27
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai mana kita ketahui bahwa di Negara kita masih terdapat disana sini ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjjukkan Renmdahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan sesama makhluk Hidup. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka saya yakin tidak tidak akan terjadi perotes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang bekepanjangan, peranpokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karen konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di indonesia. B. RUMUSAN MASALAH Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakan diatas maka, kita dapat rumuskan masalah konsep keadilan 1) Bagaimanakah konsep keadilan yang ideal ?

Bab i Pendahuluan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab i Pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagai mana kita ketahui bahwa di Negara kita masih terdapat disana sini

ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi

baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjjukkan Renmdahnya kesadaran

manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan

sesama makhluk Hidup. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka

saya yakin tidak tidak akan terjadi perotes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang

bekepanjangan, peranpokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi

karen konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan

keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan

mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya

dapat meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakan diatas maka, kita dapat

rumuskan masalah konsep keadilan

1) Bagaimanakah konsep keadilan yang ideal ?

2) Sejauh mana keadilan diterapkan di Indonesia ?

3) Siapa sajakah orang yang diperlakukan adil dan diperlakukan tidak adil ?

Page 2: Bab i Pendahuluan

BAB II

PEMBAHASAN

Tidak dapat dipungkiri, Al-qur’an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan

manusia, baik secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu

dihinggapi semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan

yang mudah diperoleh secara gamblang itu Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu,

lalu muncul idealisme atas Al-qur’an sebagai sumber pemikiran paling baik tentang

keadilan. Kebetulan persepsi semacam itu sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri

tentang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber

keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya Al-qur’an yang menjadi firmanNya kalamu

'l-Lah juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan?

Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa

berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang

sangat kompleks dan rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran dengan

kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada itu saja

segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah

refleksi yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka?

"Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa dalam wawasan teologis

kaum skolastik mutakallimin Muslim sejak delapan abad terakhir ini.

Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan

segera melihat hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata.

Apalagi dewasa ini justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah ketidakadilan

dalam ukuran sangat massif. Demikianjuga, persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah

paham tentang kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau bukan, dan

paham-paham besar lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar seperti sosialisme,

komunisme, nasionalisme, dan liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan serba

praktis seperti itu adalah sebuah pelarianyang tidak akan menyelesaikan masalah.

Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah yang disederhanakan, justru akan menambah

parah keadaan. Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan

yang hakiki dan berdayaguna penuh untuk jangka panjang, dan merasa puas dengan

Page 3: Bab i Pendahuluan

"pemecahan" sementara yang tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.

Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan hak-hak perolehan warga

masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang masyarakat untuk memiliki

alat-alat produksi, pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan

menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktisyang

menyederhanakan masalah. Memang berdayaguna besar dalam jangka pendek, terbukti

dengan kemauan mendirikan negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam

dasawarsa terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu ternyata membawa hasil

buruk, terbukti dengan "di bongkar pasangnya" Komunisme dewasa ini oleh para

pemimpin mereka sendiri dimana-mana. Rendahnya produktivitasindividual sebagai

akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga masyarakat yang sudah

berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan perombakan

total seperti diakibatkan oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet beberapa waktu lalu.

Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga meninjau masalah

keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada

persoalan, bahkan yang paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan dan

selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan

kemasyarakatanIslam yang lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia

di masa-masa mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh

paham yang dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib yang sama dengan

yang menentang Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya

secara baik dan tuntas, bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.

Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang harus

dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan sebagaimana tertuang dalam Al-qur’an .

Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba pula

untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang dihadapi

umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal pokok dan sosok kasar dari

apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.

Page 4: Bab i Pendahuluan

A. PENGERTIAN KEADILAN

Al-qur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang

bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan

sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata

sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh Al-qur’an dalam

pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa

saja kehilangan kaitannyayang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti

mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).

Allah SWT. Berfirman :

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarangdari perbuatan keji,

kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar

kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)

Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan

dalam Al-qur’an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak

memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil

keputusan hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar

keadilan. Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan

sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari

terkaitnya beberapa pengertian kata ‘adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara

langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat

tempat dalam Al-qur’an , sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan

Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satudari lima prinsip

utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.

Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan Al-qur’an agar

manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang

menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan

Page 5: Bab i Pendahuluan

sesame warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.

Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu

menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam Al-qur’an. Demikian

pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari

kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro

kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim

saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil

dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk

mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing. Hal ini

sesuai denga firman Allah SWT, sebagai berikut :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang

selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil.

dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,

mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil

itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-

Maidah : 8)

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau

sisi keadilan oleh Al-qur’an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan

peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan

lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin,

janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak keluarga

(dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan.

Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak

karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian

sedikit banyak berwatak straktural. Fase terpenting dari wawasan keadilan yang

dibawakan Al-qur’an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar

Page 6: Bab i Pendahuluan

sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan

pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal

perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan

demikian, wawasan keadilan dalam Al-qur’an mudah sekali diterima sebagai sesuatu

yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah

Khomeini di Iran. Sudah tentudengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya,

karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang

mengingkari keadilan itu.

Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini: bahwa sifat dasar

wawasan keadilan yang dikembangkan Al-qur’an ternyata bercorak mekanistik,

kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan

keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik.

Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu konsep keadilan yang menitipberatkan pada

kepentingan ammah, dan bukan semata-mata kepentingan pribadi dan golongan,

sebagai mana yang difirmankan Allah SWT, dalam surah Al-An’an ayat 152, sebagai

berikut

Artinya : “Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil,

kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520].

yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu inga” (QS. Al-

An’am : 152)

B. PERMASALAHAN

Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam Al-qur’an

itu, secara langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu

keterbatasan visi yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk

Page 7: Bab i Pendahuluan

penuangannya yang terasa "sangat berbalasan" (talionis, kompensatoris).

Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu bentuk tindakan telah

dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat adil, walaupun dalam sisi-sisi yang

lain justru wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat dikemukakan sebagai contoh,

umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika "berbuat adil" dengan menjaga

ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa

mempersoalkan apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan

yang adil. Dengan demikian, pemenuhan tuntutan keadilan yang seharusnya berwajah

utuh, lalu menjadi sangat parsial dan tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya

belaka.

Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan Al-qur’an itu juga

terlihat dalam sederhananya perumusan apa yang dinamakan keadilan itu sendiri.

Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia

melahirkan anak yang dikandungnya, cukup dengan jumlah tertentu berupa uang atau

bahan makanan. Sangat terasa watak berbalasan dari "pemenuhan keadilan" yang

berbentuk seperti ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi

suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri). Dari pengamatan akan kedua

hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan

dalam pandangan Al-qur’an itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh, apalagi

jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa keadilan dalam kehidupan itu sendiri.

Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila

dipandang dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki Al-qur’an itu? Dapatkah

kepada kelompok demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan

yang

dimiliki Al-qur’an itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas agama diberikan hak

yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan? Dapatkah wawasan keadilan itu

menampung kebutuhan akan persamaan derajat agama dikesampingkan oleh

kebutuhan akan hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan

hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat asal-usul agama, etnis,

bahasa dan budayanya? Dapatkah dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik

pribadi demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya

Page 8: Bab i Pendahuluan

demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang jawaban-jawabannya

akan menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam

Al-qur’an memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat modern dimasa datang.

Diperlukan kajian-kajian lebih lanjut tentang peta permasalahan seperti dikemukakan

di atas, namun jelas sekali bahwa visi keadilan yang ada dalam Al-qur’an dewasa ini

harus direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan relevansi berjangka panjang dari

wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi rumit dan memerlukan refleksi

filosofis, di samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk merampungkannya

secara kolektif. Masalahnya, masih punyakah umat Islam kejujuran intelektual seperti

itu, atau memang sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan "kerangka

operasionalisasi" serba terbatas, sebagai pelarian yang manis?

C. MEMBONGKAR AKAR KETIDAKADILAN MELALUI PESANTREN

Telah 77 tahun berlalu sejak Kongres Wanita Indonesia I berlangsung di

Yogyakarta. Sebagian isu yang diperjuangkan saat itu masih belum berhasil

memuaskan dan terus diperjuangkan: perdagangan perempuan dan anak, perburuhan,

poligami, dan kesehatan.

Belum selesai masalah yang diperjuangkan perempuan Indonesia sejak awal abad

lalu, kini datang isu globalisasi, lingkungan, hak asasi manusia, perdagangan bebas,

konflik bersenjata, konservatisme, bencana alam, kemiskinan, kekerasan berbasis

jender, dan pluralisme.

Dalam konteks Indonesia, pesantren menjadi salah satu tempat di mana

transformasi sosial dan budaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan demokratis.

Ada beberapa alasan mengapa pesantren menjadi tumpuan harapan itu. Ny Sinta

Nuriyah Wahid, Pimpinan Pesantren untuk Pemberdayaan Perempuan (Puan) Amal

Hayati dalam seminar ”Memantapkan Langkah Pemberdayaan Perempuan Berbasis

Pesantren” di Jakarta, Selasa (20/12), mengatakan, dalam sejarahnya pesantren ada

untuk merespons persoalan sosial budaya di masyarakat. Pesantren Tebu Ireng di

Jombang, misalnya, didirikan KH Hasyim Ashari untuk membangun tandingan

Page 9: Bab i Pendahuluan

praktik kapitalisme kolonial atas buruh pabrik gula dengan menyediakan rumah

madat dan tempat prostitusi.

Alasan lain, di pesantren diajarkan nilai moral berdasarkan agama yang ada di

antaranya diskriminatif terhadap perempuan. Kajian tim Forum Kajian Kitab Kuning

(FK3) pimpinan Sinta Nuriyah memperlihatkan, ada kitab fikih yang diajarkan di

pesantren yang membolehkan kekerasan terhadap perempuan. FK3 di bawah Puan

lalu melahirkan buku yang mendekonstruksi fikih hubungan suami-istri dalam kitab

Uqud Al-Lujjayn.

Di luar itu, menurut pengamat pesantren Prof Dr Zamahsyari Dhofir, MA,

terdapat lebih 15.000 pesantren di Tanah Air dengan mayoritas santrinya berasal dari

keluarga miskin. Ini pula peluang dan tantangan memberdayakan perempuan berbasis

pesantren. Pesantren dan Perempuan Di dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia,

pesantren tidak dapat dilepaskan dari gerakan perempuan. Abdul Muqsith Ghazali

dari The Wahid Institute Jakarta menyebutkan, feminisme dalam Islam telah ada

sejak akhir abad ke-19, meskipun istilah itu tidak digunakan. RA Kartini, Dewi

Sartika, Rohana Koedoes, Rahmah el-Yunisiyah menggugat tertinggalnya pendidikan

perempuan, praktik poligami, pernikahan dini, dan perceraian sewenang-wenang oleh

suami.

Gelombang kedua feminisme (1920-1950-an) ditandai dengan munculnya

organisasi perempuan seperti Persaudaraan Istri, Wanita Sejati, Persatuan Ibu, Putri

Sedar, dan Putri Indonesia. Inti perjuangan mereka masih sama seperti periode

pertama, tetapi diperjuangkan melalui organisasi. Perjuangan ini membuahkan hasil.

”Konferensi besar Syuriah Nahdlatul Ulama 1957 membolehkan perempuan duduk di

lembaga legislatif,” ujar Muqsith. Menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat Ny

Aisyah Hamid Baidlowi, hal itu merupakan hasil perjuangan Kongres Muslimat NU

1954 di Surabaya yang merekomendasi perempuan dapat duduk di legislatif,

menunda usia pernikahan, dan memberi pendidikan bagi perempuan.

Tahun 1930 KH Bisri Syansuri mendirikan pesantren perempuan di Denayar,

Jombang. Pada tahun 1946 lahir Undang-Undang (UU) Nomor 22 yang salah satu

pasalnya mengatakan perkawinan, perceraian, dan rujuk harus dicatatkan. UU ini

merupakan kemajuan karena sebelumnya perceraian tidak membutuhkan saksi dan

Page 10: Bab i Pendahuluan

sepenuhnya tergantung keputusan suami. Gelombang feminisme ketiga terjadi tahun

1960-1980-an, di mana perempuan terlibat dalam pembangunan yang dipromosikan

Orde Baru.Pada periode ini ormas keagamaan tradisional seperti NU—sebagian besar

pesantren berafiliasi dengan NU—mulai menempatkan perempuan seperti Nyai

Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, dan Nyai Khoriyah Hasyim, di dalam

kepengurusan Syuriah NU.

Gelombang keempat dimulai dari tahun 1990-an hingga saat ini yang ditandai

terjadinya sinergi antara feminis Muslim dengan feminis sekuler. ”Feminis sekuler

yang mengalami hambatan teologis dalam gerakannya, mendapat suntikan moral

keagamaan dari feminis Muslim, dan sebaliknya,” kata Muqsith.

Keduanya memiliki tujuan sama, yaitu penguatan masyarakat madani (civil society),

demokratisasi, dan penegakan hak asasi di mana keadilan dan kesetaraan jender

termasuk di dalamnya. Pada gelombang ini ada tokoh seperti Saparinah Sadli, Lies

Marcoes-Natsir, Sinta Nuriyah Wahid, Mansour Faqih, KH Husein Muhammad,

Nasaruddin Umar, Siti Musdah Mulia, Ruhainy Dzuhayatin dan lainnya. Adapun

generasi yang lebih muda, antara lain Faqihuddin Abdul Qodir, Badriyah Fayumi,

Ratna Batara Munti, dan Marzuki Wahid.

Tantangan ke depan

Belajar dari pengalaman selama ini, kelemahan gerakan perempuan Islam,

menurut Muqsith adalah gerakannya yang sempit: berkutat pada isu domestik dan

komunal umat Islam. Padahal, persoalan perempuan seperti diskriminasi dan

dehumanisasi adalah masalah umum kemanusiaan.Karena itu, tantangannya adalah

bergandengan lebih erat dengan gerakan perempuan dari agama lain dan isunya pun

dilebarkan menyangkut pluralisme, agama, hak asasi, dan demokrasi. ”Menggunakan

argumen agama (saja) untuk menolak poligami tidak selalu produktif. Karena itu,

harus dipakai argumentasi lain yang lebih universal, yaitu hak asasi,” tambah

Muqsith.

Dalam kenyataannya, sejumlah pesantren telah merambah isu-isu ini. Puan,

misalnya, sejak tahun 2000 selalu melakukan sahur Ramadhan bersama agama-agama

lain. Kembali pada isu perempuan dan pesantren, Ny Aisyah Hamid Baidlowi yang

anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan agar pesantren tidak hanya

Page 11: Bab i Pendahuluan

melahirkan lulusan yang beroreintasi menjadi ustad dan ustadzah. Para santri tak

terkecuali perlu juga dibekali ilmu ”dunia”, yaitu keterampilan untuk bersaing di

dalam lapangan kerja sehingga lulusannya, seperti disebutkan Ketua Fatayat NU

Maria Ulfah, tidak hanya menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri dan dapat

menjawab persoalan kemiskinan dan kebodohan. Yogyakarta (Kompas: 16/12/04)

Saat ini masalah buta huruf telah menjadi sesuatu yang menimbulkan frustrasi,

membosankan, dan mengundang sinisme. Sebab, sudah begitu banyak program dan

dana dialokasikan, tetapi jumlah penduduk yang mengalami buta huruf tetap tinggi.

Oleh karena itu, perlu dicari strategi baru agar pemberantasan buta huruf

menjadi kegiatan yang punya daya tarik. Pemberantasan buta huruf tidak bisa

dilepaskan dari isu hak-hak warga negara dan keadilan sosial karena mereka yang

mengalami buta huruf pada umumnya merupakan lapisan masyarakat yang

termarjinalkan.

Demikian persoalan utama yang mengemuka dalam lokakarya "Adult Literacy

and Social Justice". Lokakarya diselenggarakan dalam rangkaian Festival

Pembelajaran "Belajar adalah Kemerdekaan", diselenggarakan Biro Asia Pasifik

Selatan untuk Pendidikan Orang Dewasa (Asia South Pacific Bureau for Adult

Education/ASPBAE) di Yogyakarta, Rabu (15/12). Sebanyak 150 peserta dari 20

negara di Asia dan Pasifik Selatan menghadiri acara untuk memperingati 40 tahun

ASPBAE tersebut. Hari kedua Festival Pembelajaran, para peserta diajak

mengunjungi komunitas-komunitas pembelajaran untuk orang dewasa yang tersebar

di Yogyakarta. Lalita Ramdas, mantan Presiden Dewan Internasional untuk

Pendidikan Orang Dewasa (International Council for Adult Education), mengatakan

bahwa masyarakat melek huruf yang dicita-citakan ternyata sampai kini tidak

tercapai. Di berbagai belahan bumi masalah buta huruf terus berlanjut. "Lokakarya,

pertemuan, dan berbagai macam kegiatan diadakan untuk membicarakan masalah

buta huruf, tetapi kenyataannya tetap saja kita tidak bisa menghapus buta huruf," kata

Lalita. Menurut Lalita, masalah buta huruf tak bisa lepas dari siapa dan mengapa hal

itu terjadi. Buta huruf pada umumnya dialami oleh kelompok masyarakat miskin yang

tak memiliki akses yang cukup baik terhadap pendidikan. Mereka adalah kelompok

yang ditinggalkan oleh masyarakat. Karena itu, kegiatan pemberantasan buta huruf

Page 12: Bab i Pendahuluan

tak boleh dilepaskan dari isu keadilan sosial. Melepaskan kegiatan ini dari isu

keadilan sosial mengakibatkan kegiatan tersebut tidak relevan dengan kebutuhan

masyarakat bersangkutan. Tidak percaya Teeka Bhattarai dari Global Circle of

Reflect Practitoners, yang terlibat dalam aktivitas pendidikan untuk orang dewasa di

Nepal, menyatakan ketidakpercayaannya pada kegiatan pemberantasan buta huruf. Ia

berpendapat, program pemberantasan buta huruf hanya suatu cara untuk

menumbuhkan kesadaran sosial di kalangan masyarakat marjinal.

Shaheen Attiq Ur Rahman, yang telah puluhan tahun bergerak dalam memerangi buta

huruf yang dialami kaum perempuan di Pakistan, mengatakan bahwa yang lebih

urgen dilakukan bukan pemberantasan buta huruf, tetapi menyediakan air bersih bagi

desa-desa miskin di Pakistan. Sejumlah peserta juga menggugat pemahaman melek

huruf yang bias konsep modernisasi di Barat. Mereka yang tidak bisa baca-tulis huruf

atau angka dikategorikan sebagai masyarakat terbelakang, dan tidak

memperhitungkan pengetahuan mereka terhadap nilai-nilai dan budaya tradisional.

Terlepas dari berbagai gugatan itu, lokakarya menyimpulkan bahwa pemberantasan

buta huruf tetap harus menjadi prioritas pendidikan untuk orang dewasa.

Pemberantasan buta huruf juga harus menjadi perhatian pemerintah maupun

organisasi-organisasi di luar pemerintah.

Page 13: Bab i Pendahuluan

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari paparan tentang konsep keadilan diatas dapat kita tarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Keadilan merupakan peringkat tertinggi dalam menentukan segala bentuk

permasalahan yang ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak. Perintah

berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Kemestian

berlaku adil pun mesti ditegakkam di dalam keluarga dan masyarakat muslim itu

sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil.

Maka hanya dengan menerapkan konsep keadilan yang ideal seperti itu, maka

umat Islam pada khususnya akan terbebas dari belenggu perbudakan kaum

impratif modern.

2. Keadilan : itu adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Amar ma’ruf berarti hukum

Islam digerakkan untuk dan merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang

baik dan benar yang dikehendaki dan diridhoi Allah. Konsep keadilan di

Indonesia saat ini telah menjadi suatu perdebatan yang hangat di antara penegak

keadilan itu sendiri, yang pada akhirnya penegak keadilan sendiri kesulitan untuk

merumuskan konsep keadilan ala Indonesia. Isu yang sangat popular dilingkungan

pengadilan di Indonesia sendiri ada istilah tebang pilih.

3. Banyak Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita (umatnya) untuk berbuat adil,

sementara kita (hambanya), lalai terhadap perintah itu, dikarenakan karena adanya

kepentingan-kepentingan lain, dan kadangkala keadilan dalam Islam hanya dalam

tataran wacana akademis, yang hanya diperdebatkan dalam forum-forum keadilan

ansih. Terlepas dari itu semua implikasi dan implementasinya masih jauh dari

harapan.

Page 14: Bab i Pendahuluan

DAFTAR PUSTAKA

- Ali Hasan, Usman, (2001) Penyimpangan Aqidah dari Manhaj

Ahlussunnah, Solo: Al-Qowam

- Budi Utomo, Setiawan, (2003) Fiqih Aktual, Jakarta: Gema

Insani S. Praja, Juhaya, (1995) Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM, UNISBA,

- Syaltut, Mahmud (2000), Fiqih Tujuh Madzhab, Bandung: CV.

Pustaka SetiaKOMPAS: Edisi 16 Desember 2004, Membongkar Akar Ketidakadilan

Nata, Abuddin, (20)

Page 15: Bab i Pendahuluan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1

A. Latar Belakang……………………………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………. 1

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………… 2

A. Pengertian Keadilan………………………………………………….. 4

B. Permasalahan…………………………………………………………. 6

C. Membongkar Akar Ketidakadilan Melalui Pesantren……………….. 7

BAB III PENUTUP……………………………………………………………….. 12

A. Kesimpulan…………………………………………………………… 12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………. 13

Page 16: Bab i Pendahuluan

PENIKAHAN DINI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pendidikan Agama Islam

DOSEN PENGAJAR

Bapak H. Abdul Mutolib

DISUSUN OLEH:

YULITA SARI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)

BINA BANGSA

SERANG-BANTEN 2010

Page 17: Bab i Pendahuluan

KATA PENGANTAR

Rasa syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

keridhoannya saya bisa menyelesaikan makalah ini sesuai yang diharapkan.

Dalam makalah ini saya membahas tentang “PERNIKAHAN DINI”

Makalah in saya buay untuk memenuhi tugas pendidikan agama Islam guna untuk

memperdalam pemahaman kita tentang pernikahan dini, suatu harapan dari saya agar

makalah in diterima dan sebagai ilmu pengetahuan bagi para pembaca semua.

Dalam proses pembuatan makalah ini,tentunya saya mendapatkan

bimbingan,arahan,koreksi dan saran,untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya

saya sampaikan:

1) Allah swt yang selalu memberikan kemudahan dalam pembuatan makalah ini.

2) Bpk.H.Abdul Mutholib selaku dosen mata kuliah “Pendidikan Agama Islam”

3) Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah

ini

Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat.

Serang,16 januari 2010

PENYUSUN

YULITA SARI