Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perekonomian Tiongkok telah tumbuh secara signifikan sejak
pemerintahan Deng Xiaoping yang ditandai pada tahun 1978 setelah
dicetuskannya Open Door Policy atau yang lebih dikenal dengan sebutan
reformasi ekonomi. Pertumbuhan ini juga menandakan berakhirnya masa
isolasionis Tiongkok di bawah kepemimpinan Mao Zedong yang anti Barat.
Namun, kebangkitan ekonomi Tiongkok tersebut membuat negara-negara
berasumsi bahwa Tiongkok sedang menyaingi kekuatan Amerika Serikat dan
ingin mencari hegemoni.1
Amerika Serikat memandang bahwa perkembangan Tiongkok dianggap
sebagai negara yang akan menjadi “Major Power” dan akan menyulitkan
hubungan baik antara Tiongkok dan Amerika Serikat. 2 Dengan adanya
pandangan seperti itu, Tiongkok terus berusaha untuk menunjukkan bahwa
kebangkitan Tiongkok bukan sebagai ancaman atau bahkan untuk mencari
hegemoni melainkan untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan bersama antar
negara-negara di dunia ini. Kemudian, kebangkitan ekonomi Tiongkok ini terus
dipertahankan oleh pemimpin-pemimpin Tiongkok selanjutnya di mana
1 Bonnie S. Glaser dan Evan S. Medeiros, The Changing Ecology of Foreign Policy-Making in
China: The Ascension and Demise of the Theory of “Peaceful Rise”, Journal of The China
Quarterly (190), Juni 2007:291-310, hal. 293. 2 Ibid., hal. 294.
2
kebangkitan tersebut tetap dilakukan dengan cara Tiongkok.
Salah satunya ialah Hu Jintao sebagai pemimpin Tiongkok sejak tahun
2003 berusaha untuk tetap mempertahankan kebangkitan damai Tiongkok yang
telah dibangun pada masa pemerintahan sebelumnya. Untuk mempertahankan
citra tersebut, Hu Jintao menetapkan konsep Peaceful Rise3 yang kemudian
menjadi salah satu landasan utama dalam berbagai kebijakan luar negeri
Tiongkok. Konsep Peaceful Rise itu sendiri diartikan sebagai kekuatan yang
sedang tumbuh namun bukan tumbuh seperti yang dilakukan oleh kekuatan besar
lainnya di masa lalu melainkan Tiongkok bangkit dengan damai.4
Terkait dengan konsep kebangkitan Tiongkok yang dilakukan secara
damai, Hu Jintao menyampaikan sebuah Pidato dalam National Congress CCP’s
(The Chinese Communist Party) ke 17 di Beijing pada bulan Oktober 2007. Hu
Jintao menyatakan bahwa :
“Politically, all countries should respect each other and conduct
consultations on an equal footing in a common endeavour to
promote democracy in international relations. Economically, they
should cooperate with each other, draw on each other’s strengths
and work together to advance economic globalisation in the
direction of balanced development, shared benefits and win–win
progress.”5
Berdasarkan pada kutipan di atas, dapat dipahami bahwa Tiongkok
3 Istilah Peaceful Rise melahirkan perdebatan di kalangan intelektual Tiongkok dikarenakan
penggunaan kata ‘Rise’ bertentangan dengan panduan dasar Deng Xiaoping. Dengan begitu,
penggunaan kata Peaceful Rise diganti dengan kata Peaceful Development. Namun dalam
penelitian ini, penulis tetap menggunakan kata Peaceful Rise dengan pertimbangan kata Peaceful
Rise lebih familiar dilingkup akademis internasional dan pada dasarnya kata Peaceful Rise juga
merujuk pada Peaceful Development di mana keduanya memiliki makna yang sama yaitu
kebangkitan yang damai. Fred C. Bergsten, et. al, 2008, China’s Rise Challenges and Opportunities, Washington, D.C: Peter G. Peterson Institute For International Economic Press, hal.
49. 4 Marc Lanteigne, 2009, Chinese Foreign Policy An Introduction, New York: Routledge, hal. 12. 5 Ibid., hal. 11.
3
ingin mempromosikan hubungan internasional yang lebih baik dan lebih adil
melalui kerjasama yang harus dibangun bersama. Selain itu, semua negara juga
harus saling menghormati satu sama lain guna menciptakan dunia yang lebih
stabil dan harmonis. Adapun keinginan pembangunan yang dimaksud termasuk
sebagai konsep peaceful rise itu sendiri.
Dengan hadirnya konsep peaceful rise, pemerintahan Hu Jintao
menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Tiongkok akan mengedepankan
pengembangan hubungan baik dengan negara-negara tetangga sebagai mitra,
meningkatkan persahabatan serta kerja sama. Maka, kebijakan luar negeri
Tiongkok cenderung dibuat dengan tujuan untuk menegakkan perdamaian dunia
dan mempromosikan pembangunan bersama. Selain itu, Hu Jintao juga
menambahkan konsep Harmonious World sebagai acuan kebijakan luar negerinya,
yang bermakna Tiongkok akan mendukung pembangunan dunia yang harmonis
dan kemakmuran bersama. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Tiongkok
harus bekerjasama dengan negara lain.6
Berakhirnya masa pemerintahan Hu Jintao pada tahun 2013 kemudian
digantikan oleh Xi Jinping sebagai Presiden Tiongkok. Nampaknya, Xi Jinping
juga berusaha untuk melanjutkan cita-cita Tiongkok dalam mempertahankan
kebijakan Tiongkok yang terbuka. Hal ini dapat dilihat dari slogan kebijakan luar
negeri yang digunakan Xi Jinping yakni Chinese Dream sebagai bentuk perluasan
makna dan prinsip dari konsep peaceful rise itu sendiri. Seperti yang tertulis dalam
6 China’s Peaceful Development, The State Council, The People’s Republic of China, diakses
dalam http://english.gov.cn/archive/white_paper/2014/09/09/content_281474986284646.htm
(05/11/2018, 10.31 WIB).
4
buku putih yang dikeluarkan Pemerintahan Tiongkok tentang China’s Peaceful
Development yang menyatakan bahwa konsep peaceful rise mengutamakan
pembangunan domestik dan tetap menjunjung tinggi perdamaian dunia dengan
cara mempromosikan pembangunan melalui kerja sama dengan dunia
internasional.7
Melihat cara kepemimpinan Tiongkok dari generasi ke generasi terlihat
bahwa pemimpin-pemimpin Tiongkok tidak hentinya memotivasi rakyatnya untuk
bangkit dan terus menggelorakan Theory of Deng Xiaoping yakni “Gaige Kai
Fang” yang berarti reform and opening up policies. Adapun, teori tersebut telah
ditetapkan dalam sidang Komite Sentral ke-11 pada bulan Desember 1978 sebagai
tema sentral dalam perpolitikan Tiongkok terhitung sejak saat itu hingga
seterusnya.8
Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mempertahankan “Gaige Kai Fang”
dan mewujudkan peaceful rise, Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping
mencetuskan Kebijakan One Belt One Road (OBOR) atau yang dikenal juga
dengan sebutan Jalur Sutra Baru yang di umumkan pertama kali dalam pidato
Presiden Xi Jinping di Kazakhstan pada tahun 2013. OBOR itu sendiri dapat
dikatakan sebagai inisiasi strategi Tiongkok untuk membangun jalur perdagangan
di kawasan Eurasia. Dalam pidatonya, Xi Jinping memaparkan terdapat lima
fondasi utama yang ingin dicapai dalam OBOR yaitu, koordinasi kebijakan,
perdagangan bebas, konektivitas fasilitas, integrasi finansial, dan ikatan antar
7 Kharisma Medina, 2017, Implementasi Kebijakan Luar Negeri One Belt One Road (OBOR) Tiongkok Pada Tahun 2013-2015, Skripsi, Padang: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas
Andalas, hal. 26. 8 Bob Widyahartono, 2004, Bangkitnya Naga Besar Asia: Peta Politik, Ekonomi dan Sosial
China Menuju China Baru, Yogyakarta: ANDI Yogyakarta, hal. 45.
5
masyarakat.9
Adapun kebijakan OBOR yang diprakasai oleh Xi Jinping terdiri dari
konsep “New Silk Road Economic Belt” yakni, mengindikasikan hubungan
ekonomi yang lebih kuat dengan fokus pada perdagangan jalur darat yang akan
menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Rusia dan Eropa di utara, serta Teluk
Persia dan Laut Mediterania melalui Asia Tengah dan Lautan Hindia di selatan.
Kedua, konsep “21st Century Maritime Silk Road” atau jalur perdagangan laut
ditujukan sebagai upaya untuk mempererat hubungan dengan Asia Selatan dan
Asia Tenggara di mana difokuskan pada keamanan perdagangan maritim yang
diawali dari pantai Tiongkok ke Eropa melalui Laut China Selatan dan Lautan
Hindia, rute lainnya dari Tiongkok ke Pasifik Selatan.10
Jalur perdagangan dalam rancangan kebijakan OBOR di sini bukanlah
sesuatu hal yang baru melainkan hal tersebut sebelumnya sudah pernah
diterapkan pada masa Dinasti Han yang disebut sebagai Jalur Sutra dikarenakan
kain sutra merupakan produk perdagangan utama pada jalur ini.11 Jalur tersebut
telah menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tengah dan Asia Selatan, serta
Eropa dan Timur Tengah. Kemudian, dengan adanya jalur ini berhasil menjadikan
Tiongkok sebagai negara yang cukup baik dalam pertumbuhan ekonominya dan
kemudian mencirikan Tiongkok sebagai bangsa yang besar.
Dengan demikian, untuk mempertahankan citra Tiongkok sebagai negara
yang sedang bangkit secara damai, nampaknya Presiden Tiongkok, Xi Jinping
9 Justyna Szczudlik-Tatar, China’s New Silk Road Diplomacy, Policy Paper of The Polish Institute of International Affairs, No 34 (82), Desember 2013:1-8, hal. 2. 10 Ibid., 11 Rolly Jean Marten, Kepentingan Tiongkok Dalam Pembentukan Shanghai Cooperation
Organization, Jurnal JOM FISIP Universitas Riau, Volume 2, No 2, Oktober 2015:1-14, hal. 9.
6
ingin menghidupkan kembali konsep Jalur Sutra Kuno pada masa Dinasti Han
melalui OBOR. Meskipun pada awalnya, Kementerian Perdagangan Tiongkok
memahami inisiasi Jalur Sutra Baru hanya sebagai solusi ekspor bagi sektor
manufaktur baja ke wilayah Barat Tiongkok, namun kemudian berhasil menjadi
suatu kebijakan luar negeri Tiongkok untuk menciptakan suatu akses
perdagangan yang akan menghubungkan beberapa negara-negara di kawasan
Asia, Eropa dan Afrika.12
Kemudian yang menjadi menarik untuk dijadikan fokus dalam penelitian
ini ialah adanya faktor konstruksi identitas Tiongkok yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan OBOR yang dapat di lihat sebagai cerminan dari peaceful
rise itu sendiri. Adapun dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk membahas
lebih lanjut mengenai kebijakan OBOR Tiongkok yang akan dianalisis dengan
menggunakan konsep identitas dalam teori kontruktivisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan apa yang telah disampaikan pada latar belakang,
maka dapat dirumuskan suatu permasalahan dalam penelitian ini yaitu
“Mengapa Tiongkok membuat kebijakan One Belt One Road?”
12 Tom Abke dan Jiri Kominek, Indo-Pacific Defense Forum, Menghidupkan Kembali Jalur
Sutera Selatan, diakses dalam
http://apdf-magazine.com/id/menghidupkan-kembali-jalur-sutera-selatan/ (26/09/2018, 11.05
WIB).
7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukannya
penelitian ini yakni, untuk menjelaskan faktor identitas yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan One Belt One Road Tiongkok.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Manfaat akademis dari penelitian ini diharapkan agar memberikan
kontribusi bagi studi Hubungan Internasional sebagai bahan
pertimbangan pendalaman teori konstruktivisme dan pengembangan
kajian kawasan Asia Timur. Penelitian ini juga diharapkan dapat
membuktikan bahwa identitas suatu negara dapat menjadi salah satu
alasan utama dibuatnya kebijakan luar negeri suatu negara.
b. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memberikan informasi pengetahuan pada pentingnya peran identitas
dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang
ingin membahas kebijakan OBOR Tiongkok.
8
1.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu diperlukan oleh penulis untuk menganalisa dan
menghindari akan adanya kesamaan antara penelitian ini dan penelitian terdahulu.
Oleh karena itu, penulis mencantumkan beberapa penelitian sebelumnya yang
telah dibaca oleh penulis, antara lain :
Penelitian terdahulu yang pertama diambil dari Jurnal Chinese Political
Science dengan judul Building China’s Soft Power for a Peaceful Rise ditulis
oleh Xin Li dan Verner Worm yang dipublikasikan pada tahun 2011.13 Dalam
penelitian ini banyak membahas mengenai strategi soft power yang digunakan
Tiongkok sebagai alat untuk mewujudkan Peaceful Rise yang diadopsinya. Hal
itu sendiri dilatarbelakangi oleh keinginan Tiongkok yang ingin membangun
masyarakatnya dengan standar hidup yang lebih tinggi. Maka, untuk mewujudkan
hal tersebut Tiongkok membutuhkan lingkungan yang damai dan kondusif baik
dalam lingkup domestik maupun internasional.
Adapun terdapat enam bidang soft power Tiongkok, yakni dalam hal
budaya yang dibawa Tiongkok melalui arsitektur, bahasa, dan lainnya. Nilai
politik yang dianut Tiongkok dimana CCP berhasil mengubah Tiongkok dalam 20
tahun terakhir, seperti misalnya pemerintahan Tiongkok terus berusaha
memperbaiki nilai politik domestiknya dengan meningkatkan perlindungan Hak
Asasi Manusia. Model pembangunan Tiongkok yang terus menjadi contoh bagi
negara-negara berkembang lainnya.
Selanjutnya, lembaga internasional dimana dahulu Tiongkok tidak banyak
13 Xin Li dan Verner Worm, Building China’s Soft Power for a Peaceful Rise, Journal of Chinese
Science, Volume 16, No 1, Maret 2011:69-89.
9
terlibat dalam lembaga internasional karena isolasionisme yang dianutnya.
Namun pada saat ini Tiongkok sangat aktif dalam berbagai organisasi
internasional ditandai setelah Tiongkok meratifikasi Protokol Kyoto secara
sukarela. Selain itu, citra internasional dan acuan ekonomi juga menjadi strategi
soft power Tiongkok.
Perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian pertama terletak
pada pendekatan yang digunakan dimana penulis lebih fokus pada kebijakan
OBOR sebagai peneguhan identitas Tiongkok sedangkan penelitian Xin Li lebih
fokus pada strategi soft power yang digunakan Tiongkok untuk mencapai
kebangkitan yang damai. Persamaannya itu sendiri dapat dilihat pada
pembahasan dimana kebijakan-kebijakan Tiongkok lebih berorientasi pada
peaceful rise.
Penelitian terdahulu kedua, dengan judul Community of Common
Destiny Sebagai Platform Kebijakan Luar Negeri China Dalam Merespon
Globalisasi Ala Barat yang ditulis oleh Laras Ningrum Fatmasiwi.14 Dalam
jurnal ini membahas mengenai pertentangan nilai antara Tiongkok dan Barat
dalam merespon globalisasi ekonomi. Penelitian ini menjelaskan bahwa
globalisasi ekonomi sangat di dominasi oleh kapitalisme pemikiran Barat. Maka
dari itu, Tiongkok ingin meresponnya menggunakan Sosialisme dengan
karakteristik Tiongkok yang merupakan gabungan dari konfusianisme dan
sosialisme.
14 Laras Ningrum Fatmasiwi, Community of Common Destiny Sebagai Platform Kebijakan Luar
Negeri China Dalam Merespon Globalisasi Ala Barat, Indonesian Journal of International
Relations, Volume 1, No2, 2017:14-34.
10
Pada jurnal tersebut dijelaskan bagaimana Tiongkok merespon struktur
internasional yakni globalisasi ekonomi dengan mengadopsi nilai dari
konfusianisme berupa ketulusan, hubungan baik, saling menguntungkan, dan
inklusivitas. Nilai tersebut kemudian termanifestasi dalam Community of Common
Destiny yang di cetuskan oleh Xi Jinping sebagai prinsip dalam OBOR.
Persamaan penelitian penulis dengan jurnal diatas adalah sama-sama
menggunakan pendekatan konstruktivisme dalam menganalisis kebijakan
Tiongkok. Namun yang membedakannya, jurnal tersebut menggunakan
konstruktivisme dalam pandangan Christian Reus-Smith, sedangkan penelitian
penulis menggunakan pemikiran Alexander Wendt.
Penelitian terdahulu yang ketiga adalah sebuah Jurnal yang ditulis oleh
Jian Zhang dengan judul China’s New Foreign Policy Under Xi Jinping:
Towards ‘Peaceful Rise 2.0’?.15 Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa kebijakan
Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping dapat dikatakan sangat aktif. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai diplomasi yang dilakukan Xi Jinping ke beberapa
negara. Kemudian, jurnal tersebut menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri
Tiongkok pada saat ini dapat disebut sebagai peaceful rise 2.0 dikarenakan cara
berdiplomasi Tiongkok memasuki fase baru.
Singkatnya peaceful rise 2.0 mencerminkan upaya yang lebih terarah dan
bahkan sangat tegas terhadap kepentingan nasional Tiongkok dan di sisi yang
sama juga tetap berusaha untuk mempertahankan lingkungan eksternal yang
damai. Selain itu, Xi Jinping juga mengembangkan inisiatif kebijakan luar negeri
15 Jian Zhang, China’s New Foreign Policy Under Xi Jinping: Towards ‘Peaceful Rise 2.0’?,
Journal of Global Change, Peace & Security, Volume 27, No 1, Januari 2015:5-19.
11
baru yakni “new type of great power relationship” (Xinxing Daguo Guanxi) dan
“community of common destiny” (Mingyun Gongtongti). Adapun, kedua inisiatif
itu dikembangkan dengan tujuan untuk membentuk lingkungan eksternal yang
kondusif dan peningkatan strategis bagi perkembangan ekonomi Tiongkok. Pada
akhir bagian jurnal membahas mengenai tantangan utama yang akan di hadapi
oleh Xi Jinping salah satunya adalah ambiguitas kebijakan luar negerinya.
Perbedaan antara jurnal Jian Zhang dan penelitian penulis terletak pada
pendekatan yakni penulis menggunakan teori konstruktivisme dalam
menganalisis kebijakan OBOR Tiongkok sedangkan jurnal diatas menggunakan
analisis politik luar negeri dalam menganalisis peaceful rise 2.0. Sedangkan
persamaannya adalah kedua penelitian sama-sama membahas konsep peaceful
rise yang menjadi acuan kebijakan luar negeri Tiongkok.
Penelitian terdahulu keempat dengan judul An Overview of the Chinese
Agenda: Global Sustainable Peace and Development dalam bentuk E-Jurnal
yang ditulis oleh Hans Nibshan Seesaghur dan Ethan Robertson yang di
publikasikan pada tahun 2016. 16 Dalam penelitian ini banyak membahas
mengenai strategi, ide, implementasi serta seberapa peaceful Tiongkok dalam
kebangkitannya. Adapun penelitian ini kemudian menganalisis lima hal utama
yang mendasari kebijakan Tiongkok.
Pertama, pembangunan secara damai yang dipaparkan bahwa kebijakan
OBOR sudah sesuai dengan pembangunan berkelanjutan secara damai. Kedua,
16 Hans Nibshan Seesaghur dan Ethan Robertson, An Overview of the Chinese Agenda: Global
Sustainable Peace and Development, Journal of Relationes Internationales, Acta Universitatis
Danubius, Volume 9, No 2, 2016:1-12.
12
model baru atas major country relations yang berarti Tiongkok ingin membangun
hubungan baik dan non-konflik dengan negara-negara besar terutama Amerika
Serikat. Ketiga, menciptakan lingkungan yang diplomatis, dijelaskan bahwa
Tiongkok berhasil bertetangga secara baik dengan negara-negara tetangganya hal
ini ditandai dengan terlibatnya Tiongkok dalam berbagai kerjasama, terutama
dengan ASEAN. Keempat, bekerjasama dengan negara berkembang dimana
Tiongkok telah mulai menjalin kerjasama dengan negara Afrika dalam bidang
keamanan. Kelima, kerjasama multilateral yang ditandai dengan bergabungnya
Tiongkok dalam organisasi dan perjanjian multilateral internasional.
Selanjutnya, penelitian keempat juga membahas mengenai hubungan
Tiongkok dengan negara-negara lain untuk membangun kerjasama yang win-win,
hubungan non-konflik, non-konfrontatif, dan saling menghormati satu sama lain.
Adapun juga terdapat pembahasan mengenai tantangan yang akan dihadapi
Tiongkok dalam mencapai pembangunan yang diharapkannya. Selain itu, dalam
penelitian ini juga menyatakan bahwa kebangkitan Tiongkok pada saat ini dapat
dikatakan akan menjadi kekuatan alternatif Amerika Serikat dalam tatanan global.
Pada penelitian keempat, perbedaan dengan penelitian penulis ialah
penelitian ini lebih memfokuskan pada pembahasan kebijakan OBOR sebagai
peneguhan atas identitas Tiongkok sedangkan pada penelitian keempat lebih
banyak membahas alasan-alasan lain yang menjadi pertimbangan atas pembuatan
kebijakan OBOR itu sendiri. Sedangkan persamaannya terletak pada pembahasan
kebijakan Tiongkok yang lebih mengutamakan hubungan persahabatan,
mengedepankan cara diplomasi serta berupaya terjalinnya hubungan kerja sama
13
yang saling menguntungkan dengan tujuan terciptanya citra kebangkitan
Tiongkok yang dilakukan secara damai.
Penelitian terdahulu yang kelima diambil dari sebuah Skripsi dengan
judul Kebijakan The New Silk Road Cina Di Bawah Pemerintahan Xi Jinping
yang diteliti oleh Ni Putu Saraswati Puspita Dewi dengan menggunakan konsep
kepentingan nasional dalam penelitiannya.17 Dalam penelitian ini digambarkan
bahwa Tiongkok dalam merealisasikan kebijakan ini melakukan banyak
kerjasama dengan berbagai negara di wilayah tertentu dan menginvestasikan
banyak dana untuk proyek-proyek besar. Di balik itu, Tiongkok memiliki
berbagai kepentingan dalam pembangunan The New Silk Road yang akan
menguntungkan Tiongkok di bidang ekonomi maupun politik. Oleh karena itu,
dengan menggunakan konsep kepentingan nasional akan lebih mudah untuk
menjelaskan kepentingan Tiongkok dalam kebijakan jalur sutra baru. Dalam
penelitian ini, Ni Putu secara tidak langsung menyatakan bahwa kebijakan
tersebut tidak lain adalah untuk mencapai kepentingan nasional Tiongkok.
Selanjutnya pada penelitian ini banyak memaparkan kepentingan
Tiongkok yang ingin dicapai melalui kebijakan OBOR yang berupa kebutuhan
dan keamanan energi Tiongkok serta kepentingan Tiongkok untuk memperluas
akses perdagangan Tiongkok dengan memberikan peluang besar untuk
perusahaan-perusahaan Tiongkok dan juga kepentingan untuk menyebarkan
pengaruh Tiongkok. Adapun Tiongkok melalui kebijakan ini dilihat ingin
17 Ni Putu Saraswati Puspita Dewi, 2017, Kebijakan The New Silk Road Cina Di Bawah
Pemerintahan Xi Jinping, Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.
14
mendominasi tatanan global.
Pada penelitian kelima, persamaan dalam penelitian terdapat pada
pandangan mengenai adanya kepentingan Tiongkok dalam pembuatan kebijakan
OBOR. Sedangkan perbedaan dalam kedua penelitian ini ialah penelitian Ni Putu
secara detail menjelaskan berbagai kepentingan nasional Tiongkok dalam
kebijakan OBOR. Sedangkan penelitian penulis tidak hanya fokus pada
kepentingan nasional Tiongkok melainkan juga menjelaskan bagaimana
kepentingan dan identitas mempengaruhi kebijakan OBOR.
Penelitian terdahulu yang keenam diambil dari sebuah E-Jurnal yang
diteliti oleh Theresa Fallon dengan judul The New Silk Road: Xi Jinping’s
Grand Strategy for Eurasia. 18 Penelitian yang diteliti oleh Theresa Fallon
menggunakan konsep Geopolitik yang berfokus pada Heartland yang digagas
oleh Sir Halford John Mackinder. Mengacu pada kutipan Mackinder yang
terkenal yaitu : “Who rules Eastern Europe commands the Heartland. Who rules
the Heartland commands the World Island. Who rules the World Island
commands the World”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan
Mackinder berpendapat bahwa negara yang mampu mengontrol teritori antara
Jerman dan Siberia dapat mengontrol dunia. Kemudian pernyataan Mackinder
tersebut dikaitkan dengan konsep kebijakan jalur sutra Tiongkok yang dilihat
sebagai strategi untuk menggantikan dominasi Amerika Serikat di mana
Tiongkok ingin memperkuat posisinya di dunia melalui “One Belt One Road”.
Theresa Fallon mengungkapkan bahwa inisiatif Xi Jinping dalam
18 Theresa Fallon, The New Silk Road: Xi Jinping’s Grand Strategy for Eurasia, Journal of
American Foreign Policy Interest, Volume 37, No 3, Agustus 2015:140-147.
15
kebijakan OBOR memiliki tiga tujuan utama yaitu : energi, keamanan dan pasar.
Dengan membangun transportasi dan fasilitas pelabuhan akan mampu mendorong
perdagangan, meningkatkan keamanan di dukung dengan akademisi terkemuka
Tiongkok untuk menjadi perancang jalan jalur sutra baru Xi Jinping guna
menjadikan Tiongkok sebagai Great Power. Dalam penelitian ini juga dijelaskan
bagaimana Tiongkok mulai mengajak berbagai negara untuk mendukung
kebijakan tersebut.
Adapun terdapat perbedaan dan juga persamaan antara penelitian
terdahulu keenam dan penelitian penulis. Persamaannya terletak pada cara
melihat bagaimana Tiongkok ingin memperkuat hubungan kerjasama dengan
negara-negara tetangganya melalui kebijakan OBOR. Perbedaannya ialah dalam
penggunaan teori dan konsep dimana penelitian keenam menggunakan konsep
Geopolitik sebagai kerangka berfikir sehingga hasil penelitiannya bersifat
material. Sedangkan penelitian penulis menggunakan teori konstruktivisme
sehingga hasil penelitiannya bersifat dan membahas hal-hal non material.
Penelitian terdahulu ketujuh yang ditulis oleh Medina Kharisma dalam
bentuk Skripsi dengan judul Implementasi Kebijakan Luar Negeri One Belt
One Road (OBOR) Pada Tahun 2013-2015. 19 Dengan menggunakan
pendekatan strategic-relational oleh Elisabetta Brighi dan Christopher Hill.
Medina banyak membahas tentang bagaimana tiga proses dalam konsep tersebut
yaitu pendefinisian ide Tiongkok dalam membuat kebijakan OBOR dan konteks
yang terlibat. Kemudian bagaimana hubungan antara Tiongkok dan 64 negara yang
19 Kharisma Medina, Op. Cit.,
16
terlibat dalam OBOR dan juga feedback yang dihasilkan dalam pelaksanaan
OBOR di negara-negara yang terlibat dalam OBOR itu sendiri. Selain itu,
penelitian ketujuh juga menjelaskan bagaimana perilaku Tiongkok dan
implementasi OBOR di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Selatan,
Eropa Timur dan Tengah, Timur Tengah dan Mongolia. Penelitian Medina secara
mendetail menjelaskan tiap wilayah yang terlibat dengan proyek-proyek yang
telah terealisasi dalam OBOR.
Persamaan antara penelitian penulis dengan penelitian ketujuh dapat
dilihat pada pembahasan upaya Xi Jinping dalam mendefinisikan ide dalam
membuat kebijakan OBOR. Perbedaannya, penelitian penulis lebih fokus pada
bagaimana identitas Tiongkok yang menjadi alasan dicetuskannya kebijakan
OBOR sedangkan penelitian ketujuh lebih fokus pada slogan chinese dream yang
menjadi tujuan dibuatnya kebijakan OBOR.
Penelitian terdahulu kedelapan diambil dari sebuah Working Paper yang
diteliti oleh Justyna Szczudlik-Tatar dengan judul penelitian China’s New Silk
Road Diplomacy.20 Dalam penelitian ini Tatar membahas mengenai sejarah jalur
sutra, tujuan kebijakan jalur sutra yang diprakasai oleh Xi Jinping serta dibahas
mengenai kunjungan Xi Jinping dengan Perdana Menteri Tiongkok ke beberapa
negara guna mempromosikan kebijakan tersebut. Adapun dalam penelitian ini
dijelaskan bahwa kebijakan jalur sutra baru Tiongkok ini bukanlah hanya sekedar
kebijakan luar negeri melainkan juga sebagai simbol atau slogan baru bagi
Tiongkok untuk memberikan dampak positif bagi negara-negara yang mau
20 Justyna Szczudlik-Tatar, Op, Cit.,
17
mendukung dan terlibat dalam kebijakan tersebut.
Pada penelitian ini juga dijelaskan bagaimana Tiongkok menggunakan
diplomasi terutama bertujuan untuk mengajak negara lain agar terlibat dalam
konsep jalur darat maupun jalur laut. Diplomasi disini digunakan Tiongkok
sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasionalnya dalam kebijakan jalur sutra
baru itu sendiri. Adapun juga dalam penelitian ini menyatakan ada keterkaitan
antara kebijakan domestik Tiongkok yang sering disebut Go West dengan
kebijakan jalur sutra baru dikarenakan kedua kebijakan ini saling berhubungan
satu sama lain. Selain itu, penelitian ini lebih berfokus dengan studi kasus negara
Polandia dimana kebijakan jalur sutra baru Tiongkok merupakan rekomendasi
atau dapat dikatakan sebagai peluang bagi Polandia untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonominya.
Dalam penelitian terdahulu kedelapan, terdapat persamaan yang terletak
pada pembahasan mengenai sejarah, rancangan dan tujuan dari kebijakan tersebut,
serta keinginan Xi Jinping untuk menghidupkan kembali jalur sutra kuno.
Adapun yang membedakan penelitian penulis dan penelitian kedelapan ialah
fokus bahasan OBOR dimana penelitian kedelapan lebih memfokuskan pada
peluang kebijakan tersebut bagi Polandia sedangkan penelitian ini fokus pada
faktor konstruksi identitas Tiongkok.
Penelitian terdahulu kesembilan diambil dari sebuah E-Jurnal yang ditulis
oleh Aasia Khatoon Khattak dan Iram Khalid dengan judul China’s One Belt
One Road Initiative: Towards Mutual Peace & Development.21 Penelitian ini
21 Aasia Khatoon Khattak dan Iram Khalid, China’s One Belt One Road Initiative: Towards
18
banyak berbicara tentang bagaimana Tiongkok ingin membangun dunia yang
damai melalui kerja sama. Penelitian ini berfokus pada jalur OBOR yang akan
melewati pelabuhan muara Brunei dan pelabuhan Sikanoukville Kamboja. Dalam
pembahasannya, penelitian ini juga banyak berbicara mengenai fondasi OBOR
yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kerjasama yang saling menguntungkan,
saling menghormati satu sama lain, integritas teritorial dan kedaulatan serta
saling tidak campur tangan dalam masing-masing masalah internal suatu wilayah.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan nilai-nilai inti dari kebijakan nasionalnya
Tiongkok.
Persamaan penelitian kesembilan dengan penelitian penulis ialah pada
pembahasan pembentukkan OBOR yang ditujukan untuk mempromosikan
perdamaian dan pembangunan bukan untuk menjadi hegemoni atau bahkan
menyaingi kekuatan Amerika Serikat. Sedangkan perbedaannya terletak pada
fokus penelitian penulis mengenai bagaimana identitas berpengaruh dalam
membentuk OBOR sedangkan penelitian kesembilan lebih fokus pada penjelasan
jalur OBOR yang melewati pelabuhan Brunei dan Kamboja.
Penelitian terdahulu kesepuluh diambil dari sebuah Jurnal LIPI dengan
judul Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas Dalam
Pembangunan Tiongkok yang diteliti oleh Hayati Nufus. 22 Penelitian ini
menggunakan 2 konsep yakni konsep nasionalisme dan diplomasi. Dalam
penelitian ini menjelaskan bagaimana slogan kebangkitan nasional bangsa
Mutual Peace & Development, Journal of Research Society of Pakistan, Volume 54, No 1,
Januari-Juni 2017:1-20. 22 Hayati Nufus, Impian Tiongkok : Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas Dalam Pembangunan
Tiongkok, Jurnal Penelitian Politik (LIPI), Volume 11, No 2, Desember 2014:43-54.
19
Tionghoa akan diwujudkan melalui kebijakan OBOR. Hal itu berdasarkan atas
sejarah Tiongkok pada masa kejayaannya melalui jalur sutra dinasti Han yang
ingin dihidupkan kembali oleh Xi Jinping.
Selanjutnya penelitian ini juga memaparkan bahwa kebijakan OBOR
digambarkan untuk mempertahankan kekuasaan Xi dan juga PKC, mengingat
bangkitnya bangsa Tionghoa pada zaman dahulu dikarenakan peran dari PKC itu
sendiri. Singkatnya, tujuan kebijakan OBOR ialah untuk membangkitkan rasa
nasionalisme Tionghoa dan mempertahankan kekuasaan PKC.
Adapun terdapat perbedaan antara penelitian kesepuluh dan penelitian
penulis yaitu penelitian kesepuluh berfokus pada slogan chinese dream sebagai
kebangkitan nasional bangsa Tionghoa yang menjadi tujuan kebijakan OBOR.
Sedangkan penelitian penulis lebih fokus pada kebijakan OBOR yang menjadi
peneguhan atas identitas Tiongkok. Persamaannya terletak pada penjelasan
cita-cita Tiongkok yang ingin membangun kembali jalur sutra melalui OBOR.
Penelitian terdahulu selanjutnya berasal dari Skripsi yang ditulis oleh
Ainun Jariah dengan judul Pengaruh Confucianisme Terhadap Konsepsi
Deng Xiaoping Dalam Implementasi Kebijakan Reformasi Ekonomi
China.23 Penelitian tersebut banyak membahas mengenai filsafat confucianisme
yang kemudian nilai kerja sama yang ada di dalamnya mempengaruhi Deng
Xiaoping untuk membuat kebijakan reformasi ekonomi. Hal ini dikarenakan
Deng Xiaoping ingin mensejahterakan rakyat dan melalui keterbukaan diri atau
23 Ainun Jariah, 2014, Pengaruh Confucianisme Terhadap Konsepsi Deng Xiaoping Dalam
Implementasi Kebijakan Reformasi Ekonomi China, Skripsi, Malang: Jurusan Hubungan
Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.
20
reformasi ekonomi itu adalah salah satu cara yang dilakukannya. Selain itu,
dengan menggunakan teori konstruktivisme, dapat di identifikasi bahwa pengaruh
confucianisme terhadap kebijakan reformasi ekonomi dapat dilihat melalui
pernyataan atau penggunaan bahasa Deng Xiaoping yang diyakini mampu
membawa perubahan bagi Tiongkok.
Persamaan antara penelitian penulis dan penelitian Ainun adalah
sama-sama menggunakan teori konstruktivisme dalam menganalisis kebijakan
laur negeri Tiongkok. Namun perbedaannya terletak pada penggunaan
konstruktivisme yang digunakan penulis ialah konsep identitas Alexander Wendt
sedangkan penelitian Ainun menggunakan konstruktivisme modernis linguistik
milik Krachtochwil. Adapun perbedaan juga terletak pada kebijakan yang diteliti
dimana penelitian penulis membahas kebijakan OBOR yang dicetuskan Xi
Jinping sedangkan penelitian Ainun menganalisis kebijakan reformasi ekonomi
Deng Xiaoping.
Penelitian terdahulu yang terakhir diambil dari hasil tulisan Camilla T.N
Sorensen yang berjudul The Significance of Xi Jinping’s “Chinese Dream” for
Chinese Foreign Policy: From “Tao Guang Yang Hui” to “Fen Fa You Wei”.24
Dalam jurnalnya, dijelaskan bahwa Xi Jinping menggunakan slogan “Chinese
Dream” yang dimaksudkan sebagai visi pembangunan Tiongkok dalam beberapa
dekade kedepan dimana pada intinya ditujukan untuk pembaruan. Selain itu juga
dijelaskan bahwa Xi Jinping menggunakan konsep “Fen Fa You Wei” atau
24 Camilla T.N Sorensen, The Significance of Xi Jinping’s “Chinese Dream” for Chinese Foreign
Policy: From “Tao Guang Yang Hui” to “Fen Fa You Wei”, Journal of China and International
Relations, Volume 3, No 1, 2015:53-73.
21
Striving for Achievement yang digunakan untuk mewujudkan chinese dream.
Adapun konsep baru yang digunakan Xi Jinping itu dikatakan telah
menggantikan konsep Deng Xiaoping yakni “Tao Guang Yang Hui” atau Hide
Capabilities and Keep a Low Profil yang biasanya digunakan sebagai pedoman
sentral strategi kebijakan luar negeri Tiongkok. Dalam jurnal tersebut juga
dijelaskan bahwa cara Xi Jinping mewujudkan chinese dream salah satunya
dengan mempromosikan dua konsep jalur laut dan darat dalam jalur sutra baru
yang digagas menjadi suatu kebijakan luar negeri.
Kemudian, yang menjadi perbedaan pada jurnal diatas dan penelitian
penulis adalah penulis lebih fokus pada pembahasan konstruksi identitas
Tiongkok dalam OBOR sedangkan jurnal diatas lebih fokus pada chinese dream
dalam OBOR. Sedangkan persamaannya terletak pada persamaan teori yang
digunakan yaitu konstruktivisme.
Adapun untuk memudahkan penulisan, peneliti menggunakan tabel posisi
penelitian yang berisikan keterangan dan hasil dari penelitian terdahulu secara
singkat, sebagai berikut :
Tabel 1.1 Posisi Penelitian
No Judul dan Nama
Peneliti
Metodologi Hasil
1 E-Jurnal:
Building China’s
Soft Power for a
Peaceful Rise
Oleh: Xin Li dan
Jenis Penelitian:
Deskriptif
Pendekatan:
-Tiongkok mengadopsi soft power
untuk mencapai peaceful rise.
-Terdapat enam sumber soft power
Tiongkok: Cultural Attractiveness,
Political Values, Development
Model, International Institutions,
International Image, dan
Economic Temptation.
22
Verner Worm
(2011)
Diplomasi -Tiga jalan yang digunakan
Tiongkok untuk menggunakan soft
power: diplomasi formal, ekonomi,
dan budaya.
2 E-Jurnal:
Community of
Common Destiny
Sebagai Platform
Kebijakan Luar
Negeri China
Dalam Merespon
Globalisasi Ala
Barat
Oleh: Laras
Ningrum
Fatmasiwi
(2017)
Jenis Penelitian:
Eksplanatif
Pendekatan:
Konstruktivis
-OBOR hadir sebagai respon
terhadap globalisasi ekonomi ala
Barat.
-OBOR terbentuk karena nilai
domestik yakni nilai
konfusianisme dan struktur
internasional yakni globalisasi
ekonomi.
-Tiongkok membentuk Asian
Infrastructure Investment Bank
(AIIB) sebagai tandingan
International Monetary Fund
(IMF).
3 E-Jurnal:
China’s New
Foreign Policy
Under Xi Jinping:
Towards ‘Peaceful
Rise 2.0’?
Oleh: Jian Zhang
(2015)
Jenis Penelitian:
Deskriptif
Pendekatan:
Analisis Politik
Luar Negeri
-Kebijakan Tiongkok terbilang
lebih aktif dibawah kepemimpinan
Xi Jinping, yang kemudian
didefinisikan sebagai peaceful rise
2.0.
-Tiga atribut peaceful rise 2.0,
yaitu melindungi kepentingan
nasional, komitmen Tiongkok
terhadap peaceful development
menjadi bersyarat yang didasarkan
pada timbal balik, dan
menggunakan pendekatan yang
lebih proaktif dan terkoordinasi
untuk menciptakan lingkungan
eksternal yang stabil dalam
pembangunan domestik Tiongkok.
4 E-Jurnal:
An Overview of
the Chinese
Agenda: Global
Sustainable Peace
and Development
Oleh: Hans
Nibshan eesaghur
dan Ethan
Robertson
(2016)
Jenis Penelitian:
Deskriptif
Pendekatan:
Diplomasi
-Terdapat lima alasan utama dalam
pembuatan kebijakan Tiongkok,
yakni: Peaceful Development, New
Model of Major-country Relations,
Neighbourhood Diplomacy,
Cooperation with Developing
Countries, dan Multilateral
Relations.
-Lima alasan tersebut menjadi
dasar atas peneguhan peaceful rise.
-Tiongkok ingin menjalin
kerjasama win-win, non-konflik,
23
non-konfrontatif dan saling
menghormati.
5 Skripsi:
Kebijakan The
New Silk Road
Cina Di Bawah
Pemerintahan Xi
Jinping
Oleh: Ni Putu
Saraswati Puspita
Dewi (2017)
Jenis Penelitian:
Deskriptif
Pendekatan:
Kepentingan
Nasional
-Merealisasikan OBOR dengan
melakukan kerjasama-kerjasama
dengan berbagai negara.
-Melakukan investasi untuk
membangun proyek-proyek besar
(infrastruktur, pelabuhan, kereta
api cepat).
-Terdapat berbagai kepentingan
Tiongkok dalam pembangunan The
New Silk Road terutama di bidang
ekonomi dan politik.
6 E-Jurnal:
The New Silk
Road: Xi Jinping’s
Grand Strategy for
Eurasia
Oleh: Theresa
Fallon (2015)
Jenis Penelitian:
Eksplanatif
Pendekatan:
Geopolitik
-Tiga tujuan utama yaitu kebijakan
jalur sutra baru: energi, keamanan
dan pasar.
-Membangun transportasi dan
fasilitas pelabuhan guna
mendorong perdagangan
internasional dan meningkatkan
keamanan perdagangan.
-Tiongkok menggunakan strategi
geopolitik agar negara-negara
Eurasia mendukung kebijakannya.
7 Skripsi:
Implementasi
Kebijakan Luar
Negeri One Belt
One Road
(OBOR) Pada
Tahun 2013-2015
Oleh: Medina
Kharisma (2017)
Jenis Penelitian:
Deskriptif
Analisis
Pendekatan:
Strategic-
relational
-Ide pembuatan OBOR
berdasarkan pada tujuan Chinese
Dream yang diadopsi oleh Xi
Jinping.
-Tiongkok meminta dukungan
terhadap wilayah-wilayah yang
terlibat OBOR.
-Inisiatif Tiongkok melalui OBOR
sebagian besar diterima baik
dengan negara-negara yang akan
terlibat di dalamnya disertai
dengan membangun proyek-proyek
OBOR.
8 Working Paper:
China’s New Silk
Road Diplomacy
Oleh: Justyna
Azczudlik-Tatar
(2013)
Jenis Penelitian:
Deskriptif
Pendekatan:
Diplomasi
-Kebijakan OBOR menjadi simbol
Tiongkok.
-Menggunakan diplomasi sebagai
alat untuk mengajak negara lain
untuk terlibat dalam konsep
OBOR.
-Memberikan peluang terhadap
Polandia untuk pembangunan
ekonomi.
24
9 E-Jurnal:
China’s One Belt
One Road
Initiative: Towards
Mutual Peace &
Development
Oleh: Aasia
Khatoon Khattak
dan Iram Khalid
(2017)
Jenis Penelitian:
Deskriptif
Analisis
Pendekatan:
Soft Power
-Hubungan baik yang telah di
bangun dalam kerja sama
Tiongkok dan ASEAN
memudahkan Tiongkok untuk
melibatkan pelabuhan Muara
Brunei dan pelabuhan
Sikanoukville Kamboja dalam
agenda kebijakan OBOR.
10 E-Jurnal:
Impian Tiongkok:
Nasionalisme
Tiongkok
Melintas Batas
Dalam
Pembangunan
Tiongkok
Oleh: Hayati
Nufus (2014)
Jenis Penelitian:
Deskriptif
Pendekatan:
Nasionalisme
Diplomasi
-Slogan Xi Jinping (Zhongguo
meng) merupakan alasan
perumusan kebijakan OBOR.
-Tiongkok ingin membangun rasa
nasionalisme melalui OBOR guna
memperkuat kekuasannya dan
PKC.
-Tiongkok menggunakan strategi
diplomasi terhadap negar-negara
yang terlibat guna meligitimasi
prinsipnya.
11 Skripsi:
Pengaruh
Confucianisme
Terhadap
Konsepsi Deng
Xiaoping Dalam
Implementasi
Kebijakan
Reformasi
Ekonomi China
Oleh: Ainun Jariah
(2014)
Jenis Penelitian:
Eksplanatif
Pendekatan:
Konstruktivis
Modernis
Linguistik
-Nilai, moral, bahasa dalam filsafat
confucianisme telah
mengkonstruksi Deng Xiaoping
dalam pembentukkan kebijakan
reformasi ekonomi.
-Pengaruh nilai confucianisme itu
sendiri didapat Deng Xiaoping
melalui latar belakang hidupnya,
yakni pengaruh lingkungan
keluarga, pendidikan dan
lingkungan sosial budaya.
12 E-Jurnal:
The Significance
of Xi Jinping’s
“Chinese Dream”
for Chinese
Foreign Policy:
From “Tao Guang
Yang Hui” to
“Fen Fa You Wei”
Jenis Penelitian:
Deskriptif -
Deduktif
-Peran, identitas dan sistem
intenasional memiliki peran
penting dalam mempengaruhi
pemimpin Tiongkok dalam
membuat kebijakan luar negeri.
-Xi Jinping menggunakan slogan
“Chinese Dream” dan konsep
Striving for Achievement dalam
kebijakan luar negerinya.
-Konsep Striving for Achievement
25
Oleh: Camilla T.N
Sorensen (2015)
Pendekatan:
Konstruktivis
dikatakan telah menggantikan
konsep Hide Capabilities and Keep
a Low Profil.
13 Skripsi:
Faktor Konstruksi
Identitas dalam
Kebijakan One
Belt One Road
Tiongkok
Oleh: Monalita
Razmayani Oedi
(2019)
Jenis Penelitian:
Eksplanatif
Pendekatan:
Konstruktivis
-Pembuatan kebijakan OBOR
dipengaruhi oleh kepentingan
Tiongkok untuk berbagi
pengalaman serta pertumbuhan
Tiongkok dengan negara lain.
-Kepentingan Tiongkok itu sendiri
dipengaruhi oleh identitas yang
dimiliki oleh Tiongkok.
-Melalui kebijakan OBOR,
Tiongkok ingin meneguhkan
identitasnya.
1.5 Kerangka Teori
Untuk menganalisa suatu fenomena atau permasalahan dalam hubungan
internasional dibutuhkan teori yang mampu menjelaskan paling umum mengapa
sesuatu terjadi dan kapan peristiwa tersebut akan terjadi lagi. Adapun teori dapat
digunakan sebagai alat eksplanasi dan prediksi. 25 Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa teori berfungsi untuk memberikan kerangka hipotesa secara
logis dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi. Oleh karena itu,
penulis menggunakan teori konstruktivisme untuk menjawab rumusan masalah
penelitian yang kemudian akan membantu penulis untuk menjelaskan alasan
Tiongkok dalam pembuatan kebijakan OBOR yang dibentuk oleh kepentingan
dan identitas.
1.5.1 Konstruktivisme
25 Mohtar Mas'oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional Displin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES,
hal. 217.
26
Konstruktivisme merupakan suatu pendekatan empiris yang biasanya
digunakan untuk meneliti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hubungan
internasional. Konstruktivis itu sendiri mulai berkembang secara signifikan pada
awal tahun 1980an. Adapun konstruktivisme berfokus pada ide intersubjektif dan
makna yang mampu mendefinisikan suatu tindakan ataupun peristiwa. Namun,
selain ide dan makna, konstruktivisme juga menitikberatkan fokusnya pada
keyakinan dan identitas yang kemudian hal tersebut menjadi pertimbangan para
aktor terutama negara dalam berinteraksi di lingkup internasional.26
Dalam konteks memahami analisis politik luar negeri, konstruktivisme
hadir sebagai kritikan realisme dan liberalisme. Bagi konstruktivis kedua
pandangan tersebut hanya mementingkan aspek-aspek material saja atau sebatas
mengukur untung rugi. Berbeda dengan pandangan konstruktivis yang melihat
tindakan suatu negara juga sering dipengaruhi oleh aspek gagasan yang bersifat
non-material yakni struktur intersubjektivitas. Adapun dalam pandangan
konstruktivisme, hubungan kerjasama atau konflik antar negara hadir bukan
karena tidak sengaja melainkan hubungan tersebut secara sengaja diciptakan oleh
aktor-aktor itu sendiri.27
Singkatnya, dasar pemikiran konstruktivisme berkaitan erat dengan peran
gagasan dalam membangun kehidupan sosial disertai dengan ide-ide yang
memberikan makna. Melalui ide itulah konstruktivis mencoba menunjukkan sifat
dasar suatu aktor yang dibangun secara sosial. Pada tingkat yang lebih dalam,
26 Robert Jackson dan George Sorensen, (terj. Dadan Suryadiputra), 2014, Pengantar Studi
Hubungan Internasional : Teori dan Pendekatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 374. 27 Abubakar Eby Hara, 2011, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme Sampai
Kontruktivisme, Bandung: Nuansa, hal. 138.
27
konstruktivis mengutamakan fokusnya pada kondisi-kondisi pokok dari
subjektivitas tertentu.28
Lebih jauh, penjelasan konstruktivisme juga menekankan pada pentingnya
peranan kesepakatan bersama (shared understanding) dalam suatu peristiwa di
suatu negara yang akan mempengaruhi setiap keputusan dalam membentuk
kebijakan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori konstruktivisme
varian sistemik dalam kerangka pemikiran Alexander Wendt untuk menjelaskan
faktor konstruksi identitas dalam kebijakan OBOR. Menurut Wendt sendiri,
kontruktivisme melihat hubungan yang terjalin antar negara berdasarkan pada
identitas tertentu yang melekat pada masing-masing negara.29 Hal tersebut lantas
melahirkan asumsi bahwa hubungan baik atau buruk antara negara satu dengan
lainnya berdasarkan pada cara pandang suatu negara terhadap negara lain dalam
arti apakah negara tersebut dianggap sebagai kawan atau lawan.
Selain itu, menurut Wendt terdapat tiga klaim utama yang menjadi esensi
teori konstruktivisme, antara lain: (1) negara merupakan aktor utama dalam
analisis teori politik internasional, (2) struktur sistem negara cenderung bersifat
intersubjektifitas dari pada material, (3) identitas dan kepentingan negara adalah
sesuatu yang dibentuk oleh struktur sosial, bukan diberikan secara eksogen oleh
politik domestik.30
Selanjutnya, Wendt juga menjelaskan bagaimana identitas ataupun norma
28 Lihat James Fearon dan Alexander Wendt, “Rasionalisme Lawan Konstruktivisme: Sebuah
Pandangan Skeptis,” dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons (ed.), 2013, Handbook Hubungan Internasional, Bandung: Nusa Media, hal. 113. 29 Ibid., hal. 138. 30 Alexander Wendt, Collective Identity Formation and The International State, Journal of The
American Political Science Review, Volume 88, No 2, Juni 1994:384-396, hal. 385.
28
akan membentuk kepentingan suatu negara yang pada akhirnya akan membentuk
tindakan-tindakan tertentu, biasanya dalam bentuk kebijakan luar negeri.
Singkatnya, tindakan negara sering dipengaruhi oleh keberadaan identitas atau
norma. Adapun penulis disini menggunakan konsep identitas yang menjadi
konsep utama dalam perspektif konstruktivisme dan akan mengacu pada konsep
dan jenis identitas menurut Wendt. Identitas itu sendiri di definisikan oleh Wendt
sebagai atribut yang dimiliki oleh aktor yang nantinya akan menentukan
bagaimana seharusnya aktor (negara) tersebut bertindak. 31 Singkatnya,
keberadaan identitas tertentu menentukan perilaku negara yang juga di dorong
oleh kepentingan.
Hal tersebut tidak terlepas dari adanya keterkaitan antara identitas dan
kepentingan, karena menurut Wendt suatu aktor tidak dapat mengetahui apa yang
diinginkannya sebelum mengetahui siapa dirinya terlebih dahulu. Maka dari itu,
baik kepentingan maupun identitas memiliki peran yang sama-sama penting.
Dengan adanya keinginan dan keyakinan akan menentukan suatu tindakan yang
mencerminkan bentuk dari identitas suatu negara.32
Konsep identitas itu sendiri dapat dipahami melalui dua pemaknaan.
Pertama, identitas sebagai kategori sosial yaitu atribut atau karakteristik yang
membedakannya dengan pihak yang lain. Hal ini dikarenakan identitas kategori
sosial terbentuk karena terkonstruksi melalui proses interaksi antara negara satu
dengan yang lainnya. Yang berarti identitas disini harus ada intersubjektivitas dan
31 Alexander Wendt, 1999, Social Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge
University Press, hal. 224. 32 Ibid., hal. 230.
29
eksistensi pihak lain (significant other) untuk memberi makna siapa “saya” dan
siapa “anda”. Singkatnya keberadaan significant other dibutuhkan untuk
menguatkan identitas suatu pihak. Identitas kategori ini bersifat dinamis
tergantung proses pemaknaan dalam sebuah proses interaksi.33
Kedua, identitas sebagai kategori personal yaitu atribut atau karakteristik
yang melekat dalam diri aktor di mana keberadaan identitas ini terbentuk sejak
awal tanpa memerlukan intersubjektivitas. Dalam hal ini, identitas kategori
personal dilihat sebagai sesuatu yang disadari sendiri (self-awareness) oleh aktor
tanpa eksistensi dari pihak lain. Identitas personal memandang dirinya sebagai
aktor yang unik sehingga membedakannya dengan aktor lain.34 Berdasarkan pada
penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa kedua ketegori identitas di atas berbeda
secara konseptual. Namun pada intinya tetap sama yakni identitas merupakan
atribut yang melekat pada diri aktor dimana berfungsi untuk mengidentifikasi
antara diri sendiri dengan pihak lain.
Untuk pemahaman yang lebih lanjut, Wendt mengkategorikan terdapat
empat jenis identitas dalam konstruktivis, antara lain: 35 Pertama, identitas
personal atau corporate identity yaitu atribut yang membentuk eksistensi negara
yang kemudian membedakannya dengan negara lain. Identitas ini muncul dari
kesadaran negara itu sendiri tanpa memerlukan pihak lain. Pada dasarnya semua
negara memiliki identitas personal yang membuatnya berbeda dengan pihak lain.
33 Mohamad Rosyidin, Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias Konstruksi Barat
terhadap Ancaman Uji Coba Rudal Korea Utara dan India, Jurnal Transformasi Global, Volume 1, No 2, Desember 2014:111-212, hal. 148. 34 Ibid., hal. 149. 35 Mohamad Rosyidin, 2015, The Power of Ideas Konstruktivisme dalam Studi Hubungan
Internasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 51-57.
30
Misalnya seperti perilaku, pemikiran, bentuk fisik, pengakuan, tujuan nasional,
nasionalisme dan seterusnya.
Adapun Wendt mengidentifikasi dalam identitas personal yang dimiliki
oleh suatu negara berdasarkan pada empat kepentingan yang diinginkan oleh
negara itu sendiri, yaitu : (1) Physical Security yakni melindungi keamanan fisik
negaranya (kedaulatan), (2) Ontological Security yakni keinginan untuk
menciptakan identitas sosial yang stabil, (3) Recognition as an actor by others
yakni keinginan untuk diakui dan dihormati oleh pihak (negara) lain, Rosyidin
menyebutnya sebagai kepentingan ‘harga diri’, (4) Development yakni keinginan
untuk meningkatkan kehidupan masyarakat yang lebih baik (kesejahteraan).36
Dengan adanya sejumlah kepentingan tersebut kemudian memberikan dorongan
terhadap negara untuk bertindak sesuai kepentingannya.
Kedua, identitas golongan atau type identity yaitu identitas yang
menggolongkan suatu negara ke dalam kategori tertentu melalui interaksi
internasional. Identitas ini dimiliki oleh suatu negara tanpa memerlukan pihak
lain untuk membenarkannya. Misalnya, suatu negara disebut sebagai negara
demokrasi karena suatu negara tersebut mengimplementasikan nilai-nilai
demokrasi dalam sistem politiknya.
Ketiga, identitas peran atau role identity yakni identitas yang terbentuk
atas dasar kedudukan aktor dalam suatu komunitas dan untuk mendapatkan
identitas tersebut suatu negara memerlukan pihak lain (significant others) dalam
tugas yang di dapat dari perannya tersebut. Dengan kata lain, identitas peran
36 Wendt, Loc. Cit.,
31
membutuhkan pihak lain guna menjadi “cermin” dalam memaknai dirinya. Selain
itu, identitas disini hadir bukan terbentuk dengan sendirinya melainkan harus ada
negara-negara yang saling berinterkasi.
Adapun Wendt mengatakan bahwa hal terpenting dalam mendefinisikan
peran bukanlah suatu pelembagaan tetapi tingkat saling ketergantungan antara
satu negara dengan negara lainnya.37 Dengan kata lain, identitas peran terbentuk
berdasarkan pada budaya dan harapan bersama, yang berarti identitas ini tidak
dapat diberlakukan hanya pada diri sendiri. Namun, terbentuk karena adanya
posisi atau kedudukan tertentu suatu aktor dalam struktur sosial dan di sisi yang
sama juga mengamati norma yang berlaku pada aktor lain yang memiliki
identitas kontra yang relevan. 38 Misalnya, Amerika Serikat sebagai negara
pembela HAM, dimana identitas tersebut di dapatnya dari keanggotaannya di
PBB dan karena terdapat beberapa negara yang melanggar HAM yang menjadi
significant others.
Keempat, identitas kolektif atau collective identity yaitu kesamaan
pandangan dan pikiran antar negara dalam suatu kumpulan negara atau komunitas.
Adapun identitas ini didapat dari rasa solidaritas yang dimiliki negara karena
tergabung dalam komunitas tertentu. Misalnya, suatu kumpulan negara akan
menyerang suatu negara yang dianggap musuh bagi anggota kelompoknya.
Mengacu pada penjelasan di atas, kemudian melahirkan konsepsi bahwa
perilaku atau tindakan suatu negara dalam konteks hubungan internasional yang
37 Wendt, Op. Cit., 228. 38 Maysam Behravesh, The Thrust of Wendtian Constructivism, Lund University, diakses dalam
http://www.e-ir.info/2011/03/09/the-thrust-of-wendtian-constructivism/ (21/11/2018, 21.47 WIB).
32
dilakukan negara dilatarbelakangi oleh faktor identitas yang dimilikinya. Oleh
karena itu, identitas sangat berperan penting dalam mendefinisikan kepentingan
dan menentukan tindakan suatu negara.
Gambar 1.1 Alur Berpikir Konstruktivisme
Identitas
Tindakan Kepentingan
Sumber : The Power of Ideas Konstruktivisme Dalam Studi HI (Mohammad Rosyidin, 2015)
Berdasarkan pada gambar di atas, alur penjelasan tindakan, kepentingan
dan identitas yang dimaksud akan dikaitkan dengan kebijakan OBOR Tiongkok.
Konsep identitas dalam konstruktivisme menurut Wendt di sini digunakan oleh
penulis untuk menjelaskan kebijakan OBOR yang merupakan tindakan Tiongkok
yang terbentuk dikarenakan terdapat beberapa kepentingan yang ingin dicapai
oleh Tiongkok, yakni keinginan untuk berbagi pembangunan bersama dengan
negara lain.
Kepentingan tersebut terbentuk melalui interaksi Tiongkok dengan negara
lain yang kemudian menjadi pedoman kebijakan luar negeri Tiongkok yaitu
melalui OBOR. Dengan begitu, dalam konteks kebijakan OBOR dan kepentingan
di atas, tipologi identitas Alexander Wendt yang sesuai untuk menjelaskan hal itu
adalah identitas peran.
Seperti yang dibahas dalam konstruktivisme, aktor pembuat kebijakan
33
luar negeri sering melakukan proses pemaknaan terhadap diri sendiri dan negara
lain. Begitupun dengan Tiongkok disini yang melihat dirinya sebagai negara yang
sedang tumbuh pesat dalam bidang ekonomi, sehingga Tiongkok mendefinisikan
dirinya sebagai negara yang seharusnya memiliki peran lebih dalam
pembangunan global. Sedangkan negara-negara yang terlibat dalam OBOR
dilihat Tiongkok sebagai negara-negara tetangga yang memang pada dasarnya
Tiongkok ingin menjalin hubungan baik dengan negara tetangga sehingga dapat
dikatakan sebagai “kawan” bagi Tiongkok.
Melihat tindakan Tiongkok melalui OBOR terdapat korelasi dengan
pernyataan Wendt, “…the way international politics is conducted is made, not
given, because identities and interest are constructed and supported by
intersubjective practice…”39 hal ini sama dengan argumennya “Anarchy is what
states make of it” yang berarti bahwa dalam pandangan konstruktivisme politik
internasional sejatinya merupakan konstruksi sosial yang dihasilkan dari proses
interaksi antar negara. Oleh karena itu, identitas dan kepentingan dibentuk dari
intersubjektif. Dalam kaitannya dengan penelitian ini ialah OBOR Tiongkok tidak
hadir secara alami atau apa adanya melainkan OBOR hadir secara sengaja yang
dipengaruhi oleh kepentingan dan identitasnya Tiongkok. Analisa lebih lengkap
akan dijelaskan oleh penulis dalam Bab analisis.
1.6 Metode Penelitian
39 Mila Cahya L.J.F, 2018, Kebijakan One China Policy Versi Taiwan Sebagai Respon Reunifikasi
Tiongkok Pada Masa Pemerintahan Lee Teng Hui, Skripsi, Malang: Jurusan Hubungan
Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang, hal. 24.
34
Metodologi penelitian sangat dibutuhkan dalam melakukan suatu
penelitian. Hal ini dikarenakan metodologi penelitian dapat mempermudah
peneliti untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi dalam
melakukan penelitian, sehingga dapat menghasilkan penelitian yang benar dan
akurat serta tidak diragukan lagi dalam menentukan kesimpulan. Selain itu,
metodologi penelitian juga dapat membantu penulisan suatu penelitian agar lebih
sistematis.
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan eksplanatif.
Adapun penelitian eksplanatif berusaha untuk menjawab pertanyaan “mengapa”
dan lebih lanjut menjelaskan hubungan antar dua variabel atau lebih. Penelitian
eksplanatif digunakan untuk mengetahui jawaban mengapa suatu peristiwa atau
fenomena dapat terjadi.40 Dengan menggunakan penelitian eksplanatif kemudian
penulis akan menjelaskan faktor konstruksi identitas Tiongkok dalam pembuatan
kebijakan One Belt One Road.
1.6.2 Variabel Penelitian dan Level Analisa
Penelitian yang menggunakan pendekatan eksplanatif mengharuskan
peneliti untuk menentukan tingkat analisa terhadap isu yang di teliti. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan tingkat analisa yang terdiri dari
unit analisa atau juga disebut sebagai variabel dependen yaitu perilaku yang
40 Ulber Silalahi, 2009, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama, hal. 30.
35
hendak di deskripsikan, jelaskan dan ramalkan. Selanjutnya, unit eksplanasi atau
variabel independen adalah sesuatu yang berdampak terhadap unit analisa yang di
amati.41
Adapun identitas Tiongkok sebagai unit analisa Negara-Bangsa (variabel
dependen) yang akan di deskripsikan dan dijelaskan, sedangkan kebijakan One
Belt One Road Tiongkok sebagai unit eksplanasi Negara-Bangsa (variabel
independen). Dengan demikian, penelitian ini menggunakan model penelitian
korelasionis dimana unit eksplanasi dan unit analisanya pada tingkat yang sama.
1.6.3 Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik deduktif dimana berusaha menganalisa
fenomena yang penulis teliti dengan menguji menggunakan teori yang di anggap
mampu untuk menjelaskan keterkaitan diantara keduanya.42 Penelitian ini juga
menggunakan teknik analisa data kualitatif, penulis melakukan teknik analisa
data melalui analisa non statistik yang berarti tabel, gambar, grafik angka yang
tersedia akan diuraikan dan ditafsirkan ke dalam bentuk paragraf. Adapun teknik
analisis data tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni klasifikasi data,
memberi interpretasi pada data serta menyingkatkan data sehingga lebih mudah
untuk dibaca dan dipahami. Selain itu, penulis menggunakan suatu teori yang
relevan dengan fenomena yang diteliti yang kemudian dapat dirumuskan suatu
hipotesa.
41 Mohtar Mas’oed, Op. Cit., hal. 35. 42 Mohtar Mas’oed, Ibid., hal. 79.
36
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
tinjauan pustaka atau studi dokumentasi. Dengan mengumpulkan data sekunder
yang bersumber dari berbagai buku, jurnal, skripsi, artikel, berita, laporan
pernyataan presiden dan pemerintah Tiongkok, website resmi dan sumber data
pendukung lainnya yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang akan di
bahas dalam penelitian ini dimana tingkat kapabilitasnya dan validitasnya dapat
dipertanggung jawabkan.
1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian
a. Batasan Waktu
Batasan waktu dalam suatu penelitian sangat diperlukan agar bahasan
dalam penelitian fokus pada jangka waktu yang telah ditentukan. Maka
dari itu, dalam penelitian ini batasan waktu yang menjadi fokus penulis
adalah sejak tahun 2003 dimana pada saat itu Tiongkok mulai
mengkonsepkan peaceful rise hingga terbentuknya OBOR pada tahun
2013.
b. Batasan Materi
Selain batasan waktu, batasan materi juga diperlukan dalam suatu
penelitian agar fokus penelitian tidak terlalu luas. Adapun ruang
lingkup batasan materi dalam penelitian ini adalah penulis hanya akan
membahas mengenai hal-hal non material yang mempengaruhi
37
terbentuknya OBOR.
1.7 Hipotesa
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme, penelitian ini mengajukan jawaban
sementara bahwa terdapat faktor yang menyebabkan Tiongkok membuat kebijakan
OBOR (One Belt One Road). Kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai hasil dari
konsepsi identitas Tiongkok yang ingin diteguhkan melalui OBOR.
Selain itu, melalui pemahaman konstruktivisme yang dibangun oleh Wendt,
bahwa kepentingan dan identitas suatu negara cenderung menentukan perilaku
atau tindakan suatu negara. Maka kebijakan OBOR yang akan menghubungkan
Tiongkok dengan negara-negara Eurasia baik melalui jalur darat maupun jalur
laut merupakan bentuk tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok. Adapun tindakan
tersebut dilatar belakangi oleh kepentingan yang ingin dicapai Tiongkok yakni
keinginan untuk membantu pertumbuhan negara-negara lain, terutama yang
terlibat dalam proyek OBOR.
Hadirnya kepentingan itu sendiri dipengaruhi karena adanya identitas
yang dimiliki oleh Tiongkok. Dengan kata lain, tujuan dari pembuatan kebijakan
OBOR ialah Tiongkok ingin meneguhkan identitas yang dimilikinya. Singkatnya,
kebijakan OBOR bukanlah mengenai persoalan kepentingan yang bersifat
material melainkan lebih berkenaan dengan peneguhan atas identitas Tiongkok
itu sendiri.
38
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dijabarkan dalam beberapa Bab dan Sub Bab yang
disesuaikan dengan urutan kerangka pemikiran, sebagai berikut :
BAB I membahas latar belakang permasalahan yang diangkat dalam penelitian
ini dan penjelasan topik penelitian secara singkat. Kemudian pada Bab I juga
dijabarkan penunjang kerangka penelitian seperti rumusan masalah, tujuan dan
manfaat, penelitian terdahulu, teori yang digunakan yakni konstruktivisme,
metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, variabel penelitian dan level
analisa, teknik analisa data, teknik pengumpulan data serta ruang lingkup
penelitian. Pada bagian akhir dilengkapi dengan hipotesa dan sistematika
penulisan.
BAB II memaparkan tentang data-data penunjang dalam melakukan analisis
penelitian. Data tersebut berupa sejarah jalur sutra kuno Tiongkok sebagai
penjelasan bahwa OBOR bukanlah sesuatu hal yang baru. Kebangkitan ekonomi
Tiongkok sebagai penjelasan bahwa Tiongkok bukan negara yang agresif
melainkan Tiongkok adalah negara yang lebih mengedepankan kerja sama.
Selanjutnya, terdapat penjelasan mengenai kebijakan OBOR secara umum
disertai dengan tujuan utama dalam OBOR, dan dua jalur dalam OBOR yaitu
New Silk Road Economic Belt (jalur darat) dan 21st Century Maritime Silk Road
(jalur laut).
39
BAB III menjelaskan fokus utama dalam penelitian yakni keterkaitan antara
kebijakan OBOR Tiongkok dan teori konstruktivisme. Adapun pembahasan pada
Bab III dapat dikatakan sebagai hasil analisis yang berupa penjelasan mengenai
peaceful rise sebagai salah satu alasan dibuatnya OBOR. Lebih lanjut, dijelaskan
juga mengenai proses pembuatan kebijakan OBOR yang dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal yang bersifat non material sebagaimana sesuai dengan
pandangan konstruktivisme dalam melihat perilaku negara. Pada Sub Bab
terakhir dijelaskan bagaimana nilai budaya dan norma internasional mampu
membentuk identitas Tiongkok yang diperjelas dengan pernyataan-pernyataan
pemerintahan Tiongkok.
BAB IV berupa kesimpulan yang mengacu pada hasil penelitian dan juga disertai
dengan saran untuk penelitian lanjutan.