39
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian Tiongkok telah tumbuh secara signifikan sejak pemerintahan Deng Xiaoping yang ditandai pada tahun 1978 setelah dicetuskannya Open Door Policy atau yang lebih dikenal dengan sebutan reformasi ekonomi. Pertumbuhan ini juga menandakan berakhirnya masa isolasionis Tiongkok di bawah kepemimpinan Mao Zedong yang anti Barat. Namun, kebangkitan ekonomi Tiongkok tersebut membuat negara-negara berasumsi bahwa Tiongkok sedang menyaingi kekuatan Amerika Serikat dan ingin mencari hegemoni. 1 Amerika Serikat memandang bahwa perkembangan Tiongkok dianggap sebagai negara yang akan menjadi “Major Power” dan akan menyulitkan hubungan baik antara Tiongkok dan Amerika Serikat. 2 Dengan adanya pandangan seperti itu, Tiongkok terus berusaha untuk menunjukkan bahwa kebangkitan Tiongkok bukan sebagai ancaman atau bahkan untuk mencari hegemoni melainkan untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan bersama antar negara-negara di dunia ini. Kemudian, kebangkitan ekonomi Tiongkok ini terus dipertahankan oleh pemimpin-pemimpin Tiongkok selanjutnya di mana 1 Bonnie S. Glaser dan Evan S. Medeiros, The Changing Ecology of Foreign Policy-Making in China: The Ascension and Demise of the Theory of “Peaceful Rise”, Journal of The China Quarterly (190), Juni 2007:291-310, hal. 293. 2 Ibid., hal. 294.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/47204/2/BAB I.pdf1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian Tiongkok telah tumbuh secara signifikan sejak pemerintahan

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perekonomian Tiongkok telah tumbuh secara signifikan sejak

pemerintahan Deng Xiaoping yang ditandai pada tahun 1978 setelah

dicetuskannya Open Door Policy atau yang lebih dikenal dengan sebutan

reformasi ekonomi. Pertumbuhan ini juga menandakan berakhirnya masa

isolasionis Tiongkok di bawah kepemimpinan Mao Zedong yang anti Barat.

Namun, kebangkitan ekonomi Tiongkok tersebut membuat negara-negara

berasumsi bahwa Tiongkok sedang menyaingi kekuatan Amerika Serikat dan

ingin mencari hegemoni.1

Amerika Serikat memandang bahwa perkembangan Tiongkok dianggap

sebagai negara yang akan menjadi “Major Power” dan akan menyulitkan

hubungan baik antara Tiongkok dan Amerika Serikat. 2 Dengan adanya

pandangan seperti itu, Tiongkok terus berusaha untuk menunjukkan bahwa

kebangkitan Tiongkok bukan sebagai ancaman atau bahkan untuk mencari

hegemoni melainkan untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan bersama antar

negara-negara di dunia ini. Kemudian, kebangkitan ekonomi Tiongkok ini terus

dipertahankan oleh pemimpin-pemimpin Tiongkok selanjutnya di mana

1 Bonnie S. Glaser dan Evan S. Medeiros, The Changing Ecology of Foreign Policy-Making in

China: The Ascension and Demise of the Theory of “Peaceful Rise”, Journal of The China

Quarterly (190), Juni 2007:291-310, hal. 293. 2 Ibid., hal. 294.

2

kebangkitan tersebut tetap dilakukan dengan cara Tiongkok.

Salah satunya ialah Hu Jintao sebagai pemimpin Tiongkok sejak tahun

2003 berusaha untuk tetap mempertahankan kebangkitan damai Tiongkok yang

telah dibangun pada masa pemerintahan sebelumnya. Untuk mempertahankan

citra tersebut, Hu Jintao menetapkan konsep Peaceful Rise3 yang kemudian

menjadi salah satu landasan utama dalam berbagai kebijakan luar negeri

Tiongkok. Konsep Peaceful Rise itu sendiri diartikan sebagai kekuatan yang

sedang tumbuh namun bukan tumbuh seperti yang dilakukan oleh kekuatan besar

lainnya di masa lalu melainkan Tiongkok bangkit dengan damai.4

Terkait dengan konsep kebangkitan Tiongkok yang dilakukan secara

damai, Hu Jintao menyampaikan sebuah Pidato dalam National Congress CCP’s

(The Chinese Communist Party) ke 17 di Beijing pada bulan Oktober 2007. Hu

Jintao menyatakan bahwa :

“Politically, all countries should respect each other and conduct

consultations on an equal footing in a common endeavour to

promote democracy in international relations. Economically, they

should cooperate with each other, draw on each other’s strengths

and work together to advance economic globalisation in the

direction of balanced development, shared benefits and win–win

progress.”5

Berdasarkan pada kutipan di atas, dapat dipahami bahwa Tiongkok

3 Istilah Peaceful Rise melahirkan perdebatan di kalangan intelektual Tiongkok dikarenakan

penggunaan kata ‘Rise’ bertentangan dengan panduan dasar Deng Xiaoping. Dengan begitu,

penggunaan kata Peaceful Rise diganti dengan kata Peaceful Development. Namun dalam

penelitian ini, penulis tetap menggunakan kata Peaceful Rise dengan pertimbangan kata Peaceful

Rise lebih familiar dilingkup akademis internasional dan pada dasarnya kata Peaceful Rise juga

merujuk pada Peaceful Development di mana keduanya memiliki makna yang sama yaitu

kebangkitan yang damai. Fred C. Bergsten, et. al, 2008, China’s Rise Challenges and Opportunities, Washington, D.C: Peter G. Peterson Institute For International Economic Press, hal.

49. 4 Marc Lanteigne, 2009, Chinese Foreign Policy An Introduction, New York: Routledge, hal. 12. 5 Ibid., hal. 11.

3

ingin mempromosikan hubungan internasional yang lebih baik dan lebih adil

melalui kerjasama yang harus dibangun bersama. Selain itu, semua negara juga

harus saling menghormati satu sama lain guna menciptakan dunia yang lebih

stabil dan harmonis. Adapun keinginan pembangunan yang dimaksud termasuk

sebagai konsep peaceful rise itu sendiri.

Dengan hadirnya konsep peaceful rise, pemerintahan Hu Jintao

menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Tiongkok akan mengedepankan

pengembangan hubungan baik dengan negara-negara tetangga sebagai mitra,

meningkatkan persahabatan serta kerja sama. Maka, kebijakan luar negeri

Tiongkok cenderung dibuat dengan tujuan untuk menegakkan perdamaian dunia

dan mempromosikan pembangunan bersama. Selain itu, Hu Jintao juga

menambahkan konsep Harmonious World sebagai acuan kebijakan luar negerinya,

yang bermakna Tiongkok akan mendukung pembangunan dunia yang harmonis

dan kemakmuran bersama. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Tiongkok

harus bekerjasama dengan negara lain.6

Berakhirnya masa pemerintahan Hu Jintao pada tahun 2013 kemudian

digantikan oleh Xi Jinping sebagai Presiden Tiongkok. Nampaknya, Xi Jinping

juga berusaha untuk melanjutkan cita-cita Tiongkok dalam mempertahankan

kebijakan Tiongkok yang terbuka. Hal ini dapat dilihat dari slogan kebijakan luar

negeri yang digunakan Xi Jinping yakni Chinese Dream sebagai bentuk perluasan

makna dan prinsip dari konsep peaceful rise itu sendiri. Seperti yang tertulis dalam

6 China’s Peaceful Development, The State Council, The People’s Republic of China, diakses

dalam http://english.gov.cn/archive/white_paper/2014/09/09/content_281474986284646.htm

(05/11/2018, 10.31 WIB).

4

buku putih yang dikeluarkan Pemerintahan Tiongkok tentang China’s Peaceful

Development yang menyatakan bahwa konsep peaceful rise mengutamakan

pembangunan domestik dan tetap menjunjung tinggi perdamaian dunia dengan

cara mempromosikan pembangunan melalui kerja sama dengan dunia

internasional.7

Melihat cara kepemimpinan Tiongkok dari generasi ke generasi terlihat

bahwa pemimpin-pemimpin Tiongkok tidak hentinya memotivasi rakyatnya untuk

bangkit dan terus menggelorakan Theory of Deng Xiaoping yakni “Gaige Kai

Fang” yang berarti reform and opening up policies. Adapun, teori tersebut telah

ditetapkan dalam sidang Komite Sentral ke-11 pada bulan Desember 1978 sebagai

tema sentral dalam perpolitikan Tiongkok terhitung sejak saat itu hingga

seterusnya.8

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mempertahankan “Gaige Kai Fang”

dan mewujudkan peaceful rise, Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping

mencetuskan Kebijakan One Belt One Road (OBOR) atau yang dikenal juga

dengan sebutan Jalur Sutra Baru yang di umumkan pertama kali dalam pidato

Presiden Xi Jinping di Kazakhstan pada tahun 2013. OBOR itu sendiri dapat

dikatakan sebagai inisiasi strategi Tiongkok untuk membangun jalur perdagangan

di kawasan Eurasia. Dalam pidatonya, Xi Jinping memaparkan terdapat lima

fondasi utama yang ingin dicapai dalam OBOR yaitu, koordinasi kebijakan,

perdagangan bebas, konektivitas fasilitas, integrasi finansial, dan ikatan antar

7 Kharisma Medina, 2017, Implementasi Kebijakan Luar Negeri One Belt One Road (OBOR) Tiongkok Pada Tahun 2013-2015, Skripsi, Padang: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas

Andalas, hal. 26. 8 Bob Widyahartono, 2004, Bangkitnya Naga Besar Asia: Peta Politik, Ekonomi dan Sosial

China Menuju China Baru, Yogyakarta: ANDI Yogyakarta, hal. 45.

5

masyarakat.9

Adapun kebijakan OBOR yang diprakasai oleh Xi Jinping terdiri dari

konsep “New Silk Road Economic Belt” yakni, mengindikasikan hubungan

ekonomi yang lebih kuat dengan fokus pada perdagangan jalur darat yang akan

menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Rusia dan Eropa di utara, serta Teluk

Persia dan Laut Mediterania melalui Asia Tengah dan Lautan Hindia di selatan.

Kedua, konsep “21st Century Maritime Silk Road” atau jalur perdagangan laut

ditujukan sebagai upaya untuk mempererat hubungan dengan Asia Selatan dan

Asia Tenggara di mana difokuskan pada keamanan perdagangan maritim yang

diawali dari pantai Tiongkok ke Eropa melalui Laut China Selatan dan Lautan

Hindia, rute lainnya dari Tiongkok ke Pasifik Selatan.10

Jalur perdagangan dalam rancangan kebijakan OBOR di sini bukanlah

sesuatu hal yang baru melainkan hal tersebut sebelumnya sudah pernah

diterapkan pada masa Dinasti Han yang disebut sebagai Jalur Sutra dikarenakan

kain sutra merupakan produk perdagangan utama pada jalur ini.11 Jalur tersebut

telah menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tengah dan Asia Selatan, serta

Eropa dan Timur Tengah. Kemudian, dengan adanya jalur ini berhasil menjadikan

Tiongkok sebagai negara yang cukup baik dalam pertumbuhan ekonominya dan

kemudian mencirikan Tiongkok sebagai bangsa yang besar.

Dengan demikian, untuk mempertahankan citra Tiongkok sebagai negara

yang sedang bangkit secara damai, nampaknya Presiden Tiongkok, Xi Jinping

9 Justyna Szczudlik-Tatar, China’s New Silk Road Diplomacy, Policy Paper of The Polish Institute of International Affairs, No 34 (82), Desember 2013:1-8, hal. 2. 10 Ibid., 11 Rolly Jean Marten, Kepentingan Tiongkok Dalam Pembentukan Shanghai Cooperation

Organization, Jurnal JOM FISIP Universitas Riau, Volume 2, No 2, Oktober 2015:1-14, hal. 9.

6

ingin menghidupkan kembali konsep Jalur Sutra Kuno pada masa Dinasti Han

melalui OBOR. Meskipun pada awalnya, Kementerian Perdagangan Tiongkok

memahami inisiasi Jalur Sutra Baru hanya sebagai solusi ekspor bagi sektor

manufaktur baja ke wilayah Barat Tiongkok, namun kemudian berhasil menjadi

suatu kebijakan luar negeri Tiongkok untuk menciptakan suatu akses

perdagangan yang akan menghubungkan beberapa negara-negara di kawasan

Asia, Eropa dan Afrika.12

Kemudian yang menjadi menarik untuk dijadikan fokus dalam penelitian

ini ialah adanya faktor konstruksi identitas Tiongkok yang mempengaruhi

pembuatan kebijakan OBOR yang dapat di lihat sebagai cerminan dari peaceful

rise itu sendiri. Adapun dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk membahas

lebih lanjut mengenai kebijakan OBOR Tiongkok yang akan dianalisis dengan

menggunakan konsep identitas dalam teori kontruktivisme.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dengan apa yang telah disampaikan pada latar belakang,

maka dapat dirumuskan suatu permasalahan dalam penelitian ini yaitu

“Mengapa Tiongkok membuat kebijakan One Belt One Road?”

12 Tom Abke dan Jiri Kominek, Indo-Pacific Defense Forum, Menghidupkan Kembali Jalur

Sutera Selatan, diakses dalam

http://apdf-magazine.com/id/menghidupkan-kembali-jalur-sutera-selatan/ (26/09/2018, 11.05

WIB).

7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukannya

penelitian ini yakni, untuk menjelaskan faktor identitas yang mempengaruhi

pembuatan kebijakan One Belt One Road Tiongkok.

1.3.2 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Manfaat akademis dari penelitian ini diharapkan agar memberikan

kontribusi bagi studi Hubungan Internasional sebagai bahan

pertimbangan pendalaman teori konstruktivisme dan pengembangan

kajian kawasan Asia Timur. Penelitian ini juga diharapkan dapat

membuktikan bahwa identitas suatu negara dapat menjadi salah satu

alasan utama dibuatnya kebijakan luar negeri suatu negara.

b. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

memberikan informasi pengetahuan pada pentingnya peran identitas

dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Selain itu, penelitian ini

diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang

ingin membahas kebijakan OBOR Tiongkok.

8

1.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu diperlukan oleh penulis untuk menganalisa dan

menghindari akan adanya kesamaan antara penelitian ini dan penelitian terdahulu.

Oleh karena itu, penulis mencantumkan beberapa penelitian sebelumnya yang

telah dibaca oleh penulis, antara lain :

Penelitian terdahulu yang pertama diambil dari Jurnal Chinese Political

Science dengan judul Building China’s Soft Power for a Peaceful Rise ditulis

oleh Xin Li dan Verner Worm yang dipublikasikan pada tahun 2011.13 Dalam

penelitian ini banyak membahas mengenai strategi soft power yang digunakan

Tiongkok sebagai alat untuk mewujudkan Peaceful Rise yang diadopsinya. Hal

itu sendiri dilatarbelakangi oleh keinginan Tiongkok yang ingin membangun

masyarakatnya dengan standar hidup yang lebih tinggi. Maka, untuk mewujudkan

hal tersebut Tiongkok membutuhkan lingkungan yang damai dan kondusif baik

dalam lingkup domestik maupun internasional.

Adapun terdapat enam bidang soft power Tiongkok, yakni dalam hal

budaya yang dibawa Tiongkok melalui arsitektur, bahasa, dan lainnya. Nilai

politik yang dianut Tiongkok dimana CCP berhasil mengubah Tiongkok dalam 20

tahun terakhir, seperti misalnya pemerintahan Tiongkok terus berusaha

memperbaiki nilai politik domestiknya dengan meningkatkan perlindungan Hak

Asasi Manusia. Model pembangunan Tiongkok yang terus menjadi contoh bagi

negara-negara berkembang lainnya.

Selanjutnya, lembaga internasional dimana dahulu Tiongkok tidak banyak

13 Xin Li dan Verner Worm, Building China’s Soft Power for a Peaceful Rise, Journal of Chinese

Science, Volume 16, No 1, Maret 2011:69-89.

9

terlibat dalam lembaga internasional karena isolasionisme yang dianutnya.

Namun pada saat ini Tiongkok sangat aktif dalam berbagai organisasi

internasional ditandai setelah Tiongkok meratifikasi Protokol Kyoto secara

sukarela. Selain itu, citra internasional dan acuan ekonomi juga menjadi strategi

soft power Tiongkok.

Perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian pertama terletak

pada pendekatan yang digunakan dimana penulis lebih fokus pada kebijakan

OBOR sebagai peneguhan identitas Tiongkok sedangkan penelitian Xin Li lebih

fokus pada strategi soft power yang digunakan Tiongkok untuk mencapai

kebangkitan yang damai. Persamaannya itu sendiri dapat dilihat pada

pembahasan dimana kebijakan-kebijakan Tiongkok lebih berorientasi pada

peaceful rise.

Penelitian terdahulu kedua, dengan judul Community of Common

Destiny Sebagai Platform Kebijakan Luar Negeri China Dalam Merespon

Globalisasi Ala Barat yang ditulis oleh Laras Ningrum Fatmasiwi.14 Dalam

jurnal ini membahas mengenai pertentangan nilai antara Tiongkok dan Barat

dalam merespon globalisasi ekonomi. Penelitian ini menjelaskan bahwa

globalisasi ekonomi sangat di dominasi oleh kapitalisme pemikiran Barat. Maka

dari itu, Tiongkok ingin meresponnya menggunakan Sosialisme dengan

karakteristik Tiongkok yang merupakan gabungan dari konfusianisme dan

sosialisme.

14 Laras Ningrum Fatmasiwi, Community of Common Destiny Sebagai Platform Kebijakan Luar

Negeri China Dalam Merespon Globalisasi Ala Barat, Indonesian Journal of International

Relations, Volume 1, No2, 2017:14-34.

10

Pada jurnal tersebut dijelaskan bagaimana Tiongkok merespon struktur

internasional yakni globalisasi ekonomi dengan mengadopsi nilai dari

konfusianisme berupa ketulusan, hubungan baik, saling menguntungkan, dan

inklusivitas. Nilai tersebut kemudian termanifestasi dalam Community of Common

Destiny yang di cetuskan oleh Xi Jinping sebagai prinsip dalam OBOR.

Persamaan penelitian penulis dengan jurnal diatas adalah sama-sama

menggunakan pendekatan konstruktivisme dalam menganalisis kebijakan

Tiongkok. Namun yang membedakannya, jurnal tersebut menggunakan

konstruktivisme dalam pandangan Christian Reus-Smith, sedangkan penelitian

penulis menggunakan pemikiran Alexander Wendt.

Penelitian terdahulu yang ketiga adalah sebuah Jurnal yang ditulis oleh

Jian Zhang dengan judul China’s New Foreign Policy Under Xi Jinping:

Towards ‘Peaceful Rise 2.0’?.15 Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa kebijakan

Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping dapat dikatakan sangat aktif. Hal ini

dapat dilihat dari berbagai diplomasi yang dilakukan Xi Jinping ke beberapa

negara. Kemudian, jurnal tersebut menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri

Tiongkok pada saat ini dapat disebut sebagai peaceful rise 2.0 dikarenakan cara

berdiplomasi Tiongkok memasuki fase baru.

Singkatnya peaceful rise 2.0 mencerminkan upaya yang lebih terarah dan

bahkan sangat tegas terhadap kepentingan nasional Tiongkok dan di sisi yang

sama juga tetap berusaha untuk mempertahankan lingkungan eksternal yang

damai. Selain itu, Xi Jinping juga mengembangkan inisiatif kebijakan luar negeri

15 Jian Zhang, China’s New Foreign Policy Under Xi Jinping: Towards ‘Peaceful Rise 2.0’?,

Journal of Global Change, Peace & Security, Volume 27, No 1, Januari 2015:5-19.

11

baru yakni “new type of great power relationship” (Xinxing Daguo Guanxi) dan

“community of common destiny” (Mingyun Gongtongti). Adapun, kedua inisiatif

itu dikembangkan dengan tujuan untuk membentuk lingkungan eksternal yang

kondusif dan peningkatan strategis bagi perkembangan ekonomi Tiongkok. Pada

akhir bagian jurnal membahas mengenai tantangan utama yang akan di hadapi

oleh Xi Jinping salah satunya adalah ambiguitas kebijakan luar negerinya.

Perbedaan antara jurnal Jian Zhang dan penelitian penulis terletak pada

pendekatan yakni penulis menggunakan teori konstruktivisme dalam

menganalisis kebijakan OBOR Tiongkok sedangkan jurnal diatas menggunakan

analisis politik luar negeri dalam menganalisis peaceful rise 2.0. Sedangkan

persamaannya adalah kedua penelitian sama-sama membahas konsep peaceful

rise yang menjadi acuan kebijakan luar negeri Tiongkok.

Penelitian terdahulu keempat dengan judul An Overview of the Chinese

Agenda: Global Sustainable Peace and Development dalam bentuk E-Jurnal

yang ditulis oleh Hans Nibshan Seesaghur dan Ethan Robertson yang di

publikasikan pada tahun 2016. 16 Dalam penelitian ini banyak membahas

mengenai strategi, ide, implementasi serta seberapa peaceful Tiongkok dalam

kebangkitannya. Adapun penelitian ini kemudian menganalisis lima hal utama

yang mendasari kebijakan Tiongkok.

Pertama, pembangunan secara damai yang dipaparkan bahwa kebijakan

OBOR sudah sesuai dengan pembangunan berkelanjutan secara damai. Kedua,

16 Hans Nibshan Seesaghur dan Ethan Robertson, An Overview of the Chinese Agenda: Global

Sustainable Peace and Development, Journal of Relationes Internationales, Acta Universitatis

Danubius, Volume 9, No 2, 2016:1-12.

12

model baru atas major country relations yang berarti Tiongkok ingin membangun

hubungan baik dan non-konflik dengan negara-negara besar terutama Amerika

Serikat. Ketiga, menciptakan lingkungan yang diplomatis, dijelaskan bahwa

Tiongkok berhasil bertetangga secara baik dengan negara-negara tetangganya hal

ini ditandai dengan terlibatnya Tiongkok dalam berbagai kerjasama, terutama

dengan ASEAN. Keempat, bekerjasama dengan negara berkembang dimana

Tiongkok telah mulai menjalin kerjasama dengan negara Afrika dalam bidang

keamanan. Kelima, kerjasama multilateral yang ditandai dengan bergabungnya

Tiongkok dalam organisasi dan perjanjian multilateral internasional.

Selanjutnya, penelitian keempat juga membahas mengenai hubungan

Tiongkok dengan negara-negara lain untuk membangun kerjasama yang win-win,

hubungan non-konflik, non-konfrontatif, dan saling menghormati satu sama lain.

Adapun juga terdapat pembahasan mengenai tantangan yang akan dihadapi

Tiongkok dalam mencapai pembangunan yang diharapkannya. Selain itu, dalam

penelitian ini juga menyatakan bahwa kebangkitan Tiongkok pada saat ini dapat

dikatakan akan menjadi kekuatan alternatif Amerika Serikat dalam tatanan global.

Pada penelitian keempat, perbedaan dengan penelitian penulis ialah

penelitian ini lebih memfokuskan pada pembahasan kebijakan OBOR sebagai

peneguhan atas identitas Tiongkok sedangkan pada penelitian keempat lebih

banyak membahas alasan-alasan lain yang menjadi pertimbangan atas pembuatan

kebijakan OBOR itu sendiri. Sedangkan persamaannya terletak pada pembahasan

kebijakan Tiongkok yang lebih mengutamakan hubungan persahabatan,

mengedepankan cara diplomasi serta berupaya terjalinnya hubungan kerja sama

13

yang saling menguntungkan dengan tujuan terciptanya citra kebangkitan

Tiongkok yang dilakukan secara damai.

Penelitian terdahulu yang kelima diambil dari sebuah Skripsi dengan

judul Kebijakan The New Silk Road Cina Di Bawah Pemerintahan Xi Jinping

yang diteliti oleh Ni Putu Saraswati Puspita Dewi dengan menggunakan konsep

kepentingan nasional dalam penelitiannya.17 Dalam penelitian ini digambarkan

bahwa Tiongkok dalam merealisasikan kebijakan ini melakukan banyak

kerjasama dengan berbagai negara di wilayah tertentu dan menginvestasikan

banyak dana untuk proyek-proyek besar. Di balik itu, Tiongkok memiliki

berbagai kepentingan dalam pembangunan The New Silk Road yang akan

menguntungkan Tiongkok di bidang ekonomi maupun politik. Oleh karena itu,

dengan menggunakan konsep kepentingan nasional akan lebih mudah untuk

menjelaskan kepentingan Tiongkok dalam kebijakan jalur sutra baru. Dalam

penelitian ini, Ni Putu secara tidak langsung menyatakan bahwa kebijakan

tersebut tidak lain adalah untuk mencapai kepentingan nasional Tiongkok.

Selanjutnya pada penelitian ini banyak memaparkan kepentingan

Tiongkok yang ingin dicapai melalui kebijakan OBOR yang berupa kebutuhan

dan keamanan energi Tiongkok serta kepentingan Tiongkok untuk memperluas

akses perdagangan Tiongkok dengan memberikan peluang besar untuk

perusahaan-perusahaan Tiongkok dan juga kepentingan untuk menyebarkan

pengaruh Tiongkok. Adapun Tiongkok melalui kebijakan ini dilihat ingin

17 Ni Putu Saraswati Puspita Dewi, 2017, Kebijakan The New Silk Road Cina Di Bawah

Pemerintahan Xi Jinping, Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas

Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

14

mendominasi tatanan global.

Pada penelitian kelima, persamaan dalam penelitian terdapat pada

pandangan mengenai adanya kepentingan Tiongkok dalam pembuatan kebijakan

OBOR. Sedangkan perbedaan dalam kedua penelitian ini ialah penelitian Ni Putu

secara detail menjelaskan berbagai kepentingan nasional Tiongkok dalam

kebijakan OBOR. Sedangkan penelitian penulis tidak hanya fokus pada

kepentingan nasional Tiongkok melainkan juga menjelaskan bagaimana

kepentingan dan identitas mempengaruhi kebijakan OBOR.

Penelitian terdahulu yang keenam diambil dari sebuah E-Jurnal yang

diteliti oleh Theresa Fallon dengan judul The New Silk Road: Xi Jinping’s

Grand Strategy for Eurasia. 18 Penelitian yang diteliti oleh Theresa Fallon

menggunakan konsep Geopolitik yang berfokus pada Heartland yang digagas

oleh Sir Halford John Mackinder. Mengacu pada kutipan Mackinder yang

terkenal yaitu : “Who rules Eastern Europe commands the Heartland. Who rules

the Heartland commands the World Island. Who rules the World Island

commands the World”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan

Mackinder berpendapat bahwa negara yang mampu mengontrol teritori antara

Jerman dan Siberia dapat mengontrol dunia. Kemudian pernyataan Mackinder

tersebut dikaitkan dengan konsep kebijakan jalur sutra Tiongkok yang dilihat

sebagai strategi untuk menggantikan dominasi Amerika Serikat di mana

Tiongkok ingin memperkuat posisinya di dunia melalui “One Belt One Road”.

Theresa Fallon mengungkapkan bahwa inisiatif Xi Jinping dalam

18 Theresa Fallon, The New Silk Road: Xi Jinping’s Grand Strategy for Eurasia, Journal of

American Foreign Policy Interest, Volume 37, No 3, Agustus 2015:140-147.

15

kebijakan OBOR memiliki tiga tujuan utama yaitu : energi, keamanan dan pasar.

Dengan membangun transportasi dan fasilitas pelabuhan akan mampu mendorong

perdagangan, meningkatkan keamanan di dukung dengan akademisi terkemuka

Tiongkok untuk menjadi perancang jalan jalur sutra baru Xi Jinping guna

menjadikan Tiongkok sebagai Great Power. Dalam penelitian ini juga dijelaskan

bagaimana Tiongkok mulai mengajak berbagai negara untuk mendukung

kebijakan tersebut.

Adapun terdapat perbedaan dan juga persamaan antara penelitian

terdahulu keenam dan penelitian penulis. Persamaannya terletak pada cara

melihat bagaimana Tiongkok ingin memperkuat hubungan kerjasama dengan

negara-negara tetangganya melalui kebijakan OBOR. Perbedaannya ialah dalam

penggunaan teori dan konsep dimana penelitian keenam menggunakan konsep

Geopolitik sebagai kerangka berfikir sehingga hasil penelitiannya bersifat

material. Sedangkan penelitian penulis menggunakan teori konstruktivisme

sehingga hasil penelitiannya bersifat dan membahas hal-hal non material.

Penelitian terdahulu ketujuh yang ditulis oleh Medina Kharisma dalam

bentuk Skripsi dengan judul Implementasi Kebijakan Luar Negeri One Belt

One Road (OBOR) Pada Tahun 2013-2015. 19 Dengan menggunakan

pendekatan strategic-relational oleh Elisabetta Brighi dan Christopher Hill.

Medina banyak membahas tentang bagaimana tiga proses dalam konsep tersebut

yaitu pendefinisian ide Tiongkok dalam membuat kebijakan OBOR dan konteks

yang terlibat. Kemudian bagaimana hubungan antara Tiongkok dan 64 negara yang

19 Kharisma Medina, Op. Cit.,

16

terlibat dalam OBOR dan juga feedback yang dihasilkan dalam pelaksanaan

OBOR di negara-negara yang terlibat dalam OBOR itu sendiri. Selain itu,

penelitian ketujuh juga menjelaskan bagaimana perilaku Tiongkok dan

implementasi OBOR di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Selatan,

Eropa Timur dan Tengah, Timur Tengah dan Mongolia. Penelitian Medina secara

mendetail menjelaskan tiap wilayah yang terlibat dengan proyek-proyek yang

telah terealisasi dalam OBOR.

Persamaan antara penelitian penulis dengan penelitian ketujuh dapat

dilihat pada pembahasan upaya Xi Jinping dalam mendefinisikan ide dalam

membuat kebijakan OBOR. Perbedaannya, penelitian penulis lebih fokus pada

bagaimana identitas Tiongkok yang menjadi alasan dicetuskannya kebijakan

OBOR sedangkan penelitian ketujuh lebih fokus pada slogan chinese dream yang

menjadi tujuan dibuatnya kebijakan OBOR.

Penelitian terdahulu kedelapan diambil dari sebuah Working Paper yang

diteliti oleh Justyna Szczudlik-Tatar dengan judul penelitian China’s New Silk

Road Diplomacy.20 Dalam penelitian ini Tatar membahas mengenai sejarah jalur

sutra, tujuan kebijakan jalur sutra yang diprakasai oleh Xi Jinping serta dibahas

mengenai kunjungan Xi Jinping dengan Perdana Menteri Tiongkok ke beberapa

negara guna mempromosikan kebijakan tersebut. Adapun dalam penelitian ini

dijelaskan bahwa kebijakan jalur sutra baru Tiongkok ini bukanlah hanya sekedar

kebijakan luar negeri melainkan juga sebagai simbol atau slogan baru bagi

Tiongkok untuk memberikan dampak positif bagi negara-negara yang mau

20 Justyna Szczudlik-Tatar, Op, Cit.,

17

mendukung dan terlibat dalam kebijakan tersebut.

Pada penelitian ini juga dijelaskan bagaimana Tiongkok menggunakan

diplomasi terutama bertujuan untuk mengajak negara lain agar terlibat dalam

konsep jalur darat maupun jalur laut. Diplomasi disini digunakan Tiongkok

sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasionalnya dalam kebijakan jalur sutra

baru itu sendiri. Adapun juga dalam penelitian ini menyatakan ada keterkaitan

antara kebijakan domestik Tiongkok yang sering disebut Go West dengan

kebijakan jalur sutra baru dikarenakan kedua kebijakan ini saling berhubungan

satu sama lain. Selain itu, penelitian ini lebih berfokus dengan studi kasus negara

Polandia dimana kebijakan jalur sutra baru Tiongkok merupakan rekomendasi

atau dapat dikatakan sebagai peluang bagi Polandia untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonominya.

Dalam penelitian terdahulu kedelapan, terdapat persamaan yang terletak

pada pembahasan mengenai sejarah, rancangan dan tujuan dari kebijakan tersebut,

serta keinginan Xi Jinping untuk menghidupkan kembali jalur sutra kuno.

Adapun yang membedakan penelitian penulis dan penelitian kedelapan ialah

fokus bahasan OBOR dimana penelitian kedelapan lebih memfokuskan pada

peluang kebijakan tersebut bagi Polandia sedangkan penelitian ini fokus pada

faktor konstruksi identitas Tiongkok.

Penelitian terdahulu kesembilan diambil dari sebuah E-Jurnal yang ditulis

oleh Aasia Khatoon Khattak dan Iram Khalid dengan judul China’s One Belt

One Road Initiative: Towards Mutual Peace & Development.21 Penelitian ini

21 Aasia Khatoon Khattak dan Iram Khalid, China’s One Belt One Road Initiative: Towards

18

banyak berbicara tentang bagaimana Tiongkok ingin membangun dunia yang

damai melalui kerja sama. Penelitian ini berfokus pada jalur OBOR yang akan

melewati pelabuhan muara Brunei dan pelabuhan Sikanoukville Kamboja. Dalam

pembahasannya, penelitian ini juga banyak berbicara mengenai fondasi OBOR

yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kerjasama yang saling menguntungkan,

saling menghormati satu sama lain, integritas teritorial dan kedaulatan serta

saling tidak campur tangan dalam masing-masing masalah internal suatu wilayah.

Prinsip-prinsip tersebut merupakan nilai-nilai inti dari kebijakan nasionalnya

Tiongkok.

Persamaan penelitian kesembilan dengan penelitian penulis ialah pada

pembahasan pembentukkan OBOR yang ditujukan untuk mempromosikan

perdamaian dan pembangunan bukan untuk menjadi hegemoni atau bahkan

menyaingi kekuatan Amerika Serikat. Sedangkan perbedaannya terletak pada

fokus penelitian penulis mengenai bagaimana identitas berpengaruh dalam

membentuk OBOR sedangkan penelitian kesembilan lebih fokus pada penjelasan

jalur OBOR yang melewati pelabuhan Brunei dan Kamboja.

Penelitian terdahulu kesepuluh diambil dari sebuah Jurnal LIPI dengan

judul Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas Dalam

Pembangunan Tiongkok yang diteliti oleh Hayati Nufus. 22 Penelitian ini

menggunakan 2 konsep yakni konsep nasionalisme dan diplomasi. Dalam

penelitian ini menjelaskan bagaimana slogan kebangkitan nasional bangsa

Mutual Peace & Development, Journal of Research Society of Pakistan, Volume 54, No 1,

Januari-Juni 2017:1-20. 22 Hayati Nufus, Impian Tiongkok : Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas Dalam Pembangunan

Tiongkok, Jurnal Penelitian Politik (LIPI), Volume 11, No 2, Desember 2014:43-54.

19

Tionghoa akan diwujudkan melalui kebijakan OBOR. Hal itu berdasarkan atas

sejarah Tiongkok pada masa kejayaannya melalui jalur sutra dinasti Han yang

ingin dihidupkan kembali oleh Xi Jinping.

Selanjutnya penelitian ini juga memaparkan bahwa kebijakan OBOR

digambarkan untuk mempertahankan kekuasaan Xi dan juga PKC, mengingat

bangkitnya bangsa Tionghoa pada zaman dahulu dikarenakan peran dari PKC itu

sendiri. Singkatnya, tujuan kebijakan OBOR ialah untuk membangkitkan rasa

nasionalisme Tionghoa dan mempertahankan kekuasaan PKC.

Adapun terdapat perbedaan antara penelitian kesepuluh dan penelitian

penulis yaitu penelitian kesepuluh berfokus pada slogan chinese dream sebagai

kebangkitan nasional bangsa Tionghoa yang menjadi tujuan kebijakan OBOR.

Sedangkan penelitian penulis lebih fokus pada kebijakan OBOR yang menjadi

peneguhan atas identitas Tiongkok. Persamaannya terletak pada penjelasan

cita-cita Tiongkok yang ingin membangun kembali jalur sutra melalui OBOR.

Penelitian terdahulu selanjutnya berasal dari Skripsi yang ditulis oleh

Ainun Jariah dengan judul Pengaruh Confucianisme Terhadap Konsepsi

Deng Xiaoping Dalam Implementasi Kebijakan Reformasi Ekonomi

China.23 Penelitian tersebut banyak membahas mengenai filsafat confucianisme

yang kemudian nilai kerja sama yang ada di dalamnya mempengaruhi Deng

Xiaoping untuk membuat kebijakan reformasi ekonomi. Hal ini dikarenakan

Deng Xiaoping ingin mensejahterakan rakyat dan melalui keterbukaan diri atau

23 Ainun Jariah, 2014, Pengaruh Confucianisme Terhadap Konsepsi Deng Xiaoping Dalam

Implementasi Kebijakan Reformasi Ekonomi China, Skripsi, Malang: Jurusan Hubungan

Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

20

reformasi ekonomi itu adalah salah satu cara yang dilakukannya. Selain itu,

dengan menggunakan teori konstruktivisme, dapat di identifikasi bahwa pengaruh

confucianisme terhadap kebijakan reformasi ekonomi dapat dilihat melalui

pernyataan atau penggunaan bahasa Deng Xiaoping yang diyakini mampu

membawa perubahan bagi Tiongkok.

Persamaan antara penelitian penulis dan penelitian Ainun adalah

sama-sama menggunakan teori konstruktivisme dalam menganalisis kebijakan

laur negeri Tiongkok. Namun perbedaannya terletak pada penggunaan

konstruktivisme yang digunakan penulis ialah konsep identitas Alexander Wendt

sedangkan penelitian Ainun menggunakan konstruktivisme modernis linguistik

milik Krachtochwil. Adapun perbedaan juga terletak pada kebijakan yang diteliti

dimana penelitian penulis membahas kebijakan OBOR yang dicetuskan Xi

Jinping sedangkan penelitian Ainun menganalisis kebijakan reformasi ekonomi

Deng Xiaoping.

Penelitian terdahulu yang terakhir diambil dari hasil tulisan Camilla T.N

Sorensen yang berjudul The Significance of Xi Jinping’s “Chinese Dream” for

Chinese Foreign Policy: From “Tao Guang Yang Hui” to “Fen Fa You Wei”.24

Dalam jurnalnya, dijelaskan bahwa Xi Jinping menggunakan slogan “Chinese

Dream” yang dimaksudkan sebagai visi pembangunan Tiongkok dalam beberapa

dekade kedepan dimana pada intinya ditujukan untuk pembaruan. Selain itu juga

dijelaskan bahwa Xi Jinping menggunakan konsep “Fen Fa You Wei” atau

24 Camilla T.N Sorensen, The Significance of Xi Jinping’s “Chinese Dream” for Chinese Foreign

Policy: From “Tao Guang Yang Hui” to “Fen Fa You Wei”, Journal of China and International

Relations, Volume 3, No 1, 2015:53-73.

21

Striving for Achievement yang digunakan untuk mewujudkan chinese dream.

Adapun konsep baru yang digunakan Xi Jinping itu dikatakan telah

menggantikan konsep Deng Xiaoping yakni “Tao Guang Yang Hui” atau Hide

Capabilities and Keep a Low Profil yang biasanya digunakan sebagai pedoman

sentral strategi kebijakan luar negeri Tiongkok. Dalam jurnal tersebut juga

dijelaskan bahwa cara Xi Jinping mewujudkan chinese dream salah satunya

dengan mempromosikan dua konsep jalur laut dan darat dalam jalur sutra baru

yang digagas menjadi suatu kebijakan luar negeri.

Kemudian, yang menjadi perbedaan pada jurnal diatas dan penelitian

penulis adalah penulis lebih fokus pada pembahasan konstruksi identitas

Tiongkok dalam OBOR sedangkan jurnal diatas lebih fokus pada chinese dream

dalam OBOR. Sedangkan persamaannya terletak pada persamaan teori yang

digunakan yaitu konstruktivisme.

Adapun untuk memudahkan penulisan, peneliti menggunakan tabel posisi

penelitian yang berisikan keterangan dan hasil dari penelitian terdahulu secara

singkat, sebagai berikut :

Tabel 1.1 Posisi Penelitian

No Judul dan Nama

Peneliti

Metodologi Hasil

1 E-Jurnal:

Building China’s

Soft Power for a

Peaceful Rise

Oleh: Xin Li dan

Jenis Penelitian:

Deskriptif

Pendekatan:

-Tiongkok mengadopsi soft power

untuk mencapai peaceful rise.

-Terdapat enam sumber soft power

Tiongkok: Cultural Attractiveness,

Political Values, Development

Model, International Institutions,

International Image, dan

Economic Temptation.

22

Verner Worm

(2011)

Diplomasi -Tiga jalan yang digunakan

Tiongkok untuk menggunakan soft

power: diplomasi formal, ekonomi,

dan budaya.

2 E-Jurnal:

Community of

Common Destiny

Sebagai Platform

Kebijakan Luar

Negeri China

Dalam Merespon

Globalisasi Ala

Barat

Oleh: Laras

Ningrum

Fatmasiwi

(2017)

Jenis Penelitian:

Eksplanatif

Pendekatan:

Konstruktivis

-OBOR hadir sebagai respon

terhadap globalisasi ekonomi ala

Barat.

-OBOR terbentuk karena nilai

domestik yakni nilai

konfusianisme dan struktur

internasional yakni globalisasi

ekonomi.

-Tiongkok membentuk Asian

Infrastructure Investment Bank

(AIIB) sebagai tandingan

International Monetary Fund

(IMF).

3 E-Jurnal:

China’s New

Foreign Policy

Under Xi Jinping:

Towards ‘Peaceful

Rise 2.0’?

Oleh: Jian Zhang

(2015)

Jenis Penelitian:

Deskriptif

Pendekatan:

Analisis Politik

Luar Negeri

-Kebijakan Tiongkok terbilang

lebih aktif dibawah kepemimpinan

Xi Jinping, yang kemudian

didefinisikan sebagai peaceful rise

2.0.

-Tiga atribut peaceful rise 2.0,

yaitu melindungi kepentingan

nasional, komitmen Tiongkok

terhadap peaceful development

menjadi bersyarat yang didasarkan

pada timbal balik, dan

menggunakan pendekatan yang

lebih proaktif dan terkoordinasi

untuk menciptakan lingkungan

eksternal yang stabil dalam

pembangunan domestik Tiongkok.

4 E-Jurnal:

An Overview of

the Chinese

Agenda: Global

Sustainable Peace

and Development

Oleh: Hans

Nibshan eesaghur

dan Ethan

Robertson

(2016)

Jenis Penelitian:

Deskriptif

Pendekatan:

Diplomasi

-Terdapat lima alasan utama dalam

pembuatan kebijakan Tiongkok,

yakni: Peaceful Development, New

Model of Major-country Relations,

Neighbourhood Diplomacy,

Cooperation with Developing

Countries, dan Multilateral

Relations.

-Lima alasan tersebut menjadi

dasar atas peneguhan peaceful rise.

-Tiongkok ingin menjalin

kerjasama win-win, non-konflik,

23

non-konfrontatif dan saling

menghormati.

5 Skripsi:

Kebijakan The

New Silk Road

Cina Di Bawah

Pemerintahan Xi

Jinping

Oleh: Ni Putu

Saraswati Puspita

Dewi (2017)

Jenis Penelitian:

Deskriptif

Pendekatan:

Kepentingan

Nasional

-Merealisasikan OBOR dengan

melakukan kerjasama-kerjasama

dengan berbagai negara.

-Melakukan investasi untuk

membangun proyek-proyek besar

(infrastruktur, pelabuhan, kereta

api cepat).

-Terdapat berbagai kepentingan

Tiongkok dalam pembangunan The

New Silk Road terutama di bidang

ekonomi dan politik.

6 E-Jurnal:

The New Silk

Road: Xi Jinping’s

Grand Strategy for

Eurasia

Oleh: Theresa

Fallon (2015)

Jenis Penelitian:

Eksplanatif

Pendekatan:

Geopolitik

-Tiga tujuan utama yaitu kebijakan

jalur sutra baru: energi, keamanan

dan pasar.

-Membangun transportasi dan

fasilitas pelabuhan guna

mendorong perdagangan

internasional dan meningkatkan

keamanan perdagangan.

-Tiongkok menggunakan strategi

geopolitik agar negara-negara

Eurasia mendukung kebijakannya.

7 Skripsi:

Implementasi

Kebijakan Luar

Negeri One Belt

One Road

(OBOR) Pada

Tahun 2013-2015

Oleh: Medina

Kharisma (2017)

Jenis Penelitian:

Deskriptif

Analisis

Pendekatan:

Strategic-

relational

-Ide pembuatan OBOR

berdasarkan pada tujuan Chinese

Dream yang diadopsi oleh Xi

Jinping.

-Tiongkok meminta dukungan

terhadap wilayah-wilayah yang

terlibat OBOR.

-Inisiatif Tiongkok melalui OBOR

sebagian besar diterima baik

dengan negara-negara yang akan

terlibat di dalamnya disertai

dengan membangun proyek-proyek

OBOR.

8 Working Paper:

China’s New Silk

Road Diplomacy

Oleh: Justyna

Azczudlik-Tatar

(2013)

Jenis Penelitian:

Deskriptif

Pendekatan:

Diplomasi

-Kebijakan OBOR menjadi simbol

Tiongkok.

-Menggunakan diplomasi sebagai

alat untuk mengajak negara lain

untuk terlibat dalam konsep

OBOR.

-Memberikan peluang terhadap

Polandia untuk pembangunan

ekonomi.

24

9 E-Jurnal:

China’s One Belt

One Road

Initiative: Towards

Mutual Peace &

Development

Oleh: Aasia

Khatoon Khattak

dan Iram Khalid

(2017)

Jenis Penelitian:

Deskriptif

Analisis

Pendekatan:

Soft Power

-Hubungan baik yang telah di

bangun dalam kerja sama

Tiongkok dan ASEAN

memudahkan Tiongkok untuk

melibatkan pelabuhan Muara

Brunei dan pelabuhan

Sikanoukville Kamboja dalam

agenda kebijakan OBOR.

10 E-Jurnal:

Impian Tiongkok:

Nasionalisme

Tiongkok

Melintas Batas

Dalam

Pembangunan

Tiongkok

Oleh: Hayati

Nufus (2014)

Jenis Penelitian:

Deskriptif

Pendekatan:

Nasionalisme

Diplomasi

-Slogan Xi Jinping (Zhongguo

meng) merupakan alasan

perumusan kebijakan OBOR.

-Tiongkok ingin membangun rasa

nasionalisme melalui OBOR guna

memperkuat kekuasannya dan

PKC.

-Tiongkok menggunakan strategi

diplomasi terhadap negar-negara

yang terlibat guna meligitimasi

prinsipnya.

11 Skripsi:

Pengaruh

Confucianisme

Terhadap

Konsepsi Deng

Xiaoping Dalam

Implementasi

Kebijakan

Reformasi

Ekonomi China

Oleh: Ainun Jariah

(2014)

Jenis Penelitian:

Eksplanatif

Pendekatan:

Konstruktivis

Modernis

Linguistik

-Nilai, moral, bahasa dalam filsafat

confucianisme telah

mengkonstruksi Deng Xiaoping

dalam pembentukkan kebijakan

reformasi ekonomi.

-Pengaruh nilai confucianisme itu

sendiri didapat Deng Xiaoping

melalui latar belakang hidupnya,

yakni pengaruh lingkungan

keluarga, pendidikan dan

lingkungan sosial budaya.

12 E-Jurnal:

The Significance

of Xi Jinping’s

“Chinese Dream”

for Chinese

Foreign Policy:

From “Tao Guang

Yang Hui” to

“Fen Fa You Wei”

Jenis Penelitian:

Deskriptif -

Deduktif

-Peran, identitas dan sistem

intenasional memiliki peran

penting dalam mempengaruhi

pemimpin Tiongkok dalam

membuat kebijakan luar negeri.

-Xi Jinping menggunakan slogan

“Chinese Dream” dan konsep

Striving for Achievement dalam

kebijakan luar negerinya.

-Konsep Striving for Achievement

25

Oleh: Camilla T.N

Sorensen (2015)

Pendekatan:

Konstruktivis

dikatakan telah menggantikan

konsep Hide Capabilities and Keep

a Low Profil.

13 Skripsi:

Faktor Konstruksi

Identitas dalam

Kebijakan One

Belt One Road

Tiongkok

Oleh: Monalita

Razmayani Oedi

(2019)

Jenis Penelitian:

Eksplanatif

Pendekatan:

Konstruktivis

-Pembuatan kebijakan OBOR

dipengaruhi oleh kepentingan

Tiongkok untuk berbagi

pengalaman serta pertumbuhan

Tiongkok dengan negara lain.

-Kepentingan Tiongkok itu sendiri

dipengaruhi oleh identitas yang

dimiliki oleh Tiongkok.

-Melalui kebijakan OBOR,

Tiongkok ingin meneguhkan

identitasnya.

1.5 Kerangka Teori

Untuk menganalisa suatu fenomena atau permasalahan dalam hubungan

internasional dibutuhkan teori yang mampu menjelaskan paling umum mengapa

sesuatu terjadi dan kapan peristiwa tersebut akan terjadi lagi. Adapun teori dapat

digunakan sebagai alat eksplanasi dan prediksi. 25 Dengan kata lain, dapat

dikatakan bahwa teori berfungsi untuk memberikan kerangka hipotesa secara

logis dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi. Oleh karena itu,

penulis menggunakan teori konstruktivisme untuk menjawab rumusan masalah

penelitian yang kemudian akan membantu penulis untuk menjelaskan alasan

Tiongkok dalam pembuatan kebijakan OBOR yang dibentuk oleh kepentingan

dan identitas.

1.5.1 Konstruktivisme

25 Mohtar Mas'oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional Displin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES,

hal. 217.

26

Konstruktivisme merupakan suatu pendekatan empiris yang biasanya

digunakan untuk meneliti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hubungan

internasional. Konstruktivis itu sendiri mulai berkembang secara signifikan pada

awal tahun 1980an. Adapun konstruktivisme berfokus pada ide intersubjektif dan

makna yang mampu mendefinisikan suatu tindakan ataupun peristiwa. Namun,

selain ide dan makna, konstruktivisme juga menitikberatkan fokusnya pada

keyakinan dan identitas yang kemudian hal tersebut menjadi pertimbangan para

aktor terutama negara dalam berinteraksi di lingkup internasional.26

Dalam konteks memahami analisis politik luar negeri, konstruktivisme

hadir sebagai kritikan realisme dan liberalisme. Bagi konstruktivis kedua

pandangan tersebut hanya mementingkan aspek-aspek material saja atau sebatas

mengukur untung rugi. Berbeda dengan pandangan konstruktivis yang melihat

tindakan suatu negara juga sering dipengaruhi oleh aspek gagasan yang bersifat

non-material yakni struktur intersubjektivitas. Adapun dalam pandangan

konstruktivisme, hubungan kerjasama atau konflik antar negara hadir bukan

karena tidak sengaja melainkan hubungan tersebut secara sengaja diciptakan oleh

aktor-aktor itu sendiri.27

Singkatnya, dasar pemikiran konstruktivisme berkaitan erat dengan peran

gagasan dalam membangun kehidupan sosial disertai dengan ide-ide yang

memberikan makna. Melalui ide itulah konstruktivis mencoba menunjukkan sifat

dasar suatu aktor yang dibangun secara sosial. Pada tingkat yang lebih dalam,

26 Robert Jackson dan George Sorensen, (terj. Dadan Suryadiputra), 2014, Pengantar Studi

Hubungan Internasional : Teori dan Pendekatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 374. 27 Abubakar Eby Hara, 2011, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme Sampai

Kontruktivisme, Bandung: Nuansa, hal. 138.

27

konstruktivis mengutamakan fokusnya pada kondisi-kondisi pokok dari

subjektivitas tertentu.28

Lebih jauh, penjelasan konstruktivisme juga menekankan pada pentingnya

peranan kesepakatan bersama (shared understanding) dalam suatu peristiwa di

suatu negara yang akan mempengaruhi setiap keputusan dalam membentuk

kebijakan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori konstruktivisme

varian sistemik dalam kerangka pemikiran Alexander Wendt untuk menjelaskan

faktor konstruksi identitas dalam kebijakan OBOR. Menurut Wendt sendiri,

kontruktivisme melihat hubungan yang terjalin antar negara berdasarkan pada

identitas tertentu yang melekat pada masing-masing negara.29 Hal tersebut lantas

melahirkan asumsi bahwa hubungan baik atau buruk antara negara satu dengan

lainnya berdasarkan pada cara pandang suatu negara terhadap negara lain dalam

arti apakah negara tersebut dianggap sebagai kawan atau lawan.

Selain itu, menurut Wendt terdapat tiga klaim utama yang menjadi esensi

teori konstruktivisme, antara lain: (1) negara merupakan aktor utama dalam

analisis teori politik internasional, (2) struktur sistem negara cenderung bersifat

intersubjektifitas dari pada material, (3) identitas dan kepentingan negara adalah

sesuatu yang dibentuk oleh struktur sosial, bukan diberikan secara eksogen oleh

politik domestik.30

Selanjutnya, Wendt juga menjelaskan bagaimana identitas ataupun norma

28 Lihat James Fearon dan Alexander Wendt, “Rasionalisme Lawan Konstruktivisme: Sebuah

Pandangan Skeptis,” dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons (ed.), 2013, Handbook Hubungan Internasional, Bandung: Nusa Media, hal. 113. 29 Ibid., hal. 138. 30 Alexander Wendt, Collective Identity Formation and The International State, Journal of The

American Political Science Review, Volume 88, No 2, Juni 1994:384-396, hal. 385.

28

akan membentuk kepentingan suatu negara yang pada akhirnya akan membentuk

tindakan-tindakan tertentu, biasanya dalam bentuk kebijakan luar negeri.

Singkatnya, tindakan negara sering dipengaruhi oleh keberadaan identitas atau

norma. Adapun penulis disini menggunakan konsep identitas yang menjadi

konsep utama dalam perspektif konstruktivisme dan akan mengacu pada konsep

dan jenis identitas menurut Wendt. Identitas itu sendiri di definisikan oleh Wendt

sebagai atribut yang dimiliki oleh aktor yang nantinya akan menentukan

bagaimana seharusnya aktor (negara) tersebut bertindak. 31 Singkatnya,

keberadaan identitas tertentu menentukan perilaku negara yang juga di dorong

oleh kepentingan.

Hal tersebut tidak terlepas dari adanya keterkaitan antara identitas dan

kepentingan, karena menurut Wendt suatu aktor tidak dapat mengetahui apa yang

diinginkannya sebelum mengetahui siapa dirinya terlebih dahulu. Maka dari itu,

baik kepentingan maupun identitas memiliki peran yang sama-sama penting.

Dengan adanya keinginan dan keyakinan akan menentukan suatu tindakan yang

mencerminkan bentuk dari identitas suatu negara.32

Konsep identitas itu sendiri dapat dipahami melalui dua pemaknaan.

Pertama, identitas sebagai kategori sosial yaitu atribut atau karakteristik yang

membedakannya dengan pihak yang lain. Hal ini dikarenakan identitas kategori

sosial terbentuk karena terkonstruksi melalui proses interaksi antara negara satu

dengan yang lainnya. Yang berarti identitas disini harus ada intersubjektivitas dan

31 Alexander Wendt, 1999, Social Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge

University Press, hal. 224. 32 Ibid., hal. 230.

29

eksistensi pihak lain (significant other) untuk memberi makna siapa “saya” dan

siapa “anda”. Singkatnya keberadaan significant other dibutuhkan untuk

menguatkan identitas suatu pihak. Identitas kategori ini bersifat dinamis

tergantung proses pemaknaan dalam sebuah proses interaksi.33

Kedua, identitas sebagai kategori personal yaitu atribut atau karakteristik

yang melekat dalam diri aktor di mana keberadaan identitas ini terbentuk sejak

awal tanpa memerlukan intersubjektivitas. Dalam hal ini, identitas kategori

personal dilihat sebagai sesuatu yang disadari sendiri (self-awareness) oleh aktor

tanpa eksistensi dari pihak lain. Identitas personal memandang dirinya sebagai

aktor yang unik sehingga membedakannya dengan aktor lain.34 Berdasarkan pada

penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa kedua ketegori identitas di atas berbeda

secara konseptual. Namun pada intinya tetap sama yakni identitas merupakan

atribut yang melekat pada diri aktor dimana berfungsi untuk mengidentifikasi

antara diri sendiri dengan pihak lain.

Untuk pemahaman yang lebih lanjut, Wendt mengkategorikan terdapat

empat jenis identitas dalam konstruktivis, antara lain: 35 Pertama, identitas

personal atau corporate identity yaitu atribut yang membentuk eksistensi negara

yang kemudian membedakannya dengan negara lain. Identitas ini muncul dari

kesadaran negara itu sendiri tanpa memerlukan pihak lain. Pada dasarnya semua

negara memiliki identitas personal yang membuatnya berbeda dengan pihak lain.

33 Mohamad Rosyidin, Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias Konstruksi Barat

terhadap Ancaman Uji Coba Rudal Korea Utara dan India, Jurnal Transformasi Global, Volume 1, No 2, Desember 2014:111-212, hal. 148. 34 Ibid., hal. 149. 35 Mohamad Rosyidin, 2015, The Power of Ideas Konstruktivisme dalam Studi Hubungan

Internasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 51-57.

30

Misalnya seperti perilaku, pemikiran, bentuk fisik, pengakuan, tujuan nasional,

nasionalisme dan seterusnya.

Adapun Wendt mengidentifikasi dalam identitas personal yang dimiliki

oleh suatu negara berdasarkan pada empat kepentingan yang diinginkan oleh

negara itu sendiri, yaitu : (1) Physical Security yakni melindungi keamanan fisik

negaranya (kedaulatan), (2) Ontological Security yakni keinginan untuk

menciptakan identitas sosial yang stabil, (3) Recognition as an actor by others

yakni keinginan untuk diakui dan dihormati oleh pihak (negara) lain, Rosyidin

menyebutnya sebagai kepentingan ‘harga diri’, (4) Development yakni keinginan

untuk meningkatkan kehidupan masyarakat yang lebih baik (kesejahteraan).36

Dengan adanya sejumlah kepentingan tersebut kemudian memberikan dorongan

terhadap negara untuk bertindak sesuai kepentingannya.

Kedua, identitas golongan atau type identity yaitu identitas yang

menggolongkan suatu negara ke dalam kategori tertentu melalui interaksi

internasional. Identitas ini dimiliki oleh suatu negara tanpa memerlukan pihak

lain untuk membenarkannya. Misalnya, suatu negara disebut sebagai negara

demokrasi karena suatu negara tersebut mengimplementasikan nilai-nilai

demokrasi dalam sistem politiknya.

Ketiga, identitas peran atau role identity yakni identitas yang terbentuk

atas dasar kedudukan aktor dalam suatu komunitas dan untuk mendapatkan

identitas tersebut suatu negara memerlukan pihak lain (significant others) dalam

tugas yang di dapat dari perannya tersebut. Dengan kata lain, identitas peran

36 Wendt, Loc. Cit.,

31

membutuhkan pihak lain guna menjadi “cermin” dalam memaknai dirinya. Selain

itu, identitas disini hadir bukan terbentuk dengan sendirinya melainkan harus ada

negara-negara yang saling berinterkasi.

Adapun Wendt mengatakan bahwa hal terpenting dalam mendefinisikan

peran bukanlah suatu pelembagaan tetapi tingkat saling ketergantungan antara

satu negara dengan negara lainnya.37 Dengan kata lain, identitas peran terbentuk

berdasarkan pada budaya dan harapan bersama, yang berarti identitas ini tidak

dapat diberlakukan hanya pada diri sendiri. Namun, terbentuk karena adanya

posisi atau kedudukan tertentu suatu aktor dalam struktur sosial dan di sisi yang

sama juga mengamati norma yang berlaku pada aktor lain yang memiliki

identitas kontra yang relevan. 38 Misalnya, Amerika Serikat sebagai negara

pembela HAM, dimana identitas tersebut di dapatnya dari keanggotaannya di

PBB dan karena terdapat beberapa negara yang melanggar HAM yang menjadi

significant others.

Keempat, identitas kolektif atau collective identity yaitu kesamaan

pandangan dan pikiran antar negara dalam suatu kumpulan negara atau komunitas.

Adapun identitas ini didapat dari rasa solidaritas yang dimiliki negara karena

tergabung dalam komunitas tertentu. Misalnya, suatu kumpulan negara akan

menyerang suatu negara yang dianggap musuh bagi anggota kelompoknya.

Mengacu pada penjelasan di atas, kemudian melahirkan konsepsi bahwa

perilaku atau tindakan suatu negara dalam konteks hubungan internasional yang

37 Wendt, Op. Cit., 228. 38 Maysam Behravesh, The Thrust of Wendtian Constructivism, Lund University, diakses dalam

http://www.e-ir.info/2011/03/09/the-thrust-of-wendtian-constructivism/ (21/11/2018, 21.47 WIB).

32

dilakukan negara dilatarbelakangi oleh faktor identitas yang dimilikinya. Oleh

karena itu, identitas sangat berperan penting dalam mendefinisikan kepentingan

dan menentukan tindakan suatu negara.

Gambar 1.1 Alur Berpikir Konstruktivisme

Identitas

Tindakan Kepentingan

Sumber : The Power of Ideas Konstruktivisme Dalam Studi HI (Mohammad Rosyidin, 2015)

Berdasarkan pada gambar di atas, alur penjelasan tindakan, kepentingan

dan identitas yang dimaksud akan dikaitkan dengan kebijakan OBOR Tiongkok.

Konsep identitas dalam konstruktivisme menurut Wendt di sini digunakan oleh

penulis untuk menjelaskan kebijakan OBOR yang merupakan tindakan Tiongkok

yang terbentuk dikarenakan terdapat beberapa kepentingan yang ingin dicapai

oleh Tiongkok, yakni keinginan untuk berbagi pembangunan bersama dengan

negara lain.

Kepentingan tersebut terbentuk melalui interaksi Tiongkok dengan negara

lain yang kemudian menjadi pedoman kebijakan luar negeri Tiongkok yaitu

melalui OBOR. Dengan begitu, dalam konteks kebijakan OBOR dan kepentingan

di atas, tipologi identitas Alexander Wendt yang sesuai untuk menjelaskan hal itu

adalah identitas peran.

Seperti yang dibahas dalam konstruktivisme, aktor pembuat kebijakan

33

luar negeri sering melakukan proses pemaknaan terhadap diri sendiri dan negara

lain. Begitupun dengan Tiongkok disini yang melihat dirinya sebagai negara yang

sedang tumbuh pesat dalam bidang ekonomi, sehingga Tiongkok mendefinisikan

dirinya sebagai negara yang seharusnya memiliki peran lebih dalam

pembangunan global. Sedangkan negara-negara yang terlibat dalam OBOR

dilihat Tiongkok sebagai negara-negara tetangga yang memang pada dasarnya

Tiongkok ingin menjalin hubungan baik dengan negara tetangga sehingga dapat

dikatakan sebagai “kawan” bagi Tiongkok.

Melihat tindakan Tiongkok melalui OBOR terdapat korelasi dengan

pernyataan Wendt, “…the way international politics is conducted is made, not

given, because identities and interest are constructed and supported by

intersubjective practice…”39 hal ini sama dengan argumennya “Anarchy is what

states make of it” yang berarti bahwa dalam pandangan konstruktivisme politik

internasional sejatinya merupakan konstruksi sosial yang dihasilkan dari proses

interaksi antar negara. Oleh karena itu, identitas dan kepentingan dibentuk dari

intersubjektif. Dalam kaitannya dengan penelitian ini ialah OBOR Tiongkok tidak

hadir secara alami atau apa adanya melainkan OBOR hadir secara sengaja yang

dipengaruhi oleh kepentingan dan identitasnya Tiongkok. Analisa lebih lengkap

akan dijelaskan oleh penulis dalam Bab analisis.

1.6 Metode Penelitian

39 Mila Cahya L.J.F, 2018, Kebijakan One China Policy Versi Taiwan Sebagai Respon Reunifikasi

Tiongkok Pada Masa Pemerintahan Lee Teng Hui, Skripsi, Malang: Jurusan Hubungan

Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang, hal. 24.

34

Metodologi penelitian sangat dibutuhkan dalam melakukan suatu

penelitian. Hal ini dikarenakan metodologi penelitian dapat mempermudah

peneliti untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi dalam

melakukan penelitian, sehingga dapat menghasilkan penelitian yang benar dan

akurat serta tidak diragukan lagi dalam menentukan kesimpulan. Selain itu,

metodologi penelitian juga dapat membantu penulisan suatu penelitian agar lebih

sistematis.

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan eksplanatif.

Adapun penelitian eksplanatif berusaha untuk menjawab pertanyaan “mengapa”

dan lebih lanjut menjelaskan hubungan antar dua variabel atau lebih. Penelitian

eksplanatif digunakan untuk mengetahui jawaban mengapa suatu peristiwa atau

fenomena dapat terjadi.40 Dengan menggunakan penelitian eksplanatif kemudian

penulis akan menjelaskan faktor konstruksi identitas Tiongkok dalam pembuatan

kebijakan One Belt One Road.

1.6.2 Variabel Penelitian dan Level Analisa

Penelitian yang menggunakan pendekatan eksplanatif mengharuskan

peneliti untuk menentukan tingkat analisa terhadap isu yang di teliti. Oleh karena

itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan tingkat analisa yang terdiri dari

unit analisa atau juga disebut sebagai variabel dependen yaitu perilaku yang

40 Ulber Silalahi, 2009, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama, hal. 30.

35

hendak di deskripsikan, jelaskan dan ramalkan. Selanjutnya, unit eksplanasi atau

variabel independen adalah sesuatu yang berdampak terhadap unit analisa yang di

amati.41

Adapun identitas Tiongkok sebagai unit analisa Negara-Bangsa (variabel

dependen) yang akan di deskripsikan dan dijelaskan, sedangkan kebijakan One

Belt One Road Tiongkok sebagai unit eksplanasi Negara-Bangsa (variabel

independen). Dengan demikian, penelitian ini menggunakan model penelitian

korelasionis dimana unit eksplanasi dan unit analisanya pada tingkat yang sama.

1.6.3 Teknik Analisa Data

Penelitian ini menggunakan teknik deduktif dimana berusaha menganalisa

fenomena yang penulis teliti dengan menguji menggunakan teori yang di anggap

mampu untuk menjelaskan keterkaitan diantara keduanya.42 Penelitian ini juga

menggunakan teknik analisa data kualitatif, penulis melakukan teknik analisa

data melalui analisa non statistik yang berarti tabel, gambar, grafik angka yang

tersedia akan diuraikan dan ditafsirkan ke dalam bentuk paragraf. Adapun teknik

analisis data tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni klasifikasi data,

memberi interpretasi pada data serta menyingkatkan data sehingga lebih mudah

untuk dibaca dan dipahami. Selain itu, penulis menggunakan suatu teori yang

relevan dengan fenomena yang diteliti yang kemudian dapat dirumuskan suatu

hipotesa.

41 Mohtar Mas’oed, Op. Cit., hal. 35. 42 Mohtar Mas’oed, Ibid., hal. 79.

36

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

tinjauan pustaka atau studi dokumentasi. Dengan mengumpulkan data sekunder

yang bersumber dari berbagai buku, jurnal, skripsi, artikel, berita, laporan

pernyataan presiden dan pemerintah Tiongkok, website resmi dan sumber data

pendukung lainnya yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang akan di

bahas dalam penelitian ini dimana tingkat kapabilitasnya dan validitasnya dapat

dipertanggung jawabkan.

1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian

a. Batasan Waktu

Batasan waktu dalam suatu penelitian sangat diperlukan agar bahasan

dalam penelitian fokus pada jangka waktu yang telah ditentukan. Maka

dari itu, dalam penelitian ini batasan waktu yang menjadi fokus penulis

adalah sejak tahun 2003 dimana pada saat itu Tiongkok mulai

mengkonsepkan peaceful rise hingga terbentuknya OBOR pada tahun

2013.

b. Batasan Materi

Selain batasan waktu, batasan materi juga diperlukan dalam suatu

penelitian agar fokus penelitian tidak terlalu luas. Adapun ruang

lingkup batasan materi dalam penelitian ini adalah penulis hanya akan

membahas mengenai hal-hal non material yang mempengaruhi

37

terbentuknya OBOR.

1.7 Hipotesa

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas dengan

menggunakan pendekatan konstruktivisme, penelitian ini mengajukan jawaban

sementara bahwa terdapat faktor yang menyebabkan Tiongkok membuat kebijakan

OBOR (One Belt One Road). Kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai hasil dari

konsepsi identitas Tiongkok yang ingin diteguhkan melalui OBOR.

Selain itu, melalui pemahaman konstruktivisme yang dibangun oleh Wendt,

bahwa kepentingan dan identitas suatu negara cenderung menentukan perilaku

atau tindakan suatu negara. Maka kebijakan OBOR yang akan menghubungkan

Tiongkok dengan negara-negara Eurasia baik melalui jalur darat maupun jalur

laut merupakan bentuk tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok. Adapun tindakan

tersebut dilatar belakangi oleh kepentingan yang ingin dicapai Tiongkok yakni

keinginan untuk membantu pertumbuhan negara-negara lain, terutama yang

terlibat dalam proyek OBOR.

Hadirnya kepentingan itu sendiri dipengaruhi karena adanya identitas

yang dimiliki oleh Tiongkok. Dengan kata lain, tujuan dari pembuatan kebijakan

OBOR ialah Tiongkok ingin meneguhkan identitas yang dimilikinya. Singkatnya,

kebijakan OBOR bukanlah mengenai persoalan kepentingan yang bersifat

material melainkan lebih berkenaan dengan peneguhan atas identitas Tiongkok

itu sendiri.

38

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dijabarkan dalam beberapa Bab dan Sub Bab yang

disesuaikan dengan urutan kerangka pemikiran, sebagai berikut :

BAB I membahas latar belakang permasalahan yang diangkat dalam penelitian

ini dan penjelasan topik penelitian secara singkat. Kemudian pada Bab I juga

dijabarkan penunjang kerangka penelitian seperti rumusan masalah, tujuan dan

manfaat, penelitian terdahulu, teori yang digunakan yakni konstruktivisme,

metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, variabel penelitian dan level

analisa, teknik analisa data, teknik pengumpulan data serta ruang lingkup

penelitian. Pada bagian akhir dilengkapi dengan hipotesa dan sistematika

penulisan.

BAB II memaparkan tentang data-data penunjang dalam melakukan analisis

penelitian. Data tersebut berupa sejarah jalur sutra kuno Tiongkok sebagai

penjelasan bahwa OBOR bukanlah sesuatu hal yang baru. Kebangkitan ekonomi

Tiongkok sebagai penjelasan bahwa Tiongkok bukan negara yang agresif

melainkan Tiongkok adalah negara yang lebih mengedepankan kerja sama.

Selanjutnya, terdapat penjelasan mengenai kebijakan OBOR secara umum

disertai dengan tujuan utama dalam OBOR, dan dua jalur dalam OBOR yaitu

New Silk Road Economic Belt (jalur darat) dan 21st Century Maritime Silk Road

(jalur laut).

39

BAB III menjelaskan fokus utama dalam penelitian yakni keterkaitan antara

kebijakan OBOR Tiongkok dan teori konstruktivisme. Adapun pembahasan pada

Bab III dapat dikatakan sebagai hasil analisis yang berupa penjelasan mengenai

peaceful rise sebagai salah satu alasan dibuatnya OBOR. Lebih lanjut, dijelaskan

juga mengenai proses pembuatan kebijakan OBOR yang dipengaruhi oleh faktor

eksternal dan internal yang bersifat non material sebagaimana sesuai dengan

pandangan konstruktivisme dalam melihat perilaku negara. Pada Sub Bab

terakhir dijelaskan bagaimana nilai budaya dan norma internasional mampu

membentuk identitas Tiongkok yang diperjelas dengan pernyataan-pernyataan

pemerintahan Tiongkok.

BAB IV berupa kesimpulan yang mengacu pada hasil penelitian dan juga disertai

dengan saran untuk penelitian lanjutan.