38
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman otoriter pers dikekang oleh pemerintah, karena pada saat itu jurnalisdipaksa patuh dan tidak boleh mengkritisi apa yang menjadi kebijakannya. Media diwajibkan mendukung keputusan tersebut dengan cara mensosialisasikan ke publik. Media yang membantah otomatis akan dicabut izin pernerbitannya. Bukan hanya itu, wartawan yang melakukan peliputan yang merugikan pemerintah akan dijebloskan ke penjara. Indonesia mengalami sistem pers jenis ini saat pemerintahan Rezim Soeharto. Saat itu semua kegiatan Pers diatur oleh pemerintah dan mereka juga harus mendukung apa yang dikehendaki. Bahkan, bukan hanya pers umum saja, sampai pers mahasiswa saat itu juga terkena imbasnya. Namun, Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pers tidak dikekang lagi karena mereka sudah melewati beberapa zaman diantaranya adalah pers bebas, pers bertanggung jawab sosial, dan masih ada beberapa zaman lagi (Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2006: 19). Pengertian pers dibagi menjadi dua yaitu luas dan sempit. Pers dalam arti sempit adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi dengan perantara barang cetakan. Pers dalam arti luas adalah yang menyangkut kegiatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.ums.ac.id/25993/2/BAB_I.pdf · A. Latar Belakang ... Pemilik media yang terlindungi dari persaingan ... dimana saat perang dunia pertama

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman otoriter pers dikekang oleh pemerintah, karena pada saat

itu jurnalisdipaksa patuh dan tidak boleh mengkritisi apa yang menjadi

kebijakannya. Media diwajibkan mendukung keputusan tersebut dengan cara

mensosialisasikan ke publik.

Media yang membantah otomatis akan dicabut izin pernerbitannya.

Bukan hanya itu, wartawan yang melakukan peliputan yang merugikan

pemerintah akan dijebloskan ke penjara. Indonesia mengalami sistem pers

jenis ini saat pemerintahan Rezim Soeharto. Saat itu semua kegiatan Pers

diatur oleh pemerintah dan mereka juga harus mendukung apa yang

dikehendaki. Bahkan, bukan hanya pers umum saja, sampai pers mahasiswa

saat itu juga terkena imbasnya.

Namun, Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pers

tidak dikekang lagi karena mereka sudah melewati beberapa zaman

diantaranya adalah pers bebas, pers bertanggung jawab sosial, dan masih ada

beberapa zaman lagi (Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2006: 19).

Pengertian pers dibagi menjadi dua yaitu luas dan sempit. Pers dalam

arti sempit adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi dengan perantara

barang cetakan. Pers dalam arti luas adalah yang menyangkut kegiatan

2

komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media

elektronik.

Sebelum menjadi sebuah produk, perusahaan pers perlu mencari

bahan-bahan dan melewati beberapa proses produksi. Insan pers akan

melewati beberapa tahapa seperti Biaya produksi, Sumber Daya,

Pemerintahan, dan Iklan.Sumber daya mencakup dua hal yaitu Sumber Daya

Manusia (SDM) dan teknologi. Biaya produksi terkait dengan besarnya

pengeluaran seperti gaji wartawan, biaya cetak, biaya promosi.

Pemerintah berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan tentang

peraturan pers. Iklan berpengaruh terhadap besarnya biaya produksi karena

suntikan dana yang diperoleh media kebanyakan dari iklan.

Media massa hadir sebagai bisnis demi mendapatkan keuntungan dari

khalayak dan pengiklan. Laba yang diperoleh tersebut tidak hanya digunakan

untuk biaya produksi saja. Pemilik media yang terlindungi dari persaingan

bisa memilih membelanjakan, atau tidak, bunga ekonominya pada proyek

yang kurang menguntungkan, seperti propaganda politik (WBI 2006 : 215).

Bukan jadi rahasia lagi sekarang ini banyak pemilik media yang terjun

dalam bidang politik. Di Indonesia sendiri ada contoh yang mencolok,

misalnya Aburizal bakrie dengan medianya ANTV, Tv one, Viva News. Di

pihak lain ada Surya paloh dengan medianya Metro tv dan Media Indonesia.

Abu Rizal Bakrie mengikuti partai Golkar dan Surya Paloh menggawangi

Nasional Demokrat.

3

Sebelumnya, Demsetz (1989) dan Lehn (1985) membuat hipotesis

bahwa “amenity potential” yang dikenal sebagai keuntungan pribadi yang

diperoleh dari pengawasan (Grossman dan Hart 1988). Artinya, Manfaat

nonfinansial seperti nama dan pengaruh dari kepemilikan surat kabar atau

televisi lebih tinggi dari pada pemilik perusahaan tutup botol (WBI 2006 :

179).

Pembentukan pendapat atau perang kata-kata sudah ada sejak zaman

dahulu, dimana saat perang dunia pertama teknik propaganda ini dianggap

paling mampu menguasai peperangan. Bahkan, setelah Amerika menerbitkan

buku berjudul Words That Won the War (Kata-Kata yang Memenangkan

Perang) tidak mengherankan orang-orang begitu peduli pada teknik ini

menjelang perang dunia ke dua.

Propaganda dalam artian paling luas adalah teknik mempengaruhi

tindakan manusia dengan memanipulasi reprentasi (penyajian) . Representasi

bisa berbentuk lisan maupun tulisan, gambar atau musik (Lasswell) dalam

teori komunikasi Werner J Severin dan James W. Tankard, Jr (2011: 128).

Lasswell menjelaskan salah satu teknik paling efektif untuk mencapai

satu diantara empat tujuan utama propaganda adalah menumbuhkan kebencian

terhadap musuh.Pada tahap selanjutnya, produksi memerlukan skala dan

investasi modal yang besar. Banyak sajian hiburan gagal menarik minat

masyarakat, dan karena itu media memerlukan bermacam jenis kepemilikan

untuk mengantisipasi risiko yang harus ditanggungya.

4

Selain itu, dalam dunia penerbitan surat kabar, peran editor sangat

penting. Seleksi atau editing sajian kemasan adalah fungsi yang krusial dalam

setiap media massa. Dari puluhan ribu pesan yang berebut perhatian dan uang

dari publik, hanya beberapa yang berhasil secara finansial.

Graeme Burton menjelaskan jika proses produksi media merupakan

suatu proses yang merujuk pada bisnis produksi atau rangkaian peristiwa yang

berakumulasi pada penerimaan audiens. Ia juga mengkaitkan proses produksi

dengan konsep-konsep komodifikasi, praktik kebudayaan dan sosial, serta

ideologi. Selain itu ada tiga aspek produksi media diantaranya adalah

Imperatif-Imperatif produksi, Praktik-praktik produksi, konteks produksi

(Burton 2008 : 95).

Imperatif-Imperatif produksi berpandangan media adalah sebagai

bisnis dan produksi adalah proses kolaboratif, menggunakan kecakapan orang.

Bagi media dan masyarakat, hubungan sosial dan hubungan ekonomi terjalin

satu sama lain. Imperatif-Imperatif produksi media adalah Kebutuhan,

kekuatan kompetisi, dan Jatah tayang. Kebutuhan untuk menutupi investasi :

ketika industri surat kabar menginvestasikan jutaan dollar dalam pembuatan

komposisi baru dan teknologi produksi sejak 1980-an, maka industri surat

kabar tersebut perlu menghasilkan sesuatu yang laku terjual.

Praktik-Praktik Produksi, dibagi menjadi empat yaitu Materi genre,

rutinitas produksi, interaksi media, dan pemasaran. Hal ini menanyakan

bagaimana media dapat mempengaruhi audiens. Selanjutnya, Konteks

5

Produksi, Produksi media beroprasi dalam pelbagai macam lingkungan

komersial.

Pasar adalah bagian dari lingkungan, yang membentuk bagaimana dan

mengapa produk-produk seperti acara dibuat dan diarahkan pada audiens

tertentu. Tetapi lebih dari itu, terdapat beberapa faktor lain yang

mempengaruhi cara oprasi institusi-institusi media. Hal-hal yang

mempengaruhi diantaranya Polarisasi, Ceruk Pasar, Peningkatan biaya.

Ideologi, Media juga mengkomunikasikan ideologi pada audiensnya,

maka berita sebagai oprasi khusus dalam media adalah pembawa yang ampuh

terhadap ideologi ini. Hal ini karena berita diduga termasuk dalam sesuatu

yang disebut fakta.

Hal tersebut dikarenakan berita meliputi aktivitas politik, peristiwa-

peristiwa ekonomi, dan prilaku sosial. Secara umum berita menyokong ide-ide

seperti aturan hukum melalui lembaga peradilan, keutamaan alami keluarga

sebagai unit sosial, dan pelbagai definisi tentang teroris seperti yang

diuangkapkan oleh pemerintah.

Tahap-tahap yang mempengaruhi proses media tersebut tentunya

dialami oleh semua media di dunia termasuk Indonesia. Ada beragam jenis

media yang lahir di Tanah Air, media nasional misalnya Kompas, Media

Indonesia, Jawa Pos, Republika, dan masih banyak lagi. Media lokal Solo

sendiri ada SOLOPOS, Radar Solo (Grup Jawa Pos), JogloSemar, Tribun

(Grup Kompas).

6

Nama-nama media tersebut adalah bukti bagaimana suburnya

pertumbuhan media di Soloraya. Penulis tidak akan mengulas semua media

diatas, namun memfokuskan pada surat kabar SOLOPOS. Penulis memilih

SOLOPOS karena surat kabar ini adalah yang tertua dan terbesar di Solo.

Selain itu, Ia adalah media lokal murni bukan gabungan media nasional.

Media ini lahir pada tahun 1997 dan terbit 24 halaman. berbagai

konten diantaranya Headline (HL), Umum, Jateng DIY, Gagasan, Inspirasi,

Pendidikan, Ekonomi Bisnis, Internasional, Pergelaran, Olahraga (2

Halaman), Sepak Bola, Soloraya, kota Solo, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten,

Sragen, Boyolali & karanganyar, Cesspleng (Iklan 3 Halaman), Satelit Solo.

Harian SOLOPOS menyuguhkan beragam jenis konten dan

pemberitaan, misalnya saja Solo Raya, pemberitaan yang dibahas seputar kota

solo, wonogiri, dan berbagai daerah lainnya. Namun, dari berbagai konten dan

pemberitaan yang sudah dimuat oleh media yang memiliki jargon

Meningkatkan Dinamika Masyarakat ini, penulis tertarik untuk mengulas

proses produksi berita rekonsiliasi Keraton Surakarta Hadiningrat.

Penulis memilih pemberitaan tentang Kraton Surakarta Hadiningrat

karena Ia termasuk dalam khazanah budaya. Selain itu, keberadaan kraton

untuk masyarakat solo sangat penting dibuktikan dengan banyaknya acara

kraton yang masih intens di ikuti masyarakat Solo seperti event gunungan,

skatenan.

Selain itu, kraton Surakarta juga termasuk salah satu budaya yang

sudah sangat lama ada dan berpengaruh di Indonesia. Bahkan permasalahan

7

keretakan kraton Surakarta yang memiliki raja kembar juga sampai menjadi

perbincangan Nasional. Saat penandatanganan rekonsilisasi beberapa waktu

lalu beberapa menteri sampai turun dan ikut menyaksikan.

SOLOPOS termasuk media yang intens dan konsisten dalam

mengikuti dan mengulas pemberitaan Keraton Surakarta Hadiningrat. Hal itu

dibuktikan dengan terbitnya buku Di Balik Suksesi Keraton Surakarta

Hadiningrat yang diterbitkan oleh PT. Aksara SOLOPOS. Buku itu berisi

tentang sejarah dan awal mula konflik keraton sampai akhirnya lahirlah dua

raja yang dijuluki Raja kembar.

Dalam buku itu disebutkan awal mula konflik keraton adalah saat

mangkatnya Paku Buwono XII, Raja Keraton Kasunanan yang telah bertahta

selama 60 tahun. Konflik keraton mulai tercium saat pihak intern keraton

bingung memikirkan siapa penerus tahta selanjutnya.

Putra dan putri keraton menyebutkan telah ada wasiat dari Paku

Buwono XII di tawangmangu. Pergantian tahta di keraton akan mengacu pada

naluri dan angger-angger (konvensi adat keraton), berarti penerus raja adalah

putra tertua dari isteri permaisuri, namun jika tidak mempunyai istri

permaisuri, maka putera tertua dari istri selir yang akan menggantikannya.

Lantaran tidak semua putra dan putri Paku Buwno XII melihatnya dan

mengaku tidak tahu-menahu prihal wasiat tersebut. Mencuatlah perbedaan

pandangan siapa yang akan menggantikan raja. Rentetan konflik prihal calon

raja baru tersebut memang panjang, namun akhirnya ada dua orang yang

8

menjadi pilihan yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangaberhi dan

KGPH Tedjowulan.

Ketika muncul penolakan kerabat dan sentana dari Jakarta, persoalan

suksesi keraton semakin memuncak. Sentana yang selama ini merasa

memberikan sumbangsih terhadap keberlangsungan keraton mendesak kepada

tiga pengageng untuk segera mengeluarkan pernyataan sampai kemudian pada

tanggal 3 agustus 2004, dari hasil rapat putera putri dalem beserta sentana

yang diadakan di kediaman BRAy Mooryati Soedibyo di Jakarta, ketiga

pengageng keraton akhirnya secara resmi menolak rencana Jumenengan

KGPH Hangabehi menjadi raja pada yang akan berlangsung pada 10

September 2004.

Sama-sama mempunyai pendukung dipihak masing-masing akhirnya

lahirlah raja kembar di Surakarta. KGPH Tedjowulan dikukuhkan sebagai

pengganti Paku Buwono XII pada 27 Agustus 2004 oleh tiga pengageng

keraton dan selasa pagi, 31 Agustus 2004 bertempat di Dalem Purnama,

Badran, Laweyan, Solo, KGPH Tedjowulan dinobatkan menjadi “Raja

Rakyat” oleh pendukungnya yang ditandai dengan pengalungan janur oleh

rakyat.

KGPH Hangabehi dinobatkan pada 10 Sepetember di Krobongan

Dalem Prabasuyasa. Suasana penobatan KGPH Hangabehi menggunakan

Bedaya Ketawang yang sakral. Acara diawali dengan pengucapan sumpah

KGPH Hangabehi atas nama Tuhan dan leluhur di dalam krobongan Dalem

Ageng Prabasuyasa.

9

Pemimpin Umum Harian SOLOPOS, Sukamdani Sahid Gitosardjono

dalam buku Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat mengatakan :

“Buku ini merupakan bukti nyata partisipasi Harian Umum SOLOPOS

dalam perannya ikut melestarikan budaya, karena setidaknya selama

kehadirannya dikota Solo Harian Umum SOLOPOS telah mencatat berbagai

peristiwa sejarah, juga termasuk yang menyangkut Kasunanan Surakarta

Hadiningrat. Pencatatan itu direkam melalui berbagai peristiwa liputan yang

tentunya digunakan sebagai pelengkap data dalam penulisan buku ini”

(Mulyanto dkk, 2004: iii).

Menurut William S. Maulsby (Getting the News)dalam Suryawati,

Berita didefinisikan sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak

dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, serta dapat

menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut

(Suryawati, 2011: 68).

Sebelum suatu surat kabar mengeluarkan berita ada beberapa proses

produksi yang akan dilewati. Jabatan tertinggi adalah Pemimpin Umum (PU),

selanjutnya pemimpin redaksi dimana pemimpin redaksi tersebut bertanggung

jawab atas operasi keredaksian secara keseluruhan.

Dibawahnya ada Redaktur pelaksana atau biasa disebut sebagai tangan

kanan pemimpin redaksi. Ia bertanggung jawab pelaksanaan peliputan berita

yang seimbang. Redaktur pelaksana selain bertanggung jawab mengawasi

jalannya pelaksanaan dalam dapur redaksinya, ia juga bertanggung jawab

kepada pemimpin redaksi.

10

Redaktur daerah adalah orang yang bertanggung jawab atau

mengaturdesk yang nantinya bertanggung jawab atas peliputan di wilayahnya

masing – masing. Misalnya redaktur kota Ia bertanggung jawab untuk berita

kota, redaktur olahraga bertanggung jawab tentang pemberitaan di rubrik

olahraga. Namun, biasanya setiap surat kabar memiliki jumlah redaktur

berbeda-beda sesuai kebutuhan media mereka.

Reporter adalah strata terbawah. Mereka yang mengeksekusi hasil

rapat dan arahan redaktur. Dilapangan para kuli tinta sudah ditempatkan di

beat atau wilayah hunting masing-masing. Selain itu, wartawan biasanya juga

mencari berita bersama rekan satu beat.

Dari pemaparan diatas, Peneliti tertarik untuk meneliti tentang

produksi teks berita yang dilakukan SOLOPOS dalam berita rekonsiliasi

Keraton Surakarta Hadiningrat di harian umum SOLOPOS bulan mei-juni

2012.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Produksi teks yang dilakukan Harian Umum SOLOPOS

saat Rekonsiliasi Keraton Kasunanan Surakarta Berlangsung?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui Bagaimana Produksi Pesan yang Dilakukan Harian

Umum SOLOPOS Saat Rekonsiliasi Keraton Kasunanan Surakarta

Berlangsung.

11

D. Manfaat Penelitian

a) Secara Teoritis-akademis, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana

Produksi Pesan yang dilakukan Harian Umum SOLOPOS Saat

Rekonsiliasi Keraton Kasunanan Surakarta Berlangsung.

b) Secara Peraktis, Penelitian ini dapat berfungsi bagi para wartawan untuk

menjadi refrensi produksi pesan.

E. Signifikansi

Penelitian terdahulu tentang produksi teks berita sudah pernah

dilakukan oleh Agus Triyono, Mahasiswa Universitas Indonesia Fakultas

Sosial dan Ilmu Politik Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Jakarta pada

tahun 2012. Beliau meneliti tentang REPRESENTASI DAN PRODUKSI

KONFLIK KEAGAMAAN DI MEDIA MASSA (Studi Ekonomi Politik Kritis

Insiden Ahmadiyah di Cikeusik padaHarian Republika).

Penelitian tersebut berkesimpulan jika dalam pemberitaannya republika

mencoba bersifat independen. Namun, ada beberapa hal yang menjadi dasar

pemberitaan dan dapat mempengaruhi pemberitaan republika, hal tersebut

adalah ideologi Islam. Selain itu, Sumber Daya Manusia (SDM) di Republika

semuanya mendukung dan mumpuni dalam mencari, membuat berita menjadi

sudut pandang Islam.

Dari sisi ekonomi, isu Ahmadiyah termasuk marketable untuk

diberitakan Republika karena sebagian besar pembacanya adalah umat islam.

Selain itu republika juga menjadi media rujukan dan terpercaya bagi umat

12

islam. Hal ini berarti sebagai media islam republika juga memilah berita yang

mempunyai nilai jual untuk kelangsungan hidup medianya.

Penelitian tentang Proses Produksi Media pada Kasus Berita

Rekonsiliasi Keraton Surakarta Hadiningrat di Harian Umum SOLOPOSyang

peneliti lakukan, kurang lebih ingin mencari tahu hal yang sama dengan

penelitian sebelumnya. Perbedaanya adalah Agus juga meneliti tentang konflik

keagamaan, namun disini peneliti ingin melihat konflik budaya.

Selain itu, media yang ditelitipun berbeda, Republika adalah media

nasional sedangkan SOLOPOS adalah media lokal Solo. Peneliti berharap

dengan adanya penelitian terdahulu yang sudah dilakukan oleh Agus Triyono

Peneliti bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dan mampu menemukan

sesuatu yang baru.

F. Tinjauan Pustaka

1. Media Massa dan Industri

Media massa adalah alat atau sarana yang digunakan dalam

penyampaian pesan dari sumber (komunikator) kepada khalayak

(komunikan/penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis,

seperti surat kabar, radio, televisi, Film, dan Internet (Suryawati 2011 : 37).

McQuail dalam (1989) dalam suryawati, menyatakan ada enam

perspektif tentang peran media massa dalam konteks masyarakat modern,

yaitu :

13

a. Media massa sebagai sarana belajar untuk mengetahui berbagai

informasi dan peristiwa. Ia ibarat “jendela” untuk melihat apa yang

terjadi diluar kehidupan.

b. Media massa adalah refleksi fakta, terlepas dari rasa suka atau tidak

suka. Ia ibarat “cermin” peristiwa yang ada dan terjadi di masyarakat

ataupun dunia.

c. Media massa sebagai filter yang menyeleksi berbagai informasi dan

issue yang layak mendapat perhatian atau tidak.

d. Media massa sebagai penunjuk arah berbagai ketidakpastian atau

alternative yang beragam.

e. Media massa sebagai sarana untuk mensosialisasikan bernagai

informasi atau ide kepada publik untuk memperoleh tanggapan/ umpan

balik.

f. Media massa sebagai interkulator, tidak sekadar “lalu lalang” informasi,

tetapi memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.

Berbicara media massa tidak akan ada habisnya, banyak hal yang

mempengaruhi proses pembuatannya. Dalam buku Media dan Budaya

Populer, dijelaskan beberapa topik tentang bagaimana insitusi, kekuasaan,

dan Kontrol di media massa.

Sering diasumsikan bahwa kekuasaan media terdapat langsung atau

tidak langsung dalam institusi-institusi media. Namun, jika kita mengamati

proses interaksi antara media dan audiens, maka dapat diketahui bahwa

kekuasaan dapat diterapkan dalam banyak titik dari proses tersebut:

14

a. Apakah kekuasaan terletak pada pemilik media atau kekuatan pasar

yang 'harus dipatuhi' oleh sang pemilik?

b. Apakah kekuasaan benar-benar diterapkan oleh produser (atau mungkin

editor) bukannya oleh pemilik/ketua/dewan direksi?

c. Perlukah kita berbicara tentang kekuasaan teks, pembangunan pengaruh

ke dalam materi media?

d. Apakah setidaknya ada semacam kekuasaan yang terdapat pada

audiens? Terdapat kekuasaan untuk tidak membeli, atau bahkan

kekuasaan untuk menolak ide-ide, seperti halnya dengan 'pembacaan-

pembacaan oposisional Hall' oleh para audiens di mana audiens tidak

menggunakan makna-makna yang jelas diharapkan oleh teks yang

mereka gunakan.

Curran dan Seaton (1997) dalam (Burton,66) mengemukakan bahwa

terdapat dua tradisi yang perlu diperhatikan:

a. Pandangan pluralis, yang berargumen bahwa tekanan-tekanan sosial

yang sangat beraneka ragam terhadap audiens berarti bahwa media

tidak memiliki efek yang signifikan terhadap audiens tersebut.

b. Pandangan determinis,yang berargumen bahwa media dapat memiliki

efek tersebut, dan bahwa hubungan media dengan kelas yang berkuasa

adalah yang paling signifikan dalam hal ini.

Mereka berargumen bahwa sejauh ini, tidak ada kosakata yang tetap

untuk mendeskripsikan hubungan antara media, individu, dan masyarakat.

15

Ralph Negrine (1996) dalam Burton (2008, 68) menyatakan bahwa

kepemilikan pers memang mendandung potensi untuk control langsung dan

tidak langsung. Pemilik memang biasanya menunjuk para editor dan

menggunakannya sebagai sumber daya. Negrine juga menjelaskan pada

akhirnya pemilik media akan menuruti hukum pasar dan apapun yang akan

menjual surat kabar mereka.

McQuail (1983) dalam Burton (2008, 66) mengemukakan bahwa

terdapat tiga pertanyaan utama tentang kekuasaan media:

a. Keefektifan media sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan

kekuasaan yang ada?

b. Pertanyaan tentang kepentingan kekuasaan siapa yang diterapkan

(kepentingan kekuasaan kelas sosial, masyarakat, atau individu-

individu?

c. Apakah media menambah, mempertahankan, atau mengurangi

ketidaksetaraan kekuasaan yang ada dalam masyarakat?

Dia berargumen bahwasanya bukti yang ada menunjukkan bahwa

dalam batas-batas yang cukup besar, media memang memiliki kekuasaan

untuk mencapai beberapa efek. Dia mengemukakan bahwa karena pelbagai

alasan (melalui tindakan atau penghilangan) media memang melindungi

atau mengemukakan kepentingan orang-orang yang memiliki kekuasaan

ekonomi atau politik yang lebih besar dalam masyarakat-masyarakat

mereka sendiri.

16

2. Proses Produksi Media

Shoemaker dan reese (1996) dalam Tryssa (2011, 36) menjelaskan

dalam menyusun sebuah realitas, maka seorang wartawan dihadapkan

dengan beberapa faktor. Pertama, adalah faktor individual yaitu wartawan.

Media mengkontruksi berita melalui wartawan sebagai agen utamanya

dengan cara meliput peristiwa yang ada dilapangan. Adapun faktor yang

mempengaruhi wartawan dilapangan adalah prinsip dan

profesionalitasannya.

Kedua, Faktor rutinitas media, faktor ini terkait dengan bagaimana

mekanisme di media massa. Mekanisme media tersebut menyangkut

bagaimana proses pencarian berita dan dilanjutkan dengan bagaimana

redaksi masing-masing menyikapi pemberitaan tersebut.

Dalam hal ini biasanya terjadi proses pengeditan dari editor dan

pembuatan angel berita. Namun, perlu diketahui jika dalam hal ini setiap

media memiliki kebijakan dan cirikhas tersendiri untuk membedakan

dirinya dengan media lain. Hambatan yang ada yang ada biasanya adalah

pada waktu dan halaman koran tersebut.

Ketiga, Faktor organisasi media, faktor ini terdiri dari dalam

kelembagaan media itu sendiri misalnya struktur organisasi, sistem

organisasi yang sudah ditetapkan oleh redaksi sendiri. Bicara masalah

struktur organisasi, dalam redaksi khususnya ada hal lain yang mampu

mempengaruhi pemberitaan diantaranya adalah sirkulasi iklan.

17

Keempat, Faktor Ekstra ini adalah pengaruh yang ada diluar media

massa. Shoemaker & Reese membagi pengaruh ini menjadi tiga hal yaitu

narasumber, instansi pemerintahaan, sumber penghasilan media. Ketiga hal

tersebut juga bisa mempengaruhi kebijakan internal media massa.

Kelima, faktor ideologi, yang seringkali diartikan dengan kerangka

referensi yang ada di dalam masing-masing individu tersebut dalam melihat

suatu realitas dan bagaimana individu-individu tersebut menyikapi realitas

tersebut.

Dari kelima faktor diatas bisa kita lihat bagaimana media

mengambil keputusannya. Selain itu, pendapat dari Shoemaker & Reese ini

bisa menjadi kerangka untuk mengetahui bagaimana sikap media dan

pengambilan keputusan yang diambil apakah mementingkan publik atau

pengiklan.

Gambar 1. Model Hirarki Faktor-faktor yang Mempengaruhi Isi Media

(Shoemaker & Reese, 1996) Dalam Tryssa (2011, 36)

Faktor

individual

Rutinitas Media

Organisasional

Ekstra media

Ideologi

18

Pada waktu yang bersamaan, setiap organisasi berita harus

mengorientasikan dirinya juga pada kompetitor yang berada pada arena

yang sama. Agen politik seperti pembuat kebijakan adalah mereka yang

membuat kerangka kerja secara umum mengenai bagaimana sebuah media

berita harus beroperasi dengan berbagai kepentingan. Agen narasumber

merepresentasikan pemberi informasi bagi berita dan karenanya hubungan

dengan narasumber ini dipelihara untuk memastikan peliputan yang

berkelanjutan dari sektor-sektor sosial utama.

Pemerintah mempengaruhi media bukan hanya melalui tekanan

ekonomi, melainkan juga monopoli terhadap informasi yang resmi, nara

sumber pemerintah adalah contoh yang paling nyata. Jenis monopoli ini

memberikan pada pemerintah yang memiliki otoritas kekuasaan untuk

memanipulasi berita atau memilih sumber-sumber berita tertentu untuk

mendapatkan berita yang eksklusif.

Khalayak juga dilihat sebagai pasar atau konsumen yang juga harus

dipahami dan dalam kerangka yang luas, khalayak dari sebuah organisasi

berita terdiri dari konstitusi yang heterogen, mulai dari jurnalis lain sampai

pada publik umum yang akan memberikan label dan memuat peringkat

media berita dalam hubungannya dengan yang lain. News organization

atau media lain juga berandil dalam menentukan suatu isi media.

Jurnalis dalam upaya mendapatkan eksklusifitas pada sisi lain

mengarahkannya pada uniformitas. Mereka mendapatkan tekanan untuk

memperoleh berita dari kejadian-kejadian yang tidak biasa. Dalam

19

persaingan dengan media lain, wartawan kemudian berlomba-lomba lebih

cepat dalam mendapatkan dan menyajikan berita. Hasilnya adalah

banyaknya wartawan yang saling mengkopi isi media dan semuanya

berupaya mengejar berita yang sama dalam sektor ekonomi dan politik,

media massa mampu menyebarkan dan memperkuat sistem ekonomi dan

politik tertentu dan tidak jarang melakukan negasi atas sistem ekonomi dan

politik yang lain.

Meskipun demikian, satu hal yang tidak bisa kita abaikan adalah

bahwa media massa secara tidak langung menjalankan fungsi ideologis

tertentu seperti yang dianut oleh pemilik media. Berdasarkan hal tersebut,

upaya melihat media secara integratif tidak bisa hanya dilakukan dengan

pendekatan ekonomi semata, akan tetapi juga melibatkan pendekatan

politik. Untuk itulah, kemudian, kajian ekonomi politik tentang produsi

budaya (teks) menjadi suatu kajian yang penting.

20

Gambar 2. Pengaruh dalam Produksi Berita (Camelia, 2007, 22) dalam

Agus Triyono (2012, 22)

3. Pembagian Model Pers

Media memiliki potensi untuk mengkontruksi fakta yang

didapatnya, kemudian berita-berita yang terbit dan dibaca oleh khalayak

akan memiliki efek tersendiri. Stanley (2003, 5) dalam artikel yang berjudul

Jurnalisme Patriotis: Solusi atau Kemunduran?! Membagi posisi media

menjadi tiga bagian saat memberitakan. Pertama adalah issue

intensifier,dimana media memunculkan dan mempertontonkan isu secara

terus menerus dan mengulasnya secara tajam.

Kedua, conflict diminisher, Media secara sengaja menenggelamkan

isu dan tidak terlalu banyak menghiasi halaman koran yang akan

Goverment investor Sources Audien

s Other

media

Advertise

r

Owners

Other

Social

institutio

ns

Agency News

Production

News

Selektion

Framing

Field :

Dominant

Agent

Other Journalist

journalist

News

organization A Editor

News

Prepare

d News

21

diterbitkan, terlepas dari pemberitaan itu penting atau tidak penting.

Pemberitaan seperti ini biasanya terkait dengan ideologi atau menyangkut

hal-hal yang pragmatis.

Ketiga, conflict resolution, Posisi media dalam hal ini adalah

sebagai mediator dengan menampilkan isu dari berbagai sudut pandang.

Hal ini dimaksudkan kedua belah pihak yang bertikai dapat memahami

sikap atau pendapat lawan sehingga pemberitaan dicondongkan untuk

menyelesaikan konflik.

Pers tidak hanya harus punya cita-cita ideal. Pers sendiri harus

punya kekuatan serta keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita,

dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang

diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada

kepentingan komersial. Bagaimanapun pers bukanlah lembaga satuan

sosial. Seperti nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan

merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas.

Secara manajerial perusahaan pers harus memetik untung dan sejauh

mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak

bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan

pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai

komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal. Tegasnya,

idealisme tanpa komersial hanyalah sebuah ilusi.

22

Selain pembahasan fungsi diatas, penulis juga ingin mengulas

sedikit tentang empat teori pers yaitu Teori Pers Otoriter, Teori Pers Bebas,

Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial, dan Teori Pers komunis Soviet

(Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2006: 19).

a. Authoitarian Theory (Teori Pers Otoriter)

Teori pers ini menurut Siebert dkk adalah teori pers yang paling

tua, berasal dari abad ke-16. Teori ini berasal dari falsafah kenegaraan

yang membela kekuasaan absolute. Penetapan hal- hal yang benar

dipercayakan pada segelintir orang yang bijaksana. Jadi, Pada dasarnya

pendekatan dilakukan dari aras kebawah.

Teori ini berpandangan bahwa negara memiliki kedudukan lebih

tinggi dari pada Individu dalam skala kehidupan sosial. Bagi seorang

Individu, hanya dengan menempatkan diri di bawah kekuasaan negara,

maka individu yang bersangkutan bisa mencapai cita-citanya dan memiliki

atribusi sebagai orang yang beradab.

b. Libertarian Theory (Teori Pers Bebas)

Teori Pers Bebas ini mencapai puncaknya pada abad ke-19. Dalam

teori ini manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat

membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra

dalam upaya pencarian kebenaran, dan bukan menjadi alat pemerintah.

Jadi, tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang berdasarkan

teori ini.

23

Sebutan terhadap pers sebagai pilar demokrasi kekuasaan keempat

setelah kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislative pun menjadi umum

diterima dalam teori pers libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas

dari dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya pencarian

kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk

dikembangkan sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan,

sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.

Gagasan John Milton tentang “Self-Righting process” (proses

menemukan sendiri kebenaran) dan tentang “Free market of ideas”

(Kebebasan menjual gagasan) menjadi sentral dalam teori pers bebas ini.

Berdasarkan gagasan tersebut, dalam sistem ini pers dikontrol oleh “Self-

Righting process of truth”, lalu oleh adanya “Free market of ideas”, dan

oleh pengadilan Imlikasi dari Self-Righting process” adalah bahwa semua

gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran

komunikasi dan setiap orang punya akses yang sama pula ke sana.

c. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) dan

Soviet Communist Theory (Teori Pers komunis Soviet)

Kedua Teori ini dipandang sebagai modifikasi dari kedua teori

sebelumnya Sosial Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung

Jawab Sosial) dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori

pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam Pers

Libertarian, para pemilik dan para operator perslah yang terutama

24

menentukan fakta-fakta apa saja yang terutama menentukan fakta-fakta

apa saja yang boleh disiarkan kepada publik dan dalam versi apa.

Teori pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah

seperti proses kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Teori

pers bertanggung jawab sosial yang ingin mengatasi kontradiksi antara

kebebasan media massa dan tanggung jawab sosialnya ini diformulasikan

secara jelas sekali pada tahun 1949 dalam laporan “Commission on the

freedom of the press” yang diketuai oleh Robert Hutchins

(Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2006 : 22).

Komisi selanjutnya terkenal dengan sebutan Hutchins

Commission ini mengajukan 5 prasyarat sebagai syarat bagi pers yang

bertanggung jawab kepada masyarakat. Lima prasyarat tersebut adalah :

1) Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat

dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya

makna. (Media harus akurat; mereka tidak boleh berbohong, harus

memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara

yang memberikan arti secara internasional, dan harus lebih dalam dari

sekadar menyajikan fakta-fakta dan harus melaporkan kebenaran).

2) Media Harus Berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan

kritik. (Media harus menjadi sarana umum; harus memuat gagasan-

gagasan yang bertentangan dengan gagasas-gagasan mereka sendiri, “

Semia dasar pelaporan yang objektif”; semua “pandangan dan

kepentingan yang penting” dalam masyarakat harus diwakili; media

25

harus mengidentifikasi sumber informasi mereka dalam hal ini “perlu

bagi sebuah masyarakat bebas,”

3) Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili

dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat. (Ketika

gambaran-gambaran yang disajikan media gagal menyajikan suatu

kelompok sosial dengan benar, maka pendapat disesatkan; kebenaran

tentang kelompok mana pun harus benar-benar mewakili Ia harus

mencakup nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak

boleh mengecualikan kelemahan-kelemahan dan sifat-sifat buruk

kelompok).

4) Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-

nilai masyarakat. (Media adalah instrument pendidikan, meraka harus

memikul suatu tanggungjawab untuk menyatakan dan menjelaskan

cita-cita yang diperjuangkan oleh masyarakat).

5) Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi. Informasi

yang tersembunyi pada suatu saat. (Ada kebutuhan untuk

“Pendistribusian berita dan opini secara luas”).

Berbeda dengan Siebert dkk, Altschull (1995) dalam Buku Teori

Komunikasi membagi pers menjadi 3 model yaitu Model Pasar, Model

Komunis, Model Negara Maju (Werner & James 2011 : 384). Altschull

berkesimpulan :

1) Dalam Semua Sistem Pers, Media Berita mewakili pihak yang

menjalankan kekuasaan politik dan ekonomi. Surat kabar, majalah, dan

26

outlet penyiaran bukanlah actor independen, meski mereka mempunyai

potensi untuk menjalankan kekuasaan independen.

2) Isi berita selalu menunjukan kepentingan dari orang yang membiayai

pers.

3) Semua sistem pers didasarkan pada kepercayaan ekspresi bebas,

walaupun ekspresi bebas tersebut didefinisikan dengan cara yang

berbeda

4) Semua sistem pers menyokong doktrin tanggung jawab sosial,

menyatakan bahwa mereka melayani kebutuhan dan minat

masyarakat, dan menyatakan kemauan mereka untuk menyediakan

akses bagi masyarakat.

5) Masing-masing model menganggap bahwa pers model lain

menyimpang.

6) Sekolah-sekolah jurnalis mengedarkan ideology dan system nilai

masyarakat dimana mereka berada dan secara tidak sadar membantu

kekuatan masyarakat dalam mencapai control pada media berita.

7) Dalam Praktiknya, Pers selalu berbeda dengan teori.

Dalam edisi pertamanya, Altschull (1984) menyimpulkan

pandangannya :

Sejarah pers menunjukan bahwa surat kabar dan variasi model cenderung

mementingkan kepentingan pemilik, sedangkan pada saat yang sama

melanggengkan kesan bahwa pers adalah untuk melayani kepentingan

27

pengguna berita. Terlalu berangan-angan bila berharap bahwa media berita

akan berbelok dan mencemoohkan keinginan pemilik.

Tabel 1.1 Pasal Prinsip Dasar

Negara Pasar Negara Komunis Negara Maju

Pers bebas dari pengaruh

luar

Pers mengubah dan

mendidik Rakyat agar

menyadari golongan dan

budayannya.

Pers merupakan alat

pemersatu bukan alat

pemecah belah

Pers memenuhi Hak

Publik untuk

memperoleh informasi

Pers memenuhi

kebutuhan objektif rakyat

Pers merupakan

penggagas perubahan

sosial yang

menguntungkan

Pers Melaporkan dengan

adil dan objektif

Pers melaporkan secara

objektif tentang realitas

pengalaman

Pers merupakan wadah

yang saling menjembatani

antara jurnalis dan

pembaca

Sumber: J.H. Altschull, Agents of power : The Media and public policy, edisi ke-2

(Ehite Plains, N.Y. : Longman, 1995), hlm 427. Dicetak ulang seizing Longman

Tabel 1.2 Tujuan Jurnalisme

Negara Pasar Negara Komunis Negara Maju

Mengupayakan

kebenaran

Mencari kebenaran Menyajikan kebenaran

Memenuhi tanggung

jawab sosial

Memenuhi tanggung

jawab sosial

Memenuhi tanggung

jawab sosial

Memberi informasi (atau

mendidik) namun tidak

secara politis atau budaya

Mendidik rakyat dan

membantu sekutu secara

politis dan budaya

Mendidik secara politis

dan budaya

Melayani masyarakat

tanpa pandang bulu :

Mendukung doktrin

kapitalis

Melayani rakyat dengan

imbalan dukungan

doktrin yang benar

Melayani masyarakat

dengan, bersama

pemerintah, menggagas

perubahan sosial yang

menguntungkan

Bertindak sebagai anjing

penjaga pemerintah

Membentuk pandangan

dan prilaku

Sebagai instrument

perdamaian

Sumber: J.H. Altschull, Agents of power : The Media and public policy, edisi ke-2

(Ehite Plains, N.Y. : Longman, 1995), hlm 429. Dicetak ulang seizing Longman

Tabel 1.3 Pandangan terhadap kebebasan Pers

Negara Pasar Negara Komunis Negara Maju

Pers bebas berarti bahwa

jurnalis bebas dari

Pers bebas berarti bahwa

seluruh opini disajikan

Pers bebas berarti

kebebasan mengikuti kata

28

Negara Pasar Negara Komunis Negara Maju

kontrol luar mana pun tidak hanya opini kaum

kaya atau penguasa

hati bagi jurnalis

Pers bebas merupakan

pers yang tidak tunduk

pada penguasa dan tidak

dimanipulasi oleh

penguasa

Pers bebas diperlukan

untuk melawan

penindasan dari

komunitas yang mapan

Kebebasan pers kurang

penting disbanding

kelangsungan hidup

bangsa

Tidak diperlukan

kebijakan pers untuk

menjamin kebebasan pers

Diperlukan kebijakan

pers untuk memastikan

bahwa pers bebas berada

dalam bentuk yang benar

Diperlukan kebijakan

pers untuk melindungi

kebebasan

Sumber: J.H. Altschull, Agents of power : The Media and public policy, edisi ke-2

(Ehite Plains, N.Y. : Longman, 1995), hlm 435. Dicetak ulang seizing Longman

4. Media Dalam Konflik

Ashadi Siregar (2001) dalam makalahnya yang berjudul Resolusi

Konflik Melalui Jurnalisme Damai menjelaskan, Konflik menjadi sesuatu

yang penting karena ia adalah penggalan suatu proses sosial. Konflik akan

menjadi bernilai jika berada dalam lingkungan yang tenang.

Ruang publik memiliki beberapa dimensi diantaranya adalah politik,

ekonomi, kultural. Ketiga hal tersebut adalah bahasan yang nantinya akan

menghiasi media, namun ada yang perlu diingat jika fakta itu berasal dari

ruang publik dengan nilai sosial dan memiliki makna kultural atau budaya.

Maka dari itu semua yang berhubungan dengan nilai-nilai tersebut

termasuk penting.

Beberapa jenis media seperti partisipan memiliki dua hal yang

nantinya akan dimuat dalam pemberitaanya. Pertama adalah pemberitaan

tentang apa yang menjadi hal yang dibelanya dan apa yang menjadi diluar

29

yang dibelanya. Maka dari itu media partisipan kadang condong pada apa

yang menjadi tujuannya atau apa yang dibelanya.

Walaupun sudah tidak ada campur tangan pemerintah dalam

mengatur media bukan berarti media sudah menemukan jati dirinya karena

mereka memiliki orientasi dan pendapat masing-masing. Dalam hal ini

penting diadakannya pendefisian ruang publik agar jelas arah beritanya.

Pers Indonesia memiliki tantangan kedepan karena tidak semua

masyarakat bisa memaknai pesan yang dibuat. Hal ini berpengaruh dalam

pemberitaan konflik yang sedang bertikai. Sebagai profesi, jurnalisme tidak

sekadar bagian dari proses manajemen, jurnalis memiliki dua ruang yang

menjadi bagian dari dirinya . pertama adalah sebagai wartawan secara

pribadi, kedua adalah sebagai buruh pekerja di industri media. Hal inilah

yang menjadikan wartawan akan susah memilih dalam memberitakan

konflik apakah konflik tersebut ada sangkut pautannya dengan pemilik

modal.

Dia dapat saja menjadi bagian dari manajemen sebagai pekerja,

buruh atau kuli (tinta), tetapi tidak kehilangan otonomi dan

independensinya sebagai pekerja kultural, sebagaimana seorang dokter

medis yang menjadi karyawan rumah sakit tetapi tidak boleh kehilangan

otonomi dan independensinya sebagai pengabdi kemanusiaan. Seorang

jurnalis merupakan pekerja kultural karena pada hakekatnya berurusan

dengan wacana.

30

Budaya wartawan ada dua dalam memberitakan konflik, dia bisa

menjadi pedagang jika mengurusi informasi sebagai komuditas politik.

Namun, sebagai pekerja dia harus bertanggung jawab pada tempatnya

bekerja. Kedua, dia terikat secara moral dalam akuntabilitas kepada publik.

Faktor moral inilah yang membedakan profesionalnya sebagai wartawan

dan pekerja.

Masalah inilah yang membuat pekerja jurnalisme merasa cukup

menjalankan tugas pada tataran teknis dan tidak berusaha untuk

menempatkan pada pengetahuan. Kesadaran bagaimana menumbuhkan

sikap kritis pada masyarakat atau budaya yang menciptakan masyarakat

yang cerdas dalam menyikapi permasalahan.

Jika kedua hal tersebut tidak menjadi basis bagi kehidupan warga,

ruang publik akan dijadikan perebutan dominasi bagi kekuatan sosial

berupa komunalisme baik atas dasar kelompok massa spontan (mob)

maupun berbasis agama dan suku. Basis komunalisme massa iniadalah

organisasi politik.

Maka dari itu pembahasan atau isu massa yang bisa dibuat adalah

agama dan suku dengan orientasi kekerasan fisik. Untuk memahami makna

konflik diruang publik melalui oposisi binarinya dapat dirangkum sebagai

berikut.

NEGATIF KONFLIK FAKTA DAMAI POSITIF

Sektarian

agama

? Toleran agama

Eksklusif suku ? Inklusif bangsa

Kekerasan

fisik

? Rasionalitas

31

Dari suatu fakta pilihan orientasi fakta dengan fokus pada konflik

atau damai. Orientasi konflik mengandung makna dari wacana sektarian

agama, eksklusifitas suku, atau kekerasan fisik. Maksud dari pemberitaan

bisa dilihat mengarah pada perdamaian atau berlanjutnya konflik. Hal ini

bisa dilihat melalui pemilihan narasumber dengan tingkat objektifitas atau

subjektifitas.

G. Metodologi

1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif

menggunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah pandangan

dari Edmund Husserl yang meyakini bahwa dalam setiap hal, manusia

memiliki pemahaman dan penghayatan terhadap setiap fenomena yang

dilaluinya dan pemahaman serta penghayatannya tersebut sangat

berpengaruh terhadap prilakunya (Giorgi & Giorgi) dalam (Haris

Herdiansyah 2010 : 66)

Secara sederhana, feomenologi lebih mengfokuskan diri pada

konsep suatu fenomena tertentu dan bentuk dari studinya adalah untuk

melihat dan memahami arti dari suatu pengalaman unik, baik oleh seorang

individu yang berkaitan dengan suatu fenomena tertentu. Polkinghorne

(1989) mendifinisikan fenomenologi sebagai sebuah studi untuk

memberikan gambaran tentang arti dari pengalaman-pengalaman beberapa

individu mengenai suatu konsep (Haris Herdiansyah 2010 : 67).

32

Objek ilmu itu tidak terbatas pada hal-hal yang empiris atau

pengalaman yang sudah pernah dilakukan (terindra), tetapi juga mencakup

fenomena yang berada duluar itu, seperti persepsi, pemikiran, kemauan,

dan keyakinan subjek tentang “sesuatu” diluar dirinya.

Penelitian dengan berdasarkan fenomenologi melihat objek

penelitian dalam satu konteks naturalnya. Artinya peneliti melihat suatu

peristiwa tidak secara parsial atau berhubungan, lepas daru konteks

sosialnya karena satu fenomena yang sama dalam situasi yang berbeda

akan pula memiliki makna yang berbeda pula.

Creswell (1998) menyatakan bahwa dalam disiplin ilmu-ilmu

sosial, menyatakan bahwa dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, model

fenomenologi lebih sesuai dengan ilmu psikologi atau pendekatan

psikologi yang memfokuskan pada arti dari pengalaman individual

walaupun ilmu sosial juga dapat menerapkan model fenomenologi dalam

konteks kelompok atau komunal (Herdiansyah 2010 : 68).

Peneliti meganggap penelitian ini paling sesuai jika menggunakan

pendekatan fenomenologi karena gagasan dalam fenomenologi termasuk

dekat dengan perkembangan ilmu sosial dan prilaku. Dengan, metode ini

peneliti bisa lebih menggali pengalaman-pengalaman objek penelitian,

sehingga dengan wawancara mendalam dapat diyakini sesuai untuk

penelitian ini.

Wawancara mendalam dilakukan dengan cara wawancara terbuka

atau tidak terstruktur. Pertanyaan-pertanyaan mengarah pada kedalaman

33

informasi guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak

hal yang bermanfaat untuk menjadi dasar penelitian lebih jauh.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Harian Umum SOLOPOS.

Pemilihan Harian Umum SOLOPOS karena ia termasuk media terbesar

dan berpengaruh di Solo. Selain itu, umur koran ini sekarang sudah

mencapai kurang lebih 16 tahun. Hal ini menandakan SOLOPOS termasuk

media yang eksis menginggat banyaknya Koran pendatang baru di Solo.

Beberapa penghargaan juga seudah pernah didapatkan Solopos.

Perusahaan Pers ini menyabet juara Gold winner The Best Java

Newspaper IPMA 2013. IPMA adalah ajang kompetisi media cetak se-

Nusantara yang digelar setiap tahun. Pesertanya adalah ratusan penerbit

media cetak, baik harian, mingguan, tabloid, dan majalah dari tingkat lokal

sampai nasional.

3. Sumber Data

Peneliti membagi menjadi dua sumber data yaitu Primer dan

Sekunder.

a. Primer

Subjek penelitian ini adalah informan yang memiliki informasi

memadai tentang proses produksi teks berita yang dilakukan

SOLOPOS saat rekonsiliasi Keraton Surakarta Hadiningrat. Menurut

Pawito sifat metode sampling dari penelitian kualitatif pada hakikatnya

34

adalah purposive sampling. Subjek atau sampel penelitian komunikasi

kualitatif cenderung bersifat “bias kaya informasi” karena informasi

(data) pada umumnya diperoleh dari orang-orang yang dapat diyakini

memang mengetahui persoalan yang diteliti, dan ini berarti adalah para

pemuka, pemimpin, atau tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok

masyarakat yang diteliti yang notabene adalah orang-orang kaya

informasi berkenaan dengan persoalan-persoalan yang sedang diteliti

(Pawito 2008 : 88).

Peneliti pada hal ini mengacu pada Lindlof (1995)

menggunakan Convenience Sampling, yaitu peneliti mengambil

sampel untuk dijadikan wakil dari subjek penelitian, dan kemudian

mengamati atau mungkin mewawancarainya. Dalam hal ini peneliti

Redaktur, dan wartawan yang melakukan kegiatan saat rekonsiliasi

Keraton Surakarta Hadiningrat sedang berlangsung.

b. Sekunder

Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen seperti buku-

buku, profil perusahaan SOLOPOS dan berita-berita tentang keraton

yang sudah pernah diterbitkan oleh harian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dengan cara :

a. Wawancara

35

Menurut Moleong (2005), Wawancara adalah percakapan

dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan

terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut.

Wawancara akan dilakukan dengan Redaktur kota Solo dan

Wartawan yang melakukan peliputan tentang keraton. Redaktur Kota

Solo dipilih karena ia yang bertanggung jawab dengan rubrik terkait.

Dua narasumber yang dipilih sudah tepat karena redaktur adalah orang

yang bertanggung jawab atas angel dan control berita sebelum terbit.

b. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data

kualitatif dengan melihat atau menganalisisis dokumen-dokumen yang

dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek

(Herdiansyah 2010 : 143).

5. Teknik Validitas

Teknik Validitas data yang peneliti gunakan adalah trianggulasi.

Triangulasi merupakan penggunaan dua atau lebih sumber untuk

mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang suatu fenomena yang

akan diteliti. Peneliti dalam hal ini menggunakan Data triangulation

(trianggulasi dalam hal metode pengumpulan data).

36

Menurut Denzin (1978) Data triangulation adalah penggunaan

lebih dari satu metode pengumpulan data dalam kasus tunggal. Metode

pengumpulan datanya dilakukan dalam penelitian kualitatif, yaitu

wawancara, observasi, FGD, dokumentasi. Dalam penelitian kualitatif

biasanya menggunakan metode pengumpulan data yang lebih dari satu

misalnya wawancara ditambah observasi, wawancara ditambah observasi

ditambah dokumentasi untuk meneliti kasus tunggal.

Triangulasi ini adalah cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan

kontruksi kenyataan yang ada dalam konteks studi saat pengumpulan data

(Herdiansyah 2010 : 202).

6. Teknik Analisis Data

Analisis data yang akan peneliti gunakan adalah Model Interaktif

Miles dan Huberman. Mereka membagi tahapannya menjadi empat

komponen, yaitu Pengumpulan data, Reduksi data, Display, Penarikan

Kesimpulan (Herdiansyah 2010 : 164).

Pada tahap pengumpulan data, peneliti dilapangan mencari data

yang dibutuhkan, bisa berupa wawancara dan dokumentasi. Untuk,

penelitian tentang produksi teks berita Keraton Surakarta Hadiningrat ini,

Data yang peneliti gunakan adalah wawancara, namun tidak menutup

kemungkinan menggunakan dokumen dan data pendukung lainnya.

Setelah selesai mengumpulkan data peneliti akan melakukan

reduksi data, artinya peneliti akan memilah data yang didapatkan

37

kemudian dikelompokan. Reduksi data juga bisa diartikan sebagai

pengelompokan data, ada kemungkinan tidak semua data masuk dalam

analisis. Namun, data yang bersifat sama akan dijadikan satu.

Memasuki tahap selanjutnya adalah display data yaitu data yang

sudah selesai direduksi dapat diperlihatkan, bisa menggunakan abstraksi

atau inti dari apa yang didapat dari proses pemilahan tersebut. Setelah itu

peneliti bisa melakukan kesimpulan.

Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman

dalam (Herdiansyah 2010 : 164)

Selain itu, khusus data wawancara, peneliti akan menambahkan

metode pengkodean yang melalui tiga tahap yaitu Open Coding, Axcial

Coding, Selective coding (Herdiansyah 2010 : 72)

Open Coding menurut Koentjoro (2006) dalam Herdiansyah adalah

kegiatan memberi nama, mengkategorisasikan fenomena yang diteliti

melalui proses penelaahan yang diteliti dan dilakukan secara mendetail

Pengumpulan Data

Kesimpulan/Verifik

asi

Display Reduksi

Data

38

dengan tujuan untuk menemukan kategorisasi fenomena yang diteliti,

intinya menemukan konsep dari wawancara yang dilakukan.

Axcial Coding, Susunan data yang dipresentasikan dengan

menggunakan paradigma Coding atau diagram logika yang

diidentifikasikan oleh peneliti sebagai central phenomenom, Intinya adalah

mencari kesimpulan dari open coding wawanara yang telah dilakukan.

Selective coding, digunakan untuk mengkoreksi wawancara yang

kita lakukan, misalnya dari open dan axcial coding masih ada beberapa

pertanyaan yang belum lengkap, berarti kita harus melakukan wawancara

tambahan untuk melengkapi wawancara sebelumnya.

7. Kerangka Berfikir

Peneliti menggambarkan deskripsi dari keseluruhan penelitian

dalam kerangka berfikir seperti berikut :

Kesimpulan/Verifikasi

Reduksi Data

SOLOPOS Proses Produksi Berita

Pengumpulan Data

Display