Upload
dinhnhu
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanyaan “Mengapa manusia menggunakan bahasa?”, umumnya
dijawab dengan “untuk mengomunikasikan pemikiran” yang selanjutnya
dikenali sebagai fungsi bahasa (Crystal, 1987:10). Namun, bagaimana
manusia mengomunikasikan pemikiran mereka dengan adanya ragam
bahasa sebagai kendala perlu mendapatkan perhatian. Dalam hal
keberagaman bahasa, setiap bahasa berbeda dalam sistem fonetik, fonologi,
morfologi, semantik bahkan leksikon yang kesemuanya memiliki
regularities of the underlying language system or code (Scandera dan
Burleigh, 2005:1) atau disebut juga rule-governed – mengikuti serangkaian
kaidah tertentu yang berfungsi mengatur penggunaan bahasa yang
digunakan (Dardjowidjojo, 2009:11-12).
Pemahaman tentang kontras dan kesinambungan struktur pada sistem
yang dipelopori oleh Saussure dikenal dalam sistem fonologi (Foley,
1997:93). Hal ini dapat dipahami karena bahasa utamanya adalah sesuatu
yang diucapkan, parole sebagai performance atau keluaran bahasa
(Scandera dan Burleigh, 2005:1), bukan dituliskan. Sistem perekaman
pemikiran dan ujaran dengan menggunakan tulisan menjadi langkah
perubahan penting dalam bahasa yang terjadi belakangan yang
perkembangannya dilakukan oleh para pendahulu (Wood, 1954:1).
Sistem bunyi-bunyian yang diproduksi manusia beragam, sehingga
akan memunculkan persoalan dalam interaksi seseorang yang mencoba
berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki lingkungan pengguna
bahasa yang berbeda. Dalam kasus penggunaan bahasa Inggris oleh penutur
bukan Inggris terkait pemerolehan bahasa kedua, pembelajar umumnya
melakukan kegagalan dalam memproduksi bunyi yang native like (seperti
penutur asli), terutama jika mereka termasuk kategori pembelajar yang
2
mulai belajar sesudah lewat masa kanak-kanak. Kurangnya akurasi dalam
menimbulkan sistem bunyi yang target like (layaknya bahasa sasaran), dapat
dipengaruhi oleh bahasa pertama yang dikenal dengan istilah first language
interference (Krashen, 1981:64).
Hipotesis analisis kontrastif yang dipaparkan Lado (1957)
menegaskan bahwa sistem bunyi bahasa kedua (yang selanjutnya disebut
B2) yang memiliki kedekatan karakteristik atau mirip dengan sistem bunyi
bahasa pertama (yang selanjutnya disebut B1), ditemukan lebih mudah
dipelajari. Beberapa model dalam penelitian yang lebih kini, antara lain
Perceptual Assimilation Model – Model Asimilasi Persepsional (Best dan
Strange, 1992:305-331) serta Speech Learning Model – Model
Pembelajaran Pengucapan (Flege,1995:437-470), menunjukkan perbedaan
pendapat dengan hipotesis analisis kontrastif dalam hal formasi kategori
bunyi B2 yang justru muncul pada bunyi B2 yang rata-rata mirip dengan
B1, dibandingkan kasus bunyi yang sangat mirip maupun sangat berbeda,
juga adanya kecenderungan pembelajar untuk menghasilkan kemiripan yang
lebih besar pada kategori target like jika ketidakmiripan yang ada pada
kedua bahasa lebih besar sehingga memberikan paparan yang memadai dan
pengalaman dengan bahasa target. Terlepas dari perbedaan model tersebut
diatas dalam hal arah pengaruh B1 pada pembentukan B2, karakteristik
tersebut tetap mengemuka.
Mereka yang mengetahui dan mempelajari bahasa Inggris secara tidak
sadar akan memiliki kemampuan untuk mengenali bahwa segmen-segmen
bunyi dalam bahasa ini tidak tergantung pada bagaimana sebuah kata dieja
dalam tulisan. Mereka akan dapat menggambarkan semua bunyi yang
digunakan, mengetahui di mana harus meletakkan break atau jeda, dan tidak
bermasalah untuk secara berkesinambungan melakukan pergerakan
artikulator untuk memproduksi bunyi-bunyi tersebut dengan tepat (Fromkin,
1993:177-178). Akan tetapi, penutur bahasa lain terkadang memiliki
kekurangan kemampuan aktual untuk mengelompokkan bunyi-bunyi bahasa
Inggris ke dalam urutan unit yang berbeda dalam menyampaikan makna.
3
Hal ini dikarenakan Written English – bahasa Inggris tertulis, dibentuk dari
huruf dan Spoken English – bahasa Inggris oral, yang dibentuk dari bunyi
merupakan dua hal yang sangat berbeda (Hancock, 2003:10). Transkripsi
written text yang dikenal juga sebagai sistem ejaan dari 26 alfabet, lebih
sederhana dan tidak sama dibandingkan dengan transkripsi spoken yang
lebih rumit yang dalam American English – bahasa Inggris Amerika
mewakili 15 bunyi vokal dan 28 bunyi konsonan (Fromkin, 1993:207-209)
dan dalam bahasa Inggris yang dipakai di Australia menurut Finegan dan
rekan (1992:34) mewakili 20 bunyi vokal yakni 12 vokal murni dan 8
diftong (Finegan dan rekan, 1992:40) dan 24 bunyi konsonan. Perbedaan
antara jumlah fonem dalam bahasa dan huruf dalam abjad akan
mempengaruhi bagaimana sebuah kata diucapkan.
Dalam BI atau bahasa Indonesia, perbedaan dalam produksi satu suara
untuk satu kata yang sama, dapat mengarah kepada variasi dialek misalnya
bunyi [ə] dan [e] yang bersifat interchangeable atau dapat dipertukarkan
tanpa merubah makna pada [məlawan] – BI standar dan [melawan] – dialek
Indonesia bagian barat Sumatera dan bagian timur, atau bunyi [a] dan [ə] di
posisi ultima pada [bagaimana] – BI standar dan [bagaimanə] – dialek
Indonesia Melayu. Contoh lain yang berkaitan dengan panjang-pendek
bunyi dapat dilihat pada penggunaan variasi [marI] dan [mari:] serta [Ikut]
dan [Iku:t] yang dianggap berbeda hanya jika dipandang dari sisi ekstra-
linguistik saja, yakni menunjukkan kedekatan penutur dan bertujuan untuk
memberi kesan persuasif. Makna semacam ini yang menurut Finegan dan
rekan (1992:136-137) digambarkan sebagai makna sosial yang
mengidentifikasikan karakter sosial penutur dan situasi karakter bahasa yang
digunakan dan makna afektif yang menyatakan perasaan, perilaku dan
pendapat tentang informasi yang terdapat dalam konteks.
Dalam bahasa Inggris, perbedaan tersebut dapat mengakibatkan
kesalahpahaman karena perbedaan kualitas panjang-pendek bunyi bersifat
fonemis yakni membedakan makna. Dapat dipastikan akan timbul masalah
ketika sebuah kata diucapkan dengan cara yang berbeda, khususnya dalam
4
kasus penggantian antar bunyi vokal yang memiliki posisi lidah yang sama
misalnya pada dua bunyi vokal depan tinggi [i:] dan [I]. Kata sheep /ʃi:p/
„biri-biri‟ (n) dan ship /ʃIp/ „kapal‟ (n), meskipun memiliki kelas kata yang
sama yakni kata benda, namun masing-masing leksikon tersebut merujuk
pada dua benda yang berbeda. Penggunaan sistem bunyi yang tidak pada
tempatnya pada kalimat The Johnsons go to Australia by ship, memberi
gambaran makna yang benar-benar berbeda apakah keluarga Johnson pergi
ke Australia menggunakan kapal atau biri-biri. Contoh lain dapat dilihat
pada deep /di:p/ (adj) „dalam‟ dan dip /dIp/ (v) „mencelupkan‟ jelas
memiliki bunyi, kelas kata dan arti yang berbeda, tetapi mungkin terdengar
dan diucapkan dengan cara yang sama oleh pembelajar EFL (English as A
Foreign Language) - Inggris sebagai bahasa asing.
Menurut Jones (1957: 65-68), masalah ini muncul pada banyak
pembelajar asing dan khususnya penutur bahasa Romawi karena mereka
menggunakan bunyi yang terlalu tense atau tegang yang kenyataannya
mereka tidak membuat pembedaan yang dibutuhkan antara bunyi pendek
bahasa Inggris [I] dan bunyi panjang [i:]. Lado (1954: 1-2) menambahkan,
bahwa masalah dapat juga timbul disebabkan oleh realisasi bunyi [i:] yang
muncul pada beberapa ejaan dalam kata seperti pada read, see, people,
machine, believe, receive, we dan key. Dari kata-kata yang disajikan tersebut
ditemukan bahwa ejaan ea, ee, eo, i, ie, ei, e dan ey dibaca dengan
pengucapan yang sama yaitu [i:] sehingga transkripsi fonetis dari kata-kata
tersebut menjadi /ri:d, si:, pi:pl, məʃi:n, bIli:v, rIsi:v, wi; dan ki:/ dalam
kamus Oxford (1980) yang bagi pembelajar bahasa kedua, khususnya yang
tidak memiliki sistem pengucapan dan penulisan yang berbeda pada bahasa
yang dikuasainya, menjadi kendala dalam perealisasian bunyi-bunyi
tersebut.
Dardjowidjojo (2009:49) membandingkan bunyi dalam bahasa Inggris
dan menyatakan bahwa beberapa bunyi tidak ditemukan dalam BI.
Mengenai bunyi vokal, BI bahkan dikatakan tidak memiliki konsistensi
dalam pengucapan. Ada yang menyebutkan sepuluh (Chaer, 2009: 42) dan
5
ada yang enam berdasarkan kedudukan lidah dan bulat tidaknya bibir
(Alieva et al, 1991: 34), sementara bahasa Inggris memiliki sekurang-
kurangnya sebelas bunyi vokal yang kemudian mengakibatkan adanya
masalah besar bagi penutur Indonesia dalam mempelajari bunyi vokal
bahasa Inggris (2009:54).
Penelitian internal bahasa tidak dapat dilepaskan dari faktor non-
kebahasaan seperti pengaruh sosial penutur yang membatasinya. Doktrin
dasar dari strukturalisme yang diusung Foley menggarisbawahi pengaruh
lingkungan terhadap dinamika yang terjadi pada tubuh bahasa dikarenakan
sifat dari elemen benda tidak terletak benda-benda tersebut, tetapi pada
hubungan di antaranya. Signifikansi hanya ditemukan dalam keterkaitan
semua elemen tersebut pada sistem sehingga pada keseluruhan sistemlah
terletak karakter kontras dan perbandingan yang selanjutnya mendefinisikan
masing-masing dan setiap elemen di dalamnya (Foley, 1997: 92-93). Latar
belakang pembelajar pastinya mempengaruhi pemerolehan B2, terutama
kaitannya dengan karakter kontras dan perbandingan dengan B1 yang
terletak pada sistemnya. Gagasan ini merujuk pada penutur Indonesia yang
mempelajari bahasa Inggris dengan karakteristik sistem bunyi yang berbeda.
Menurut Holmes (1992:11, 16-17), beberapa faktor sosial bersifat
relevan dalam memperhitungkan penggunaan variasi bahasa tertentu,
bahkan hubungan antara pilihan kebahasaan dan konteks sosial lebih mudah
dilihat ketika bahasa-bahasa yang berbeda dilibatkan. Lebih lanjut,
hubungan antara bahasa dan sosial dapat digambarkan dalam empat arah
pengaruh yaitu struktur sosial dapat mempengaruhi ataupun menentukan
struktur dan atau perilaku linguistik, struktur dan perilaku linguistik dapat
mempengaruhi ataupun menentukan struktur sosial, pengaruh bi-directional
atau dua arah dimana bahasa dan sosial saling mempengaruhi satu sama lain
dan hubungan yang independen atau tidak ada hubungan sama sekali antara
struktur linguistik dan sosial (Wardhaugh, 1986:9-10). Penelitian
menyangkut faktor-faktor sosial dalam hubungannya dengan bahasa dapat
6
menggunakan klasifikasi jenis kelamin, usia, kelas dan lokasi geografis
(Cutting, 2008:59).
Terkait ujaran, faktor lain yang tidak dapat diabaikan dalam memberi
pengaruh signifikan terhadap produksi bunyi adalah proses mental atau
variabel psikologis mengenai persepsi terhadap bagaimana bunyi-bunyi itu
dibuat, fitur-fitur mana yang terlibat dan bagaimana bunyi-bunyi itu
digabungkan. Perbedaan satu bunyi dengan bunyi yang lain yang terletak
pada fitur distingtif sangat penting untuk diketahui dalam membedakan
pasangan minimal (Dardjowidjojo, 2003:47-48). Dalam hal persepsi,
penutur BI yang tidak mengenal fitur distingtif fonem panjang-pendek
karena tidak terdapat pada sistem bunyi BI akan mengalami kendala untuk
memproduksi atau tidak memproduksi bunyi tersebut dalam pengucapan
kata-kata berbahasa Inggris. Variabel lain adalah terkait akuisisi
bahasabahasa pertama seseorang, motivasi, perilaku dan faktor individual
lain (Steinberg dkk, 1982:169).
Pelajar dari wilayah timur biasanya mengalami kesulitan untuk
menyesuaikan diri pada waktu melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa,
terutama dalam keterampilan berbahasa Inggris mereka. Ini didapatkan
melalui pengamatan penulis sebagai pengajar bahasa Inggris di tiga
universitas swasta di Yogyakarta. Kebanyakan dari mereka tidak dapat
berkompetisi dengan pelajar dari wilayah lain, oleh karena itu penelitian ini
mengambil penutur bahasa Indonesia dari wilayah timur sebagai objek.
Penelitian ini berupa studi kasus dengan sampel dari penelitian ini
mahasiswa tahun pertama Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan
(STTKD) Yogyakarta dari tiga program studi yaitu Manajemen Transportasi
Udara, Ground Handling atau tata operasi darat dan Pramugari, memiliki
kepentingan khusus dalam pengucapan bahasa Inggris. Hal ini berkaitan erat
dengan pekerjaan di dunia kedirgantaraan yang akan digeluti nantinya yang
menyinggung tanggung jawab dalam memberikan announcement atau
pengumuman di bandara dan di sebuah penerbangan. Ketepatan pengucapan
bunyi-bunyi bahasa Inggris akan meminimalkan pemahaman yang salah
7
terhadap informasi yang disampaikan. Ragam latar belakang non-
kebahasaan pastinya memberikan kontribusi pada variasi produksi fonem-
fonem vokal bahasa Inggris mereka. Kajian ini difokuskan pada mahasiswa
yang berasal dari Indonesia wilayah timur selain untuk membatasi terlalu
banyaknya varian latar belakang wilayah penutur BI tetapi juga mengingat
bahwa mahasiswa STTKD dari daerah tersebut cukup meningkat dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir.
1.2 Rumusan Masalah
Beranjak dari penjelasan tentang latar belakang di atas, penelitian ini
merumuskan masalah seputar fonem panjang-pendek monoftong vokal
bahasa Inggris antara lain:
1. Bagaimana sistem fonem vokal panjang dan pendek pada bahasa
Inggris dalam gagasan kontras dengan bunyi vokal Bahasa Indonesia?
2. Bagaimana para penutur bahasa Indonesia di wilayah timur
menghasilkan fonem vokal panjang dan pendek dalam bahasa Inggris?
3. Bagaimana latar belakang non-kebahasaan mempengaruhi penutur
bahasa Indonesia di wilayah timur dalam memproduksi panjang-
pendek bunyi vokal bahasa Inggris yang membedakan makna?
1.3 Tujuan Penelitian
Memperhatikan latar belakang dan masalah yang dirumuskan,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendiskripsikan bunyi-bunyi panjang dan pendek vokal bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia.
2. Mengetahui dan mendiskripsikan bagaimana penutur bahasa Indonesia
di wilayah timur merealisasikan bunyi-bunyi panjang dan pendek
vokal bahasa Inggris.
3. Mendeskripsikan bagaimana latar belakang non-kebahasaan penutur
bahasa Indonesia memberi pengaruh dalam menentukan produksi
fonem panjang dan pendek vokal bahasa Inggris.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan terlaksananya penelitian yang didasarkan pada rumusan
masalah dan tujuan penelitian ini, diharapkan akan didapatkan beberapa
manfaat antara lain:
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Memberikan wawasan tentang fonem panjang-pendek yang
terdapat dalam bahasa Inggris dan bagaimana bunyi-bunyi
tersebut membedakan makna.
2. Menggambarkan fenomena bunyi panjang-pendek dalam bahasa
Indonesia sebagai variasi bahasa.
3. Sebagai acuan mengenai variasi bunyi bahasa Inggris yang
diproduksi oleh penutur bahasa Indonesia dalam kategori
kelompok sosial dan kondisi internal tertentu.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Keberagaman bahasa dalam gagasan kontras bahasa Inggris dan
Indonesia pada tataran fonologi akan menimbulkan pemahaman
lintas budaya demi kepentingan komunikasi dan sosialisasi dua
negara yang berbeda.
2. Hasil penelitian ini akan memberi manfaat praktis pada bidang
pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia
khususnya bidang fonologi terkait identifikasi dan latihan
pengucapan sehingga dapat mempermudah dan memberi
sensitifitas pembelajar Indonesia dalam mengucapkan dan
membedakan bunyi-bunyi tersebut dengan tepat.
3. Temuan terkait faktor non-kebahasaan penutur yang
mempengaruhi produksi fonem bunyi panjang-pendek, akan
memberi kontribusi kepada pengajar bahasa Inggris untuk
penutur bahasa Indonesia, dalam merancang disain
pembelajaran untuk kefasihan dan ketepatan.
9
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu terkait segmentasi bunyi telah dilaksanakan di
banyak negara yang mana bahasa Inggris masih dianggap sebagai bahasa
asing. Kebanyakan dari analisis tersebut menunjukkan kesulitan dan
masalah yang dihadapi pembelajar EFL dalam memproduksi bunyi-bunyi
yang native-like seperti yang muncul pada penelitian yang dilakukan oleh
Thao (2007) yang menunjukkan upaya orang Vietnam untuk mengucapkan
bunyi konsonan akhir pada kata bahasa Inggris yang mengarah kepada
omitting atau penghilangan bunyi, penambahan bunyi schwa atau
penggantian dengan bunyi-bunyi yang lebih mendekati bunyi yang ada pada
bahasa ibu (mother tongue) mereka.
Penelitian lain (Prachanboriban, 1958; Lakhawatana, 1969;
Chanyasupab, 1982; Malarak, 1998; dan Mano-im, 1999) seperti yang
dikutip oleh Yangklang (2006) menunjukkan bahwa pelajar Thailand
cenderung mengucapkan bunyi bahasa Inggris dengan tidak tepat yaitu
menggantikannya dengan bunyi konsonan Thailand. Bunyi yang dimaksud
adalah bunyi konsonan akhir pada kebanyakan kata bahasa Thailand
diturunkan oleh para pelajar. Sebagai contoh, kata “fine”, “find” dan “file”
semuanya diucapkan secara mirip.
Mengenai bunyi vokal bahasa Inggris, Deterding (2007) menaruh
perhatian serius pada pembelajar EFL di Singapura. Dari temuannya,
Deterding membedakan kualitas bunyi vokal variasi bahasa Inggris
Singapura, Malaysia, Brunei, Hongkong dalam hal intonasi pada 41 siswa
perempuan yang membaca “The Wolf”. Latar belakang etnik memberi peran
dalam perbedaan ini. Prawati (2007) dalam analisisnya juga menunjukkan
masalah yang serupa dalam mendiskriminasikan bunyi diantara siswa
semester pertama program studi bahasa Inggris di Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Riau, khususnya dalam membedakan bunyi vokal pendek dan
panjang.
Menyinggung tentang peranan latar belakang non-kebahasaan dalam
pelafalan bunyi bahasa Inggris, Senel (2006) menggunakan pembelajar
10
bahasa Inggris di Turki sebagai responden. Pembahasannya mencakup
faktor bahasa ibu, usia, jumlah paparan, kemampuan fonetis, kepribadian
dan perilaku serta motivasi. Drilling adalah tehnik yang dimunculkan
sebagai saran pada penelitian tersebut guna mengatasi kesulitan dalam
mengucapkan bahasa target secara akurat.
Dengan demikian, penelitian tentang variasi panjang-pendek fonem
vokal bahasa Inggris oleh penutur bahasa Indonesia wilayah timur ini belum
pernah diteliti sebelumnya sehingga layak untuk dikaji lebih dalam.
1.6 Landasan Teori
Dari parent language atau bahasa proto Indo-Eropa yang selanjutnya
mengerucut menjadi rumpun bahasa Primitive Germanic dengan sub-divisi
West Germanic (Wood, 1954:13), hanya bahasa Jerman yang diantara
bahasa-bahasa serumpun lainnya sama dengan bahasa Inggris dalam
memiliki karakter bunyi vokal panjang-pendek pembeda makna.
Menjadikan pembahasan tentang panjang-pendek fonem vokal ini menarik
karena di kalangan sub-divisi tersebut, hanya kedua bahasa tersebut yang
menekankan perbedaan signifikan bunyi lax atau kendur dan tense atau
tegang untuk pasangan minimalnya.
Masing-masing vokal panjang-pendek dalam bahasa Inggris yang
muncul pada masa late Old English, yaitu periode akhir bahasa Inggris
Kuno dan bertahan hingga Middle English, yakni bahasa Inggris
Pertengahan dengan masa kemunculan The Great Vowel Shift oleh Grimms
sebagai wujud perkembangan bunyi vokal, vokal-vokal pendek
dipanjangkan atau sebagai akibat peminjaman kata dari bahasa Perancis
(Wood, 1954:75-76) yang dibedakan menggunakan parameter fonetik tense
vs lax sebagai distictive feature yang menurut Chomsky dan Halle (1968:65)
provide a representation of an utterance which can be intepreted as a set of
instructions to the physical articulatory system.
Tataran linguistik menyangkut produksi bunyi vokal dikategorikan
dalam fonologi yang secara umum mempelajari, menganalisis dan
11
membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa dan selanjutnya dibagi menjadi
dua objek studi menurut hierarki satuan bunyi yaitu fonetik dan fonemik.
Fonetik dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi
bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai
fungsi sebagai pembeda makna atau tidak (Verhaar, 1977:12; Ramelan,
1982:3). Sementara fonemik (disebut fonologi oleh sarjana lain Fromkin,
1993:216; Finegan dan rekan, 1992:34) dikenal sebagai studi fonologi yang
memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna (Chaer,
2003:102; Verhaar, 2010:68-69).
1.6.1 Fonetik
Lebih lanjut penjelasan mengenai fonetik digambarkan melalui
urutan proses terjadinya bunyi bahasa dimana ada tiga jenis fonetik yakni
fonetik artikulatoris, fonetik akustik dan fonetik auditoris (Chaer,
2003:103). Bagaimana bunyi bahasa itu diucapkan dan dibuat sesuai
mekanisme alat-alat bicara yang ada dalam tubuh manusia serta bagaimana
bunyi bahasa diklasifikasikan berdasarkan artikulasinya dimasukkan dalam
fonetik artikulatoris atau dikenal juga sebagai fonetik organis atau fonetik
fisiologis (Chaer, 2003:103; Marsono, 2008:2). Sementara itu, penggunaan
alat-alat fisik untuk mempelajari sifat dari gelombang bunyi yang dihasilkan
dalam bahasa manusia disebut dengan fonetik akustik. Pada fonetik akustik,
penggunaan mesin untuk mengenali bunyi secara otomatis, identifikasi
suara dan memproduksi bunyi-bunyi sintetik dapat dilakukan (Finegan dkk,
1992:39). Yang terakhir yakni fonetik auditori berkutat pada persepsi bunyi
oleh otak melalui telinga pendengarnya. Fonetik ini masih sedikit mendapat
perhatian dan peran pada linguistik saat ini (Fromkin, 1993:179).
Fonetik artikulatoris dikatakan banyak berkaitan dengan linguistik
sehingga cenderung mendapat porsi lebih besar dalam pembahasan dalam
kajian (Marsono, 2008:2). Lebih lanjut kategori fonetik ini dibagi lagi
menjadi beberapa kelompok berdasarkan mekanisme aliran udara paru-paru
(pulmonic airstream mechanism) yang pembagiannya antara lain dilihat dari
12
arah aliran udara yang dikeluarkan dari paru-paru (egressive atau ejective
airstream mechanism) yang ditemukan pada bahasa Inggris dan dibanyak
bahasa Amerika di India, Afrika dan Caucasia, maupun arah aliran udara
yang dihisap masuk paru-paru (ingressive atau implosive airstream
mechanism dan clicks) yang terdiri dari dua jenis dimana jenis pertama
implosive ditemukan pada bahasa Amerika orang Indian, Afrika, India dan
Pakistan, sementara jenis kedua clicks ditemukan pada bahasa Bantu Selatan
seperti Xhosa dan Zulu serta bahasa yang dipakai oleh Bushmen dan
Khoikhoi (Fromkin, 1993:187). Pembahasan pembagian fonetik artikulatoris
selanjutnya, didasarkan pada bunyi pulmonic egressive airstream
mechanism yaitu bunyi dihasilkan oleh aliran udara keluar dari paru-paru.
Pengelompokan bunyi pulmonic egressive airstream mechanism
oleh Fromkin (1993:187) yang pertama dilihat dari pembedaan bunyi
bersuara dan tidak bersuara. Proses produksi bunyi sesuai kategori ini terjadi
karena adanya aliran udara dari paru-paru bergerak melalui batang
tenggorok dan melalui pembukaan di antara pita-pita suara sehingga
membentuk celah yang disebut glottis. Jika pita-pita suara terbuka, aliran
udara tidak terhambat sehingga mengalir bebas ke dalam supraglottal
cavities (bagian dari vocal tract di atas glottis), maka bunyi yang dihasilkan
adalah tak bersuara. Bunyi ini diwakilkan oleh [p, t, k] dan [s]. Sebaliknya,
jika pita-pita suara menyatu, aliran udara menekan jalan keluar dan
mengakibatkan pita-pita tersebut bergetar sehingga menghasilkan bunyi
yang bersuara. Bunyi-bunyi tersebut diwakilkan oleh [b, d, g] dan [z].
Perbedaan ini menjadi salah satu fitur fonetik yang penting dalam bahasa
Inggris.
Pengelompokan selanjutnya oleh Fromkin (1993:189) dilihat dari
perbedaan tempat keluaran aliran udara yakni hanya mulut (oral) atau
hidung dan mulut (nasal). Dalam menghasilkan bunyi bersuara, ada
perbedaan antara bunyi [b] dan [m]. Jika melihat bagaimana proses
menghasilkan bunyi bersuara diatas, kedua bunyi tersebut dikategorikan
dalam kelompok bunyi bersuara, tetapi ada perbedaan yang signifikan dari
13
tempat keluaran udaranya. Yang pertama, udara yang mengalir keluar
terjadi ketika langit-langit lunak yang disebut velum (soft palate) yang
berada di bagian belakang atas mulut, terangkat sampai menyentuh bagian
belakang tenggorokan sehingga menghalangi aliran udara ke arah hidung
maka udara hanya dapat keluar melalui mulut. Bunyi berikutnya dihasilkan
dengan sedikit menurunkan velum sehingga udara mengalir keluar bukan
hanya melalui mulut saja, melainkan juga melalui hidung lewat velum.
Inilah fitur fonetik berikutnya dalam fonetik artikulatori yang
memungkinkan satu bunyi dimasukkan dalam lebih dari satu kelas
klasifikasi, misalnya [b] yang oral bersuara.
1.6.1.1 Bunyi Konsonan
Pengelompokan fonetik artikulatoris berikutnya dibagi berdasarkan
tempat penyempitan aliran udara yang membedakan produksi bunyi ketika
seseorang mengganti bentuk rongga mulut salah satunya dengan
menggerakkan bibir dan lidah. Perubahan tempat penyempitan alat-alat
bicara (artikulator) dalam rongga mulut disebut juga dengan fonetik organik
yang menghasilkan bunyi konsonan (Verhaar, 2010:31) yakni dibagi
menjadi sepuluh antara lain penyempitan yang terjadi, (1) di antara akar
lidah dan dinding belakang rongga kerongkongan menghasilkan bunyi [h],
(2) di antara pangkal lidah dan anak tekak menghasilkan bunyi [ɍ], (3) di
antara pangkal lidah dan langit-langit lunak menghasilkan bunyi [k, g, ŋ, x]
dan [ɦ], (4) di antara tengah lidah dan langit-langit keras menghasilkan [ʃ, ʒ,
c] dan [j], (5) di antara daun lidah dan langit-langit keras menghasilkan [s]
dan [z], (6) di antara ujung lidah dan langit-langit keras menghasilkan [d],
(7) di antara ujung lidah dan gigi atas menghasilkan [t] dan [d], (8) di antara
ujung lidah dan lengkung gigi atas menghasilkan [Ɵ] dan [ð], (9) di antara
bibir bawah dan gigi atas menghasilkan [f] dan [v], serta terakhir (10) di
antara bibir atas dan bibir bawah menghasilkan [p, b] dan [wb]. Kesemua
jenis tempat penyempitan oleh Verhaar tersebut dikenal sebagai tempat
14
artikulasi kecuali yang disebut terjadi di antara pita-pita suara karena
dilakukan untuk menghasilkan bunyi vokal [a] atau [o].
Fitur-fitur fonetik berikutnya adalah merupakan penggolongan
bunyi berdasarkan cara artikulasinya. Melalui penggolongan ini, kedua
bunyi alveolar tak bersuara [t] dan [s] yang tidak dapat dijelaskan dengan
pembedaan aliran udara apakah oral atau nasal, dapat dibedakan. Fromkin
(1993:193-198) membaginya menjadi:
1. Hambat yaitu kondisi aliran udara yang masuk ke rongga mulut
dihentikan dengan sempurna untuk waktu tertentu dan kontinuan yaitu
keadaan aliran udara berlanjut keluar karena interupsi yang tidak
sempurna karena mulut yang terbuka. Dalam menghasilkan bunyi
nasal, aliran udara dihambat sempurna oleh mulut, oleh karena itu,
meskipun aliran udara “melarikan diri” melalui hidung, istilah hambat
ditujukan pada proses penghentian menggunakan mulut sehingga
bunyi nasal tetap digolongkan sebagai hambat. Bunyi-bunyi hambat
non-nasal disebut juga plosif atau letupan karena udara yang dihambat
di mulut “meletup” pada waktu penghambatnya dilepaskan.
2. Aspirat yakni kondisi aliran udara yang dihambat menghasilkan ekstra
tekanan udara segera sesudah hambatan dilepas akibat kondisi
lingkungan dan non-aspirat yaitu pita suara yang mulai bergetar
seketika pada waktu mulut mulai dibuka. Kedua kondisi ini
disebabkan oleh bunyi yang ada pada lingkungannya.
3. Frikatif yang merupakan cara artikulasi dalam memproduksi bunyi
yang tidak dihambat sempurna tetapi hanya dihambat agar tidak
mengalir dengan bebas. Yang termasuk dalam pengelompokan ini,
juga masuk dalam kategori kontinuan karena meskipun aliran udara
dihambat pada waktu melalui rongga mulut, tapi tidak terhambat
sempurna sehingga mengakibatkan munculnya getaran atau friksi
melalui celah yang sempit. Selanjutnya ada bunyi afrikatif yang
dihasilkan dengan hambatan sempurna diikuti segera dengan
pelepasan lambat. Bunyi ini dikategorikan juga sebagai hambat.
15
4. Liquids dan glides. Bunyi yang masuk jenis pertama terjadi jika
hambatan yang ditimbulkan tidak sempurna, tetapi tidak cukup kuat
juga menimbulkan friksi. Jenis liquids lateral terjadi jika aliran udara
keluar melalui celah sisi lidah, sementara jenis getaran atau trill atau
di beberapa bahasa disebut retroflex, tap atau flap ditimbulkan oleh
hambatan dengan menggetarkan ujung lidah dengan aliran udara
keluar sebagian. Bunyi jenis berikutnya (glides), dihasilkan dengan
hambatan yang sangat minim bahkan hampir tidak ada dan pada
waktu kemunculannya pada sebuah kata biasanya segera mengikuti
atau diikuti oleh bunyi vokal sehingga lidah dikatakan melakukan
transisi mendekati atau menjauhi bunyi vokal disekitarnya.
1.6.1.2 Bunyi Vokal
Apabila aliran udara yang keluar dari paru-paru dihambat
berdasarkan letak dan cara artikulasinya dengan tingkat hambatan yang
beragam maka akan dihasilkan bunyi konsonan. Sebaliknya, aliran udara
yang bebas keluar melalui pita suara yang terbuka dan melewati rongga
mulut tanpa hambatan dan tanpa penyempitan menghasilkan bunyi vokal,
oleh karenanya semua bunyi vokal adalah bersuara (Jones, 1957:23).
Pembeda lain bunyi vokal dari konsonan adalah relatifitas kenyaringan atau
kekuatan dorongan mencakup length, kekuatan nafas dan pitch dari suara
yang konstan sehingga menjadikannya sonoran (MacCarthy, 1956:25).
Lebih rinci bunyi ini dijelaskan Pike (1971:13-14) sebagai bunyi vokoid
yang dihasilkan dengan udara yang keluar (1) dari mulut, (2) di atas pusat
lidah (sehingga tidak lateral) dan (3) tanpa friksi pada mulut.
Yang membedakan masing-masing bunyi vokal adalah
penggolongan berdasarkan kualitas konfigurasi pita suara maupun bentuk
dan ukuran rongga mulut yangbertindak sebagai ruang resonan untuk aliran
udara bersuara mengikuti jalannya melalui laring (Fromkin, 1993:199;
MacCarthy, 1956:27; Jones, 1957:30). Bagian lidah yang berbeda dapat
dinaikkan maupun diturunkan. Bentuk bibir dapat direntangkan atau
16
membundar. Arus udara dapat pula dikeluarkan melalui hidung sehingga
menghasilkan nasal. Selanjutnya fitur lain yang menggambarkan vokal
dibedakan dari lama tidaknya bunyi tersebut dihasilkan.
1.6.1.3 Vokal Kardinal Daniel Jones
Serangkaian Vokal Kardinal telah diperlengkapi menjadi bunyi
vokal dari kualitas akustik yang sudah direvisi beserta dengan posisi lidah
dan bibirnya. Setiap bunyi vokal dari bahasa apapun, dapat dijelaskan
dengan merujuk pada bunyi-bunyi „Kardinal‟ ini sehingga setiap orang dari
seluruh dunia dapat mengucapkan setiap bunyi yang diberikan dengan
tingkat akurasi yang besar. Setiap bunyi vokal dikelompokkan menurut
bagian lidah mana yang paling tinggi di mulut, dan seberapa ketinggian dari
bagian tersebut dengan dibatasi oleh vowel limit sehingga bunyi tetap dapat
dihasilkan tanpa hambatan karena akan menghasilkan bunyi konsonan
(MacCarthy, 1956:28-29).
Kondisi ketinggian lidah yang semaksimal mungkin dan maju jauh
ke depan secara konsisten menghasilkan bunyi [i] dengan bentuk bibir
melebar, sementara itu kondisi lidah yang paling rendah dan ditarik
semaksimal mungkin ke belakang secara konsisten menghasilkan bunyi [ɑ]
dengan bentuk bibir tidak bundar (Jones, 1957:31-33)1.
1.6.2 Fonologi
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, fonologi bukanlah sekedar
proses identifikasi bunyi-bunyi yang menjadi bagian fonetik antara lain
penentuan letak maupun cara artikulasi dalam menghasilkan bunyi-bunyian,
akan tetapi dalam arti luas, apakah identifikasi tersebut memiliki identitas
yang sama atau berbeda. Jika secara “fungsional”, dua bunyi dianggap
memiliki identitas yang berbeda, maka bunyi tersebut dapat disebut sebagai
1 Lampiran 1
17
“fonem”. Identitas yang dimaksud disini adalah fitur pembeda makna.
Identitas ini berlaku hanya di dalam satu bahasa yang sama saja, oleh karena
itu, fonem pembeda makna pada satu bahasa, tidak selalu menjadi fonem
pada bahasa yang lain (Verhaar, 2010:67-68). Pada saat penentuan identitas,
ada proses pemberlakukan sistem yang dilakukan dan oleh karenanya
fonologi dibedakan dari fonetik.
1.6.2.1 Fonem
Fonem merupakan unit struktural penutur asli yang mengatur bunyi
sebuah bahasa secara otomatis dan tanpa sadar (Pike, 1971:57). Orang
asing yang tidak terlatih tidak mengenali secara intuitif unit bunyi native.
Sebaliknya, mereka biasanya “tuli” terhadap beberapa unit bunyi native dan
cenderung “mendengar” hanya unit bunyi mereka sendiri meskipun native
tersebut sedang berbicara. Dalam menjelaskan sistem bunyi dari setiap
bahasa, penting untuk memberi pembeda atau contrastive unit (Gimson,
1970:44-45) pada masing-masing bunyi ujaran (speech-sound) yakni
formasi organik bunyi dan kualitas akustik definit yang tidak memiliki
kemampuan untuk variasi (Jones, 1957:49).
Menyinggung pembahasan sebelumnya mengenai fonologi,
memandang bunyi dari sisi fungsional adalah pendekatan untuk mengetahui
bagaimana segmen bunyi digunakan dalam ujaran, bukan hanya dalam
bentuk bunyi fisik individual tetapi dalam family (kelompok bunyi) yang
terdiri dari sebuah bunyi penting bahasa tersebut (yang paling sering
digunakan dalam family) bersama dengan bunyi-bunyi lain yang
berhubungan yang “menggantikan”-nya dalam rangkaian bunyi tertentu
atau dalam kondisi length atau stress khusus (Jones, 1957:49; Katamba,
1989:18).
1.6.2.2 Menentukan Fonem
Dalam proses empiris pemberlakuan suatu sistem pada sebuah
bunyi dalam menentukan apakah sebuah bunyi dikategorikan sebagai
18
“fungsi pembeda” yakni sifat khas fonem, dapat dilakukan beberapa
pengujian. Yang pertama adalah penggunaan pasangan minimal yang
menentukan fonem dengan melihat adakah penggantian sebuah bunyi pada
sebuah kata mengarah kepada perbedaan arti sehingga menghasilkan kata
yang berbeda. Selanjutnya dengan sistem distribusi pelengkap bunyi pada
kata. Kondisi ini dapat digunakan untuk menentukan bunyi tertentu sebagai
fonem atau tidak, yakni dengan membandingkan dua atau lebih bunyi yang
tidak pernah muncul pada konteks atau lingkungan yang sama. Dengan
demikian, jika sebuah bunyi didapati tidak pernah muncul di awal kata
sementara bunyi lain didapati tidak pernah muncul di akhir kata, maka
kedua bunyi tersebut dikatakan dua fonem yang berbeda. Fitur distingtif
adalah cara lain yang memanfaatkan penggunaan identifikasi fitur fonetik
sebagai kontras sebuah bunyi dengan bunyi lainnya dalam pasangan
minimal sehingga dapat disebut fonem. Fitur fonetik dalam pengujian ini
dikatakan distingtif ketika nilai + yang ditemukan pada fitur di kata tertentu
menjadi kontras dengan nilai – pada fitur di kata yang lain. (Fromkin,
1993:218-224).
Lebih lanjut fitur distingtif dijelaskan oleh Chomsky dan Halle
(1968:64-65) sebagai elemen minimum pembentuk transkripsi fonetik,
leksikon dan fonologis menggunakan kombinasi dan jalinan. Berfungsi
sebagai alat klasifikasi yang memegang peran dalam entry penggolongan
leksikon, fitur distingtif bersifat binary dengan dua nilai + (plus) atau -
(minus). Berfungsi sebagai parameter fonetis, fitur distingtif memberikan
representasi dari sebuah ujaran yang dapat diintepretasikan sebagai sebuah
rangkaian instruksi untuk sistem artikulatori fisik atau sebagai sebuah
tingkat penyempurnaan representasi persepsi. Oleh karena fungsi kedua ini,
maka fitur distingtif dikurung dalam simbol […] yang juga mengurung
representasi dari fonetik.
Chomsky dan Halle (1968:299-329) mengurai secara terperinci
rangkaian universal dari fitur fonetis dalam daftar fitur individual yang
semuanya mewakili kemampuan fonetis manusia. Masing-masing fitur
19
merupakan skala fisik yang dijelaskan dalam dua poin yang dirancang
dengan antonim kata sifat: tinggi-tidak tinggi, bersuara-tak bersuara, tegang-
tidak tegang (kendur) beserta korelasi artikulatori dari masing-masing fitur.
Skala ini yang disebut kebineran oleh Jakobson yang menghadapkan pada
situasi dua pilihan sebagai jawaban terhadap seperangkat pertanyaan „ya
atau tidak‟ dalam prosedur identifikasi rangkaian Tanya/Jawab/Perintah
(Lass 1991:89-90). Ada lima jenis fitur utama dalam pengelompokan
Chomsky dan Halle, dengan masing-masing subdivisi. Keseluruhan fitur
yang dimaksud adalah sebagai berikut yang dikelompokkan dalam tabel 1.1:
Tabel 1.1 Klasifikasi Jenis Fitur Distingtif Universal
No. Pembagian
Jenis Fitur
Subdivisi Fitur Sub-subdivisi Fitur Sub-
subsubdivisi
Fitur
1. Kelas Utama
(aliran udara)
1. Sonoran (konfigurasi
rongga vocal tract
untuk suara spontan)
vs Nonsonoran
2. Vokalik (bebas) vs
Nonvokalik
3. Konsonantal
(dihambat/dihentikan)
vs Nonkonsonantal
2. Rongga (cavity) 1. Koronal (ujung lidah
naik) vs Nonkoronal
2. Anterior (hambat di
depan bagian palate-
alveolar mulut) vs
Nonanterior
3. Fitur badan lidah 1. Tinggi (badan lidah
20
naik) vs Nontinggi
2. Rendah (badan lidah
turun) vs Nonrendah
3. Belakang (badan
lidah mundur) vs
Nonbelakang
4. Round (lubang mulut
tajam) vs Nonround
5. Terdistribusi
(dihambat dengan jarak
dari arah aliran udara)
vs Nonterdistribusi
6. Covered (dinding
faring menyempit dan
tegang serta laring
terangkat) vs
Noncovered
7. Penyempitan celah
glottal
8. Celah sekunder 1. Nasal (velum rendah
udara lewat hidung)
vs Nonnasal
2. Lateral (sisi tengah
lidah rendah salah
satunya atau
keduanya) vs
Nonlateral
3. Cara artikulasi 1. Kontinuan (udara
dihambat tidak pada titik
aliran) vs Nonkontinuan
21
2. Fitur pelepasan:
instan dan tertahan
(hambat seketika atau
dengan delay)
1. Pelepasan utama
(plosif vs afrikat)
2. Pelepasan sekunder
(lebih dari satu delay
hambat secara
simultan)
3. Pergerakan tambahan 1. Penghirupan 1. Velar (clicks)
(dilihat dari jarak
gerakan hambat
2. Implosion
(glottal)
terhadap paru-paru) 2. Penekanan 1. Velar
2. Ejectives
(glottal)
4. Tegang (melibatkan
otot supraglottal) vs
Nontegang
4. Sumber 1. Tekanan subglotal
yang ditinggikan
(vocal tract stop
memanjang tapi tidak
tegang)
2. Bersuara (dengan
vibrasi) vs Nonsuara
3. Lengking (dengan
turbulasi)
5. Prosodik 1. Stress
2. Pitch 1. Tinggi
2. Rendah
3. Ditinggikan
22
4. Meninggi
5. Menurun
6. Melengkung
3. Length
1.6.2.3 Alofon
Sebagaimana telah dijelaskan, fonem memiliki karakteristik yang
membedakan makna, sehingga satu perbedaan fonem pada dua atau lebih
rangkaian minimal (minimal set) kata akan menjadikan kata-kata tersebut
berbeda secara semantis karena mewakili bentuk kata berbeda pada leksikon
mental dalam diri seseorang (Fromkin, 1993:223). Akan tetapi, perlu diingat
bahwa masing-masing orang menghasilkan bunyi dengan cara yang tidak
sama, bahkan untuk satu bahasa yang sama. Hal ini dijelaskan dari sudut
pandang linguistik akibat adanya karakter lain dari fonem, yakni sering kali
dipengaruhi oleh bunyi-bunyi disekitarnya (Finegan dan rekan, 1992:54).
Inilah yang disebut dengan variasi internal yang merupakan ciri alamiah
suatu sistem bahasa (Saussure, 1982:130).
Ketika sebuah proses fonologi terjadi maka (1) satu atau lebih
segmen terpengaruh; (2) satu atau lebih segmen yang terpengaruh akan
berubah dalam beberapa cara; dan (3) perubahan umumnya terjadi pada
lingkungan tertentu (Sanford dan Bendixen, 1978:59). Sebuah aturan
fonologis tipikal mencakup ketiga jenis informasi tersebut. Dalam
lingkungan tertentu, alofon timbul akibat adanya keterpengaruhan ini
sebagai bentuk realisasi dari fonem yang dikenal sebagai varian fonem
(Finegan dan rekan, 1992:55) oleh karena fonem bersifat abstrak dan dalam
realisasinya tidak dilafalkan sendiri.
Alofon adalah realisasi fonem yang berbagi rangkaian fitur distingtif
yang sama tetapi masing-masing bisa juga menunjukkan fitur tambahan
(Forel dan Puskàs, 2005:34-35). Sebagai contoh [phit] dan [pit] dengan
karakteristik bunyi konsonan awal sebelum bunyi vokal dapat dikategorikan
sebagai alofon karena dua alasan yaitu (1) keduanya digambarkan sebagai
23
meletup dua bibir tak bersuara dan (2) jika kita mengganti satu dengan yang
lain, tidak akan didapati perubahan dalam arti melainkan hanya pengucapan
yang sedikit terdengar aneh. Bunyi [p] aspirat bersifat context-bound oleh
karena itu tidak dapat berfungsi untuk menciptakan kata yang berbeda
sehingga kedua bunyi tersebut tidak termasuk kontrastif.
Contoh lain dapat dilihat pada alofon stop dalam bahasa Inggris
yakni (1) aspirat tak bersuara pill, (2) tak beraspirat tak bersuara spill dan
(3) bersuara bill dimana alofon (2) ada dalam complementary distribution
dengan (1) dan (3). Riset eksperimental telah menujukkan bahwa alofon (3)
dalam bill jarang direalisasikan bersuara selama closure pada posisi inisial
dalam bahasa Inggris (Derwing dan Nearey, 1986:198).
1.6.3 Variasi Bahasa
Tidak dipungkiri bahwa ada banyak jenis bahasa Inggris mengingat
ragam penuturnyapun bervariasi yang ditentukan oleh perbedaan wilayah
geografis. Oleh karena itu, sering ditemukan adanya perbedaan di antara
ragam tersebut dalam hal variasi pengucapan bunyinya antara lain bahasa
Inggris India, Afrika, Amerika, Kanada bahkan Singapura yang dikenal
dengan Singlish. Di Britania Raya dan Irlandia Utara, seperti juga di banyak
negara termasuk negara tersebut di atas, hubungan antara sosial dan variasi
bahasa regional dapat ditemukan paling mengemuka tingkat perbedaannya
pada penggunaan di antara penutur kelas pekerja, dan paling rendah tingkat
perbedaannya di antara penutur dari kelas menengah atas (Trudgill,
1983:186-187). Namun, pengucapan bunyi yang dijadikan model dalam
penelitian ini berpatokan pada pengucapan standar penutur asli terdidik di
wilayah tenggara England yang disebut RP (Received Pronunciation) atau
pengucapan yang berterima yang merupakan „accepted‟ pronunciation
(Connor, 1967: 5-6).
Ragam yang terdapat dalam satu bahasa mungkin saja terjadi dimana
hal tersebut didefenisikan Hudson (1996:22) sebagai a set of linguistic items
with similar distribution atau serangkaian item linguistik dengan distribusi
24
yang serupa yang memungkinkan untuk diasosiasikan dengan eksternal
faktor antara lain wilayah geografis atau kelompok sosial dengan
menggunakan pendekatan sosiolinguistik (Wardhaugh, 1986:25). Dalam hal
ragam bahasa Inggris yang dimaksud di atas, variasi lokal yang diakibatkan
perbedaan wilayah penuturnya mengarah kepada dialek yang pastinya
memiliki perbedaan dengan bahasa standar.
1.6.3.1 Pengaruh faktor ekstralingual terhadap variasi
Mengacu pada sifat bunyi yang fluktuatif yaitu tidak pernah sama
jika diucapkan berulang, maka dapat dipastikan tidak ada bunyi yang persis
sama bahkan jika dihasilkan oleh orang yang sama. Dengan demikian, orang
dan latar belakang yang berbeda pasti juga memberi pengaruh pada ragam
bunyi.
Untuk penutur bahasa Inggris, Fromkin (1993:279), Finegan
(1992:54) dan Holmes (1992:154) memiliki catatan khusus tentang variasi
bunyi berdasarkan perbedaan wilayah dan status. Bagian Selatan Amerika
Serikat menghasilkan pelafalan bunyi tense /i/ seperti pada /krik/ dalam kata
creek sementara di wilayah Midlands Utara bunyi tersebut dilafalkan lax /I/
menjadi /krIk/. Bahasa Inggris Australia untuk bunyi vokal /u/ pada kata
pool berbeda dihasilkan di wilayah Adeline yang cenderung tegang seperti
pada bahasa Inggris British, sementara di wilayah pesisir timur, bunyi
tersebut cetralised menjadi [tt]. Fenomena pengucapan bunyi post-vocalic
[r] hasil penelitian Labov di kota New York menunjukkan bahwa perbedaan
status menentukan apakah bunyi tersebut dimunculkan atau ditiadakan.
Temuan tentang pengaruh faktor di luar kebahasaan yang memberi
dampak pada pelafalan seseorang, menimbulkan ragam bahasa, bahkan
untuk bahasa yang sama. Begitu pula alasan ini memberi penjelasan
mengapa seorang pembelajar bisa lebih berhasil dibandingkan pembelajar
yang lain dan mengapa pembelajar bahasa asing selalu mengalami kesulitan
dalam mengimitasi bunyi menyerupai penutur aslinya.
25
Dalam penelitian tentang pembelajar dewasa Katalan yang
memproduksi kontras bunyi vokal bahasa Inggris tense vs lax ditemukan
bahwa penutur Katalan yang memiliki sedikit pengetahuan tentang bahasa
Inggris, mampu mengidentifikasi bunyi [i:] dalam bahasa Inggris dengan
bunyi [i:] dalam bahasa Katalan, tetapi tidak memiliki konsistensi pemetaan
bahasa Katalan untuk bunyi [i] dalam bahasa Inggris karena tidak
ditemukannya bunyi semacam itu dalam bahasa Katalan (Cebrian,
2008:304). Dari temuan ini selanjutnya didapatkan bahwa bunyi vokal tidak
didapatkan secara terpisah tetapi sebagai bagian dari sistem kontras dengan
konsekuensi bahwa pembentukan satu kategori vokal dapat mempengaruhi
kategori vokal lainnya secara langsung.
1.6.3.2 Faktor-faktor ekstralingual Yang Mempengaruhi Pelafalan
Tujuan mempelajari pelafalan pada B2 maupun bahasa asing secara
realistik dijelaskan Brown berkutat seputar pelafalan yang jelas dan
komprehensif. Hal ini penting digarisbawahi Brown mengingat bahwa bagi
kebanyakan pembelajar bahasa asing, tujuan utama mereka mempelajari
pelafalan adalah agar bahasa asing yang mereka pelajari dapat terbebas dari
aksen. Akan tetapi, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah
berkembang begitu pesat, sehingga aksen native menjadi sangat sulit untuk
ditentukan dan bahkan seorang penutur asli bahasa Inggrispun dapat salah
diidentifikasi sebagai “orang asing”.
Mempelajari B2 atau bahasa asing dengan latar belakang yang
berbeda-beda, pastinya memberi hasil yang beragam bagi masing-masing
orang. Brown mengadopsi variabel non kebahasaan Kenworthy sebagai
faktor yang memberi dampak pada pelafalan para pembelajar B2 atau
bahasa asing (Brown, 1994:259-261) yakni bahasa Ibu, usia, paparan,
kemampuan fonetis turunan (innate), identitas dan language ego serta
motivasi dan keinginan untuk pelafalan yang baik.
26
1.6.4 Analisis Kontrastif
Analisis kontrastif merupakan sebuah kajian dalam pembelajaran
bahasa kedua yang membandingkan unsur-unsur yang ada pada bahasa
pertama pembelajar dengan bahasa sasaran. Hasil dari perbandingan
tersebut dapat menunjukkan kesamaan dan juga perbedaan pada kedua
bahasa yang dimaksud untuk membantu memprediksi keberhasilan
pembelajar bahasa kedua (James, 1980:8-9).
Dalam sejarahnya, analisis kontrastif didasari oleh teori psikologi
behavioris yang mengamati unsur kejiwaan manusia melalui apa yang dapat
diamati secara fisik dan langsung. Pendekatan ini digunakan oleh
Bloomfield pada tahun 30-an dalam kajian kebahasaan yang kemudian
dilanjutkan oleh Skinner yang membawanya kepada neo-behaviorisme.
Kejayaan pendekatan analisis kontrastif terletak pada fokusnya yang
mencermati linguistik struktural sebagai objek kajian. Melalui perhitungan
bahwa pemerolehan bahasa kedua terjadi akibat interferensi bahasa pertama,
analisis ini sangat bermanfaat dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu,
kajian ini dilakukan oleh para linguis demi kepentingan pengajar dan peserta
didik (Sugiarto, 1990:34-35).
Dengan demikian, pengkajian yang bertujuan untuk melihat produksi
fonem vokal panjang-pendek bahasa Inggris oleh pembelajar bahasa
Indonesia, layak dianalisis dengan menggunakan pendekatan kontrastif
tersebut dengan memusatkan pada struktur fonologi bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia.
1.6.5 Kontras dalam Fonologi
Sejak masa Saussure, kontras telah menjadi sentral dari teori
fonologi. Di sekolah-sekolah spesialisasi fonologi pada abad kedua puluh,
kontras memegang peranan penting dan juga menjadi subjek dari daya tarik
yang diperbaharui. Terlepas dari sentralisasinya, beberapa riset saja yang
secara eksplisit mengambil kontras sebagai tema sentral. Fokus dari peran
kontras dalam fonologi berkisar pada dalam tiga area antara lain teori
27
fonologi (grammar), persepsi dan akuisisi (Avery, Dresher dan Rice,
2008:1).
Kontras dalam teori fonologi berkutat seputar deskripsi sistem
fonologis yang menggambarkan spesifikasi fitur-fitur yang ada dalam satu
bahasa atau lebih. Bidang lain yang menjadi kajian kontras dalam fonologi
adalah persepsi yang mengemukakan hubungan kontras dan persepsi
penutur dalam produksi khususnya terhadap bahasa pertama dan kedua.
Fokus utama ketiga dalam fonologi yang memakai kontras adalah akuisisi
baik untuk bahasa pertama maupun bahasa kedua. Ketiga bidang yang
menjadi wilayah kontras fonologi ini sangat interconnected sehingga kajian
tentang kontras akuisisi dapat berpusat pada peran persepsi tetapi dapat juga
dikaji secara terpisah (Avery, Dresher dan Rice, 2008:1-8).
1.6.5.1 Kontras Teori Fonologi Bahasa Inggris
Perbedaan sistem bahasa Inggris dan bahasa Indonesia merupakan
faktor yang menjadikan seorang penutur bahasa Indonesia, mengalami
kesulitan untuk memproduksi bunyi yang native like. Terfokus pada
keberadaan fitur distingtif pasangan bunyi [i:] dan [I] pada bahasa Inggris,
kriteria bunyi ini dapat dikategorikan sebagai monoftong yang merupakan
salah satu karakteristik dari delapan Primary Cardinal Vowel2 berdasarkan
pemikiran vowel limit atau batasan vokal dan vowel space atau tempat
terjadinya vokal yang merupakan vokal sederhana atau vokal murni, yang
dapat dipanjangkan selama mungkin dengan tanpa perubahan dari posisi
lidah (atau bibir), dan oleh karena ini tidak ada perubahan pada kualitasnya,
karena banyak vokal dalam bahasa Inggris di kebanyakan dialek Inggris
yang diftong (Catford, 2001:125, 134).
Fokus penelitian ini adalah pasangan bunyi panjang-pendek yang
memiliki posisi yang sama, namun dibedakan dalam fitur lama tidaknya
2 Lampiran 2
28
fonem tersebut diucapkan. Bunyi vokal tersebut diambil dari penggolongan
bunyi menurut pakar fonetik Daniel Jones (1957:64) yaitu pasangan bunyi
vokal yang menempati kuadran yang sama dalam diagram kardinal untuk
bahasa Inggris antara lain /i/ dan /i:/, /u/ dan /u:/, /ə/ dan /ɜ:/ serta /ɔ/ dan
/ɔ:/.
1.6.5.2 Kontras Teori Fonologi Bahasa Indonesia
Sistem fonologi bahasa Indonesia standar memiliki enam fonem
vokal (Halim, 1974:169) antara lain /i, u, e, ə, o dan a/. Masing-masing bunyi
vokal ini kecuali [ə] dan [a] secara fonetik diwakilkan oleh dua varian
alofonik: yang pertama menggunakan fitur [+tense] dan yang satunya
menggunakan fitur [-tense] yang mana varian fitur terakhir dikondisikan oleh
kemunculannya pada silabel akhir tertutup. Silabel ini adalah silabel dengan
segmen akhirnya berupa bunyi konsonan. Halim menegaskan bahwa dalam
hal durasi produksi bunyi vokal BI, yang muncul hanyalah berupa accent
pada bunyi-bunyi yang terdapat dibagian paling akhir, dimana durasi yang
terjadi relatif lama (1974:55).
Akan tetapi, BI bervariasi secara regional (Halim, 1974:10) dari
tempat yang satu ke tempat yang lain, yang menjadikannya jauh dari
keseragaman sistem bunyi dan membuka peluang bagi pengaruh sistem
sejumlah bahasa daerah. Hasil variasi BI dalam hal ini adalah dialek regional
misalnya BI yang diucapkan di wilayah Jawa yang memunculkan delapan
bunyi vokal yakni tiga bunyi vokal depan /i, I, e/, dua bunyi vokal madya /ə,
a/, dan tiga bunyi vokal belakang /u, o, ɔ/ sebagai hasil penyesuaian penutur
bahasa Jawa dalam membedakan delapan vokal bahasa Jawa sehingga
cenderung untuk melakukannya dalam BI (Dardjowidjojo dalam Halim,
1974:169). Dengan demikian, perbedaan wilayah geografis penutur bahasa
Indonesia dan ragam bahasa daerah yang digunakan, dapat menjadi penentu
variasi produksi bunyi dalam bahasa Inggris, khususnya pada fonem vokal
panjang-pendek.
29
1.6.5.3 Kontras Persepsi
Masalah dalam fonologi terkait kontras bahasa pertama dan kedua
dimunculkan oleh peranan persepsi sebagai fitur non-kebahasaan (Avery,
Dresher dan Rice, 2008:3). Pisoni dan Remez (2005:1-2) dalam “The
Handbook of Speech Perception” menggambarkan persepsi diawali dengan
penjelasan tentang ujaran yang bersifat unik diantara sistem komunikasi
hewan yang terbuka untuk transfer. Semakin banyak atau semakin sedikit
variasi sinyal akustik dari sebuah ujaran dalam sebuah bahasa yang dapat
ditranskripsikan sebagai sebuah tali visual dari simbol alfabetis nyata, maka
ujaran tersebut semakin dapat direproduksi oleh seorang pembaca.
Bagaimana seseorang mempengaruhi transformasi sinyal analog tersebut
menjadi pesan nyata dan sehingga dapat kembali direproduksi, demikian
pula sifat persepsi yang menjadi alat mediasi transformasi tersebut adalah
pusat masalah dari penelitian tentang ujaran.
1.6.5.4 Kontras Akuisisi Bahasa Kedua (Asing)
Faktor lain yang mempengaruhi kesulitan dalam menghasilkan bunyi
yang menyerupai bahasa kedua adalah kondisi mental pembelajar yang
menunjukkan adanya perbedaan perilaku terhadap bahasa pertama (bahasa
ibu) dan bahasa kedua dalam proses pemerolehannya, inilah bentuk fokus
kontras yang terakhir yakni terkait akuisisi. Penutur bahasa pertama
mendapatkan bahasa ibu untuk kepentingan komunikasi baik itu secara lisan
maupun tertulis sehingga perilaku yang ditunjukkan dalam proses adalah
dengan tidak sadar dalam lingkup situasi yang tidak formal dan motivasi
tinggi. Sebaliknya pembelajaran bahasa kedua tidak memberi signifikansi
kebutuhan mendesak akan penguasaan demi kepentingan komunikasi,
sehingga perilaku yang ditimbulkan adalah kesadaran untuk mempelajari
bahasa tersebut dalam lingkup situasi formal dan motivasi yang tidak terlalu
tinggi.
30
1.6.6 Interferensi
Pengucapan bahasa Inggris yang native like – RP merujuk kepada
pemilihan pengucapan yang disinggung sebelumnya – menjadi terkendala
oleh karena usia karena ada semacam kebiasaan pada orang dewasa dalam
menggunakan kognisinya tentang bahasa pertama atau bahasa yang
dikuasainya dengan sangat kuat dan kemudian mengaplikasikannya pada
bahasa target tanpa mengganggap perbedaan struktur bunyi di antara kedua
bahasa tersebut (Connor, 1967:2).
Interferensi bahasa pertama ini sulit untuk dihancurkan mengingat
bahwa seiring dengan usia, orang dewasa telah menjadi terbiasa
menggunakan sistem bahasa pertamanya dalam percakapan, sehingga sistem
ini mendominasi dalam dirinya. Disinilah proses fosilisasi terjadi yaitu
bunyi tertentu pada bahasa kedua digantikan secara konsisten dengan bunyi
yang dekat secara fonetik dengan bahasa pertama (Ellis, 1994:309). Dengan
demikian, ujaran-ujaran yang dihasilkan tidak identik dengan ujaran-ujaran
penutur asli dalam mengekspresikan makna yang sama. Gejala ini yang
disebut Selinker sebagai bahasa antara atau interlanguage (Sutama,
1990:26).
Analisis bahasa yang mendalam memiliki kontribusi dalam
membantu efisiensi pengajaran, terutama dalam pelafalan. Dengan
pengajaran yang baik, seorang pemakai bahasa asing, dapat melakukan
pelafalan yang relatif baik tanpa harus hidup terlebih dahulu dalam
komunitas bahasa yang dimaksud (Lapoliwa, 1988:107).
1.7 Hipotesis
Sesuai pemaparan yang terdapat pada latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan landasan teori
diatas, hipotesis atau dugaan sementara yang dapat disampaikan pada
penelitian ini antara lain adalah:
1. Sistem bunyi pada bahasa Inggris dan Indonesia berbeda dalam hal
bunyi vokal panjang-pendek.
31
2. Penutur bahasa Indonesia bervariasi dalam perealisasian bunyi fonem
panjang-pendek bahasa Inggris.
3. Faktor non-kebahasaan terkait pemerolehan bahasa penutur bahasa
Indonesia mempengaruhi perealisasian fonem panjang-pendek bahasa
Inggris.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Pengumpulan data
1.8.1.1 Sampel, objek dan variabel penelitian
1. Sampel
Untuk menganalisis masalah dalam mengenali fonem panjang
pendek bahasa Inggris, 9 responden pengguna bahasa Indonesia
dipilih secara acak untuk dijadikan sampel. Mereka adalah
mahasiswa tahun pertama Sekolah Tinggi Teknologi
Kedirgantaraan, Yogyakarta, yang berasal dari wilayah timur
Indonesia dari Program Studi Manajemen Transportasi Udara,
Ground Handling dan Pramugari karena pengucapan yang baik
dalam bahasa Inggris begitu pentingnya bagi mereka terkait tugas
seorang ground handling atau tata operasi darat dan pramugari
dalam memberikan announcement atau pengumuman di bandara
maupun di dalam sebuah penerbangan.
2. Objek dan Variabel
Penelitian ini menggunakan diagram gelombang bunyi yang
didapatkan dari rekaman produksi masing-masing responden yang
didapatkan melalui metode simak menggunakan tehnik rekam.
Selain realisasi bunyi yang dihasilkan oleh responden yang
merupakan variabel dependen, ragam latar belakang sosial dan
faktor ekstra lingual terkait pemerolehan bahasa setiap penutur
yang adalah variabel independen dalam penelitian ini, menjadi
perhatian serius.
32
3. Kuesioner
Latar belakang penutur responden ini dirangkum dalam kuesioner
yang antara lain mencakup asal daerah dan bahasa ibu, motivasi,
minat terhadap skill yang ada dalam bahasa Inggris dan yang
terakhir berapa lama waktu penutur terpapar bahasa Inggris.
1.8.1.2 Alat dan bahan
Data yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah rekaman fonem
panjang-pendek bahasa Inggris yang diproduksi oleh responden yang
selanjutnya dianalisis realisasinya dengan menggunakan program Praat
yakni sebuah perangkat lunak komputer tak berbayar yang diciptakan Paul
Boersma dan David Weenink dari Phoenetic Science Departemen,
Universitas Amsterdam, yang berfungsi untuk mendeskripsikan bunyi.
Deskripsi tersebut akan digambarkan dalam bentuk diagram gelombang
bunyi yang kemudian akan diobservasi pola kemunculannya pada tiap-tiap
sampel. Setiap realisasi bunyi yang muncul kemudian dianalisis untuk
melihat kaitannya dengan faktor-faktor non-kebahasaan yang menjadi latar
belakang responden.
1.8.1.3 Instrumen
Pengucapan bahasa asing adalah sebuah two-fold process yang
melibatkan aural receptivity atau penerimaan oral atau pengenalan bunyi
seperti juga realisasi bunyi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan rekaman
realisasi fonem pada masing-masing responden, instrumen penelitian berupa
rekaman daftar kata pasangan minimal yang mengandung unsur-unsur
fonem panjang-pendek bahasa Inggris dan disusun dalam tiga sesi yakni
secara acak, secara berurutan dan di dalam frase, diucapkan oleh seorang
penutur asli bahasa Inggris yang selanjutnya akan didengarkan oleh
responden untuk ditirukan sehingga produksi dapat terjadi.
33
1.8.1.4 Validasi Instrumen
Guna memastikan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
valid sehingga menghasilkan data yang valid pula, uji coba setiap item
dalam instrumen tersebut dilakukan terlebih dahulu dimana hasilnya
selanjutnya dimasukkan ke dalam program SPSS 15 for Windows untuk
dihitung validitasnya. Bagi item yang ditemukan tidak valid, diganti atau
dihilangkan.
1.9 Analisis data
Proses pengaturan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar
untuk menemukan tema agar mendukung hipotesis adalah tujuan dari
analisis data (Patton,1980:268, Moleong,1989:112). Penelitian ini bersifat
kuantitatif yang mengetengahkan analisis statistik antara variabel
independen dengan variabel dependen melalui tahapan pengolahan data,
pengorganisasian data dan terakhir penemuan hasil (Koentjaraningrat,
1977:328-329). Namun penelitian ini juga kualitatif oleh karena
menggunakan analisis mendalam untuk menjelaskan luaran kuantitatif
tersebut di atas. Untuk memastikan hubungan di antara kedua variabel
tersebut, dilakukan pula analisis melalui wawancara mendalam (in-depth
interview) untuk melengkapinya (Moleong, 1989:24-25). Hal ini penting
karena dalam banyak hal, kedua bentuk data tersebut perlu untuk dianalisis
dan digunakan bersama demi keperluan menyusun hasil akhir (Glaser dan
Strauss, 1980:18). Penggunaan kedua data tersebut disebut pula dengan
metode agih dengan menggunakan tehnik substitusi yakni penggantian
bunyi.
Langkah penelitian yang dilakukan untuk tahap analisis ini antara lain
sebagai berikut:
1. Menjelaskan gagasan kontras yang muncul pada sistem fonologis
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia berhubungan dengan panjang-
pendeknya fonem, termasuk sistem artikulatori yang terlibat dalam
34
perealisasian berikut contoh-contoh dalam kata untuk masing-masing
bahasa.
2. Memasukkan realisasi fonem vokal para responden yang terlihat
dalam diagram gelombang bunyi ke dalam pengelompokan fonem
yakni fonem panjang dan pendek untuk kemudian dilihat dan dihitung
kecenderungan produksinya.
3. Merumuskan dan mendeskripsikan pola yang muncul dari
pengelompokan realisasi fonem ketigapuluh responden tersebut
apakah lebih kepada memanjangkan atau memendekkan sehingga
persepsi dapat disimpulkan.
4. Mengkategorikan faktor-faktor ektra-lingual responden berdasarkan
hasil pencatatan kuesioner dan wawancara yang selanjutnya
digunakan sebagai variabel independen.
5. Melakukan analisis tentang keterkaitan produksi bunyi dengan
variabel indepeden yaitu latar belakang responden.
6. Menyusun kesimpulan dari luaran yang ada.
1.10 Penyajian Hasil
Hasil analisis yang berupa kaidah-kaidah dapat disajikan melalui dua
cara, yaitu (1) perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk
penggunaan terminologi yang bersifat teknis, dan (2) perumusan dengan
menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang (Mahsun, 2005:123).
Penelitian ini menggunakan penyajian hasil analisis data dengan kedua cara
tersebut yakni secara informal menggunakan kata-kata disertai terminologi
teknis dalam linguistik, dan juga penulisan simbol-simbol fonem
menggunakan alfabet fonetis.
35
1.11 Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang
mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab II dipaparkan secara rinci
tentang gagasan kontras sistem fonem vokal pada bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia. Bab III berfokus pada realisasi produksi bunyi fonem vokal
bahasa Inggris oleh penutur bahasa Indonesia. Bab IV membentangkan
bagaimana faktor non-kebahasan penutur bahasa Indonesia mempengaruhi
produksi fonem vokal bahasa Inggris. Bab V yang merupakan bab terakhir
menyajikan kesimpulan yang dihasilkan dari luaran dan saran bagi
penelitian selanjutnya tentang fonologi dan pengucapan bahasa Inggris.