) 1. Koronal (ujung lidah

naik) vs Nonkoronal

2. Anterior (hambat di

depan bagian palate-

alveolar mulut) vs

Nonanterior

3. Fitur badan lidah 1. Tinggi (badan lidah

20

naik) vs Nontinggi

2. Rendah (badan lidah

turun) vs Nonrendah

3. Belakang (badan

lidah mundur) vs

Nonbelakang

4. Round (lubang mulut

tajam) vs Nonround

5. Terdistribusi

(dihambat dengan jarak

dari arah aliran udara)

vs Nonterdistribusi

6. Covered (dinding

faring menyempit dan

tegang serta laring

terangkat) vs

Noncovered

7. Penyempitan celah

glottal

8. Celah sekunder 1. Nasal (velum rendah

udara lewat hidung)

vs Nonnasal

2. Lateral (sisi tengah

lidah rendah salah

satunya atau

keduanya) vs

Nonlateral

3. Cara artikulasi 1. Kontinuan (udara

dihambat tidak pada titik

aliran) vs Nonkontinuan

21

2. Fitur pelepasan:

instan dan tertahan

(hambat seketika atau

dengan delay)

1. Pelepasan utama

(plosif vs afrikat)

2. Pelepasan sekunder

(lebih dari satu delay

hambat secara

simultan)

3. Pergerakan tambahan 1. Penghirupan 1. Velar (clicks)

(dilihat dari jarak

gerakan hambat

2. Implosion

(glottal)

terhadap paru-paru) 2. Penekanan 1. Velar

2. Ejectives

(glottal)

4. Tegang (melibatkan

otot supraglottal) vs

Nontegang

4. Sumber 1. Tekanan subglotal

yang ditinggikan

(vocal tract stop

memanjang tapi tidak

tegang)

2. Bersuara (dengan

vibrasi) vs Nonsuara

3. Lengking (dengan

turbulasi)

5. Prosodik 1. Stress

2. Pitch 1. Tinggi

2. Rendah

3. Ditinggikan

22

4. Meninggi

5. Menurun

6. Melengkung

3. Length

1.6.2.3 Alofon

Sebagaimana telah dijelaskan, fonem memiliki karakteristik yang

membedakan makna, sehingga satu perbedaan fonem pada dua atau lebih

rangkaian minimal (minimal set) kata akan menjadikan kata-kata tersebut

berbeda secara semantis karena mewakili bentuk kata berbeda pada leksikon

mental dalam diri seseorang (Fromkin, 1993:223). Akan tetapi, perlu diingat

bahwa masing-masing orang menghasilkan bunyi dengan cara yang tidak

sama, bahkan untuk satu bahasa yang sama. Hal ini dijelaskan dari sudut

pandang linguistik akibat adanya karakter lain dari fonem, yakni sering kali

dipengaruhi oleh bunyi-bunyi disekitarnya (Finegan dan rekan, 1992:54).

Inilah yang disebut dengan variasi internal yang merupakan ciri alamiah

suatu sistem bahasa (Saussure, 1982:130).

Ketika sebuah proses fonologi terjadi maka (1) satu atau lebih

segmen terpengaruh; (2) satu atau lebih segmen yang terpengaruh akan

berubah dalam beberapa cara; dan (3) perubahan umumnya terjadi pada

lingkungan tertentu (Sanford dan Bendixen, 1978:59). Sebuah aturan

fonologis tipikal mencakup ketiga jenis informasi tersebut. Dalam

lingkungan tertentu, alofon timbul akibat adanya keterpengaruhan ini

sebagai bentuk realisasi dari fonem yang dikenal sebagai varian fonem

(Finegan dan rekan, 1992:55) oleh karena fonem bersifat abstrak dan dalam

realisasinya tidak dilafalkan sendiri.

Alofon adalah realisasi fonem yang berbagi rangkaian fitur distingtif

yang sama tetapi masing-masing bisa juga menunjukkan fitur tambahan

(Forel dan Puskàs, 2005:34-35). Sebagai contoh [phit] dan [pit] dengan

karakteristik bunyi konsonan awal sebelum bunyi vokal dapat dikategorikan

sebagai alofon karena dua alasan yaitu (1) keduanya digambarkan sebagai

23

meletup dua bibir tak bersuara dan (2) jika kita mengganti satu dengan yang

lain, tidak akan didapati perubahan dalam arti melainkan hanya pengucapan

yang sedikit terdengar aneh. Bunyi [p] aspirat bersifat context-bound oleh

karena itu tidak dapat berfungsi untuk menciptakan kata yang berbeda

sehingga kedua bunyi tersebut tidak termasuk kontrastif.

Contoh lain dapat dilihat pada alofon stop dalam bahasa Inggris

yakni (1) aspirat tak bersuara pill, (2) tak beraspirat tak bersuara spill dan

(3) bersuara bill dimana alofon (2) ada dalam complementary distribution

dengan (1) dan (3). Riset eksperimental telah menujukkan bahwa alofon (3)

dalam bill jarang direalisasikan bersuara selama closure pada posisi inisial

dalam bahasa Inggris (Derwing dan Nearey, 1986:198).

1.6.3 Variasi Bahasa

Tidak dipungkiri bahwa ada banyak jenis bahasa Inggris mengingat

ragam penuturnyapun bervariasi yang ditentukan oleh perbedaan wilayah

geografis. Oleh karena itu, sering ditemukan adanya perbedaan di antara

ragam tersebut dalam hal variasi pengucapan bunyinya antara lain bahasa

Inggris India, Afrika, Amerika, Kanada bahkan Singapura yang dikenal

dengan Singlish. Di Britania Raya dan Irlandia Utara, seperti juga di banyak

negara termasuk negara tersebut di atas, hubungan antara sosial dan variasi

bahasa regional dapat ditemukan paling mengemuka tingkat perbedaannya

pada penggunaan di antara penutur kelas pekerja, dan paling rendah tingkat

perbedaannya di antara penutur dari kelas menengah atas (Trudgill,

1983:186-187). Namun, pengucapan bunyi yang dijadikan model dalam

penelitian ini berpatokan pada pengucapan standar penutur asli terdidik di

wilayah tenggara England yang disebut RP (Received Pronunciation) atau

pengucapan yang berterima yang merupakan „accepted‟ pronunciation

(Connor, 1967: 5-6).

Ragam yang terdapat dalam satu bahasa mungkin saja terjadi dimana

hal tersebut didefenisikan Hudson (1996:22) sebagai a set of linguistic items

with similar distribution atau serangkaian item linguistik dengan distribusi

24

yang serupa yang memungkinkan untuk diasosiasikan dengan eksternal

faktor antara lain wilayah geografis atau kelompok sosial dengan

menggunakan pendekatan sosiolinguistik (Wardhaugh, 1986:25). Dalam hal

ragam bahasa Inggris yang dimaksud di atas, variasi lokal yang diakibatkan

perbedaan wilayah penuturnya mengarah kepada dialek yang pastinya

memiliki perbedaan dengan bahasa standar.

1.6.3.1 Pengaruh faktor ekstralingual terhadap variasi

Mengacu pada sifat bunyi yang fluktuatif yaitu tidak pernah sama

jika diucapkan berulang, maka dapat dipastikan tidak ada bunyi yang persis

sama bahkan jika dihasilkan oleh orang yang sama. Dengan demikian, orang

dan latar belakang yang berbeda pasti juga memberi pengaruh pada ragam

bunyi.

Untuk penutur bahasa Inggris, Fromkin (1993:279), Finegan

(1992:54) dan Holmes (1992:154) memiliki catatan khusus tentang variasi

bunyi berdasarkan perbedaan wilayah dan status. Bagian Selatan Amerika

Serikat menghasilkan pelafalan bunyi tense /i/ seperti pada /krik/ dalam kata

creek sementara di wilayah Midlands Utara bunyi tersebut dilafalkan lax /I/

menjadi /krIk/. Bahasa Inggris Australia untuk bunyi vokal /u/ pada kata

pool berbeda dihasilkan di wilayah Adeline yang cenderung tegang seperti

pada bahasa Inggris British, sementara di wilayah pesisir timur, bunyi

tersebut cetralised menjadi [tt]. Fenomena pengucapan bunyi post-vocalic

[r] hasil penelitian Labov di kota New York menunjukkan bahwa perbedaan

status menentukan apakah bunyi tersebut dimunculkan atau ditiadakan.

Temuan tentang pengaruh faktor di luar kebahasaan yang memberi

dampak pada pelafalan seseorang, menimbulkan ragam bahasa, bahkan

untuk bahasa yang sama. Begitu pula alasan ini memberi penjelasan

mengapa seorang pembelajar bisa lebih berhasil dibandingkan pembelajar

yang lain dan mengapa pembelajar bahasa asing selalu mengalami kesulitan

dalam mengimitasi bunyi menyerupai penutur aslinya.

25

Dalam penelitian tentang pembelajar dewasa Katalan yang

memproduksi kontras bunyi vokal bahasa Inggris tense vs lax ditemukan

bahwa penutur Katalan yang memiliki sedikit pengetahuan tentang bahasa

Inggris, mampu mengidentifikasi bunyi [i:] dalam bahasa Inggris dengan

bunyi [i:] dalam bahasa Katalan, tetapi tidak memiliki konsistensi pemetaan

bahasa Katalan untuk bunyi [i] dalam bahasa Inggris karena tidak

ditemukannya bunyi semacam itu dalam bahasa Katalan (Cebrian,

2008:304). Dari temuan ini selanjutnya didapatkan bahwa bunyi vokal tidak

didapatkan secara terpisah tetapi sebagai bagian dari sistem kontras dengan

konsekuensi bahwa pembentukan satu kategori vokal dapat mempengaruhi

kategori vokal lainnya secara langsung.

1.6.3.2 Faktor-faktor ekstralingual Yang Mempengaruhi Pelafalan

Tujuan mempelajari pelafalan pada B2 maupun bahasa asing secara

realistik dijelaskan Brown berkutat seputar pelafalan yang jelas dan

komprehensif. Hal ini penting digarisbawahi Brown mengingat bahwa bagi

kebanyakan pembelajar bahasa asing, tujuan utama mereka mempelajari

pelafalan adalah agar bahasa asing yang mereka pelajari dapat terbebas dari

aksen. Akan tetapi, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah

berkembang begitu pesat, sehingga aksen native menjadi sangat sulit untuk

ditentukan dan bahkan seorang penutur asli bahasa Inggrispun dapat salah

diidentifikasi sebagai “orang asing”.

Mempelajari B2 atau bahasa asing dengan latar belakang yang

berbeda-beda, pastinya memberi hasil yang beragam bagi masing-masing

orang. Brown mengadopsi variabel non kebahasaan Kenworthy sebagai

faktor yang memberi dampak pada pelafalan para pembelajar B2 atau

bahasa asing (Brown, 1994:259-261) yakni bahasa Ibu, usia, paparan,

kemampuan fonetis turunan (innate), identitas dan language ego serta

motivasi dan keinginan untuk pelafalan yang baik.

26

1.6.4 Analisis Kontrastif

Analisis kontrastif merupakan sebuah kajian dalam pembelajaran

bahasa kedua yang membandingkan unsur-unsur yang ada pada bahasa

pertama pembelajar dengan bahasa sasaran. Hasil dari perbandingan

tersebut dapat menunjukkan kesamaan dan juga perbedaan pada kedua

bahasa yang dimaksud untuk membantu memprediksi keberhasilan

pembelajar bahasa kedua (James, 1980:8-9).

Dalam sejarahnya, analisis kontrastif didasari oleh teori psikologi

behavioris yang mengamati unsur kejiwaan manusia melalui apa yang dapat

diamati secara fisik dan langsung. Pendekatan ini digunakan oleh

Bloomfield pada tahun 30-an dalam kajian kebahasaan yang kemudian

dilanjutkan oleh Skinner yang membawanya kepada neo-behaviorisme.

Kejayaan pendekatan analisis kontrastif terletak pada fokusnya yang

mencermati linguistik struktural sebagai objek kajian. Melalui perhitungan

bahwa pemerolehan bahasa kedua terjadi akibat interferensi bahasa pertama,

analisis ini sangat bermanfaat dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu,

kajian ini dilakukan oleh para linguis demi kepentingan pengajar dan peserta

didik (Sugiarto, 1990:34-35).

Dengan demikian, pengkajian yang bertujuan untuk melihat produksi

fonem vokal panjang-pendek bahasa Inggris oleh pembelajar bahasa

Indonesia, layak dianalisis dengan menggunakan pendekatan kontrastif

tersebut dengan memusatkan pada struktur fonologi bahasa Inggris dan

bahasa Indonesia.

1.6.5 Kontras dalam Fonologi

Sejak masa Saussure, kontras telah menjadi sentral dari teori

fonologi. Di sekolah-sekolah spesialisasi fonologi pada abad kedua puluh,

kontras memegang peranan penting dan juga menjadi subjek dari daya tarik

yang diperbaharui. Terlepas dari sentralisasinya, beberapa riset saja yang

secara eksplisit mengambil kontras sebagai tema sentral. Fokus dari peran

kontras dalam fonologi berkisar pada dalam tiga area antara lain teori

27

fonologi (grammar), persepsi dan akuisisi (Avery, Dresher dan Rice,

2008:1).

Kontras dalam teori fonologi berkutat seputar deskripsi sistem

fonologis yang menggambarkan spesifikasi fitur-fitur yang ada dalam satu

bahasa atau lebih. Bidang lain yang menjadi kajian kontras dalam fonologi

adalah persepsi yang mengemukakan hubungan kontras dan persepsi

penutur dalam produksi khususnya terhadap bahasa pertama dan kedua.

Fokus utama ketiga dalam fonologi yang memakai kontras adalah akuisisi

baik untuk bahasa pertama maupun bahasa kedua. Ketiga bidang yang

menjadi wilayah kontras fonologi ini sangat interconnected sehingga kajian

tentang kontras akuisisi dapat berpusat pada peran persepsi tetapi dapat juga

dikaji secara terpisah (Avery, Dresher dan Rice, 2008:1-8).

1.6.5.1 Kontras Teori Fonologi Bahasa Inggris

Perbedaan sistem bahasa Inggris dan bahasa Indonesia merupakan

faktor yang menjadikan seorang penutur bahasa Indonesia, mengalami

kesulitan untuk memproduksi bunyi yang native like. Terfokus pada

keberadaan fitur distingtif pasangan bunyi [i:] dan [I] pada bahasa Inggris,

kriteria bunyi ini dapat dikategorikan sebagai monoftong yang merupakan

salah satu karakteristik dari delapan Primary Cardinal Vowel2 berdasarkan

pemikiran vowel limit atau batasan vokal dan vowel space atau tempat

terjadinya vokal yang merupakan vokal sederhana atau vokal murni, yang

dapat dipanjangkan selama mungkin dengan tanpa perubahan dari posisi

lidah (atau bibir), dan oleh karena ini tidak ada perubahan pada kualitasnya,

karena banyak vokal dalam bahasa Inggris di kebanyakan dialek Inggris

yang diftong (Catford, 2001:125, 134).

Fokus penelitian ini adalah pasangan bunyi panjang-pendek yang

memiliki posisi yang sama, namun dibedakan dalam fitur lama tidaknya

2 Lampiran 2

28

fonem tersebut diucapkan. Bunyi vokal tersebut diambil dari penggolongan

bunyi menurut pakar fonetik Daniel Jones (1957:64) yaitu pasangan bunyi

vokal yang menempati kuadran yang sama dalam diagram kardinal untuk

bahasa Inggris antara lain /i/ dan /i:/, /u/ dan /u:/, /ə/ dan /ɜ:/ serta /ɔ/ dan

/ɔ:/.

1.6.5.2 Kontras Teori Fonologi Bahasa Indonesia

Sistem fonologi bahasa Indonesia standar memiliki enam fonem

vokal (Halim, 1974:169) antara lain /i, u, e, ə, o dan a/. Masing-masing bunyi

vokal ini kecuali [ə] dan [a] secara fonetik diwakilkan oleh dua varian

alofonik: yang pertama menggunakan fitur [+tense] dan yang satunya

menggunakan fitur [-tense] yang mana varian fitur terakhir dikondisikan oleh

kemunculannya pada silabel akhir tertutup. Silabel ini adalah silabel dengan

segmen akhirnya berupa bunyi konsonan. Halim menegaskan bahwa dalam

hal durasi produksi bunyi vokal BI, yang muncul hanyalah berupa accent

pada bunyi-bunyi yang terdapat dibagian paling akhir, dimana durasi yang

terjadi relatif lama (1974:55).

Akan tetapi, BI bervariasi secara regional (Halim, 1974:10) dari

tempat yang satu ke tempat yang lain, yang menjadikannya jauh dari

keseragaman sistem bunyi dan membuka peluang bagi pengaruh sistem

sejumlah bahasa daerah. Hasil variasi BI dalam hal ini adalah dialek regional

misalnya BI yang diucapkan di wilayah Jawa yang memunculkan delapan

bunyi vokal yakni tiga bunyi vokal depan /i, I, e/, dua bunyi vokal madya /ə,

a/, dan tiga bunyi vokal belakang /u, o, ɔ/ sebagai hasil penyesuaian penutur

bahasa Jawa dalam membedakan delapan vokal bahasa Jawa sehingga

cenderung untuk melakukannya dalam BI (Dardjowidjojo dalam Halim,

1974:169). Dengan demikian, perbedaan wilayah geografis penutur bahasa

Indonesia dan ragam bahasa daerah yang digunakan, dapat menjadi penentu

variasi produksi bunyi dalam bahasa Inggris, khususnya pada fonem vokal

panjang-pendek.

29

1.6.5.3 Kontras Persepsi

Masalah dalam fonologi terkait kontras bahasa pertama dan kedua

dimunculkan oleh peranan persepsi sebagai fitur non-kebahasaan (Avery,

Dresher dan Rice, 2008:3). Pisoni dan Remez (2005:1-2) dalam “The

Handbook of Speech Perception” menggambarkan persepsi diawali dengan

penjelasan tentang ujaran yang bersifat unik diantara sistem komunikasi

hewan yang terbuka untuk transfer. Semakin banyak atau semakin sedikit

variasi sinyal akustik dari sebuah ujaran dalam sebuah bahasa yang dapat

ditranskripsikan sebagai sebuah tali visual dari simbol alfabetis nyata, maka

ujaran tersebut semakin dapat direproduksi oleh seorang pembaca.

Bagaimana seseorang mempengaruhi transformasi sinyal analog tersebut

menjadi pesan nyata dan sehingga dapat kembali direproduksi, demikian

pula sifat persepsi yang menjadi alat mediasi transformasi tersebut adalah

pusat masalah dari penelitian tentang ujaran.

1.6.5.4 Kontras Akuisisi Bahasa Kedua (Asing)

Faktor lain yang mempengaruhi kesulitan dalam menghasilkan bunyi

yang menyerupai bahasa kedua adalah kondisi mental pembelajar yang

menunjukkan adanya perbedaan perilaku terhadap bahasa pertama (bahasa

ibu) dan bahasa kedua dalam proses pemerolehannya, inilah bentuk fokus

kontras yang terakhir yakni terkait akuisisi. Penutur bahasa pertama

mendapatkan bahasa ibu untuk kepentingan komunikasi baik itu secara lisan

maupun tertulis sehingga perilaku yang ditunjukkan dalam proses adalah

dengan tidak sadar dalam lingkup situasi yang tidak formal dan motivasi

tinggi. Sebaliknya pembelajaran bahasa kedua tidak memberi signifikansi

kebutuhan mendesak akan penguasaan demi kepentingan komunikasi,

sehingga perilaku yang ditimbulkan adalah kesadaran untuk mempelajari

bahasa tersebut dalam lingkup situasi formal dan motivasi yang tidak terlalu

tinggi.

30

1.6.6 Interferensi

Pengucapan bahasa Inggris yang native like – RP merujuk kepada

pemilihan pengucapan yang disinggung sebelumnya – menjadi terkendala

oleh karena usia karena ada semacam kebiasaan pada orang dewasa dalam

menggunakan kognisinya tentang bahasa pertama atau bahasa yang

dikuasainya dengan sangat kuat dan kemudian mengaplikasikannya pada

bahasa target tanpa mengganggap perbedaan struktur bunyi di antara kedua

bahasa tersebut (Connor, 1967:2).

Interferensi bahasa pertama ini sulit untuk dihancurkan mengingat

bahwa seiring dengan usia, orang dewasa telah menjadi terbiasa

menggunakan sistem bahasa pertamanya dalam percakapan, sehingga sistem

ini mendominasi dalam dirinya. Disinilah proses fosilisasi terjadi yaitu

bunyi tertentu pada bahasa kedua digantikan secara konsisten dengan bunyi

yang dekat secara fonetik dengan bahasa pertama (Ellis, 1994:309). Dengan

demikian, ujaran-ujaran yang dihasilkan tidak identik dengan ujaran-ujaran

penutur asli dalam mengekspresikan makna yang sama. Gejala ini yang

disebut Selinker sebagai bahasa antara atau interlanguage (Sutama,

1990:26).

Analisis bahasa yang mendalam memiliki kontribusi dalam

membantu efisiensi pengajaran, terutama dalam pelafalan. Dengan

pengajaran yang baik, seorang pemakai bahasa asing, dapat melakukan

pelafalan yang relatif baik tanpa harus hidup terlebih dahulu dalam

komunitas bahasa yang dimaksud (Lapoliwa, 1988:107).

1.7 Hipotesis

Sesuai pemaparan yang terdapat pada latar belakang, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan landasan teori

diatas, hipotesis atau dugaan sementara yang dapat disampaikan pada

penelitian ini antara lain adalah:

1. Sistem bunyi pada bahasa Inggris dan Indonesia berbeda dalam hal

bunyi vokal panjang-pendek.

31

2. Penutur bahasa Indonesia bervariasi dalam perealisasian bunyi fonem

panjang-pendek bahasa Inggris.

3. Faktor non-kebahasaan terkait pemerolehan bahasa penutur bahasa

Indonesia mempengaruhi perealisasian fonem panjang-pendek bahasa

Inggris.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Pengumpulan data

1.8.1.1 Sampel, objek dan variabel penelitian

1. Sampel

Untuk menganalisis masalah dalam mengenali fonem panjang

pendek bahasa Inggris, 9 responden pengguna bahasa Indonesia

dipilih secara acak untuk dijadikan sampel. Mereka adalah

mahasiswa tahun pertama Sekolah Tinggi Teknologi

Kedirgantaraan, Yogyakarta, yang berasal dari wilayah timur

Indonesia dari Program Studi Manajemen Transportasi Udara,

Ground Handling dan Pramugari karena pengucapan yang baik

dalam bahasa Inggris begitu pentingnya bagi mereka terkait tugas

seorang ground handling atau tata operasi darat dan pramugari

dalam memberikan announcement atau pengumuman di bandara

maupun di dalam sebuah penerbangan.

2. Objek dan Variabel

Penelitian ini menggunakan diagram gelombang bunyi yang

didapatkan dari rekaman produksi masing-masing responden yang

didapatkan melalui metode simak menggunakan tehnik rekam.

Selain realisasi bunyi yang dihasilkan oleh responden yang

merupakan variabel dependen, ragam latar belakang sosial dan

faktor ekstra lingual terkait pemerolehan bahasa setiap penutur

yang adalah variabel independen dalam penelitian ini, menjadi

perhatian serius.

32

3. Kuesioner

Latar belakang penutur responden ini dirangkum dalam kuesioner

yang antara lain mencakup asal daerah dan bahasa ibu, motivasi,

minat terhadap skill yang ada dalam bahasa Inggris dan yang

terakhir berapa lama waktu penutur terpapar bahasa Inggris.

1.8.1.2 Alat dan bahan

Data yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah rekaman fonem

panjang-pendek bahasa Inggris yang diproduksi oleh responden yang

selanjutnya dianalisis realisasinya dengan menggunakan program Praat

yakni sebuah perangkat lunak komputer tak berbayar yang diciptakan Paul

Boersma dan David Weenink dari Phoenetic Science Departemen,

Universitas Amsterdam, yang berfungsi untuk mendeskripsikan bunyi.

Deskripsi tersebut akan digambarkan dalam bentuk diagram gelombang

bunyi yang kemudian akan diobservasi pola kemunculannya pada tiap-tiap

sampel. Setiap realisasi bunyi yang muncul kemudian dianalisis untuk

melihat kaitannya dengan faktor-faktor non-kebahasaan yang menjadi latar

belakang responden.

1.8.1.3 Instrumen

Pengucapan bahasa asing adalah sebuah two-fold process yang

melibatkan aural receptivity atau penerimaan oral atau pengenalan bunyi

seperti juga realisasi bunyi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan rekaman

realisasi fonem pada masing-masing responden, instrumen penelitian berupa

rekaman daftar kata pasangan minimal yang mengandung unsur-unsur

fonem panjang-pendek bahasa Inggris dan disusun dalam tiga sesi yakni

secara acak, secara berurutan dan di dalam frase, diucapkan oleh seorang

penutur asli bahasa Inggris yang selanjutnya akan didengarkan oleh

responden untuk ditirukan sehingga produksi dapat terjadi.

33

1.8.1.4 Validasi Instrumen

Guna memastikan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

valid sehingga menghasilkan data yang valid pula, uji coba setiap item

dalam instrumen tersebut dilakukan terlebih dahulu dimana hasilnya

selanjutnya dimasukkan ke dalam program SPSS 15 for Windows untuk

dihitung validitasnya. Bagi item yang ditemukan tidak valid, diganti atau

dihilangkan.

1.9 Analisis data

Proses pengaturan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar

untuk menemukan tema agar mendukung hipotesis adalah tujuan dari

analisis data (Patton,1980:268, Moleong,1989:112). Penelitian ini bersifat

kuantitatif yang mengetengahkan analisis statistik antara variabel

independen dengan variabel dependen melalui tahapan pengolahan data,

pengorganisasian data dan terakhir penemuan hasil (Koentjaraningrat,

1977:328-329). Namun penelitian ini juga kualitatif oleh karena

menggunakan analisis mendalam untuk menjelaskan luaran kuantitatif

tersebut di atas. Untuk memastikan hubungan di antara kedua variabel

tersebut, dilakukan pula analisis melalui wawancara mendalam (in-depth

interview) untuk melengkapinya (Moleong, 1989:24-25). Hal ini penting

karena dalam banyak hal, kedua bentuk data tersebut perlu untuk dianalisis

dan digunakan bersama demi keperluan menyusun hasil akhir (Glaser dan

Strauss, 1980:18). Penggunaan kedua data tersebut disebut pula dengan

metode agih dengan menggunakan tehnik substitusi yakni penggantian

bunyi.

Langkah penelitian yang dilakukan untuk tahap analisis ini antara lain

sebagai berikut:

1. Menjelaskan gagasan kontras yang muncul pada sistem fonologis

bahasa Inggris dan bahasa Indonesia berhubungan dengan panjang-

pendeknya fonem, termasuk sistem artikulatori yang terlibat dalam

34

perealisasian berikut contoh-contoh dalam kata untuk masing-masing

bahasa.

2. Memasukkan realisasi fonem vokal para responden yang terlihat

dalam diagram gelombang bunyi ke dalam pengelompokan fonem

yakni fonem panjang dan pendek untuk kemudian dilihat dan dihitung

kecenderungan produksinya.

3. Merumuskan dan mendeskripsikan pola yang muncul dari

pengelompokan realisasi fonem ketigapuluh responden tersebut

apakah lebih kepada memanjangkan atau memendekkan sehingga

persepsi dapat disimpulkan.

4. Mengkategorikan faktor-faktor ektra-lingual responden berdasarkan

hasil pencatatan kuesioner dan wawancara yang selanjutnya

digunakan sebagai variabel independen.

5. Melakukan analisis tentang keterkaitan produksi bunyi dengan

variabel indepeden yaitu latar belakang responden.

6. Menyusun kesimpulan dari luaran yang ada.

1.10 Penyajian Hasil

Hasil analisis yang berupa kaidah-kaidah dapat disajikan melalui dua

cara, yaitu (1) perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk

penggunaan terminologi yang bersifat teknis, dan (2) perumusan dengan

menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang (Mahsun, 2005:123).

Penelitian ini menggunakan penyajian hasil analisis data dengan kedua cara

tersebut yakni secara informal menggunakan kata-kata disertai terminologi

teknis dalam linguistik, dan juga penulisan simbol-simbol fonem

menggunakan alfabet fonetis.

35

1.11 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang

mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode

penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab II dipaparkan secara rinci

tentang gagasan kontras sistem fonem vokal pada bahasa Inggris dan bahasa

Indonesia. Bab III berfokus pada realisasi produksi bunyi fonem vokal

bahasa Inggris oleh penutur bahasa Indonesia. Bab IV membentangkan

bagaimana faktor non-kebahasan penutur bahasa Indonesia mempengaruhi

produksi fonem vokal bahasa Inggris. Bab V yang merupakan bab terakhir

menyajikan kesimpulan yang dihasilkan dari luaran dan saran bagi

penelitian selanjutnya tentang fonologi dan pengucapan bahasa Inggris.