36
1 BAB I PENDAHULUAN kehidupan beragama kami, seperti air laut, sekalipun dipotong dengan parang tidak akan pernah putus atau terceraikan, akan tetap utuh.” (Imam Rubahi Muri) “menerima agama-agama sama seumpama memilih dan mengenakan pakaian pada tubuh kami.” (Pdt. Marthen Hindom) “… pertama adat, kedua agama dan pemerintah… adat yang membungkus agama dan pemerintah(Pesan para leluhur Mbaham Matta) A. Latar Belakang Studi Politik dan agama adalah dua kekuatan hegemonik yang dahsyat. Karl Marx mengiritik kecenderungan hegemonik dua kekuatan yang bersimbiosis dengan sains melanggengkan kekuasaan (status quo) ini. Kekuatan politik dan daya gugah otoritatif-metafisik keagamaan berkecenderungan menjadi produser dan desiminator‘ideologi’ atau ‘kesadaran palsu’ (false or inverted consciousness). 1 Kolaborasi politik, agama, 1 Dalam teori sosial Marx ideologi atau kesadaran palsu adalah proses mental yang mengaburkan kesadaran dan daya pemahaman masyarakat akan kekuatan-kekuatan historik yang membentuk dan membimbing/ mengarahkan pikiran, tindakan, dan seluruh gerak kehidupan mereka. Pada sisi lain, aparatus agama-agama yang mengembangkan suatu totalitas komprehensif ajaran, nilai, etik dan praksis kehidupan cenderung berpikir menghasilkan suatu sistem pengetahuan yang tertutup; Lihat, antara lain: Karl Marx, “The German Ideology, “ dalam Robert Tucker, ed., The Marx-Engels Reader (New York & London: W.W.Norton & Company, 1978), 146-200; Karl Marx, “For a Ruthless Criticism of Everything Existing”, dalam Robert Tucker, ed., The Marx-Engels Reader (New York & London: W.W.Norton & Company, 1978), 12-15.

BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

1

BAB I

PENDAHULUAN

“kehidupan beragama kami, seperti air laut, sekalipun dipotong dengan parang

tidak akan pernah putus atau terceraikan, akan tetap utuh.”

(Imam Rubahi Muri)

“menerima agama-agama sama seumpama memilih dan mengenakan pakaian pada tubuh kami.”

(Pdt. Marthen Hindom)

“… pertama adat, kedua agama dan pemerintah… adat yang membungkus agama dan pemerintah”

(Pesan para leluhur Mbaham Matta)

A. Latar Belakang Studi

Politik dan agama adalah dua kekuatan hegemonik

yang dahsyat. Karl Marx mengiritik kecenderungan hegemonik

dua kekuatan yang bersimbiosis dengan sains melanggengkan

kekuasaan (status quo) ini. Kekuatan politik dan daya gugah

otoritatif-metafisik keagamaan berkecenderungan menjadi

produser dan desiminator‘ideologi’ atau ‘kesadaran palsu’

(false or inverted consciousness).1 Kolaborasi politik, agama,

1Dalam teori sosial Marx ideologi atau kesadaran palsu adalah

proses mental yang mengaburkan kesadaran dan daya pemahaman masyarakat akan kekuatan-kekuatan historik yang membentuk dan membimbing/ mengarahkan pikiran, tindakan, dan seluruh gerak kehidupan mereka. Pada sisi lain, aparatus agama-agama yang mengembangkan suatu totalitas komprehensif ajaran, nilai, etik dan praksis kehidupan cenderung berpikir menghasilkan suatu sistem pengetahuan yang tertutup; Lihat, antara lain: Karl Marx, “The German Ideology, “ dalam Robert Tucker, ed., The Marx-Engels Reader (New York & London: W.W.Norton & Company, 1978), 146-200; Karl Marx, “For a Ruthless Criticism of Everything Existing”, dalam Robert Tucker, ed., The Marx-Engels Reader (New York & London: W.W.Norton & Company, 1978), 12-15.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

2 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dan sains, via indoktrinasi, mencengkeram dan mengkooptasi

kesadaran, pemikiran dan aktivitas masyarakat umum:2

masyarakat tidak memiliki kesadaran kritik historis. Dalam

konteks kritik ini, agama dikategorikan sebagai aparatus

ideologi dominan kelas berkuasa. Agama sering

disubordinasikan dan memberi diri sebagai alat legitimasi

hegemoni kekuasaan di dalam dan atas masyarakat. Agama

kemudian terbawa arus politisasi identitas primordial dalam

medan permainan kekuasaan (power gaming).

Dalam medannya sendiri, aparatus agama-agama yang

mengembangkan suatu totalitas komprehensif ajaran, nilai,

etik dan praksis kehidupan cenderung berpikir dan bertindak

mempertahanakan kemapanan. Otoritas agama-agama sebagai

pembawa dan perawat sistem pengetahuan, nilai, etika dan

praksis keagamaan yang mapan cenderung “to produce (to

very different degrees and with very different means) the

naturalization of its own arbitrariness.3 Otoritas agama

melakukan proses naturalisasi kekuataan sistemiknya atas

umat. Umat menerima sistem pengetahuan dan kepercayaan,

etik dan praksis keagamaan sebagai satu-satunya kebenaran

dan rujukan: taken for granted. Umat kehilangan daya kritis

atas relasi yang sebenarnya antara “realitas yang dikonstruksi”

dan “realitas obyektif.” Kondisi ini Bourdieu sebutkan sebagai

doxa atau doxic experience, yang mengasilkan doxic habitus.

2Kolaborasi politik dan agama serta sains ini Marx temukan dalam

model agama negara yang dipraktekkan di Jerman dan Inggris pada abad XIX. Uraian lengkapnya, lihat Karl Marx, “Critique of Hegel’s Philosophy of Right” dalam John Raines (ed.), Marx On Religion (Philadelphia: Temple University Press, 2002), 171-182; Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction”, Robert Tucker, ed., The Marx-Engels Reader (New York & London: W.W.Norton & Company, 1978), 53-65. Fenomena ini juga dapat dideteksi dalam konteks kolonialisme Belanda maupun Kesultanan Tidore atas masyarakat.

3 Meminjam pikiran Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 164-171.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 3

Kondisi ini melahirkan eksklusifisme, anti keragaman,

intoleransi, radikalisme keagamaan.

Sejarah Indonesia menunjukkan jejak-jejak

kecenderungan hegemoni kolaboratif politik dan agama.4

Gerakan reformasi Indonesia 1999 telah menggulirkan

demokratisasi politik. Namun sejarah menunjukkan pula

bahwa demokratisasi yang telah dimulai itu seumpama

membuka tutup kotak pandora: spirit fanatisme dan

radikalisme serta sektarianisme politik identitas primordial

merajalela kembali. Peristiwa politik Pemilihan Umum Kepala

Daerah menjadi ajang politisasi identitas primordial agama,

ras, suku dan golongan.5 Kondisi politis ini menunjuk kepada

proses dan kecenderungan pengentalan dan pengerasan

ideologi serta praktik-praktik radikalisme, sektarianisme, dan

segregasi keagamaan. Merebaklah aneka ragam peristiwa

pemaksaan agama secara ideologis dalam ruang publik yang

langsung bersentuhan dengan hakikat bernegara, berbangsa,

dan bermasyarakat.

Politisasi agama menjadi praksis strategis dalam

merebut dan mempertahankan kekuasaan nasional maupun

daerah-daerah. Bahkan telah terjadi transformasi strategi

perjuangan politik hegemonik ini melalui jalur konsitusional

baik tingkat nasional maupun daerah-daerah. Muncul ragam

gerakan politik yang memaksakan pemberlakuan syariat

keagamaan melalui legislasi-legislasi nasional maupun

daerah.6 Gejala ini menggambarkan kondisi sosial yang

4 Lihat antara lain Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-

Christian Relations in Indonesia’s New Order (Leiden: Amsterdam University Press, 2006).

5Antara lain lihat: Mohamad Iqbal Ahnaf, Samsul, Maarif, Budi Asyhari-Afwan, dan Muhammad Afdillah, Politik Lokal dan Konflik Keagamaan: Pilkada dan Struktur Kesempatan Politik dalam Konflik Keagamaan di Sampang, Bekasi, dan Kupang (Jogjakarta: CRCS, 2015). 6Hamdan Zoelva, “Fenomena Perda Syariat Islam Di Daerah.”http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/4227-fenomena-perda-syariat-islam-di-daerah [diunduh pada 7

Page 4: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

4 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Durkheim kategorikan sebagai anomie,7 yakni terjadinya

pemaksaan dalam produksi atau reproduksi moralitas kolektif

dalam suatu masyarakat. Hukum, aturan, dan norma sosial

bukan lagi merupakan hasil negosiasi dan konsensus spontan

atau sukarela antar komponen masyarakat. Masyarakat

memasuki dan menjalani masa-masa krisis basis kesadaran

dan moralitas kolektif. Akibatnya: solidaritas dan kohesi sosial

pada level masyarakat dan komunitas menjadi rentan dan

goyah.

Terhadap kecenderungan dan kondisi sedemikian, kita

memiliki ragam model tandingan yang ditawarkan oleh

masyarakat lokal-adatis. Masyarakat lokal-adatis memberikan

perspektif berbeda sebagaimana telah ditunjukkan antara lain

oleh studi klasik Clifford Geertz tentang agama dan

masyarakat di Mojokuto.8 Dari studi itu Geertz

menyimpulkan,9 antara lain, bahwa pertama ”..., religion does

not play only integrative, socially harmonizing role in society

but also a divisive one ...” Kedua, walaupun perbedaan dan

antagonisme antar ragam orientasi keagamaan menggejala,

masyarakat Jawa lokal yang berbagi nilai-nilai bersama ‘tend

to counteract the divisive effects of variant interpretations of

September 2015]; Warsito Raharjo Jati, “Permasalahan Implementasi Perda Syariah Dalam Otonomi Daerah.” Al-Manahij Vol. VIII No.2 Juli 2013, 305-318.

7 Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: The MacMillan Press, 1994), 291-341. Anomie diikuti oleh apa yang dia sebuat sebagai patologi sosial.

8 Clifford Geertz, Religion of Java (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1976). Selama ini orang membaca dan mendebat teks Geertz ini hanya dari sisi trikotomi penstrukturan sosial yang Ia ajukan: abangan, santri, dan priyayi. Padahal sangat menarik dan dapat memberi wawasan teoritik baru bila Geertz dibaca dari sisi bagaimana masyarakat lokal menanggapi perubahan-perubahan sosial dan merekonstruksi serta mentransformasi sistem sosial, sistem kebudayaan, dan identifikasi sosial mereka. Karena itu pembacaan teks Geertz serta kelompok teori kebudayaan interpretatif juga bisa kita lakukan dari sudut pandang teori kritis agensi sosial. 9Ibid., 355-356.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 5

these values.In addition, there are also various social

mechanisms which tend to prevent value conflict from having

disruptive effects.” Geertz menyebutkan bahwa rujukan

responsi masyarakat lokal adalah inherited common culture

yang menjadi basis integrasi sosial.10 Terkait dengan fenomena

ini Geertz juga menunjukkan bahwa terjadi pula proses-proses

rekonstruksi sistem dan struktur sosial untuk mengakomodir

perbedaan-perbedaan orientasi keagamaan dan nilai. Fakta ini

mengindikasikan secara kuat bahwa masyarakat lokal-adatis

memiliki daya kenyal kultural yang unik dalam merespons

keecenderungan-kecenderungan dan dampak-dampak negatif

dari afilisasi-afiliasi keagamaan dan orientasi-orientasi nilai.

Keunikan respons kultural khas dan prospektif mana sering

direpresi di bawah hegemoni otoritatif keagamaan dan politik.

Dari dalam riset atas kompleks sosial-kultural

masyarakat Maluku Tengah, Dieter Bartels11 menunjukkan

bagaimana masyarakat multi religi menjalani dan mengelola

interaksi sosial mereka. Di mana sistem aliansi pela, yakni

persekutuan lintas kampung, lintas pulau, dan lintas agama,

memainkan peranan sentral dalam mengembangkan dan

mempertahankan identitas etnik bersama. Pela dialas dengan

suatu pakta perjanjian untuk hidup bersama sebagai saudara

saling membantu dalam mengahadapi serangan musuh dan

memberi bantuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

pembangunan, ekonomi, dll.

Geertz mengemukakan model tanggapan strategis

masyarakat lokal berbasis kultur Jawa dalam konteks interaksi

dan interelasi internal antar faksi-faksi keagamaan Islam.

10 Disamping nasionalisme baru Indonesia. 11Dieter Bartels, “Guarding The Invisible Mountain: Intervillage

Alliances, Religious Syncritism and Ethnic Identity Among Ambonese Christians and Moslems in The Mollucas” [Phd Dissertation, Cornell University, 1977]; Dieter Bartels, Di Bawah naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan Di Maluku TengahJilid I dan II (Jakarta: Gramedia, 2017).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

6 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Bartels mengemukakan responsi strategis masyarakat lokal

dalam kaitan dengan fakta-fakta interaksi sosial lintas agama,

Islam dan Kekristenan berbasis pada sentralitas aliansi pela.

Etnik Mbahammata menunjukkan keunikan tanggapan dan

arahan strategis kultural terkait dengan perjumpaan tiga

agama dunia, yakni Islam, Protestan, dan Katolik. Interaksi

etnik Bahamata dengang agama Islam, Protestan, dan Katolik

telah melahirkan narasi tandingan, yang berpusar di sekitar

dan berbasis pada idea dan praksis kultural agama keluarga

atau keberagamaan keluarga (familial or kinship religiousity).12

Mereka telah memilih dan menganut kiblat-kiblat keagamaan

yang berbeda. Tetapi pilihan-pilihan itu tidak merusak

interelasi dan interaksi sosial mereka. Relasi dan interaksi

sosial mengalir melalui praktik-praktik sosial13 dalam langgam

budaya inklusif dan toleran, bahkan beyond religion dan

beyond tolerance.14 Perbedaan doktrinal, kultus dan ritus serta

sistem-etik moral keagamaan baru tidak dipahami dan

diperlakukan sebagai sumber-sumber otoritatif yang

mengotak-ngotakan mereka dalam rasa curiga serta

kecederungan-kecenderungan manipulatif dan konfliktual.

Praktik kultural agama keluarga ini tampak dari ragam

pertukaran sosial di antara mereka dalam kompleksitas dan

dinamika persitiwa-peristiwa sosial, budaya, relijius, politik

12Masyarakat Mbahamatta menggunakan ungkapan “Agama

Keluarga” yang menunjuk kepada fenomena relijiusitas (religousity) khas yang berbasis pada pola hidup adatis mereka: kekerabatan atau relasi kekeluargaan mengatasi dan membungkus agama-agama.

13Konsep praktik sosial (social practice) ini digunakan dalam pemahaman teori-teori praktik sosial atau agensi sosial manusia (human-social agency theories), antara lain yang kembangkan oleh Pierre Bourdieu dan Anthony Giddens. 14Geertz, Religion of Java, 356 memperkenalkan konsep “contextual relativism.” Dia menyimpulkan bahwa toleransi adalah salah satu jalur penengah konflik yang dibangun di atas dasar relativisme kontekstual. Model relativisme inilah yang mengurangi kecenderungan misionisasi agama-agama dalam kompleks kultur Jawa. Geertz mengalimatkannya demikian: “Ageneral tolerancebased on a ‘contextual relativism’ which sees certain values as appropriate to context and so minimizes ‘missionization’.”

Page 7: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 7

dan ekonomi. Komunitas etnik Mbahamatta merayakan hari-

hari besar keagamaan secara bersama, saling kunjung antar

kampung dan marga dalam semangat persuadaraan

kekerabatan. Pembangunan rumah-rumah ibadah

diselenggarakan pula dalam kebersamaan dan saling

menyatakan dukungan dan insiatif atau prakarsa.

Secara khusus praksis keberagamaan kultural ini dapat

pula ditapaki dalam peristiwa-peristiwa perkawanian-lintas

agama (interfaith marriage).15 Alur silsilah (genealogi) mereka

menunjukkan jejak-jejak peristiwa atau praktik perkawinan

lintas agama yang khas ini. Perkawinan lintas agama ini masih

dipraktekkan sampai saat ini.16 Keluarga dan marga beragama

15Bd. Kontroversi dan kontestasi politis-kultural terkait perkawinan lintas agama termasuk di Indonesia sebagaimana, antara lain, dibahas dalam Gavin W. Jones, Chee Heng Leeng and Maznah Mohamad (eds.), Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia (Singapore: Institute of Southeast Asia, 2009). Beberapa artikel dalam buku ini tentang Indonesia, yakni Suhadi Cholil, “The Political-Religious Contestation: Hardening of the Islamic Law on Muslim-non-Muslim Marriage in Indonesia,” 139-158 menyatakan bahwa “Religio-political contestation lay behind the Islamic law prohibiting Muslim-non-Muslim mixed marriage in Indonesia. As a result of the contestation, interreligious marriage became impossible for Muslims, both men and women.“ Kontestasi ini melibatkan sejumlah organisasi Muslim yang menyatakan larangan perkawinan lintas agama ini melalui fatwa: NU pada (1960), MUI (1980), dan Muhammadiyah (1989); Mina Elfira, “Not Muslim, Not Minagkabau: Interreligious Marriage and its Cultural Impact in Minangkabau Society,” 161-189 menggambarkan bagaimana Islam dan Adat di Minagkabau merupakan satu kesatuan yang dikristalisasikan dalam slogan “Adat basandi syarak, syraka basandi Kitabullah” (Hukum ada Minagkabau didasarkan pada hukum Islam; hukum-hukum Islam berdasar pada Kitab Suci- Al Qur’an). Ungkapan tersebut adalah “a Minangkabau ideological aphorism that conveys how adat has been greatly influenced by Islam which came into Minangkabau society around sixteenth century.” Dengan begitu, perkawinan lintas agama tidaklah dimungkinkan di lingkungan kultural-religio Minangkabau. Di Indonesia, kontestasi politis-kultural-religio terkait perkawinan lintas agama terus menguat. 16Fenomena ini dituturkan oleh beberapa informan,yang adalah keturunan langsung dari perkawinan lintas agama ini, di bakal lokasi penelitian, yakni Kampung Tetar (Kristen) dan Kampung Ofi (Islam), Distrik Teluk Patipi, Kabupaten Fakfak pada 16-17 Juli 2015 lalu. Perkawinan lintas agama dalam komunitas etnik Bahamata berlangsung intensif dan meluas

Page 8: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

8 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Kristen meyetujui anak atau saudara perempuan mereka

untuk dinikahi oleh anak/saudara laki-laki dari keluarga dan

marga beragama Islam, dan sebaliknya.Dalam beberapa kasus

hal ini terjadi dan berlaku pula untuk seorang laki-laki yang

pindah agama ketika menikah.Perkawinan lintas-agama, juga

lintas marga dan kampung, menjadi sarana pengembangan

dan penguatan jejaring atau aliansi kekerabatan mereka.17 Di

samping perkawinan lintas agama, marga, dan kampung

masyarakat etnik Bahamata juga mempraktikan saling

(lintas kampung). Dengan sukacita mereka tuturkan persitiwa-peristiwa kawin lintas agama ini. Inilah yang membangun jejaring persaudaraan atau kekerabatan lintas agama dalam sistem sosial mereka. Oleh karena itu mereka menuturkan bahwa “mereka tidak mungkin dan tidak akan saling menjelekkan atau mencelakakan satu sama lain atas nama atau karena agama yang dianut.” 17 Terkait pentingnya fungsi sosial kekerabatan, lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: The Free Press, 1995); Roger M. Keesing, Kin Groups and Social Structure (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1975); Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1986), 181-182; A.R. Redcliffe-Brown and Daryll Forde (eds.), African Systems of Kinship and Marriage (London, New York, Toronto: Oxford University Press,1950); Meyer Fortes, Religion,Morality and the Person: Essays on Tallensi Religion, edited by Jack Goody (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 175-217; Pierre Bourdieu, Outline of A Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977); Benoit Fliche, “Social Practices and Moblisations of Kinship: An Introduction.” European Journal of Turkish Studies, No.4 [2006]. Dalam alur perspektif Bourdieu kinship dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain menciptakan dan menata persaudaraan. Dengan begitu peneliti akan menerangkan alasan-alasan, kondisi-kondisi dan rincian-rincian dari praktik-praktik kekerabatan, dan akhirnya memahami pengaruh praktik-praktik sosial tersebut atas kekerabatan itu sendiri; Terkait dengan elaborasi kritis teori praktik (habitus) Bourdieu dalam riset antropologi, lihat Jane Fajans, They Make Themselves: Work and Play Among The Baining of Papua New Guinea (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1997) yang menjadikan aktivitas-aktivitas sosial seperti kerja, kehidupan keluarga, dan ritual sebagai unit-unit amatan untuk menelisik proses dan dinamika formasi kehidupan etnik. Menurutnya aktivitas-aktvitas sosial inilah yang memproduksi relations and linkages yang membentuk kehidupan etnik Baining. Dalam riset ini Fajans menggunakan dan mengelaborasi secara kritis konseps habitus, agensi, kesadaran dan kultur dari bangunan teori praktis Bourdieu.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 9

memberi anak lintas keluarga/marga untuk diadopsi atau

diasuh.18

Oleh karena itu dalam kompleks sosial etnik Bahamata

ketegangan dan potensi konflik yang diakibatkan oleh

beberapa peristiwa politik keagamaan19 dapat mereka

redamdan hempangkan melalui kanalisasi kultural.20

Kanalisasi ini merupakan bagian dari proses-proses simulasi

kultural lokal dalam konteks politik. Ini yang menjadi

pendorong Pemerintah Kabupaten Fakfak mengangkat slogan

metaforik “Satu Tungku Tiga Batu” untuk mengelola dan

mengarahkan keragaman dan dinamika sosial-politik lokal.21

18 Lihat temuanIvan Brady. Transaction in Kinship: Adoption and Fosterage among the Ndendeuli of Tanzania. (Berkeley, Los Angeles and London: University of California Press, 1971); Jane Fajans, They Make Themselves, 52-82. 19Antara lain ketika muncul usaha-usaha menjangkitkan kerusuhan berdarah Maluku ke Papua melalui wilayah Fakfak pada tahun 2000 an yang berkelindan dengan persaingan dan konflik Pilkada. Sebelumnya bergulir gerakan politisasi identitas keagamaan yang memperjuangkan Fakfak sebagai “Serambi Madinah.” Muncul juga reaksi dalam spirit kekristenan yang menggulirkan topik “Manokwari Kota Injil.” 20Geertz, Religion of Java, 355 menggunakan konsep mekanisme sosial (social mechanism), dengan dukungan nilai-nilai dalam kultur masyarakat Jawa, yang cenderung mencegah akibat-akibat disruptif yang terkandung dalam konflik nilai-nilai atau orientasi-orientasi keagamaan. Untuk perluasan wawasan tentang social mechanisms sebagai basis eksplanasi sosiologi analitik, lihat Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure (New York: The Free Press, 1968), 43-44; Peter Helstrom and Richard Swedberg (eds.), Social Mechanisms: An Analytical Approach to Social Theory (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1998); Pierre Demeulenaere (ed.), Analytical Sociology and Social Mechanisms (Cambridge: Cambridge University Press, 2011). 21Reproduksi-elaboratif kultural ini berlangsung sekitar awal tahun 1990-an. Fenomena ini merupakan bagian dari reproduksi sosial-kultural yang diinisiasi oleh anak-anak negeri Mbahammata yang menduduki jabatan-jabatan di Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak. Tentang slogan metaforik ini, lihat Suparto Iribaram, “Satu Tungku Tiga Batu: Kerjasama Tiga Agama Dalam Kehidupan Bergama di Fakfak” [Tesis Master, Universitas Gajah Mada, 2011]. Saidin Ernas, “Integrasi Sosial Masyarakat Papua: Studi tentang Dinamika Perdamaian pada Masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat” [Disertasi Doktor, Universitas Gajah Mada, 2014].

Page 10: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

10 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Metafora ini menggambarkan konstruksi ideal kehidupan

masyarakat Fakfak yang ditopang oleh tiga batu-alas

keagamaan, yaitu: Islam, Protestan, dan Katolik. Slogan ini

menegaskan harmoni, kohesi dan solidaritas sosial sebagai

basis dan spirit penggerak kehidupan masyarakat Fakfak.

Saidin Ernas22 melihat bahwa Pemerintah Daerah telah

berusaha menginstitusionalisasi prinsip ‘Satu Tungku Tiga

Batu’ ini dalam upaya memelihara perdamaian dalam

masyarakat Fakfak. Tapi pada sisi lain Ernas juga

mengungkapkan bahwa pada tataran praksis pemerintahan

dan politik masih terdapat penyimpangan karena dorongan

kepentingan dan dominasi kelompok politik-relijius tertentu.

Bahkan telah muncul resistensi dari gerakan keagamaan

tertentu terhadap keberagamaan keluarga masyarakat lokal-

adatis Fakfak, melalui mimbar-mimbar dakwah dan kegiatan-

kegiatan sosial mereka. Dinyatakan bahwa model

keberagamaan-keluarga telah kebablasan. Ini merupakan satu

indikator bahwa tata nilai masyarakat lokal-adatis masih terus

berada di bawah bayang-bayang kecenderungan hegemonik-

negasif kekuatan dan kepentingan politisasi identitas agama

(politik identitas keagamaan) serta segregasi sosial berbasis

mentalitas dan sentimen keagamaan.

Terhadap reaksi hegemonik-negasif tersebut

komunitas etnik Mbahammatta memberi tanggapan khas.

Dalam beberapa wawancara mereka menyatakan bahwa “kami

memberi ruang kepada tiap syiar agama, tetapi kehidupan

persaudaraan kami tetap terajut rapih dan kuat; Persaudaraan

kami seumpama “air laut, sekalipun dipotong dengan parang,

akan tetap utuh.”23 Mereka telah menerima dan memeluk serta

menganut agama Islam, Kristen, dan Katolik – hampir sebagian

besar upacara-upacara keagamaan lokal telah diganti dengan

22Ernas,“Integrasi Sosial Masyarakat Papua...” . 23Pernyataan yang disampaikan oleh Imam Rubahi Muri, seorang imam senior Mesjid di kampung Offie..

Page 11: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 11

tata kehidupan agama-agama dunia ini – tetapi tetap ada

sinyal terkait dengan ethnic boundarying24 dari mereka

terhadap kehadiran agama-agama. Realisme psiko sosial-

kultural ini dapat terjelaskan antara lain dari pernyataan

metaforik ini: “menerima agama-agama seumpama memilih

dan mengenakan pakaian pada tubuh kami.”25 Tanggapan-

tanggapan metaforik26 ini menunjuk kepada corpus narasi-

24Konsep ethnic boundary (batas atau perbatasan etnik) menunjuk kepada suatu wilayah atau ruang demarkasi simbolik sosial-kultural yang dinamis dalam perjumpaan lintas kultur. Ruang perbatasan atau demarkasi ini tidak bisa dilewati atau diterobosi begitu saja. Ini merupakan ruang negosiasi lintas budaya. Batasan etnik adalah batasan sosial yang menganalisasi kehidupan sosial etnik. Dalam ruang batas ini masing-masing kelompok etnik atau budaya memiliki perangkat sinyal peringatan berupa penanda fisik dan orientasi nilai. Perangkat ini berfungsi menata situasi kontak yang pada satu sisi memberi batasan atau larangan, pada pihak lain memberikan izin untuk interaksi dan negoisasi. Ethnic boundary terdiri dari ‘crieteria and signals for identification’ dan ‘a structuring of interaction which allow the persistence of cultural differences.’Kontinuitas suatu etnik tergantung pada kekmampuan mereka memelihara dan mempertahankan/melindungi wilayah batas etnik ini. Konsep ini dikembangkan dalam riset oleh Fredrik Barth“Introduction” to Ethnic Groups and Boundaries – The Social Organization of Culture Difference (Boston: Little, Brown and Company, 1969), 11-38.. 25Disampaikan oleh Pdt. Marthen Hindom, seorang anak negeri Mbahammata, mantan Ketua Sinode GPI Papua (1993-1997/1997-2003). Pernyataan yg disampaikan pada saat-saat kami sedang bekerja keras mendampingi kelompok-kelompok masyarakat awal tahun 2000 untuk mencengah penularan provokasi kerusuhan berdarah di Ambon/Maluku ke wilayah Papua. Fakfak dijadikan salah satu wilayah target-strategis sebar virus perang horizontal pada masa itu. Selalu ada penegasan bahwa anak-anak asli Fakfak tidak akan pernah melakukan kekerasan atas nama agama apapun; yang melakukan ini tentu adalah orang-orang dari suku-suku luar. Pdt Hindom, dalam suatu pertemuan peredaan konflik ini, menyatakan dengan tegas bahwa bila terjadi lagi usaha-usaha provokasi, maka para pelaku dengan seluruh sukunya harus keluar dari Fakfak. 26Etnik Bahamata biasa mengemukakan pendapat melalui ungkapan-ungkapan metaforik. Mereka menghindari penggunaan pernyataan-pernyataan dan penjelasan-penjelasan yang to the point. Melalui tuturan metaforik mereka mengundang dan menantang serta merangsang ‘kawan-bicara’ untuk berusaha memasuki dan memahami pikiran mereka. Dengan model bicara seperti ini mereka membiarkan atau mempersilahkan ‘kawan-bicara’ yang menyimpulkan sendiri. Model bicara seperti ini menjadi sangat dominan ketika masuk dalam topik-topik percakapan yang sensitif dan krusial. Kritik atau ketidaksetujuan mereka diungkapkan pula secara

Page 12: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

12 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

narasi dan praktik-praktik sosial lokal yang mengandung

kesadaran subyektif-reflektif-kritis27 masyarakat etnik

Mbahammata. Kesadaran kritik lokal ini dapat dielaborasi

dengan ide tentang kritik sejarah melalui ragam narasi dan

diskursus tandingan oleh masyarakat asli yang dikemukakan

oleh Linda Tuhiwai Smith28 demikian:

For indigenous peoples, the critique of history is not unfamiliar, although it has now been claimed by postmodern theories. The idea of contested stories and multiple discourses about the past, by different communities, closely linked to the politics of everyday contemporary indigenous life. It is very much a part of the fabric of communities that value oral ways of knowing. These contested accounts are stored within genealogies, within the landscape, within weavings and carvings, evenwithin the personal names that many people carried. The means by which these histories were stored was through their systems of knowledge.

Kritik sejarah bukanlah hal yang asing dalam

kehidupan masyarakat etnik dan terkait erat dengan politik

kehidupan sehari-hari mereka. Kritik sejarah ini menyadarkan

kita akan keutamaan (importansi) komunitas lokal etnik

merangkai narasi-narasi dan ragam diskursus tandingan

(contested history) dari kompleks pengalaman dan imajinasi

sosial-kultural-religius-politikmelalui narasi-narasi dan

praktik-pratik sosial mereka sendiri. Corpus narasi dan praktik

metaforik. Ini memang merupakan representasi dari local wisdom keadatan mereka. 27 Kesadaran kritik ini mencakup dua kesadaran subyektif-reflektif agensi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens, Constitution of Society – Outline of the Theory of Structuration (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1986), 5, yakni practical consciousness dan discursive consciousness. 28Lihat Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples. 12th impression (London and New York; Dunedin: Zed Books and University of Otago Press, 2008), 33.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 13

sosial tersebut membentuk tradisi29 khas komunitas-

komunitas etnik Mbahammata.

Tradisi khas yang terkristalisasi dalam idea dan

praksis agama atau keberagamaan keluarga merupakan wujud

tanggapan strategis-kultural masyarakat etnik Mbahammata

terhadap kedatangan unsur-unsur kultural baru, antara lain

agama-agama dan kekuasaan politik-ekonomi, ke dalam

kompleks sosio-kultural mereka. Tanggapan strategis-kultural

ini terkait erat dengan formasi sosial atau rekonstruksi sistem

sosial suatu masyarakat etnik dalam kompleks perubahan-

perubahan sosial dan segala dampaknya. Strategi kultural

yang terkait langsung dengan politik keseharian mereka yang

mendambakan suatu tatanan baru masyarakat multikultur

yang damai.30

29Narasi-narasi selalu disampaikan dengan ungkapan pembuka “ini titipan pesan atau bahasa orang tua-tua atau moyang.” Tuturan ini yang membentuk tradisi atau adat (core values) mereka. Konsep tradisi dapat dirujuk kepada paparan Edward Shils, Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1981), 12-33. Tradisi, dari pengertiannya yang paling mendasar dan sederhana (traditum) adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diturunalihkan dari masa lalu ke masa kini. Tradisi mencakup obyek-obyek material, kepercayaan, citra-citra tentang orang dan peristiwa, praktik-praktik dan institusi-institusi. Tradisi telah diciptakan oleh tindakan-tindakan manusia, melalui pikiran dan imajinasi, yang diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikut. Tradisi berfungsi sebagai pola atau model pengarah (the guiding pattern) pemikiran, sikap dan perilaku serta tindakan masyarakat atau komunitas; Lihat juga Martha C. Sims and Marthine Stephens, Living Folklore: An Introduction to the Study of People and Their Traditions (Logan, Utah: Utah University Press, 2011), 69-97, antara lain menyatakan bahwa tradisi membantu menciptakan dan meneguhkan a sense of identity dan tradisi adalah proses-proses pewarisan yang dinamis dan elaboratif dengan mengacu pada masa lalu, tetapi merespons kondisi-kondisi kontekstual. 30Kata ”damai” mengandung inti cita-cita atau ideal ethic kehidupan etnik Mbahammatta. Dalam bahasa lokal hakikat dan makna “damai’ diungkap dalam kosa kata “idu atau idu-idu” (Bahasa Iha) dan “Maninina” (bahasa Onin). Biasa diungkapkan dalam nyanyian-nyanyian Titir-Tumor. Tema dasar damai, ideal ethic ini, lahir dari kesadaran akan kengerian sejarah panjang masa permusuhan dan peperangan antar kelompok (hongi). Tema ini muncul dengan terbangunnya perjanjian perdamaian dan pembentukan aliansi-aliansi lintas marga, salah satunya

Page 14: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

14 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

B. Argumentasi dan Fokus Studi

Studi ini didorong dan diarahkan oleh pertanyaan

utama: bagaimana rumpun etnik Mbaham Matta menerima

dan memperlakukan agama-agama dunia serta tatanan politik-

ekonomi yang memasuki kompleks sosial-budaya mereka?

Dengan ungkapan lain: strategi kebudayaan apakah yang

mereka kembangkan dalam perjumpaan dan pengelolaan

unsur-unsur baru itu dalam kompleks sosial-budaya mereka?

Penelusuran riset untuk menjawab pertanyaan utama

studi ini saya dasarkan pada argumentasi utama sebagai

berikut. Dalam perjumpaan dengan komponen politik-

ekonomi dan agama-agama dunia, etnik Mbahammata

melakukan negosiasi inklusif dan kritis-rekosntruktif pada

wilayah demarkasi sosio-kultural (ethnic boundary) mereka.

Pada satu sisi ada penerimaan (inklusi) yang membawa pada

inkorporasi, tetapi pada pihak lain mereka juga mengirim

sinyal-sinyal kritik atau peringatan sebagai penanda batasan

etnik kultural yang harus dihargai oleh komponen-komponen

politik-ekonomi dan agama-agama yang datang. Tetapi

rumpun etnik Mbaham Matta tidak hanya berhenti pada

reproduksi sosial etnisitas dalam arti hanya mempertahankan

wilayah demarkasi sosial-kebudayaan mereka dan menarik

garis batas baru. Lebih maju lagi: inkorporasi itu membawa

kepada transformasi sosial yang lebih luas.

Dualitas proses sosial-kultural, yakni inklusi dan

kritik-rekonstruktif/transformatif ini membawa Penulis

kepada penajaman konsep inkorporasi sebagai strategi

kebudayaan rumpun etnik Mbaham Matta. Dalam studi

adalah peristiwa yang dilakukan di wilayah Kampung Kayuni dengan warisan situs artifak budaya Warqpa tumber. Nyanyian-nyanyian Titir-Tumor penuh dengan ungkapan kerinduan akan “damai.” Tarian adat penyambutan tamu mereka pun mengungkapkan kegembiraan dan keterbukaan menyambut para tamu.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 15

terhadap narasi dan praktik sosial rumpun etnik Mbaham

Matta Penulis menemukan bahwa inkorporasi memiliki dua

dimensi resiprokal dalam proses-proses rekontruksi/

transformasi sosial budaya, yakni dimensi incorporated in to

dan incorporating in to. Bisa kita sebut sebagai dualitas-

inkorporasi.31 Penulis juga menyebutnya inkorporasi internal

(ke dalam: sistem sosial mikro) yang terkait dengan integrasi

sosial dan eksternal (ke luar: sistem sosial makro) yang terkait

dengan integrasi sistem.32

Dualitas proses dan strategi tersebut harus dibaca dari

perspektif kesadaran kritik sejarah lokal dalam konteks

imajinasi sosial mereka membangun suatu tatanan masyarakat

multikultur. Dalam rangka itulah penting sekali kita memberi

perhatian pada aspek kritik sejarah lokal yang mereka rajut

dalam narasi-narasi dan praktik-praktik sosial keseharian

mereka. Kita patut memahami narasi-narasi dan praktik-

praktik sosial mereka dalam konteks teori contested history,

yang menempatkan narasi-narasi dan praktik sosial lokal

sebagai narasi-narasi dan prakrik-praktik sosial tandingan.

Pemahaman demikian memberi penegasan pada importansi

posisi dan peran subyektif-reflektif para pemangku agama

keluarga, yang pada satu sisi, menyediakan dan memberi

ruang sosial bagi, tetapi pada sisi lain meberi arahan kepada

agama-agama dan kekuatan-kekuatan politik-ekonomi dalam

rangka imajinasi mereka tentang formasi masyarakat

multikultur.

31Penamaan konsep dualitas inkorporasi ini terilhami dari konsep “dualitas” struktur dalam teori strukturasi Anthoni Gidens dan konsep dualitas habitus Bourdieu. 32 Giddens memolakan sistem sosial masyarakat terdiri dari dua lingkup yakni sistem kecil (internal: sistem mikro sosial) yang Ia sebutkan sebagai sistem sosial dan sistem besar (eksternal: sistem makro sosial) yang berada di luar sistem sosial tetapi terus menerus menjadi konteks kehadiran sistem sosial suatu masyarakat. Integrasi sosial menunjuk kepada proses-proses sosial internal dan integrasi sistem menunjuk kepada proses-proses sosial di luar yang terus memasuki dan memengaruhi integrasi sosial. Kedua level dan lingkup sistem dan integrasi ini berada dalam relasi resiprokal.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

16 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Mereka adalah produser kehidupan sosial-kultural-

keagamaan mereka sendiri.33 Mereka tidak menolak kehadiran

agama-agama mengikuti mekanisme isolasi kultural.

Mekanisme mana untuk melindungi kebudayaan yang telah

mapan dari pengaruh-pengaruh disruptif unsur-unsur budaya

asing melalui sikap penolakan terhadap perubahan, seperti

penghindaran pola-pola budaya baru, etnosentrisme, dan

permusuhan terbuka terhadap orang-orang asing.34

Sebaliknya: agama-agama ini, melalui proses negosiasi pada

perbatasan sosio-kultural etnik (ethnic boundary), diterima

dan diinkorporasikan ke dalam sistem sosial-kultural

mereka.Inkorporasi adalah strategi kebudayaan etnik

Bahamata. Itu berarti bahwa agama-agama,dengan sistem

ajaran, sistem kultus dan ritus, sistem nilai dan struktur

keumatannya, diberikan ruang sosial dan kesempatan kultural

untuk mengambil bagian dalam arena sosial-kultural-religi-

politik etnik Bahamata.

Selanjutnya, pemberian ruang sosial ini dapat

diimajinasikan35 pula sebagai undangan, tantangan, dan

stimulasi bagi ketiga agama untuk turut serta dalam

rekonstruksi sistem sosial, redefinisi identitas sosial, dan

33Lihat juga Fajans, They Make Themselves, yang menekankan daya reproduksi sosial-kultural komunitas lokal etnik. 34Bodley, Victims of Progress, 33. 35Imajinasi menjadi bagian penting dari proses pengembangan riset, lihat antara lain Paul S. Gray, John B. Williamson, David A. Karp, John R. Dalphin, The Research Imagination: An Introduction to Qualitative and Quantitative Methods (Cambridge: Cambridge University Press, 2007). Preface buku ini dibuka dengan sebuah pernyataan “Science is a blueprint for research; imagination gives research its life and purpose.”; Lihat juga Kelly Besecke, ‘Not Just Individualism: Studying American Culture and Religion after Habits of The Heart.’ Sociology of Religion 68, No.2 [2007]: 195-200, yang mengaitkan imaginasi dengan imaginasi sosiologis dalam penelitian, antara lain, mengatakan “ As writers, as well as teachers, sociologists have the potential to communicate a sociological imagination, to offer terms for an alternative discourse, and to raise public consciousness about the mutual interdependence of the individuals and the social system that bind them.”

Page 17: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 17

reafirmasi moralitas sosial masyarakat multi religi-kultural

dalam arena sosial-budaya-religi-politik etnik Bahamata. Pada

fase ini kita menemukan tujuan inkorporasi memiliki aspek

pengarah dari masyarakat lokal bagi unsur-unsur sosial baru

melanjutkan ke tahap transformasi masyarakat secara luas. Di

titik ini, sekali lagi, penting untuk memberi penekanan pada

aspek kesadaran kritik sejarah etnik Mbahammatta sebagai

pemberi arah kepada agama-agama dan komponen-komponen

sosial baru lainnya. Inkorposari mengandung sisi inklusi,

kritik, dan konstruktif-transformatif sosial.

Inkorporasi menunjukkan bagaimana etnik Bahamata

menerima agama-agama tamu dan sistem politik-ekonomi

dalam konteks sosial-budaya-religi-politik mereka.

Inkorporasi yang membawa kepada tugas dan tangungjawab

transfromasi sosial mengakibatkan perubahan pada (1) sistem

sosial; (2) identifikasi sosial; dan (3) moralitas sosial mereka.36

Dalam arus pikir seperti ini sebenarnya etnik

Mbahammata sedang berusaha menjamin ontological

security37 mereka dalam sistem sosial multikultral berbasis

36Komponen perubahan ini mengikuti pola pembahasan dalam Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: The MacMillan Press, 1999) terkait dengan perubahan social system, collective consciousness, and collective morality; Lihat juga Clifford Geertz, “Ritual and Social Change: A Javanese Example” dalam The Interpretation of Culture ( New York: Basic Books, 1973), 142-169 mengembangkan teori terkait dengan sistem tindakan sosial berdimensi tiga mandiri yang saling terkait, yakni sistem kebudayaan, sistem sosial, dan struktur personalitas. Dengan meminjam teorisasi P. Sorokin tentang unsur-unsur pengorganisasi tindakan sosial, Geertz mengartikan sistem kebudayaan sebagai logico-meaningfull integration, sistem sosial sebagai causal-functional integration, dan struktur personalitas sebagai the pattern of motivational intergration. Geertz memisahkan secara konsepsional kedua aspek (kebudayaan dan sosial) yang bertemu dalam tindakan sosial individu sepanjang interaksi sosial. 37 Meminjam konsep yang diperkenalkan oleh Anthony Giddens, The Constitution of Society – Outline of the Theory of Structuration (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1986), 375, ontological security menunjuk kepada “confidence or trust that natural and social worlds as they appear to be, including the basic existential parameters of self and social identity.”

Page 18: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

18 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

pada ideal ethic mereka, yakni idu-idu/maninina (hidup

damai).

C. Tujuan Penulisan

Dengan mengikuti alur pikir argumentatif dan fokus di

atas, studi ini akan difokuskan pada usaha mengungkap dan

menjelaskan strategi budaya serta proses dan dinamika

transformasi sosial yang terkait dengan rekonstruksi sistem

atau struktur sosial, redefinisi identitas sosial, dan reafirmasi

moralitas sosial yang dijalani oleh etnik Bahamata yang telah

melibatkan agama Islam, Protestan, dan Katolik. Strategi dan

proses-proses tersebut diarahkan kepada usaha masyarakat

etnik Mbahammata membangun struktur atau tatanan

masyarakat multikultural.

D. Telaah Pustaka

Studi ini berpusat pada pengalaman perjumpaan

masyarakat atau komunitas etnik loka dengan agama-agama

dunia. Oleh karena itu telaah pustaka ini akan menelusuri

beberapa tulisan terkait perjumpaan dengan masyarakat lokal:

(1) Perspektif studi perjumpaan agama-agama dunia dengan

masayarakat lokal di Indonesia; (2) Studi terhadap

perjumpaan agama-agama dunia dengan masyarakat lokal

Fakfak.

1. Perspektif studi perjumpaan agama-agama dunia

dengan masyarakat lokal

Pertama, studi yang meliput perjumpaan masayarkat

lokal dengan satu agama. Studi ini sangat berlimpah terutama

dalam lingkup agama Islam dalam perjumpaan dengan

masyarakat lokal: bagaimana tradisi agama–agama dunia

diterima dalam kebudayaan masyarakat lokal dan bagaimana

Page 19: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 19

ajaran-ajaran agama-agama itu mewarnai kepercayaan

masyarakat lokal. Menurut Nur Syam,38 yang membahas

secara padat karakteristik studi-studi tentang islam dalam

perjumpaan dengan masyarakat lokal, terdapat dua tipologi

kajian Islam dalam memandang hubungan antara tradisi Islam

dan tradisi lokal, yakni sinkretik dan alkulturatif. Ini

menggambarkan pendekatan yang menempatkan agama-

agama dunia sebagai titik tolak riset dan paparan. Dikatakan

sinkretik karena pola keberagamaan yang dihasilkan adalah

sinkretisasi ajaran-ajaran dan praktik-praktik agama-agama

dunia. Perspektif sedemikian dipandang dari teologi agama

puritan, yang sangat menekankan purifikasi atas tradisi

kultural dan keberagamaan lokal. Pada sisi lain, dari sisi

pendekatan agama-agama yang lebih menghargai

keberagamaan lokal, menekankan akulturasi tata nilai dan

praktik keagamaan lokal ke dalam sistim kepercayaan, kultus,

dan etika agama-agama dunia.

Nur Syam dalam studinya terhadap perjumpaan Islam

dan masyarakat Islam Pesisir menggunakan teori konstruksi

sosial yang digagas dan dikembangkan oleh Berger dan

Luckmann.39 Dalam menganalisis dunia kehidupan manusia,

Berger dan Luckmann menerapkan dialektika Hegel: tesis-

antitesis-sintesis. Prinsip kerja dialektis ini diterapkan untuk

mendudukan dan menjelaskan interelasi dan interaksi antara

aspek subyektif dan obyektif realitas sosial, yang berpusat

dalam aktivitas manusia sebagai konstruktor sosial.

Konstruksi sosial dijelaskan melalui proses tiga aktifitas

dialektis, yakni obyektivasi, eksternalisasi, dan internalisasi.

38 Lihat antara lain paparan, Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyalarta: LkiS, 2005), 1-28. 39 Peter Berger dan Thomas Luckmann, Konstruksi Sosial Atas Realitas (Jakarta:LP3ES, 1990)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

20 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Samsul Maarif,40 dalam telaah pustaka untuk studinya

tentang perjumpaan agama Islam dan komunitas adat Amatoa

di Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa terdapat tiga

perspektif teoritis yang dikembangkan oleh para ahli terkait

konteks Indonesia, yakni “conversion, syncritism, and

resistance.”41 Konversi bukanlah fenomena monolitik,

melainkan multi-lapis perihal konteks dan terlebih alasan

serta tujuannya. Dalam kasus masyarakat Tengger, Jawa

Timur, Robert Hefner42 menjelaskan konversi ke dalam agama

Islam lebih merupakan pengaruh institusi politik, ekonomi,

dan sosial. Sebaliknya, konversi ke dalam agama Krisen, lebih

dari sekedar alasan politik, dorongan keputusan dan

komitmen moral. Dalam konteks masyarakat Karo konversi ke

dalam kekritsenan memang bermula dari keinginan untuk bisa

masuk sekolah dan mendapat pekerjaan. Ini terkait dengan

elevasi status sosial. Tapi menurut R. Kipp,43 dalam lingkungan

dan identitas serta pemahaman iman baru yang terus

berkembang, komunitas Kristen Karo menafsirkan ulang

kehidupan dan pengalaman mereka. Proses hermeneutika

sosio-relijius ini membangkitkan komitmen-komitmen dan

keyakinan-keyakinan baru.

Perspektif sinkretisme menggambarkan percampuran

kultural relijius di Indonesia. Sinkretisme mengandaikan

40 Samsul Maarif, “Dimensions of Religios Practice The Amatoans of Sulawesi, Indonesia” [Doctor of Philosophy Disertation, Arizona State University, 2012) 41Maarif, “Dimensions of Religious Practice The Ammatoans of Sulawesi, Indonesia”, 9-18. Paparan terkait dengan tiga perspektif ini mengikuti model yang dikemukakan oleh Maarif serta pendalaman oleh saya pada bagian tertentu. 42R. Hefner, “Of faith and commitment: Chrtistian conversion in muslim Java” in R.W. Hefner (ed.), Conversion to Chritianity: Historical and anthopological perpspektives on agreat transformation (Berkeley, Los Angeles, Oxford: University of California Press, 1993), pp.99-125. 43 R. Kipp, ‘Conversion by affiliation: the history of Karo Batak Protetstant Church’ in American Ethnologists 22 (4) 1995, 868-882.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 21

percampuran beberapa tradisi kultural-relijius.44 Dalam

pemahaman awal, hasil dari sinkretisme adalah sebuah

kualitas keberagaman yang kurang otentik dari agama dunia

yang seharusnya. Pandangan ini banyak penganutnya dalam

studi perjumpaan agama dunia dengan masyarakat lokal.

Terhadap pandangan evaluatif sempit ini, antara lain, Andrew

Beatty, melalui bukunya “Varieties of Javanesse Religion:

Anthropological Account,”45 yang berpusar pada pembahasan

tentang dinamika ‘cultural difference and syncretism,’

mengajukan konsep yang lebih terbuka dan dinamis. Beatty

mengikuti C.Stewart46 menggunakan konsep sinkretisme “in a

more abstract sense to refer to a systematic interrelation

elements from diverse traditions, an ordered response to

pluralism and cultural difference.”47 Jadi sinkristime bukanlah

bentuk rendah, mandek, dan acak, tetapi adalah suatu

tanggapan yang dirancang dan terpola terhadap pluralisme

dan perbedaan kultural. Baginya, sinkretisme adalah suatu

kondisi dan proses lintas budaya yang dinamis terkait dengan

akomodasi, kontestasi, apropiasi, pemribumian (indigenisasi).

Dalam konteks pemahaman seperti ini manusia sebagai

pemangku dan pelaku budaya memainkan peran sebagai

aktor-aktor sosial yang sadar akan kehendak dalam diri

mereka sebagai individu dan komunitas. Mereka bermanuver

dalam ruang kreatif yang tercipta dari perjumpaan ragam

perspektif. Dalam proses ini berlangsung apa yang dalam

44 Maarif, ibid., terkait dengan perspektif ini, menyebutkan Cliffrod Geetz sebagai peletak dasarnya. 45 Lihat Andre Beatty, Varieties of Javanesse Religion: An Anthropological Account (Cambridge: Cambridge University Press, 1999). 46 C. Stewart, Syncretisme and Its Synonyms: Reflection on Cultural Mixture. DIACRITICS, 29(3): 40-62. 47 Beatty, ibid., 3.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

22 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

kultur Jawa disebut ‘rubbing together’ ide-ide yang

diperdebatkan.48

Kategori teoritik ketiga perjumpaan kultural-

keagamaan adalah resistensi atau perlawanan, yang

menekankan peranan tradisi-tradisi lokal menanggapi agama-

agama dunia dan modernitas. Maarif mengalimatkan posisi

paradigma ketiga ini dalam kaitan dengan dua perspektif yang

mendahului demikian:

If theories of conversion tend to see world religions as dominating indigenous ones, and theories of syncretism tend to see both world religions and indigenous religions as somehow coming and ‘playing together’ within a singular phenomenon, the theory of resistance tend to emphasize the role of indigenous traditions in responding to world religions and modernity49

Dieter Bartels50 melalui riset etnografisnya dapat

dikelompokan dalam pendekatan teoritik ini. Tetapi studi

Bartels masuk lebih jauh yakni meneliti dan mengungkapkan

sejarah dan kompleks kebudayaan Maluku Tengah sebagai

medan perjumpaan agama-agama dunia, Islam dan

Kekristenan. Disertasinya berpusat pada hakikat dan fungsi

pemersatu dan rekonsiliatif serta identitifikasi sosial dari

model atau sistem aliansi pela dalam masyarakat multi-religi.

Bartels sangat menekankan pentingnya revitalisasi tradisi-asal

48 Maarif, ibid., melalui studi pustakanya menunjukkan bahwa interelasi dan interaksi lintas budaya atau perspektif ini melahir ragam bentuk sinkretisme, seperti sintesis, hibriditas, kreolisasi, bricollage 49 Maarif, ibid., 14. Selanjutnya Maarif menunjukkan beberapa studi terkait teori atau pradigma resistensi ini. 50Dieter Bartels, “Guarding The Invisible Mountain: Intervillage Alliances, Religious Syncritism and Ethnic Identity Among Ambonese Christians and Moslems in The Mollucas” [Phd Dissertation, Cornell University, 1977]; Dieter Bartels, Di Bawah naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan Di Maluku Tengah Jilid I dan II (Jakarta: Gramedia, 2017); Charles E. Farhadian, Christianity, islam and Nationalism in Indonesia (New York and London: Routledge, 2005).

Page 23: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 23

masyarakat dalam proses-proses sosio-kultural-religi-politik

modern. Bagi Bartels revitalisasi atau reproduksi kultural ini

tidak bisa ditarik keluar dari payung sistim kepercayaan asli

atau agama asli (agama Nunusaku).51 Karena pela adalah

“vehicle of Nunusaku Religion.” Di sini Bartels menegaskan

bahwa sinkritisme keagamaan memang tidak bisa dihindari.

Sinkritisme adalah jalan kebudayaan yang layak bagi

perjumpaan agama-agama dalam konteks kebudayaan suatu

masyarakat. Keutamaan penekanan tersebut feasible dalam

proses-proses rekonsiliasi dan penataan-ulang serta

transformasi masyarakat Maluku dalam usaha semua

komponen menyelesaikan konflik horizontal yang berlangsung

sejak 1999 sampai 2002.52 Melalui tulisan-tulisannya Bartels

sesungguhnya memperkenalkan paradigma baru studi terkait

perjumpaan kekuatan politik dan agama-agama dunia dengan

masyarakat lokal. Menurut Bartels kompleks struktur budaya

dan sosial serta agama lokal merupakan basis kritik-

konstruktif dan reposisi bagi baik kekuatan-kekuatan politik

atau kekuasaan maupun agama-agama dunia dalam rangka

rekonstruksi tatanan masyarakat multi-religi dan multi-kultur.

51 Lihat Dieter Bartels, ‘The Evolution of God in the Spice islands: The Converging and Diverging of Protestant Christianity and Islam in the Colonial and Post-Colonial Periods,’ paper yang disampaikan dalam simposium “Christianity in Indonesia” di the Frobenius Institute of the Johann Wolfgang Goethe University di Frankfurt/Main 14 Desember 2003 diunduh pada Kamis, 31 Agustus 2017 melalui www.nunusaku.com; Dieter Bartels, ‘Your God is No Longer Mine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas (Indonesia) After a Half-Millennium of Tolerant Co-Existence and Ethnic Unity” in Sandra pannell (ed.), A State of Emergency: Violence, Society and the State in Eastern Indonesia (Darwin: Northern Territory University Press, 2003), pp.128-135, diunduh dari www.nunusaku.com pada kamis 31 Agustus 2017e; lihat juga edisi terjemahannya: ‘Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku Tengah Indonesia) Setelah Hidup Berdampingan dengan Toleransi dan Kesatuan Etnis yang Berlangsung Selama Setengah Milenium,’ diunduh dari www.nunusaku.com pada kamis 31 Agustus 2017. 52 Lihat juga John Chr. Ruhulesin, Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di Maluku (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2005); Tonny D. Pariela, Damai di Tengah Konflik Maluku: Preserved Social Capital sebagai Basis Survival Strategy (Satya Wacana University Press, 2008).

Page 24: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

24 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Dalam konteks masyarakat Papua Indonesia, Charles E.

Farhadian, melalui studi etnografis, memperkenalkan

pendekatan studi kritis atau resistensi dalam perjumpaan

kekristenan, islam, dan nasionalisme dalam lingkup

masyarakat etnik.53 Arah studi Farhadian ini bertolak belakang

dengan arah studi yang kita ikuti dalam studi-studi Bartels

dalam kompleks sosio-kultural-religi Maluku. Farhadian

menunjukkan bagaimana komunitas-komunitas urban etnik

Dani, yang berasal dari dataran tinggi Kabupaten Wamena,

mengelola perjumpaan mereka dengan sampai menerima

kekristenan dan berhadapan dengan kehadiran agama Islam

sertakekuatan politik negara Indonesia. Farhadian bertolak

dari asumsi riset bahwa penerimaan kekristenan telah

membangkitkan kepercayaan diri etnik Dani. Ini memberani-

kan mereka melakukan revaluasi terkait hubungan apa yang

ada antara kekristenan dan aspirasi-aspirasi kultural asli

mereka. Proses revaluasi ini terkait langsung dengan formasi

identitas dan pemeliharaan cirikhas etnik mereka. Proses

kultural ini memasuki situasi tegang ketika sebagai orang-

orang atau komunitas-komunitas kristen, mereka makin

dihimpit oleh kehadiran orang-orang lain yang berbeda etnik

dan yang mempratikkan agama yang berbeda pula. Farhadian

selanjutnya menyatakan bahwa

For the Dani, the tensions among Indonesian nation-state, Dani tradition, Islam, and Christianity are exacerbated by political, economic, social, and religious realities of Indonesia, where race, ethnicity, and religion occupy an important place in discourse about the formation of nation-state.54

Studi Farhadian tentang formasi identitas sosial dan

ketahanan cirikhas etnik ini dipandu oleh pertanyaan

53 Lihat: Charles E. Farhadian, Christianity, Islam and Nationalism in Indonesia (New York and London: Routledge, 2005). 54 Farhadian, ibid., 4.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 25

utamanya “How have Dani utilized their religion, an

increasingly indigenized form of Christianity, to navigate

through severe cultural dislocation and ne patterns of social

organization and social interaction to reach the shores of new

cultural identities that serve as vehicles for meaningful

participation in the modern world?”55

2. Studi terhadap perjumpaan agama-agama dunia

dengan masyarakat lokal Fakfak.

Fakfak adalah salah satu pusat pemerintahan yang

dibangun oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1898. Wilayah

ini menjadi pintu masuk ke pedalaman Papua. Tetapi wilayah

ini tidak menarik untuk riset-riset yang biasanya dilakukan

oleh otoritas pemerintahan Belanda, karena terkenal sebagai

daerah para cannibals dan head-hunters.56 Sampai saat ini pun

riset menyangkut masyarakat etnik lokal Fakfak masih sangat

kurang. Pada bagian ini saya akan menelusuri beberapa studi

terkait dengan budaya dan sejarah masyarakat etnik Fakfak.

Studi terhadap fenomena khas keharmonisan hidup

beragama (lintas agama) dalam konteks sosial-kultural

masyarakat Mbahammatta ini telah saya mulai sejak tahun

2000.57 Studi mana bertolak dari tesis dasar bahwa masya-

55 Farhadian, ibid., 4. 56 J.Van Baal, K. W. Galis dan R. M. Koentjaraningrat, West Irian – A Bibliography (Dodrecht-Holland/Cinnaminson-U.S.A.: Foris Publications, 1984), 123-127; tentang kondisi ini lihat jugaMuridan Widjojo, Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua Sekitar 1780-1810 (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 167-172. 57Fokus pada pokok ini kemudian mewujud dalam makalah memperkenalkan agama keluarga, Ronald Helweldery, “Agama Keluarga: Pemberi inspirasi dan perspektif bagi usaha membangun masyarakat komunikatif-multikultural.” Makalah yang dipresentasikan dalam Acara Wisuda Sarjana Teologi dan Pendidikan Agama Kristen STT GPI Papua, Fakfak 17 Desember 2007. Makalah mana kemudian direvisi seperlunya diikutkan sebagai sumbang tulis dalam Elizabeth Marantika, et.al., Delapan Dekade GPM Menanam, Menyiram dan Berbuah: Teologi GPM Dalam Praksis Berbangsa dan Bermasyarakat (Salatiga: Satya Wacana University Press dan GPM, 2015), 103-122.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

26 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

rakat lokal Fakfak adalah komunitas etnik yang proaktif

menanggapi perubahan sosial terkait dengan kedatangan dan

penerimaan agama Islam, Protestan, dan Katolik. Komunitas

etnik Bahamata menerima agama-agama yang datang dalam

kerangka filosofi dan strategi kebudayaan khas yang telah

melahirkan praksis keberagamaan kultural, yakni agama

keluarga.

Pdt. J. F. Onim menuliskan tesis dengan judul Islam dan

Kristen di Tanah Papua: Meniti jalan bersama hubungan Islam-

Kristen dalam sejarah penyebaran dan perjumpaannya di

wilayah Semenanjung Onin Fakfak.58 Tesis tersebut telah

dipertahahankan di STT Jakarta pada tahun 2003. Studi Onim

dilakukan dalam bidang sejarah dan misiologi. Onin

menelusuri sejarah misi Islam dan Kristen untuk

mendudukkan perjumpaan keduanya dalam konteks kultural

masyarakat lokal Fakfak. Onin menemukan bahwa

perjumpaan kedua agama ini bisa berlangsung damai karena

spirit dan etika keberagamaan lokal yang inklusif. Pengalaman

perjumpaan mana dapat dijadikan model dasar bagi

pembahasan dan praksis relasional agama-agama dalam

toleransi dan pluralisme. Dari sisi data, Onim menyediakan

informasi-informasi sejarah terkait pokok studinya dengan

baik karena mampu mengakses beberapa literatur berbahasa

Belanda. Informasi penting yang disajikan oleh Onim adalah

sejarah kehadiran Islam dan Kristen pasca kemerdekaan

Indonesia.

Suparto Iribaram menulis tesis dengan judul Satu

Tungku Tiga Batu: Kerjasama Tiga Agama Dalam Kehidupan

Beragama di Fakfak. Tesis ini telah dipertahankan di Program

Pascasarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Gajah Mada pada tahun 2011. Iribaram berusaha melihat

58 Tesis tersebut telah dipertahankan pada tahun 2003 di Program Pascasarjana STT Jakarta.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 27

aspek kultural kehidupan beragama di Fakfak. Tesisnya bahwa

kerjasama antar agama Islam, Protestan dan Katolik di Fakfak

mendapat spirit dan etika dasarnya dalam keberagamaan adat

masyarakat lokal Fakfak. Iribaram kemudian mengarahkan

studinya terhadap kehidupan dan kerjasama lintas agama,

yang ditampilkan melalui slogan “Satu Tungku Tiga Batu” ini

sebagai kontrol sosial dalam rangka menjaga harmoni dalam

masyarakat. Iribaram memilih masyarakat di Distrik Teluk

Patipi sebagai wilayah risetnya. Iribaram melihat bahwa spirit

keberagamaan khas masyarakat Teluk Patipi berakar dalam

kekerabatan.

Dalam usaha mengungkap bagaimana proses Satu

Tungku Tiga Batu menciptakan harmonisasi dalam

masyarakat, Iribaram hanya menyatakan menggunakan

metode penelitian kualitatif, tanpa spesifikasi jenis

penelitiannya. Ini berakibat pada tingkat kedalaman risetnya.

Iribaram telah menunjukkan bahwa sistim kekerabatan dan

perkawinan yang menjadi basis bagi prinsip “Satu Tungku Tiga

Batu” atau “Tiga Agama Bersaudara,” tetapi tidak menelisik

lebih dalam lagi proses-proses kulturalnya. Iribaram telah

menunjuk pada fenomena historis khas bahwa dalam satu

marga terdapat tiga agama berbeda, tetapi tidak menyebut

perkawinan lintas agama. Sebegitu juga Iribaram hanya secara

pintas mengaitkan asal muasal keberagamaan ini dengan

sepenggal kisah awal Gerakan Mahambotmur yang mengan-

dung semacam narasi kargoisme (cargo cult).59 Gerakan mana

sangat penting karena menghasilkan apa yang terkait dengan

penetapan dan pemilihan orientasi kegamaan Islam dan

Kristen, yakni “agama air asin” dan “agama air tawar.”

59Sebuah Gerakan etnik kultik relijius yang dipimpin oleh Thomas Kabes pada awal abad ke-20. Gerakan mana berujung pada pemilihan orientasi keagamaan Islam atau Kristen. Pemilihan orientasi keagamaan ini dilakuakn dalam ritual puncak di dua kolam masing-masing berisi air asin dan air tawar. Yang minum atau mencicipi air asin berarti memilih agama Islam, dan yang meminum atau mencicipi air tawar menetapkan diri menganut agama Kristen.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

28 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Saidin Ernas menulis disertasi dengan judul Integrasi

Sosial Masyarakat Papua: Studi tentang Dinamika Perdamaian

pada Masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat. Disertasi ini

telah dipertahankan di Program Studi Agama dan Lintas

Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada pada

tahun 2014. Metode riset yang digunakan adalah fenomenologi

kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Pokok studinya

adalah integrasi sosial dengan beberapa asumsi:

(1) Fakfak memiliki sejumlah karakteristik dan

keunikan dibandingkan wilayah lainnya di Papua, sehingga

dinamika integrasi sosial yang tercipta memiliki keberhasilan

yang sangat tinggi; (2) adat dan agama dalam masyarakat

Fakfak merupakan elemen-elemen sosial yang sangat penting

dan strategis yang mampu merekatkan perbedaan-perbedaan

agama, etnisitas, pandangan politik hingga kepentingan-

kepentingan ekonomi dalam satu hubungan sosial yang

harmonis; (3) nilai-nilai kultural tersebut sudah dapat

dilembagakan dalam aktifitas politik pemerintahan dan

praktik-praktik ekonomi lokal sehingga memberikan jaminan

yang kuat pada keberlanjutan harmoni dan perdamaian.

Studi-studi yang telah dipaparkan di atas, dengan latar

belakang dan fokus riset serta kerangka teori dan metodologi

masing-masing, menjadi sumber data dan pengarah bagi studi

dan riset saya. Bagi saya yang masih sangat perlu mendapat

perhatian riset adalah asal-muasal dan proses-proses serta

dinamika sosial-kultural formasi keberagamaan keluarga dari

sudut pandang dan pengemalan etnik Mbahammata sendiri

sebagai tuan-rumah sosial-kultural.

Dalam studi dan riset disertasi ini Penulis menukik dan

menjelalajah ke dalam pengalaman historis sosial-kultural

masyarakat lokal-adatis Mbaham Matta sebagai suatu satuan

etnik. Dan untuk maksud itu metode yang digunakan adalah

etnografi kualitatif. Sesuai dengan tuntutan metode etnografi,

Page 29: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 29

penulis memulai jelajah riset masyarakat etnik Mbaham Matta

di kampung-kampung wilayah pemerintahan Distrik Teluk

Patipi, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Pilihan-pilihan

teoritik dan metodologis ini dibuat supaya peneliti dapat

mendalami secara komprehensif dan terfokus proses-proses

dan dinamika sosial-kultural formasi ide dan praksis kebera-

gamaan keluarga dalam kerangka transformasi sistem sosial.

E. Signifikansi Studi

Dari telaah pustaka terlihat bahwa studi atas

perjumpaan agama-agama dunia dengan masyarakat lokal

cenderung mengambil pendekatan dan titik tolak dari sisi

agama-agama dunia. Sehingga yang tersajikan lebih

merupakan narasi-narasi besar tentang bagaimana agama-

agama besar mengelola dan memperlakukan tradisi-tradisi

kultural lokal, termasuk agama-agama lokal.60 Studi ini akan

menunjukkan bagaimana,melalui praksis-praksis sosial, etnik

lokal menerima dan menempatkan serta mengarahkan agama-

agama dunia dalam imajinasi mereka akan formasi tatanan

masyarakat multi-religi dan multi-kultur. Dengan begitu studi

ini akan mengantar kepada penegasan bahwa etnogenesis

etnik Mbahammatta tidak hanya berhenti pada proses

reproduksi etnisitas yang berpusar sekitar maintaining of

ethnic boundary, tetapi bergerak lebih jauh lagi yakni

transformasi sosial secara menyeluruh tatanan masyarakat

baru.

60 Dieter Bartels, The Evolution of God ..., 10-13, mengemukakan kondisi dengan baik dalam masyarakat Maluku Tengah: pada sisi Kekristenan Protetstan berlaku prinsip agama di atas adat dan berlangsunglah kristenisasi upacara-upacara adatpela di kalangan desa-desa Kristen, dengan cara-cara yang jauh mengurangi pentingnya eksistensi leluhur. Pada sama waktu di kalangan Islam berlangsung gerakan pemurnian (purifikasi) yang berdampak pada gerak meninggalkan kepercayaan adat tradisional.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

30 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Penulis menemukan adanya dualitas proses-proses

sosial dalam konteks negosiasi rumpun Etnik Mbaham Matta

di wilayah demarkasi sosial-kultural (ethnic boundary)

mereka, yakni dualitas inklusi dan kritik. Bisa kita sebutkan

sebagai dualitas ethnic boundarying. Dari sini Penulis

menemukan pula bahwa inkorporasi yang berbasis pada

praktik-praktik sosial dalam sistem sosial sebagai strategi

kebudayaan memiliki dualitas karakter: incorporated in to the

macro-social system, yang merupakan bagian dari penerimaan

unsur-unsur sosial-budaya-politik-religi yang datang dari luar

dan pada saat bersamaan mereka menginkorporasi sistem

sosial-makro ke dalam sistem sosial-mikro atau interaksi

sosial keseharian mereka. Ini tampak pada usaha mereka

mengajak unsur-unsur luar bersama mereka melakukan

restrutkurisasi struktur budaya yang akan muncul dalam

reafirmasi moralitas sosial dan reidentifikasi identitas sosial.

Pendekatan sejarah-tandingan (contested history),

sebagaimana dikemukakan Linda Tuhiwai Smith, akan

sangatmembantu dalam mengungkapkan narasi-narasi dan

praktik-praktik sosial kritis etnik Bahamata. Narasi-narasi dan

praktik-praktik kritis itu bisa diungkapkan bila studi dan riset

memperlakukan sebuah kelompok suku atau etnik sebagai

entitas sosial-kultural yang dinamis dan proaktif. Dalam

konteks inilah teorisasi ethnicity sangat signifikan dan relevan.

Dengan begitu kita akan memaknai proses-proses

rekonstruksi sistem sosial, redefinisi identitas sosial dan

reafirmasi moral sosial dalam konteks formasi masyarakat

multikultural sebagai narasi-narasi dan penjelasan-penjelasan

kritis terhadap kecenderungan kooptasi hegemonik, reduktif

dan manipulatif otoritas politik dan agama.

Sejalan dengan signifikansi di atas, di mana

ditunjukkan perihal tanggapan dinamis dan proaktif kolektif

etnik, studi dan riset ini pula memandang dan memperlakukan

Page 31: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 31

sosok-sosok tokoh kultural, individual dan komunal, sebagai

agen-agen subyektif-reflektif, pengambil keputusan dan

petindak sosial yang proaktif pula. Mereka melalui strategi

kebudayaan khas mendinamisir dan mengelaborasi

kekerabatan dalam rangka inkorporasi ke dalam sistem sosial

baru. Mereka adalah produser dunia sosial mereka sendiri dan

mengundang serta melibatkan komponen-komponen sosial-

kultural-religi lainnya bersama mereka membangun tatanan

sosial baru. Dalam historisitas interaksi sosial-kultural inilah

terbentuk praksis agama keluarga atau keberagamaan

keluarga.

F. Metode Penelitian

Untuk mengungkap sejarah dan narasi serta praktik

soial tandingan etnik Bahamata terkait dengan keberagamaan

keluarga ini, yang dipandu oleh fokus penelitian di atas, saya

akan menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif

dengan jenis penelitian etnografi. Jenis penelitian etnografi-

kualitatif dipilih agar peneliti dapat memahami cara hidup

masyarakat dari sudut pandang dan pengalaman masyarakat

yang diteliti.61 Melalui riset etnografis, Peneliti akan memberi

perhatian pada tiga aspek fundamental dari pengalaman

manusia, yaitu apa yang orang-orang lakukan, ketahui, dan hal

atau benda yang digunakan dalam melakukan sesuatu. Ketiga

hal ini dalam etnografi disebut (1) perilaku kultural (cultural

behaviour), pengetahuan kultural (cultural knowledge), dan

artifak kultural (cultural artifact).

61Lihat James P. Spradley, Participant Observation (Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1980); James P. Spradley and David W. McCurdy, Conformity and Conflict: Readings in Cultural Anthropology (Boston: Pearson, 2012), 1-5.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

32 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Lebih jauh Paula Saukko62 memperkenalkan apa yang

Ia sebut sebagai etnografi baru (new ethnography) yang

menegaskan bahwa melalui etnografi peneliti tidak hanya

berusaha mempelajari, memahami dan menjelaskan

kebudayaan suatu masyarakat secara emic, tetapi lebih dalam

lagi: peneliti harus setia (faithful) kepada perspektif-perspektif

yang dihidupi oleh masyarakat tersebut.

Melalui etnografi Peneliti akan berusaha menemukan

apa makna atau jejaring makna dari tindakan-tindakan dan

peristiwa-peristiwa bagi masyarakat atau komunitas yang

diteliti. Penafsiran atas perkataan, perilaku, tindakan dan

gerakan fisik orang-orang untuk menemukan makna dan

jejaring makna dilakukan dengan merujuk pada kategori-

kategori kultural di dalam konteks sosialnya.63

David Jacobson64 menolong kita untuk memahami

karya-karya riset etnografis. Jacobson membedakan tiga

model etnografi. Pertama, etnografi struktural yang menaruh

perhatian pada organisasi dan struktur sosial dan relasi-relasi

sosial sebagai basis risetnya. Kedua, etnografi simbolik yang

menjadikan cara berpikir dan makna dari tindakan sebagai

basis dan tujuan riset. Ketiga, etnografi organisasional yang

orientasi risetnya adalah pada tindakan terkait dengan

transaksi-transaksi dan proses-proses sosial. Fokusnya adalah

bagaimana orang-orang menanggapi kondisi-kondisi sosial.

Oleh karena itu sangat menekankan peran individu atau

kelompok mengambil keputusan yang mencakup pemilihan di

antara prinsip-prinsip alternatif perilaku dan akibat-akibat

62Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodolgical Approach (London: Sage Publications, 2003), 55-58. 63Ini yang disebut pendekatan interpretif oleh Geertz, “Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture” dalam Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Book, 1973), 3-30. 64 David Jacobson, Reading Ethnography (Albany, N.Y.: State University of New York Press, 1991).

Page 33: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 33

sosial dari keputusan yangdiambil. Proses pengambilan

keputusan ini dilakukan dalam a framework of rules,

opportunities, and non-normative constraints.65

Riset etnografis ini akan menggunakan pula teknik

pengumpulan data kualitatif, yaitu (1) Observasi terlibat; (2)

Wawancara mendalam; (3) Studi dokumen.

Analisis data dalam studi ini akan mengikuti teknik

analisis tema budaya.66 Di sini tema budaya didefiniskan oleh

Spradley sebagai “prinsip kognitif yang bersifat tersirat

maupun tersurat, berulang dalam sejumlah domain dan

berperan sebagai suatu hubungan di antara berbagai

subsistem makna budaya.” Prinsip kognitif adalah sesuatu

yang dipercayai oleh masyarakat, dan diterima sebagai

sesuatu yang sah dan benar. Dengan kata lain, prinsip kognitif

adalah suatu asumsi umum mengenai pengalaman masyarakat

atau komunitas.

Informan akan dipilih secara sengaja dengan

pertimbangan keterlibatan dan relevansi yang bersangkutan

terhadap persoalan dan tujuan penelitian.67 Tapi tidak

menutup kemungkinan untuk para informan bebas yang

dijumpai dalam perjalanan atau dalam suatu kegiatan dan

peristiwa sosial maupun di lokasi-lokasi sosialtertentu lainnya.

Jumlah sumber informasi mengikuti prinsip snowballing. Oleh

karena itu luasan data atau informasi serta wilayah penelitian

mengalir mengikuti prinsip kecukupan data.

Sesuai dengan tuntutan jenis penelitian etnografis,

saya telah memilih dan menetapkan Kampung Tetar dan

65Sejalan dengan konsep serious games yang dikemukakan oleh Shery B. Ortener, Athropology and Social Theory: Culture, Power, and the Acting Subject (Durham and London: Duke University Press, 2006), 129-153. 66Spradley, Metode Etnografi, 266-292; Robert S. Weiss, Learning From Strangers: The Art and Method of Qualitative Interview Studies (New York: The Free Press, 1994). 67Ini dikenal dengan purposive sampling.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

34 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Kampung Ofi, Distrik Teluk Patipi, Kabupaten Fakfak sebagai

lokasi basis penelitian.68 Pemilihan wilayah dan lokasi basis

penelitian, yakni Distrik Teluk Patipi dan ke Kampung Tetar

dan Offie, berdasarkan pada pengamatan terlibat selama ini.

Pertama, karaktersitik konfigurasi geografis sangat menarik

dan khas. Masyarakat teluk Patipi hidup di kampung-kampung

yang bersisian sepanjang lekukan pesisir secara seimbang di

kedua sisi.69 Masyarakat lokal hidup sedenter dalam kampung-

kampung yang menganut agama tunggal. Terbentuklah

konfigurasi-segregatif: satu kampung, satu agama anutan –

kampung Kristen, Kampung Islam. Tetapi, ke dua, karakteristik

sosial-budaya-religi wilayah ini unik, karena interelasi dan

interaksi sosial lintas agama dan kampung yang cair, inklusif,

serta harmonis yang dirajut oleh sistim kekerabatan asli

terlihat jelas mengalir dalam aktivitas kehidupan sehari-hari

mereka. Kampung Tetar dan Offie ditetapkan menjadi lokasi-

lokasi basis sebagai representasi dan titik masuk penelitian.

Pada 15-17 Juli 2015 lalu saya telah berkunjung ke sana untuk

melakukan observasi dan wawancara awal pra riset. Kampung

Tetar adalah kampung Kristen (Protestan) dan Kampung Ofi

adalah kampung Islam. Marga-marga kedua kampung ini

memiliki relasi kekerabatan yang kental. Dari kedua kampung

ini peneliti mendapatkan gambaran dan peta cakupan sejarah

jejaring kekerabatan dan narasi serta praktik sosial yang

meluas mencakup hampir seluruh wilayah keberadaan etnik

Mbahammatta di Fakfak. Oleh karena itu dalam riset ini, saya

juga melakukan visitasi dan obeservasi serta wawancara di

beberapa lokasi terkait di beberapa wilayah distrik. Lokasi

penelitian terjauh dapat dijangkau dari pusat kota Fakfak

dengan kendaraan bermotor dengan waktu tempuh lebih

68Mengikuti UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagu Provinsi Irian Jaya, maka sejak 2003 nomenklatur pewilayahan pemerintahan diubah: Desa menjadi Kampung dan Kecamatan menjadi Distrik. 69 Lihat Peta

Page 35: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

Pendahuluan 35

kurang 2,5-3 jam. Penulis juga mengunjungi beberapa situs

yang terkait dengan pokok riset, yang harus dijangkau lewat

laut, seperti Kolam/Teluk dan tanjung Genuni, Pulau Was, dan

Kampung Patimburak.

G. Kerangka Teori

Terkait dengan satuan analisis adalah komunitas etnik

Bahamata, maka teori utama dalam studi dan riset ini adalah

etnisitas (ethnicity). Teori utama ini dapat menjangkau baik

esensi maupun proses dan dinamika formasi sistem-struktur

sosial serta identitas sosial kelompok atau komunitas etnik.

Paling tidak terdapat empat kelompok penteorian etnisitas ini:

(1) perspektif kultural-primordial, (2) perspektif konstruksi

sosial atau instrumentalis, (3) perspektif konvergensi dan (4)

perspektif agensi manusia atau praktik sosial.

Dari teorisasi utama, saya juga akan mendudukan

teori-teori kekerabatan, dan identitas sosial serta

multikulturalisme.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan karya ini akan ditata dalam enam Bab. Bab I

merupakan pendahuluan yang memberi dasar dan arah

keseluruhan kajian karya ini. Bab ini menguraikan latar

belakang, argumentasi, fokus dan signifikansi studi serta

metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II memaparkan landasan dan kerangka teoritik

terkait dengan etnogenesis. Pembahasan teoritik ini berpusat

pada teorisasi etnisitas, kekerabatan, identitas sosial, dan

sejarah tandingan. Bertolak dari paparan teoritik tersebut

akan dibangun alur riset dan kerangka teori yang

membimbing studi. Kerangka teoritik akan tersusun secara

integral dari beberapa konsep terpilih dari dalam rangkaian

Page 36: BAB I PENDAHULUAN · 2019. 5. 21. · 1 BAB I PENDAHULUAN òkehidupan beragama kami, seperti air laut, . sekalipun dipotong dengan parang . tidak akan pernah putus atau terceraikan,

36 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

rumpun teorisasi yang telah dipaparkan sebelumnya.

Eksplorasi teoritik ini kemudian ditata dan digunakan dalam

alur riset dan teoritik yang penulis bangun melalui skema.

Bab III, Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks

Geografis dan Historis. merupakan bagian yang penulis

gunakan untuk memperkenalkan secara ringkas Fakfak

sebagai wilayah keberadaan etnik Mbahammata dari segi

georgafis dan historis. Pengenalan geografis ini meliputi

beberapa aspek kontekstual penting dalam kaitan dengan

eksistensi etnik Mbaham Matta. Pengenalan historis terkait

dengan kedatangan kekuatan politik-ekonomi dan agama-

agama dunia.

Bab IV, Rumpun Etnik Mbaham Matta: Tuan Rumah

Sosial-Kultural. Bagia ini memaparkan sejarah sosial entitas

etnik Mbahammatta dari perspektif mereka sendiri sebagai

tuan rumah sosial-kultural. Bagian ini merupakan usaha

penulis mengukapkan proses dan dinamika pembentukan

rumpun etnik (etnogenesis) Mbaham Matta bertolak dari

pemahaman dan pengalaman historis mereka.

Bab V, Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta

dalam Alur Teoritik. Dalam bagian ini Penulis mendialogkan

hasil telusuran etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta

dengan alur dan kerangka teori yang telah Penulis bangun. Di

sini Penulis memaparkan sub-sub bagian atau bab: Mengelola

dua kompleks perjumpaan internal-eksternal, Dualitas

inkorporasi, Reidentifikasi identitas sosial dan Reafirmasi

moralitas sosial, Membangun masyarakat multicultural,

Elaborasi dan kebaruan teoritik.

Bab VI merupakan bagian Penutup yang berisi

Kesimpulan dan Rekomendasi.