24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi khusus yang diberlakukan bagi Provinsi Papua berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 1 merupakan kebijakan yang bernilai strategis dalam peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh rakyat Papua, karena itu diharapkan terjadi peningkatan pada berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk bidang pendidikan. Pemerataan pendidikan mencakup equality (persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan) dan equity (keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan). Akses terhadap pendidikan disebut merata jika semua penduduk usia sekolah, telah mendapat kesempatan pendidikan dan disebut adil jika antar kelompok dalam masyarakat dapat menikmati pendidikan secara merata. 2 Pemerintah telah berusaha agar anak laki-laki dan perempuan dapat memperoleh pendidikan dasar secara keseluruhan. Hal ini dilihat dengan mencermati angka partisipasi di sekolah dasar tercatat bahwa dengan angka 94,7% Indonesia hampir mewujudkan target memasukkan semua anak ke sekolah dasar. Meski data yang ada merupakan angka nasional, namun secara garis besar dapat dilihat jumlah perbedaan antar daerah yang cukup tinggi. Misalnya dengan membandingkan kedua provinsi yaitu dari 96.0% untuk Kalimantan Tengah hingga 68,1% untuk Papua Barat. 3 Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 33 1 “UU 21 tahun 2001 - Otonomi Khusus Bagi Provinsi P apua”. Dalam http://prokum.esdm.go.id/uu/2001/uu-21- 2001.pdf, diakses pada 1 Mei 2013. 2 “Peranan Otonomi Khusus Papua Dalam Pemerataan Pendidikan Di Papua Barat “, dalam http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/258822, diakses pada 4 Mei 2013. 3 “Sekolah mahal, perempuan tertinggal”, dalam http://www.balisruti.or.id/wp-content/uploads/2011/09/Bali- Sruti-No3-for-web.pdf, diakses pada 12 Maret 2014.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71681/potongan/S2-2014... · Ada banyak hal yang menjadi faktor utama masalah keterbatasan akses pendidikan

  • Upload
    dinhnhi

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Otonomi khusus yang diberlakukan bagi Provinsi Papua berdasarkan Undang-undang

Nomor 21 Tahun 20011 merupakan kebijakan yang bernilai strategis dalam peningkatan

pelayanan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh rakyat Papua, karena itu

diharapkan terjadi peningkatan pada berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk bidang

pendidikan. Pemerataan pendidikan mencakup equality (persamaan kesempatan untuk

memperoleh pendidikan) dan equity (keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan).

Akses terhadap pendidikan disebut merata jika semua penduduk usia sekolah, telah mendapat

kesempatan pendidikan dan disebut adil jika antar kelompok dalam masyarakat dapat menikmati

pendidikan secara merata.2

Pemerintah telah berusaha agar anak laki-laki dan perempuan dapat memperoleh

pendidikan dasar secara keseluruhan. Hal ini dilihat dengan mencermati angka partisipasi di

sekolah dasar tercatat bahwa dengan angka 94,7% Indonesia hampir mewujudkan target

memasukkan semua anak ke sekolah dasar. Meski data yang ada merupakan angka nasional,

namun secara garis besar dapat dilihat jumlah perbedaan antar daerah yang cukup tinggi.

Misalnya dengan membandingkan kedua provinsi yaitu dari 96.0% untuk Kalimantan Tengah

hingga 68,1% untuk Papua Barat.3 Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 33

1 “UU 21 tahun 2001 - Otonomi Khusus Bagi Provinsi P apua”. Dalam http://prokum.esdm.go.id/uu/2001/uu-21-

2001.pdf, diakses pada 1 Mei 2013. 2 “Peranan Otonomi Khusus Papua Dalam Pemerataan Pendidikan Di Papua Barat “, dalam

http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/258822, diakses pada 4 Mei 2013. 3 “Sekolah mahal, perempuan tertinggal”, dalam http://www.balisruti.or.id/wp-content/uploads/2011/09/Bali-

Sruti-No3-for-web.pdf, diakses pada 12 Maret 2014.

Provinsi, tentunya memiliki masalah pendidikan masing-masing yang harus dihadapi disamping

perkembangannya. Untuk Perkembangan Pendidikan di Papua Barat secara keseluruhan belum

mengalami kemajuan yang signifikan. Hal ini didukung oleh tingkat putus sekolah,

meningkatnya angka kelulusan, angka partisipasi, dan angka meneruskan sekolah yang masih

sama dari tahun ke tahun. Selain itu perkembangan lainnya dapat dilihat juga dari jumlah murid,

guru, dan sekolah per tahunnya di tiap-tiap Kabupaten/ Kota.

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sorong adalah pelayanan pendidikan bagi masyarakat

dalam rangka pengembangan sumber daya manusia. Pembangunan di bidang pendidikan

mencakup tiga hal penting, yakni pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan

kualitas mutu dan kualifikasi guru, peningkatan kualitas tenaga pendidik dan peserta didik. Hal

ini direalisasikan dalam berbagai kebijakan lain seperti kebijakan dalam pembentukan struktur

organisasi pemerintah Kabupaten Sorong, dan kebijakan pengadaan tenaga kerja atau pegawai

negeri sipil. Ditinjau dari aspek organisasi pemerintah Kabupaten Sorong, dibentuk 2 Dinas

yang mengelola penyelenggaraan pendidikan yakni Dinas Pendidikan Dasar, dan Dinas

Pendidikan Lanjutan. Dinas Pendidikan Dasar mengelola penyelenggaraan pendidikan Sekolah

Dasar (SD), dan Dinas Pendidikan Lanjutan mengelola penyelenggaraan pe ndidikan Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) serta Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).4

Pemerintah masih terus berfokus pada masalah pendidikan, meskipun keadaan ini

tertutupi oleh peningkatan angka partipasi sekolah yang terus meningkat, namun persoalan

pendidikan bukanlah sebatas askes untuk sekolah, tetapi memberikan akses pendidikan dasar

yang utuh. Disamping itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam prosesnya banyak anak

yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Situasi ini semakin diperparah dengan

4 “Pendidikan”, dalam http://www.unicef.org/indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_%28Ind%29_130731.pdf,

diakses pada 20 Desember 2013.

melihat jumlah anak yang tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti. Saat ini misalnya,

sekitar 9% anak harus mengulang di kelas 1 sekolah dasar. Sementara pada setiap jenjang kelas,

sekitar 5% putus sekolah. Akibatnya, sekitar seperempat anak Indonesia tidak lulus dari sekolah

dasar. Pada 2005, 77% bersekolah hingga kelas 6 dan pada akhir tahun tersebut, hanya 75% yang

lulus.5 Pemerintah dapat melihat bahwa proporsi anak yang lulus sekolah mengalami

peningkatan. Tingkat kelulusan sekolah dasarpun hanyalah langkah pertama, anak-anak yang

telah lulus kerap terhenti pendidikannya.

Ada banyak hal yang menjadi faktor utama masalah keterbatasan akses pendidikan dasar di

Indonesia khusunya Kabupaten Sorong. Faktor utama adalah ketidakmampuan orangtua dalam

memberikan fasilitas pendidikan bagi anaknya. Misalnya lahan pertanian keluarga yang masih

membutuhkan jasa anak-anak untuk membantu orang tua. Disisi lain persoalan utama terletak

pada ketidakmampuan orangtua untuk membayar biaya sekolah yang disebabkan oleh faktor

kemiskinan. Menurut hasil Sensus Nasional terbaru Badan Pusat Statistik telah merekam data

perkembangan terbaru mengenai angka kemiskinan di Indonesia. Hasil sensus itu juga

memetakan wilayah yang masih menghadapi persoalan kemiskinan yang cukup parah.

Kemiskinan adalah salah satu masalah mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah

negara manapun, karena salah satu tugas pemerintah adalah menyejahterakan masyarakat.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang

menjadi 31,02 juta orang (13,33%) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang.

Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi. Yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah

5“Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan dapat menyelesaikan

pendidikan dasar ” Dalam http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/topik-kesehatan/lets-speak-out-for-mdgs/96-tujuan-2-mdg-target-2a, diakses pada 12Maret 2014.

mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp. 211.726,- per kapita per bulan. Jika

membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan

kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah

dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka

kemiskinannya mencapai 36%, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar

13,33%.6

Di samping persoalan kemiskinan, sekolah juga dapat menimbulkan masalah jika tidak bisa

memberikan sesuatu yang bernilai bagi peserta didik. Misalnya yang berkaitan erat dengan akses

fasilitas termasuk buku atau peralatan yang memadai, serta kondisi bangunan yang tidak layak

digunakan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah

berkewajiban mengeluarkan anggaran lebih banyak sehingga orang tua murid tidak perlu

menanggung biaya sekolah yang terlalu mahal. Meskipun sebelumnya cenderung kurang

menyalurkan dana publik untuk pendidikan, Namun, beberapa tahun terakhir alokasi untuk

pendidikan termasuk untuk gaji guru, meningkat di Indonesia. Saat ini, jumlahnya sekitar 17%

dari total pengeluaran pemerintah. Peraturan tersebut menyebutkan, pada tahun 2009 sebanyak

20% dari anggaran pusat maupun daerah, harus digunakan untuk pendidikan. Tanpa gaji guru,

proporsi tahun 2007 hanyalah sekitar 9%, sehingga untuk mencapai 20% perlu kenaikan yang

luar biasa.7 Pada tahun 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemerintah wajib

memenuhi kewajiban memenuhi 20% alokasi APBN untuk pendidikan. Namun, selain

pemerintah pusat, banyak hal tergantung pada pemerintah kabupaten. Saat ini, pemerintah

6 “10 Provinsi paling miskin di Indonesia”, dalam http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/173118-10-propinsi-

paling-miskin-di-indonesia, diakses pada 12 Maret 2013. 7 “Penangulangan kemiskinan pemerintah daerah”, dalam http://bappeda.kutaikartanegarakab.go.id/info/wp-

content/uploads/EbookbappedaNonSave1/mgd_2012/files/search/searchtext.xml, diakses pada 12 Maret 2014.

kabupaten bertanggung jawab terhadap sekitar dua per tiga pengeluaran publik untuk pendidikan

dan menggunakan hampir seluruhnya untuk gaji guru.8

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan dalam laporan hasil kerja sama UNDP dan

pihak Fakultas Ekonomi Universitas Papua tahun 2010, dirumuskan beberapa kesimpulan bahwa

Kapasitas Pemerintah Kabupaten Sorong untuk menyelenggarakan pemerintahan dan

pembangunan ditinjau dari aspek jumlah dan tingkat pendidikan pegawai negeri sipil dinilai telah

memadai. 9

Namun jika ditinjau dari aspek infrastruktur pemerintahan dalam hal lokasi

pemukiman dengan lokasi tempat bekerja masih menjadi kendala karena jarak yang cukup jauh,

sekitar 20 hingga 23 Kilometer. Akses sejumlah Dinas Pemerintah dengan lokasi pemukiman

masyarakat Kabupaten Sorong membawa dampak rendahnya kapasitas Pemerintah Kabupaten

Sorong untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Belajar dari potret ini, akhirnya

Pemerintah Kabupaten Sorong mengeluarkan peraturan Pemerintah Daerah yang didalamnya

sedikit mengesampingkan anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) untuk lebih di Fokuskan ke bidang lain seperti pembangunan

infrastruktur. Ada sebagian daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan tidak lebih dari 20

persen.10

Angaran pendapatan belanja daerah (APBD) Kabupaten Sorong dari tahun 2007 sampai

saat ini masih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur jalan, jembatan,

kesehatan, dan pendidikan. Terobosan yang dilakukan Bupati salah satunya dengan membangun

infrastruktur jalan. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sorong dengan mengutamakan

8 “Penyiasatan Anggaran Pendidikan 20 Persen”, dalam http://www.antikorupsi.org/id/content/penyiasatan-

anggaran-pendidikan-20-persen, diakses pada 12 Maret 2014. 9 “Kabupaten Sorong”, dalam

http://www.undp.or.id/papua/docs/Local%20Govt.Assessment_UNIPA%20FINAL%20REPORT.pdf, diakses pada 20 Desember 2013. 10

Ibid

pembangunan infrastruktur jalan tersebut dinilai akan berdampak baik terhadap bidang lainnya

seperti kesehatan, pendidikan dan pemerdayaan ekonomi masyarakat.11

Meskipun Pendidikan

tetap masuk dalam prioritas kebijakan pemerintah daerah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa

pendidikan masih menjadi fokus lain selain masalah pembangunan infrastruktur jalan. Prioritas

pembangunan di bidang lain selain pendidikan memberikan dampak yang signifikan terhadap

permasalahan pendidikan di Kabupaten Sorong. Budaya penggunaan alokasi anggaran yang

tidak efektif dan efisien dalam peningkatan aksestabilitas pendidikan masih menjadi pekerjaan

rumah pemerintah Kabupaten Sorong. Peningkatan anggaran pendidikan tersebut mayoritasnya

harus dialokasikan untuk biaya penyelenggaran pendidikan tanpa terkecuali. Dalam konteks ini,

kendala lain yang sering ditemui adalah dalam proses penentuan Rencana Anggaran Pendapatan

dan Belanja Sekolah (RAPBS). Kedudukan RAPBS menjadi hal sentral dalam menentukan

prioritas dalam alokasi anggaran. Akan tetapi seperti kita ketahui bahwa dalam proses

penyusunan RAPBS tersebut sejauh ini masih didominasi oleh kepala sekolah saja tanpa

mengajak pihak masyarakat. Hal ini kemudian menimbulkan polemik lain seperti

penyalahgunaan dana pendidikan. Kurangnya aksesbilitas dan transparansi dana pendidikan

semakin menjadi persoalan bagi pendidikan di Kabupaten Sorong.12

Dari beberapa pemaparan diatas, Sejatinya problematika kemiskinan dan penyalahgunaan

anggaran pendidikan merupakan hal yang erat kaitannya. Kondisi kemiskinan bisa dijadikan

cermin atas pelaksanaan pendidikan, begitu juga sebaliknya. Secara historis kebijakan sekolah

gratis muncul sebagai jawaban atas berbagai persoalan pendidikan di Indonesia. Dalam konteks

pelaksanaan pendidikan gratis, sebenarnya masih menimbulkan masalah baru misalnya peluang

11

“APBD masih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur”, dalam http://www.infopublik.org/read/59949/apbd-masih-difokuskan-untuk-pembangunan-infrastruktur.html, diakses pada 20 Desember 2013. 12

Ibid

korupsi di dunia pendidikan menjadi semakin besar dan terbuka. Indikasinya terlihat dari hasil

survei indeks korupsi yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang

terbaru, yang mengatakan bahwa indeks korupsi negara tidak mengalami pergerakan yang

signfikan di Sektor pendidikan.13

Permasalahan pendidikan membutuhkan pemihakan yang jauh lebih besar dari pada daerah

lain di Indonesia. Keterbelakangan pelayanan pendidikan di Tanah Papua sudah sangat

memprihatinkan. Hal ini semakin menambah rentetan persoalan lain di bumi cendrawasih,

terbukti dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa salah satu kabupaten di Papua Barat yang

angka buta aksara dapat mencapai 98 persen. Dampak dari permasalahan pendidikan, posisi IPM

atau Indeks Pembangunan Manusia di Tanah Papua tercatat terendah dari 33 provinsi di

Indonesia. Pengembangan pendidikan dasar melalui revitalisasi SD dan SMP harus selesai dalam

waktu 3 tahun sampai dengan tahun 2015.14

Keadaan provinsi Papua Barat yang memprihatinkan

dapat dilihat dari beberapa data berikut. Misalnya tentang IPM atau Indeks Pembangunan

Manusia (IPM)/ Human Development Index adalah pengukuran kesejahteraan dengan

membandingkan antara harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup. Papua Barat

berada pada posisi 3 terbawah di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2011. Ukuran kesejahteraan

tersebut diperkenalkan dan diterbitkan oleh PBB dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human

Development Report) sejak tahun 1990.15

Selain itu dapat dilihat dari angka partisipasi murni

13

“Indonesia 2006”, dalam http://theindonesianinstitute.com/wp-content/uploads/2014/02/Indonesia-report-2006.pdf, diakses pada 12 Maret 2014.

14 “Pelayanan Pendidikan di Tanah Papua Sudah Sangat Memprihatinkan“ , Dalam

http://www.up4b.go.id/index.php/prioritas-p4b/7-pendidikan/item/290-pelayanan-pendidikan-di-tanah-papua-sudah-sangat-memprihatikan, diakses pada 30 April 2013.

15 “ Indeks Pembangunan Manusia 2011”, dalam http://tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/91_Pabar.pdf,

diakses pada 1 Mei 2013.

(APM) sebagai salah satu indikator utama dibidang pendidikan pada jenjang pendidikan dasar

dapat ditentukan wilayah yang perlu memperoleh prioritas intervensi. Wilayah tersebut adalah

wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi dan APM SD/MI rendah. 16

Berikut ini merupakan

data Angka Putus Sekolah Di Papua Barat pada tahun 2009-2011 yang dilihat dari umur 7-12

Tahun dalam ukuran persen, dimana usia ini merupakan indikator partisipasi yang di usung

MDGs sebagai dasar usia pendidikan Dasar. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2011, rata-rata

nasional angka putus sekolah untuk kelompok umur 7-12 tahun (jenjang SD) adalah 0,67 persen.

Untuk kelompok umur 13-15 tahun (jenjang SMP) adalah 2,21 persen, dan kelompok umur 16-

18 tahun (jenjang SMA) adalah 3,14 persen.17

Dari segi angkanya, secara nasional terdapat

182.773 siswa SD yang putus sekolah alias tidak sampai tamat. Untuk tingkat SMP, terdapat

209.976 siswa yang putus sekolah, dan 223.676 siswa tingkat SMA yang drop out (DO). Secara

spesifik, Jika angka partisipasi sekolah usia 7-12 tahun pada tahun 2008 sekitar 83,08, tiga tahun

kemudian angkanya menurun menjadi 76,22. Angka ini tergolong tinggi jika dibandingkan

dengan wilayah lain.18

Pada wilayah tersebut diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan

APM sekolah jenjang pendidikan dasar Kabupaten Sorong.

Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan

menjadi Tujuan Pembangunan Milenium adalah sebuah paradigma pembangunan global,

dideklarasikan Konperensi Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan

16

“Angka Putus Sekolah menurut Kabupaten/Kota, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur Tahun 2009 ”, dalam http://irjabar.bps.go.id/?no=469&pilih=tabel1, diakses pada 1 Mei 2013.

17“Inilah, Peringkat 5 Besar Provinsi Berdasarkan Angka Putus Sekolah”, dalam

http://www.srie.org/2013/02/inilah-peringkat-5-besar-provinsi.html, diakses pada 1 Mei 2013. 18

“Generasi Unggul Bumi Cenderawasih Menunggu Sentuhan Ekstra “, Dalam

http://nasional.kompas.com/read/2012/06/27/03322530/Generasi.Unggul.Bumi.Cenderawasih.Menunggu.Sentuh

an.Ekstra, diakses pada 1 Mei 2013.

Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000. Semua negara yang hadir

dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari

program pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu

yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian,

keamanan, dan pembangunan. Deklarasi ini merumuskan pembangunan global yang salah

satunya bertujuan untuk mencapai pendidikan dasar untuk semua.19

Setiap tujuan menetapkan

satu atau lebih target serta masing-masing sejumlah indikator yang akan diukur tingkat

pencapaiannya atau kemajuannya hingga tahun 2015. Sebagai salah satu negara yang ikut

menanda tangani deklarasi MDGs, Indonesia mempunyai komitmen untuk melaksanakannya

serta menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan program pembangunan nasional baik jangka

pendek, menengah, dan panjang. Dalam proses pencapaian MDGs dengan fokus kajian pada

masalah pendidikan, maka dapat dijelaskan dengan berbagai indikator antara lain: 20

Gambar 1

Indikator MDGS

Tujuan Sasaran Indikator

1. Mencapai

pendidikan

dasar untuk

semua

2. Memastikan pada tahun

2015 semua anak

dimanapun, laki-laki

maupun perempuan,

dapat menyelesaikan

pendidikan dasar

3. Angka partisipasi murni di

sekolah dasar (7-12 tahun)

4. Proporsi murid kelas 1

yang berhasil mencapai

kelas 5

5. Angka melek huruf 15-24

tahun

Sumber : BPS (diolah)

19

“Millennium Development Goals (MDGs)”, dalam http://mdgs-dev.bps.go.id/main.php?link=home, diakses pada 1 Mei 2013. 20

“indikator mdgs”, dalam http://mdgs-dev.bps.go.id/main.php?link=indikator_int&goal=2, diakses pada 1 Mei 2013.

Pendidikan merupakan masalah bersama, karena bukan hanya menjadi masalah daerah

saja tapi menjadi pendidikan telah menjadi masalah nasional dan bahkan merupakan masalah

internasional. Disinilah UNICEF yang merupakan salah satu organisasi internasional yang

khusus membantu anak-anak di dunia mulai masuk dan menawarkan berbagai bantuan dan

kerjasama. Bergesernya isu-isu dalam hubungan internasional seperti ekonomi, lingkungan

hidup, sosial, dan budaya, semakin menuntut aktor internasional baik itu negara berkembang

ataupun negara maju dituntut untuk melakukan kerjasama untuk memenuhi kepentingannya.

Organisasi internasional merupakan salah satu wadah untuk melakukan kerjasama Internasional

tersebut. Sebagai mitra pemerintah Indonesia, UNICEF berkomitmen untuk mengkonsolidasikan

prestasi pembangunan yang telah dicapai dalam beberapa tahun belakangan ini, serta

memberikan bantuan strategis yang dibutuhkan Indonesia dalam menghadapi tantangan secara

keseluruhan. UNICEF akan terus membantu Pemerintah di tingkat nasional, provinsi dan

kabupaten, serta masyarakat madani dan sektor swasta, dalam upaya mereka untuk

mempromosikan pembangunan manusia di Indonesia termasuk Kabupaten Sorong.21

B. Rumusan Masalah

Bagaimana UNICEF berperan bagi peningkatan program pendidikan di Kabupaten Sorong?

C. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai peran organisasi internasional di Negara berkembang telah banyak

dibahas oleh para akademisi dan praktisi dunia. Dalam gambaran tentang peran UNICEF dalam

pencapaian program MDGs di Indonesia dapat dilihat dan dibandingkan dengan realisasi

21 “Laporan pencapaian tujuan pembangunan millennium indonesia”, dalam http://gizi.depkes.go.id/wp-

content/uploads/2011/10/lap-pemb-milenium-ind-2010.pdf, diakses pada 1 Mei 2013.

program-program organisasi internasional yang pernah ada. Beberapa diantaranya berujung pada

kesimpulan yang variatif. Hal ini bisa dilihat sesuai dengan Tulisan M. Yusuf Feiny Sentosa

yang berjudul Peningkatan tata kelola pendidikan dasar di Indonesia. Dalam Tulisannya, Yusuf

memaparkan tentang Salah satu Program Bank Dunia sebagai salah satu lembaga internasional

yang menjalankan program di wilayah Indonesa Timur yaitu Jayapura. Ada beberapa kontribusi

dari Bank Dunia yang berperan sebagai lembaga perwalian dalam bantuan operasional. Bank

dunia memberikan program secara langsung dari tahun 2011 hingga 2012 ke kabupaten di

Jayapura. Dampak dari bantuan Bank Dunia ini memberikan perubahan bagi perkembangan

dalam hal operasional dan semakin menunjang adanya transparansi dalam pelaporan keuangan

yang selama ini diabaikan oleh Pemerintah Jayapura. Selain itu, perhatian Bank Dunia

dikembangkan dalam pengadaan inventaris barang dan perubahan metode belajar. Dapat

disimpulkan bahwa organisasi internasional sangat dominan dalam hal pembiayaan, sedangkan

dalam pelayanan jasa masih menjadi hambatan karena kurangnya tenaga ahli yang terlatih.

Selain itu program ini dijalankan di ibukota provinsi yang notabene sudah terjangkau secara

umum. Kekurangan dalam program Bank Dunia ini terletak pada ruang lingkup penerapan

program yang tidak menyentuh wilayah pedesaan yang sangat terbatas akan berbagai akses. 22

Disamping itu, peran Organisasi Internasional di Indonesia dapat dilihat dala tulisan Faida

Indana tentang Efektivitas kerjasama UNDP dan Pemerintah Indonesia dalam pencapaian

program MDGs pada bidang pendidikan di Indonesia periode tahun 2001-2007 dijelaskan

tentang pola hubungan kerjasama yang teruji berhasil diihat dari beberapa indikator. Hal ini

dilihat dari sisi teknis seperti pendanaan dan koordinasi antara UNDP dengan pemerintah yang

22

“Meningkatkan tata kelola pendidikan dasar di Indonesia”, dalam http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2012/03/30/000333038_20120330014112/Rendered/PDF/649740NEWS0REP00Box361559B00PUBLIC0.pdf, diakses pada 10 April 2014.

terlepas dari mekanisme pendekatan normatif.23

Dalam tulisannya Faida memaparkan tentang

bagaimana sebuah peran organisasi internasional “bergerak” dalam upaya pencapaian program

MDGs di Indonesia melalui kerangka kerjasama yang telah dibangun. Hal ini dapat menjadi

gambaran utama bagi penulis dengan melihat proses yang terjadi dan faktor-faktor keberhasilan

tersebut sebagai wacana dasar bahwa pencapaian MDGs dinegara berkembang dapat dilakukan

melalui pendanaan. Menurut Faida, pendanaan menjadi faktor utama keberhasilan program

UNDP yang notabene merupakan Lembaga organisasi internasional di Indonesia.

Dalam tulisan Evaluation of UNDP Outcome in Indonesia oleh Dilli Prasad Bhattarai, Ia

mengkaji tentang kinerja UNDP dalam kerangka kerjasama dengan Indonesia tahun 2001-2005.

Dihasilkan berbagai kesimpulan yang dilihat dari hasil penelitian tentang kebijakan sosial di

Indonesia pada tahun 2001, Laporan Nasional Indonesia Pembangunan Manusia tahun 2001 dan

2004 beberapa diantaranya merupakan kontribusi kunci dari UNDP yang telah membantu dalam

pemulihan jangka panjang Indonesia. Beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia telah

menggunakan alokasi anggaran mereka pada sektor sosial. Faktor keberhasilan UNDP terletak

dari dukungan pendanaan yang diberikan di berbagai wilayah di Indonesia melalui program-

program seperti peningkatan kebutuhan masyarakat di provinsi Papua, pengarusutamaan gender,

dan pencegahan HIV/AIDS dalam jangka panjang. 24

Dalam hal ini, sama halnya dengan

penelitian Faida tentang Kontribusi sebuah lembaga internasional, Menurut Dilli keberhasilan

pembangunan manusia di Indonesia tahun 2001-2005 disebabkan oleh bagaiman UNDP sebagai

lembaga internasional menyelenggarakan program kemanusiaannya. Hal mendasar yang

23

Indana Faida, Efektivitas kerjasama UNDP dan Pemerintah Indonesia dalam pencapaian program MDGs pada bidang pendidikan di Indonesia periode tahun 2001-2007, Tesis Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2009. 24

“Evaluation of UNDP Outcome in Indonesia”, dalam erc.undp.org/evaluationadmin/downloaddocument.html?docid=902 , diakses pada 1 Mei 2013.

merupakan kekurangan dari tulisan Dilli adalah Dilli kurang menjelaskan secara rinci tentang

nama program serta program apa yang paling cocok diterapkan di Indonesia. Selain itu juga

kajian wilayah pada tulisan Dilli tidak ada. Dilli hanya memaparkan secara umum tentang

Indonesia. Menurut Penulis, studi kasus berdasarkan Wilayah seperti Provinsi atau Kota dan

Kabupaten sangat diperlukan agar kajian tersebut dapat teruji berdasarkan contoh wilayah. Hal

inilah yang menjadi dasar penulis untuk mengkaji berdasarkan studi kasus wilayah Kabupaten

sebagai contoh penerapan program dari sebuah Organisasi Internasional.

Tulisan yang lain berjudul mewujudkan target MDGs pendidikan untuk kemajuan pendidikan

masa datang oleh Atok Miftachul Hudha yang menjelaskan tentang Posisi Indonesia dalam

pencapaian MDGs yang masih tergolong sulit. Penelitiannya berakar pada faktor standar

pendidikan dan pembelajaran yang dikelola dan terbelenggu pada cara-cara tradisional dan

konvensional, sementara tuntutan jaman telah mengalami lompatan kompetensi pendidikan

berskala global. Dampak dari hal ini adalah stimulus dan respon peserta didik terhadap

pembentukan kompetensi peserta didik belum optimal, karena kompetensi pendidikpun belum

memenuhi standar profesional yang diharapkan. Tulisan ini menjelaskan lebih tentang

“Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia yang

diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium

Development Goals (MDGs) yang masih menjadi “pekerjaan rumah” bangsa ini. Hal menarik

dalam tulisan Atok adalah pada bagian akhir penelitian ini yang menekankan bahwa tidak ada

perkembangan dalam pendidikan di Indonesia karena Implementasi dalam bidang pendidikan

masih terfokus pada cara-cara konvensional seperti metode belajar yang dinilai kurang efektif.

Dari hal ini, penulis tertarik melihat bagaimana peran UNICEF dalam implementasi program

yang dapat dikembangkan dari penelitian penulis, metode apa yang dipakai UNICEF apakah

sama dengan cara konvensional atau sebaliknya UNICEF menghadirkan sesuatu yang baru.

Kajian keilmuan lainnya yang membahas tentang program UNICEF di paparkan oleh Kartini

Setyawati dalam tulisannya yang berjudul “Implementasi Program Manajemen Berbasis Sekolah

sebagai upaya peningkatan keefektifan proses pembelajaran pada sekolah dasar (studi kasus di

Sekolah Dasar Negeri 1 Sudagaran Banyumas)”. Kartini menegaskan bahwa implementasi

program manajemen berbasis sekolah sebagai hasil kerja sama antara pemerintah indonesia

dengan UNICEF di Kabupaten Banyumas tidak berhasil. Dalam kelembagaan pendidikan,

tingkat kesejahteraan guru, aspek kualitas, maupun penyebarannya yang antar daerah kurang

merata, menjadi permasalahan yang sering mengemuka. implementasi program manajemen

berbasis sekolah di Kabupaten Banyumas dimulai sejak tahun pelajaran 1999/2000 sangatlah

beragam dan tidak sama antara sekolah yang satu dengan yang lain. Artinya bahwa UNICEF

kurang berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Banyumas meskipun hal

ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun dari luar. 25

Dengan membandingkan hasil penelitian Kartini, Penulis melihat kekurangan dalam

penelitian ini adalah Kartini hanya menggunakan satu sampel sekolah sebagai kajian dasar

penelitiannya. Hal ini menurut penulis dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dengan

memilih lebih dari satu sampel sekolah dengan mengambil contoh sekolah per kecamatan di tiap

Kabupaten, agar lebih terinci dan mewakili kondisi daerah setempat.

25

“implementasi program manajemen berbasis sekolah sebagai upaya peningkatan keefektifan proses pembelajaran pada sekolah dasar (studi kasus di Sekolah Dasar Negeri 1 Sudagaran Banyumas)“ , dalam http://eprints.uns.ac.id/8070/, diakses pada 20 Desember 2013.

Tulisan lain dapat dilihat dari karya penelitian Samsuridjal Djauzi “Bantuan Asing dan

Upaya penanggulangan AIDs dan Masalah-Masalah Sosial di Indonesia”. Inti dari tulisannya

yaitu menggambarkan tentang bagaimana pengaruh bantuan asing yang sifatnya formal maupun

non formal yang dijelaskan lebih dalam tentang bagaimana ketergantungan Indonesia terhadap

bantuan asing dalam penyelesaian masalah-masalah sosial lainnya. 26

Saat ini, kendala utama

yang dihadapi Indonesia dalam menjawab tantangan dan mencapai tujuan pembangunan yang

direncanakan bukanlah masalah kurangnya sumber daya finansial. Dalam konteks inilah agenda

efektivitas bantuan dana selalu menjadi kunci utama yang relevan. Ketergantungan Indonesia

mendapat dukungan dana dari dari pihak luar menjadi faktor keberhasilan sebuah program.

Dalam hal ini, penulis melihat bahwa ada semacam penekanan dari makna kontribusi yang

terjalin melalui kerjasama yang telah disepakati. Kelima literatur diatas memiliki kesamaan

dalam menjelaskan skema implementasi program organisasi internasional melalui kerjasama,

gambaran yang jelas tentang program-program yang dijalankan, serta hambatan-hambatan dari

pihak pemerintah Indonesia. Secara umum kelima literatur ini memfokuskan keberhasilan

program melalui pemberian dana. Oleh karena itu, berdasarkan kajian/tulisan terdahulu terkait

peran UNICEF dalam peningkatan program pendidikan di kabupaten Sorong, penulis melihat

bahwa kajian ini belum pernah diteliti secara spesifik. Apakah pola penerapan program UNICEF

akan sama halnya dengan pola yang diterapkan pada wilayah lain di Indonesia, mengingat

Kabupaten Sorong sebagai bagian dari Provinsi Papua Barat sangat mencolok perbedaannya

dengan wilayah yang lain. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian atau hasil karya

sebelumnya secara garis besar dapat dilihat dari sisi tempat dan waktu. Penelitian ini akan

difokuskan di Kabupaten Sorong yang menjadi salah satu kabupaten intervensi UNICEF dengan

26

Samsuridjal Djauzi, Bantuan Asing dan Penanggulangan AIDS dan Masalah-masalah Sosial di Indonesia, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.

program di bidang pendidikan Fokus kajian ini berakar pada pertanyaan bagaimana kontribusi

UNICEF dalam upaya pencapaian MDGs di bidang pendidikan yaitu guna meningkatkan mutu

pendidikan.

D. Kerangka Konseptual

Untuk menjelaskan tentang bagaimana peran Organisasi Internasional dalam upaya

pencapaian program MDGs ke-2 di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan interaksi dunia

internasional yang semakin diwarnai dengan adanya aktor-aktor lain selain aktor formal (Negara)

dalam semakin kompleks dan penting keberadaannya. Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan beberapa pendekatan, antara lain peran organisasi internasional menurut Clive

Archer yang terbagi menjadi tiga peran organisasi internasional, yaitu:27

1. Peran sebagai instrumen, yaitu menjadi alat yang tepat bagi negara anggota untuk tujuan

tertentu, yang menjadi relevan ketika tujuan organisasi internasional merefleksikan

kepentingan dari anggotanya dan hal tersebut benar-benar direalisasikan;

2. Peran sebagai arena atau forum yang sifatnya netral dalam menetapkan tujuan organisasi,

yang ditunjukkan dengan adanya tindakan tertentu, yaitu mengadakan pertemuan dari

anggotanya untuk bersama-sama mendiskusikan, berargumen, bekerjasama atau menolak

3. Peran sebagai aktor independen, yaitu bagaimana organisasi internasional dapat

membantu keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan atau paksaan

dari luar organisasi.

Dalam kaitannya dengan peran UNICEF dalam peningkatan pendidikan di Kabupaten

Sorong, konsep yang dipakai adalah dengan melihat UNICEF berperan sebagai instrumen atau

27

Perwita dan Yani (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosda. Hal. 95-97.

alat dalam membantu Indonesia dalam memenuhi kepentingan nasionalnya. Dalam melihat

keberadaan aktor internasional sebagai instrumen dalam menjalankan tugas UNICEF bergerak

sesuai dengan prinsip, norma, aturan, prosedur, serta program yang ada sebagai sebuah

organisasi.

Konsep peran organisasi internasional ini dipakai dalam melihat seberapa besar peran dan

kontribusi UNICEF dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Sorong.

Ketentuan-ketentuan yang ada dalam konsep ini merupakan ketentuan yang dapat dijalankan

sebagai metode penanganan isu atau problematika dalam menjalankan peran sebagai organisasi

internasional. Dengan mengaitkan prosedur, program, aturan, norma, prinsip yang

ditransformasikan dalam bentuk nyata. Dalam hal ini, ukuran peran UNICEF dalam kontribusi

dapat dilihat dari berbagai program yang dijalankan dan yang terselesaikan. Bagaimana

menerjemahkan Kemitraan dengan Pemerintah dan rakyat Indonesia untuk mendukung usaha-

usaha nasional mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), misalnya dalam program

kerja UNICEF di Kabupaten Sorong melipui interaksi dan keterlibatannya dalam menjawab

persoalan pendidikan yang berpusat penyelengaraan program-program serta bantuan yang dijalin

melalui kerjasama.28

Peran Organisasi Internasional dalam realitasnya mengarah pada tujuan

untuk meningkatkan akses pada pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan dan efisien.

Artinya bahwa UNICEF merupakan perpanjangan tangan melalui program-program. Salah satu

program yang sedang dilakukan di Kabupaten Sorong adalah strategi dan kebijakan UNICEF

manajemen berbasis sekolah. Dalam programnya UNICEF mendukung pemerintah kabupaten

Sorong untuk meningkatkan akses pendidikan dasar melalui sistem informasi pendidikan

berbasis masyarakat. Program dilaksanakan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat

28

“Siapa kami”, dalam http://www.un.or.id/id/siapa-kami, diakses pada 1 Mei 2013.

dengan tujuan wajib belajar sembilan tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15 tahun.

Dalam hal ini, UNICEF memberi dukungan teknis dan dana serta berperan monitoring, evaluasi

secara langsung.

Selain konsep peran organisasi internasional, pendekatan lain yang digunakan dalam

menjawab pertanyaan penelitian terkait peran UNICEF adalah pendekatan Bantuan Asing.

Bantuan Asing merupakan salah satu instrumen dalam interaksi internasional melalui kebijakan

luar negeri yang sering digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum bantuan luar

negeri dapat didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintah atau organisasi ke

pemerintah atau organisasi lain yang dapat berupa barang, jasa ataupun dana. K.J. Holsti dalam

bukunya “International Politics: Framework of Analysis” mengartikan bantuan luar negeri

sebagai transfer uang, teknologi, ataupun nasihat-nasihat teknis dari negara donor ke negara

penerima. Ia menegaskan ada 4 tipe utama bantuan luar negeri 29

:

1. Technical assistance/ bantuan teknis, bertujuan untuk mendukung proyek-proyek dalam

skema yang berupa penyediaan tenaga ahli dan atau konsultan untuk melaksanakan suatu

proyek atau kegiatan tertentu. Bantuan ini umumnya berupa studi untuk persiapan,

apparsial ataupun monitoring proyek-proyek pengadaan barang dan jasa yang dibiayai

pinjaman. Pihak pemberi dana menyediakan tenaga ahli dan membiayai seluruh kegiatan

yang dilakukan tenaga ahli. Bantuan ini tidak perlu dibayar kembali namun dalam

pelaksanaannya menuntut persyaratan yang dituangkan dalam kesepakatan.

29 Holsti, K.J., Politik Internasional: Kerangka Analisa, (New Jersey : Prentice Hall), 1995. hal 180.

2. Grants / hibah, dalam skema ini sama dengan pinjaman luar negeri untuk proyek

pembangunan. Sumber dananya tidak perlu dikembalikan.

3. Pinjaman pembangunan merupakan bantuan keuangan yang diberikan untuk mendukung

pembangunan yang berfokus pada pengentasan kemiskinan dalam jangka panjang, daripada

respon jangka pendek.

4. Bantuan kemanusiaan (aid). Bantuan ini sifatnya lebih pada bantuan darurat. Perwakilan

negara donor umumnya memiliki alokasi dana khusus untuk bantuan-bantuan kemanusiaan.

Penulis menggunakan konsep bantuan asing dalam tipe bantuan teknis yang mana

memuat norma pelaksanaan pemberian bantuan luar negeri adalah tidak terlepas juga dari

motivasi para pemberi bantuan luar negeri (pendonor) sebagai Motif kemanusiaan, yang

bertujuan untuk mengurangi beban di negara dunia ketiga melalui kerjasama yang bersifat teknis.

Artinya bahwa dalam hal ini transformasi peran dari UNICEF didasarkan pada bantuan yang

merupakan hasil kerjasama dan pelaksanaan program demi peningkatan di Negara penerima. Hal

ini dapat dijalankan melalui kerjasama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara

umum, bantuan teknis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:30

A. Penyediaan perlengkapan fisik, mencakup pemberian secara langsung alat dan bahan

untuk menunjang terlaksananya kegiatan pemohon, serta berbagai teknologi yang

mendukung.

B. Pendampingan, termasuk di dalamnya fasilitasi, advokasi kebijakan, pembentukan

jaringan, kerjasama atau asosiasi. Bentuk pembiayaan ini banyak diberikan oleh lembaga

30

“ What is technical assistance?”, dalam http://www.unesco.org/new/en/culture/themes/cultural-diversity/cultural-expressions/programmes/technical-assistance/what-is-technical-assistance/, diakses pada 10 Juni 2013.

donor dan organisasi nirlaba/non-pemerintah dalam hal pembentukan organisasi

masyarakat, pembuatan atau perbaikan kebijakan.

C. Peningkatan kapasitas, yaitu peningkatan kemampuan dan sumberdaya individu,

organisasi dan komunitas dalam mengatasi perubahan pembangunan, termasuk di

dalamnya adalah pembentukan kesadaran, keterampilan, pengetahuan, motivasi,

komitmen dan kepercayaan diri.

D. Pengkajian, dalam bentuk studi atau saran di bidang yang diajukan oleh pemohon.

Bentuk pembiayaan ini terutama dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga donor

serta beberapa organisasi nirlaba/non-pemerintah.

Berdasarkan pendekatan Holsti, Penulis menggunakan metode penyediaan perlengkapan

fisik, dan pendampingan dalam melihat bagaimana UNICEF berperan melalui program-

programnya. Bantuan teknis melalui penyediaan fisik misalnya berupa alat peraga atau

penunjang kegiatan belajar siswa di sekolah. Pendampingan yang dimaksud berupa alokasi

berbagai kegiatan yang berkaitan langsung dengan dunia pendidikan yang dijalankan secara

berkala dan diawasi melalui beberapa lembaga. UNICEF sebagai lembaga internasional

berkompeten melakukan monitoing dan evaluasi penanganan masalah pendidikan dan berfokus

pada peningkatan kualitas pendidikan. 31

31“ Papua Barat: Provinsi Pertama yang Menuju Penyusunan Kebijakan Provinsi tentang Kepemudaan”, dalam

http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21078.html, diakses pada 22 Desember 2013.

D.1. Skema Kerangka Konseptual

Persoalan akses dan

pemerataan pendidikan dasar,

infrastuktur dan manajemen

sekolah

Program peningkatan

pendidikan:

a. Pengelolaan Pendidikan yang lebih baik

b. Program Pendidikan Ramah c. Manajemen Berbasis

Sekolah meliputi: Peran Serta Masyarakat (PSM) dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).

Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Kabupaten

Sorong

MBS

Manajemen Berbasis Sekolah

Pengelolaan Pendidikan yang lebih baik

Mengurangi angka putus sekolah

Manajemen sekolah yang lebih baik

Kepastian kesempatan belajar

UNICEF Kabupaten Sorong

E. Hipotesis

UNICEF telah menjalankan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) di Kabupaten

Sorong, yang meliputi manajemen sekolah, metode pembelajaran, dan peran aktif

masyarakat. UNICEF berperan secara langsung dalam memonitioring, mengevaluasi, dan

memberikan bantuan teknis berupa penyediaan alat perlengkapan dan bantuan dana. Program

tersebut telah berjalan optimal dan membawa perubahan penting bagi pendidikan di

Kabupaten Sorong. Terlebih ada keterlibatan pemerintah daerah dalam mensukseskan

perlaksanaan program tersebut.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif

yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci suatu fenomena menjadi jelas

dengan menghubungkan data-data yang relevan untuk membuat kesimpulan yang

menggambarkan pokok permasalahan. Metode yang digunakan yaitu Grounded Theory dan

deskriptif. Yang mana menurut Strauss dan Corbin (2009:12) Grounded theory adalah

metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna

mengembangkan teori grounded, yang disusun secara induktif, tentang suatu fenomena,

Metode ini sangat bergantung dari data, yang mana teori harus beralas (Grounded). 32

Pengumpulan data dalam metode ini dilakukan dengan pengkajian hasil wawancara dan

obesrvasi dilapangan dan dimodifikasi sejalan dengan model kategorisasi, proposisi, dan

kombinasi dengan sumber–sumber yang telah ada melalui studi kepustakaan. Data-data

pendukung lain diperoleh melalui buku-buku, surat kabar, majalah, jurnal sosial politik,

32

DR. Salim Agus, MS, Teori dan Paradigma penelitian Sosial, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006, hal.176.

artikel dan web site (internet). Subjek atau responden wawancara adalah orang-orang yang

terlibat secara langsung di Kabupaten Sorong, misalnya staff dinas pendidikan, guru, kepala

sekolah, dan masyarakat setempat. Disamping wawancara, penelitian ini juga melakukan

metode kuesioner. Dalam metode ini penulis memberikan beberapa pertanyaan uraian dan

pertanyaan pilihan dengan menggunakan metode jawaban setuju atau tidak. Sama halnya

dengan wawancara, kuesioner dibagi kepada pihak-pihak terkait sebanyak 25 responden yang

mewakili tiap-tiap gugus sekolah di setiap kecamatan dan staaf dinas pendidikan Kabupaten

Sorong. Selain wawancara dan kuesioner. Penulis menggunakan metode lain yaitu observasi.

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang

tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Tujuan observasi adalah

mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang

yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari perpektif mereka yang terlihat

dalam kejadian yang diamati tersebut.

G. Jangkauan Penelitian

Penelitian ini dibatasi mulai dari tahun 2010-2013. Dipilih periode tahun ini karena atas dasar

pertimbangan mampu mempresentasikan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses

peningkatan mutu pendidikan melalui Program-program dan kerjasama UNICEF di Kabupaten

Sorong. Namun, penulis tetap akan menggunakan informasi-informasi lain yang berkaitan

dengan penulisan penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

BAB I akan berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka

konseptual, hipotesis, metode penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II akan dibahas tentang program pendidikan global UNICEF serta kiprah UNICEF

dalam menangani masalah pendidikan di berbagai Negara seperti Vietnam, Cina, Afrika dan

Indonesia.

BAB III akan dibahas tentang problematika pendidikan di kabupaten Sorong yang

menguraikan tentang kondisi faktual pendidikan di kabupaten Sorong serta upaya dan hambatan

Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong dalam penanganan masalah pendidikan.

BAB IV akan dibahas tentang analisa pembuktian hipotesis yang membahas tentang

bagaimana UNICEF berperan dalam meningkatkan program pendidikan di Kabupaten Sorong.

Sub bab ini berisi tentang keberhasilan UNICEF dalam menangani masalah pendidikan dan

evaluasi program UNICEF dalam rentang waktu 2010-2013 sesuai dengan hasil temuan

penelitian di lapangan serta implikasi dari program UNICEF di Kabupaten Sorong .

BAB V berisi kesimpulan dari seluruh hasil penelitian penulis mulai dari Bab I, Bab II, Bab

II, dan Bab IV.