34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Penelitian disertasi ini berjudul “KONSEP KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”. Ada beberapa pemikiran terkait dengan penelitian ini, yaitu: Pertama, istilah “pemerintahan” dalam hal ini menekankan pada fungsi atau urusan penyelenggaraan negara. Hal ini sesuai dengan pemikiran teoritis dari Hans Kelsen 1 yang menekankan kekuasaan negara pada 2 fungsi yakni legislasi dan eksekusi. Berdasarkan pemikiran ini maka pembentukan undang- undang dan peraturan daerah tidak dapat dilepaskan dalam penyelenggaraan urusan “Pemerintahan”. Argumentasi tersebut diperkuat bila melihat Bab III Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan Undang-Undang 1 Lihat, Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law and State, Harvard University Press, h.255-256: Legislation (legis latio of Roman Law) is the creation of laws (leges). If we speak of “execution” we must ask what is executed. There is no other answer but the statement that it is the general norms, the constitution and the laws created by the legislative power, which are executed. Execution of laws, however, is also the function of so-called judicial power. This power is not distinguishable from the so-called “executive” power by the fact that only the organs of the latter “execute” norms. In this respect, the function of both is really the same. By the executive well as by the judicial power, general legal norms are executed; the difference is merely that, in the one case, it is courts in the other, so-called “executive” or administrative organs, to which the execution of general norms is entrusted. (Legislasi (legis Latio Hukum Romawi) adalah pembentukan hukum. Jika kita berbicara tentang "eksekusi" kita harus bertanya apa yang dieksekusi (dilaksanakan). Tidak ada jawaban lain selain penerapan norma-norma umum, konstitusi dan undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, yang dieksekusi. Pelaksanaan undang-undang, terkait juga dengan fungsi yang disebut sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan ini tidak dibedakan dari apa yang disebut kekuasaan "eksekutif" oleh fakta bahwa hanya organ yang terakhir "mengeksekusi" norma. Dalam hal ini, fungsi keduanya benar-benar sama. Oleh eksekutif maupun oleh kekuasaan kehakiman, norma hukum umum dijalankan; perbedaannya hanyalah bahwa, dalam satu kasus, itu adalah pengadilan di organ lain, yang disebut "eksekutif" atau administratif, dimana pelaksanaan norma-norma umum dipercayakan.)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang I.pdf · jaminan, perlindungan, dan ... HAM, sisi negatifnya ... yang digunakan dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, sebab

  • Upload
    leque

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Permasalahan

1.1.1. Latar Belakang

Penelitian disertasi ini berjudul “KONSEP KEPASTIAN HUKUM DALAM

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”. Ada beberapa pemikiran terkait

dengan penelitian ini, yaitu:

Pertama, istilah “pemerintahan” dalam hal ini menekankan pada fungsi atau urusan

penyelenggaraan negara. Hal ini sesuai dengan pemikiran teoritis dari Hans

Kelsen1 yang menekankan kekuasaan negara pada 2 fungsi yakni legislasi

dan eksekusi. Berdasarkan pemikiran ini maka pembentukan undang-

undang dan peraturan daerah tidak dapat dilepaskan dalam

penyelenggaraan urusan “Pemerintahan”. Argumentasi tersebut diperkuat

bila melihat Bab III Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan Undang-Undang

1 Lihat, Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law and State, Harvard University Press,

h.255-256: Legislation (legis latio of Roman Law) is the creation of laws (leges). If we speak of

“execution” we must ask what is executed. There is no other answer but the statement that it is the

general norms, the constitution and the laws created by the legislative power, which are executed.

Execution of laws, however, is also the function of so-called judicial power. This power is not

distinguishable from the so-called “executive” power by the fact that only the organs of the latter

“execute” norms. In this respect, the function of both is really the same. By the executive well as by the

judicial power, general legal norms are executed; the difference is merely that, in the one case, it is

courts in the other, so-called “executive” or administrative organs, to which the execution of general

norms is entrusted. (Legislasi (legis Latio Hukum Romawi) adalah pembentukan hukum. Jika kita

berbicara tentang "eksekusi" kita harus bertanya apa yang dieksekusi (dilaksanakan). Tidak ada

jawaban lain selain penerapan norma-norma umum, konstitusi dan undang-undang yang dibuat oleh

kekuasaan legislatif, yang dieksekusi. Pelaksanaan undang-undang, terkait juga dengan fungsi yang

disebut sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan ini tidak dibedakan dari apa yang disebut kekuasaan

"eksekutif" oleh fakta bahwa hanya organ yang terakhir "mengeksekusi" norma. Dalam hal ini, fungsi

keduanya benar-benar sama. Oleh eksekutif maupun oleh kekuasaan kehakiman, norma hukum umum

dijalankan; perbedaannya hanyalah bahwa, dalam satu kasus, itu adalah pengadilan di organ lain, yang

disebut "eksekutif" atau administratif, dimana pelaksanaan norma-norma umum dipercayakan.)

2

No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.2 Berdasarkan

argumentasi tersebut, istilah “Pemerintahan” disini juga bersentuhan

dengan pembentukan undang-undang dan peraturan daerah, sebagai dasar

tindakan hukum dalam penyelenggaraan tugas pemerintah (penerapannya).

Kedua, judul ini menampakkan dengan jelas adanya kaitan antara penyelenggaraan

pemerintahan dengan kepastian hukum. Hal tersebut bila mengedepankan

asas legalitas sebagai salah satu unsur dalam konsep negara hukum

“Rechtstaat”, yang menekankan penyelenggaraan pemerintahan harus

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, adanya anggapan bahwa kepastian hukum itu seringkali bertentangan dengan

rasa keadilan. Hal tersebut, memunculkan perdebatan ketika banyaknya

peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar rasa keadilan.

Keempat, kepastian merupakan salah satu kajian aksiologi hukum dalam lapisan

filsafat hukum yang harus diaktualisasikan melalui peraturan perundang-

undangan.

Kelima, kepastian hukum merupakan elemen penting dalam kajian utama politik

hukum3 yakni pembentukan peraturan perundang-undangan (legislasi) yang

2 Bab III Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang berjudul “Kekuasaan Pemerintahan Negara”

di dalamnya terdapat beberapa ketentuan yang termasuk kewenangan Presiden dalam pembentukan

undang-undang. Selain hal tersebut, dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah membedakan antara Pemerintah dan Pemerintahan. “Pemerintah” menekankan pada organ

pelaksana (eksekutif) sedangkan “Pemerintahan” mendeskripsikan pada penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. 3 Padmo Wahyono mengartikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan

arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Ia pun menganggap bahwa masalah politik

3

merupakan telaah ilmu perundang-undangan dan teknik perancangan

peraturan perundang-undangan “Legislative Drafting”

Keenam, dari perspektif hukum tata negara kajian ini erat kaitannya dengan

pembentukan ius constitutum yang merupakan bagian penting dari politik

hukum negara Indonesia, dalam rangka mewujudkan good governance

melalui clean government.

Ketujuh, peraturan perundang-undangan dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam

ruang lingkup undang-undang, peraturan daerah provinsi dan peraturan

daerah kabupaten/kota yang menekankan pada kajian atau telaah kepastian

hukum sesuai Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD NRI 1945). Isi

ketentuan ini sebagai berikut “Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil4 serta perlakuan

yang sama dihadapan hukum.”

hukum ialah mengenai nilai-nilai, penentuannya, pengembangannya dan pemberian bentuk hukumnya.

(lihat Padmo Wahyono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, h. 160) 4 Penggunaan konsep “kepastian hukum yang adil”, dapat dikatakan bersumber dari Pasal 7

dan Pasal 8 Piagam Hak Asasi Manusia sebagaimana diratifikasi dalam Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 Tentang HAK ASASI

MANUSIA (Meskipun TAP MPR ini sudah tidak berlaku, namun esensinya hanya menekankan pada

aspek historis saja) Pasal 7 menentukan: “Setiap orang, berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil.” Sedangkan Pasal 8, menentukan : “Setiap orang

berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum”. (Lihat Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2008,

Buku VIII Warga Negara, Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Agama, Penerbit Sekretariat Jenderal

Mahkamah Konstitusi, h. 53). Pada frasa “perlakuan hukum yang adil” di Pasal 7 tersirat makna akan

hukum yang mengayomi, sedangkan Pasal 8 “kepastian hukum” menekankan pada kepastian norma.

Mengingat kedudukan MPR saat itu adalah Lembaga Tertinggi dan pelaksana kedaulatan rakyat, maka

eksistensi TAP MPR lebih kuat dari Undang-Undang dan hampir sederajat dengan Undang-Undang

Dasar, jika membandingkan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, dengan sebelum amandemen.

4

Ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 ini memberikan makna, bahwa

konstitusi5 memahami kepastian hukum dalam artian suatu peraturan perundang-

undangan yang menjamin perlakuan yang sama, melindungi, mengayomi,

mengandung kejelasan norma dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal ini juga

sejalan dengan pemikiran dalam ketentuan Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI 1945 serta

esensi negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 I ayat

(5) UUD NRI 1945.

Secara harafiah dari rujukan ketentuan diatas, memiliki makna bahwa tidak

boleh lagi ada aturan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, namun

secara realita itu masih banyak terjadi. Karenanya, sangat dimungkinkan muncul

anggapan bahwa pemerintah dan DPR telah melakukan tindakan yang

inkonstitusional.

Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI 1945, yang menyebutkan negara hukum

demokratis6, berimplikasi pada hak asasi manusia harus dijamin dan diatur dalam

5 Istilah Konstitusi dalam tulisan ini sebagai kata lain dari Undang-Undang Dasar,

dikarenakan penulis merujuk pada pendapat Struycken dan Grurys yang disebut penganut “paham

modern”, yang memberi pemahaman konstitusi sama dengan “undang-undang dasar”. selain karena

sebagai undang-undang tertinggi, juga memenuhi syarat-syarat, yakni (1) berbentuk tertulis dalam

bentuk dokumen yang diterbitkan dalam “Lembaran Negara”; (2) isinya memuat atau mengatur

“materi muatan” yang fundamental atau hal-hal yang pokok saja, seperti : hak asasi manusia, bentuk

negara, fungsi-fungsi pemerintahan; dan (3) prosedur pembentukan serta perubahannya harus

istimewa, serta tidak boleh sama dengan undang-undang “biasa” (lihat I Dewa Gede Atmadja, 2012,

Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, h. 37) 6 Istilah negara hukum demokratis sudah digunakan pada Konstitusi RIS dan UUDS 1950,

Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS, menentukan : “Republik Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat

jalah suatu negara-hukum jang demokrasi dan berbentuk federasi.” Pasal 1 ayat (1) UUDS,

menentukan: Republik Indonesia jang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara-hukum jang

demokratis dan berbentuk kesatuan. Padmo Wahyono mengatakan rumusan “negara hukum yang

demokratis”, lazimnya digunakan di dunia barat dalam suatu sistem parlementer. Menurutnya inti

rumusan tersebut adalah bahwa hukum yang berlaku dalam suatu negara hukum, haruslah yang

5

peraturan perundang-undangan. Akan tetapi secara empirik masih banyak undang-

undang atau peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi.

Karenanya, eksistensi penelitian disertasi ini juga, sebagai upaya mencari suatu

pemikiran guna menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik dalam artian

menjamin kepastian hukum. Halaman website Mahkamah Konstitusi (MK), diuraikan

putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang. Demikian

rincian perkara dari Mahkamah Konstitusi ini, diuraikan dalam bentuk tabel dibawah

ini: 7

TAHUN PUTUSAN MK YANG

MENGABULKAN PERMOHONAN

2003 0

2004 11

2005 10

2006 8

2007 4

2008 10

2010 17

2011 21

2012 30

2013 22

2014 26

Jumlah 159

terumus secara demokratis, yaitu memang dikehendaki oleh rakyat. Lihat Padmo Wahyono, 1986,

op.cit, h. 8. Dari pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa konsep “demokratis” memiliki 2 arti positif

dan negatif. Positifnya ketika penafsiran terhadap “kehendak rakyat” menekankan pada perlindungan

HAM, sisi negatifnya ketika suatu aturan hanya menekankan keinginan masyarakat banyak, tanpa

melihat dari perspektif HAM. Sehinga rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan

“kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, memberikan jastifikasi

yuridis bahwa UUD menjadi pedoman dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut, sehingga

penafsiran “demokratis” menjadi positif. Selain itu, patut dipahami konsep negara hukum demokratis

sebagaimana dalam Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI 1945, memiliki perbedaan makna dengan istilah

yang digunakan dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, sebab lebih menekankan pada perlindungan

dan penegakan HAM. Disamping itu, apabila dipandang dari konstruksi aturan, istilah negara hukum

demokratis yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (5) Bab XA tentang HAM, tentunya berbeda

pemaknaan dengan konsep pada Konstitusi RIS dan UUDS 1950 yang diatur dalam Pasal 1 serta Pasal

1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945. 7 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU

6

Terdapat 159 putusan yang mengabulkan permohonan pemohon atau

memmbatalkan ketentuan undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini

menunjukkan bahwa undang-undang yang dihasilkan eksekutif dan legislatif selama

ini inskonstitusional sehingga memunculkan ruang bagi pihak yang dirugikan untuk

mengajukan permohonan “judicial review8” ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini

merupakan bentuk dari ketidakpastian hukum, yang dapat disebabkan dengan adanya

konflik norma dan kekaburan norma. Kondisi tersebut akan berdampak negatif dalam

menjalankan fungsi pemerintahan, mengingat peraturan perundang-undangan

merupakan muara dari tindakan pemerintah, sebagaimana asas legalitas.

Permasalahan norma di berbagai undang-undang, dapat ditemukan dalam

beberapa rumusan pasal, yang diidentifikasi sebagai berikut:

Pertama, Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, menentukan “Pengemudi Sepeda Motor

selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

menyalakan lampu utama pada siang hari.” Frasa “siang hari” secara

gramatikal dapat dipahami pada Pukul 12.00 – 15.00 Wita, namun

penafsiran tersebut berbeda dengan kondisi aktual, petugas Polisi selalu

menghimbau agar setiap pengemudi sepeda motor menyalakan lampu

pada pagi, siang dan sore hari. Penafsiran terhadap “siang hari”

8 Judicial review disini dalam artian pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial

review on the constitutionality of law) lihat Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-model Pengujian

Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan Kedua, Konstitusi Press, Jakarta, h. 2-3, lihat juga I Dewa

Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum Terhadap

Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, h. 248.

7

menurut petugas menunjukkan waktu dari matahari terbit sampai

dengan terbenam. Perbedaan interpretasi ini akan berbuntut pada

ketidakpastian dalam proses penegakannya.

Kedua, Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran,9 menentukan:

"Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain yang

menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau

dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau izin

praktik".

Kemudian dipertegas dengan ancaman pidana berdasarkan ketentuan

Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran yang menegaskan:

"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara

lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang

menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau

dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat

tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00

(seratus lima puluh juta rupiah)";

Frasa “kesan seolah-olah” dapat ditafsirkan kepada profesi tukang gigi,

padahal pekerjaan sebagai tukang gigi sebelum adanya Undang-Undang

Praktik Kedokteran adalah pekerjaan yang sah. Pasal 27 ayat (2) Undang-

Undang Dasar NRI 1945, yang menentukan : "Tiap-tiap warga Negara

berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan",

9 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-X/2012

8

sehingga apabila praktik tukang gigi tersebut dihentikan, maka

bertentangan dengan ketentuan Konstitusi.

Ketiga, Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional10

yang menentukan, “Pemerintah dan/atau

pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan

pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi

satuan pendidikan yang bertaraf internasional;”

Pembedaan antara pendidikan internasional dan nasional yang

menunjukkan pembedaan mutu anak didik, merupakan ketentuan yang

bertentangan dengan Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1);

Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2),

dan Pasal 31 ayat (3), UUD NRI 1945.11

Masalah dalam Undang-Undang

10

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 11

Pembukaan UUD 1945, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar

Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil

dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia”. Pasal 28C ayat (1), “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan

kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan

dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat

manusia;” Pasal 28E ayat (1), “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,

memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;” Pasal 28I

ayat (2), “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun

dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;” Pasal 31

ayat (1), “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;” Pasal 31 ayat (2), “Setiap warga

negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;” Pasal 31 ayat (3),

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang

9

ini menunjukkan adanya bentuk pertentangan dengan Undang-Undang

Dasar.

Keempat, Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden

dan Wakil Presiden,12

menentukan :

“Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah

genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah

kawin mempunyai hak memilih.” Dengan ketentuan ini dapat

disimpulkan bahwa sepanjang sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah

kawin pada hari pemungutan suara, seorang warga negara memiliki hak

memilih.”

Sedangkan, Pasal 28 yang menentukan, “Untuk dapat menggunakan

hak memilih, Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 harus terdaftar sebagai Pemilih.” Kemudian syarat memilih

juga diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden, Pasal 111 ayat

(1) yang menentukan, ”Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan

suara di TPS meliputi: a. Pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih

Tetap pada TPS yang bersangkutan; dan b. Pemilih yang terdaftar

pada Daftar Pemilih Tambahan.”

Ketentuan ini mengartikan penyelenggara pemilihan umum (Pemilu)

memiliki kewajiban untuk mendaftar warga negara yang telah memiliki

hak memilih sesuai Pasal 27 ayat (2), yakni, “Warga Negara Indonesia

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam daftar Pemilih.”

meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang;” 12

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-VII/2009

10

Tindakan penyelenggara Pemilu yang menyebabkan seorang warga

negara kehilangan hak memilihnya karena tidak terdaftar sebagai

pemilih atau tidak tercantum dalam DPT adalah tindakan melanggar

hukum dan bentuk penghilangan hak konstitusional warga negara untuk

memilih. Perbuatan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal

28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI 1945.13

Undang-Undang ini

menampakkan aturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap

hak pemilih, melalui penyalahgunaan wewenang.

Kelima, Pasal 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, menentukan : “Dalam melaksanakan tugas

pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara

Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan

peraturan perundang-undangan lainnya”. Penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana korupsi juga merupakan kewenangan Kepolisian. Sama

halnya dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang

memiliki tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

terhadap tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf

c, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

13 Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal

28 D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sedangkan, Pasal 28 D ayat (3) menentukan Setiap

warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

11

Korupsi. Konflik norma ini merupakan wujud ketidakpastian yang akan

menghambat proses penegakan hukum, yang berdampak buruk pada

penyelenggaraan pemerintahan.

Keenam, Pasal 31 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat,

menentukan : “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan profesi

Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan

advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

50.000.000,. (lima puluh juta Rupiah).” Definisi Advokad ditegaskan

dalam Pasal 1 angka 1, yakni Advokat adalah orang yang berprofesi

memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan…..”

Pasal 87 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial, memberi hak beracara pada organisasi

pekerja dan pengusaha di Pengadilan Hubungan Industrial. Pasal 31

Undang-Undang Advokad ini mirip dengan undang-undang sebelumnya

terkait dengan profesi dokter gigi, masalah ini menunjukkan konflik

norma.

Beberapa contoh ketentuan dalam berbagai undang-undang diatas baik yang

telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi maupun yang tidak, menunjukkan pada

beberapa masalah ketidakpastian hukum. Adapun ketidakpastian hukum itu

diidentifikasi sebagai berikut: (1) tidak sesuainya hal-hal yang diatur dengan

penerapan, (2) adanya konflik norma antara ketentuan dalam undang-undang dengan

12

UUD NRI 1945, (3) adanya konflik norma antara satu ketentuan dengan ketentuan

yang lain dalam satu undang-undang sehingga berpotensi pada penyalahgunaan

wewenang.

Peraturan Daerah yang merupakan salah satu jenis perundang-undangan

merupakan aturan yang layak dikedepankan dalam penelitian ini. Peraturan daerah

(Perda) dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan14

. Perda ditetapkan oleh kepala daerah

setelah mendapat persetujuan bersama DPRD yang merupakan penjabaran lebih

lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan

ciri khas masing-masing daerah. Dengan demikian Perda dilarang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Secara faktual total pembatalan Perda yang telah dilakukan oleh Menteri

Dalam Negeri (Mendagri) sejak 2002 s/d 2009 yakni 2246 Perda, yang dapat

diuraikan sebagai berikut:

Tahun 2002 : 19 Perda

Tahun 2003 : 105 Perda

Tahun 2004 : 236 Perda

Tahun 2005 : 126 Perda

Tahun 2006 : 114 Perda

Tahun 2007 : 173 Perda

Tahun 2008 : 229 Perda

14 Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk

melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari

Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. (lihat Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)

13

Tahun 2009 : 1244 Perda 15

Klasifikasi peraturan daerah yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri,

dikarenakan konflik norma (bertentangan dengan undang-undang) merupakan bentuk

aturan yang tidak memenuhi unsur kepastian hukum. Berdasarkan uraian diatas dapat

diidentifikasi, pada tahun 2002 adalah 18 Perda Kabupaten/Kota dan 1 Perda

Provinsi. Untuk tahun 2003, yakni 4 Perda Provinsi dan 99 Perda Kab/Kota. Di tahun

2004, 17 Perda Provinsi yang dibatalkan dan 217 Perda Kab/Kota. Tahun 2005,

sebanyak 18 Perda Provinsi dan 104 Perda Kab/Kota, dibatalkan. Kemudian tahun

2006, Perda Provinsi yang dibatalkan sebanyak 18 dan 91 Perda Kab/Kota. Untuk

tahun 2007, dari 170 Perda dibatalkan diantaranya 31 Perda Provinsi dan 139 Perda

Kab/Kota. Pada tahun 2008, 5 Perda Provinsi sisanya Perda Kab/Kota yang

dibatalkan dari total keseluruhan 227 Perda. Sedangkan untuk tahun 2009, hanya 1

Perda Provinsi yang dibatalkan dari 1243 Perda.

Tahun 2012 sebagaimana diberitakan Tribunnews.com16

, Mendagri telah

membatalkan 173 Perda dari 3000 Perda. Pembatalan peraturan daerah yang selama

ini dilakukan oleh Mendagri dilakukan melalui Peraturan Menteri atau Keputusan

Menteri. Secara normatif peraturan menteri tidak masuk dalam hirarki peraturan

perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang, sehingga layak untuk

15

www.kepmendagri.go.id, Daftar Kepmendagri Pembatalan Perda 2002-2009.

Kementerian Dalam Negeri RI 16

Tribunnews.com, Senin, 7 Januari 2013, Mendagri: 173 Perda Dibatalkan Tahun 2012.

14

diperdebatkan17

. Terlepas dari hal tersebut, banyaknya peraturan daerah yang

bermasalah sebagai akibat ketidakpastian hukum. Eksistensi peraturan daerah tersebut

dapat menimbulkan tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-

wenang oleh aparatur pemerintahan daerah sehingga berpotensi pada pelanggaran hak

asasi manusia (HAM).

Permasalahan dalam peraturan daerah, dapat diidentifikasi melalui beberapa

ketentuan yang bermasalah, diantaranya :

1. Pasal 22 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pemilihan

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil

Walikota, yang menentukan :

Bakal pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan

Walikota/Wakil Walikota harus memenuhi persyaratan:

a. warga negara Republik Indonesia;

b. orang Aceh;

c. beragama Islam, taat menjalankan syari'at Islam dan mampu

membaca Al-Qur'an dengan baik;

d. setia pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945;

e. mampu menjalankan butir-butir yang ada dalam MoU Helsinki;

f. pendidikan paling kurang sekolah lanjutan tingkat atas atau yang

sederajat;

g. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

h. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil

pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter pemerintah di

ibukota Pemerintah Aceh;

17

Perdebatan kewenangan Mendagri membatalkan Peraturan Daerah ini dapat dikaji dari 2

sudut pandang pro dan kontra. Perspektif pro menjelaskan jastifikasi yuridis melalui Pasal 18 ayat (1)

UUD NRI 1945 dengan frasa; “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota………..”. Atas dasar ketentuan

tersebut maka Mendagri layak membatalkan Peraturan Daerah, karena merupakan wakil Pemerintah

Pusat. Berbeda halnya dengan perspektif kontra, Pasal 1 ayat (2) menekankan pada kedaulatan

tertinggi itu ditangan rakyat. Mengingat peraturan daerah dibuat oleh kepala daerah dan DPRD,

sedangkan Mendagri hanya penerima delegasi dari Presiden. Maka tidak tepat apabila Mendagri

membatalkan Perda, apalagi instrument Peraturan Mendagri tidak masuk dalam hirarki peraturan

perundang-undangan.

15

i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan

yang diancam dengan hukuman penjara paling kurang 5 (lima) tahun

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah

mendapat amnesti/rehabilitasi;

j. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

k. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

l. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

m. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk

diumumkan;

n. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/Bupati/Walikota; dan

o. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan

dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang

merugikan keuangan negara.

Ketentuan huruf c, merupakan ketentuan yang diskriminatif, sehingga

bertentangan dengan HAM politik yakni kebebasan untuk memilih dan

dipilih. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD NRI 1945, yakni:

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan.” Ketentuan ini mirip dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 21

Tahun 2001 jo Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua,

yang menentukan : “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil

Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:

a. orang asli Papua;18

b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara;

d. berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;

e. sehat jasmani dan rohani;

18

Berkaitan dengan Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Otonomi Khusus Papua No. 21

Tahun 2001 yakni MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur

dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP, kemudian oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

29/PUU-IX/2011, Pasal 20 ayat (1) tersebut dibatalkan.

16

f. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada

rakyat Provinsi Papua;

g. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali

dipenjara karena alasan-alasan politik; dan

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-

alasan politik.

2. Pasal 13 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002

Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syi’ar Islam

(1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami.

(2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau

institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di

lingkungannya.

Pada ketentuan ayat (1) menunjukkan pada orang-orang yang beragama

muslim, akan tetapi pada ayat (2) mengaburkan konsepsi pemikiran ayat (1),

sehingga dapat dipahami siapapun (termasuk yang bukan beragama muslim)

yang berada dalam instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan

atau institusi masyarakat wajib menggunakan busana Islami. Ketentuan ini

tidak mengandung rasa keadilan dan bertentangan dengan hak asasi manusia

(HAM)

3. Pasal 4 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang

Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syi’ar Islam.

(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat

berkewajiban membimbing dan membina aqidah19

umat serta

mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat.

19 Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11

Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syi’ar Islam, menentukan

“Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.” Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, menggunakan kata (menggunakan huruf K) “Akidah”, yang artinya aki·dah n Islam

kepercayaan dasar; keyakinan pokok (lihat www.kbbi.web.id)

17

(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah

kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung

jawabnya.

Kata “setiap keluarga” menekankan pada semua keluarga, dengan adanya

pengawasan dari pemerintah daerah akan menjadi masalah serius apabila

terdapat orang non muslim, berada disana.

Pasal 5 ayat (1) Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002,

menentukan :

“Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh paham

atau aliran sesat.”

Kata “setiap orang”, menunjukkan pada siapapun sehingga termasuk orang

yang bukan beragama muslim.

4. Pasal 8 dan Pasal 46 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum.

Pasal 8, menentukan :

“Setiap pengendara kendaraan bermotor dilarang membunyikan

klakson dan wajib mengurangi kecepatan kendaraannya pada waktu

melintasi tempat ibadah selama ibadah berlangsung, dan lembaga

pendidikan serta rumah sakit.”

Adapun yang menjadi permasalahan dalam ketentuan ini, adalah apabila

seorang pengendara mobil membunyikan klakson dengan maksud

memberikan informasi pada pengemudi lain agar tidak menabrak.

Sedangkan dalam Pasal 46, menentukan :

18

“Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan, menyimpan dan

menjual minuman beralkohol tanpa izin dari pejabat yang berwenang

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Seharusnya perlu ada pengecualian dalam hal ini, yakni untuk tujuan

peribadatan atau ritual agama. Sehingga jangan sampai dengan menggunakan

ketentuan ini, terjadi konflik horizontal antar agama.

5. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 8 Seri E

Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran

Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1), menentukan larangan, yakni:

“Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga

menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang

berada di jalan – jalan umum, dilapangan –lapangan, dirumah

penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung

– warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut – sudut

jalan atau di lorong – lorong atau tempat – tempat lain di daerah.

Dalam ketentuan ini kekaburan norma terdapat dalam frasa yang dicetak tebal.

Sehingga ketentuan ini memberikan peluang terhadap aparat dalam bersikap

sewenang-sewenang.

6. Pasal 2 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2007

Tentang Pendidikan Al-Qur'an

Pendidikan AI-Qur'an dimaksudkan sebagai upaya strategis dan

sistematis dalam membangun dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka rnencerdaskan kehidupan

bangsa dan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia seutuhnya,

sebagai wujud pencapaian cita-cita pendidikan nasional.

Pendidikan Al-Quran yang ditujukan kepada peserta didik dalam semua

jenjang pendidikan, dengan tujuan seperti yang terurai dalam ketentuan di

atas, dirasakan tidak adil. Sebab, bagaimana perhatian terhadap pendidikan

19

Alkitab, Weda, Tripitaka yang sama-sama mewujudkan watak serta peradaban

bangsa serta pencapaian cita-cita pendidikan nasional.

Beberapa kasus tersebut memberikan pemahaman bahwa ketidak adilan dan

pelanggaran HAM juga muncul akibat ketidak pastian hukum baik itu konflik norma

atau norma kabur. Norma kabur merupakan norma yang batasannya tidak jelas,

sehingga menimbulkan multi tafsir. Konflik norma yang dimaksud bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi, dengan aturan sederajat serta pertentangan antara

satu ketentuan dengan ketentuan lain dalam aturan yang sama. Permasalahan dalam

peraturan perundang-undangan menjadi penyebab dari masalah keadilan dan HAM,

tentunya merupakan bentuk tindakan yang inkonstitusional sehingga akan

menghambat penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan dalam memenuhi,

melindungi dan menegakan hak asasi manusia (HAM).

Ketidakpastian hukum menampakkan suatu kondisi bahwa aturan tidak dapat

diterapkan, aparatur pemerintah tidak memiliki dasar untuk menjalankan tugas dan

wewenang. Namun disamping itu, ketidakpastian tidak hanya ditemukan dalam

aturan, melainkan apabila masyarakat tidak mendapatkan hak dan kewajiban yang

seharusnya didapat sesuai dengan perintah konstitusi juga merupakan bentuk dari

ketidakpastian hukum yang adil.

Secara faktual terdapat beberapa penyebab timbulnya masalah dalam

peraturan perundang-undangan yang baik, diantaranya:

20

1. Sumber daya manusia dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

masih lemah.20

2. Buruknya mentalitas pembentuk peraturan perundang-undangan (pejabat

eksekutif dan legislatif). Rendahnya moralitas pembentuk, ini

dikarenakan:

a. mahalnya biaya demokrasi21

b. kurangnya kualitas SDM dari pejabat22

.

c. Dinamika Recall mengakibatkan kepentingan rakyat terabaikan dalam

pembentukan aturan, sebab anggota DPR akan lebih mendahului

kepentingan partai, daripada konstituennya dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan.23

20

Salah satu kelemahan dari lemahnya SDM dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan terlihat pada kualitas produk hukumnya. Dalam salah satu putusan Mahkamah Konstitusi

No. 014/PUU-I/2003, terdapat saran majelis hakim bahwa “di masa yang akan datang, pembentuk

undang-undang seyogyanya memperhatikan prinsip perancangan undang-undang yang baik”. Pendapat

tersebut didasarkan pada adanya multi tafsir terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (2), (3), (4) dan (5)

Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD. 21

Lihat, buku Pramono Anung Wibowo, 2013, Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi

(Potret Komunikasi Politik Legislator-Konstituen), Kompas, Jakarta, h. 171-176, dalam tulisan

tersebut dirincikan bahwa modal yang digunakan oleh calon legislator itu variatif dengan kategori

Dana besar (pengeluaran diatas 1 milyar rupiah), standar (antara 600 juta hingga 1 milyar rupiah), dan

minimal (dibawah 600 juta rupiah). Dari sumber dana tersebut terdapat dana pribadi, dana gabungan

(bersumber dari pribadi dan disokong oleh beberapa sumber lain seperti teman, keluarga, perusahaan,

partai dan rakyat) dan dana pihak lain (sumber dana tidak berasal dari pribadi, melainkan teman dan

partai). 22

Dalam, buku Pramono Anung Wibowo, ibid, h. 36, menunjukkan bahwa latar belakang

menjadi Legislator, yakni : (1) Dorongan keluarga, (2) tawaran dari pejabat partai, (3) kesadaran untuk

melakukan perubahan, (4) dorongan dari teman satu suku, dan (5) lingkungan, bakat & ketertarikan.

Jika melihat poin (1), (2), (4) maka kecenderungan dari Legislator terpilih tidak berdasarkan SDM

yang memadai. 23

Lihat Opini Jimmy Z. Usfunan, Antara Suara Nurani dan Suara Partai, Balipost, Senin, 6

Maret 2010, dalam tulisan itu mengkaji tindakan Lili Wahid yang mengambil sikap bertentangan

dengan kehendak partainya yakni PKB. Setelah kejadian tersebut Lili Wahid diberhentikan dari

anggota DPR dengan mekanisme “recall”.

21

3. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kurang transparan dan

terbuka sehingga kurangnya partisipasi masyarakat, dalam pembentukan

Peraturan perundang-undangan.

Dalam melihat 3 penyebab di atas, tidak menutup kemungkinan terdapat peluang

kepentingan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga

menghasilkan kualitas yang buruk.

Uraian pada latar belakang ini menunjukkan kelemahan/masalah hukum

tertulis (peraturan perundang-undangan) seperti konflik norma (antinomy) atau norma

kabur (unclear norm). Deskripsi tentang permasalahan norma bagi undang-undang

dan peraturan daerah tersebut, menunjukkan 2 klasifikasi aturan sebagai berikut :

1. Peraturan yang langsung melanggar HAM (konflik norma)

2. Peraturan yang berpotensi melanggar HAM (norma kabur)

Kelemahan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) juga dapat ditemukan

dengan kekosongan norma yakni tidak terjangkaunya ketentuan terhadap masalah-

masalah kompleks dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karenanya identifikasi

terhadap konsep “kepastian hukum” sangat diperlukan dalam penelitian ini, meskipun

telah ada beberapa pandangan sebelumnya.

Permasalahan dalam peraturan perundang-undangan dalam negara yang

menganut sistem hukum eropa kontinenal dengan mengedepankan pola kodifikasi

hukum, merupakan hal yang rentan terjadi. Meskipun, esensi perundang-undangan

sebagai hal yang prioritas, namun banyak pihak yang meragukan eksistensi hukum

tertulis ini dalam penyelenggaraan pemerintahan.

22

Keraguan akan eksistensi peraturan perundang-undangan sebagai hukum

tertulis menjadi obyek kritikan dari para pemikir hukum, yang berpangkal pada

pemikiran aliran Critical Legal Studies (CLS) dan American Legal Realism (ALS).

Pemikiran-pemikiran kedua aliran ini memunculkan serangan yang kuat terhadap

bentuk formalisme aturan yang dikembangkan oleh aliran postivisme hukum dan

menganggap bahwa hukum sudah cacat sejak lahir. Ditambah dengan adanya

pemahaman bahwa upaya memformulasikan gagasan atau aturan kedalam bentuk

hukum tertulis menekankan pada ajaran legisme semata.

Kondisi ini merambah luas sehingga menghadirkan adagium bahwa kepastian

hukum identik dengan paham legisme, yang menghasilkan pemikiran

idienzjurisprudence atau ajaran mekanistis yang mana hakim juga tidak boleh

menafsirkan lain isi dari suatu perundang-undangan, meskipun itu akan menghasilkan

putusan yang tidak adil sekalipun. Begitu pula dalam penerapan undang-undang dan

peraturan daerah. Tidak hanya itu esensi kepastian hukum juga dianggap

bertentangan dengan keadilan.

Berdasarkan deskripsi dalam latar belakang, menunjukkan Penelitian ini

melakukan kajian terhadap teori tentang supremasi undang-undang

(legisme/formalisme), teori tentang cara perumusan undang-undang yang baik, serta

teori pelengkap atas kelemahan teori legisme/formalisme yakni teori penafsiran.

23

1.1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari permasalahan sebagaimana dideskripsikan dalam latar

belakang, maka permasalahannya dapat diidentifikasi, sebagai berikut:

1. Kajian Filosofis dan Teoritis tentang Konsep Kepastian Hukum

2. Urgensi Konsep Kepastian hukum dalam Pembentukan Undang-Undang dan

Peraturan Daerah

3. Urgensi Konsep Kepastian Hukum Dalam Penerapan Undang-Undang dan

Peraturan Daerah.

1.1.3. Ruang Lingkup Masalah :

Adapun ruang lingkup masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Melakukan pengkajian terhadap pertanyaan tentang makna, hakikat, tujuan,

dari konsep kepastian hukum serta urgensi kepastian hukum dalam suatu

negara kemudian relevansi konsep kepastian hukum dengan moral.

b. Melakukan pengkajian terhadap upaya dalam menjawab pertanyaan “mengapa

konsep kepastian hukum itu penting dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan?”. Serta bagaimana upaya pembentukan undang-undang

dan peraturan daerah yang menjamin kepastian hukum dalam

penyelenggaraan pemerintahan?

c. Melakukan pengkajian dalam menjawab pertanyaan konsep kepastian hukum

dalam penerapan undang-undang dan peraturan daerah (pelaksanaan tugas

pemerintah). Kemudian memberikan analisa tentang “relevansi diskresi dalam

24

konsep kepastian hukum” serta mengapa adanya relevansi kejelasan norma

dengan penerapan undang-undang dan peraturan daerah”.

1.2. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan, melakukan analisa dan penemuan terhadap

konsep kepastian hukum, serta urgensinya dalam penyelenggaraan

pemerintahan.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Melakukan analisa dan penemuan terhadap konsep kepastian hukum

dari kajian filosofis dan teoritik.

b. Melakukan analisa dan penemuan terhadap urgensi konsep kepastian

hukum dalam pembentukan undang-undang dan peraturan daerah

c. Melakukan analisa tentang urgensi konsep kepastian hukum dengan

penerapan undang-undang dan peraturan daerah.

1.3. Manfaat Penelitian

a. Memberikan sumbangan pemikiran akademis bagi pengembangan ilmu

hukum pada umumnya, khususnya pada teori hukum di bidang Hukum Tata

Negara dan Hukum Administrasi Negara.

b. Bermanfaat bagi praktek pembentukan undang-undang dan peraturan daerah

oleh para pembentuk.

25

c. Merubah paradigma dikalangan hukum, yang menyatakan bahwa ”kepastian

hukum” cenderung dengan ketidak adilan.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dalam beberapa Disertasi yang ditelusuri terdapat kajian yang mirip tapi

esensinya berbeda dengan penelitian ini. Seperti halnya yang ditulis oleh :

1. Anis Ibrahim dalam menyelesaikan Program Doktor di Universitas

Diponegoro Semarang, dengan judul Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi:

Analisis Interaksi Politik Dan Hukum Dalam Proses Pembentukan

Peraturan Daerah di Jawa Timur. Tulisan Anis Ibrahim lebih menguraikan

interaksi politik dan hukum dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, yang

berbeda dengan kajian penulis. Penulis lebih menekankan pada aspek “Konsep

kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Lebih lanjut Anis

Ibrahim, mengkaji proses interaksi politik berlangsung dalam proses

pembentukan Peraturan Daerah (legislasi Perda) di Jawa Timur ditinjau dari

perspektif demokrasi serta membangun konsep ideal proses pembentukan

Peraturan Daerah (legislasi Perda) dalam perspektif demokrasi ke depan.

Berbeda dengan penelitian penulis yang hanya melihat interaksi politik sebagai

hal pendukung dari permasalahan norma dan tidak melakukan pendalaman

pada konteks itu. Penulis lebih tertarik pada bagaimana menciptakan peraturan

perundang-undangan menjamin kepastian hukum.

26

2. I Nyoman Suyatna yaitu: Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Sebagai persyaratan untuk

memperoleh gelar Doktor pada Universitas Brawijaya, Malang di tahun 2011.

Penelitian Suyatna menekankan pada upaya mencari alasan pentingnya asas-

asas umum pemerintahan yang baik harus dijadikan landasan dalam

pembentukan Perda, melihat kondisi pembentukan peraturan daerah selama ini

serta pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam konteks

pembentukan Perda. Pada dasarnya dalam Disertasi I Nyoman Suyatna ini

lebih menekankan pada pengkajian terhadap asas-asas umum pemerintahan

yang baik dijadikan sebagai evaluasi serta upaya konstruksi hukum. Berbeda

halnya dengan kajian penulis lebih menitik beratkan pada konsep kepastian

hukum. Meskipun kepastian hukum merupakan bagian salah satu unsur dari

asas-asas umum pemerintahan yang baik, namun itu menunjukkan pada

kepastian hukum sebagai asas. Berbeda dengan kajian penulis yang mencoba

membangun argumentasi dalam menemukan gagasan tentang konsep kepastian

hukum. Disamping itu mengkaji pula relevansi konsep kepastian hukum dalam

proses pembentukan dan penerapan undang-undang dan peraturan daerah.

3. Yuliandri, dengan judul Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan Yang Baik Dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang

Berkelanjutan. Disertasi Yuliandri melakukan pengkajian untuk mencari

jastifikasi teoritik mengenai banyaknya undang yang tidak berkualitas,

penggunaan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

27

dalam pembuatan undang-undang serta mengidentifikasi persyaratan yang

harus dipenuhi agar pembentukan undang-undang memiliki kharakteristik

berkelanjutan. Meskipun penulis juga melakukan pengkajian terhadap

banyaknya undang-undang yang bermasalah, namun itu dijadikan latar

belakang permasalahan undang-undang yang tidak menjamin kepastian hukum.

Kemudian dari permasalahan tersebut penulis lebih menemukan konsep

kepastian hukum dari perspektif filosofis dan teoritik dan menjadikan konsep

tersebut sebagai upaya penyelesaiannya.

4. Disertasi lain yang relevan dikaji dalam rangka originalitas adalah berjudul

Hirarki Aturan Hukum di Indonesia yang ditulis oleh Febrian pada

program doktor ilmu hukum Universitas Airlangga, Surabaya, tahun 2004.

Penelitian Febrian lebih menekankan pada bentuk dari aturan hukum, pemilik

wewenang membentuk aturan hukum dan proses pengujian aturan (norma)

hukumnya. Penelitian Febrian ini menekankan pada aspek formalisme hukum

atau hukum tertulis, yang tidak memperdebatkan dari filosofi hukum tertulis.

Tentunya penelitian tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh penulis lebih

menekankan pada kajian filosofis dan teoritik tentang eksistensi hukum

tertulis.

5. Disertasi berikutnya yang mengkaji tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan adalah Bayu Dwi Anggono, dari Ilmu Hukum

Universitas Indonesia yang berjudul “Perkembangan Pembentukan Undang-

Undang di Indonesia”. Disertasi Bayu ini menekankan pada persoalan

28

undang-undang yang materi muatannya tidak sesuai. Dengan menggunakan

asas materi muatan dalam pembentukan undang-undang. Berbeda dengan

penelitian penulis yang menekankan pada upaya membentuk undang-undang

dan peraturan daerah yang menjamin kepastian hukum.

1.5. Metode Penelitian

Bagian ini menguraikan metode penelitian yang digunakan untuk menganalisa

isu hukum tentang “Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan”. Istilah metode penelitian, berasal dari 2 kata, yang diartikan sebagai

berikut24

:

me·to·de /métodé/ n 1 cara teratur yg digunakan untuk melaksanakan suatu

pekerjaan agar tercapai sesuai dng yg dikehendaki; cara kerja yg bersistem

untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yg

ditentukan; 2 Ling sikap sekelompok sarjana thd bahasa atau linguistik, msl

metode preskriptif, dan komparatif; 3 prinsip dan praktik pengajaran bahasa,

msl metode langsung dan metode terjemahan;

pe·ne·li·ti·an n 1 pemeriksaan yg teliti; penyelidikan; 2 kegiatan

pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yg dilakukan secara

sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu

hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum;

Definisi tersebut menunjukkan metode penelitian merupakan cara kerja yang

bersistem dalam melakukan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan

penyajian data untuk memecahkan suatu persoalan.

Dalam buku Terry Huchinson, yang menyitir pandangan Organization for

Economic Cooperation and Development (OECD), penelitian dipahami sebagai

24

http://bahasa.kemdiknas.go.id

29

kreativitas, originalitas, dan aktifitas sistematik dalam meningkatkan dunia

pengetahuan.25

Penelitian yang digunakan dalam tulisan adalah penelitian hukum.

Peter Mahmud Marzuki, menyatakan penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin guna

menjawab isu hukum yang di hadapi.26

1.5.1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif27

. Hal ini

dikarenakan dalam mengkaji “Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan”, menggunakan bahan-bahan hukum primer dan sekunder dalam

mencari jastifikasi teoritis dan yuridis.

1.5.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian tentang “Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan” ini dipergunakan Pendekatan undang-undang, pendekatan konsep,

pendekatan kasus dan pendekatan historis. Akan diuraikan sebagai berikut ;

a. Pendekatan undang-undang (Statute Approach)

Dikarenakan penelitian ini adalah penelitian normatif, maka esensi utama

dalam penulisan ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-

undangan, dalam rangka memberikan jastifikasi yuridis dan harmonisasi

25

Tery Hutchinson, 2010, Researching and Writing in Law, Third Edition, Thompson Reuters

(Proffesional) Australia Limited. p. 6 26

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Surabaya, Cetakan I, h. 35

(selanjutnya disebut dengan Peter Mahmud Marzuki II) 27

Penelitian hukum normatif bercirikan : (1) Beranjak dari adanya kesenjangan dalam

norma/asas hukum, (2) Tidak menggunakan hipótesis, (3) Menggunakan landasan teoritis, (4)

Menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, lihat Philipus M. Hadjon, 1997,

Penelitian Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, h. 1

30

hukum dalam upaya pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

dengan menjamin kepastian hukum. Pendekatan undang-undang ini juga

menunjukkan eksistensi asas legalitas baik dalam dimensi penyelenggaraan

pemerintahan maupun pembentukan hukum. Tidak hanya ketentuan

perundang-undangan menjadi rujukan, melainkan meta norma (nilai-nilai

filosofis, sosiologis dan yuridis) tetap menjadi perhatian.

b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)

Pendekatan ini digunakan untuk menggali konsep-konsep hukum, teori dan

asas-asas hukum serta pemikiran filosofis dalam menelaah “Konsep

Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”.

c. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus ini digunakan dalam penelitian ini, sebab ada beberapa

putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian undang-undang yang

menjadi kajian.

d. Pendekatan historis (Historical approach)

Pentingnya pendekatan historis dalam penelitian ini, adalah untuk melihat

ide-ide dasar pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga

dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan kajian penelitian ini.

31

1.5.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum

sekunder.28

a. Bahan hukum primer29

Dikarenakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, maka eksistensi

pendekatan peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Terdapat

beberapa peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini,

seperti; Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang menjadi rujukan dari semua

peraturan perundang-undangan dibawahnya,30

Ketetapan MPR yang

digunakan untuk melihat sisi historis dari suatu ketentuan, beberapa undang-

undang yang berkaitan dengan konsep kepastian hukum dan penyelenggaraan

pemerintahan serta undang-undang dan peraturan daerah yang bermasalah

dalam hal kepastian dan keadilan, kemudian putusan Mahkamah Konstitusi

dalam mengkaji yurisprudensi terhadap undang-undang yang bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Adapun keseluruhan teks otoritatif

ini yang tercantum pada bagian daftar bacaan.

28

Ibid, h. 141 29

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai

otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, ibid 30

Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

perundang-undangan.

32

b. Bahan Hukum Sekunder; 31

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa; buku

literatur, hasil-hasil penelitian seperti Disertasi dan Orasi Ilmiah, kamus

hukum dan kamus bahasa, serta bahan-bahan internet. Bahan-bahan ini

tercantum pada bagian daftar bacaan.

1.5.4. Teknik pengumpulan bahan hukum

Bahan hukum kepustakaan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system).

Menurut Winarno Surakhmad, sistem kartu tersebut dibagi 3 macam, yakni;32

1. Kartu Ikhtisar

2. Kartu Kutipan

3. Kartu Analisis/Usulan

Kartu ikhtisar memuat nama pengarang, judul buku, nama penerbit, tahun

terbitan, halaman, pokok masalah yang dikutip. Kartu kutipan memuat pokok-pokok

masalah yang dikutip dan kartu analisis memuat ulasan yang bersifat menambah atau

menjelaskan dengan cara mengkritik, menarik kesimpulan, saran maupun komentar.

Dalam penelitian ini sistem kartu (card system) yang dimaksud tidak lagi

menggunakan kartu, melainkan power poin, agar lebih mudah disimpan dan praktis.

31

Bahan-bahan hukum sekunder terdiri-dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis

hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum,

internet. Lihat Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, h. 155 32

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Tekhnik, h. 227

33

1.5.5. Tekhnik Analisis

Untuk mendapatkan hasil atas permasalahan yang akan diteliti, maka

diinventarisasi bahan-bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, teknik

analisis bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik

“deskripsi, interpretasi, evaluasi, argumentasi, dan sistematisasi”. Teknik deskripsi

adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi

hukum atau non hukum. Dalam penelitian ini diuraikan masalah-masalah dari ketidak

cermatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berdampak pada

ketidakpastian dan ketidak adilan dalam suatu norma.

Penggunaan interpretasi, pada penelitian ini sangat penting guna mencari

kaidah hukum di balik suatu aturan melalui upaya penafsiran dengan mengedepankan

pendekatan hermeneutika. Teknik evaluasi yang merupakan penilaian tepat atau tidak

tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti

terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik

yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan sekunder. Teknik ini

digunakan sebagai upaya untuk membatasi pemikiran penulis tentang tema penelitian

ini, agar tidak meluas dikarenakan banyaknya pandangan para sarjana. Disamping itu

teknik evaluasi digunakan untuk menentukan posisi penulis terhadap beberapa

pandangan sarjana yang diuraikan.

34

Sistematisasi menurut Van Hoecke yang dikutip Arief Sidharta terbagi dalam

3 tingkatan, yakni:33

a. Tataran teknis yaitu kegiatan yang semata-mata menghimpun dan menata

materi aturan-aturan hukum berdasarkan hierarki sumber hukum

b. Tataran teleologis yang berupa sistematisasi berdasarkan substansi atau isi

hukum

c. Tataran sistematisasi eksternal yaitu mensistematisasi hukum dalam rangka

mengintegrasikannya ke dalam tatanan masyarakat yang selalu berkembang.

Upaya sistematisasi digunakan dalam penyusunan penelitian ini, agar lebih

memudahkan pengkajian terhadap berbagai permasalahan hukum yang menjadi

pembahasan.

33

Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian

tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu

hukum nasional Indonsesia, CV Mandar Maju, Bandung h. 151