32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia telah mengalami berbagai peristiwa dari masa ke masa. Peristiwa satu dengan yang lainnya akan berbeda baik dari segi waktu, tempat, orang yang terlibat maupun bentuk peristiwa yang terjadi. Seluruh peristiwa yang telah dilewati terangkum dalam sejarah hidup. Sejarah yang terjadi pada seseorang akan berbeda dengan orang lainnya. Namun di satu sisi sejarah itu bisa sama karena terjadi secara komunal misalnya sejarah suatu bangsa atau sejarah kebudayaan yang dialami oleh masyarakat tertentu. Kebudayaan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Indonesia memiliki kekayaan kebudayaan yang melimpah ruah baik dalam wujud kebendaan maupun non-kebendaan. Hasil kebudayaan ini banyak tersimpan di museum- museum di Indonesia. Benda-benda bersejarah tersebut juga tersimpan di perpustakaan dan penyimpanan arsip di daerah maupun pusat, sedangkan wujud non-kebendaan biasanya berupa ide atau gagasan maupun tingkah laku yang sampai sekarang masih banyak diaplikasikan dalam masyarakat. Hasil kebudayaan berupa ide-ide atau gagasan masa lampau yang masih dapat dipelajari salah satunya tersimpan dalam naskah. Naskah merupakan wujud budaya yang menyimpan secara tertulis pondasi budaya itu sendiri, yaitu buah pikiran manusia berupa ide/gagasan. Naskah merupakan hasil tulisan tangan peninggalan nenek moyang dari masa lampau yang tertuang dalam media tulis.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112007_bab1.pdf · A. Latar Belakang Kehidupan manusia telah mengalami berbagai peristiwa dari masa ke masa

  • Upload
    dolien

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia telah mengalami berbagai peristiwa dari masa ke masa.

Peristiwa satu dengan yang lainnya akan berbeda baik dari segi waktu, tempat,

orang yang terlibat maupun bentuk peristiwa yang terjadi. Seluruh peristiwa yang

telah dilewati terangkum dalam sejarah hidup. Sejarah yang terjadi pada seseorang

akan berbeda dengan orang lainnya. Namun di satu sisi sejarah itu bisa sama karena

terjadi secara komunal misalnya sejarah suatu bangsa atau sejarah kebudayaan yang

dialami oleh masyarakat tertentu.

Kebudayaan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Indonesia

memiliki kekayaan kebudayaan yang melimpah ruah baik dalam wujud kebendaan

maupun non-kebendaan. Hasil kebudayaan ini banyak tersimpan di museum-

museum di Indonesia. Benda-benda bersejarah tersebut juga tersimpan di

perpustakaan dan penyimpanan arsip di daerah maupun pusat, sedangkan wujud

non-kebendaan biasanya berupa ide atau gagasan maupun tingkah laku yang sampai

sekarang masih banyak diaplikasikan dalam masyarakat.

Hasil kebudayaan berupa ide-ide atau gagasan masa lampau yang masih

dapat dipelajari salah satunya tersimpan dalam naskah. Naskah merupakan wujud

budaya yang menyimpan secara tertulis pondasi budaya itu sendiri, yaitu buah

pikiran manusia berupa ide/gagasan. Naskah merupakan hasil tulisan tangan

peninggalan nenek moyang dari masa lampau yang tertuang dalam media tulis.

2

Media tulis tersebut beragam, ada yang dari kertas, daun rontal, kulit kayu,

bambu, rotan, dan kulit binatang. Media tulis berupa kertas yang biasa digunakan

adalah kertas produk dalam negeri (dluwang). Sedangkan kertas luar negeri yang

biasa digunakan adalah kertas Eropa yang marak didatangkan pada abad ke-18 dan

19 sebagai pengganti dluwang (Hartini, 2012:11).

Pada masa lampau, sebelum Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional,

naskah ditulis dengan bahasa daerah. Robson (1994:2) mengatakan bahwa berbagai

daerah di Indonesia memiliki kesusastraan tertulis yang direkam dalam tulisan asli.

Adapun tradisi naskah ditulis menggunakan 1) tulisan Arab : Aceh, Minangkabau,

Melayu; 2) tulisan Jawa: Jawa, Sunda, Madura, Bali; 3) tulisan Sulawesi: Makasar,

Bugis, Flores; 4) tulisan Sumatera: Toba, Batak, Lampung. Perbedaan tulisan yang

digunakan dalam naskah berkaitan dengan sejarah budaya daerah setempat.

Naskah yang paling banyak jumlahnya adalah naskah Jawa. Hal ini

dikarenakan pusat aktivitas pada masa lampau berpusat di Jawa yang ditandai

dengan keberadaan kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Saat ini, naskah-naskah

tersebut disimpan di tempat penyimpanan arsip, perpustakaan dan museum baik di

dalam maupun luar keraton. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan

bahwa masih ada naskah-naskah di luar tempat penyimpanan tersebut. Seperti

naskah yang ditemukan peneliti yaitu naskah yang tersimpan di tengah masyarakat.

Adapun naskah yang diteliti merupakan milik pribadi saudara Ari Mukti yang

beralamat di Jl. Sri Rejeki no.20, Munggut, Madiun, Jawa Timur, Indonesia. Ari

Mukti mengatakan bahwa naskah tersebut diperoleh dari Gladag. Meskipun asalnya

bukan dari lingkup keraton yang menjadi skreptorium utama pada masanya, namun

penjaringan dan penelitian naskah pribadi layak pula dilakukan sebagai salah satu

3

upaya penyelamatan naskah. Naskah tersebut berjudul Serat Panglipur Tis-Tis,

selanjutnya disingkat SPT. Judul SPT ini tidak tertera pada cover melainkan tertera

di dalam teks.

Gambar 1

Judul Naskah

Berbunyi : “Panglipur Tis-Tis. Kudhandhangan : nglipur tyas kang Tis-Tis/ mrih

jatmika linimput angarang/ sinêrat ingkang katêmbèn”

Terjemahan: “Penghibur Kesedihan. Kuinginkan : menghibur hati yang sedih/

agar menjadi sebuah karangan yang baik/ yang baru saja ditulis”

Secara harfiah Serat Panglipur Tis-Tis terdiri dari tiga kata yaitu: kata serat

berarti buku yang memuat cerita (karya sastra), panglipur dari kata lipur/imur

berarti penghibur, dan Tis-Tis: 1) adhêm; 2) sêpi, sirêp; 3) sêdhih, wêdi

(Poerwadarminta 1939:17-42). Jadi Serat Panglipur Tis-Tis memiliki arti karya

sastra penghibur kesedihan. Naskah SPT merupakan karya sastra yang berisi

tentang cuplikan sejarah di Surakarta sebagai penghibur kesedihan.

Naskah SPT berbentuk tembang atau puisi terdiri dari 8 pupuh, yaitu: 1)

Dhandhanggula, 2) Mijil, 3) Sinom, 4) Pangkur, 5) Kinanthi, 6) Pangkur, 7)

Maskumambang dan 8) Durma. Naskah ini berjumlah 35 halaman, setiap halaman

terdiri dari 24 baris teks, tertulis penuh dari awal sampai akhir halaman. Naskah ini

terdapat mantra, keterangan angka dan nomor I yang tertera pada cover.

4

Gambar 2

Keterangan Angka dan Nomor

Berbunyi : “salaradakatatadapasaga . 1952 .

kadadadamapala – lapalasapalaca

hasagamadanacahasagakagarasa

bapatsadangapata – .

hosi. no. I

Sadamadamasantatajana.”

Isinya : “keterangan yang memuat tentang angka : 1952 : dan nomor I

Naskah SPT tergolong sebagai naskah baru, yaitu sesuai dengan angka yang

tertera pada cover tahun 1952 melalui perkiraan cap kertas dan isi naskah. Selain

itu penggunaan tinta warna biru dan kertas bertuliskan “International Crediet-en

Handelvereeniging Rotterdam” yang merupakan nama bank swasta jaman Belanda

sekitar abad ke-18 dan 19. Menurut Edi Cahyono (dalam Nofiardi, 2013),

perkembangan industri di Indonesia setelah tahun 1870 berkembang pesat. Jaman

yang dikenal sebagai jaman liberal ini direspon sangat baik oleh kalangan swasta

Eropa. Beberapa perusahaan perdagangan swasta mengambil alih peran lembaga

keuangan Nederlandsche Handels Maaatschapij (NHM) pada tahun 1824. Selain

5

itu beroperasi bank-bank swasta, seperti Nederland Indisch Handelsbank (1863),

Rotterdamsche Bank (1863) dan International Crediet-en Handelvereeniging

Rotterdam (1863).

Naskah SPT juga terdapat mantra yang tertulis di dalam cover. Mantra

tersebut digunakan sebagai penolak bala atau sebagai perwujudan doa sebelum

penulisan naskah. Menurut Arif, mantra dalam naskah SPT ini modelnya seperti

mantra carakawalik/carakasungsang. Mantra tersebut dipercaya mampu meruwat

naskah dari keadaan yang tidak baik menjadi baik. Hal ini berkaitan erat dengan isi

naskah SPT yaitu berisi tentang kisah peperangan yang berarti dalam situasi buruk

agar menjadi situasi yang lebih baik (Arif, wawancara 24 Juni 2016).

Langkah awal penelitian filologi yaitu dengan cara mencari sumber data

berupa naskah. Peneliti melakukan penjaringan naskah yang tersimpan di

masyarakat dalam lingkup Surakarta, dalam penjaringan tersebut diperoleh naskah

SPT. Setelah itu dilakukan inventarisasi naskah dengan cara penelusuran judul

maupun isi naskah melalui berbagai katalog, yaitu:

1) Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia (Jennifer Lindstay, 1994).

2) Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3 A-B Fakultas

Sastra Universitas Indonesia (T.E. Behrend & Titik Pudjiastuti,

1998).

3) Katalog Javanese Literature in Surakarta Manuskripts Jilid I dan II

(Nancy K. Florida, 1994).

4) Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum

Sonobudoyo Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990).

6

5) Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid II Keraton

Yogyakarta (T.E. Behrend,dkk 1994).

6) Description Catalogus of The Javanese Manuscripts and Printed

Book in The Main Libreries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet-

Sutanto, 1983).

7) Daftar Naskah Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, Sasana Pustaka

Keraton Kasunanan Surakarta, Perpustakaan Reksa Pustaka

Mangkunegaran, Yayasan Sastra di Surakarta.

Berdasarkan hasil inventarisasi naskah dari berbagai katalog tersebut tidak

ditemukan naskah dengan judul maupun isi yang sama. Maka dapat disimpulkan

bahwa naskah SPT merupakan naskah tunggal. Hal ini cukup masuk akal mengingat

usia naskah yang tergolong masih muda yaitu sekitar tahun 1952 dan merupakan

naskah koleksi pribadi. Naskah dengan kondisi seperti ini sangat kecil

kemungkinannya mengalami tradisi salin-menyalin.

Lebih dalam lagi alasan penelitian ini adalah untuk menguak isi naskah SPT.

Maka dilakukan kajian pustaka terhadap penelitian-penelitian terdahulu sebagai

data pendukung. Dalam kajian pustaka ini terpilih beberapa bahan kajian yang

sesuai dengan isi naskah SPT yaitu mengenai cuplikan peristiwa sejarah dan

penghibur kesedihan (panglipur). Penelitian tersebut antara lain adalah sebagai

berikut.

1) Panglipur Wuyung: Lukisan Sosial Masyarakat Jawa Perkotaan

oleh Aloysius Indratmo, Makalah Seminar. Penelitian ini mengkaji

mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam novel-novel roman

panglipur wuyung. Isi yang disampaikan berupa ajaran moral bagi

7

masyarakat Jawa khususnya generasi muda. Fungsinya sebagai sarana

menolak budaya barat karena banyak generasi muda yang menerima

mentah-mentah unsur-unsur budaya asing. Motifnya “yang asing tidak

baik, yang tradisional baik”.

2) 30 Tahun Indonesia Merdeka (1945-1949) oleh Ginanjar Kartasasmita

dkk, 1985, Buku. Buku ini mencatat berbagai peristiwa-peristiwa penting

di Indonesia yang terjadi pada tahun antara 1945-1949. Peristiwa sejarah

tersebut dijelaskan secara runtut dan disertai ilustrasi gambar.

Penyelamatan maupun perbaikan naskah tidak hanya berlaku untuk naskah

yang sering mengalami kasus penyalinan atau yang jumlahnya jamak saja,

melainkan berlaku juga untuk naskah tunggal. Naskah yang tidak mempunyai

varian seringkali juga mengalami permasalah tatabahasa atau konteks cerita sebagai

akibat pergeseran pemahaman penyalin. Naskah SPT merupakan salah satu naskah

tunggal yang menjadi objek penelitian filologi. Naskah ini ditulis dengan aksara

Jawa carik, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru dengan beberapa

kosakata Bahasa Indonesia. Naskah SPT dipilih sebagai objek kajian penelitian

karena 2 (dua) alasan yaitu segi filologis dan segi isi, dengan uraian sebagai berikut.

1. Segi Filologis

Secara filologis banyak ditemukan varian di dalam naskah SPT.

Varian-varian tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Lacuna: bagian yang terlampaui atau terlewatkan, baik huruf, suku

kata, kata, kelompok kata ataupun kalimat.

Terdapat lacuna suku kata pada pupuh Dhandhanggula

(1/10/8) “kèh janma tan kuwagang” jumlah guru wilangan (jumlah

8

suku kata pada setiap baris) dan jatuhnya dhong-dhing (jatuhnya

bunyi vokal dalam setiap akhir baris) pada baris ke-8 hanya (7a)

seharusnya (8a), sehingga untuk menyesuaikan konvensi tembang

dicari pengganti kata yang sejajar atau tidak mempengaruhi makna.

Kata “tan” merupakan singkatan dari “datan” sehingga opsi yang

paling aman adalah menggantinya menjadi “kèh janma datan

kuwagang”.

Gambar 3

Varian Lacuna 1 (SPT:1)

Berbunyi : 10) “yakinira jaman anyar iki/ kabèh janma wis krasa ing driya/

kandhas ing sanobarine, tan pilih alit agung/ tuwa anom jalu

lan èstri/ sêngkut anambut karya/ tan olih pakewuh/ kèh janma

tan kuwagang/ naggulangi prang sabil ing lair batin/ rina

wêngi abranta//”

Artinya : “yakinilah jaman baru ini, semua manusia sudah merasakannya,

hancur dalam hatinya, tidak pilih kecil besar, tua muda laki-laki

dan perempuan, bekerja dengan keras, tanpa rasa sungkan,

banyak manusia yang tidak berdaya, menanggulangi perang

sabil lahir batin, siang malam susah/sedih.”

Terdapat lacuna suku kata pada pupuh Dhandhanggula

(1/23/4) “praja lor lan kidul” jumlah guru wilangan (jumlah suku

kata pada setiap baris) dan jatuhnya dhong-dhing (jatuhnya bunyi

vokal dalam setiap akhir baris) pada baris ke-4 hanya (6u)

9

seharusnya (7u), sehingga untuk menyesuaikan konvensi tembang

dicari pengganti kata yang sejajar atau tidak mempengaruhi makna.

Kata “lan” merupakan singkatan dari “lawan” sehingga opsi yang

paling aman adalah menggantinya menjadi “praja lor lawan kidul”.

Gambar 4

Varian Lacuna 2 (SPT:5)

Berbunyi : 23. “….praja lor lan kidul/ karya Tis-Tis kaliwula alit/ denya

ngabdi wus lama/ tinilar akundur….”

Artinya : 23 “.…negara utara dan selatan, membuat sedih rakyat kecil,

olehnya mengabdi sudah lama, ditinggalkan pulang (meninggal)….”

b. Adisi: bagian yang kelebihan huruf, suku kata, kata, kelompok kata

ataupun kalimat.

Terdapat kata “kamangnungsanèki” (1/12/1), kata tersebut

kelebihan huruf seharusnya adalah “kamanungsanèki”.

Gambar 5

Varian Adisi 1 (SPT:3)

Berbunyi : “ilang sakèh kamangnungsanèki”

Terjemahan : “hilang sifat kemanusiaannya”

10

Terdapat adisi suku kata pada pupuh Mijil (2/2/5) “lir

sinanapon rêsik” jumlah guru wilangan (jumlah suku kata pada

setiap baris) dan jatuhnya dhong-dhing (jatuhnya bunyi vokal

dalam setiap akhir baris) pada baris ke-5 sebanyak (7i) seharusnya

(6i), sehingga untuk menyesuaikan konvensi tembang dicari

pengganti kata yang sejajar atau tidak mempengaruhi makna. Kata

“sinanapon” merupakan pengulangan kata dari “sinapon”

sehingga opsi yang paling aman adalah menggantinya menjadi “lir

sinapon rêsik”.

Gambar 6

Varian Adisi 2 (SPT:8)

Berbunyi : “…apa manèh kewan gung lan janmi/ lir sinanapon rêsik/

kabèh padha lampus//”

Artinya : “…apalagi hewan besar dan manusia, seperti tersapu bersih,

semuanya mati.”

Terdapat adisi suku kata pada pupuh Mijil (2/11/6) “bangsa

Landi kang kang wus” jumlah guru wilangan (jumlah suku kata pada

setiap baris) dan jatuhnya dhong-dhing (jatuhnya bunyi vokal dalam

setiap akhir baris) pada baris ke-6 sebanyak (7u) seharusnya (6u),

sehingga untuk menyesuaikan konvensi tembang dicari pengganti

kata yang sejajar atau tidak mempengaruhi makna. Kata “kang”

11

mengalami pengulangan kata sehingga dihilangkan salah satu

menjadi “bangsa Landi kang wus”.

Gambar 7

Varian Adisi 3 (SPT:9)

Berbunyi : “….ginêgêm prentahing/ bangsa Landi kang kang wus//”

Artinya : “….digenggam perintahnya, sebagaimana Bangsa Belanda

yang sebelumnya.”

c. Hypercorrect: kesalahan penulisan, maksudnya kesalahan penulisan

dilihat dari acuan ejaan yang baku.

Terdapat kesalah penulisan kata “bêbaya” (1/4/6), menurut

ejaan yang benar penulisan dwi purwa bila ditulis aksara seharusnya

“babaya”. Namun pengarang konsisten menuliskannya sesuai

pelafalan. Misalnya: pêpati, nênuwun, rarêmpon.

Gambar 8

Varian Hypercorrect 1 (SPT:1)

Berbunyi : “ yèn kapêngkok ing bêbaya”

Artinya : “bila menemui bahaya”

12

Terdapat kesalahan penulisan pada kata “pamampin”

(2/13/1), seharusnya menurut ejaan yang benar “pamimpin”.

Gambar 9

Varian Hypercorrect 2 (SPT:9)

Berbunyi : “duk anampi aturing pamampin”

Artinya : “dalam menerima perintah pemimpin”

d. Variasi Penulisan dan style penulisan

1) Penggunaan angka Arab dalam penomoran halaman

Gambar 10

Nomor Halaman

2) Penggunaan kosakata bahasa Indonesia

Naskah SPT tergolong naskah baru sekitar tahun 1952

(berdasarkan keterangan cover) sehingga sangat mungkin kosakata

Bahasa Indonesia turut mempengaruhi bahasa naskah. Kosakata

Bahasa Indonesia dalam naskah ini, antara lain: semangatan,

pandhudhuk, gembira, ropeblik, nylidhiki, sepanjang.

13

3) Penggunaan tanda titik dua ( : ) untuk menandakan suatu kata kunci

dalam cerita serta digunakan untuk menjelaskan suatu maksud atau

makna suatu kata.

Penggunaan tanda titik dua ( : ) untuk menandakan suatu kata

kunci. Misalnya pada kata “kudhandhangan” yang berarti

‘kuinginkan’ sebagai kata kunci utama yang digunakan pengarang

untuk menjelaskan tujuan penulisan naskah SPT.

Gambar 11

Tanda Titik Dua ( : ) sebagai Kata Kunci (SPT:1)

Berbunyi : “kudhandhangan : nglipur tyas kang tis-tis”

Artinya : “kuinginkan : menghibur hati yang sedih”

Penggunaan tanda titik dua ( : ) untuk menjelaskan

maksud/makna suatu kata. Kata “utama” dijelaskan lebih lanjut

sesuai konteks cerita yaitu sifat seorang prajurit yang berani atau

tidak takut mati dalam peperangan.

Gambar 12

Tanda Titik Dua ( : ) sebagai Penjelas Makna Kata (SPT:6)

14

Berbunyi : “….prasêtyane jurit utami/ utama : sirna jroning prang/ luhur

asmanipun/ nadyan mungsuh yutan wendran….”

Artinya : “.…janjinya para prajurit utama, utama : mati dalam peperangan, luhur

namanya, walaupun musuh berjuta-juta….”

4) Penggunanaan penanda mandrawa dan penanda pada tiap pergantian

pupuh dan bait tembang. Selain itu juga terdapat sasmita tembang.

Gambar 13

Penanda Mandrawa tiap Pergantian Pupuh Tembang

Gambar 14

Penanda Pada untuk Pergantian Bait Tembang

Gambar 15

Sasmita Tembang (SPT:20)

Berbunyi : “Kinanthi karya pêpemut”

Artinya : “Kinanthi sebagai pengingat”

15

2. Segi Isi

Isi dari naskah SPT ini adalah cuplikan peristiwa sejarah Kemerdekaan

Indonesia (1942-1945) khususnya di Surakarta dan hikmah di balik peristiwa

sejarah. Peristiwa tersebut tentang peperangan untuk memperoleh dan

mempertahankan kemerdekaan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang di

Indonesia. Alur cerita yang ditampilkan berdasarkan urutan waktu yang runtut yaitu

dari tahun 1942 hingga 1945. Selain itu juga terdapat hikmah atau buah pelajaran

yang dapat diambil dari peristiwa tersebut. Berdasarkan ikhtisar ini maka

penjelasan tentang isi naskah dibagi menjadi empat subbab, yaitu:

a. Sejarah kemerdekaan Indonesia (1942-1945), termuat dalam pupuh 1-3

b. Peristiwa Heroik di Surakarta (27 September 1945), termuat dalam pupuh

4-6

c. Pertempuran Surabaya (10 November 1945), termuat dalam pupuh 7-8

d. Hikmah di Balik Peristiwa Sejarah: Arti Kemerdekaan bagi Manusia

Seluruh cuplikan cerita yang ada di dalam naskah SPT ber-setting tempat di

Surakarta meskipun sejarah umumnya bertempat di Surabaya. Hal ini menerangkan

bahwa tujuan si pengarang ialah ingin menampilkan situasi atau keadaan sosio-

budaya masyarakat di Surakarta melalui peristiwa-peristiwa besar. Misalnya seperti

dalam cerita b. Peristiwa Heroik di Surakarta (27 September 1945). Jika di sumber-

sumber sejarah lebih banyak menceritakan Insiden Bendera di Surabaya (19

September 1945). Naskah SPT justru menjelaskan keadaan di Surakarta bahwa

pemuda di Surakarta juga melakukan aksi yang sama yaitu penurunan bendera pada

tanggal 27 September, berikut cuplikannya.

16

Gambar 16

Cuplikan Peristiwa Heroik di Surakarta (SPT:18)

Berbunyi : “1) pangkur trusaning mardika/ nunggil sasi kadya kasêbut ing inggil/

nuju tanggal pitulikur/ tumrap ing Surakarta/ wus kaèksi pemudha ingkang

angrêbut/ gêndera liyaning praja/ sinalin bandera nagri//”

Artinya : “teks pangkur setelah merdeka, sama bulannya seperti di atas

(September), pada tanggal 27, di Surakarta, sudah terlihat pemuda yang merebut,

bendera negara lain (Jepang), diganti bendera negara (Indonesia).”

Tindakah heroik di berbagai daerah umumnya para pemuda melakukan

peperangan dengan cara merebut tempat-tempat strategis dan melucuti senjata

Jepang. Tindakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan. Dalam

peristiwa tersebut terjadi pertempuran rakyat dengan Jepang di markas Kempeitai

dan gugur pemuda Arifin (http://newrulblog.blogspot.co.id : Mei 2011).

Upaya perebutan kemerdekaan tahun 1945 hingga Indonesia diakui secara

de jure pada tahun 1949 dilalui dengan berbagai banyak peperangan yang

terangkum dalam peristiwa agresi militer II. Banyak sekali penjajahan yang masuk

ke Indonesia mulai dari Inggris, Jepang, dan Belanda. Akibatnya rakyat Indonesia

mengalami kesengsaraan, kelaparan bahkan kematian. Selain itu, diadakannya kerja

paksa (Romusha) semakin memperparah keadaan ekonomi Indonesia khususnya di

Surakarta. Diceritakan dalam naskah SPT, di Surakarta mengalami krisis ekonomi:

harga pangan melambung tinggi, masyarakat tidak memiliki penghasilan karena

17

tekanan Romusha. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mampu memenuhi

kebutuhan sandang dan pangan, sehingga melatarbelakangi terjadinya peperangan

untuk memperoleh kemerdekaan.

Dari cuplikan sejarah yang ditampilkan terkandung hikmah sebagai bentuk

penghibur kesedihan bagi masyarakat, khususnya orang Jawa. Hikmah yang dapat

dipetik, antara lain: manusia yang ingin merdeka haruslah berusaha/berikhtiar dan

bersabar setelahnya diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

B. Batasan Masalah

Batasan masalah dari penelitian ini terfokus pada dua kajian, yaitu kajian

filologis dan kajian isi. Kajian filologis digunakan untuk mengupas permasalahan

filologi yaitu uraian-uraian di dalam naskah melalui cara kerja filologi. Kajian isi

berfungsi untuk mengungkap isi yang terkandung dalam naskah SPT.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian naskah SPT adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana suntingan teks naskah SPT yang bersih dari kesalahan?

2. Bagaimana isi yang terkandung dalam naskah SPT?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut.

1. Menyajikan suntingan teks naskah SPT yang bersih dari kesalahan.

2. Mengungkapkan isi yang terkandung dalam naskah SPT.

18

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni

manfaat teoretis dan manfaat praktis sebagai berikut.

1. Manfaat teoretis

a. Menambah kajian naskah manuskrip.

b. Menumbuhkan minat peneliti lain dari berbagai disiplin ilmu.

c. Memberi kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan lain yang

relevan.

2. Manfaat praktis

a. Menyelamatkan data naskah SPT dari kerusakan atau hilangnya data

dalam naskah.

b. Mempermudah pemahaman isi naskah SPT.

c. Memberi kontribusi dan membantu peneliti lain untuk mengkaji lebih

lanjut naskah SPT dari berbagai disiplin ilmu yang relevan.

F. Kajian Teori

1. Pengertian Filologi

Filologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang naskah dan teks.

Naskah dan teks tersebut merupakan naskah dan teks lama yang berisi cerita pada

masa lampau. Secara etimologi kata filologi berasal dari bahasa Yunani, philologia

yang berasal dari kata philos dan logos. Philos artinya ‘teman’ dan logos artinya

‘pembicaraan’ atau ‘ilmu’. Maka pengertian filologi adalah ‘senang kata-kata’ atau

19

‘senang bertutur’, kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’, ‘senang ilmu’,

dan ‘senang kesastraan’ atau ‘senang kebudayaan’ (Baried,dkk,1985:1). Menurut

Achadiati Ikram (1997:1), filologi dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari

segala segi kehidupan di masa lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan. Di

dalamnya tercakup bahasa, sastra, adat istiadat, dan lain sebagainya.

Menurut Edwar Djamaris (2002:3), filologi adalah suatu ilmu yang objek

penelitiannya naskah-naskah lama. Selain itu, Boekh mengatakan bahwa filologi

mempunyai arti ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui

orang (Wellek dalam Chamamah, 2003:8). Pada dasarnya filologi merupakan

pengetahuan yang menginformasikan tentang cerita masa lampau. Cerita tersebut

ditulis dengan tulisan Jawa, tulisan Arab, tulisan Sulawesi dan tulisan Sumatera.

Filologi juga mempelajari tentang kebahasaan, sejarah, filsafat hidup dan

kebudayaan yang ada dalam naskah.

2. Objek Filologi

Objek kajian filologi berupa naskah dan teks yang menyimpan berbagai

ungkapan pikiran/gagasan sebagai hasil kebudayaan. Menurut Hartini (2012:10),

objek penelitian filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan

pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau. Semua bahan tulisan

tangan tersebut adalah naskah. Siti Baroroh Baried, dkk (1985:6), juga

mengemukakan bahwa filologi mempunyai objek penelitian yaitu naskah dan teks.

Naskah merupakan tulisan tangan (handscript atau manuscript), sedangkan teks

merupakan kandungan atau isi naskah yang hanya dapat dibayangkan saja dan

memuat berbagai ungkapan pikiran penulis yang disampaikan pada pembaca.

20

Naskah dan teks merupakan satu kesatuan yang utuh. Teks merupakan isi

dari naskah, sedangkan naskah merupakan wadah dari teks. Pengertian teks dalam

Kamus Istilah Filologi (1977:46), adalah kata, kalimat, yang membentuk suatu

tulisan atau karya tulis. Teks dalam ilmu filologi menunjukkan sesuatu yang

abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang konkret memiliki wujud fisik.

Naskah dan teks berkaitan erat karena naskah dapat membantu mengungkapkan

hal-hal lain mengenai teks berdasarkan wujud fisiknya.

3. Langkah Kerja Penelitian Filologi

Kerja seorang fililog dalam mengkaji naskah dan teks bertujuan untuk

mengungkap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam teks. Oleh karena itu, perlu

dilakukan penelitian untuk mencapai tujuan tersebut. Seorang filolog ketika

melakukan penelitian filologi diawali dengan kegiatan pengumpulan naskah

kemudian naskah yang telah ditemukan perlu dilakukan prosedur pengkajian.

Menurut Dwi Sulistyorini (2015:80), langkah-langkah dalam penelitian naskah,

antara lain: pencatatan dan pengumpulan naskah, kritik teks, rekontruksi teks, dan

analisis menggunakan prosedur kajian filologi.

Langkah kerja penelitian filologi menurut Edwar Djamaris (2002: 10),

meliputi pengumpulan data dengan inventarisasi naskah, deskripsi naskah,

pertimbangan dan pengguguran naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang asli

atau naskah yang berwibawa, transliterasi naskah, suntingan teks. Masyarakat

Pernaskahan Nusantara (Manassa) merumuskan langkah kerja dalam penelitian

filologi terdiri atas penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah, observasi

pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah, dan penerjemahan teks.

21

Penelitian filologi menggunakan langkah kerja yang disesuaikan dengan kondisi

naskah tersebut jamak atau tunggal.

Penanganan untuk naskah SPT menggunakan langkah kerja menurut Edwar

Djamaris. Tetapi dalam praktiknya terdapat modifikasi dengan tidak menggunakan

langkah perbandingan naskah atau pertimbangan dan pengguguran naskah. Hal ini

dikarenakan naskah SPT merupakan naskah tunggal yang tidak ada naskah lain

sebagai pembandingnya. Langkah kerja yang digunakan menjadi inventarisasi

naskah, deskripsi naskah, transliterasi, suntingan teks dan aparat kritik. Selain itu

Edwar Djamaris (2002:9) mengungkapkan, tugas penelitian filologi adalah

mentranliterasi dan menerjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke

bahasa Indonesia.

Secara terperinci, langkah kerja penelitian filologi naskah SPT adalah

sebagai berikut:

a. Inventarisasi Naskah

Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian filologi ialah

pengumpulan data berupa inventarisasi naskah. Pengumpulan data itu

dilakukan dengan dua metode yaitu studi pustaka dan studi lapangan.

Metode studi pustaka dilakukan dengan cara inventarisasi naskah melalui

katalog naskah yang terdapat di tempat-tempat penyimpanan naskah seperti

perpustakaan dan museum. Metode studi lapangan adalah dengan

melakukan penelusuran naskah yang tersimpan di masyarakat. Penelusuran

naskah ini dilakukan karena ada sebagian golongan masyarakat yang

menganggap naskah sebagai benda berharga, maka perlu disimpan dan

22

hanya kalangan tertentu yang boleh membacanya (Edwar Djamaris,

2002:10).

Data yang diperlukan dalam objek penelitian filologi berupa naskah

dan teks. Naskah sendiri memiliki banyak ragam demikian pula isi yang

terkandung di dalam naskah tersebut. Ada naskah yang bertuliskan huruf

Arab, Jawa, Bali, Sasak, dan Batak. Ada pula naskah yang menggunakan

media tulis kertas, daun lontar, kulit kayu, dan rotan. Dari segi bentuk

terdapat naskah yang berbentuk puisi dan prosa. Naskah juga memiliki

keragaman isi berdasarkan jenisnya antara lain adalah sejarah atau babad,

kesusatraan, cerita wayang, cerita dongeng, primbon, adat istiadat, ajaran

atau piwulang, agama, dan lain sebagainya.

Inventarisasi naskah pada penelitian ini dilakukan dengan metode

studi lapangan terlebih dahulu yaitu mencari naskah yang tersimpan di

masyarakat. Masyarakat yang dituju adalah masyarakat Jawa karena naskah

yang dijadikan objek penelitian adalah naskah Jawa carik. Setelah

menemukan naskah SPT kemudian dilakukan metode studi pustaka dengan

cara pendataan dan pengumpulan naskah yang berjudul sama atau sejenis

pada katalog naskah yang tersedia. Langkah tersebut dilakukan untuk

mengetahui jumlah naskah, tempat penyimpanan, maupun penjelasan lain

mengenai keadaan naskah.

b. Deskripsi Naskah

Naskah yang akan dijadikan sebagai objek penelitian selanjutnya

dideskripsikan apa adanya. Deskripsi naskah adalah uraian ringkas naskah

secara terperinci. Deskripsi naskah penting dilakukan untuk mengetahui

23

kondisi naskah yang akan diteliti. Deskripsi naskah merupakan sarana untuk

memberikan informasi atau data mengenai judul naskah, nomor naskah,

ukuran naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, bahasa, kolofon dan garis

besar isi cerita (Edwar Djamaris, 2002:11). Apabila melakukan deskripsi

naskah, perlu mengetahui wujud langsung naskah yang akan diteliti. Hal

tersebut dilakukan untuk mengecek data dan mendapatkan informasi yang

sebenarnya tentang naskah.

c. Transliterasi

Naskah kebanyakan ditulis dalam huruf Arab (Pegon) atau huruf

daerah (aksara Jawa) sehingga perlu ditransliterasikan terlebih dahulu agar

mudah dibaca. Transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi

huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam proses transliterasi ini

peneliti memiliki dua tugas pokok yaitu yang pertama, peneliti filologi

menjaga kemurnian bahasa dalam naskah, khususnya penulisan kata. Hal

ini bertujuan melindungi data mengenai bahasa lama dalam naskah agar

tidak hilang. Tugas yang kedua adalah menyajikan teks sesuai dengan

pedoman ejaan yang berlaku sekarang untuk memudahkan pembacaan dan

pemahaman terhadap teks (Edwar Djamaris, 2002:19).

Penyajian bahan transliterasi harus selengkap-lengkapnya dan

sebaik-baiknya agar mudah dibaca dan dipahami. Transliterasi dilakukan

dengan menyusun kalimat yang jelas disertai tanda-tanda baca yang teliti.

Dalam transliterasi ini digunakan beberapa kamus untuk menyesuaikan

ejaan yang berlaku. Kamus tersebut antara lain: Bausastra Djawa karangan

24

W.J.S Poerwadarminta dan Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) karangan

Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta.

d. Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya yang

bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah

yang dikritisi. Suntingan teks diberikan agar memudahkan pembacaan dan

pemahaman teks. Menurut Edwar Djamaris (2002:24), penyuntingan teks

dapat dibedakan dalam dua hal, pertama penyuntingan naskah tunggal dan

penyuntingan naskah jamak. Kemudian untuk metode penyuntingannya

dibagi menjadi beberapa cara. Misalnya dalam penyuntingan naskah

tunggal bisa menggunakan metode edisi standar atau metode edisi

diplomatik disesuaikan kebutuhan.

Suntingan teks naskah SPT yang merupakan naskah tunggal

menggunakan metode edisi standar. Baried (1985:68), mengatakan bahwa

edisi standar disebut juga edisi kritik. Edisi kritik yaitu menerbitkan naskah

dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan serta

ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Kesalahan-kesalahan

tersebut selanjutnya dicatat dalam aparat kritik.

Menurut Darusuprapta (1984:8), aparat kritik adalah uraian tentang

kelainan bacaan, yaitu bagian yang merupakan pertanggungjawaban ilmiah

dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks. Aparat kritik berisi

segala macam kelainan dalam naskah yang diteliti baik kata-kata maupun

bacaannya. Tujuan dari adanya aparat kritik ialah agar pembaca dapat

25

mengecek kembali bagaimana bacaan naskah dan bila perlu pembaca dapat

membuat penafsiran sendiri.

e. Terjemahan

Terjemahan adalah pengalihan bahasa sumber ke bahasa sasaran

dengan mempertahankan makna yang ada. Makna tersebut harus lengkap

dan terperinci. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam memahami isi

teks dari suatu naskah. Dengan adanya terjemahan maka masyarakat yang

tidak menguasai bahasa naskah dapat membaca isi naskah dan naskah dapat

disebarluaskan (Darusuprapta, 1984:27). Dalam tingkat terjemahan,

antarseorang peneliti dengan peneliti yang lainnya memiliki potensi yang

berbeda. Hal ini disebabkan karena kemampuan dari peneliti untuk

menemukan arti yang lebih tepat dari sebuah kata yang belum diketahui

artinya dengan pasti (Edi Sedyawati, 1998:3).

Naskah SPT merupakan naskah yang ditulis menggunakan huruf

Jawa dan menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu, agar teks dalam

naskah SPT ini dapat dibaca, dipahami, dan dinikmati seluruh lapisan

masyarakat Indonesia perlu adanya terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia.

4. Penghibur Kesedihan : Hikmah di Balik Peristiwa Sejarah

Sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu syajara yang berarti terjadi, syajarah

berarti pohon, syajarahan-nasab berarti pohon silsilah. Dalam kamus bahasa

Inggris, “history study of past event, esp the polical, social, and economic

develompment of a country, a continent or the world” (Oxford Dictionary, 1992).

Sejarah adalah mempelajari peristiwa masa lampau, seperti politik, sosial, dan

perkembangan ekonomi suatu negara, suatu benua atau dunia. Dalam KBBI

26

pengertian sejarah adalah asal usul (keturunan) silsilah, kejadian dan peristiwa yang

benar-benar terjadi pada masa lampau; riwayat tambo (2007:1011).

Menurut Kuntowijaya (1995:17), sejarah adalah rekonstruksi masa lalu.

Peristiwa yang terjadi di masa lampau menjadi bagian-bagian dalam penyusunan

kembali sejarah. Sejarah memberikan banyak informasi yang dapat diolah untuk

tujuan-tujuan tertentu misalnya untuk mengungkap hal-hal yang telah terjadi.

Selain mendefinisikan sejarah, Kuntowijaya juga membagi kegunaan sejarah ada

dua yaitu secara instrinsik dan ekstrinsik. Kegunaan sejarah secara instrinsik di

antaranya: sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai mengetahui masa lampau, sejarah

sebagai pernyataan pendapat, dan sejarah sebagai profesi. Kegunaan sejarah secara

ekstrinsik antara lain: sejarah sebagai pendidikan moral, sejarah sebagai pendidikan

penalaran, sejarah sebagai pendidikan politik, sejarah sebagai pendidikan

kebijakan, sejarah sebagai pendidikan perubahan, sejarah sebagai pendidikan masa

depan, sejarah sebagai keindahan, sejarah sebagai ilmu bantu, sejarah sebagai latar

belakang, sejarah sebagai rujukan, dan sejarah sebagai bukti.

Naskah SPT ini merupakan naskah yang menceritakan tentang peristiwa

sejarah. Berdasarkan kegunaan sejarah, naskah SPT memiliki kegunaan instrisik

sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau dan secara ekstrinsik sejarah sebagai

pendidikan moral. Kegunaan dari sejarah ini, selain sebagai cara mengetahui

peristiwa masa lampau sejarah juga sebagai sarana pembelajaran masa kini. Bentuk

pembelajaran itu beragam salah satunya adalah ajaran maupun nilai-nilai moral

tertentu. Naskah SPT memuat ajaran moral berupa hikmah di balik peristiwa sejarah

yang ada. Hikmah adalah buah pelajaran atau pesan yang dapat diambil dari sebuah

cerita.

27

Pengertian hikmah dalam KBBI adalah arti atau makna yang dalam;

manfaat; wejangan yang penuh – berguna, bermanfaat dan memiliki kesaktian.

Hikmah yang disampaikan dalam naskah SPT adalah bagaimana masyarakat

menyikapi peristiwa pedih yang menimpa mereka pada saat itu. Manusia yang ingin

merdeka harus selalu berusaha/berikhtiar dan bersabar setelahnya diserahkan

kepada Yang Maha Esa. Bentuk penghibur kesedihannya terletak pada upaya

manusia dalam berikhtiar, karena hidup dan mati, beruntung dan celaka, kaya dan

miskin, senang dan susah merupakan takdir seorang makhluk. Walaupun

menyelamatkan diri sampai ke langit bila sudah tiba kematiannya, akhirnya jatuh

juga terpendam bumi. Adapula yang menganggap bahwa manusia yang kaya itu

adalah manusia yang luhur, padahal harta benda tidak dibawa mati. Ada dua perkara

yang harus dipilih. “Berat di harta atau berat di raga” jika berat di raga maka

tinggalkan harta dan sebaliknya. Namun manusia yang luhur adalah yang

memberatkan keduanya dengan cara menggunakan potensi raga dan harta dengan

sebaik-baiknya serta bermanfaat bagi sesamanya.

G. Metode Penelitian

1. Bentuk dan Jenis Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian filologi dengan objek kajiannya

manuskrip. Penelitian filologi bertujuan untuk mendapatkan kembali naskah yang

bersih dari kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan agar mendapatkan naskah

yang asli atau yang paling mendekati aslinya (Haryati Soebadio dalam Edwar

Djamaris, 2002:7). Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang berarti semata-

28

mata menggambarkan, melukiskan, menuliskan, melaporkan objek penelitian

berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya, hasil penelitian

diuraikan dalam bentuk kata-kata bukan angka. Pendekatan deskriptif kualitatif

menurut Sutopo (2002), bahwa semua hal yang berupa sistem tanda tidak ada yang

patut diremehkan, semuanya penting dan semuanya mempunyai pengaruh dan

berkaitan satu sama lain. Mendeskripsikan segala sistem tanda (semiotik) mungkin

akan membentuk dan memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif

terhadap apa yang dikaji.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan atau library

research, yaitu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan. Data dan

informasi tentang objek penelitiannya diperoleh dari buku-buku atau alat-alat

audiovisual lainnya (Atar Semi, 1993:8).

2. Sumber Data dan Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu menghasilkan atau

memberikan data. Sumber data jenisnya sangat beragam, bisa berupa orang,

peristiwa, tempat, benda serta dokumen atau arsip (Sutopo, 2002:49). Berdasarkan

objek kajian filologi, maka yang menjadi sumber data dari penelitian filologi adalah

naskah (manuskrip/handskrip). Sumber data dari penelitian ini adalah naskah

berjudul Sêrat Panglipur Tis-Tis yang diperoleh dari saudara Ari Mukti beralamat

di jalan Sri Rejeki no. 20, Munggut, Madiun, Jawa Timur. Berdasarkan hasil dari

pengumpulan data atau inventarisasi naskah menggunakan metode studi lapangan

dan metode studi pustaka didapati bahwa naskah SPT adalah naskah tunggal, karena

tidak ditemukan naskah lain dengan judul ataupun isi yang sama.

29

Data adalah yang dihasilkan dari sumber data. Data dalam penelitian ini

dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah

data utama yang digunakan dalam penelitian. Data primer dalam penelitian ini

adalah varian teks serta isi/kandungan teks dalam naskah SPT. Naskah SPT berisi

cuplikan peristiwa sejarah kemerdekaan Indonesia, khususnya di Surakarta. Data

sekunder yang digunakan sebagai pendukung atau penunjang dalam penelitian ini

adalah buku-buku dan artikel ilmiah yang terkait dengan penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data sangat tergantung dari jenis sumber datanya.

Apabila sumber datanya manusia atau informan, maka teknik pengumpulan datanya

dengan wawancara, bila tempat, benda atau peristiwa dengan teknik observasi.

Demikian pula sumber datanya dokumen atau arsip, maka diperlukan kajian isi

‘content analysis’ (Sutopo, 2002:144). Teknik pengumpulan data dalam penelitian

ini dilakukan dengan metode studi pustaka. Pertama, dilakukan pencarian naskah

dengan teknik observasi yaitu melakukan penjaringan naskah di masyarakat yang

menjadi kepemilikan pribadi. Hasil observasi tersebut diperoleh naskah koleksi

pribadi milik saudara Ari Mukti yang berjudul Sêrat Panglipur Tis-Tis. Peneliti

kemudian meminjam naskah tersebut dari pemiliknya untuk diteliti. Selain itu

dilakukan pengambilan gambar naskah menggunakan kamera digital.

Kedua, melakukan inventarisasi naskah dari berbagai katalog untuk

menelusuri naskah yang tersimpan di berbagai perpustakaan, museum maupun

tempat penyimpanan arsip. Hal ini untuk mengetahui kondisi data yang diperoleh

tunggal atau jamak. Tahap inventarisasi diawali dengan melihat dari katalog-

katalog naskah yang ada di lingkup Surakarta dan Yogyakarta. Kemudian dilakukan

30

survey secara langsung ke tempat penyimpanan naskah tersebut. Hasil inventarisasi

tersebut diperoleh bahwa naskah SPT merupakan naskah tunggal. Selanjutnya

dilakukan langkah kerja filologi meliputi: deskripsi naskah, transliterasi, suntingan

teks dan aparat kritik. Selain itu, untuk mendapatkan data pendukung dilakukan

metode content analysis dari buku-buku dan artikel ilmiah.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis data secara

filologis dan analisis isi. Analisis data secara filologis menggunakan cara

penyuntingan naskah tunggal dengan metode edisi standar (Baried, 1994:109).

Metode edisi standar adalah menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-

kesalahan dan pembetulan dicatat di tempat khusus (aparat kritik) agar selalu dapat

diperiksa dan dibandingkan bacaan naskah sehingga masih memungkinkan

penafsiran lain oleh pembaca (Robson, 1994:25). Menurut Edwar Djamaris

(2002:24), metode standar adalah metode yang biasa digunakan dalam

penyuntingan teks naskah tunggal yang tidak mengandung teks yang dianggap suci

atau penting, sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa. Hal-

hal yang perlu dilakukan dalam metode standar yaitu:

a. Mentraliterasikan teks;

b. Membetulkan kesalahan teks;

c. Membuat catatan perbaikan/perubahan;

d. Memberi komentar, tafsiran (informasi di luar teks);

e. Membagi teks dalam beberapa bagian; dan

f. Menyusun daftar kata sukar (glossari).

31

Analisis data kedua adalah analisis data berupa isi. Analisis data pada kajian

isi dilakukan setelah suntingan teks dan aparat kritik. Analisis isi menggunakan

metode interpretasi isi yang terkandung dalam naskah atau teks. Dalam KBBI

(2007) interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoretis

terhadap sesuatu. “Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan

makna yang lebih mendalam dan luas dengan meninjau secara kritis data yang

diperoleh dengan teori yang relevan” (Meleong, 2007:151). Interpretasi adalah cara

kerja dari teks ke metafor, yaitu transkripsi dari bahasa tulis ke bahasa lisan.

Kemudian hasil dari interpretasi tersebut dijelaskan kembali (explanation) dari

bahasa tulis ke bahasa lisan sesuai dengan pemahaman peneliti (Ricoeur,

2014:197). Teknik interpretasi digunakan untuk memaparkan isi naskah melalui

berbagai sudut pandang peneliti.

Simpulan akhir merupakan jawaban atas tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian ini. Penarikan simpulan didasarkan pada analisis data dengan menyajikan

hasil suntingan teks yang bersih dari kesalahan dan menelaah isi teks tersebut.

H. Sistematika Penulisan

I. Pendahuluan

Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, batasan

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian

teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

II. Analisis Data

Analisis data diawali dengan pembahasan kajian filologis dan

pembahasan kajian isi.

32

III. Penutup

Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar

pustaka, lampiran-lampiran dari naskah SPT.