Upload
dokhue
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era globalisasi saat ini, setiap organisasi baik perusahaan manufaktur
atau jasa yang berorientasi laba ataupun nirlaba, dalam perkembangan bisnisnya
dituntut untuk terus berkembang dan bertumbuh, serta tidak hanya sekadar hidup,
tetapi juga harus berani bersaing secara bebas baik di dalam ataupun di luar
lingkungannya. Rumah sakit merupakan organisasi nirlaba yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, dengan menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, gawat darurat dan lainnya.
Rumah sakit baik milik pemerintah maupun milik swasta, sebagai organisasi
atau lembaga institusi yang mengelola suatu multiusaha yang meliputi pelayanan
medis, pelayanan administrasi umum dan keuangan, pelayanan laboratorium,
farmasi dan alat kesehatan, pelayanan nutrisi dan gizi, dan lain sebagainya, harus
mampu memenuhi tuntutan terhadap kondisi persaingan di era globalisasi tersebut.
Salah satu upaya mendasar untuk memenuhinya adalah dengan melakukan
pembenahan secara internal di dalam organisasinya dengan tepat sehingga dapat
menjadi rumah sakit yang terus berkembang dengan tingkat kualitas yang tinggi,
selaras dengan tuntutan perkembangan lingkungan eksternal organisasi.
Saat ini masih banyak rumah sakit yang terjerumus dalam berbagai masalah
yang dihadapi organisasi rumah sakit seperti dari faktor internal rumah sakit yaitu
kurangnya komitmen SDM berupa egosektoral tenaga ahli, inkonsistensi sistem
organisasi dan kepemimpinan, perbedaan persepsi mutu layanan, keterbatasan
2
dana, kemandirian organisasi, dan kurangnya semangat wirausaha serta budaya
kerja. Hal tersebut diperberat oleh adanya dampak eksternal rumah sakit, terutama
masih adanya pandangan stigma negatif di mata masyarakat tentang citra dan mutu
rumah sakit di Indonesia. Selain itu, pada akhir-akhir ini juga ada kecenderungan
meningkatnya kasus tuntutan masyarakat terhadap anggapan rendahnya mutu
pelayanan rumah sakit hingga dugaan malpraktik. Bahkan, baik perorangan atau
masyarakat yang dilayani oleh rumah sakit saat ini cenderung suka pilih-pilih
(choosy) dan mulai gemar menuntut (Widajat, 2009).
Indonesia saat ini merupakan negara berkembang yang sedang dihadapkan
dengan masalah kualitas pelayanan kesehatan. Tingkat pelayanan kesehatan di
Indonesia masih perlu ditingkatkan baik secara kualitas dan kuantitasnya.
Pelayanan kesehatan di Indonesia sangat tergantung oleh kualitas dan kuantitas
rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan jumlah
penduduk yang sangat besar, Indonesia harus dapat menyediakan pelayanan
kesehatan yang memadai bagi masyarakat, dalam hal ini adalah jumlah rumah sakit
harus seimbang dengan jumlah penduduk yang ada, dengan memberikan kualitas
pelayanan yang prima, sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan di
Indonesia.
Perkembangan pertumbuhan jumlah rumah sakit umum dan rumah sakit
khusus di Indonesia tergolong rendah, baik rumah sakit milik pemerintah dan
rumah sakit milik swasta. Pada tahun 2015, rumah sakit di Indonesia sebanyak
2.488 RS yang terbagi menjadi Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat.
Rumah sakit publik di Indonesia dikelola oleh Kementerian Kesehatan, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, TNI/POLRI, kementerian lain serta swasta
3
non profit (organisasi keagamaan dan organisasi sosial). Jumlah rumah sakit publik
di Indonesia sampai dengan tahun 2015 sebanyak 1.593 RS, yang terdiri dari 1.341
Rumah Sakit Umum (RSU) dan 252 Rumah Sakit Khusus (RSK). Berbeda dengan
rumah sakit publik, rumah sakit privat dikelola oleh BUMN dan swasta
(perorangan, perusahaan dan swasta lainnya). Pada tahun 2015 terdapat 895 rumah
sakit privat di Indonesia, yang terdiri dari 608 RSU dan 287 RSK. Jumlah rumah
sakit publik maupun privat menunjukkan peningkatan pada kurun waktu 2013
sampai dengan 2014, dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 2015 sesuai
yang ditampilkan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah RS di Indonesia Tahun 2013-2015
No Kepemilikan 2013 2014 2015
1 Publik
Kemkes dan Pemda 676 687 713
TNI / Polri 159 169 167
Kementerian Lain 3 7 8
Swasta Non Profit 1.562 1.599 1.593
Jumlah RS Publik
2 Privat
BUMN 67 67 62
Swasta 599 740 833
Jumlah RS Privat 666 807 895
Total RS 2.228 2.406 2.488
Sumber : Kemenkes RI, 2016
Dengan demikian, untuk dapat mengaktualisasikan amanat UUD 1945
Republik Indonesia yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama
untuk mendapatkan layanan kesehatan, kemudian dalam Pasal 34 ayat (3)
dinyatakan negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
fasilias pelayanan umum yang layak. Rumah sakit sebagai salah satu penyedia
layanan kesehatan juga harus ikut terlibat dalam hal tersebut, untuk dapat
4
menyediakan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang baik dalam memenuhi
kebutuhan pasien. Banyak hal yang perlu dilakukan untuk dapat menyediakan
layanan kesehatan dengan kualitas baik dan prima. Dalam mewujudkannya
pemerintah dan manajemen rumah sakit menghadapi banyak kesulitan, seperti
sumber daya manusia, sumber dana keuangan, dan sarana prasarana fasilitas
kesehatan yang dapat mendukung proses pelayanan kesehatan.
Rumah sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan sedang memasuki
lingkungan yang kompetitif dan terus berubah. Rumah sakit harus mengadopsi
suatu strategi yang dapat memberi keuntungan kompetitif yang berkelanjutan
sehingga dapat hidup dan tumbuh subur dalam persaingan secara global. Saat ini
rumah sakit tidak hanya berfungsi untuk sekedar menampung atau melayani orang
sakit, tetapi harus lebih memperhatikan aspek kepuasan bagi para pemakai jasanya
yakni pasien atau pengunjung. Jika sebuah rumah sakit tidak mampu memenuhi
kebutuhan dan keinginan pasien atau pengunjungnya maka rumah sakit tersebut
akan ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kinerja atau pelayanan
yang diberikan kepada pasien rumah sakit. Peningkatan pelayanan tersebut harus
melibatkan semua pihak yang ada dalam rumah sakit tersebut.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan perlu dijelaskan secara
mendalam dari berbagai pandangan pemangku kepentingan terkait, terutama dalam
mendukung keberhasilan pelaksanaannya. Pelayanan kesehatan yang berkualitas
akan memberikan nilai strategis untuk organisasi kesehatan Indonesia. Layanan
kesehatan berkualitas yang dimiliki rumah sakit dapat digunakan untuk dapat
bersaing dengan persaingan di pasar bebas saat ini. Layanan yang berkualitas tinggi
yang disediakan oleh rumah sakit memiliki efek positif pada perawatan pasien,
5
sehingga mampu meningkatkan kepuasan nilai pelanggan yang merupakan sumber
untuk mendapatkan keunggulan kompetitif. Oleh karena itu, organisasi kesehatan
rumah sakit harus meningkatkan produktivitas dan inovasi mereka dalam rangka
untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien.
Dalam upaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik terhadap pelanggan
rumah sakit, manajemen rumah sakit terus berupaya melakukan perbaikan atas
kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggannya. Pelayanan yang dilakukan
lebih mengutamakan aspek sosial dengan mengedepankan pemberian pelayanan
kesehatan terbaik bagi masyarakat yaitu pelayanan kesehatan yang Paripurna
(promotif, preventif kuratif dan rehabilitatif). Semakin meningkatnya tuntutan
masyarakat saat ini akan jasa pelayanan rumah sakit menjadi suatu tantangan bagi
industri rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, cepat,
dan efektif, yang tentunya diikuti dengan kebutuhan tenaga SDM yang lebih handal,
serta peralatan dan teknologi kedokteran yang canggih. Terlebih lagi meningkatnya
tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat saat ini juga telah merubah status
sosial dan gaya hidup masyarakat, sehingga ikut meningkatkan kebutuhan akan
layanan kesehatan yang memadai.
Rumah sakit pada umumnya difungsikan untuk melayani dan menyediakan
sarana kesehatan untuk masyarakat yang bersifat sosial, bukan untuk mencari
keuntungan semata. Untuk menjalankan fungsinya diperlukan suatu sistem
manajemen menyeluruh yang dimulai dari proses perencanaan strategik (Renstra),
baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Suatu renstra dapat disebut baik
apabila perencanaan tersebut dapat dijalankan secara praktis ke dalam program-
program operasional yang berorientasi kepada economic-equity-quality. Artinya
6
rumah sakit dikelola secara efektif dan efisien, melayani segala lapisan masyarakat
dengan memberikan pelayanan yang berkualitas. Rumah sakit dituntut untuk
mampu memberikan pelayanan yang paripurna, profesional dengan harga yang
bersaing, sehingga strategi dan kinerja pelayanan rumah sakit tersebut berorientasi
pada keinginan pelanggan tersebut. Maka dengan itu dibutuhkan suatu pengukuran
kinerja yang diharapkan dapat menjawab tuntutan dan tantangan yang ada.
Pada saat ini rumah sakit harus diselenggarakan secara efektif dan efisien
seperti halnya perusahaan atau korporasi yang merupakan konsekuensi dari
perkembangan dan pertumbuhan industri rumah sakit yang sangat pesat baik dari
segi ekonomi, sosial maupun teknologi. Hal ini tercermin pula dalam pengakuan
bahwa rumah sakit adalah institusi yang padat modal (capital intensive), padat
teknologi (technology intensive), padat karya (labor intensive) dan padat
ketrampilan (skill intensive). Dalam kenyataannya rumah sakit bukan lagi institusi
sosial, tetapi institusi sosio ekonomi yang mandiri. Banyak rumah sakit yang tidak
lagi dikelola oleh yayasan nirlaba, tetapi diselenggarakan oleh perseroan terbatas,
perusahaan jawatan dan bentuk badan hukum lainnya yang tidak lepas dari aspek
bisnis. Bahkan rumah sakit pemerintah pun dewasa ini sedang bertransformasi
menjadi perusahaan jawatan yang merupakan suatu bentuk pengelolaan korporasi
(Yohanes, 2007).
Persaingan industri pelayanan kesehatan pada saat ini semakin meningkat
dengan banyaknya rumah sakit baru yang bermunculan dengan sistem manajemen
berstandar internasional dan juga dengan teknologi yang lebih canggih. Semakin
meningkatnya jumlah rumah sakit dengan sistem manajemen dan kualitas
pelayanan yang lebih baik, serta dengan kekuatan teknologi dan sumber daya
7
manusia yang baik. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi rumah sakit yang sudah ada
untuk bersaing secara bebas dan sehat, apabila rumah sakit tersebut tidak memiliki
keunggulan internal yang kuat dan tidak dapat mengidentifikasi kelemahan
internalnya.
Perkembangan infrastruktur kesehatan di Provinsi D.I Yogyakarta sangat
pesat dari tahun ke tahun terutama jumlah rumah sakit baru yang berdiri. Hal ini
merupakan misi dari pembangunan kesehatan DIY untuk meningkatkan pelayanan
yang berkualitas, merata, dan terjangkau dengan sasaran terwujudnya masyarakat
yang hidup dalam lingkungan sehat dan berperilaku hidup sehat serta meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas
secara adil dan merata di seluruh wilayah. Untuk meningkatkan kualitas kesehatan
penduduk, pemerintah telah berupaya menyediakan sarana dan prasarana kesehatan
yang disertai dengan distribusi tenaga kesehatan yang memadai, baik dalam hal
kualitas maupun kuantitas. Dalam mengatasi masalah kesehatan, berbagai upaya
telah dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah dengan membangun atau
memperbaiki fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan harus representatif, murah dan
aksesnya mudah dijangkau sehingga masyarakat dapat menggunakannya dengan
optimal.
Derajat kesehatan penduduk DIY secara umum semakin meningkat dari
waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya angka harapan
hidup penduduk pada saat lahir. Angka harapan hidup penduduk DIY menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat selama periode tiga tahun terakhir. Pada
tahun 2013 tercatat sebesar 74,45 mengalami peningkatan menjadi 74,50 pada
tahun 2014 dan 74,68 pada tahun 2015. Angka 74,68 ini memiliki arti rata-rata lama
8
usia/tahun yang akan dijalani oleh anak yang lahir pada tahun 2015 hingga akhir
hayatnya (BPS DIY, 2015).
Pada tahun 2015, Provinsi D.I Yogyakarta memiliki jumlah penduduk yang
cukup besar, yaitu sebanyak 3.679.176 jiwa orang, sehingga layanan dasar
masyarakat harus ditingkatkan oleh pemerintah maupun swasta. Dengan demikian
akses layanan terhadap masyarakat harus menjadi perhatian baik dalam bidang
pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur dasar untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Layanan pemerintah maupun swasta
dibidang kesehatan harus dikembangkan dengan memperhatikan kondisi sosial
ekonomi masyarakat DIY.
Provinsi D.I Yogyakarta tercatat memiliki jumlah rumah sakit sebanyak 74
unit yang terdiri dari 14 rumah sakit pemerintah dan 60 milik swasta, dengan total
jumlah tempat tidur sebanyak 6.249 unit. Sedangkan untuk jumlah sumber daya
manusia yang tersedia di Yogyakarta dari semua jenis profesi ahli dan non ahli
tercatat memiliki jumlah tenaga kesehatan sebanyak 12.244 orang dan jumlah
tenaga penunjang kesehatan sebanyak 6.457 orang (Kemenkes RI, 2016). Seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk di provinsi Yogyakarta, maka tuntutan
penyediaan rumah sakit maupun kapasitas tempat tidur, serta tenaga kesehatan yang
menjadi sebuah keharusan untuk menjaga standar pelayanan kepada masyarakat.
Tabel 1.2 Jumlah Rumah Sakit dan Kapasitas Tempat Tidur di DIY Th 2015
Kabupaten
/ Kota
Rumah Sakit Kapasitas Tempat Tidur
Pemerintah Swasta Jumlah Pemerintah Swasta Jumlah
Kulonprogo 1 7 8 200 318 518
Bantul 3 11 14 521 550 1071
Gunungkidul 1 4 5 156 148 304
9
Sleman 7 20 27 1404 1058 2462
Yogyakarta 2 18 20 304 1590 1894
DIY 14 60 74 2585 3664 6249
Sumber : BPS Yogyakarta, 2015
Tabel 1.2 menunjukkan pertumbuhan jumlah sarana kesehatan di DIY dan
juga perbandingan dengan rasio jumlah penduduk, yang menggambarkan bahwa
tidak semua orang yang sakit mampu dilayani oleh rumah sakit akibat keterbatasan
maupun penyebaran yang tidak merata. Hal ini terlihat dari sisi rasio kapasitas
tempat tidur per 100.000 penduduk mencapai 172 tempat tidur atau satu tempat
tidur rata-rata digunakan untuk melayani sebanyak 582 orang. Persebaran fasilitas
kesehatan rumah sakit di DIY yang dapat dilihat pada tabel 1.1, masih belum merata
dan masih terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan jumlah
masing-masing sebanyak 20 dan 27 unit. Sementara, di Kabupaten Kulonprogo dan
Gunungkidul masih terbatas dengan jumlah masing-masing 8 dan 5 unit. Tidak
semua orang sakit di Provinsi D.I Yogyakarta mampu dilayani oleh rumah sakit
akibat keterbatasan jumlah fasilitas rumah sakit tersebut.
Kinerja rumah sakit merupakan suatu dimensi utama dari mutu pelayanan
rumah sakit, untuk menilai kinerja rumah sakit diperlukan indikator. Menurut
Departemen Kesehatan RI tahun 2005 tentang indikator kinerja rumah sakit,
terdapat 6 (enam) indikator yaitu BOR (Bed Occupancy Rate), ALOS (Average
Length of Stay), TOI (Turn Over Interval), BTO (Bed Turn Over), NDR (Net Death
Rate), dan GDR (Gross Death Rate). Untuk menilai tingkat keberhasilan atau
memberikan gambaran mengenai keadaan pelayanan kesehatan di rumah sakit
dapat digunakan sejumlah indikator-indikator tersebut, namun yang paling sering
10
digunakan umumnya adalah Bed Occupancy Rate (BOR) dan Length of Stay (LOS).
Bed Occupancy Rate (BOR) adalah persentase pemakaian tempat tidur rumah sakit
pada satu satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi
rendahnya tingkat pemanfaatan dari tempat tidur di suatu rumah sakit. Menurut
standar Pemerintah, nilai BOR yang ideal adalah berada di kisaran 60%-85%.
Sedangkan Length of Stay (LOS) adalah rata-rata lama rawatan seseorang pada
rumah sakit. Indikator ini di samping memberikan gambaran tingkat efisiensi di
rumah sakit, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, jika diterapkan
pada diagnosis tertentu. Menurut standar Pemerintah, nilai LOS yang ideal adalah
berkisar antara 6-9 hari. Meskipun demikian untuk nilai LOS di bawah 6 hari (4-5
hari) juga dapat dikatakan sudah cukup baik.
Pengukuran kinerja strategik organisasi sektor publik dalam hal ini rumah
sakit perlu dilakukan untuk melihat keberhasilan dari kinerja strategik yang telah
dicapai dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya, sesuai dengan rencana
yang telah dituangkan dalam perencanaan strategik (Renstra). Tingkat keberhasilan
suatu organisasi sektor publik harus memperhatikan keseluruhan aktivitasnya.
Pemerintah selaku pengelola sumber daya sektor publik, sering beranggapan bahwa
ukuran keberhasilan dari organisasi tersebut dapat dilihat dari kemampuanya dalam
menyerap anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan organisasi
pemerintah ini hanya dilihat dari aspek masukan (input) serta keluaran (output)
namun dampak (impact) dan manfaat dari suatu aktivitas atau kegiatan yang telah
dilaksanakan bukan menjadi pertimbangan utama.
Pencapaian strategi sebuah perusahaan atau organisasi pada dasarnya sangat
ditentukan oleh pencapaian ukuran-ukuran (result measures) yang sesuai dan
11
sejalan dengan visi, misi, tujuan, dan strategi perusahaan secara keseluruhan, baik
dalam jangka panjang, menengah maupun jangka pendek. Selain hal tersebut,
penilaian kinerja perusahaan juga dapat dilihat dari keberhasilan perusahaan
melakukan identifikasi dan melakukan langkah-langkah dalam usaha pencapaian
visi, misi, dan strategi perusahaan dalam penyusunan perencanaan bisnis. Berbagai
macam metode pengukuran kinerja strategik rumah sakit seringkali diterapkan, baik
yang masih menggunakan metode tradisional maupun metode modern yang lebih
komprehensif dan berbasis pada strategi organisasi tersebut.
Namun, rumah sakit sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang
jasa pelayanan kesehatan seringkali kesulitan dalam menemukan pendekatan yang
tepat dalam mengukur kinerja strategiknya. Dalam menilai keberhasilan rumah
sakit sering menghadapi kendala, antara lain belum adanya indikator kinerja
organisasi yang formal dan secara komprehensif yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat keberhasilan organisasi pelayanan kesehatan. Disamping itu,
penyusunan indikator kinerja sering menjadi titik lemah dan terlupakan oleh
penyelenggara organisasi pelayanan kesehatan secara umum. Indikatornya banyak
dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keadaan ekonomi dan kebijakan
pemerintah. Hal ini menyebabkan pengukuran kinerja organisasi pelayanan
kesehatan belum atau tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dari
organisasi tersebut. Seharusnya pada sistem menajemen saat ini, pengukuran
kinerja harus bergeser dari action control menjadi pemicu timbulnya motivasi
karyawan untuk mewujudkan visi dan misi organisasi (Mulyadi, 2014).
Menurut Thompson dan Strickland (2012), manajemen strategik adalah
proses manajerial dalam membentuk visi strategik, menentukan tujuan, memilih
12
strategi, menerapkan dan melaksanakan strategi dan kemudian melakukan evaluasi
kinerja dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian korektif terhadap visi, tujuan,
strategik, dan pelaksanaannya. Sedangkan Anthony dan Govindarajan (2011),
menjelaskan bahwa sistem pengukuran kinerja merupakan suatu sistem yang
bertujuan untuk membantu manajer dalam melakukan penilaian implementasi
strategi perusahaan melalui alat ukur keuangan dan non-keuangan. Pengukuran
kinerja tersebut dapat dianggap sebagai faktor kesuksesan saat ini dan pada saat
yang akan datang. Sistem pengukuran kinerja yang sesuai merupakan salah satu
kunci sukses perusahaan agar berkembang dimasa mendatang.
Salah satu sistem manajemen strategik yang efektif adalah dengan
menggunakan metode pendekatan balanced scorecard (Kaplan & Norton, 1996)
sebagai strategic management system. Pada umumnya balanced scorecard banyak
dilakukan oleh perusahaan manufaktur untuk mengukur kinerja sebuah organisasi
yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Selain untuk mengukur kinerja
perusahaan yang berorientasi pada keuntungan, metode balanced scorecard dapat
juga digunakan pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan perusahaan
nirlaba atau tidak berorientasi terhadap keuntungan seperti pada industri jasa
layanan kesehatan yaitu rumah sakit. Penerapan balanced scorecard di perusahaan
nirlaba ini tentunya berbeda dengan penerapan balanced scorecard di perusahaan
manufaktur. Terdapat beberapa hal yang perlu disesuaikan agar dapat mengukur
kinerja dengan baik dan benar.
Metode balanced scorecard mendefinisikan misi, visi dan strategi perusahaan
dalam bentuk pengukuran kinerja secara menyeluruh yang meliputi empat
perspektif yaitu financial perspective, customer perspective, internal process
13
perpective, dan learning and growth perspective. Keempat perspektif tersebut dapat
memberikan manfaat bagi rumah sakit, terutama didalam pengukuran kinerja
strategik rumah sakit, baik dalam jangka pendek sebagai indikator bagi
keseimbangan kegiatan operasional rumah sakit, maupun dalam jangka panjang
yakni demi kelangsungan rumah sakit itu sendiri. Balanced scorecard memberi
kerangka kerja serta bahasa untuk memgkomunikasikan visi, misi dan strategi;
scorecard menggunakan pengukuran untuk memberi informasi kepada para
karyawan tentang faktor yang mendorong keberhasilan saat ini dan yang akan
datang. Sehingga dapat terlihat bahwa balanced scorecard memiliki tiga
keunggulan, antara lain yaitu: memotivasi karyawan untuk berpikir dan bertindak
strategik dalam membawa perusahaan menuju ke masa depan, menghasilkan total
business plan yang komprehensif serta koheren, dan menghasilkan sasaran-sasaran
strategik yang terukur.
Pengukuran kinerja dengan menggunakan konsep balanced scorecard,
diperlukan ukuran-ukuran yang komprehensif dari keempat perspektif yang ada.
Penerapan metode balanced scorecard dimulai dari akarnya, yaitu pertumbuhan
dan pembelajaran dalam organisasi yang nantinya memberikan kontribusi pada
perspektif proses internal bisnis, pelanggan, dan keuangan. Berdasarkan konsep ini,
kinerja keuangan yang dihasilkan oleh eksekutif harus merupakan akibat dari
diwujudkannya kinerja dari perspektif diluar perspektif keuangan tersebut.
Sehingga, eksekutif dipacu untuk memperhatikan dan melaksanakan usaha-usaha
yang merupakan pemacu sesungguhnya untuk mewujudkan kinerja keuangan.
Untuk menghasilkan kinerja keuangan yang sesungguhnya, perusahaan harus
mewujudkannya melalui konsumen atau pelanggan, yaitu perusahaan harus mampu
14
menghasilkan produk dan jasa yang menghasilkan value yang terbaik bagi
pelanggan. Produk dan jasa ini harus dihasilkan dari proses yang produktif dan
biaya yang efektif dan efisien. Proses seperti ini harus dijalankan oleh tenaga kerja
yang produktif, berkomitmen dan berkembang. Proses yang seperti ini akan
menghasilkan kinerja keuangan yang sesungguhnya.
Universitas Gadjah Mada saat ini mempunyai rumah sakit akademik yang
merupakan satu-satunya rumah sakit akademik yang didirikan sebagai rumah sakit
pendidikan bagi mahasiswa UGM. Di samping itu, juga memberikan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat umum. Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (RS
UGM), dibangun dengan konsep yang berbeda dengan rumah sakit yang pernah ada
sebelumnya. Konsep yang dibangun dalam mengembangkan dan merancang
Rumah Sakit Pendidikan mengacu kepada kebijakan dan peraturan yang terkait
pelayanan kesehatan dan pendidikan, tuntutan kompetensi tenaga dokter masa kini
dan masa datang, tuntutan kualitas layanan kesehatan masa kini dan masa datang
serta perkembangan RS Pendidikan di luar negeri. Melalui pengembangan berbasis
riset dan inovasi teknologi kesehatan, RS UGM mempunyai fungsi sebagai wahana
pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan secara terpadu dalam bidang
pendidikan dokter dan /atau dokter gigi, pendidikan berkelanjutan, dan pendidikan
kesehatan lainnya secara multiprofesi.
Rumah sakit UGM yang didirikan pada tanggal 2 Maret 2012 merupakan
rumah sakit perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menjadi Rumah Sakit
Pendidikan kelas B yang telah terakreditasi Paripurna pada tanggal 30 Desember
2015 oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang memberikan pelayanan
kesehatan terpadu yang bermutu dengan mengutamakan aspek pendidikan berbasis
15
riset. RS UGM menjadi rumah sakit akademik pertama yang memperoleh akreditasi
paripurna versi 2012 diantara 24 rumah sakit akademik di bawah naungan
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Dengan
prestasi tersebut RS UGM telah membuktikan diri mampu memberikan layanan
kepada masyarakat dengan menjalankan peran dan fungsi RS Universitas yang
mengemban amanah Tridharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari Pendidikan,
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Akreditasi tersebut merupakan pengakuan terhadap RS UGM yang baru
berumur 4 tahun ini, bahwa RS UGM sudah terstandar sebagai rumah sakit yang
paripurna. Hal ini berdampak bagi proses pelayanan pasien yang dilakukan RS
UGM menjadi terstandar dengan baik sesuai dengan SPO (Standar Prosedur
Operasional) yang dibuat, selain itu juga berdampak bagi lingkungan eksternal,
masyarakat dapat mengetahui kemampuan dan tingkat pelayanan RS UGM.
Akreditasi ini mempengaruhi kepercayaan masyarakat juga pemegang saham yang
bekerjasama dengan RS UGM. Setelah mendapatkan akreditasi ini, RS UGM harus
mempertahankannya dengan cara terus menerus meningkatkan pelayanan, dengan
membudayakan mutu dan keselamatan pasien dan lebih mengembangkan RS UGM
sehingga masyarakat puas.
Melalui motto “friendly and caring hospital”, RS UGM berkomitmen
mewujudkan rumah sakit yang benar-benar nyaman, sejuk, penuh keramahan dalam
pelayanan dan menghadirkan nuansa yang menunjang kesembuhan pasien sehingga
dapat meningkatkan kepuasan pelanggan atau pasien. Dalam hal ini, kualitas
sumber daya manusia yang bekerja telah dipastikan oleh manajemen rumah sakit
bahwa seluruh SDM memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing,
16
mampu bekerjasama antar profesi untuk mewujudkan inter-professional teamwork
untuk memberikan pelayanan prima. Pelayanan prima merupakan sebuah tuntutan
di dalam proses pelayanan publik. Rumah sakit merupakan salah satu sektor publik
dibidang kesehatan yang mengemban fungsi untuk melaksanakan pelayanan publik
yang berkualitas (GamaHospita, 2015).
RS UGM terus melakukan pengembangan dalam bidang proses pelayanan
kesehatan yang berkualitas, yang mencakup layanan spesialis yang lengkap,
layanan laboratorium, layanan klaster bedah terpadu, rehabilitas medis, fasilitas
radiologi dan imaging, layanan kesehatan umum, layanan diagnostik dan layanan
darurat. Pengembangan pelayanan di tahun 2016, yaitu dengan dibukanya unit
stroke dan ICCU. Pada tahun 2016 juga, akan ada penambahan spesialis anak
sehingga dapat membuka pelayanan NICU dan PICU yang selama ini masih
menjadi satu dengan ICU. Serta gedung Parikesit dan Bima akan dibangun oleh
DIKTI. Pembagunan kedua gedung tersebut akan mempermudah arah
pengembangan pelayanan antara lain untuk pelayanan Anak Terpadu, Penyakit
Dalam dan Maternal Perinatal. Rumah sakit UGM telah mencanangkan menjadi
Rumah Sakit Ramah Difabel, sehingga perlu mengedepankan kasus-kasus ini
(difabel). Dari Jamkesos sudah bertekad untuk membantu semaksimal mungkin
dalam hal penyediaan sarana prasarana kesehatan bagi para penyandang disabilitas.
Dalam upaya merespon perkembangan globalisasi dan kebutuhan pelayanan
kesehatan yang baik, RS UGM berusaha untuk selalu memberikan pelayanan
terbaik, terjangkau serta profesional sehingga memuaskan para pemangku
kepentingan (pemegang saham) dan rumah sakit sendiri. Pelayanan terpadu yang
bermutu dan paripurna memerlukan pengelolaan dengan baik secara menyeluruh
17
agar jika ada permasalahan yang timbul dapat ditekan seminimal mungkin. Di usia
yang terbilang muda RS UGM telah melakukan perkembangan yang cukup besar
dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, antara lain dengan
melakukan penambahan jumlah SDM, penambahan ruang rawat inap dan
penambahan infrakstruktur bangunan untuk peningkatan fasilitas dan pelayanan,
sehingga mampu meningkatkan kenyamanan bagi pengunjung.
Selain itu, pengelolaan RS UGM harus dilakukan dengan cara bisnis yang
sehat dan profesional. Untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi RS UGM
sebagai rumah sakit pendidikan kesehatan perlu juga untuk ditingkatkan dan terus
dipertahankan sehingga RS UGM dapat terus mencetak sumber daya manusia
kesehatan yang unggul dan dapat diandalkan dalam upaya peningkatan kesehatan
masyarakat. Dalam menghadapi perubahan dan tantangan globalisasi dan
perubahan dunia bisnis, diperlukan manajemen pengelolaan yang fleksibel dan
responsif yang ditopang dengan perencanaan strategis yang terintegrasi antara
setiap aspek dalam organisasi.
Keberhasilan sebuah organsasi bergantung pada bagaimana strategi yang
telah dicanangkan, dapat dijalankan dengan baik. Strategi dapat dijalankan dengan
baik jika prinsip-prinsip kerja diterapkan dengan benar. Kaplan dan Norton (2001)
mengamati, terdapat prinsip-prinsip dasar yang dijadikan sebagai strategi yang
berfokus pada organisasi, yaitu: menerjemahkan strategi pada tindakan operasional,
menyesuaikan organisasi dengan strategi yang diambil, menjadikan strategi sebagai
pekerjaan tiap anggota perusahaan setiap harinya, dan menjadikan strategi sebagai
sebuah proses terus menerus. RS UGM dalam mencapai keberhasilannya telah
menetapkan rencana strategi bisnis yang mampu menerjemahkan visi, misi dan
18
tujuan rumah sakit. Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan RS UGM harus
melakukan pengukuran kinerja secara menyeluruh dan komprehensif. Salah
satunya adalah dengan melakukan pengukuran kinerja berdasarkan pendekatan
metode balanced scorecard.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan mengambil judul “Pengukuran Kinerja Strategik Rumah
Sakit UGM Dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumah sakit milik perguruan tinggi (PTN) menghadapi berbagai macam
tantangan dalam persaingan di industri rumah sakit. Hal ini terkait dengan
manajemen pengelolaanya tidak seperti mengelola unit atau institusi pendidikan.
Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan merupakan faktor penting dalam
keberhasilan rumah sakit. Rumah sakit UGM yang merupakan rumah sakit kelas B
telah mendapatkan akreditasi tertinggi (paripurna) oleh KARS, harus terus
memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumen. Rumah sakit UGM
dihadapkan pada banyak tantangan yang cukup berat antara lain seperti aspek
sumber daya manusia, fasilitas dan aspek pengelolaan rumah sakit. Dibutuhkan
investasi yang cukup besar untuk memenuhi hal-hal tersebut terutama untuk
peralatan medis, dan training untuk para tenaga medis.
Sebagai upaya memberikan bukti komitmen manajemen rumah sakit
memberikan layanan Prima, RS UGM saat ini telah mendapatkan akreditasi B dari
pemerintah melalui komite akreditasi rumah sakit (KARS). Rumah sakit yang telah
terakreditasi, mendapat pengakuan dari pemerintah bahwa semua hal yang ada di
19
dalamnya sudah sesuai dengan standar. Sarana dan prasarana yang dimiliki rumah
sakit, sudah sesuai standar. Prosedur yang dilakukan kepada pasien juga sudah
sesuai dengan standar. Hal ini diartikan pula bahwa rumah sakit yang terakreditasi
telah disahkan sebagai fasilitas kesehatan yang bermutu. Dalam pelaksanaan
pelayanan Prima ini membutuhkan komitmen, dukungan, dan motivasi dari
pemerintah, pimpinan, dan seluruh SDM yang ada di rumah sakit. Bagi tenaga
kesehatan di rumah sakit, akreditasi berfungsi untuk menciptakan rasa aman bagi
mereka dalam melaksanakan tugasnya. Mereka akan merasa aman karena sarana
dan prasarana yang tersedia di rumah sakit sudah memenuhi standar sehingga tidak
akan membahayakan diri mereka. Selain itu, sarana dan prasarana yang sesuai
standar juga sangat membantu mempermudah proses kerja mereka.
Rumah sakit UGM ini dibangun secara bertahap sesuai dengan strategi
pertumbuhan dalam pembangunan dan pengembangannya dengan dana APBN
Kemenristekdikti. Rumah sakit UGM didesain dengan konsep mendasar pelayanan
kesehatan terpadu dan terintegrasi dalam klaster-klaster dengan multiprofessional
team work dan sistem pendidikan klinik “interprofessional and transprofessional”.
Dengan tantangan yang dihadapi dan potensi yang ada, RS UGM membutuhan
sistem manajemen strategik yang tepat dalam mengukur kinerja rumah sakit, serta
komitmen dan dukungan kebijakan pimpinan secara berkesinambungan dalam
mengelola rumah sakit ini untuk terus memberikan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat umum.
Selain itu RS UGM yang merupakan bagian dari Universitas Gajdah Mada
harus menghadapi banyak tantangan yang berat terkait dengan pengelolaan
manajemen dan operasionalnya. Hal ini dapat berdampak baik dan buruk bagi RS
20
UGM, dimana RS UGM masih bergantung terhadap Universitas Gadjah Mada
terkait dengan sumber daya manusia dan sumber pendanaanya. Dan dalam hal
permasalahan strategik yang dihadapi manajemen RS UGM adalah terkait dengan
koordinasi dan pertanggung jawaban terhadap pemegang saham kunci yaitu
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti RI),
dengan berada dibawah dan tanggung jawab kepada Rektor Universitas Gadjah
Mada. Sehingga proses pengelolaan manajemen RS UGM tidak dikelola secara
mandiri oleh manajemen rumah sakit, tetapi masih harus berkoordinasi dengan
Rektor UGM. Dengan kondisi seperti ini RS UGM mengalami beberapa masalah
terkait sumber pendanaan yang akan digunakan dalam menjalankan kegiatan
operasional pelayanan kesehatan dan pengembangan sarana prasarana rumah sakit.
Sedangkan dalam aspek sumber daya manusia, RS UGM juga tidak dapat
memutuskan dan merekrut sendiri pegawai yang diinginkan secara langsung, RS
UGM hanya dapat mengajukan kebutuhan sumber daya manusia kepada Rektor
UGM.
Semakin bertumbuhnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan
maka persaingan di dalam industri rumah sakit akan semakin ketat. Sehingga
mengharuskan masing-masing manajemen rumah sakit memakai strategi bisnis
yang berorientasi pada persaingan global dan memberikan pelayanan kesehatan
yang terbaik dan prima bagi pasien atau pelanggan.. Oleh karena itu manajemen
rumah sakit harus memiliki suatu strategi bisnis yang menjadi pedoman dalam
menjalankan proses pelayanan kesehatan bagi pasien, sehingga dapat
meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan kesehatan yang sudah ada.
21
Pengembangan RS UGM akan terus dilakukan, baik pengembangan sumber
daya manusia (SDM), fasilitas sarana dan prasarana, teknologi dan alat penunjang
kesehatan. Pertumbuhan jumlah pengunjung atau pasien RS UGM terus mengalami
peningkatan secara signifikan setiap tahunnya. Hal ini merupakan salah satu
permasalahan yang timbul di RS UGM, mengingat RS UGM merupakan rumah
sakit baru yang masih berkembang dalam hal fasilitas sarana dan prasarana, dan
manajemen opersional. Selain itu dalam hal kepuasan pasien yang sudah cukup
merasa puas, tetapi masih banyak keluhan yang dilayangkan oleh pasien kepada
rumah sakit. Sehingga RS UGM harus meningkatkan pelayanan di segala aspek
agar RS UGM menjadi rumah sakit idaman dan tujuan utama layanan kesehatan
masyarakat (Dirut RS UGM, 2016).
Oleh karena itu, RS UGM memerlukan suatu perencanaan strategi bisnis yang
terintegrasi secara menyeluruh agar mampu bersaing di dalam industri rumah sakit.
Perencanaan dan penerapan strategi bisnis yang dilakukan harus sejalan dengan
indikator-indikator kinerja pelayanan kesehatan dan seluruh proses bisnis rumah
sakit, hal ini bertujuan untuk mengutamakan peningkatan kualitas pelayanan bagi
pengunjung dan pasien. Untuk mengetahui kinerja pelayanan kesehatan yang telah
dilakukan manajemen rumah sakit, diperlukan suatu pengukuran kinerja yang
berkaitan dengan penerapan strategi bisnis yang ditinjau berdasarkan indikator-
indikator dalam empat perspektif balanced scorecard.
RS UGM perlu merancang pengukuran kinerja strategik rumah sakit dengan
menggunakan metode balanced scorecard dengan empat perspektif yang dapat
mengukur kinerja strategik RS UGM secara menyeluruh dan komprehensif,
sehingga upaya untuk mencapai tujuan yang diharapkan manajemen rumah sakit
22
yakni meningkatkan kinerja strategik RS UGM kemungkinan belum tercapai sesuai
dengan indikator dari empat perspektif yang ada di dalam pendekatan balanced
scorecard. Dengan tujuan untuk menganalisis kinerja strategi bisnis rumah sakit
dalam proses manajemen strategik, terutama untuk dapat mengeksekusi strategi
bisnis RS UGM dengan tepat sehingga mampu meningkatkan kinerja pelayanan
kesehatan.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian dan permasalahan yang dihadapi oleh
rumah sakit UGM maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja strategik Rumah Sakit UGM saat ini yang diukur
berdasarkan metode balanced scorecard?
2. Apakah strategi yang diterapkan oleh RS UGM saat ini masih efektif yang
dilihat dari hasil pengukuran kinerja dengan metode balanced scorecard?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengevaluasi kinerja strategik Rumah Sakit UGM yang diukur
berdasarkan keempat perspektif balanced scorecard.
2. Mengevaluasi keefektifan strategi yang diterapkan oleh RS UGM yang
dilihat dari hasil pengukuran kinerja dengan metode balanced scorecard.
23
1.5 Manfaat Penelitian
Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan strategis
bagi manajemen RS UGM mengenai alternatif penilaian kinerja strategik rumah
sakit yang komprehensif dengan pendekatan balanced scorecard, sehingga mampu
berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja strategik rumah sakit untuk
mencapai visi, misi dan tujuan strategiknya, baik di dalam jangka pendek maupun
jangka panjang rumah sakit. Selain itu penelitian ini tentunya juga dapat
memberikan masukan terutama dalam pengambilan keputusan bagi manajemen RS
UGM untuk mengalokasikan sumber daya yang ada seperti modal, waktu dan
tenaga kerja yang ada dengan tepat, serta sebagai masukan untuk perbaikan serta
penyempurnaan pengukuran kinerja strategi yang sudah ada.
1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap Rumah Sakit UGM yang bergerak dalam
industri rumah sakit di Yogyakarta. Pengukuran kinerja yang dilakukan terkait
dengan pengukuran kinerja strategik RS UGM ditinjau berdasarkan empat
perspektif balanced scorecard yaituk perspektif keuangan, perspektif pelanggan,
perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pada tahun 2014 – 2016.
24
1.7 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, perumusan masalah yang
dibahas dalam penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah dan
sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab II Landasan Teori
Bab ini memaparkan rangkuman hasil studi literatur terkait yang digunakan
untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.
Bab III Metodologi Penelitian dan Profil Rumah Sakit
Pada bab ini menjelaskan mengenai metodologi yang dikembangkan dalam
penelitian ini yang meliputi desain penelitian, metode pengumpulan data, dan
metode analisis data. Dan bab ini membahas mengenai profil RS UGM yang
meliputi sejarah, organisasi dan manajemen, visi, misi, dan tujuan
perusahaan.
Bab V Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis data dari hasil penelitian yang
dilakukan. Analisis perencanaan strategik ini berisi suatu rumusan penilaian
dan pengukuran kinerja menggunakan balanced scorecard.
Bab VI Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan dan saran-
saran yang diajukan penulis berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.