73
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang dengan HIV/AIDS atau biasa dikenal sebagai ODHIV dihadapkan kepada polemik yang berkepanjangan dalam hidupnya. Selain harus berjuang melawan penyakit yang diderita, pasien juga mendapatkan stigma negatif dan perilaku diskriminatif dari lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena masalah HIV/AIDS bukan hanya msalah kesehatan, namun juga telah menjadi masalah sosial. Hampir 70% penderita adalah anggota masyarakat yang berusia produktif, sehingga membutuhkan pertolongan supaya tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat (www.sinarharapan.com, 2009). Menurut laporan UNDP, ODHIV sebagai individu tidak bisa dilepaskan dari konteks keluarga, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas. Norma, nilai, prasangka, kondisi sosial ekonomi, serta politik memiliki peranan besar dan signifikan terhadap penciptaan stigma bagi para ODHIV di seluruh penjuru dunia (Ivkovich, 2007). Kesalahpahaman atau kurang lengkapnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS seringkali berdampak pada stigmatisasi (prasangka buruk) terhadap ODHIV. Stigma pada ODHIV yang paling sering dikenakan adalah stigma sebagai pendosa dan tidak bermoral. Padahal, HIV/AIDS saat ini telah merambah tidak hanya individu yang sering melakukan perilaku seks tidak aman, tetapi juga ibu rumah tangga dan bayi tidak berdosa. Berbagai pencitraan negatif dan hujatan, tidak diterima bekerja di instansi manapun bila seseorang diketahui sebagai ODHIV, terancam dikucilkan dari teman, keluarga dan masyarakat, desakan agar ODHIV dikarantina, hingga ancaman fisik seperti diusir dan disingkirkan dari tempat tinggalnya, merupakan bentuk stigma yang diterima ODHIV. Padahal, dengan menghujat, mengisolasi dan atau mengasingkan ODHIV, secara tak langsung kita memberi beban ganda (double burden) pada penderita. Bahkan, tak jarang ODHIV dicap sebagai orang yang "kotor" karena telah "melanggar aturan", "tidak taat" beragama, orang-orang yang "dikutuk" Tuhan dan pendapat lainnya yang relatif sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Stigma masyarakat yang selalu negatif, membuat beban penderitaan kian berat dan terakumulasi hingga membuat mereka semakin terpojok, putus asa, pesimistis dalam menjalani hidup.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

  • Upload
    haanh

  • View
    223

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orang dengan HIV/AIDS atau biasa dikenal sebagai ODHIV dihadapkan kepada

polemik yang berkepanjangan dalam hidupnya. Selain harus berjuang melawan penyakit

yang diderita, pasien juga mendapatkan stigma negatif dan perilaku diskriminatif dari

lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena masalah HIV/AIDS bukan hanya msalah

kesehatan, namun juga telah menjadi masalah sosial. Hampir 70% penderita adalah

anggota masyarakat yang berusia produktif, sehingga membutuhkan pertolongan supaya

tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat (www.sinarharapan.com, 2009).

Menurut laporan UNDP, ODHIV sebagai individu tidak bisa dilepaskan dari

konteks keluarga, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas. Norma, nilai, prasangka,

kondisi sosial ekonomi, serta politik memiliki peranan besar dan signifikan terhadap

penciptaan stigma bagi para ODHIV di seluruh penjuru dunia (Ivkovich, 2007).

Kesalahpahaman atau kurang lengkapnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS

seringkali berdampak pada stigmatisasi (prasangka buruk) terhadap ODHIV. Stigma pada

ODHIV yang paling sering dikenakan adalah stigma sebagai pendosa dan tidak bermoral.

Padahal, HIV/AIDS saat ini telah merambah tidak hanya individu yang sering melakukan

perilaku seks tidak aman, tetapi juga ibu rumah tangga dan bayi tidak berdosa.

Berbagai pencitraan negatif dan hujatan, tidak diterima bekerja di instansi

manapun bila seseorang diketahui sebagai ODHIV, terancam dikucilkan dari teman,

keluarga dan masyarakat, desakan agar ODHIV dikarantina, hingga ancaman fisik seperti

diusir dan disingkirkan dari tempat tinggalnya, merupakan bentuk stigma yang diterima

ODHIV. Padahal, dengan menghujat, mengisolasi dan atau mengasingkan ODHIV,

secara tak langsung kita memberi beban ganda (double burden) pada penderita.

Bahkan, tak jarang ODHIV dicap sebagai orang yang "kotor" karena telah

"melanggar aturan", "tidak taat" beragama, orang-orang yang "dikutuk" Tuhan dan

pendapat lainnya yang relatif sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Stigma

masyarakat yang selalu negatif, membuat beban penderitaan kian berat dan terakumulasi

hingga membuat mereka semakin terpojok, putus asa, pesimistis dalam menjalani hidup.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

2

Realita di lapangan tersebut menyebabkan upaya pencegahan HIV/AIDS di Indonesia

masih sulit mencapai hasil yang memuaskan (Kompas, 28 Agustus 2008). Hal ini

mengakibatkan laju pertumbuhan kasus HIV/AIDS di tanah air terus meningkat dalam

beberapa tahun terakhir. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara dengan laju

pertumbuhan angka HIV/AIDS yang tercepat di Asia Tenggara.

Grafik jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia belum berhasil diubah secara

bermakna, karena masih menunjukkan kecenderungan meningkat secara tajam meski

program penanggulangan HI V/AIDS telah dilakukan intensif dan telah menunjukkan

hasil menggembirakan. Di sisi lain, pemerintah terkesan kurang tanggap terhadap

perlakuan diskriminatif terhadap ODHIV ini. Pemerintah seharusnya dapat membuat

kebijakan komunikasi kesehatan yang mendukung pereduksian stigmatisasi ODHIV.

Pengkomukasian kebijakan penanggulangan HIV/AIDS selayaknya menggunakan bahasa

yang mengandung nilai-nilai humanisme yaitu: anti-diskriminasi, anti-stigmatisasi, tidak

sensasional, serta tidak eksploitatif. Dengan demikian, pemberitaan media massa yang

sering mengutip bahasa kebijakan pemerintah, juga tidak semakin menyudutkan para

ODHIV. Kebijakan komunikasi kesehatan penanggulangan HIV/AIDS masih ditandai

dengan ketimpangan dan ketidakadilan bagi para ODHIV di Indonesia.

Respons positif dan akomodatif dari pemerintah dan stakeholders lain dalam

penanggulangan HIV/AIDS tidak hanya merupakan kepentingan Indonesia, tapi juga

merupakan kepentingan global. Sejak lebih dari 10 tahun lalu, pemerintah telah

membentuk Komisi Penanggulangan AIDS dari pusat sampai daerah di seluruh provinsi

dan kabupaten/kota. Pemerintah juga telah mengarahkan kepada Pemda untuk

mengalokasikan dana APBD khusus untuk Komite Penanggulangan AIDS Daerah

(KPAD) dalam upaya penanggulangan AIDS. Namun sampai dengan saat ini, upaya

pengurangan stigmatisasi terhadap ODHIV dikategorikan belum berhasil, karena

masyarakat masih memarjinalkan ODHIV mulai dari aspek religi, sosial, ekonomi,

budaya, dan politik.

B. Pertanyaan Penelitian

Dalam menghadapi epidemi HIV/AIDS yang semakin meningkat di Indonesia,

dibutuhkan kerangka kebijakan yang komprehensif. Salah satunya adalah

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

3

mengembangkan kebijakan komunikasi kesehatan yang humanis, populis, dan berpihak

kepada ODHIV. Sebagai bagian dari proses komunikasi, kegiatan komunikasi kesehatan

menyaratkan adanya kesediaan pemangku kepentingan untuk mendengar informasi yang

diutarakan masyarakat melalui caranya sendiri yang khas dan tidak tunggal. Diperlukan

kearifan pemerintah untuk menangkap simbol dan cara komunikasi yang digunakan

masyarakat dalam menyampaikan pesan kesehatan yang melingkupi aneka permasalahan

sampai kebutuhan kesehatan masyarakat.

Kebijakan komunikasi kesehatan seharusnya menggunakan bahasa yang bersifat

mendukung pengentasan sebuah penyakit secara keseluruhan, dan tidak memposisikan

penderita sebagai obyek yang bersalah. Kebijakan komunikasi kesehatan tidak bisa

menggunakan model komunikasi satu arah, serta gaya bahasa penyampaian yang

diametral dan kontraproduktif. Gaya bahasa seperti ini hanya akan menyebabkan

komunikasi berjalan tidak efektif, sehingga tercipta stigmatisasi yang akan menghambat

penanggulangan HIV/AIDS di seluruh wilayah Indonesia. Berkaitan dengan

permasalahan tersebut, penelitian ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah gaya bahasa yang digunakan dalam kebijakan legal-formal

penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mulai dari kebijakan di tingkat pusat,

provinsi dan kabupaten/kota kepada masyarakat telah memuat nilai-nilai

humanisme?

2. Apakah dalam materi kebijakan tersebut juga memperhatikan aspek-aspek

komunikasi kesehatan sehingga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman

yang tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV pada masyarakat?

3. Bagaimana hubungan antara pemilihan gaya bahasa dan pengkomunikasian

kebijakan tersebut ketika diimplementasikan dengan munculnya stigmatisasi bagi

ODHIV di wilayah yang menjadi obyek penelitian?

4. Bagaimanakah rancangan yang tepat untuk pemilihan gaya bahasa kebijakan

penanggulangan HIV/AIDS serta bahasa materi produk kebijakan seperti program

supaya dapat membentuk pemahaman yang tepat dan positif mengenai ODHIV di

kalangan masyarakat Indonesia?

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

4

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan fokus pada kebijakan penanggulangan

HIV/AIDS, terutama yang berkaitan dengan stigmatisasi ODHIV. Pada penelitian ini

juga dianalisis proses implementasi kebijakan kesehatan tersebut dengan alat analisis

konsep komunikasi kesehatan. Dengan demikian penekanan penelitian ini adalah kepada

kebijakan legal yang disusun dalam bentuk Peraturan Daerah, Instruksi Kepala Daerah

dan sejenisnya. Selanjutnya juga dianalisis produk kebijakan atau keputusan sebagai

bentuk penjabaran dari kebijakan tersebut, misalnya program yang disusun oleh Dinas

Kesehatan. Penelitian ini memiliki pembatasan yaitu hanya menganalisis kebijakan serta

produk derivatif dari kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang terlibat

dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di sebuah wilayah. Jadi penelitian ini hanya

akan mengkaji dan menganalisis materi mulai dari kebijakan formal sampai dengan

kegiatan penyuluhan atau kampanye program, namun tidak sampai pada tahap teknik dan

cara memberikan penyuluhan.

Secara khusus ada 3 (tiga) tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Memberikan gambaran komprehensif mengenai pemilihan gaya bahasa dalam

penyusunan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, terutama yang berkaitan

dengan ODHIV. Selain itu juga untuk memberikan gambaran mengenai proses

implementasi kebijakan dengan menggunakan perspektif komunikasi kesehatan.

2. Menganalisis hubungan antara pemilihan gaya bahasa dalam sebuah kebijakan

penanggulangan HIV/AIDS terhadap munculnya stigmatisasi pada ODHIV dalam

proses pengkomunikasian kebijakan melalui implementasi kebijakan

3. Memberikan output berupa rancangan kebijakan yang humanis pro-ODHIV

berdasarkan hasil evaluasi terhadap gaya bahasa kebijakan dan komunikasi

kesehatan yang diteliti kepada stakeholders primer pada kebijakan

penanggulangan HIV/AIDS

D. Justifikasi Penelitian dan Implikasi Kebijakan

Pemilihan gaya bahasa yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan

dakam kebijakan komunikasi kesehatan. Penelitian ini akan menganalisis stigmatisasi

dari perspektif linguistik, yakni ilmu yang mempelajari bahasa dengan penekanan kepada

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

5

studi makna atau semantik. Dengan menganalisis gaya bahasa serta makna yang

dimilikinya, diharapkan dapat diperoleh penjelasan yang komprehensif terhadap

penyebab munculnya stigmatisasi dalam implementasi kebijakan penanggulangan

HIV/AIDS. Stigmatisasi dapat muncul akibat adanya perbedaan interpretasi dan

pemaknaan terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh pemangku kepentingan. Hasil

analisis terhadap kondisi tersebut dapat memberikan masukan sebagai bahan untuk

penyusunan rancangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di daerah yang menjadi

obyek penelitian. Tujuannya adalah supaya dapat disusun sebagai kebijakan komunikasi

kesehatan yang bersifat humanis, berempati kepada penderita, produktif, dan adil oleh

para stakeholders.

E. Jadwal Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih enam bulan mulai dari bulan Juli

sampai dengan bulan Desember 2009. Rincian jadwal kegiatan terlampir pada lampiran

1.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

6

BAB II

TINJAUAN TEORI DAN METODE PENELITIAN

A. Tinjauan Teori

Penelitian ini termasuk dalam ranah penelitian kebijakan (research policy) dengan

menggunakan pendekatan interpretif atau realisme dengan metode kualitatif. Fokus

penelitian ini adalah kebijakan pemerintah daerah tentang pencegahan dan

penanggulangan HIV dan AIDS. Secara khusus akan dianalisis materi kebijakan yang

berkaitan dengan stigma pada ODHIV dan nilai-nilai humanisme yang terkandung dalam

kebijakan pemerintah daerah tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.

Pada bagian berikut dipaparkan dan dijelaskan beberapa teori dan konsep yang digunakan

dalam studi ini.

1. Kebijakan Kesehatan

Kebijakan kesehatan merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik (public

policy). Secara umum kebijakan publik didefinisikan sebagai Serangkaian perencanaan

yang sengaja dibuat untuk dilaksanakan sebagai panduan bagi keputusan-keputusan

(decisions) untuk mencapai hasil-hasil yang rasional bagi kepentingan publik (Dye,

1987).

Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai serangkaian program dan tindakan

yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat

Ada 2 (dua) dimensi kebijakan kesehatan menurut Peyvand Khaleghian dan Monica Das

Gupta (2004) yaitu:

1. Pelayanan kesehatan publik (public health services) yaitu jenis pelayanan yang

ditujukan secara langsung kepada publik antara lain imunisasi, pengobatan,

penyuluhan dan sebagainya.

2. Fungsi kesehatan publik (public health functions) yaitu berkaitan dengan

kebijakan yang lebih luas dalam sektor kesehatan antara lain, pembuatan dan

implementasi kebijakan, pendidikan kesehatan, pengawasan (surveillance)

penyakit dan kegiatan-kegiatan lain.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

7

Kebijakan kesehatan harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

berkelanjutan (sustained), efisiensi (efficiency), kesamarataan (equity), dan

keefektivitasan (effectiveness) dalam sektor kesehatan dalam setiap penyusunan skala

prioritas.

Kebijakan kesehatan merupakan sebuah sistem yakni suatu rangkaian dari

beberapa komponen yang saling terkait, dan bukan komponen yang berdiri sendiri-

sendiri.

Menurut Dunn (1987), sistem kebijakan terdiri atas tiga komponen, yaitu:

1. Komponen pertama, kebijakan publik merupakan isi kebijakan itu sendiri (policy

content) yang terdiri dari sejumlah daftar pilihan keputusan tentang urusan publik

(termasuk keputusan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa) yang dibuat oleh

lembaga dan pejabat pemerintah. Isi sebuah kebijakan merespon berbagai

masalah publik (public issues) yang mencakup berbagai bidang kehidupan mulai

dari pertahanan, keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan

lain-lain.

Secara umum kebijakan dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yang

memiliki standar isi sebagai berikut: pernyataan tujuan yakni mengapa kebijakan

tersebut dibuat dan apa dampak yang diharapkan; ruang lingkup yaitu

menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan

apa yang dipengaruhi oleh kebijakan; durasi waktu yang efektif yang

mengindikasikan kapan kebijakan mulai diberlakukan; bagian

pertanggungjawaban yang mengindikasikan di mana individu atau organisasi

bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan, artinya dengan

mencantumkan secara jelas tanggung jawab semua pihak.

Selain itu juga memuat pernyataan kebijakan yang mengindikasikan aturan-aturan

khusus atau modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat

kebijakan tersebut jika menemui kendala-kendala tertentu; latar belakang yang

mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan kebijakan tersebut, yang kadang-

kadang disebut sebagai faktor-faktor motivasional tersebut untuk saat ini serta

definisi yang menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi bagi

istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan. Artinya istilah-istilah medis atau

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

8

teknis kesehatan harus diikuti dengan penjelasan umum dan detail, sehingga

setiap tenaga kesehatan dan pihak terkait dapat memahami dengan jelas kebijakan

tersebut.

2. Stakeholder kebijakan (policy stakeholder) yaitu individu atau kelompok yang

berkaitan langsung dengan sebuah kebijakan yang dapat mempengaruhi atau

dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan tersebut.

3. Lingkungan kebijakan (policy environment), yaitu konteks khusus di mana

sebuah kebijakan terjadi, yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh stakeholder

kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Lingkungan kebijakan ini akan

menentukan apakah sebuah kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan dukungan

atau penolakan dari para pelaksana atau sasaran kebijakan tersebut.

2. Stigma

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan definisi stigma sebagai ciri

negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya; tanda.

Secara etimologis, stigma sendiri berasal dari bahasa Latin stigmat yang berarti tanda.

Erving Goffman (1963) mendeskrispsikan stigma sebagai: ‖an atribute that is

deeply discrediting, transforming the affected individual into a discredited person.―

Definisi stigma terus berkembang dan direkonseptualisasikan semenjak publikasi oleh

Goffman yang dilakukan oleh Goffman. Stigma dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu

apa yang dirasakan dan yang ditetapkan (Jacoby, 1994: Malcolm, et.al, 1998).

Stigma merupakan proses pendikotomisasian ke dalam bentuk instrumental dan

ekspresif, di mana seorang individu mungkin menerima orang lain secara negatif, tapi

mungkin hanya bertindak menurut prasangkanya di bawah keadaan tertentu (Herek and

Citanio, 1998). Proses yang menyebabkan terjadinya stigma digambarkan sebagai upaya

mempertahankan hirarki kekuasaan, ekonomi, dan sosial (Link and Phelan, 2001). Dalam

proses selanjutnya, stigma lebih diterima pada tingkat komunitas, institusi, dan level

kebijakan, daripada perilaku atau tindakan oleh seorang individu (parker and Aggleton,

2002).

Pada bagian lain Kidd dan Clay (2003) menyatakan bahwa stigma merupakan

proses penciptaan dan reproduksi relasi kekuasaan yang tidak sama atau setara, di mana

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

9

perilaku negatif mengarah kepada sekelompok orang, dengan dasar atribut tertentu

seperti status HIV, gender, seksualitas atau perilaku yang diciptakan dan dipertahankan

untuk melegitimasi kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat. Stigma akan

menghasilkan diskriminasi, sebagai bentuk perbedaan yang sewenang-wenang, perilaku

ekslusi, pembatasan, di mana tindakan atau perlakuan berdasarkan sifat yang

terstigmatisasi.

Berkaitan dengan bahasa kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan

AIDS, UNAIDS dalam terbitan yang berjudul HIV-Related Stigma, Discrimination, and

Human Rights Violation: Case Studies of Successful Programmes (2005) menyebutkan

bahwa stigma diekspresikan lewat bahasa. Lebih lanjut:

‖Since the beginning of the epidemic, the powerful metaphors associating HIV

with death, guilt and punishment, crime, horror and ‗otherness‘ have

compounded and legitimated stigmatization. This kind of language derives from,

and contributes to, another aspect underpinning blame and distancing: people‘s

fear of life-threatening illness. Some fear-based stigma is attributable to people‘s

fear of the outcomes of HIV infection—in particular, the high fatality rates

(especially where treatment is not widely accessible), fear related to transmission,

or fear stemming from witnessing the visible debilitation of advanced AIDS.‖

Epidemi HIV/AIDS telah menciptakan kesempatan-kesempatan baru untuk

pembentukan stigma. Karakteristik penyakit ini adalah sama dengan penyakit lain yang

secara umum juga dapat memunculkan stigma. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan

ODHIV lebih mudah mendapatkan stigmatisasi yakni:

1. Penyebab yang dipersepsikan membuat beban tanggung jawab jadi lebih berat,

sekalipun itu sering tidak keadaan yang sebenarnya

2. HIV/AIDS adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3. HIV/AIDS adalah penyakit menular dan dapat membahayakan orang lain

4. Pada beberapa kasus, HIV/AIDS, mudah dikenali gejala-gejalanya seperti

menjadi semakin kurus dan lemah

Selain dari sisi penyakit, stigma dapat disebabkan oleh (Campbell et.al, 2005):

1. Ketakutan karena akan terjadi sesuatu yang membahayakan jika bersentuhan

dengan ODHIV, karena potensi resiko dari HIV/AIDS dan ODHIV itu sendiri

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

10

2. Informasi yang kurang tepat, kurang jelas, dan kurang lengkap mengenai

HIV/AIDS yang diperoleh individu.

3. Fakta yang menyatakan bahwa HIV/AIDS identik dengan seks, sehingga

berkembang persepsi bahwa HIV/AIDS hanya bisa diderita oleh orang yang telah

melakukan hubungan seks

4. Kemiskinan yang diderita oleh ODHIV, karena banyak yang berasal dari keluarga

miskin.

5. Intensitas diskusi yang masih kurang mengenai HIV/AIDS, padahal ketersediaan

informasi dari berbagai pihak sangat mendukung keberhasilan penanganan

ODHIV. Penderita sendiri kadang kala, tidak percaya diri untuk berdiskusi

dengan konselor dan pihak yang berkompeten, sehingga terjadi misinformasi.

6. Manajemen pelayanan HIV/AIDS yang belum optimal, terutama di daerah

perdesaan. Akibatnya pelayanan kesehatan buat ODHIV tidak maksimal, dan

mereka terpaksa tinggal di rumah.

Stigma dapat dimanifestasikan pada 4 level yaitu:

1. Stigma individual; stigma lebih sering didiskusikan pada level individual. Pada

level ini, ODHIV mendapatkan perlakuan yang berbeda dari teman, anggota

keluarga dan juga individu lainnya yang berinteraksi dengan ODHIV.

2. Keluarga ; di Asia keluarga terinfeksi HIV/AIDS dengan beberapa cara. Oleh

sebab itu sebuah keluarga akan mendiskriminasi keluarga atau individu dalam

sebuah keluarga yang mengidap HIV/AIDS karena adanya ketakutan akan tertular

atau karena mereka malu oleh perilaku ODHIV tersebut.

3. Institusional; stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHIV umumnya terjadi

pada level institusional.

4. Struktural dan Kebijakan; di beberapa negara Asia kebijakan nasional

mendiskreditkan ODHIV akibat stigma sebagai kelompok dengan resiko tinggi.

3. Komunikasi Kesehatan (Health Communication)

”Mari gunakan komunikasi secara strategis untuk meningkatkan kesehatan!”.

Kalimat ini merupakan kalimat pengantar yang tertera dalam buku Health

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

11

Communication, Lead Agency: Office of Diseases Prevention and Health Promotion.

Artinya tidak ada jalan lain untuk menyukseskan kesehatan masyarakat, kecuali dengan

memanfaatkan peranan dan jasa komunikasi.

Menurut Schiavo (2007), komunikasi kesehatan merupakan proses untuk

mengadvokasi dan meningkatkan hasil akhir kesehatan individu dan publik. Jadi

komunikasi kesehatan adalah studi dan penggunaan strategi komunikasi untuk

menginformasikan dan mempengaruhi keputusan individu dan komunitas untuk

meningkatkan derajat kesehatannya.

Ada beberapa elemen kunci penting yang tercakup dalam komunikasi kesehatan

yakni sebagai berikut (Schiavo, 2007);

1. Menginformasikan dan mempengaruhi keputusan melalui penggunaan teknik dan

strategi serta teknologi untuk mempengaruhi pihak tertentu

2. Memotivasi individu, karena komunikasi adalah seni dan teknik

menginformasikan, mempengaruhi dan memotivasi individu. Komunikasi

kesehatan yang efektif dapat memotivasi individu, institusi, dan masyarakat luas

mengenai pentingnya isu-isu kesehatan berdasarkan kesadaran etika dan saintifik

3. Perubahan perilaku atau Behavior Change Communication yaitu proses interaktif

dalam mengembangkan pesan dengan menggunakan sejumlah saluran

komunikasi, yang bertujuan untuk mendukung perilaku yang tepat dan positif.

dengan

4. Meningkatkan pemahaman terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kesehatan,

sehingga dapat meningkatkan status kesehatan khalayak yang dituju

5. Memberdayakan anggota masyarakat melalui penyediaan informasi dan

pemahaman tentang campur tangan serta masalah kesehatan yang spesifik

6. Pertukaran informasi dan dialog dua arah karena komunikasi adalah proses

kemitraan dan partisipasi yang mengacu kepada konsep dialog dua arah, sehingga

ada pertukaran informasi, ide, teknik dan pengetahuan antara pengirim pesan dan

penerima pesan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

12

4. Peninjauan Bidang Semantik

Dalam linguistik—sebagai bagian dari ilmu bahasa—semantik, berasal dari

bahasa Yunani sēmainó (bermakna) dan sēmantikós (yang dimaknai), sehingga semantik

dapat diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna (Krongauz, 2001). Makna

yang dikaji adalah makna bahasa yang terdapat dalam unsur bahasa itu sendiri: kata,

frase, klausa, kalimat, dan wacana. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-

unsur bahasa itu sendiri, terutama kata-kata. Makna menurut Palmer (1976) dalam

Djajasudarma (1999) hanya menyangkut intrabahasa. Artinya, mengkaji makna adalah

mengkaji bahasa semata tanpa memperhitungkan unsur lain di luar bahasa yang justru

membentuk kebahasaan. Tetapi, seorang ahli lain, Adrienne Lehrer menyebutkan bahwa

semantik merupakan bidang yang sangat luas. Di dalamnya terlibat unsur-unsur struktur

dan fungsi bahasa yang berkaitan erat dengan psikologi, filsafat, antropologi, serta

sosiologi.

Dalam hal ini, bukan berarti semantik tidak memiliki ruang lingkup kajiannya.

Ruang lingkup semantik berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri dalam linguistik,

meski faktor non-linguistik ikut mempengaruhi fungsi bahasa yang non-simbolik (emotif

dan afektif). Ecyclopedia Britanica (1965) mendefinisikan semantik sebagai studi suatu

pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara.

Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, sebagian pemakai bahasa dituntut agar

menaati kaidah gramatika, sebagian lagi tunduk pada kaidah pilihan kata (stilistika)

menurut sistem leksikal yang berlaku di dalam suatu bahasa.

Makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatika saja, tetapi

bergantung pada kaidah wacana. Makna sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan

susunan gramatikanya sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya

dengan kalimat lain dalam sebuah wacana. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak

kata—sebagai bagian kalimat—dengan bermacam makna bila dihubungkan dengan kata

lain.

Linguistik membatasi diri pada garapan bentuk dan makna, sedangkan acuan

bergantung pada pengalaman penutur bahasa itu sendiri. Semantik lebih menitikberatkan

pada bidang makna dengan berpangkal dari acuan dan bentuk (simbol) Acuan dapat

berupa konkret dan abstrak. Tetapi, kekacauan semantik dapat dihindari apabila prinsip

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

13

kooperatif (cooperative principle, Kempson 1977 dalam Djajasudarma) ditetapkan, yaitu

meliputi: kuantitas (kata), kualitas (pembicaraan), hubungan (pembicaraan), dan cara

penyampaian yang singkat dan jelas sehingga tidak menimbulkan ketaksaan (ambiguitas).

Mempelajari makna bahasa tidak terlepas dari mempelajari bentuk bahasa itu

sendiri. Bahasa menurut Sturtevant (1947: 2) dalam Masinambow (2004): ”... is a system

of arbitrary vocal symbols by which members of a social group operate and interact.”

Krongauz menandai semantik sebagai hubungan antara yang memaknai dan yang

dimaknai, sehingga dari sini dapat direkonstruksi penerapan makna yang akan

digunakan dalam sebuah teks dan konteks. Selain itu dapat pula ditandai adanya meta

bahasa di dalam makna yang diberikan. Hal ini untuk menguatkan keberadaan makna

yang akan diberikan dalam sebuah teks.

Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa tanda terdiri atas bentu fisik plus

konsep mental yang terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atas realitas eksternal.

Tanda terkait pada realitas hanya melalui konsep orang yang menggunakannya. Di

samping itu, Charles Sanders Peirce memiliki cara tersendiri dalam mengkaji makna dan

tanda. Peirce memberikan gambaran untuk memahami tanda, pengguna tanda, dan acuan

tanda:

Tanda

Interpretant Objek

Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 1990

Peirce, sejalan dengan Ogden dan Richards, mengidentifikasi relasi segitiga antara tanda,

pengguna tanda, dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan modal untuk mengkaji

makna. Panah dua arah menekankan bahwa msaing-masing istilah dapat dipahami hanya

dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya

sendiri—objek, dan ini dipahami oleh seseorang: dan ini memiliki efek di benak

penggunanya, interpretant.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

14

Harus diperhatikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara kata dan benda

yang diwakilinya; kata melambangkan pikiran atau referensi, yang pada gilirannya

mengacu pada ciri atau peristiwa yang kita bicarakan.

Dengan mempergunakan istilah yang lebih sederhana dari Ullman (1964), yaitu

name, sense, and thing, maka simbol sama dengan name, yaitu bentuk fonetis kata;

referensi sama dengan sense (makna, pengertian atau konsep) ialah informasi yang

disampaikan nama kepada pendengar; dan referen adalah benda, yaitu wujud atau

peristiwa non-linguistik yang kira bicarakan.

Menurut Ullman, Ogden dan Richards hanya memperhatikan pendengar dan

melupakan pembicara dalam teorinya. Bagi pendengar masalahnya akan sama seperti

yang dilukiskan dalam segitiga: jika ia mendengar sebuah kata, akan terpikir olehnya

benda yang diwakili kata itu. Sebaliknya, bagi pembicara, jika ia berpikir tentang sebuah

benda ia akan mengucapkan kata yang mewakili benda itu. Hubungan timbal balik antara

bunyi (sound) dan makna (sense) inilah yang disebut arti (meaning).

5. Peninjauan Bidang Stilistika

Melalui stilistika suatu teks dapat dipahami secara lebih komunikatif. Adanya

penerapan gaya bahasa (stilistika) dalam suatu teks menunjukkan adanya ketepatan dalam

memahami bahasa. Ada beberapa hal penting yang menyangkut ilmu stilistika untuk

menganalisa suatu teks, yang oleh Mucnik (B. S. Mucnik 1997: 465-468) diuraikan

sebagai berikut:

1. Prinsip stilistika dapat menguraikan proses konstruksi teks.

2. Stilistika dapat menjadi pemecahan masalah untuk mengingatkan terhadap

pemahaman yang tidak benar.

3. Pada dasarnya mekanisme dalam stilistika dapat mempermudah pembaca teks

dengan bahasa yang bersangkutan (kesatuan pengertian bagi semua pembaca).

Pemahaman yang berbeda-beda pada suatu masyarakat terhadap suatu teks,

kiranya dapat dijembatani dengan mengarahkannya kepada suatu alur gaya bahasa. Hal

ini dapat dilihat dengan mengamati tingkat kejelasan, ketepatan, kelengkapan, serta logis

tidaknya suatu teks. Pada prakteknya stilistika tidak hanya mempelajari teks dan elemen-

elemennya seperti sinonim, antonim, homonim, rasa emosi, dan lain-lain, namun juga

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

15

merekonstruksi makna yang ada di dalam teks sesuai dengan pesan yang disampaikan

penulis kepada pembaca (Mucnik, 1997: 10).

5.1. Gaya Bahasa

Seperti dalam proses komunikasi lainnya, dalam kebijakan, terjadi proses

pemilihan yang dilakukan oleh penulis naskah untuk mencapai tujuannya. Misalnya

memilih gaya bahasa yang paling cocok untuk menyampaikan gagasannya.

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas

yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 1984: 113).

Gaya bahasa dapat ditinjau dari segi bahasa dan non-bahasa.

A. Segi non-bahasa: berdasarkan pengarang (gaya Chairil); berdasarkan masa

(gaya klasik); medium gaya (prancis); subjek (gaya filsafat); tempat (gaya

Jakarta); hadirin (gaya Demagog); dan tujuan (gaya Diplomatis).

B. Segi bahasa

Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolah

unsur bahasa yang digunakan:

1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata

Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang

paling tepat dan sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat. Serta tepat

tidaknya penggunaan kata-kata dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam

bahasa standar dibedakan gaya bahasa resmi, misalnya amanat

kepresidenan, dan gaya tak tak resmi, misalnya kuliah, gaya bahasa

percakapan.

2. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat

a. Klimaks: gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali

semakin meningkat kedudukannya dari gagasan sebelumnya dan berakhir pada

gagasan yang peling penting

b. Anti-klimaks: kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Jadi gagasan yang

terpenting dikemukakan terlebih dahulu.

c. Repetisi: gaya bahasa berupa perulangan atas kata-kata yang penting untuk

memberi tekanan dalam sebuah konsteks yang sesuai. Kata-kata, frasa atau

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

16

kelompok kata dapat diulang dalam sebuah kalimat dengan cara berbeda-beda

untuk mencapai efek berlainan

d. Antitesis: gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian

kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk

gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak klaimat

yang tergantung pada induk kalimat yang sama

3. Gaya bahasa berdasarkan nada

Gaya bahasa yang berdasarkan sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata

yang terdapat dalam sebuah wacana.

4. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna

Gaya bahasa ini disebut trope, yaitu suatu penyimmpangan bahasa secara

evaluatif atau emotif dari bahasa biasa entah dalam ejaan, pembentukan kataa,

konstruksi (kalimat, kalusa, frasa), atau aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh

kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek lain. Gaya bahasa ini

dibagi dalam dua:

a. Retoris: yang merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk

mencapai efek tertentu. Misalnya, akiterasi, yaitu perulangan konsonan

yang sama, dan asonansi, yaitu perulangan bunyi vocal yang sama

b. Kiasan: yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya

dalam bidang makna. Gaya bahasa ini berdasarkan perbandingan atau

persamaan. Misalnya, simile, metafora, dan personifikasi

6. Bahasa Hukum

Bahasa Indonesia yang digunakan dalam ranah hukum merupakan laras bahasa

tersendiri, yaitu bahasa hukum Indonesia. Bahasa hukum Indonesia diangap sebagai laras

bahasa tersendiri karena mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu lugas, eksak, objektif,

memberikan definisi yang cermat, dan tidak beremosi (Badudu, 1996: 3). Bahasa hukum

Indonesia terdapat dalam bentuk lisan dan tulisan (Hadikusuma, 1984: 2). Salah satu

perwujudan bentuk lisan bahasa hukum Indonesia adalah peristiwa tutur di pengadilan.

Perwujudan bentuk tulisan bahasa hukum Indonesia adalah teks-teks hukum seperti

undang-undang, berita acara, putusan pengadilan, dan surat perjanjian (kontrak).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

17

Teks hukum harus memenuhi syarat-syarat bahasa hukum Indonesia, yaitu jelas,

lugas, dan cermat sehingga tidak menimbulkan tafsir ganda (Badudu, 1996: 8). Namun

pada kenyataannya, banyak ditemukan masalah dalam teks-teks hukum, misalnya

komposisi kalimat, pengunaan kata yang makna kurang tepat, dan penyususnan paragraf

yang tidak padu (Badudu, 1996: 10).

Bahasa peraturan perundang-undangan adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada

kaidah bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat,

maupun pengejaannya. Perancang peraturan perundang-undangan adalah orang yang

tugas dan pekerjaannya merumuskan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan, baik

gagasan tersebut berasal dari dirinya, maupun yang berasal dari penyelenggara negara.

Oleh karena itu, pesan penting terkait dengan bahasa peraturan prundang-undangan

adalah perancangan peraturan perundang-undangan harus:

1. Secermat mungkin untuk memilih kata-kata atau ungkapan agar tidak

menimbulkan pengertian ganda

2. Secermat mungkin menyusun kalimat norma agar yang terkandung di dalamnya

mengandung norma, bukan pernyataan belaka

3. Secermat mungkin menyesuaikan kalimat dan kata-kata yang akan disusun ke

dalam kalimat norma sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

4. Secermat mungkin mengatur hal yang memang harus dilaksanakan dengan

menghindari pengaturan delegasian karena ini akan mengakibatkan peraturan

yang dibuat tidak bisa dilaksanakan karena menunggu peraturan pelaksanaannya

dibuat.

Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas enam bagian:

1. Judul

2. Pembukaan

- frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

- jabatan pembentuk peraturan perudang-undangan

- konsiderans, uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang

dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

18

- dasar hukum, dasar kewenangan pembuatan peraturan prundang-undangan dan

peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundang-

undangan tersebut

- diktum, yang terdiri atas:

* kata memutuskan

* kata menetapkan

* nama peraturan perundang-undangan

c. Batang tubuh:

- ketentuan umum

- materi pokok yang diatur

- ketentuan pidana

- ketentuan peralihan

- ketentuan penutup

d. Penutup

e. Penjelasan (jika diperlukan)

f. Lampiran (jika diperlukan)

Dalam batang tubuh bagian ketentuan umum terdapat definisi. Kata definisi

berasal dari bahasa Latin, yaitu denifitio yang berarti ’pembatasan’. Atas dasar ini, dapat

dikatakan bahwa tugas definisi ada;ah menentukan batasa pengertian dengan tepat, jelas,

dan singkat (Lanur, 1983: 21).

Secara umum definisi dibagi menjadi dua bagian: definisi nominal dan formal.

Definisi nominal merupakan suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan menguraikan

arti katanya (lanur, 1983: 21). Definisi formal merupakan definisi yang memperlihatkan

hal/benda yang dibatasinyan dengan cara menyajikan unsur-unsur atau ciri-ciri yang

menyusunnya (Ibid: 23).

Definisi nominal digunakan untuk hal-hal yang sifatnya praktis dengan tujuan

mempermudah pemahaman. Ada beberapa macam definisi nominal, yaitu (a) sinonim,

(b) definisi kamus, (c) etimologi kata, (d) stipulatif/suatu batasan kata yang tidak

ditafsirkan lain, contoh Menteri adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan (e)

antonim.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

19

Berbeda dengan definisi nomila yang tidak mempunyai syarat-syarat tertentu

dalam pembuatannya, definisi formal (definisi logis/definisiilmiah/definisi real) dalam

pembuatannya memperhatikan syarat-syarat berikut:

1. Ekuivalen

Definisi yang dibuat harus dapat diuji melalui konverbilitas atau dapat dipertukarkan satu

sama lain antara yang didefinisikan (definiendum) dan yang mendefinisikan (definiens).

Apabila definiendum adalah A dan definiens adalah B, maka A=B dan B=A. Oleh karena

itu luas A dan B haruslah sama (Lanur, 1983: 24).

2. Paralel

Dalam membuat suatu definisi, hindarka adanya penggunaan kata-kata yang mengandung

syarat atau pengadaian dalam definiens, contoh kata jika, kalau, di mana, untuk apa, dan

kepada siapa.

3. Pengulangan kata definiens

Hindari dalanya pengulangan kata yang sama yang ada di dalam definiendum ke dalam

definiens. Kalau pengulangan kata yang sama yang ada di dalam definiendum ke dalam

definiens terjadi, kita jatuh dalam bahaya circulus in definiendo, yang artinya ’sesudah

berputar-putar berapa lamanya, akhirnya kita dibawa kembali ke titik pangkal oleh

definisi itu’ (Lanur 1983: 25). Contoh kalimat yang mengandung pengulangan definiens:

ilmu hukum adalah ilmu yang memperlajari hukum.

4. Negatif

Hindari penggunaan kata yang mengandung negatif, seperti bukan dan tidak dalam

definiens. Definisi haruslah dirumuskan secara positif (Lanur 1983: 25).

5. Hindari Definisi yang Berjejal

Berikut adalah contoh definisi yang berjejal: Hakim AdHoc adalah Hakim AdHoc pada

pengadilan periklanan di pengadilan negeri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas

usul Ketua Mahkamah Agung. Frasa diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul

Ketua Mahkaman Agung merupakan norma yang seharusnya ditempatkan dalam materi

yang diatur, bukan definisi.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

20

B. Metode Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Setiap desain atau rancangan penelitian selalu diawali dengan pemilihan topik dan

paradigma (Creswell, 1994). Paradigma adalah basis kepercayaan utama dalam sistem

berpikir yang memuat pandangan-pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan

mempertajam orientasi berpikir. Paradigma memiliki pengertian yang sama dengan

perspektif atau sudut pandang, karena paradigma membawa konsekuensi praktis bagi

perilaku, sudut pandang, interpretasi, dan kebijakan dalam pemilihan masalah

(Poerwandari, 1994).

Rancangan penelitian ini menggunakan paradigma paradigma realisme atau

interpretif yang menganut konsep konstruksi sosial dan pemaknaan (meanings). Asumsi

dasarnya adalah dunia diciptakan atau dikonstruksikan, bukan ditemukan, Oleh sebab itu

manusia, memberikan arti pada dunia dengan menciptakan rangkaian makna. Paradigma

ini bersifat subyektif dan tidak bebas nilai, dan menggunakan metode kualitatif dan

induktif untuk mencapai tujuan penelitiannya (Amarattungga dan Baldry,2002).

Penelitian ini mengacu kepada paradigma realisme atau interpretif, sebab tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menginterpretasikan dan memahami kebijakan

penanggulangan HIV/AIDS yang dibuat oleh Departemen Kesehatan serta stakeholders

lain yang terkait, mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai dengan kabupaten/kota.

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan melahirkan preposisi yang dibangun

bukan hanya secara praktis, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran peneliti. Dengan

menggunakan metode induktif, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

generalisasi yang mendalam (deep), kaya (rich) dan bermakna (meaningful), khususnya

mengenai termuatnya nilai-nilai humanisme dalam kebijakan komunikasi kesehatan

sebagai upaya untuk mengatasi stigmatisasi pada ODHIV di Indonesia

2. Populasi, Sampel (Unit Analisis) dan Lokasi Penelitian

Pada dasarnya populasi adalah himpunan semua hal yang ingin diketahui, dan

biasanya disebut universum. Populasi juga didefinisikan sebagai seluruh kumpulan

elemen yang dapat digunakan untuk membuat beberapa kesimpulan. (Agung, 2002).

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

21

Adanya keterbatasan seperti hal waktu, biaya, tenaga peneliti dan keberaksian

yang dapat mengubah hasil penelitian mengakibatkan perlunya ditarik sampel dalam

suatu penelitian. Sampel adalah bagian atau satuan dari keseluruhan objek penelitian

(populasi). Populasi pada penelitian ini adalah semua kebijakan penanggulangan

HIV/AIDS mulai dari tingkat pusat sampai dengan unit layanan. Adapun sampel yang

diambil adalah kebijakan yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Alasan pemilihan Jawa

Barat adalah karena telah lama menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS serta

program untuk ODHIV. Selain itu Jawa Barat merupakan provinsi dengan kasus tertinggi

di Indonesia dalam kategori penderita HIV/AIDS. Dari segi geografi dan demografi,

Jawa Barat juga memiliki karakteristik kabupaten dan kota yang sangat beragam, mulai

dari kota pendidikan, kawasan wisata, industri, perkebunan, perikanan, sampai pertanian.

Artinya, provinsi Jawa Barat dengan sendirinya memiliki kondisi wilayah dan komposisi

penduduk yang variatif sehingga menarik untuk dijadikan obyek penelitian.

Keberagaman dari sisi geografis dan demografis ini diharapkan dapat memberikan

gambaran yang komprehensif mengenai kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.

Selain menganalisis pada tingkat provinsi, penelitian ini juga akan meneliti

kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di tingkat kabupaten/kota. Untuk itu diambil 2

kabupaten dan 1 kota sebagai obyek penelitian. Tujuan penelitian pada tingkat

kabupaten/kota ini adalah untuk memperoleh gambaran perbedaan karakteristik dalam

kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.

3. Teknik Pengunpulan Data

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang merupakan metode

dalam paradigma interpretif yaitu sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati. Menurut Bogdan dan Taylor, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu

tersebut secara utuh, di mana individu atau organisasi tidak boleh diisolasi ke dalam

variabel atau hipotesis, tapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sebuah keutuhan

(holistic) (Moleong, 2000).

Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data

dan analisis yang sifatnya mendalam. Jadi yang digunakan adalah pendekatan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

22

fenomenologis yang menekankan dan mengedepankan aspek subjektivitas dari perilaku

orang. Jadi dalam penelitian kualitatif, peneliti berupaya untuk mendapatkan jawaban

melalui metode eksploratori yang tidak terstruktur dengan menggunakan jumlah sampel

yang sedikit, namun sampel tersebut dinilai mampu memahami persolan-persoalan yang

ada (Malhotra, 2004).

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang teknik

pengumpulannya dilakukan secara berbeda. Untuk pengumpulan data primer, penelitian

ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Pengamatan atau observasi di lapangan yaitu terhadap dokumen atau kebijakan,

terutama isi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS mulai dari tingkat pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota.

2. Wawancara mendalam (depth interview) dengan para narasumber atau informan

yang ditetapkan sesuai dengan kriteria dan tujuan penelitian. Para narasumber

terdiri dari para aktor yang terkait dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS

terdiri dari anggota legislatif (DPRD Komisi Kesehatan), Eksekutif (Dinkes,

Bapeda, Pemda, Depsos), LSM, pihak swasta dan masyarakat sebagai kelompok

respon target. Untuk itu disusun instrumen penelitian yakni pedoman wawancara

mendalam dengan para informan atau narasumber.

3. Focus grup discussion (FGD) adalah sebuah teknik pengumpulan data dengan

tujuan untuk menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman kelompok.

Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan berdasarkan hasil diskusi

yang terpusat pada permasalahan penelitian. FGD ini dilakukan untuk

menghindari adanya kesalahan pemaknaan dari peneliti terhadap permasalahan

yang sedang diteliti.

Sementara itu untuk data sekunder (secondary data) yaitu dilakukan dengan

metode studi kepustakaan dengan mengambil data dan informasi yang relevan dari buku-

buku, jurnal, terbitan berkala, situs internet, serta referensi lainnya, terutama yang

berkaitan dengan masalah stigmatisasi, semiotika, semantik, kebijakan komunikasi

kesehatan, serta perspektif lain yang dinilai relevan dan memiliki kontribusi terhadap

penelitian ini.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

23

4. Pengolahan dan Analisis Data

Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam proses pengolahan dan penganalisisan

data pada penelitian kualitatif mulai dari menguji keabsahan sampai dengan tahap

penarikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan penelitian ini.

a. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Data

Pada dasarnya dalam penelitian kualitatif untuk menentukan keabsahan data akan

sangat berbeda dengan penentuan validitas dan realiabilitas dalam penelitian kuantitatif.

Kirk dan Miller mengemukakan bahwa tidak ada satu pun eksperimen yang dapat

dikontrol secara tepat dan tidak ada instrumen pengukuran yang dapat dikalibrasi secara

tepat. Apalagi jika penelitian yang dilakukan di bidang sosial, di mana masalah yang

diteliti adalah sangat kontekstual (Moleong, 1996).

Dalam menentukan keabsahan data kualitatif, dipergunakan beberapa teknik atas

kriteria-kriteria tertentu yaitu (Moleong, 1996):

a. Derajat kepercayaan (credibility) yaitu pada dasarnya menggantikan konsep

validitas internal dari non kualitatif.

b. Keteralihan (transferability) berbeda dengan validitas eksternal dari non

kualitatif. Konsep validitas itu menyatakan bahwa generalisasi suatu

penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam keadaan

khalayak sasaran yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh pada unit

analisis. Untuk melakukan keteralihan tersebut, seorang peneliti hendaknya

mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks.

c. Konteks kebergantungan (dependability) merupakan subsitusi istilah

reliabilitas pada penelitian kuantitatif. Konsep kebergantungan lebih luas dari

konsep reliabilitas, karena konsep ini memperhitungkan segala-galanya yaitu

yang terdapat pada reliabilitas ditambah dengan faktor-faktor lainnya.

d. Kriteria kepastian (confirmability) berawal dari konsep objektivitas versi non

kualitatif yaitu menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antar subjek.

Pemastian bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan

beberapa orang terhadap pandangan, pendapat dan penemuan seseorang.

Dapat dikatakan bahwa pemahaman satu orang adalah subjektif dan jika sudah

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

24

merupakan kesepakatan beberapa atau banyak orang baru bisa dikatakan

objektif.

b. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah unsur yang juga penting dalam sebuah penelitian.

Dengan melakukan analisis, maka data tersebut akan memiliki makna dan berguna dalam

menjawab semua permasalahan penelitian. Analisis data menurut Patton adalah proses

mengatur, mengurutkan data dan mengorganisasikanya ke dalam suatu pola kategori dan

satuan uraian dasar. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor, analisis data merupakan

proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema atau ide seperti yang

disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema tersebut.

Analisis data juga dapat didefinisikan sebagai perubahan data menjadi informasi

yang dilakukan secara kualitatif, agar dapat dimengerti dan dipahami dengan lebih

mudah. Data kualitatif berbentuk laporan deskriptif dari hasil pengamatan atau

wawancara. Jadi analisis kualitatif menampilkan suatu bentuk uraian kata-kata, dengan

unit analisisnya adalah gejala-gejala yang diwujudkan dalam rangkaian tindakan berpola,

peristiwa, objek, tindakan atau ucapan-ucapan dalam interaksi dan serangkaian

pengetahuan.

Artinya, selain peneliti harus mampu mengungkapkan melalui analisisnya pada

permukaan luar dari suatu perilaku, juga harus mampu mengungkapkan aspek permukaan

dalam lapisan kemengapaan dan kebagaimanaan itu terjadi.

4. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan berkaitan dengan pemilihan metodologi

penelitian, pengumpulan data serta analisis data. Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini

adalah:

1. Keterbatasan lokus karena yang diteliti yaitu hanya mengambil 1 provinsi dari

33 provinsi di seluruh Indonesia.

2. Keterbatasan kedua adalah pada fokusnya yaitu kajian semiotika terhadap

kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Studi semiotika bersifat kualitatif yang

sangat terbuka bagi munculnya interpretasi alternatif (Liitejohn, 1996). Jadi

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

25

kekuatan dan kelemahan studi ini terletak pada interpretasi peneliti atas data

yang dikumpulkan. Sejauh interpertasi yang dilakukan dapat menutup

kemungkinan adanya interpretasi yang lain, hasil penelitian menghasilkan

output yang valid. Dengan kata lain, kelemahan studi semantik bersifat rentan

terhadap munculnya intepretasi baru yang lebih kuat.

3. Pembuat kebijakan cenderung memberikan kredibilitas yang rendah kepada

hasil dari pendekatan kualitatif karena dianggap tidak bebas nilai dan

cenderung subyektif dalam memandang realitas (Amarattungga dan Baldry,

2000). Oleh sebab itu, peneliti berupaya untuk meminimalisasi kelemahan

metodologis tersebut dengan memperhatikan dan memperketat end-point dari

semua tahap dan proses penelitian, mulai dari penyusunan rancangan

penelitian sampai dengan penyajian laporan akhir secara lengkap.

C. Operasionalisasi Konsep

Berbagai konsep dan teori yang terdapat dalam tinjauan literatur proposal ini

selanjutnya ditransformasikan ke dalam bentuk operasionalisasi konsep. Pada bagian

berikut dijelaskan mengenai beberapa konsep dan operasionalisasinya yaitu:

1. Humanisme menurut The Encyclopedia of Philosophy (1967) berasal dari bahasa

Latin humanitas yang berarti “the education of man”, atau bahasa Yunani paideia

yang berarti “the education favored by those eho considered the liberal arts to be

instruments, that is, disciplines proper to man which differentiate him from other

animals”. berarti Humanisme dalam penelitian ini diartikan sebagai aliran yang

bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan struktur dan

interaksi sosial yang lebih baik. Lebih lanjut menurut The Encyclopedia of

Philosophy, humanisme (humanism) adalah: “[...] philosophy which recognizes

the value or dignity of man makes him the measures of all things or somehow

takes human nature, its limits, or its interests as its theme”. Pada penelitian ini

humanisme dioperasionalkan sebagai muatan nilai humanisme dalam substansi

kebijakan yang terdiri dari:

Anti-stigmatisasi yakni bahasa yang digunakan dalam sebuah kebijakan

dan proses implementasi kebijakan tersebut tidak memuat dan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

26

mengandung nilai-nilai yang mengarah kepada konteks negatif yaitu:

HIV/AIDS adalah penyakit karena karma, penyakit yang muncul karena

hubungan seks, penyakit yang tidak dapat disembuhkan, penyakit menular

yang berbahaya, penyakit yang membahayakan, penyakit karena hukuman

Tuhan, penyakit yang menimbulkan beban berat, serta penyakit yang

diderita oleh individu yang berperilaku tidak benar.

Anti-diskriminasi yakni bahasa yang digunakan dalam sebuah kebijakan

tidak mengandung nilai atau pernyataan yang menyudutkan dan

menempatkan ODHIV pada posisi sebagai orang yang bersalah; tidak

boleh bersentuhan dengan orang lain; harus dihindari dalam interaksi

sehari-hari, harus mendapatkan perlakuan ekslusif mulai dari lingkungan

keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, lingkungan

tempat kerja sera lingkungan sosial; tidak mendapatkan perlakuan yang

layak dalam pelayanan publik; pembatasan terhadap hak dan kewajiban

ODHIV meskipun bertentangan dengan aturan hukum dan norma yang

berlaku

Tidak sensasional yakni bahasa yang digunakan dalam kebijakan

penanggulangan HIV/AIDS tidak memposisikan ODHIV sebagai individu

yang berbeda dari yang lain; memberikan perhatian ekstra hati-hati

terhadap ODHIV; serta HIV/AIDS adalah penyakit yang harus dimusuhi.

Tidak eksploitatif yakni bahasa kebijakan yang digunakan dalam

penanggulangan HIV/AIDS tidak bersifat menjadikan ODHIV sebagai

obyek penderita dalam kasus HIV/AIDS; tidak menimbulkan rasa takut di

masyarakat terhadap ODHIV; memposisikan ODHIV sama dengan pasien

penderita sakit lain; serta HIV/AIDS tidak hanya diderita oleh individu

dengan perilaku tetentu atau dari kelompok tertentu tapi dapat diidap oleh

semua orang.

2. Pada penelitian yang menjadi obyek pembahasan dari sebuah kebijakan

penanggulangan HIV/AIDS adalah komponen dari kebijakan yaitu isi dari

kebijakan. Adapun isi kebijakan yang akan dianalisis terdiri dari:

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

27

Pernyataan tujuan yakni mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa

dampak yang diharapkan

Ruang lingkup yaitu menerangkan siapa saja yang tercakup dalam

kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan

Durasi waktu yang efektif yang mengindikasikan kapan kebijakan mulai

diberlakukan

Bagian pertanggungjawaban yang mengindikasikan di mana individu atau

organisasi bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan, artinya

dengan mencantumkan secara jelas tanggung jawab semua pihak

Pernyataan kebijakan yang mengindikasikan aturan-aturan khusus atau

modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan

tersebut jika menemui kendala-kendala tertentu

Definisi yang menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai

definisi bagi istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan HIV/AIDS

tersebut.

3. Komunikasi kesehatan digunakan dalam kerangka untuk menganalisis materi

ketika sebuah kebijakan diimplementasikan. Artinya, penelitian ini akan melihat

apakah kebijakan tersebut telah memperhatikan aspek komunikasi kesehatan

dalam proses implementasi. Sebab ketidaktepatan merancang unsur komunikasi,

dapat mempengaruhi proses implementasi sehingga terjadi kesenjangan

kebijakan. Adapun aspek komunikasi kesehatan yang akan diteliti adalah:

Proses penginformasian dan pembuatan keputusan untuk mempengaruhi

pihak tertentu memperhatikan nilai-nilai humanisme

Dalam tujuan memotivasi individu berdasarkan kesadaran etika dan

saintifik yang humanis

Penyampaian kebijakan bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat

melalui pengenalan nilai-nilai humanisme, sehingga persepsi dan penilaian

masyarakat terhadap ODHIV menjadi lebih positif

Memberikan informasi yang tepat, jelas dan mudah dipahami mengenai

ODHIV

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

28

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

29

BAB III

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV dan AIDS

DI INDONESIA

A. HIV dan AIDS di Indonesia

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah

putih yang mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh

manusia mudah terserang berbagai macam penyakit. AIDS atau Acquired Immuno

Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh

menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. HIV dan AIDS

adalah masalah darurat global yang mengakibatkan lebih dari 20 juta orang meninnggal

di dunia, sementara 40 juta orang telah terinfeksi (KPA, 2007).

HIV dan AIDS merupakan salah satu ancaman terbesar pembangunan sosial

ekonomi, stabilitas dan keamanan negara-negara berkembang sehingga mengakibatkan

kemiskinan semakin parah. Fakta menyebutkan, di seluruh dunia, setiap hari virus HIV

menular kepada sekitar 2000 anak di bawah usia 15 tahun melalui penularan ibu-bayi;

menewaskan 1400 anak di bawah usia 15 tahun; dan menginfeksi lebih dari 6000 orang

muda dengan usia produktif antara 15—24 tahun yang juga merupakan mayoritas dari

orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHIV) (KPA, 2007).

Epidemi HIV telah berlangsung selama dua puluh tahun di Indonesia dan sejak

tahun 2000 sepidemi tersebut telah terkonsentrasi pada sub-populasi beresiko tinggi,

yaitu pengguna Napza suntik (penasun), penjaja seks komersial (PSK), dan waria (KPA,

2007). Sejak tahun 2004, laju peningkatan jumlah kasus AIDS semankin cepat.

Departemen Kesehatan (Depkes) melaporkan jumlah kasus baru AIDS pada tahun 2006

sebanyak 2.873 (Ibid), yang merupakan dua kali lipat dibanding jumlah kasus yang

dilaporkan selama 17 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.

Data terbaru Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menyebutkan sampai dengan

31 Maret 2009 jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia adalah 16964 dengan jumlah

provinsi yang melapor adalah 32 provinsi dan 214 kabupaten/kota. Pada triwulan pertama

tahun 2009 terdapat 854 kasus. Jumlah kasus AIDS terbanyak berturut-turut dilapokan

dari provinsi Jawa Barat (3162), DKI Jakarta (2807), Jawa Timur (2652), Papua (2499),

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

30

dan Bali (1263). Sedangkan proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada

tingkat umur 20—29 tahun (50,50%), kemudian kelompok umur 30—39 tahun (29,48%),

dan kelompok umur 40—49 tahun (8,41%).

Menghadapi percepatan penambahan kasus baru HIV dan AIDS perlu dilakukan

akselerasi program penanggulangan AIDS. Bersamaan dengan itu, pemerintah beserta

pihak-pihak terkait tengah membangun sistem penanggulangan AIDS jangka panjang

yang komprehensif mencakup program pencegahan, perawatan, dukungan, dan

pengobatan serta mitigasi. KPA pusat bersama pemerintah telah meluncurkan tiga

Strategi nasional Penanggulangan HIV dan AIDS ( 1994, 2003—2007, dan 2007—2010).

Di samping itu, KPA juga merancang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dam

AIDS di Indonesia2007—2010.

B. Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia

Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia telah

dimulai secara sistematis sejak tahun 1994, tetapi jumlah kasus dan luas persebarannya

semakin meningkat setiap tahunnya (KPA, Stranas 2007). Secara prosedural, menurut

KPA, terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan program penanggulangan HIV

dan AIDS di Indoensia. Implementasi program yang terpecah-pecah di banyak tempat

oleh banyak pelaksana berjalan sendiri-sendiri dan cakupan program yang sangat kecil.

Kemampuan sumber daya yang rendah juga menjadi kendala tersendiri. Anggaran dari

pemerintah sangat kecil bila dibandingkan dengan besarnya masalah yang dihadapi.

Pemerintah Daerah masih beranggapan bahwa masalah HIV dan AIDS belum menjadi

prioritas utama di daerah sehingga dukungan dana sangat tidak memadai. Lemahnya

kepemimpinan dan mutu sumber daya juga menyebabkan Komisi Penanggulangan AIDS

di daerah tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

KPA merancang Stranas 2007—2010 berdasarkan pengalaman sebelumnya dan

untuk menjawab perubahan sistem pemerintahan dari sistem terpusat menjadi sistem

desntralisasi. Selain itu, Stranas juga dirancang dengan komitmen internasional, yaitu

menyesuaikan target yang ditetapkan Millenium Dvelopment Goals dan United General

Assembly Special Session on HIV and AIDS tahun 2020. Stranas 2007—2010

dimaksudkan sebagai pedoman bagi sektor pemerintah pusat dan daerah, sektor non-

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

31

pemerintah, masyarakat sipil maupun mitra internasional dalam upaya menanggulangi

HIV dan AIDS di Indonesia.

Data epidemi menunjukkan peningkatan kasus HIV dan AIDS terutama terdapat

di kalngan pengguna Napza sunti di kota-kota besar. Sedangkan untuk wailayan Tanah

Papua, dimana dua provinsinya telah mengalami generalized epidemic, peningkatan

kasus terjadai akibat hubungan seks tidak aman. Berdasarkan data KPA Maret 2009, pada

tahun 2008 terjadai penambahan jumlah kasus yang cukup signifikan, yaitu 4969 kasus

dari 2947 kasus pada tahun 2007. Para ahli epidemiologi Indonesia memproyeksikan, bila

tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, pada tahun 2010 jumlah kasus

AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang, dan pada tahun 2015

akan menjadi 1.000.000 dengan kematian 350.000 orang.

Data KPA yang terangkum dalam Stranas 2007—2010 menyebutkan bahwa dari

tahun ke tahun, sejak tahun 1987 sampai 2006, peningkatan pesat kasus HIV dan AIDS di

Indonesia umumnya disebabkan penularan melalui penggunaan jarum suntiktidak steril di

sub-populasi pengguna napza suntik (penasun). Bersamaan dengan itu, penularan melalui

hubungan seksual berisiko tetap berlangsung. Sementara itu, berdasarkan data KPA 2009,

penularan kasus HIV dan AIDS didominasi oleh hubungan seksual heteroseksual berisiko

(48,4%), diikuti melalui pengguna napza suntik (42%), dan hubungan seksual

homoseksual berisiko (3,7%).

Pemerintah telah melakukan berbagai tindakan sebagai respons terhadap

kemunculan dan peningkatan kasus HIV dan AIDS di Indonesia sejak tahun 1985.

Respons utama pemerintah pada tahun 1980-an adalah dengan membentuk Kelompok

Kerja Penanggulangan AIDS di Departemen Kesehatan, penetapan wajib lapor kasus

AIDS, penetapan laboratorium untuk pemeriksaan HIV, penyiapan dan penyebaran bahan

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Pada tahun 1994, pemerintah melalui

Keppres No. 36 membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat dan

kemudian disusul dengan terbentuknya KPA di beberapa provinsi. Pada tahun 2006, KPA

Nasional sebagai institusi mengalami pembaruan dengan dikeluarkannya Peraturan

Presiden Nomor 75 tahun 2006 yang melibatkan lebih banyak sektor: TNI, Polri, BNN,

dan masyarakat sipil. Bersamaan dengan terbentuknya KPA di tingkat pusat dan beberapa

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

32

provinsi, pemerintah melalui KPA mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV

dan AIDS 1994 (Stranas 1994).

Pada bulan Maret dan November 2002 pemerintah mengadakan Sidang Kabinet

Khusus HIV dan AIDS yang memutuskan beberapa hal penting:

Departemen/Lembaga harus memberikan komitmen dan respons yang kuat untuk

menghambat laju epidemi HIV dan AIDS;

Adanya Gerakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS sampai tahu 2010;

Menetapkan Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai Prioritas Pembangunan

Nasional dan dicantumkan dalam Perencanaan Strategis Pembangunan Nasional

masing-masing departemen/lembaga terkait;

Menetapkan ketersediaan dana nasional gerakan Nasional Stop HIV dan AIDS

setiap tahun;

Menetapkan dan memperkuat organisasi KPA untuk mengkoordinasikan upaya

penanggulangan HIV dan AIDS.

Pada tahun 2003 Stranas 2003—2007 diluncurkan sebagai respons terhdap

berbagai perubahan, tantangan, dan masalah HIV dan AIDS yang semain besar dan

rumit. Pada tahun yan sama, Menko Kesra sebagai ketua KPA dan Kapolri selaku Ketua

Badan Narkotika Nasional (BNN) menandatangani nota kesepahaman tentang upaya

terpadu pencegahan penularan HIV dan AIDS dan pemberantasan penyalahgunaan napza

dengan cara suntik. Pada tahun 2004 Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat

Kerja diluncurkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan

pemberlakukan Kaidah ILO.

Pemerintah bersama KPA tidak saja menyiapkan Strategi Nasional

Penanggulanagn HIV dan AIDS sebagai kerangka acuan nasional, tetapi juga

memperhatikan kesiapan rumah sakit dan perusahaan obat-obatan untuk menyokong

program nasional. Pemerintah melalui perusahaan farmasi PT. Kimia Farma

memproduksi obat anti-retroviral (ARV). Pada awal 2005 diluncurkan program

akselerasi di 100 kabupaten/kota di 22 provinsi, disertai dengan diberlakukannya Sistem

Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan HIV dan AIDS Nasional. Departemen Kesehatan

awalnya menyiapkan 25 rumah sakit, kemudian bertambah menjadi 75 rumah sakit untuk

pelayanan Care, Support, and Treatment (CST), termasuk penyediaan ARV.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

33

Kesiapan pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS

di Indonesia tidak saja dengan mematangkan institusi terkait beserta perangkatnya

hukumnya tetapi juga memperhatikan sejumlah isu penting yang dapat membuat progam

berjalan efektif. Beberapa isu penting terkait program pencegahan dan penanggulangan

HIV dan AIDS di Indonesia adalah:

Meningkatnya jumlah pengguna napza suntik (penasun)

Narapidana penasun

Hubungan seksual berisiko

Mobilitas penduduk

Anak yang terinfeksi HIV dan terafeksi HIV dan AIDS

Sementara itu, beberapa tantangan juga menjadi perhatian:

Norma-norma dan perilaku sosial

Koordinasi multipihak terhadap respons

Kebijakan dan pengembangan program

Pemenuhan kebutuhan kelompok remaja dan dewasa muda

Risiko khusus yang dihadapi anak perempuan

Kebutuhuan memperluas perawatan, pengobatan, dan dukungan

Stigma dan diskriminasi

Desentralisasi

Tujuan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia secara umum adalah

mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta

mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga

dan masyarakat. Sedangkan tujuan khususnya adalah:

1. menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana

kondusif utuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dengan

menitikberatkan pencegahan pada sub-populasi berisiko tinggi dan

lingkungannya dengan tetap memperhatikansub-populasi lainnya

2. menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan

dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan

3. meningkatkan peran remaja, perempuan, keluarga, dan masyarakat umum

termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

34

4. mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah dan

masyarakat sipil, antara lain LSM, sektor swasta, dan dunia usaha, organisasi

profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan

respons nasional terhadap HIV dan AIDS.

Berdasarkan kondisi yang telah disebutkan di atas, Stranas 2007—2010

menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia:

1. upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus memperhatikan nilai-nilai agama

dan budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya diarahkan untuk

mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keliarga;

2. upaya penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat dan

pemerintah berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat sipil termasuk LSM,

KDS, dan ODHA serta OHIDA menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah

berkewajiban mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang

mendukung terselanggaranya upaya penanggulangan HIV dan AIDS;

3. upaya penanggulangan harus didasari pada pengertian bahwa masalah HIV

dan AIDS sudah menjadi masalah sosial kemasyarakatan serta masalah

nasional dan penanggulangannya melalui “ Gerakan Nasional

Penanggulangan HIV dan AIDS.”;

4. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS diutamakan pada sub-populasi

berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan masyarakat yang

rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan masyarakat yang

termarjinalkan terhadap penularan HIV dan AIDS;

5. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus menghormati harkat dan

martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender;

6. Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada anak sekolah, remaja, dan masyarakat

umum diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi

guna mendorong kehidupan yang lebih sehat. Upaya pencegahan melalui

pendidikan dilaksanakan intra- dan ekstrakurikuler;

7. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondomm 100 persen

pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai

penularan penyakit menular termasuk HIV;

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

35

8. Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna napza suntik melalui kegiatan

pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara

kmprehensif berarti juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan

napza;

9. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari

peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan

perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA;

10. Setiap pemeriksaan untuk mendianosa HIV dan AIDS harus didahului dengan

penjelasan yang benar dan mendapat pesetujuan yang bersangkutan (informed

consent). Konseling yang memadi harus diberikan sebelum dan sesudah

pemeriksaan, dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan

tetapi haus dirahasiakan kepada pihak lain;

11. Diusahakan agar peraturan perundang-undangan mendukung dan selarasa

dengan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di semua tingkat;

12. Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tnapa

diskriminasi kepada ODHA dan OHIDA

C. Struktur Organisasi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional merupakan lembaga yang berwenang

sebagai koordinator program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di

Indonesia. Untuk memudahkan pelaksanaan progarm sampai dengan ke tingkat daerah,

KPA juga menempatkan sekretariatnya sampai ke tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya,

Camat dan Lurah juga berperan dalam mobilisasi sumberdaya dan berbagai upaya

penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kecamatan dan kelurahan.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, selanjutnya disingkat KPAN, terbentuk

dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi

Penanggulangan AIDS Nasional. KPAN dibentuk atas dasar petimbangan bahwa dalam

rangka meningkatkan upaya pencegahan, pengendalia, dan penanggulangan AIDS perlu

dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga kelangsungan penanggulangan AIDS

dan menghindari dampak yang lebih besar di bidang kesehatan, sosial, politik, dan

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

36

ekonomi; dan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas koordinasi penanggulangan

AIDS sehingga lebih intensif, menyeluruh, dan terpadu.

Struktur organisasi KPA akan dijabarkan sebagai berikut:

A. Tingkat Pusat

Sesuai dengan Perpres Nomor 75 tahun 2006, KPAN memiliki tugas dan

wewenang sebagai berikut:

1. menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum

pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS;

2. menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan

kegiatan;

3. mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan,

pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS;

4. melakukan penyebarluasan informal mengenai AIDS kepada berbagai media

massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan

keresahan masyarakat;

5. melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan

penanggulangan AIDS;

6. mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah

AIDS;

7. mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan,

pengendalian, dan penanggulangan AIDS;

8. memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan

Kabupaten/Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan

AIDS

Dalam melaksanakan tugasnya KPAN berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Presiden. Secara struktural, KPAN diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang

Kesejahteraan Rakyat dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari KPAN dijalankan oleh

Tim Pelaksana yang diketuai oleh Sekretaris KPAN. Susunan keanggotaan Tim

Pelaksana terdiri dari unsur pejabat instansi terkait, organisasi profesi, tenaga profesional,

dan pihak lain yang terkait yang ditetapkan oleh Ketua KPAN. Selain itu, untuk

kelancaran pelaksanaan tugas, Ketua KPAN dapat membentuk Kelompok Kerja dan/atau

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

37

Panel Ahli yang terdiri dari pejabat instansi pemerintah terkait, pakar, akademisi,

dan/atau pihak-pihak lain yang dianggap perlu.

Dalam melaksanakan tugasnya KPAN melakukan koordinasi dan/atau kerjasama

dengan instansi Pemerintah Pusat maupun instansi Pemerintah Daerah, dunia usaha,

organisasi non-pemerintah, organisasi profesi, perguruan tinggi, badan internasional,

dan/atau pihak-pihak lain yang dipandang perlu, serta melibatkan partisipasi masyarakat.

B. Tingkat Provinsi

Di tingkat provinsi, untuk membantu pelaksanaan tugas KPAN, Gubernur

membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi yang diketuai oleh Gubernur. KPA

Provinsi dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari memiliki sekretariat KPA Provinsi.

KPA Provinsi mempunyai hubungan koordinatif, konsultatif, dan teknis dengan KPAN.

Adapun tugas KPA Provinsi, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20

Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan

Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah,

adalah

1. mengkoordinasikan perumusan penyusunan kebijakan, strategi, dan langkah-

langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS sesuai

kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan

AIDS Nasional;

2. memimpin, mengelola, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi

pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di provinsi;

3. menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber daya

berasal dari pusat, daeran, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara efektif dan

efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;

4. mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang

tergabung dalam keanggotaan KPA Provinsi;

5. mengadakan kerjasama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS;

6. menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan AIDS

kepada aparat dan masyarakat;

7. memfasilitasi KPA Kabupaten/Kota;

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

38

8. mendorong terbentuknya LSM/Kelompok Peduli HIV dan AIDS dan;

9. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan dan evaluasi

kegiatan pelaksanaan penaggulangan HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan

secara berkala dan berjenjang kepada KPAN.

C. Tingkat Kabupaten/Kota

Pada tingkat Kabupaten/Kota, KPA diketuai oleh Bupati/Walikota setempat yang

dibantu oleh sekretariat KPA Kabupaten/Kota sebagai pelaksana tugas sehari-hari. KPA

Kabupaten/Kota mempunyai hubungan koordinatif, konsultatif, dan teknis dengan KPAN

dan KPA Provinsi. Adapun tugas KPA Kabupaten/Kota, berdasarkan Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi

Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan

HIV dan AIDS di Daerah, adalah

1. mengkoordinasikan perumusan penyusunan kebijakan, strategi, dan langkah-

langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS sesuai

kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan

AIDS Nasional;

2. memimpin, mengelola, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi

pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di kabupaten/kota;

3. menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber daya

berasal dari pusat, daeran, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara efektif dan

efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;

4. mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang

tergabung dalam keanggotaan KPA Kabupaten/Kota;

5. mengadakan kerjasama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS;

6. menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan AIDS

kepada aparat dan masyarakat;

7. memfasilitasi pelaksanaan tugas Camat dan Pemerintah Desa/Kelurahan dalam

penanggulangan HIV dan AIDS;

8. mendorong terbentuknya LSM/Kelompok Peduli HIV dan AIDS dan;

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

39

9. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan dan evaluasi

kegiatan pelaksanaan penaggulangan HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan

secara berkala dan berjenjang kepada KPAN.

Dalam pelaksanaan kebijakan, strategi, dan langkah-langkah penanggulangan

HIV dan AIDS, Bupati/Walikota selaku Ketua KPA Kabupaten/Kota menugaskan:

1. Camat memimpin, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan memobilisasi sumber

daya yang ada di kecamatan

2. Kepala Desa/Kelurahan melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di

desa/kelurahan

Sedangkan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut di atas, Kepala Desa/Kelurahan dibantu

oleh lembaga pendidikan, lembaga kemasyarakatan, tokoh adat, tokoh agama, dan

masyarakat.

Berdasarkan pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007

tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan

Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah,

upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dilaksanakan secara terpadu dengan

Program Pemberdayaan Masyarakat. Tujuannya adalah agar masyarakat tahu, mau, dan

mampu menanggulangi HIV dan AIDS di wilayahnya. Selain itu, upaya melibatkan

masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS difokuskan pada peran yang

dimiliki masing-masing pihak, termasuk pencegahan diskriminasi dan stigmatisasi

terhadap ODHA dan OHIDA.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

40

BAB IV

GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

DI TIGA WILAYAH PENELITIAN

Bab ini memaparkan gambaran umum pelaksanaan kebijakan penanggulangan

HIV dan AIDS di tiga kabupaten/kota yang menjadi obyek penelitian. Pemaparan ini

mencakup upaya pemerintah daerah dalam meredam munculnya potensi stigmatisasi

melalui bahasa kebijakan yang digunakan dalam produk hukum daerah berkenaan dengan

penanggulangan HIV dan AIDS. Adapun tujuan pendeskripsian wilayah penelitian adalah

untuk memberikan gambaran dan pemahaman mengenai kondisi demografis dan

perkembangan HIV dan AIDS dan bahasa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di

masing-masing wilayah. Dengan demikian diperoleh bahan dan panduan singkat dalam

memahami permasalahan yang muncul di setiap wilayah, khususnya yang berkaitan

dengan stigmatisasi dalam bahasa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di masing-

masing wilayah.

A. Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat terdiri dari tujuh belas kabupaten dan sembilan kota yang

terbagi dalam 584 kecamatan dan 5.201 kelurahan (www.jabar.go.id). Luas wilayah

provinsi Jawa Barat, yang meliputi daratan dan pulau-pulau di wilayah Samudera

Indonesia, adalah 35.746,26 km². Menurut Survei Sosial Ekonomi 2007, jumlah

penduduk Jawa Barat adalah 41.483.729 jiwa dengan kepadatan penduduk 147 jiwa per

km².

Berdasarkan data yang dirilis KPA pada tanggal 31 Maret 2009, Provinsi Jawa

Barat merupakan provinsi dengan kasus AIDS tertinggi di Indonesia, yaitu sebanyak

3.162 kasus dengan 579 kasus kematian. Dari jumlah total kasus AIDS di Jawa Barat,

pengguna napza suntik (penasun) merupakan penyumbang terbesar, yaitu sebanyak 2366

kasus atau sekitar 74 persen. Pengelompokan kasus berdasarkan faktor usia menunjukkan

bahwa 64 persen kasus AIDS berasal dari penduduk berusia 20—29 tahun. Sedangkan

kasus AIDS terbesar berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Barat: kota Bandung 1.763

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

41

kasus, kota Bekasi 589 kasus, kota Sukabumi 392 kasus, kota Bogor 217 kasus, dan

kabupaten Bandung 150 kasus.

Tingginya jumlah kasus AIDS di Jawa Barat membuat Pemerintah Provinsi

melalui Gubernur menjadikan isu ini sebagai kondisi darurat dan harus mendapat

prioritas (www.tempointeratif.com). Meskipun demikian, Provinsi Jawa Barat belum

memiliki payung hukum yang berkaitan dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS.

Pada tanggal 18 Mei 2009, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mengeluarkan surat

bernomor 443/28/Yansos tentang Edaran Penanggulangan AIDS yang ditujukan kepada

seluruh Bupati/Walikota selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota.

Surat edaran Gubernur Jawa Barat kepada Bupati/Walikota di Jawa Barat berisi

imbauan kepada Bupati/Walikota agar lebih serius melaksanakan Program Pencegahan

dan Penanggulangan HIV-AIDS melalui upaya:

1. Revitalisasi/Optimalisasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten/Kota

2. Menyusun Rencana Strategis Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)

Kabupaten/Kota

3. Mengalokasikan anggaran APBD Kabupaten/Kota untuk mendukung pelaksanaan

Progam Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS

Sementara pemerintah Provinsi masih menyusun Peraturan Daerah tentang

Penanggulangan HIV dan AIDS, beberapa kabupaten dan kota di provinsi Jawa Barat

telah terlebih dahulu mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan

Penanggulangan HIV dan AIDS. DPRD Kabupaten Tasikmalaya telah mengesahkan

Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS

pada tanggal 13 Juni 2007. Kota Cirebon telah memiliki Perda tentang Pencegahan dan

Penanggulangan HIV dan AIDS pada 30 Juli 2009. Terakhir, Kota Bekasi baru saja

mengesahkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS pada 3 Juli

2009.

Berdasarkan hasil pertemuan dengan Kepala Biro Hukum Kantor Gubernur

Provinsi Jawa Barat, Dr. Eni Rohyani, Pemprov Jawa Barat masih melakukan pengkajian

materi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan

Penanggulangan HIV dan AIDS. Beliau mengatakan bahwa Pemprov menargetkan Perda

tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS dapat terealisasi pada akhir

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

42

tahun 2009. Dengan adanya Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan

AIDS di tingkat provinsi, diharapkan seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat ikut

menerbitkan perda yang serupa meskipun beberapa kabupaten/kota telah berinisiatif

menerbitkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS terlebih

dahulu.

Sementara itu, untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan HIV

dan AIDS di wilayah provinsi Jawa Barat, KPA Provinsi Jawa Barat telah menerbitkan

Strategi Program Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi Jawa Barat 2009—2013. Visi

dari strategi ini adalah masyarakat Jawa Barat berperilaku hidup sehat, terhindari

HIV/AIDS pada 2013. Sedangkan misinya adalah

1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko penularan HIV agar terbentuk

perilaku aman untuk terhindar dari HIV/AIDS

2. Menyediakan pelayanan HIV dan AIDS yang komprehensif dan

berkesinambungan dalam rangka pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS

3. Menyediakan dukungan terhadap ODHA agar mereka bisa hidup layak tanpa

stigma dan diskriminasi

4. Menyusun kebijakan yang mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan

HIV/AIDS

Tujuan diterbitkannya strategi ini secara umum adalah untuk mencegah terjadinya infeksi

baru HIV/AIDS dan pemberian layanan komprehensif kepada semia ODHA pada tahun

2013.

Kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Barat

ditujukan untuk mencegah infeksi baru pada kelompok risiko tinggi dan menyediakan

perawatan, dukungan, dan pengobatan untuk ODHA. Untuk mencapai tujuan umum

mencegah infeksi baru sejumlah 184 ribu pada tahun 2020, ditetapkan target

penjangkauan sebesar 80 persen pada tahun 2010 dengan target perubahan perilaku

sebesar 60 persen. Pendekatan untuk kebijakan dasar ini adalah dengan melakukan

program penanggulangan secara komprehensif yang melibatkan seluruh unsur lintas

sektoral, LSM, dan unsur masyarakat dengan sasaran utama kelompok risiko tinggi.

Pendekatan ini dilakukan karena Jawa Barat masih dalam tahap epidemi terkonsentrasi

pada kelopok risiko tinggi.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

43

Berikutnya akan dipaparkan kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat yang telah

menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.

B. Kabupaten Tasikmalaya

Kabupaten Tasikmalaya terletak di sebelah tenggara provinsi Jawa Barat dengan

luas wilayah 2.563,35 km² (www.jabar.go.id). Kabupaten ini terdiri atas 39 kecamatan

dan 348 desa. Jumlah penduduk kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Survey Sosial

Ekonomi tahun 2007 adalah 1.792.092 jiwa dengan kepadatan penduduk 640 jiwa per

km².

Jumlah kasus HIV dan AIDS di wilayah kabupaten Tasikmlaya dari tahun ke

tahun senderung bertambah. Penyakit ini tidak saja menyerang kelompok berisiko tinggi,

tetapi juga telah menjangkiti ibu dan bayi (www.hu-pakuan.com). Menurut data Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Barat, sampai dengan Maret 2009, jumlah kasus HIV dan AIDS

di kabupaten Tasikmalaya adalah sebanyak 119 kasus: 6 kasus AIDS dan 113 kasus HIV

positif. Dari jumlah tersebut, berdasarkan data KPA Kabupaten Tasikmalaya, 70 persen

kasus HIV dan AIDS berasal dari penasun. Dikaitkan dengan visi Kabupaten

Tasikmalaya, situasi tadi menjadi tantangan yang serius dalam mewujudkan pencapaian

visi Tasikmalya, yang religius dan islami.

Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya telah lama menaruh perhatian terhadap upaya

pencegahan dan peanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya. Hal ini terlihat dari Perda

Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS yang

diterbitkan pada 13 Juni 2007. Perda ini terdiri dari 12 bab dan 24 pasal yang memuat

dasar hukum bagi upaya pencegahan, penangulangan, pengamatan, dan perlindungan

HIV/AIDS. Perda ini tidak saja sebagai payung hukum bagi upaya pencegahan dan

penanggulangan HIV dan AIDS di kabupaten Tasikmalaya, tetapi juga mendorong peran

serta masyarakat luas dalam berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan termasuk

mendampingi ODHA.

Setahun setelah menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2007, Pemerintah Daerah

kabupaten Tasikmalaya menerbitkan Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2008

tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Tasikmalaya pada 4

Maret 2008. Peraturan ini berfungsi sebagai payung hukum bagi KPA Kabupaten

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

44

Tasikmalaya dalam melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan

AIDS karena di dalamnya mencakup aturan struktur orgainsasi, peran, fungsi, wewenang

KPA Kabupaten Tasikmalaya dalam menanggulangi HIV dan AIDS.

Selain Peraturan Bupati tersebut di atas, pemerintah Kabupaten Tasikmalaya juga

menyediakan payung hukum bagi pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV

dan AIDS melalui Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2008 yang

diundangkan pada 7 Agustus 2008. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memandang

perlunya partisipasi masyarakat luas dalam menanggulangi HIV dan AIDS karena

pemerintah berserta aparatnya saja belum tentu mampu mengatasi permasalahan AIDS di

wilayahnya. Hal ini didukung fakta bahwa kasus AIDS di wilayah kabupaten

Tasikmalaya cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dan upaya

penanggulangan AIDS memerlukan strategi dan langkah yang komprehensif.

C. Kota Cirebon

Kota Cirebon terletak di sebelah utara Provinsi Jawa Barat, yaitu di jalur Pantai

Utara pulau Jawa. Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul

pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di

wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas

dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 3.735,82 hektar

atau ±37 km2 dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah

pertanian (38%). Menurut Sensus Sosial Ekonomi tahun 2007, penduduk Kota Cirebon

adalah 290.450 jiwa dengan kepadatan 7.376 jiwa per km².

Jumlah kasus AIDS di Kota Cirebon cenderung meningkat setiap tahunnya.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, jumlah kasus AIDS di Kota

Cirebon sampai dengan 31 Maret 2009 adalah 81 kasus. Jika dibandingkan dengan data

yang diumumkan KPA Kota Cirebon melalui pemberitaan di Antara, Jumat, 7 Agustus

2009, (www.antaranews.com), jumlah kasus AIDS di Kota Cirebon adalah 387 orang.

Jumlah ini menurut KPA Kota Cirebon meningkat 100 persen dari tahun sebelumnya.

Adapun cara penularan AIDS di Kota Cirebon didominasi melalui pengguna napza

suntik. Selain penasun, pergaulan bebas di kalangan anak muda juga merupakan potensi

lain penyaluran virus HIV (www.pikiran-rakyat.com).

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

45

Masalah HIV dan AIDS telah lama menjadi perhatian masyarakat Kota Cirebon.

Hal ini terbukti dengan munculnya inisiatif Raperda tentang Pencegahan dan

Penanggulangan HIV dan AIDS yang diusulkan oleh Sri Maryati, salah seorang anggota

DPRD Kota Cirebon (www.radarcirebon.com). Hak inisiatif kepada Pemda Cirebon yang

diajukan pada tanggal 8 Juni 2009, menurut Sri, diperbolehkan apabila minimal lima

orang anggota DPRD dari fraksi berbeda mengajukan haknya. Sementara itu, untuk

Raperda AIDS, hak inisiatif diambil oleh sebelas orang anggota DPRD Kota Cirebon dari

fraksi yang berbeda. Menurut Sri, pengajuan Raperda ini didasari fakta bahwa Kota

Cirebon tercatat sebagai daerah penyebaran virus HIV tertinggi di Jawa Barat.

Pada tanggal 30 Juli 2009 Pemerintah Kota Cirebon mengundangkan Peraturan

Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS

di Kota Cirebon. Perda ini terdiri atas 14 bab dan 44 pasal yang mencakup: maksud dan

tujuan, ruang lingkup, kebijakan dan strategi, objek dan subjek, kegiatan pencegahan dan

penanggulangan HIV dan AIDS, perlindungan, peran serta masyarakat, dan struktur

organisasi KPA Kota Cirebon.

D. Kota Bekasi

Kota Bekasi adalah salah satu kota yang berbatasan langsung dengan Provinsi

DKI Jakarta sebagai Ibukota negara. Kota Bekasi merupakan salah satu kota penyangga

di wilayah megapolitan Jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok,

dan Cikarang; serta menjadi tempat tinggal para komuter yang bekerja di Jakarta. Oleh

karena itu, ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota di wilayah

Jabotabek.

Kota Bekasi terdiri atas 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Berdasarkan Sensus

Sosial Ekonomi 2007, jumlah penduduk Kota Bekasi adalah 2.084.831 jiwa dengan

kepadatan penduduk 9.178 jiwa per km². Sama seperti halnya Kabupaten Tasikmalaya,

jumlah kasus AIDS di Kota Bekasi terus meningkat setiap tahunnya. Cara penularan

terbesar adalah melalui penggunaan jarum suntik pada pengguna narkoba, disusul oleh

penyakit menular kelamin, dan terakhir melalui ASI. Berdasarkan data Dinas Kesehatan

Provinsi Jawa Barat, sampai dengan 31 Maret 2009, jumlah kasus AIDS di Kota Bekasi

adalah 589 kasus atau menduduki peringkat kedua jumlah kasus terbanyak menurut

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

46

kabupaten/kota se-Jawa barat. Angka lain menunjukkan bahwa dari total kasus AIDS di

Jawa Barat, 79,46 persennya ditularkan melalui jarum suntik, lebih tinggi dibanding

Kabupaten Tasikmalaya.

Berbagai upaya telah dilakukan KPA Kota Bekasi untuk mereduksi potensi

penularan virus HIV tetapi kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih ada hambatan.

Hasil pengawasan Badan Narkotika Kota Bekasi juga menunjukkan bahwa ancaman

terbesar yang dihadapi warga Kota Bekasi adalah masih maraknya peredaran gelap dan

penyalahgunaan narkoba. Setiap bulan, lebih dari 40 kasus narkoba diungkap jajaran

Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi bersama BNK Kota Bekasi (www.kompas.com).

Selain maraknya narkoba, menurut Hari Bagianto, salah satu pengelola program KPA

Kota Bekasi, peningkatan kasus HIV dan AIDS juga disebabkan masih adanya penderita

yang kurang disiplin dalam mengkonsumsi obat anti-retroviral.

Untuk menciptakan payung hukum bagi upaya pencegahan dan penanggulangan

HIV dan AIDS di Kota Bekasi, Pemerintah Kota Bekasi pada tanggal 3 Juli 2009

mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan

Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Bekasi. Perda ini terdiri atas 10 bab dan 22

pasal. Di dalamnya tercakup bab mengenai maksud, tujuan, dan sasaran program,

pedoman pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, peran serta masyarakat dalam

upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, serta pasal-pasal yang berkaitan

dengan struktur organisasi KPA Kota Bekasi.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

47

BAB V

ANALISIS SEMANTIK DAN STILISTIKA

TERHADAP KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

HIV DAN AIDS

Bab ini memuat dan memaparkan hasil analisis dan penginterpretasian terhadap

data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh tim peneliti. Hasil analisis

dan interpretasi bertujuan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan atau fokus

kajian dari studi ini. Pada bagian berikut disajikan hasil analisis dan interpretasi terhadap

kebijakan pemerintah daerah dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di

satu kabupaten dan dua kota di provinsi Jawa Barat. Analisis dan interpretasi dilakukan

dengan menggunakan pendekatan semantik dan stilistika untuk mengetahui unsur-unsur

humanisme yang dikandung oleh setiap peraturan daerah. Analisis terhadap unsur-unsur

humanisme dalam sebuah kebijakan ditujukan untuk mengetahui apakah sebuah

kebijakan telah memberikan perhatian terhadap masalah stigma terhadap penderita HIV

dan AIDS.

A. Analisis Semantik

Bagian pertama memuat analisis dan interpretasi awal terhadap makna yang

dikandung oleh setiap produk hukum kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan

upaya atau program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Pada tabel berikut,

tabel V.1., akan disajikan hasil temuan lapangan di provinsi Jawa Barat yang meliputi

satu kabupaten dan dua kota pemerintahan. Pada tebel tersebut dipaparkan ketersediaan

dokumen kebijakan tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di masing-

masing kota dan kabupaten. Hasil temuan lapangan memperlihatkan bahwa pada tingkat

provinsi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat belum menerbitkan produk hukum legal-formal

(Perda Provinsi) yang berkaitan dengan upaya atau program pencegahan dan

penanggulangan HIV dan AIDS.

Adapun yang menjadi fokus pengamatan dan observasi adalah kebijakan yang

dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) oleh Bupati/Walikota. Perda tersebut

merupakan realisasi kebijakan menindaklanjuti Strategi Nasional Pencegahan dan

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

48

Penanggulangan HIV dan AIDS yang dikeluarkan oleh KPAN. Dengan melakukan

pengamatan dan analisis semantik terhadap kebijakan formal, diharapkan dapat

memberikan jawaban dan kerangka pemahaman mengenai pemaknaan dalam bahasa

kebijakan khususnya yang berkaitan dengan masalah stigmatisasi terhadap penderita HIV

dan AIDS. Hasil temuan lapangan dari setiap kabupaten dan kota disajikan dalam tabel

berikut ini.

Tabel V.1

Dokumen yang Memuat Kebijakan TB Pada Tingkat Provinsi

No Wilayah Deskripsi Hasil Observasi dan Pengamatan

1 Provinsi Jawa

Barat

Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 443/28/Yansos tentang

Edaran Penanggulangan AIDS yang ditujukan kepada seluruh

Bupati/Walikota selaku Ketua KPA Kabupaten/Kota; Strategi

Program Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi Jawa Barat

2009—2013, mengacu kepada Strategi Nasional Penanggulangan

HIV dan AIDS 2007—2013 dan Rencana Aksi Nasional

Penanggulangan HIV dan AIDS 2007—2013, serta bentuk

komitmen Pemerintah Jawa Barat terhadap salah satu butir

Millenium Development Goals, yaitu memernai AIDS.

2 Kabupaten

Tasikmalaya

Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan

AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS; Peraturan Bupati

Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Komisi

Penanggulangan AIDS Kabupaten Tasikmalaya; dan Peraturan

Bupati Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pemberdayaan

Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV and

AIDS di Kabupaten Tasikmalaya

3 Kota Cirebon Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan

AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS

4 Kota Bekasi Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan

AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Sumber : Hasil Pengolahan Data oleh Tim Peneliti (2009)

Dari empat wilayah yang disebutkan di tabel di atas, terdapat satu kabupaten

(Tasikmalaya) dan dua kota (Cirebon dan Bekasi) yang telah memiliki Perda tentang

pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Analisis selanjutnya akan difokuskan

pada unsur semantik dalam ketiga Perda tersebut. Langkah-langkah analisis semantis

terhadap dokumen peraturan daerah (Perda):

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

49

Mengklasifikasi gaya bahasa Perda berdasarkan makna pilihan kata

Menghitung persentase kosakata khusus berdasarkan frekuensi kemunculan untuk

mengetahui kecenderungan tertentu

Definisi dan berbagai hal yang berkaitan dengan stigma telah dijelaskan pada bab

II. Demikian pula halnya dengan humanisme dan muatan nilai humanisme dalam

substansi kebijakan juga telah dipaparkan pada bab II. Bagian ini menyajikan analisis

semantik bahasa kebijakan tiga perda berdasarkan kerangka konsep stigma yang telah

diberikan pada bab II. Adapun yang menjadi fokus analisis adalah beberapa bagian perda:

pembukaan dan batang tubuh. Pada bagian batang tubuh pun fokus analisis dipersempit

pada bagian ketentuan umum dan materi pokok yang diatur. Alasan pembatasan ini

adalah karena pada bagian-bagian ini saja yang memuat kata, frasa, klausa, kalimat, dan

pasal-pasal yang berkaitan dengan stigma, diskriminasi, dan nilai-nilai humanisme.

A.1. Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2007 tentang

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS

Analisis semantik terhadap Perda Kabupaten Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2007

tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya

bahasa Perda beradasarkan makna pilihan kata. Seperti telah dijelaskan pada bab II, gaya

bahasa peraturan perundang-undangan merupakan gaya bahasa resmi dalam laras bahasa

hukum. Pilihan kata yang digunakan umumnya kata-kata yang jelas, lugas, cermat dan

tidak menimbulkan tafsir ganda. Makna kata yang banyak ditemui adalah makna

denotatif, bukan konotatif. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan muncul kata-kata dengan

tafsir ganda dan makna konotatif. Dalam bidang stilistika, pedoman gaya bahasa yang

digunakan dalam analisis adalah gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, yaitu gaya bahasa

resmi. Sama seperti pemaknaan, bukan tidak mungkin muncul gaya bahasa lain selain

gaya bahasa resmi dalam setiap dokumen perda.

Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan interpretasi sesuai dengan nilai-nilai

humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan interpretasi tidak saja difokuskan pada

kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata lain yang membentuk frasa, klausa, dan

kalimat.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

50

A.1.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata

Perda ini tidak mencantumkan ayat khusus definisi “stigma” tetapi pada bab I,

Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 21 disebutkan definisi “diskriminasi” sebagai: ‖semua

tindakan atau kegiatan seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Azasi‖. Ketiadaan definisi stigma bisa diinterpretasikan sebagai (1)

belum adanya perhatian khusus pemerintah; (2) tidak adanya masukan dari lembaga-

lembaga non-pemerintah seperti KPAD. Butir pertama, belum adanya perhatian khusus

pemerintah terhadap masalah stigma, tentu kurang kuat karena pasal 1, ayat 21 pada bab I

Ketentuan Umum disebutkan definisi dikriminasi. Diskriminasi merupakan salah salah

dampak yang muncul setelah adanya stigmatisasi. Ayat kedua, tidak adanya masukan dari

lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki perhaian terhadap HIV dan AIDS, tentu

perlu ditelusuri lebih lanjut ke pihak berwenang yang merumuskan perda.

Definisi diskriminasi dalam bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 21, tidak

memenuhi kategori definisi nominal ataupun definisi formal. Ayat ini membuat pembaca

harus mencari lagi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi untuk mengetahui apa

sebenarnya definisi diskriminasi.

Pada bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 31, disebutkan definisi dukungan

sebagai: ‖upaya-upaya, baik dari sesama orang dengan HIV/AIDS maupun dari

keluarga dan orang-orang yang bersedia untuk memberi dukungan pada orang dengan

HIV/AIDS dengan lebih baik lagi‖. Butir ini menunjukkan perhatian pemerintah terhadap

pentingnya memberikan dukungan kepada ODHIV. Dukungan jelas diperlukan untuk

menekan potensi kemunculan diskriminasi dan stigma tentunya pada masyarakat. Secara

umum, definisi ini, yang tergolong ke dalam definisi formal, tidak memiliki

permasalahan, baik dalam hal pemaknaan maupun kaidah tata bahasa.

Bab II, Objek dan Subjek, pasal 2 disebutkan: ‖Yang menjadi objek pengaturan,

pencegahan, dan penanggulangan HIV/AIDS adalah semua orang atau semua tempat

hiburan dan tempat-tempat lainnya yang berpotensi terjadi penularan infeksi

HIV/AIDS‖. ’Tempat hiburan’ menjadi penekanan pada pasal ini. Permasalahannya

adalah, apa yang menjadi dasar penetapan ’tempat hiburan’ sebagai penekanan dalam

pasal ini. Interpretasi yang dapat diberikan di sini adalah penekanan pada ’tempat

hiburan’ dalam pasal ini justru eksploitatif karena terlalu fokus pada tempat hiburan saja.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

51

Penggunaan jarum suntik yang tidak steril juga menempati urutan atas dalam penyaluran

HIV dan AIDS. Artinya, tempat-tempat umum lain yang berpotensi terjadi penularan

HIV dan AIDS, seperti terminal, pasar, sekolah, lapangan, dan lain-lain, seharusnya juga

menjadi perhatian.

Bab IV, Upaya Pencegahan, Penanggulangan, Pengamtan, dan Perlindungan

HIV/AIDS, pasal 7, ayat 2 menyebutkan: ‖Dalam penanggulangan HIV/AIDS,

pemerintah wajib mengupayakan layanan yang mencakup perawatan, dukungan dan

pengobatan yang diperlukan bagi penderita HIV/AIDS baik yang diselenggarakan oleh

pemerintah maupun swasta atau masyarakat . . . ‖. Ayat ini menggunakan kata ’wajib’

untuk memberikan penekanan terhadap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap

pihak terkait perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi ODHIV. Interpretasi yang dapat

diberikan di sini adalah bahwa pemerintah daerah telah memberikan perhatian pada

ODHIV agar tidak diperlakukan diskriminatif dalam perawatan, dukungan, dan

pengobatan di instansi pemerintah, swasta, atau masyarakat. Artinya, semua pasien

memiliki hak yang sama dalam hal perawatan dan pengobatan.

Bab IV, pasal 11, ayat 1 menyebutkan: ‖Testing HIV/AIDS harus dilakukan

secara sukarela dengan konseling yang baik dan disertai informed consent yang

tertulis‖. Penekanan pada pasal ini ditunjukkan oleh penggunaan frasa ’harus dilakukan

secara sukarela’ pada proses testing HIV dan AIDS. Interpretasinya adalah ODHIV

memiliki hak untuk tidak memeriksakan darahnya ke unit-unit pelayanan kesehatan yang

tersedia; prinsip sukarela diutamakan untuk menjaga kerahasiaan data pribadi ODHIV.

Selanjutnya, pasal 11, ayat 2, menyebutkan: ‖Testing HIV/AIDS tidak diperlukan

secara khusus untuk keperluan seperti: lamaran kerja, promosi jabatan, pelatihan, atau

tujuan-tujuan lainnya‖. Frasa ’tidak diperlukan secara khusus’ pada ayat ini

menunjukkan bahwa pemerintah setempat menghargai hak individu warganya tanpa

harus mengikuti tes khusus HIV dan AIDS untuk kegiatan yang berhubungan dengan

pekerjaan. Seandainya tes khusus diwajibkan, besar kemungkinan ODHIV akan mundur

lebih awal dalam proses pelamaran pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan lain-lain.

Kesimpulannya adalah tidak ada diskriminasi bagi warga masyarakat dalam proses

pelamaran pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan lain-lain.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

52

Pasal 11, ayat 3, menyebutkan: ‖Pekerja dan buruh dengan HIV/AIDS berhak

mendapat pelayanan kesehatan kerja yang sama dengan pekerja/buruh lain sesuai

dengan peraturan yang berlaku‖. Interpretasi terhadap butir ini adalah tidak ada

dikriminasi dalam hal pelayanan kesehatan bagi semua pekerja dan buruh, baik yang

terinfeksi HIV dan AIDS maupun yang tidak. Semua pekerja dan buruh memiliki hak

yang sama. Hal ini diperkuat dengan ayat 4 yang menyebutkan: ‖Seluruh fasilitas

kesehatan seperti Rumah Sakit, klinik dan atau dokter praktek tidak diperkenankan

menolak memberikan akses layanan kesehatan pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS‖.

Interpretasi untuk ayat ini cukup jelas.

Pasal 11 ayat 5 menyebutkan: ‖Setiap orang yang karena tugas dan pekerjaannya

mengetahui atau memiliki informasi tentang status HIV seseorang wajib

merahasiakannya, kecuali: (a) Jika ada persetujuan/izin yang tertulis dari orang yang

bersangkutan; (b) Kepada orang tua/wali dari anak yang belum cukup umur, cacat, atau

tidak sadar; (c) Jika ada kepentingan rujukan layanan medis dengan komunikasi atas

dokter atau fasilitas dimana orang dengan HIV tesebut dirawat; (d) untuk kepentingan

pro justicia‖. Pasal jelas melindungi kerahasiaan status ODHIV sehingga tidak

berpotensi menimbulkan stigma dan diksriminasi terhadap ODHIV di lingkungan

setempat. Ayat 5 diperkuat dengan tiga butir selanjutnya, yaitu ayat 6, 7, dan 8, yang

intinya kurang lebih sama dengan ayat 5: melindungi kerahasiaan status ODHIV.

Pasal 12 merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya, pasal 11. Pada ayat 1 pasal

12 disebutkan: ―Pemerintah Daerah melindungi hak-hak pribadi dan hak-hak azasi

orang yang terinfeksi HIV termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIV‖. Ayat ini

jelas memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah sebagai otoritas yang

berwenang untuk melindungi hak asasi ODHIV. Interpretasinya adalah, pemerintah

melindungi hak asasi ODHIV yang setara dengan individu lain dalam semua mekanisme,

mulai dari perawatan, pengobatan, dan dukungan.

Ayat 2 pasal 12 menyebutkan: ―Diskriminasi dalam bentuk apapun ( pemecatan

pekerjaan secara sepihak, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan memadai, ditolak

bertempat tinggal di tempat yang dipilih ODHA dan ditolak mengikuti pendidikan formal

dan informal) kepada orang yang terduga atau disangka telah terinfeksi HIV adalah

merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini‖. Ayat ini cukup jelas

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

53

menekankan pentingnya menghargai hak-hak asasi ODHIV dengan tidak melakukan hal-

hal diskriminatif di beberapa bidang, misalnya domisili dan pendidikan.

Ayat 3 pasal 12 menyebutkan: ―Pemerintah Daerah berhak untuk mengatur agar

narapidana yang terinfeksi HIV memperoleh hak-hak layanan kesehatan dan hak

kerahasiaan yang sama dengan orang lain yang terinfeksi HIV di luar lembaga

pemasyarakatan‖. Ayat ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal pelayanan

kesehatan bagi siapapun, termasuk bagi narapidana yang terinfeksi HIV dan AIDS.

Artinya, pemerintah mengakui persamaan hak asasi manusia bagi siapapun tanpa

diskriminasi bahkan ia adalah narapidana sekalipun.

Ayat 4 pasal 12 menyebutkan: ―Tidak ada kewajiban bagi tahanan/narapidana

untuk ditest HIV kecuali untuk tujuan surveilans dan pembuktian hukum di Pengadilan‖.

Ayat ini menjamin hak narapidana untuk menjalani tes HIV kecuali dalam kondisi-

kondisi khusus, misalnya untuk kepentingan surveilans dan pembuktian perkara di

pengadilan.

Bab X, Ketentuan Pidana, pasal 22 ayat 1 menyebutkan: ―Setiap orang yang

melanggar Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 diancam dengan

hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.

50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah)‖. Ayat ini memberikan penekanan ketentuan

pidana terhadap pelanggaran atas tiga pasal dan tiga butir.

Pelanggaran terhadap pasal 11 ayat 4 hanya bisa dilakukan oleh penyedia layanan

kesehatan, seperti Rumah Sakit, klinik, atau dokter praktek yang menolak memberikan

layanan kepada pasien terinfeksi HIV dan AIDS. Pelanggaran terhadap pasal 11 ayat 5

dapat terjadi apabila petugas yang berwenang dalam mengelola data pasien terinfeksi

HIV dan AIDS ternyata memberitahukan kepada orang lain status seseorang yang

terinfeksi HIV dan AIDS.

Pelanggaran terhadap pasal 12 ayat 2 dapat dilakukan oleh siapapun, baik unsur

pemerintah maupun masyarakat. Pelanggaran terhadap ayat in menyangkut tindak

diskriminasi terhadap ODHIV. Siapapun yang terbukti melakukan diskriminasi terhadap

ODHIV dapat dituntut secara pidana dengan sanksi yang telah ditetapkan. Terakhir,

pelanggaran terhadap pasal 13 hanya mungkin dilakukan oleh ODHIV. Sama seperti

warga masyarakat lainnya, ODHIV pun memiliki tanggung jawab untuk mencegah

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

54

terjadinya penularan virus HIV kepada orang lain secara sengaja lewat: hubungan seksual

berisiko, penggunaan jarum suntik tidak steril, donor darah dan organ tubuh, dan melalui

tindak bujuk dan rayu.

A.1.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan

Frekuensi penggunaan kata dan frasa:

1. ”diskriminasi”: tiga (3) kali

2. ”harkat dan martabat manusia”: satu (1) kali

3. ”keadilan”: satu (1) kali

4. ”hak-hak pribadi”: tiga (3) kali

5. ”hak asasi”: satu (1) kali

6. ”hak-hak layanan kesehatan”: satu (1) kali

7. ”hak-hak kerahasiaan”: satu (1) kali

Penjelasan untuk frekuensi penggunaan kosakata dan frasa:

1. Penggunaan kata ”diskriminasi” sebanyak tiga (3) kali menunjukkan bahwa

pemerintah setempat telah memandang diskriminasi sebagai hal penting yang harus

diperhatikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Perda ini

tidak memiliki pengertian khusus untuk dan diskriminasi pada bab I tetapi merujuk ke

pengertian ”diskriminasi ” yang ada pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia. Penggunaan kata ”diskriminasi” dalam perda ini menjadi rentan

terhadap multitafsir karena tidak ada acuan definisi nominal—berdasarkan kamus,

etimologis—yang dicantumkan pada bagian Ketentuan Umum.

2. Frasa ”harkat dan martabat manusia” digunakan sebanyak satu kali pada pasal 6.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencantumkan kata ”harkat” sebagai derajat

(kemuliaan) sedangkan ”martabat” sebagai tingkat harkat kemanusiaan; harga diri.

Penggunaan frasa ”harkat dan martabat manusia” pada pasal ini menunjukkan adanya

perhatian pemerintah daerah—meskipun secara tertulis hanya satu kali digunakan dalam

perda—terhadap hak asasi manusia secara universal, termasuk mereka yang terinfeksi

HIV dan AIDS. Perhatian pemerintah diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap

harkat dan martabat ODHIV dan keluarganya dalam program pencegahan dan

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

55

penanggulangan HIV dan AIDS. Idealnya, frasa ini dicantumkan pada bagian yang lebih

awal, misalnya pada bab I, Ketentuan Umum, yang berisikan sejumlah definisi.

3. Sejalan dengan penggunaan frasa ”harkat dan martabat manusia”, kata ”keadilan”

digunakan pada pasal yang sama, yaitu pasal 6, untuk menegaskan prinsip persamaan dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia secara universal. Tujuan yang ingin dicapai

dengan menggunakan kata ”keadilan” dalam pasal ini adalah untuk meredam munculnya

diskriminasi pada masyarakat terhadap ODHIV dan keluarganya.

4. Frasa ”hak-hak pribadi” digunakan sebanyak tiga kali dalam tiga bagian berbeda.

Pemerintah dan peraturan daerah secara tegas menyatakan penghargaan dan melindungi

hak-hak pribadi ODHIV. Penggunaan frasa ini berada dalam konteks penghargaan dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia secara universal, sekalipun terhadap orang yang

terinfeksi HIV dan AIDS. Perbedaan antara hak pribadi dengan hak asasi adalah pada

ruang lingkup: hak pribadi lebih bersifat khusus untuk orang per orang, misalnya hak

membela negara, sedangkan hak asasi bersifat universal dan bersifat mendasar bagi setiap

manusia.

5. Perda juga menggunakan frasa ”hak asasi” dalam ayat 1 pasal 12 bersamaan dengan

frasa ”hak-hak pribadi”. KBBI mengartikan ”hak asasi” sebagai hak yang dasar atau

pokok. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hak asasi bersifat universal. Setiap manusia

memiliki hak asasi yang sama di manapun.

6. Penggunaan frasa ”hak-hak layanan kesehatan” sebanyak satu kali pada pasal 12 ayat 3

berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan hak memperoleh layanan kesehatan bagi

narapidana yang terinfeksi HIV dan AIDS. Ayat pada pasal 12 ini merupakan bukti

perhatian pemerintah daerah yang berlandas prinsip kesetaraan dan keadilan: siapapun

orang yang terinfeksi HIV dan AIDS memiliki hak mendapat layanan kesehatan.

Dengana adanya ayat ini, diharapkan tidak ada narapidana terinfeksi HIV dan AIDS yang

terlantar dalam hal pelayanan kesehatannya.

7. Frasa ”hak-hak kerahasiaan” digunakan satu kali pada pasal 12 ayat 3, atau bersamaan

dengan frasa ”hak-hak layanan kesehatan”. Frasa ini jelas bertujuan untuk melindungi

kerahasiaan status penyakit yang diderita seoarang pasien terinfeksi HIV dan AIDS dari

penyalahgunaan atau kesalahan dalam manajemen informasi. Dalam kehidupan sehari-

hari pun, prinsip penghargaan terhadap hak kerahasiaan pasien terinfeksi HIV dan AIDS

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

56

seharusnya bisa menjadi praktik dalam lingkungan masyarakat sehingga stigma dan

diskriminasi dapat diminimalisasi.

A.2. Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 12 tentang Pencegahan dan

Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus – Acquired Immune Deficiency

Syndrome (HIV – AIDS)

Analisis semantik terhadap Perda Kota Cirebon nomor 12 tentang Pencegahan

dan Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya bahasa Perda

beradasarkan makna pilihan kata. Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan

interpretasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan

interpretasi tidak saja difokuskan pada kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata

lain yang membentuk frasa, klausa, dan kalimat.

A.2.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata

Perda ini tidak mencantumkan definisi khusus stigma pada bagian Ketentuan

Umum. Seperti halnya Perda Nomor 4 Kabupaten Tasikmalaya, terdapat dua

kemungkinan yang dapat dikonfirmasi kepada perumus kebijakan: (1) belum adanya

perhatian khusus pemerintah; (2) tidak adanya masukan dari lembaga-lembaga non-

pemerintah seperti KPAD.

Pada Bab I pasal 1 ayat 12, penanggulangan diartikan sebagai serangkaian laju

penularan HIV-AIDS, melalui kegiatan promosi, pencegahan, konseling dan tes sukarela

rahasia, pengobatan serta perawatan dan dukungan terhadap orang dengan HIV-AIDS

(ODHA). Ayat ini mencantumkan kata “dukungan” yang secara implisit menyatakan

bahwa tidak ada diskriminasi dan stigma terhadap ODHA. Dukungan dapat juga diartikan

sebagai dukungan meningkatkan kepercayaan diri ODHA.

Pada Bab I pasal 1 ayat 31 disebutkan pengertian diskriminasi sebagai setiap

pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung

didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,

golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang

berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau

penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

57

maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek

kehidupan lainnya. Pencantuman pengertian diskriminasi pada bagian ketentuan umum

menunjukkan bahwa diskriminasi menjadi perhatian khusus dalam proses pencegahan

dan penanggulangan HIV-AIDS oleh Pemerintah Daerah kota Cirebon.

Pada Bab I pasal 1 ayat 39, dukungan diartikan sebagai upaya-upaya baik dari

sesama orang dengan HIV-AIDS maupun dari keluarga dan orang-orang yang bersedia

untuk memberikan dukungan pada orang yang terinfeksi HIV-AIDS dengan melakukan

upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Penjelasan untuk bagian ini

mengikuti penjelasan untuk Bab I pasal 1 ayat 12 di atas.

Pada Bab III pasal 3 butir d, diebutkan ruang lingkup Peraturan Daerah mengatur

ha-hal yang berkenaan dengan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di kota

Cirebon yang meliputi perlindungan ODHA. Butir ini menggunakan kata perlindungan

dengan tujuan untuk mengantisipasi munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA

dalam proses pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS.

Pada bab IV pasal 4 ayat 2, disebutkan bahwa Kebijakan Pencegahan dan

Penanggulangan HIV-AIDS dilaksanakan secara intensif, menyeluruh, terpadu, dan

berkesinambungan berdasarkan asas kemanusiaan, yang berkesetaraan, dan berkeadilan

gender. Penggunaan frasa “asas kemanusiaan”, “berkesetaraan”, dan “berkeadilan

gender” jelas bertujuan untuk menghindari kemunculan stigma dan diskriminasi dalam

proses pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS.

Pada bab VI pasal 7 butir g, disebutkan bahwa pencegahan dan penanggulangan

HIV-AIDS dilakukan melalui kegiatan perawatan dan dukungan ODHA. Pasal ini

melalui butir g secara implisit menyatakan bahwa selain perawatan, dukungan juga perlu

diberikan kepada ODHA dengan tujuan meningkatkan kepercayaan diri ODHA untuk

bersosialisasi dan meminimalisasi potensi stigma dan diskriminasi dari lingkungan

sekitar.

Pada bab VI pasal 8 ayat 1 dan 2, melalui kegiatan promosi yang menunjang

upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS dan kegiatan pendidikan kesehatan

reproduksi dan melalui Warga Peduli AIDS (WAPA) diharapkan masyarakat luas

mendapatkan informasi, dalam konteks ini tentunya informasi mengenai HIV dan AIDS.

Dengan adanya informasi ini, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman mendasar

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

58

secara medis dan teknis mengenai HIV adn AIDS, shingga asumi dan prasangka yang

tidak mendasar dan berpotensi memunculkan stigma bisa tercerahkan oleh pengetahuan

yang lebih ilmiah.

Pada bab VI pasal 18, disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau penyedia

layanan kesehatan wajib memberikan pelayanan pengobatan kepada ODHA dan IDU

suntik tanpa diskriminasi sesuai dengan fasilitas yang ada. Pasal ini cukup jelas.

Pada Bab VI pasal 20, disebutkan perawatan dan dukungan terhadap ODHA

dilakukan melalui pendekatan medis, agama, psikologis, sosial, ekonomi, keluarga,

masyarakat, dan dukungan pembentukan persahabatan ODHA (KDS). Pemerintah

Daerah Cirebon menempatkan permasalahan HIV-AIDS sebagai permasalahan

multidimensi, tidak semata-mata permasalahan medis. Hal ini terlihat jelas dari tujuh

bidang pedekatan yang digunakan Pemda Cirebon dalam proses perawatan dan dukungan

terhadap ODHA. Pendekatan multidimensi ini secara implisit memperlihatkan upaya

pemerintah setempat meminimalisasi potensi kemunculan stigam dan diskriminasi dari

masyarakat terhadap ODHA.

Pada bab VII pasal 23 ayat 2, disebutkan tes HIV-AIDS tidak diperlukan untuk

lamaran kerja, promosi jabatan, dan pelatihan atau tujuan-tujuan lainnya. Pasal ini

menegaskan tidak adanya pembedaan atau diskriminasi terhadap siapapun, khususnya

ODHA dalam proses melamar pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan tujuan-tujuan

sejenis.

Pada bab VII pasal 24 ayat1 menyatakan bahwa pekerja dan/atau buruh dengan

HIV-AIDS berhak mendapat pelayanan kesehatan kerja sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan; ayat 2 menyatakan bahwa seluruh fasilitas kesehatan,

seperti rumah sakit, klinik dan/atau dokter praktek wajib memberikan akses layanan

kesehatan pada pasien terinfeksi HIV-AIDS. Kedua ayat ini memuat pesan anti-

diskriminasi dalam lingkungan pekerjaan (ayat 1) dan dalam pelayanan kesehatan umum

(ayat 2). Setiap pasien memiliki hak yang sama dalam hal pelayanan kesehatan.

Pada Bab VII pasal 26 ayat 1 disebutkan pemerintah kota melindungi hak-hak

pibadi dan hak-hak asasi ODHA termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIV-

AIDS. Ayat ini bertujuan untuk melindungi ODHA dari stigma dan diskriminasi dari

lingkungan dengan cara menjaga kerahasiaan status HIV-AIDS orang yang terinfeksi

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

59

HIV. Perlindungan ini didasarkan hak-hak pribadi dan hak-hak asasi universal manusia.

Ayat 2 menyebutkan bahwa setiap ODHA berhak mendapatkan perlindungan dari

tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun, seperti pemecatan sepihak, tidak mendapat

pelayanan kesehatan yang memadai, ditolak bertempat tinggal di tempat yang dipilih

ODHA, dan ditolak mengikuti pendidikan formal dan informal. Ayat ini cukup jelas

memuat pesan anti-diskriminasi di empat bidang yang berbeda: pekerjaan, kesehatan,

domisili, dan pendidikan.

Pasal 43 pada bab XIV, Ketentuan Pidana menyebutkan:

―Setiap orang yang:

a. mengetahui dirinya terinfeksi HIV – AIDS tidak memenuhi kewajibannya untuk

melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada pasal 12 dan pasal 22;

b. mengetahui dirinya terinfeksi HIV – AIDS yang melangar larangan untuk tidak

mendonorkan darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan tubuhnya

kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf b;

c. melakukan skrining darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan

tubuh lainnya yang tidak mentaati standar prosedur skrining sebagaimana dimaksud

dalam pasal 14;

d. melakukan hubungan seksual berisiko tidak melakukan upaya pencegahan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 15;

e. menggunakan jarum suntik, jarum tato/tindik, atau jarum akupuntur pada tubuhnya

sendiri dan atau tubuh orang lain tidak menggunakan jarum steril sebagaimana

dimaksud dalam pasal 16;

f. karena pekerjaannya atau sebab apapun mengethaui dan memiliki informasi status

HIV – AIDS atas diri seeorang yang tidak memenuhi kewajiban untuk merahasiakannya

sebagaimana dimaksud padal 24 ayat (3);

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak

Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).‖

Pasal 1 bab ketentuan pidana ini berbebada dengan Perda Kabupaten Tasikmalaya

dan Kota Bekasi karena pemerintah kota Cirebon lebih menekankan pemberian sanksi

kepada ODHIV yang terbukti melakukan pelanggaran atas beberapa pasal. Ketentuan ini

dapat dilihat dari huruf a sampai huruf e pasal 1. Sedangkan huruf f merupakan ketentuan

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

60

pidana terhadap pelanggar yang membuka status kerahasiaan ODHIV. Pelanggaran yang

muncul atau disebabkan oleh pelanggar dari seseorang yang tidak terinfeksi HIV tidak

disebutkan dalam bab ini. Masalah ini perlu konfirmasi dari pihak perumus kebijakan

nantinya.

A.2.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan

Frekuensi penggunaan kata dan frasa:

1. Penggunan frasa ”dampak buruk” sebanyak satu (1) kali pada bagian pembukaan

dalam kalimat: ‖bahwa perkembangan kasus HIV – AIDS di Kota Cirebon yang semakin

meningkat dapat menimbulkan dampak buruk dan luas terhadap berbagai aspek . . .‖,

perlu dikaji lagi. Fakta memang membuktikan bahwa HIV dan AIDS virus dan penyakit

yang sangat sulit untuk diobati dan bisa menimbulkan kematian bagi penderitanya.

Tetapi, penggunaan frasa ” dampak buruk” kiranya kurang tepat dalam konteks

penghargaan terhadap nilai-nilai humanisme dan hak asasi manusia. Mungkin akan lebih

tepat jika digunakan ”dampak yang luas” saja.

2. Penggunaan kata ”diskriminasi” sebanyak tiga (3) kali menunjukkan bahwa

pemerintah setempat telah memperhatikan permasalahan diskriminasi dalam kebijakan

pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Namun demikian, sampai sejauh mana

pemerintah kota Cirebon memosisikan permasalahan ini perlu konfirmasi lebih lanjut.

3. Penggunaan frasa ”asas kemanusiaan” sebanyak satu (1) kali pada pasal 4 ayat 2

menunjukkan pemerintah setempat telah memperhatikan nilai-nilai humanisme dalam

kebijakan dan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Tetapi,

implementasi asas kemanusiaan ini masih perlu diperjelas oleh pembuat kebijakan.

4. Penggunaan frasa ”berkesetaraan dan berkeadilan gender” sebanyak satu (1) kali pada

pasal 4 ayat 2 menunjukkan perhatian pemerintah terhadap prinsip keadilan dalam hak

asasi manusia.

5. Penggunaan kata ”melindungi” sebanyak dua (2) kali menunjukkan perhatian

pemerintah terhadap posisi ODHIV di masyarakat. Pemerintah melindungi ODHIV dari

berbagai upaya diskriminasi.

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

61

6. Penggunaan frasa ”hak-hak pribadi” dan ”hak-hak asasi” masing-masing sebanyak satu

(1) kali selaras dengan penjelasan di atas bahwa pemerintah melindungi hak pribadi dan

hak asasi setiap ODHIV dari berbagai potensi diskriminasi.

A.3. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 03 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan

Penanggulangan HIV dan AIDS

Analisis semantik terhadap Perda Kota Bekasi Nomor 03 tentang Pencegahan dan

Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya bahasa Perda

beradasarkan makna pilihan kata. Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan

interpretasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan

interpretasi tidak saja difokuskan pada kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata

lain yang membentuk frasa, klausa, dan kalimat.

A.3.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata

Pada Bab I, pasal 1 ayat 16, disebutkan definisi “stigma” sebagai: ―penilaian

terhadap seseorang atau kelompok dengan moral buruk‖. Penekanan definis stigma pada

ayat ini terdapat pada frasa “moral buruk”. Di sini interpretasi dapat diambil bahwa

orang-orang yang terstigma adalah orang-orang dengan moral buruk. Permasalahan akan

muncul jika seseorang tertularHIV dan AIDS melalui air susu ibu. Penilaian moral buruk

tidak dapat diberikan kepada orang yang tertular HIV dan AIDS melalui ASI karena ia

dapat dikategorikan sebagai korban yang tidak bersalah. Untuk itu, pengunaan frasa

“moral buruk” dalam definisi stigma pada Perda ini perlu ditinjau lagi secara etimologis

dan kontekstual agar tidak menimbulkan tafsir ganda bagi pembaca.

Pasal 1 ayat 17 menyebutkan “diskriminasi” sebagai: ―setiap pembatasan,

pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung berdasarkan pada

pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status

sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang mengakibatkan

pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau

penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam hidup baik individu maupun

kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan

lainnya‖. Definisi ini termasuk dalam kategori definisi formal yang di dalamnya terdapat

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

62

penggunaan kata-kata yang berulang (berjejal) sehingga mengurangi efektivitas kalimat

dan efisiensi penggunaan kata. Namun demikian, definisi bisa dikatakan sebagai definisi

yang kompleks dalam artian definisi ini menyebutkan batasan-batasan yang berhubungan

dengan konteks diskriminasi. Hal ini akan memudahkan pembaca mengaplikasikan

definisi ini dalam praktik kehidupan sehari-hari ketika bersentuhan dengan hal-hal yang

bersifat diskriminatif.

Pada Bab I, pasal 3, disebutkan tujuan pencegahan dan penanggulangan HIV dan

AIDS adalah melindungi masyarakat dan memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS

melalui lima program (butir a sampai e pada pasal ini). Butir a secara implisit dapat

meminimalisasi munculnya stigma karena seluruh masyarakat mendapatkan informasi,

dalam konteks ini tentunya informasi mengenai HIV dan AIDS. Dengan adanya

informasi ini, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman mendasar secara medis dan

teknis mengenai HIV adn AIDS, sehingga asumsi dan prasangka yang tidak mendasar

dan berpotensi memunculkan stigma bisa tercerahkan oleh pengetahuan yang lebih

ilmiah.

Butir c secara implisit dapat meminimalisasi munculnya stigma karena dalam

berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, ODHA ikut berperan.

Masyarakat yang mencari informasi mengenai HIV dan AIDS dapat berinteraksi

langsung dengan ODHA untuk mengetahui dan memahami lebih jauh, apa, kenapa, dan

bagaimana HIV dan AIDS. Diharapkan asumsi dan prasangka tentang HIV dan AIDS

bias direduksi.

Pada Bab I, pasal 6 butir c, disebutkan bahwa kebijakan yang menjamin

efektivitas usaha pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS guna melindungi

setiap orang dari infeksi HIV termasuk populasi rawan, dapat dilakukan dengan

mengembangkan jejaring untuk mengembangkan sistem dukungan, perawatan, dan

pengobatan ODHA. Proses ini memperlihatkan bahwa pemerintah setempat memberikan

perhatian terhadap ODHA melalui sistem dukungan, perawatan, dan pengobatan, bukan

sebaliknya mengisolasi ODHA sehingga malah menyuburkan potensi stigma. Di antara

ketiga proses di atas, proses dukungan merupakan proses yang paling berarti untuk tetap

memberikan semangat hidup kepada ODHA.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

63

Pada Bab I, pasal 7 butir a, b, c, dan d, pemerintah setempat menyediakan

berbagai program sosialisasi bagi masyarakat tentang pentingnya mencegah dan

menanggulangi HIV dan AIDS. Program ini tentu dilakukan di bawah pengawasan

tenaga ahli di bidangnya, sehingga informasi yang didapat peserta program adalah

informasi yang bersifat teknis dan ilmiah. Hal ini diharapkan meminimalisasi potensi

kemunculan stigma. Pada butir e, secara tegas disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dan

masyarakat kota Bekasi wajib memberikan pelayanan kepada ODHA tanpa stigma dan

diskriminasi.

Pada Bab I, pasal 9 ayat 4, disebutkan bahwa seluruh sarana pelayanan kesehatan

dasar, rujukan, dan penunjang milik pemerintah dan swasta tidak boleh menolak/wajib

memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang terinfeksi HIV. Pasal ini jelas

menekankan tidak adanya diskriminasi terhadap pasien terinfeksi HIV karena setiap

sarana pelayanan kesehatan manapun di kota Bekasi tidak boleh menolak/wajib melayani

pasien terinfeksi HIV. Selanjutnya, ayat 5, menyebutkan bahwa bagi pasien HIV dan

AIDS yang memerlukan penanganan lebih lanjut akan dirujuk ke rumah sakit yang sudah

ditetapkan. Pasal ini tentu mengantisipasi kemampuan masing-masing sarana pelayanan

kesehatan dalam menangani berbagai jenis penyakit.

Pada Bab I, pasal 10 ayat 1, disebutkan bahwa pemerintah melindungi hak-hak

pribadi, hak-hak sipil, dan hak asasi ODHA termasuk perlindungan dari kerahasiaan

status HIV. Ayat ini secara tegas dimasudkan untuk meredam potensi kemunculan stigma

dan diskriminasi dari kalangan masyarakat tertentu terhadap ODHA. Ayat 2

menyebutkan bahwa setiap ODHA berhak memperoleh pelayanan pengobatan dan

perawatan serta dukungan tanpa stigma dan diskriminasi dalam bentuk apapun. Ayat ini

secara tegas memiliki pengertian bahwa setiap pasien HIV dan AIDS memiliki hak yang

sama dengan pasien manapun dalam hal pengobatan, tidak ada diskriminasi. Ayat 3

menyebutkan bahwa pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS didasarkan pada

nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia. Ayat ini jelas

mendukung pernyataan ayat 2, bahwa kesamaan hak semua pasien dijamin atas nilai

luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia. Secara tegas salah

satu esensi filsafat humanis ditulis dalam ayat ini.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

64

Pada Bab I, pasal 14 ayat 1 butir c, disebutkan bahwa masyarakat memiliki

kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan

penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara tidak melakukan stigma dan diskriminasi

terhadap ODHA dan OHIDA. Bagian ini cukup jelas. Butir d menyebutkan bahwa cara

lain yang dapat ditempuh adalah dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi

ODHA serta keluarganya. Bagain ini jelas mendukung pernyataan pada butir

sebelumnya, butir c, yakni dengan tujuan agar ODHA dan keluarganya tetap merasa

hidup nyaman dan tenteram di tengah-tengah masyarakat umum tanpa ada ancaman

timbulnya potensi stigma dan diskriminasi.

Butir e menyebutkan cara yang lain, yaitu ODHA dan OHIDA terlibat dalam

kegiatan promosi, pencegahan, tes, kerahasiaan, pengobatan, dan perawatan serta

dukungan. Butir ini memiliki pengertian bahwa ODHA dan OHIDA tidak mengalami

diskriminasi akibat stigma dalam masyarakat karena diharapkan ikut terlibat dalam

berbagai kegiatan yang direncakan oleh pemerintah setempat.

Bab IX, Ketentuan Pidana, pasal 20 ayat 1 menyebutkan: ‖Setiap orang yang

melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (b) dan Pasal 9 ayat (4) diancam dengan pidana

kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima

puluh juta rupiah)\, dan pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (e) dikenakan sanksi

berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia‖.

Pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (b) hanya mungkin dilakukan oleh pemilik atau

pengelola tempat hiburan yang tidak memasang media informasi HIV dan AIDS.

Pelanggaran terhadap pasal 9 ayat (4) hanya mungkin dilakukan oleh penyedia layanan

kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta yang tidak melayani pasien terinfeksi

HIV. Pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (e) dapat dilakukan oleh pemerintah dan

masyarakat luas seandainya dalam pelayanan terhadap ODHA ternyata melakukan stigma

dan diskriminasi. Hal ini merupakan bukti keseriusan Pemerintah Daerah Kota Bekasi

dalam menangani permasalahan stigma dan diskriminasi dalam upaya dan program

pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.

A.3.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan

Penjelasan untuk frekuensi penggunaan kosakata dan frasa:

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

65

1. Penggunaan kata ”stigma” sebanyak empat (4) kali dan ”diskriminasi” sebanyak lima

(5) kali menunjukkan bahwa pemerintah setempat telah memandang stigma dan

diskriminasi sebagai dua hal krusial yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan

dan penanggulangan HIV dan AIDS. Perda ini pun memiliki pengertian khusus untuk

stigma dan diskriminasi pada bab I.

2. Penggunaan frasa-frasa ”hak-hak pribadi”, ”hak-hak sipil”, ”hak asasi”, ”nilai luhur

kemanusiaan”, dan ”harkat hidup manusia”, masing-masing sebanyak satu (1) kali

dimaksudkan untuk mendukung atau menjelaskan dua terminologi sebelumnya (stigma

dan diskriminasi). Kelima frasa tersebut digunakan sebagai dasar utama mengapa stigma

dan diskriminasi tidak boleh muncul pada proses pencegahan dan penanggulangan HIV

dan AIDS. Apabila stigma dan diskriminasi ternyata muncul, secara langsung berarti hak-

hak pribadi, hak-hak sipil, hak asasi, nilai-nilai luhur kemanusian, dan harkat hidup yang

dimiliki manusia telah dilanggar. Hal ini jelas bertentangan dengan esensi filsafat

humanis yang menempatkan manusia, beserta hak asasi dan hak-hak lainnya, sebagai

pusatnya.

B. Aspek Komunikasi Kesehatan dalam Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS

Dari hasil penelitian di tiga kabupaten ditemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Belum ditemukan adanya proses menginformasikan dan mempengaruhi

keputusan oleh pihak yang berwenang dalam penanggulangan HIV/AIDS di

setiap wilayah penelitian. Seharusnya, KPAD, DPRD dan Pemerintah Kabupaten

dan jajaran terkait (Dinas Kesehatan) melakukan kegiatan penginformasian dan

penyosialisasian Perda mengenai Penanggulangan HIV/AIDS kepada para

pemangku kepentingan dan masyarakat luas, melalui berbagai strategi dan

penggunaan teknik serta teknologi. Tujuannya adalah untuk memberikan

informasi mengenai HIV/AIDS, ODHIV, serta Perda itu sendiri. Dengan

demikian diharapkan ada perubahan persepsi dan perilaku dari masyarakat.

Pengkomunikasian Perda, kebijakan ataupun program merupakan proses untuk

mengadvokasi dan mempengaruhi keputusan khalayak, sehingga ada persepsi

yang konstruktif dan tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV. Dalam konteks ini

ODHIV seharusnya dapat diposisikan sebagai korban, bukan pelaku, sehingga

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

66

tidak perlu mendapatkan stigma yang bertitik tolak dari sudut pandang religi dan

moralitas

2. Pemangku kepentingan juga tidak berupaya secara optimal untuk memotivasi

individu, institusi terkait, komunitas dan masyarakat luas mengenai HIV/AIDS

berdasarkan pemahaman medis-ilmiah dan kesadaran etika. Hal ini telah terlihat

dari proses penyusunan Perda yang tidak melaibatkan para pakar bahasa dan

hukum serta kesehatan, sehingga terjadi ketidaktepatan dalam pemilihan gaya

bahasa. Ketidaktepatan tersebut menyebabkan semakin berkembangnya

stigmatisasi terhadap ODHIV. Penerimaan oleh masyarakat terhadap keberadaan

Perda juga semakin runyam, karena proses pengkomunikasian yang kurang tepat.

Ketidak tepatan dalam dua aspek tersebutlah yang mendorong munculnya

pemahaman yang tidak tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV.

3. Dalam penelitian ini juga terlihat, pemangku kepentingan inti dalam

penanggulangan HIV/AIDS di tingkat kabupaten maupun provinsi, belum

melakukan pola dan proses interaktif dalam mengembangkan pesan mengenai

HIV/AIDS. Akibatnya, penyampaian dengan pola monolog atau kampanye

melalui media cetak dan luar ruang, kurang berhasil menyampaikan dan

mengembangkan esensi pesan dari Perda penanggulangan HIV/AIDS kepada

khalayak. Kondisi ini lebih lanjut mendorong kurang berkembangnya persepsi

dan perilaku yang teoat dan positif mengenai AIDS yang akhirnya memposisikan

ODHIV pada pola relasi yang subordinate

4. Peningkatan pemahaman mengenai Perda, seluk beluk HIV/AIDS serta ODHIV

pada pemangku kepentingan serta isu-isu terbaru yang relevan dengan

penanggulangan HIV/AIDS tidak pernah dilakukan kepada khalayak. Akibatnya,

pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS cenderung bersifat

statis, yang akhirnya kembali memposisikan ODHIV sebagai individu yang

’bersalah’

5. Pihak Pemkab dan KPAD juga tidak berupaya untuk melakukan pemberdayaan

melalui penyediaan informasi, serta keterlibatan dalam proses sosialisasi Perda.

Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan masyarakat kurang mengetahui

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

67

HIV/AIDs itu sendiri serta keberadaan Perda sebagai instrumen legal dalam

penanggulangan HIV/AIDS di wilayah tertentu

6. Minimnya pertukaran dan penyebaran informasi serta dialog dua arah

mempersulit proses penginformasian tentang HIV/AIDS dan Perda yang telah

disahkan oleh legislatif. Akibatnya, tidak tercapai titik temu pemahaman antara

apa yang diinginkan oleh pengirim pesan (ekskutif dan legislatif) dengan

penerima pesan yakni masyarakat sebagai kelompok target

Jika ditinjau dari aspek kebijakan kesehatan, maka dari hasil penelitian ini ditemukan

fakta sebagai berikut:

1. Dalam perencanaan kebijakan seperti Perda, terlihat bahwa komponen isi dari

kebijakan di 3 kabupaten belum berorientasi pada tujuan yakni untuk

menanggulangi epidemi HIV/AIDS di wilayah masing-masing, baik untuk jangka

pendek, menengah maupun jangka panjang. Dari konteks ini terlihat, bahwa

kebijakan yang tidak berorientasi pada tujuan yang jelas, justru berpotensi

menimbulkan masalah baru, misalnya tidak ada perubahan persepsi dan perilaku

pada masyarakat dalam jangka pendek, akan menyebabkan kegagalan program

penanggulangan HIV/AIDS secara keseluruhan

2. Dari penelitian ini terlihat bahwa pemangku kepentingan dalam Perda-Perda

tersebut, baik yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi seperti populasi

kunci tidak dilibatkan dalam proses penecanaan Perda. Dampaknya adalah Perda

tidak mampu menjadi panduan atau acuan secara substantif bagai perancangan

beberapa program intervensi pada level operasional dalam penanggulangan

HIV/AIDS ketika diimplementasikan di lapangan. Jika ada panduan yang jelas,

maka dapat dirancang satu atau beberapa program terkait dengan Perda, yang

disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas sebuah instansi, misalnya Dinas

Kesehatan Kabupaten, ataupun Puskesmas di tingkat kecematan

3. Perda-Perda secara keseluruhan belum berorientasi pada perubahan, karena tidak

terkandung pengertian mengenai kondisi tertentu yang harus dicapai di masa

mendatang, yang mengindikasikan adanya perbedaan positif dibandingkan dengan

kondisi dan situasi saat Perda tersebut diberlakukan

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

68

4. Rasionalitas juga kurang tercermin dalam isi Perda, karena belum mencantumkan

pilihan-pilihan yang disusun berdasarkan fakta dan data (evidence-based).

Padahal, idealnya sebuah kebijakan kesehatan, seperti penanggulangan

HIV/AIDS disusun berdasarkan realita atau fakta dan data di lapangan mengenai

kasus HIV/AIDS itu sendiri.

5. Penyusunan Perda mengabaikan aspek kolektivitas terutama kehadiran populasi

kunci yang merupakan pihak paling berkepentingan dan paham mengenai realita

dan kondisi riil HIV /AIDS serta dinamika kasusnya dari waktu ke waktu.

Pengabaian saran dan masukan dari populasi kunci, pakar, serta pihak terkait oleh

legislative, menyebabkan Perda terlihat sebagai paparan normative dengan gaya

bahasa birokrat yang sebenarnya kurang menyentuh akar permasalahan dari

HIV/AIDS, serta penanggulangannya.

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

69

BAB VI

KESIMPULAN

I. Berdasarkan hasil penelitian ini, penggunaan gaya bahasa dalam kebijakan legal

formal yakni Perda di Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

a. Masih cenderung tidak memperhatikan kaidah kebahasaan, khususnya di bidang

pemaknaan (semantik) sehingga berpotensi menimbulkan multiinterpretasi.

Sebagai payung hukum bagi penanggulangan HIV/AIDS, multiinterpretasi makna

berpotensi merugikan ODHIV sebagai salah satu pihak yang juga memiliki

kepentingan di dalam perda, dan implementasi perda dalam kehidupan sehari-

hari. Stigma dapat muncul jika pemangku kepentingan yang terlibat dalam

perumusan dan pelaksanaan perda mengabaikan aspek kemanusiaan dalam

pengkomunikasian perda yang telah disahkan.

b. Gaya bahasa yang digunakan dalam setiap perda lebih mementingkan aspek

bahasa hukum. Pembentukan KPAD dan segala hal yang menyangkut legalisasi

institusional dan operasional membutuhkan payung hukum yang jelas. Perda

dapat dikatakan sebagai bentuk usaha pemangku kepentingan di daerah untuk

segera membentuk KPAD secara legal formal berdasarkan hukum. Dampaknya,

hal-hal yang menyangkut komunikasi kesehatan yang di dalamnya mencakup

nilai-nilai kemanusiaan menjadi terabaikan.

c. Ketidaktaatan terhadap kaidah kebahasaan dan penekaan terhadap gaya bahasa

hukum pada perda-perda terjadi akibat kurang efektifnya komunikasi antarpihak

yang berkepentingan dalam proses perumusan perda. Selain itu, pihak yang

memiliki otoritas dalam perumusan perda mengabaikan perlunya tenaga ahli

khusus bidang bahasa dalam proses perumusan perda. Alasan utama terjadinya

hal ini adalah minimnya anggaran dalam proses perumusan perda sehingga tidak

memungkinkan adanya sosialisasi awal ke seluruh pemangku kepentingan dan

tidak memungkinkan untuk menyewa tenaga ahli khusus di bidang bahasa.

II. Perda-Perda tersebut juga tidak memperhatikan aspek komunikasi kesehatan, baik

dari sisi substansi, maupun proses sosialisasi dan implementasi di lapangan.

a. Materi perda yang menyangkut komunikasi kesehatan masih relatif kurang dalam

memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai HIV/AIDS dan ODHIV.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

70

Dalam proses perumusan perda. Sosialisasi awal komunikasi kurang dilakukan di

antara pemangku kepentingan. Pemerintah daerah kesulitan menjangkau dan

mengakomodasi suara semua pemangku kepentingan karena keterbatasan waktu

dan biaya. Hal ini terjadi sejak perda dirumuskan dan terus berlanjut sampai

dengan perda diterbitkan.

b. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang sangat khas dengan nilai-nilai islami.

Hal ini dapat dilihat dari penggunaan visi dan misi islami pada beberapa

kabupaten dan kota di Jawa Barat. Untuk menanggulangi HIV/AIDS di daerah

Provinsi Jawa Barat, secara umum diperlukan pendekatan khusus kebudayaan dan

keagamaan mengingat sebagian besar masyarakatnya sangat patuh pada nilai

agama dan budaya setempat. Bersamaan dengan itu, peran tokoh masyarakat dan

ulama menjadi sangat signifikan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS karena

mereka adalah orang-orang bisa dengan mudah didengar oleh masyarakat

setempat. Ringkasnya, diperlukan kombinasi antara komunikasi kesehatan dengan

pendekatan budaya dan agama dalam penanggulangan HIV/AIDS untuk daerah

dengan kekhasan seperti Jawa Barat.

c. Kurangnya aspek komunikasi kesehatan dalam materi perda disebabkan oleh

pemerintah setempat tidak meenggunakan tenaga komunikasi kesehatan dalam

proses perumusan perda. Sama halnya dengan bagian sebelumnya, hal ini

disebabkan keterbatasan biaya.

III. Ketidaktepatan pemilihan gaya bahasa serta teknik dan strategi pengkomunikasian

telah menyebabkan:

a. Perbedaan penggunaan istilah dan pengertian dalam masing-masing perda karena

setiap kabupaten kota mengacu ke daerah yang berbeda dalam proses perumusan

perda. Bukan tidak mungkin bahwa di antara aparat terkait pun terdapat perbedaan

pandangan dalam menginterpretasi materi perda.

b. Terabaikannya hak-hak kemanusiaan ODHIV, khususnya dengan munculnya

stigma negatif pada masyarakat tempat ODHIV tinggal. Hal ini terjadi karena

pengabaian nilai kemanusiaan dalam aspek komunikasi kesehatan karena perda

lebih menekankan aspek hukumnya.

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

71

c. Tekanan sosial yang diterima ODHIV menjadi labih berat karena tidak semua

lapisan masyarakat mengerti tentang HIV/AIDS. Hal ini disebabkan lemahnya

strategi komunikasi kesehatan yang dimiliki masing-masing perda.

Rekomendasi:

Rancangan yang direkomendasikan untuk pemilihan gaya bahasa dan

pengkomunikasian kebijakan penanggulangan HIV/AIDS adalah:

a. Diperlukan tenaga ahli khusus di bidang bahasa dan komunikasi kesehatan untuk

mempertimbangkan aspek lain selain bahasa hukum dalam setiap perda yang akan

dirancang.

b. Untuk perda yang telah diterbitkan, diperlukan revisi menyangkut gaya bahasa

dan peristilahan dengan melakukan konsultasi dengan ahli bahasa dan

menyangkut komunikasi kesehatan dengan ahli bidang komunikasi kesehatan.

c. Jika hal-hhal menyangkut komunikasi kesehatan tidak memungkinkan untuk

dimuat di dalam perda, perlu dipertimbangkan aturan tambahan khusus strategi

komunikasi kesehatan agar masyarakat luas pada umumnya dapat memahami

HIV/AIDS. Selain itu, aparat pemerintah dan pihak-pihak terkait yang

berkewajiban mengimplementasikan perda, memiliki panduan baku yang memang

telah dirancang dari awal bersamaan dengan perda.

d. Untuk mencakup ketiga hal di atas, khususnya yang menyangkut nilai-nilai

kemanusiaan pada ODHIV, diperlukan komunikasi yang melibatkan ODHIV

dalam proses perumusan dan revisi perda tentang penanggulangan HIV/AIDS.

Tujuannya agar pemerintah dan organ-organ terkait dapat memahami

permasalahan apa sebenarnya dihadapi ODHIV dalam kehidupan sehari-hari di

tengah masyarakat.

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

72

DAFTAR ACUAN

Badudu, J.S. 1996. Analisis dan Evaluasi tentang Perkembangan 25 Tahun Penggunaan

Bahasa Hukum. Yakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Campbell, Catherine. et. al. 2005. Understanding and Challenging HIV/AIDS Stigma.

Durban: HIVAN

Christomy, T. Dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Depok: PPKB-DRPM UI.

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia. 2006. Perancangan Peraturan Perundang-

undangan.

Firth, J.R. 1969. Papers in Linguistics 1934—1951. London: University Press.

Hadikusuma, S.H. 1984. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni.

Harimurti Kridalaksana, dan Tim Peneliti Linguistik Fakultas Sastra Indonesia

Universitas Indonesia. 1999. “Sintaksis (Naskah Kelima).” Bahan Ajar Jurusan

Sastra Indonesia. Depok

Ickovics, J.R. “HIV-Related Stigma and Discrimination in Asia: A Review of Human

Development Consequences”, UNDP Review Paper UNDP, July 2007.

Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan. Yogyakarta: Kanisius.

Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik

Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius

Lanur, Alex. 1983. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius.

Loth. M.A. 1984. Bahasa dan Hukum: Sebuah Metodologi Kecil. Jakarta: Direktorat

Jenderal Peraturan Perundang-undangan.

Swan, Michael. 1996. Practical English Usage: Second Edition. Oxford: University

Press.

UNAIDS. 2005. HIV – Related Stigma, Discrimination, and Human Rigths Violations:

Case Studies for Successful Programmes. Original English Version. UNAIDS.

Valsiderri, Ronald. “HIV/AIDS Stigma: An Impediment to Public Health”. American

Journal of Public Health. March 2002. Vol.92 No.3.

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/GAYABAHASAHIV-FIBUI.pdf · B. Pertanyaan Penelitian ... latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan

73

Violine, Melody. 2008. Kalimat Efektif dalam Bahasa Hukum Indonesia. Skripsi. FIB

UI.

Widiastuti, Udiati. 1995. Panduan Pustaka: Kalimat Efektif Bahasa Indonesia. Yakarta:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Yuwono, Untung. 2007. “Penulisan Kalimat dalam Karya Ilmiah: Apa yang Perlu

Dikuasai dan yang Perlu Dihindari.” Karya Tulis Ilmiah Sosial. Ed. Yunita T.

Winarto, Totok Suhardiyanto, dan Ezra M. Choesin. Jakarta: Yayasan Obor.