Upload
dinhnhi
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Otonomi khusus yang diberlakukan bagi Provinsi Papua berdasarkan Undang-undang
Nomor 21 Tahun 20011 merupakan kebijakan yang bernilai strategis dalam peningkatan
pelayanan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh rakyat Papua, karena itu
diharapkan terjadi peningkatan pada berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk bidang
pendidikan. Pemerataan pendidikan mencakup equality (persamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan) dan equity (keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan).
Akses terhadap pendidikan disebut merata jika semua penduduk usia sekolah, telah mendapat
kesempatan pendidikan dan disebut adil jika antar kelompok dalam masyarakat dapat menikmati
pendidikan secara merata.2
Pemerintah telah berusaha agar anak laki-laki dan perempuan dapat memperoleh
pendidikan dasar secara keseluruhan. Hal ini dilihat dengan mencermati angka partisipasi di
sekolah dasar tercatat bahwa dengan angka 94,7% Indonesia hampir mewujudkan target
memasukkan semua anak ke sekolah dasar. Meski data yang ada merupakan angka nasional,
namun secara garis besar dapat dilihat jumlah perbedaan antar daerah yang cukup tinggi.
Misalnya dengan membandingkan kedua provinsi yaitu dari 96.0% untuk Kalimantan Tengah
hingga 68,1% untuk Papua Barat.3 Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 33
1 “UU 21 tahun 2001 - Otonomi Khusus Bagi Provinsi P apua”. Dalam http://prokum.esdm.go.id/uu/2001/uu-21-
2001.pdf, diakses pada 1 Mei 2013. 2 “Peranan Otonomi Khusus Papua Dalam Pemerataan Pendidikan Di Papua Barat “, dalam
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/258822, diakses pada 4 Mei 2013. 3 “Sekolah mahal, perempuan tertinggal”, dalam http://www.balisruti.or.id/wp-content/uploads/2011/09/Bali-
Sruti-No3-for-web.pdf, diakses pada 12 Maret 2014.
Provinsi, tentunya memiliki masalah pendidikan masing-masing yang harus dihadapi disamping
perkembangannya. Untuk Perkembangan Pendidikan di Papua Barat secara keseluruhan belum
mengalami kemajuan yang signifikan. Hal ini didukung oleh tingkat putus sekolah,
meningkatnya angka kelulusan, angka partisipasi, dan angka meneruskan sekolah yang masih
sama dari tahun ke tahun. Selain itu perkembangan lainnya dapat dilihat juga dari jumlah murid,
guru, dan sekolah per tahunnya di tiap-tiap Kabupaten/ Kota.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sorong adalah pelayanan pendidikan bagi masyarakat
dalam rangka pengembangan sumber daya manusia. Pembangunan di bidang pendidikan
mencakup tiga hal penting, yakni pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan
kualitas mutu dan kualifikasi guru, peningkatan kualitas tenaga pendidik dan peserta didik. Hal
ini direalisasikan dalam berbagai kebijakan lain seperti kebijakan dalam pembentukan struktur
organisasi pemerintah Kabupaten Sorong, dan kebijakan pengadaan tenaga kerja atau pegawai
negeri sipil. Ditinjau dari aspek organisasi pemerintah Kabupaten Sorong, dibentuk 2 Dinas
yang mengelola penyelenggaraan pendidikan yakni Dinas Pendidikan Dasar, dan Dinas
Pendidikan Lanjutan. Dinas Pendidikan Dasar mengelola penyelenggaraan pendidikan Sekolah
Dasar (SD), dan Dinas Pendidikan Lanjutan mengelola penyelenggaraan pe ndidikan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) serta Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).4
Pemerintah masih terus berfokus pada masalah pendidikan, meskipun keadaan ini
tertutupi oleh peningkatan angka partipasi sekolah yang terus meningkat, namun persoalan
pendidikan bukanlah sebatas askes untuk sekolah, tetapi memberikan akses pendidikan dasar
yang utuh. Disamping itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam prosesnya banyak anak
yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Situasi ini semakin diperparah dengan
4 “Pendidikan”, dalam http://www.unicef.org/indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_%28Ind%29_130731.pdf,
diakses pada 20 Desember 2013.
melihat jumlah anak yang tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti. Saat ini misalnya,
sekitar 9% anak harus mengulang di kelas 1 sekolah dasar. Sementara pada setiap jenjang kelas,
sekitar 5% putus sekolah. Akibatnya, sekitar seperempat anak Indonesia tidak lulus dari sekolah
dasar. Pada 2005, 77% bersekolah hingga kelas 6 dan pada akhir tahun tersebut, hanya 75% yang
lulus.5 Pemerintah dapat melihat bahwa proporsi anak yang lulus sekolah mengalami
peningkatan. Tingkat kelulusan sekolah dasarpun hanyalah langkah pertama, anak-anak yang
telah lulus kerap terhenti pendidikannya.
Ada banyak hal yang menjadi faktor utama masalah keterbatasan akses pendidikan dasar di
Indonesia khusunya Kabupaten Sorong. Faktor utama adalah ketidakmampuan orangtua dalam
memberikan fasilitas pendidikan bagi anaknya. Misalnya lahan pertanian keluarga yang masih
membutuhkan jasa anak-anak untuk membantu orang tua. Disisi lain persoalan utama terletak
pada ketidakmampuan orangtua untuk membayar biaya sekolah yang disebabkan oleh faktor
kemiskinan. Menurut hasil Sensus Nasional terbaru Badan Pusat Statistik telah merekam data
perkembangan terbaru mengenai angka kemiskinan di Indonesia. Hasil sensus itu juga
memetakan wilayah yang masih menghadapi persoalan kemiskinan yang cukup parah.
Kemiskinan adalah salah satu masalah mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah
negara manapun, karena salah satu tugas pemerintah adalah menyejahterakan masyarakat.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang
menjadi 31,02 juta orang (13,33%) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang.
Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi. Yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah
5“Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan dapat menyelesaikan
pendidikan dasar ” Dalam http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/topik-kesehatan/lets-speak-out-for-mdgs/96-tujuan-2-mdg-target-2a, diakses pada 12Maret 2014.
mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp. 211.726,- per kapita per bulan. Jika
membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan
kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah
dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka
kemiskinannya mencapai 36%, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar
13,33%.6
Di samping persoalan kemiskinan, sekolah juga dapat menimbulkan masalah jika tidak bisa
memberikan sesuatu yang bernilai bagi peserta didik. Misalnya yang berkaitan erat dengan akses
fasilitas termasuk buku atau peralatan yang memadai, serta kondisi bangunan yang tidak layak
digunakan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah
berkewajiban mengeluarkan anggaran lebih banyak sehingga orang tua murid tidak perlu
menanggung biaya sekolah yang terlalu mahal. Meskipun sebelumnya cenderung kurang
menyalurkan dana publik untuk pendidikan, Namun, beberapa tahun terakhir alokasi untuk
pendidikan termasuk untuk gaji guru, meningkat di Indonesia. Saat ini, jumlahnya sekitar 17%
dari total pengeluaran pemerintah. Peraturan tersebut menyebutkan, pada tahun 2009 sebanyak
20% dari anggaran pusat maupun daerah, harus digunakan untuk pendidikan. Tanpa gaji guru,
proporsi tahun 2007 hanyalah sekitar 9%, sehingga untuk mencapai 20% perlu kenaikan yang
luar biasa.7 Pada tahun 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemerintah wajib
memenuhi kewajiban memenuhi 20% alokasi APBN untuk pendidikan. Namun, selain
pemerintah pusat, banyak hal tergantung pada pemerintah kabupaten. Saat ini, pemerintah
6 “10 Provinsi paling miskin di Indonesia”, dalam http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/173118-10-propinsi-
paling-miskin-di-indonesia, diakses pada 12 Maret 2013. 7 “Penangulangan kemiskinan pemerintah daerah”, dalam http://bappeda.kutaikartanegarakab.go.id/info/wp-
content/uploads/EbookbappedaNonSave1/mgd_2012/files/search/searchtext.xml, diakses pada 12 Maret 2014.
kabupaten bertanggung jawab terhadap sekitar dua per tiga pengeluaran publik untuk pendidikan
dan menggunakan hampir seluruhnya untuk gaji guru.8
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan dalam laporan hasil kerja sama UNDP dan
pihak Fakultas Ekonomi Universitas Papua tahun 2010, dirumuskan beberapa kesimpulan bahwa
Kapasitas Pemerintah Kabupaten Sorong untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan ditinjau dari aspek jumlah dan tingkat pendidikan pegawai negeri sipil dinilai telah
memadai. 9
Namun jika ditinjau dari aspek infrastruktur pemerintahan dalam hal lokasi
pemukiman dengan lokasi tempat bekerja masih menjadi kendala karena jarak yang cukup jauh,
sekitar 20 hingga 23 Kilometer. Akses sejumlah Dinas Pemerintah dengan lokasi pemukiman
masyarakat Kabupaten Sorong membawa dampak rendahnya kapasitas Pemerintah Kabupaten
Sorong untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Belajar dari potret ini, akhirnya
Pemerintah Kabupaten Sorong mengeluarkan peraturan Pemerintah Daerah yang didalamnya
sedikit mengesampingkan anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) untuk lebih di Fokuskan ke bidang lain seperti pembangunan
infrastruktur. Ada sebagian daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan tidak lebih dari 20
persen.10
Angaran pendapatan belanja daerah (APBD) Kabupaten Sorong dari tahun 2007 sampai
saat ini masih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur jalan, jembatan,
kesehatan, dan pendidikan. Terobosan yang dilakukan Bupati salah satunya dengan membangun
infrastruktur jalan. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sorong dengan mengutamakan
8 “Penyiasatan Anggaran Pendidikan 20 Persen”, dalam http://www.antikorupsi.org/id/content/penyiasatan-
anggaran-pendidikan-20-persen, diakses pada 12 Maret 2014. 9 “Kabupaten Sorong”, dalam
http://www.undp.or.id/papua/docs/Local%20Govt.Assessment_UNIPA%20FINAL%20REPORT.pdf, diakses pada 20 Desember 2013. 10
Ibid
pembangunan infrastruktur jalan tersebut dinilai akan berdampak baik terhadap bidang lainnya
seperti kesehatan, pendidikan dan pemerdayaan ekonomi masyarakat.11
Meskipun Pendidikan
tetap masuk dalam prioritas kebijakan pemerintah daerah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
pendidikan masih menjadi fokus lain selain masalah pembangunan infrastruktur jalan. Prioritas
pembangunan di bidang lain selain pendidikan memberikan dampak yang signifikan terhadap
permasalahan pendidikan di Kabupaten Sorong. Budaya penggunaan alokasi anggaran yang
tidak efektif dan efisien dalam peningkatan aksestabilitas pendidikan masih menjadi pekerjaan
rumah pemerintah Kabupaten Sorong. Peningkatan anggaran pendidikan tersebut mayoritasnya
harus dialokasikan untuk biaya penyelenggaran pendidikan tanpa terkecuali. Dalam konteks ini,
kendala lain yang sering ditemui adalah dalam proses penentuan Rencana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Sekolah (RAPBS). Kedudukan RAPBS menjadi hal sentral dalam menentukan
prioritas dalam alokasi anggaran. Akan tetapi seperti kita ketahui bahwa dalam proses
penyusunan RAPBS tersebut sejauh ini masih didominasi oleh kepala sekolah saja tanpa
mengajak pihak masyarakat. Hal ini kemudian menimbulkan polemik lain seperti
penyalahgunaan dana pendidikan. Kurangnya aksesbilitas dan transparansi dana pendidikan
semakin menjadi persoalan bagi pendidikan di Kabupaten Sorong.12
Dari beberapa pemaparan diatas, Sejatinya problematika kemiskinan dan penyalahgunaan
anggaran pendidikan merupakan hal yang erat kaitannya. Kondisi kemiskinan bisa dijadikan
cermin atas pelaksanaan pendidikan, begitu juga sebaliknya. Secara historis kebijakan sekolah
gratis muncul sebagai jawaban atas berbagai persoalan pendidikan di Indonesia. Dalam konteks
pelaksanaan pendidikan gratis, sebenarnya masih menimbulkan masalah baru misalnya peluang
11
“APBD masih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur”, dalam http://www.infopublik.org/read/59949/apbd-masih-difokuskan-untuk-pembangunan-infrastruktur.html, diakses pada 20 Desember 2013. 12
Ibid
korupsi di dunia pendidikan menjadi semakin besar dan terbuka. Indikasinya terlihat dari hasil
survei indeks korupsi yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang
terbaru, yang mengatakan bahwa indeks korupsi negara tidak mengalami pergerakan yang
signfikan di Sektor pendidikan.13
Permasalahan pendidikan membutuhkan pemihakan yang jauh lebih besar dari pada daerah
lain di Indonesia. Keterbelakangan pelayanan pendidikan di Tanah Papua sudah sangat
memprihatinkan. Hal ini semakin menambah rentetan persoalan lain di bumi cendrawasih,
terbukti dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa salah satu kabupaten di Papua Barat yang
angka buta aksara dapat mencapai 98 persen. Dampak dari permasalahan pendidikan, posisi IPM
atau Indeks Pembangunan Manusia di Tanah Papua tercatat terendah dari 33 provinsi di
Indonesia. Pengembangan pendidikan dasar melalui revitalisasi SD dan SMP harus selesai dalam
waktu 3 tahun sampai dengan tahun 2015.14
Keadaan provinsi Papua Barat yang memprihatinkan
dapat dilihat dari beberapa data berikut. Misalnya tentang IPM atau Indeks Pembangunan
Manusia (IPM)/ Human Development Index adalah pengukuran kesejahteraan dengan
membandingkan antara harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup. Papua Barat
berada pada posisi 3 terbawah di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2011. Ukuran kesejahteraan
tersebut diperkenalkan dan diterbitkan oleh PBB dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human
Development Report) sejak tahun 1990.15
Selain itu dapat dilihat dari angka partisipasi murni
13
“Indonesia 2006”, dalam http://theindonesianinstitute.com/wp-content/uploads/2014/02/Indonesia-report-2006.pdf, diakses pada 12 Maret 2014.
14 “Pelayanan Pendidikan di Tanah Papua Sudah Sangat Memprihatinkan“ , Dalam
http://www.up4b.go.id/index.php/prioritas-p4b/7-pendidikan/item/290-pelayanan-pendidikan-di-tanah-papua-sudah-sangat-memprihatikan, diakses pada 30 April 2013.
15 “ Indeks Pembangunan Manusia 2011”, dalam http://tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/91_Pabar.pdf,
diakses pada 1 Mei 2013.
(APM) sebagai salah satu indikator utama dibidang pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dapat ditentukan wilayah yang perlu memperoleh prioritas intervensi. Wilayah tersebut adalah
wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi dan APM SD/MI rendah. 16
Berikut ini merupakan
data Angka Putus Sekolah Di Papua Barat pada tahun 2009-2011 yang dilihat dari umur 7-12
Tahun dalam ukuran persen, dimana usia ini merupakan indikator partisipasi yang di usung
MDGs sebagai dasar usia pendidikan Dasar. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2011, rata-rata
nasional angka putus sekolah untuk kelompok umur 7-12 tahun (jenjang SD) adalah 0,67 persen.
Untuk kelompok umur 13-15 tahun (jenjang SMP) adalah 2,21 persen, dan kelompok umur 16-
18 tahun (jenjang SMA) adalah 3,14 persen.17
Dari segi angkanya, secara nasional terdapat
182.773 siswa SD yang putus sekolah alias tidak sampai tamat. Untuk tingkat SMP, terdapat
209.976 siswa yang putus sekolah, dan 223.676 siswa tingkat SMA yang drop out (DO). Secara
spesifik, Jika angka partisipasi sekolah usia 7-12 tahun pada tahun 2008 sekitar 83,08, tiga tahun
kemudian angkanya menurun menjadi 76,22. Angka ini tergolong tinggi jika dibandingkan
dengan wilayah lain.18
Pada wilayah tersebut diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan
APM sekolah jenjang pendidikan dasar Kabupaten Sorong.
Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
menjadi Tujuan Pembangunan Milenium adalah sebuah paradigma pembangunan global,
dideklarasikan Konperensi Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan
16
“Angka Putus Sekolah menurut Kabupaten/Kota, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur Tahun 2009 ”, dalam http://irjabar.bps.go.id/?no=469&pilih=tabel1, diakses pada 1 Mei 2013.
17“Inilah, Peringkat 5 Besar Provinsi Berdasarkan Angka Putus Sekolah”, dalam
http://www.srie.org/2013/02/inilah-peringkat-5-besar-provinsi.html, diakses pada 1 Mei 2013. 18
“Generasi Unggul Bumi Cenderawasih Menunggu Sentuhan Ekstra “, Dalam
http://nasional.kompas.com/read/2012/06/27/03322530/Generasi.Unggul.Bumi.Cenderawasih.Menunggu.Sentuh
an.Ekstra, diakses pada 1 Mei 2013.
Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000. Semua negara yang hadir
dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari
program pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu
yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian,
keamanan, dan pembangunan. Deklarasi ini merumuskan pembangunan global yang salah
satunya bertujuan untuk mencapai pendidikan dasar untuk semua.19
Setiap tujuan menetapkan
satu atau lebih target serta masing-masing sejumlah indikator yang akan diukur tingkat
pencapaiannya atau kemajuannya hingga tahun 2015. Sebagai salah satu negara yang ikut
menanda tangani deklarasi MDGs, Indonesia mempunyai komitmen untuk melaksanakannya
serta menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan program pembangunan nasional baik jangka
pendek, menengah, dan panjang. Dalam proses pencapaian MDGs dengan fokus kajian pada
masalah pendidikan, maka dapat dijelaskan dengan berbagai indikator antara lain: 20
Gambar 1
Indikator MDGS
Tujuan Sasaran Indikator
1. Mencapai
pendidikan
dasar untuk
semua
2. Memastikan pada tahun
2015 semua anak
dimanapun, laki-laki
maupun perempuan,
dapat menyelesaikan
pendidikan dasar
3. Angka partisipasi murni di
sekolah dasar (7-12 tahun)
4. Proporsi murid kelas 1
yang berhasil mencapai
kelas 5
5. Angka melek huruf 15-24
tahun
Sumber : BPS (diolah)
19
“Millennium Development Goals (MDGs)”, dalam http://mdgs-dev.bps.go.id/main.php?link=home, diakses pada 1 Mei 2013. 20
“indikator mdgs”, dalam http://mdgs-dev.bps.go.id/main.php?link=indikator_int&goal=2, diakses pada 1 Mei 2013.
Pendidikan merupakan masalah bersama, karena bukan hanya menjadi masalah daerah
saja tapi menjadi pendidikan telah menjadi masalah nasional dan bahkan merupakan masalah
internasional. Disinilah UNICEF yang merupakan salah satu organisasi internasional yang
khusus membantu anak-anak di dunia mulai masuk dan menawarkan berbagai bantuan dan
kerjasama. Bergesernya isu-isu dalam hubungan internasional seperti ekonomi, lingkungan
hidup, sosial, dan budaya, semakin menuntut aktor internasional baik itu negara berkembang
ataupun negara maju dituntut untuk melakukan kerjasama untuk memenuhi kepentingannya.
Organisasi internasional merupakan salah satu wadah untuk melakukan kerjasama Internasional
tersebut. Sebagai mitra pemerintah Indonesia, UNICEF berkomitmen untuk mengkonsolidasikan
prestasi pembangunan yang telah dicapai dalam beberapa tahun belakangan ini, serta
memberikan bantuan strategis yang dibutuhkan Indonesia dalam menghadapi tantangan secara
keseluruhan. UNICEF akan terus membantu Pemerintah di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten, serta masyarakat madani dan sektor swasta, dalam upaya mereka untuk
mempromosikan pembangunan manusia di Indonesia termasuk Kabupaten Sorong.21
B. Rumusan Masalah
Bagaimana UNICEF berperan bagi peningkatan program pendidikan di Kabupaten Sorong?
C. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai peran organisasi internasional di Negara berkembang telah banyak
dibahas oleh para akademisi dan praktisi dunia. Dalam gambaran tentang peran UNICEF dalam
pencapaian program MDGs di Indonesia dapat dilihat dan dibandingkan dengan realisasi
21 “Laporan pencapaian tujuan pembangunan millennium indonesia”, dalam http://gizi.depkes.go.id/wp-
content/uploads/2011/10/lap-pemb-milenium-ind-2010.pdf, diakses pada 1 Mei 2013.
program-program organisasi internasional yang pernah ada. Beberapa diantaranya berujung pada
kesimpulan yang variatif. Hal ini bisa dilihat sesuai dengan Tulisan M. Yusuf Feiny Sentosa
yang berjudul Peningkatan tata kelola pendidikan dasar di Indonesia. Dalam Tulisannya, Yusuf
memaparkan tentang Salah satu Program Bank Dunia sebagai salah satu lembaga internasional
yang menjalankan program di wilayah Indonesa Timur yaitu Jayapura. Ada beberapa kontribusi
dari Bank Dunia yang berperan sebagai lembaga perwalian dalam bantuan operasional. Bank
dunia memberikan program secara langsung dari tahun 2011 hingga 2012 ke kabupaten di
Jayapura. Dampak dari bantuan Bank Dunia ini memberikan perubahan bagi perkembangan
dalam hal operasional dan semakin menunjang adanya transparansi dalam pelaporan keuangan
yang selama ini diabaikan oleh Pemerintah Jayapura. Selain itu, perhatian Bank Dunia
dikembangkan dalam pengadaan inventaris barang dan perubahan metode belajar. Dapat
disimpulkan bahwa organisasi internasional sangat dominan dalam hal pembiayaan, sedangkan
dalam pelayanan jasa masih menjadi hambatan karena kurangnya tenaga ahli yang terlatih.
Selain itu program ini dijalankan di ibukota provinsi yang notabene sudah terjangkau secara
umum. Kekurangan dalam program Bank Dunia ini terletak pada ruang lingkup penerapan
program yang tidak menyentuh wilayah pedesaan yang sangat terbatas akan berbagai akses. 22
Disamping itu, peran Organisasi Internasional di Indonesia dapat dilihat dala tulisan Faida
Indana tentang Efektivitas kerjasama UNDP dan Pemerintah Indonesia dalam pencapaian
program MDGs pada bidang pendidikan di Indonesia periode tahun 2001-2007 dijelaskan
tentang pola hubungan kerjasama yang teruji berhasil diihat dari beberapa indikator. Hal ini
dilihat dari sisi teknis seperti pendanaan dan koordinasi antara UNDP dengan pemerintah yang
22
“Meningkatkan tata kelola pendidikan dasar di Indonesia”, dalam http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2012/03/30/000333038_20120330014112/Rendered/PDF/649740NEWS0REP00Box361559B00PUBLIC0.pdf, diakses pada 10 April 2014.
terlepas dari mekanisme pendekatan normatif.23
Dalam tulisannya Faida memaparkan tentang
bagaimana sebuah peran organisasi internasional “bergerak” dalam upaya pencapaian program
MDGs di Indonesia melalui kerangka kerjasama yang telah dibangun. Hal ini dapat menjadi
gambaran utama bagi penulis dengan melihat proses yang terjadi dan faktor-faktor keberhasilan
tersebut sebagai wacana dasar bahwa pencapaian MDGs dinegara berkembang dapat dilakukan
melalui pendanaan. Menurut Faida, pendanaan menjadi faktor utama keberhasilan program
UNDP yang notabene merupakan Lembaga organisasi internasional di Indonesia.
Dalam tulisan Evaluation of UNDP Outcome in Indonesia oleh Dilli Prasad Bhattarai, Ia
mengkaji tentang kinerja UNDP dalam kerangka kerjasama dengan Indonesia tahun 2001-2005.
Dihasilkan berbagai kesimpulan yang dilihat dari hasil penelitian tentang kebijakan sosial di
Indonesia pada tahun 2001, Laporan Nasional Indonesia Pembangunan Manusia tahun 2001 dan
2004 beberapa diantaranya merupakan kontribusi kunci dari UNDP yang telah membantu dalam
pemulihan jangka panjang Indonesia. Beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia telah
menggunakan alokasi anggaran mereka pada sektor sosial. Faktor keberhasilan UNDP terletak
dari dukungan pendanaan yang diberikan di berbagai wilayah di Indonesia melalui program-
program seperti peningkatan kebutuhan masyarakat di provinsi Papua, pengarusutamaan gender,
dan pencegahan HIV/AIDS dalam jangka panjang. 24
Dalam hal ini, sama halnya dengan
penelitian Faida tentang Kontribusi sebuah lembaga internasional, Menurut Dilli keberhasilan
pembangunan manusia di Indonesia tahun 2001-2005 disebabkan oleh bagaiman UNDP sebagai
lembaga internasional menyelenggarakan program kemanusiaannya. Hal mendasar yang
23
Indana Faida, Efektivitas kerjasama UNDP dan Pemerintah Indonesia dalam pencapaian program MDGs pada bidang pendidikan di Indonesia periode tahun 2001-2007, Tesis Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2009. 24
“Evaluation of UNDP Outcome in Indonesia”, dalam erc.undp.org/evaluationadmin/downloaddocument.html?docid=902 , diakses pada 1 Mei 2013.
merupakan kekurangan dari tulisan Dilli adalah Dilli kurang menjelaskan secara rinci tentang
nama program serta program apa yang paling cocok diterapkan di Indonesia. Selain itu juga
kajian wilayah pada tulisan Dilli tidak ada. Dilli hanya memaparkan secara umum tentang
Indonesia. Menurut Penulis, studi kasus berdasarkan Wilayah seperti Provinsi atau Kota dan
Kabupaten sangat diperlukan agar kajian tersebut dapat teruji berdasarkan contoh wilayah. Hal
inilah yang menjadi dasar penulis untuk mengkaji berdasarkan studi kasus wilayah Kabupaten
sebagai contoh penerapan program dari sebuah Organisasi Internasional.
Tulisan yang lain berjudul mewujudkan target MDGs pendidikan untuk kemajuan pendidikan
masa datang oleh Atok Miftachul Hudha yang menjelaskan tentang Posisi Indonesia dalam
pencapaian MDGs yang masih tergolong sulit. Penelitiannya berakar pada faktor standar
pendidikan dan pembelajaran yang dikelola dan terbelenggu pada cara-cara tradisional dan
konvensional, sementara tuntutan jaman telah mengalami lompatan kompetensi pendidikan
berskala global. Dampak dari hal ini adalah stimulus dan respon peserta didik terhadap
pembentukan kompetensi peserta didik belum optimal, karena kompetensi pendidikpun belum
memenuhi standar profesional yang diharapkan. Tulisan ini menjelaskan lebih tentang
“Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia yang
diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium
Development Goals (MDGs) yang masih menjadi “pekerjaan rumah” bangsa ini. Hal menarik
dalam tulisan Atok adalah pada bagian akhir penelitian ini yang menekankan bahwa tidak ada
perkembangan dalam pendidikan di Indonesia karena Implementasi dalam bidang pendidikan
masih terfokus pada cara-cara konvensional seperti metode belajar yang dinilai kurang efektif.
Dari hal ini, penulis tertarik melihat bagaimana peran UNICEF dalam implementasi program
yang dapat dikembangkan dari penelitian penulis, metode apa yang dipakai UNICEF apakah
sama dengan cara konvensional atau sebaliknya UNICEF menghadirkan sesuatu yang baru.
Kajian keilmuan lainnya yang membahas tentang program UNICEF di paparkan oleh Kartini
Setyawati dalam tulisannya yang berjudul “Implementasi Program Manajemen Berbasis Sekolah
sebagai upaya peningkatan keefektifan proses pembelajaran pada sekolah dasar (studi kasus di
Sekolah Dasar Negeri 1 Sudagaran Banyumas)”. Kartini menegaskan bahwa implementasi
program manajemen berbasis sekolah sebagai hasil kerja sama antara pemerintah indonesia
dengan UNICEF di Kabupaten Banyumas tidak berhasil. Dalam kelembagaan pendidikan,
tingkat kesejahteraan guru, aspek kualitas, maupun penyebarannya yang antar daerah kurang
merata, menjadi permasalahan yang sering mengemuka. implementasi program manajemen
berbasis sekolah di Kabupaten Banyumas dimulai sejak tahun pelajaran 1999/2000 sangatlah
beragam dan tidak sama antara sekolah yang satu dengan yang lain. Artinya bahwa UNICEF
kurang berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Banyumas meskipun hal
ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun dari luar. 25
Dengan membandingkan hasil penelitian Kartini, Penulis melihat kekurangan dalam
penelitian ini adalah Kartini hanya menggunakan satu sampel sekolah sebagai kajian dasar
penelitiannya. Hal ini menurut penulis dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dengan
memilih lebih dari satu sampel sekolah dengan mengambil contoh sekolah per kecamatan di tiap
Kabupaten, agar lebih terinci dan mewakili kondisi daerah setempat.
25
“implementasi program manajemen berbasis sekolah sebagai upaya peningkatan keefektifan proses pembelajaran pada sekolah dasar (studi kasus di Sekolah Dasar Negeri 1 Sudagaran Banyumas)“ , dalam http://eprints.uns.ac.id/8070/, diakses pada 20 Desember 2013.
Tulisan lain dapat dilihat dari karya penelitian Samsuridjal Djauzi “Bantuan Asing dan
Upaya penanggulangan AIDs dan Masalah-Masalah Sosial di Indonesia”. Inti dari tulisannya
yaitu menggambarkan tentang bagaimana pengaruh bantuan asing yang sifatnya formal maupun
non formal yang dijelaskan lebih dalam tentang bagaimana ketergantungan Indonesia terhadap
bantuan asing dalam penyelesaian masalah-masalah sosial lainnya. 26
Saat ini, kendala utama
yang dihadapi Indonesia dalam menjawab tantangan dan mencapai tujuan pembangunan yang
direncanakan bukanlah masalah kurangnya sumber daya finansial. Dalam konteks inilah agenda
efektivitas bantuan dana selalu menjadi kunci utama yang relevan. Ketergantungan Indonesia
mendapat dukungan dana dari dari pihak luar menjadi faktor keberhasilan sebuah program.
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa ada semacam penekanan dari makna kontribusi yang
terjalin melalui kerjasama yang telah disepakati. Kelima literatur diatas memiliki kesamaan
dalam menjelaskan skema implementasi program organisasi internasional melalui kerjasama,
gambaran yang jelas tentang program-program yang dijalankan, serta hambatan-hambatan dari
pihak pemerintah Indonesia. Secara umum kelima literatur ini memfokuskan keberhasilan
program melalui pemberian dana. Oleh karena itu, berdasarkan kajian/tulisan terdahulu terkait
peran UNICEF dalam peningkatan program pendidikan di kabupaten Sorong, penulis melihat
bahwa kajian ini belum pernah diteliti secara spesifik. Apakah pola penerapan program UNICEF
akan sama halnya dengan pola yang diterapkan pada wilayah lain di Indonesia, mengingat
Kabupaten Sorong sebagai bagian dari Provinsi Papua Barat sangat mencolok perbedaannya
dengan wilayah yang lain. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian atau hasil karya
sebelumnya secara garis besar dapat dilihat dari sisi tempat dan waktu. Penelitian ini akan
difokuskan di Kabupaten Sorong yang menjadi salah satu kabupaten intervensi UNICEF dengan
26
Samsuridjal Djauzi, Bantuan Asing dan Penanggulangan AIDS dan Masalah-masalah Sosial di Indonesia, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
program di bidang pendidikan Fokus kajian ini berakar pada pertanyaan bagaimana kontribusi
UNICEF dalam upaya pencapaian MDGs di bidang pendidikan yaitu guna meningkatkan mutu
pendidikan.
D. Kerangka Konseptual
Untuk menjelaskan tentang bagaimana peran Organisasi Internasional dalam upaya
pencapaian program MDGs ke-2 di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan interaksi dunia
internasional yang semakin diwarnai dengan adanya aktor-aktor lain selain aktor formal (Negara)
dalam semakin kompleks dan penting keberadaannya. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan beberapa pendekatan, antara lain peran organisasi internasional menurut Clive
Archer yang terbagi menjadi tiga peran organisasi internasional, yaitu:27
1. Peran sebagai instrumen, yaitu menjadi alat yang tepat bagi negara anggota untuk tujuan
tertentu, yang menjadi relevan ketika tujuan organisasi internasional merefleksikan
kepentingan dari anggotanya dan hal tersebut benar-benar direalisasikan;
2. Peran sebagai arena atau forum yang sifatnya netral dalam menetapkan tujuan organisasi,
yang ditunjukkan dengan adanya tindakan tertentu, yaitu mengadakan pertemuan dari
anggotanya untuk bersama-sama mendiskusikan, berargumen, bekerjasama atau menolak
3. Peran sebagai aktor independen, yaitu bagaimana organisasi internasional dapat
membantu keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan atau paksaan
dari luar organisasi.
Dalam kaitannya dengan peran UNICEF dalam peningkatan pendidikan di Kabupaten
Sorong, konsep yang dipakai adalah dengan melihat UNICEF berperan sebagai instrumen atau
27
Perwita dan Yani (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosda. Hal. 95-97.
alat dalam membantu Indonesia dalam memenuhi kepentingan nasionalnya. Dalam melihat
keberadaan aktor internasional sebagai instrumen dalam menjalankan tugas UNICEF bergerak
sesuai dengan prinsip, norma, aturan, prosedur, serta program yang ada sebagai sebuah
organisasi.
Konsep peran organisasi internasional ini dipakai dalam melihat seberapa besar peran dan
kontribusi UNICEF dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Sorong.
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam konsep ini merupakan ketentuan yang dapat dijalankan
sebagai metode penanganan isu atau problematika dalam menjalankan peran sebagai organisasi
internasional. Dengan mengaitkan prosedur, program, aturan, norma, prinsip yang
ditransformasikan dalam bentuk nyata. Dalam hal ini, ukuran peran UNICEF dalam kontribusi
dapat dilihat dari berbagai program yang dijalankan dan yang terselesaikan. Bagaimana
menerjemahkan Kemitraan dengan Pemerintah dan rakyat Indonesia untuk mendukung usaha-
usaha nasional mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), misalnya dalam program
kerja UNICEF di Kabupaten Sorong melipui interaksi dan keterlibatannya dalam menjawab
persoalan pendidikan yang berpusat penyelengaraan program-program serta bantuan yang dijalin
melalui kerjasama.28
Peran Organisasi Internasional dalam realitasnya mengarah pada tujuan
untuk meningkatkan akses pada pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan dan efisien.
Artinya bahwa UNICEF merupakan perpanjangan tangan melalui program-program. Salah satu
program yang sedang dilakukan di Kabupaten Sorong adalah strategi dan kebijakan UNICEF
manajemen berbasis sekolah. Dalam programnya UNICEF mendukung pemerintah kabupaten
Sorong untuk meningkatkan akses pendidikan dasar melalui sistem informasi pendidikan
berbasis masyarakat. Program dilaksanakan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat
28
“Siapa kami”, dalam http://www.un.or.id/id/siapa-kami, diakses pada 1 Mei 2013.
dengan tujuan wajib belajar sembilan tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15 tahun.
Dalam hal ini, UNICEF memberi dukungan teknis dan dana serta berperan monitoring, evaluasi
secara langsung.
Selain konsep peran organisasi internasional, pendekatan lain yang digunakan dalam
menjawab pertanyaan penelitian terkait peran UNICEF adalah pendekatan Bantuan Asing.
Bantuan Asing merupakan salah satu instrumen dalam interaksi internasional melalui kebijakan
luar negeri yang sering digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum bantuan luar
negeri dapat didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintah atau organisasi ke
pemerintah atau organisasi lain yang dapat berupa barang, jasa ataupun dana. K.J. Holsti dalam
bukunya “International Politics: Framework of Analysis” mengartikan bantuan luar negeri
sebagai transfer uang, teknologi, ataupun nasihat-nasihat teknis dari negara donor ke negara
penerima. Ia menegaskan ada 4 tipe utama bantuan luar negeri 29
:
1. Technical assistance/ bantuan teknis, bertujuan untuk mendukung proyek-proyek dalam
skema yang berupa penyediaan tenaga ahli dan atau konsultan untuk melaksanakan suatu
proyek atau kegiatan tertentu. Bantuan ini umumnya berupa studi untuk persiapan,
apparsial ataupun monitoring proyek-proyek pengadaan barang dan jasa yang dibiayai
pinjaman. Pihak pemberi dana menyediakan tenaga ahli dan membiayai seluruh kegiatan
yang dilakukan tenaga ahli. Bantuan ini tidak perlu dibayar kembali namun dalam
pelaksanaannya menuntut persyaratan yang dituangkan dalam kesepakatan.
29 Holsti, K.J., Politik Internasional: Kerangka Analisa, (New Jersey : Prentice Hall), 1995. hal 180.
2. Grants / hibah, dalam skema ini sama dengan pinjaman luar negeri untuk proyek
pembangunan. Sumber dananya tidak perlu dikembalikan.
3. Pinjaman pembangunan merupakan bantuan keuangan yang diberikan untuk mendukung
pembangunan yang berfokus pada pengentasan kemiskinan dalam jangka panjang, daripada
respon jangka pendek.
4. Bantuan kemanusiaan (aid). Bantuan ini sifatnya lebih pada bantuan darurat. Perwakilan
negara donor umumnya memiliki alokasi dana khusus untuk bantuan-bantuan kemanusiaan.
Penulis menggunakan konsep bantuan asing dalam tipe bantuan teknis yang mana
memuat norma pelaksanaan pemberian bantuan luar negeri adalah tidak terlepas juga dari
motivasi para pemberi bantuan luar negeri (pendonor) sebagai Motif kemanusiaan, yang
bertujuan untuk mengurangi beban di negara dunia ketiga melalui kerjasama yang bersifat teknis.
Artinya bahwa dalam hal ini transformasi peran dari UNICEF didasarkan pada bantuan yang
merupakan hasil kerjasama dan pelaksanaan program demi peningkatan di Negara penerima. Hal
ini dapat dijalankan melalui kerjasama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara
umum, bantuan teknis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:30
A. Penyediaan perlengkapan fisik, mencakup pemberian secara langsung alat dan bahan
untuk menunjang terlaksananya kegiatan pemohon, serta berbagai teknologi yang
mendukung.
B. Pendampingan, termasuk di dalamnya fasilitasi, advokasi kebijakan, pembentukan
jaringan, kerjasama atau asosiasi. Bentuk pembiayaan ini banyak diberikan oleh lembaga
30
“ What is technical assistance?”, dalam http://www.unesco.org/new/en/culture/themes/cultural-diversity/cultural-expressions/programmes/technical-assistance/what-is-technical-assistance/, diakses pada 10 Juni 2013.
donor dan organisasi nirlaba/non-pemerintah dalam hal pembentukan organisasi
masyarakat, pembuatan atau perbaikan kebijakan.
C. Peningkatan kapasitas, yaitu peningkatan kemampuan dan sumberdaya individu,
organisasi dan komunitas dalam mengatasi perubahan pembangunan, termasuk di
dalamnya adalah pembentukan kesadaran, keterampilan, pengetahuan, motivasi,
komitmen dan kepercayaan diri.
D. Pengkajian, dalam bentuk studi atau saran di bidang yang diajukan oleh pemohon.
Bentuk pembiayaan ini terutama dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga donor
serta beberapa organisasi nirlaba/non-pemerintah.
Berdasarkan pendekatan Holsti, Penulis menggunakan metode penyediaan perlengkapan
fisik, dan pendampingan dalam melihat bagaimana UNICEF berperan melalui program-
programnya. Bantuan teknis melalui penyediaan fisik misalnya berupa alat peraga atau
penunjang kegiatan belajar siswa di sekolah. Pendampingan yang dimaksud berupa alokasi
berbagai kegiatan yang berkaitan langsung dengan dunia pendidikan yang dijalankan secara
berkala dan diawasi melalui beberapa lembaga. UNICEF sebagai lembaga internasional
berkompeten melakukan monitoing dan evaluasi penanganan masalah pendidikan dan berfokus
pada peningkatan kualitas pendidikan. 31
31“ Papua Barat: Provinsi Pertama yang Menuju Penyusunan Kebijakan Provinsi tentang Kepemudaan”, dalam
http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21078.html, diakses pada 22 Desember 2013.
D.1. Skema Kerangka Konseptual
Persoalan akses dan
pemerataan pendidikan dasar,
infrastuktur dan manajemen
sekolah
Program peningkatan
pendidikan:
a. Pengelolaan Pendidikan yang lebih baik
b. Program Pendidikan Ramah c. Manajemen Berbasis
Sekolah meliputi: Peran Serta Masyarakat (PSM) dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten
Sorong
MBS
Manajemen Berbasis Sekolah
Pengelolaan Pendidikan yang lebih baik
Mengurangi angka putus sekolah
Manajemen sekolah yang lebih baik
Kepastian kesempatan belajar
UNICEF Kabupaten Sorong
E. Hipotesis
UNICEF telah menjalankan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) di Kabupaten
Sorong, yang meliputi manajemen sekolah, metode pembelajaran, dan peran aktif
masyarakat. UNICEF berperan secara langsung dalam memonitioring, mengevaluasi, dan
memberikan bantuan teknis berupa penyediaan alat perlengkapan dan bantuan dana. Program
tersebut telah berjalan optimal dan membawa perubahan penting bagi pendidikan di
Kabupaten Sorong. Terlebih ada keterlibatan pemerintah daerah dalam mensukseskan
perlaksanaan program tersebut.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci suatu fenomena menjadi jelas
dengan menghubungkan data-data yang relevan untuk membuat kesimpulan yang
menggambarkan pokok permasalahan. Metode yang digunakan yaitu Grounded Theory dan
deskriptif. Yang mana menurut Strauss dan Corbin (2009:12) Grounded theory adalah
metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna
mengembangkan teori grounded, yang disusun secara induktif, tentang suatu fenomena,
Metode ini sangat bergantung dari data, yang mana teori harus beralas (Grounded). 32
Pengumpulan data dalam metode ini dilakukan dengan pengkajian hasil wawancara dan
obesrvasi dilapangan dan dimodifikasi sejalan dengan model kategorisasi, proposisi, dan
kombinasi dengan sumber–sumber yang telah ada melalui studi kepustakaan. Data-data
pendukung lain diperoleh melalui buku-buku, surat kabar, majalah, jurnal sosial politik,
32
DR. Salim Agus, MS, Teori dan Paradigma penelitian Sosial, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006, hal.176.
artikel dan web site (internet). Subjek atau responden wawancara adalah orang-orang yang
terlibat secara langsung di Kabupaten Sorong, misalnya staff dinas pendidikan, guru, kepala
sekolah, dan masyarakat setempat. Disamping wawancara, penelitian ini juga melakukan
metode kuesioner. Dalam metode ini penulis memberikan beberapa pertanyaan uraian dan
pertanyaan pilihan dengan menggunakan metode jawaban setuju atau tidak. Sama halnya
dengan wawancara, kuesioner dibagi kepada pihak-pihak terkait sebanyak 25 responden yang
mewakili tiap-tiap gugus sekolah di setiap kecamatan dan staaf dinas pendidikan Kabupaten
Sorong. Selain wawancara dan kuesioner. Penulis menggunakan metode lain yaitu observasi.
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang
tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Tujuan observasi adalah
mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang
yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari perpektif mereka yang terlihat
dalam kejadian yang diamati tersebut.
G. Jangkauan Penelitian
Penelitian ini dibatasi mulai dari tahun 2010-2013. Dipilih periode tahun ini karena atas dasar
pertimbangan mampu mempresentasikan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses
peningkatan mutu pendidikan melalui Program-program dan kerjasama UNICEF di Kabupaten
Sorong. Namun, penulis tetap akan menggunakan informasi-informasi lain yang berkaitan
dengan penulisan penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
BAB I akan berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka
konseptual, hipotesis, metode penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II akan dibahas tentang program pendidikan global UNICEF serta kiprah UNICEF
dalam menangani masalah pendidikan di berbagai Negara seperti Vietnam, Cina, Afrika dan
Indonesia.
BAB III akan dibahas tentang problematika pendidikan di kabupaten Sorong yang
menguraikan tentang kondisi faktual pendidikan di kabupaten Sorong serta upaya dan hambatan
Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong dalam penanganan masalah pendidikan.
BAB IV akan dibahas tentang analisa pembuktian hipotesis yang membahas tentang
bagaimana UNICEF berperan dalam meningkatkan program pendidikan di Kabupaten Sorong.
Sub bab ini berisi tentang keberhasilan UNICEF dalam menangani masalah pendidikan dan
evaluasi program UNICEF dalam rentang waktu 2010-2013 sesuai dengan hasil temuan
penelitian di lapangan serta implikasi dari program UNICEF di Kabupaten Sorong .
BAB V berisi kesimpulan dari seluruh hasil penelitian penulis mulai dari Bab I, Bab II, Bab
II, dan Bab IV.