17
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga adalah suatu pembuktian bangsa dalam memajukan nama baik bangsa. Salah satu olahraga yang ada di Indonesia adalah cabang olahraga Beladiri yang berpotensi untuk menyumbangkan prestasinya dalam kancah Internasional dan nasional. Indonesia memulai SEA Games XVII dari cabang Wushu,Achmad Hualefi tercatat sebagai atlet pertama Indonesia yang menyumbangkan medali bagi Indonesia, ia meraih medali perak dari cabang Wushu. Sehari kemudian kembali Achmad Hualefi tercatat sebagai peraih medali emas pertama bagi kontingen Indonesia. Keberhasilan wushu meraig medali sesuai target menjadi sebuah harapan besar bagi kontingen Indonesia untuk meraih yangterbaik. Namun menjelang seminggu sebelum penutupan pundi-pundi medaliIndonesia mulai berjalan lambat. Dari 36 cabang olahraga yang terdiri dari cabang akurasi, bela diri, permainan dan terukur yang diikuti Indonesia, hanya tujuh cabang yang memenuhi target emas yang diberikan Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas. Sangat disayangkan dari cabang Olahraga beladiri kurang bisa memberikan kontribusi yang signifikan. Hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/48468/4/04. BAB I.pdf · kemampuan, dan mengeluarkan teknik-teknik yang telah dipelajarinya selama latihan. Performa atlet

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Olahraga adalah suatu pembuktian bangsa dalam memajukan nama baik

bangsa. Salah satu olahraga yang ada di Indonesia adalah cabang olahraga Beladiri

yang berpotensi untuk menyumbangkan prestasinya dalam kancah Internasional dan

nasional.

Indonesia memulai SEA Games XVII dari cabang Wushu,Achmad Hualefi

tercatat sebagai atlet pertama Indonesia yang menyumbangkan medali bagi Indonesia,

ia meraih medali perak dari cabang Wushu. Sehari kemudian kembali Achmad

Hualefi tercatat sebagai peraih medali emas pertama bagi kontingen Indonesia.

Keberhasilan wushu meraig medali sesuai target menjadi sebuah harapan besar bagi

kontingen Indonesia untuk meraih yangterbaik. Namun menjelang seminggu sebelum

penutupan pundi-pundi medaliIndonesia mulai berjalan lambat. Dari 36 cabang

olahraga yang terdiri dari cabang akurasi, bela diri, permainan dan terukur yang

diikuti Indonesia, hanya tujuh cabang yang memenuhi target emas yang diberikan

Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas. Sangat disayangkan dari cabang

Olahraga beladiri kurang bisa memberikan kontribusi yang signifikan. Hal ini yang

2

menyebabkan peneliti untuk mengadakan penelitian mengapa tim beladiri

belum bisa meraih target.

Saat bertanding Atlet berperilaku sering marah saat akan bertanding, kurang

dapat mengontrol dengan baik emosinya, selalu terburu-buru dalam bertindak dan

tidak adanya kestabilan emosi dalam bertanding sehingga mengakibatkan kalah

dalam bertanding.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bentuk-

bentuk emosi yang muncul pada seorang atlet bela diri yang mengikuti pertandingan.

Emosi yang muncul sebelum memasuki arena pertandingan, sampai dengan emosi

pada saat menghadapi lawan.

Pada saat menghadapi lawannya di arena pertandingan, seorang atlet

profesional akan berusaha menunjukkan performa terbaiknya, mengerahkan segala

kemampuan, dan mengeluarkan teknik-teknik yang telah dipelajarinya selama latihan.

Performa atlet tersebut juga akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lawan yang

dihadapinya, termasuk emosi yang akan muncul selama pertandingan berlangsung.

Emosi negatif seperti marah dapat muncul pada seorang atlet ketika lawannya

menjadikan wajah atlet tersebut sebagai sasaran dari serangannya. Kecenderungan

yang terjadi, seorang atlet akan menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing

emosinya untuk membalas ketika wajahnya sudah dipukul oleh lawannya. Emosi

negatif juga dapat muncul apabila seorang atlet sudah tertinggal nilainya sejak awal

pertandingan, apalagi jika atlet tersebut merasa bahwa serangan-serangan yang

3

dilakukannya dianggap tidak masuk oleh wasit, sehingga tidak memberikan tambahan

pada nilainya.

Emosi negatif yang muncul pada seorang atlet ketika bertanding dapat

mempengaruhi gerakan dan serangannya. Emosi dianggap mempengaruhi faktor

kontrol diri pada diri atlet. Gerakan atau serangan atlet tersebut dapat menjadi tidak

akurat dan tidak sesuai dengan teknik yang sebenarnya ingin dikeluarkan atau

digunakannya. Kejadian lainya yaitu saat pertandingan gulat dalam PON XIX Jabar

2016 diwarnai kericuhan, Senin (26/9/2016). Pertandingan di GOR Saparua, Kota

Bandung ini, diawali protes oleh pemain gulat Kalimantan Timur, Ardiansyah, yang

merasa harus mendapat 2 poin namun hanya diberi 1 poin oleh juri. Merasa protes

pemainnya tak dihiraukan, giliran pelatih Kaltim yang protes. Pelatih dari Kaltim

masuk, lalu memukul wasit dari Iran karena tidak terima dengan keputusannya yang

memenangkan atlet asal Jawa Barat di kelas 65 kilogram. (http://www.arah.com)

Tidak hanya di dalam arena pertandingan saja seorang atlet atau praktisi

beladiri dapat menunjukan emosi negatifnya. Pada kasus di Solo pada tanggal 17

November 2014 terjadi bentrokan antara pesilat dengan sebuah oragnisasi pemuda di

Solo, Gerombolan beratribut seragam beladiri serba berwarna hitam menyerang

Kantor Organisasi Barisan Muda Indonesia (BMI) Solo, di Jalan Popda Nusukan

Banjarsari, Solo, Senin 17 November 2014. Akibat penyerangan itu yang dilakukan

pukul 12.00 WIB itu, kantor mengalami kerusakan parah di bagian depan.

Keterangan yang didapatkan dari Kapolsek Banjarsari Komisaris Polisi (Kompol) I

Ketut Rahman, aksi pengerusakan kantor dilakukan oleh massa dari sebuah

4

perkumpulan beladiri. "Sebelum pengerusakan, massa sempat mondar-mandir di

sekitar lokasi, pada pukul 12.30 WIB. Kemudian langsung melempari kantor BMI

dengan menggunakan batu, dan benda-benda yang berada di sekitar gedung,"

katanya, kepada wartawan. (berita: infoheboh.com)

Goleman (2002) menyatakan bahwa bila emosi telah mengalahkan

konsentrasi atau kemampuan berpikir seseorang, semua informasi atau pengalaman

yang telah dimilikinya akan menjadi lumpuh atau tidak berfungsi dengan baik. Dalam

hal ini, informasi atau pengalaman yang dimiliki oleh seorang atlet didapat dari

latihan yang telah dilakukannya sebagai persiapan selama jangka waktu tertentu

sebelum mengikuti pertandingan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki

hubungan positif yang signifikan dengan kesehatan mental, di lain kata-kata, dengan

peningkatan kecerdasan emosional siswa atlet, jumlah kesehatan mental mereka akan

meningkat. Temuan ini konsisten dengan temuan Slaski & Cartwright (2002) dan Jain

& Sinha (2005). Hasil regresi analisis untuk memeriksa komponen kecerdasan

emosional dalam menjelaskan kesehatan mental menunjukkan bahwa faktor-faktor

pengendalian diri, empati dan keterampilan sosial memiliki pengaruh yang signifikan

dalam memprediksi kesehatan mental. Pengendalian diri sebagai penting komponen

saja dapat menjelaskan 76 persen dari variasi dalam kesehatan mental. atlet efisien

dalam komponen ini dapat menghindari dari emosi negatif seperti rasa frustrasi,

kecemasan dan mudah tersinggung. atlet ini selama acara olahraga kurang

menghadapi situasi sulit atau bermasalah atau dalam hal terjadi masalah yang mereka

5

dapat dengan cepat kembali ke optimal kondisi. Temuan penelitian ini konsisten

dengan hasil temuan dari Carson et al (2000). Empati sebagai Kemampuan seseorang

adalah salah satu variabel penting dalam memprediksi kesehatan mental atlet untuk

mengenali emosi dalam lain. Selain kemampuan untuk berinteraksi secara efektif

dengan atlet lainnya dalam membuat hubungan dan efektif interaksi dengan orang

lain memiliki hasil yang lain yang mencakup akses yang lebih mudah dan lebih baik

untuk sumber-sumber dukungan sosial yang ini memiliki peran penting dalam

melindungi orang-orang terhadap masalah seperti stres. Analisis korelasi Pearson

menunjukkan bahwa keterampilan sosial memiliki korelasi tidak berarti dengan

kesehatan mental. Salah satu manfaat utama dari olahraga adalah pengembangan

keterampilan sosial. Individu yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga yang akrab

dengan orang lain. Menghormati lainnya atlet, menghormati pelatih, menghormati

peran, membantu orang lain, berpartisipasi dalam pengambilan keputusanbahwa ini

dapat menyebabkan kesehatan mental atlet. Oleh karena itu disarankan pelatih dengan

penggunaan yang tepat dari Emotional Intelijen bantuan untuk mengembangkan

kesehatan mental atlet. (Niazi, Mohammad, Nasser Bai, dkk. 2014. The Relationship

between Emotional Intelligence and Mental Health in Collegiate Champions)

Perlu dicatat bahwa penelitian kecemasan dihasilkan dua komponen (kognitif

dan somatik) dari negara-terkait kinerja. Di sisi lain tangan, model IZOF

mengusulkan beberapa komponen yang lebih komprehensif, sehingga memungkinkan

peneliti untuk memperhitungkan lebih luas emosi dan negara. Keterbatasan dari dua

6

dimensikonseptualisasional juga tercermin dalam kesulitan untuk menerapkan

pengertian kognitif dan somatik emosi selain kecemasan. Meskipun kecemasan

kognitif dan kecemasan somatik yang konvensional dan historis juga 'mapan' istilah,

dapat dikatakan bahwa ini hanya dua komponen dari negara psychobiosocial.

.(Robazza, Claudio, Melinda Pellizzari, dkk. 2004. Emotion self – regulation and

Athletic Performance : An Application of the IZOF model.)

Selain itu, tidak ada hubungan antara atlet, keterampilan dan jenis olahraga

dalam kontrol dan stabilitas subskala. Jadi pelatih dan psikolog olahraga harus

menyajikan strategi yang tepat untuk meningkatkan atlet, kontrol dan stabilitas

terlepas dari atlet, tingkat elit dan jenis olahraga. Strategi yang tepat untuk

meningkatkan faktor ini dapat memeriksa dalam penelitian masa depan. (Biglari,

Sanat karan, dkk. 2015. The Comparison of Team and Indiidual Male Athletes’

Mental Toughness at Different levels of Skills).

Pengendalian diri sebagai komponen penting sendiri dapat menjelaskan 57

persen dari variasi dalam kebahagiaan. atlet efisien dalam komponen ini dapat

menghindari dari emosi negatif seperti rasa frustrasi, kecemasan dan mudah

tersinggung. Atlet ini selama acara olahraga kurang berwajah dengan kesulitan atau

situasi bermasalah atau dalam kasus terjadi masalah yang mereka dapat dengan cepat

kembali ke optimal kondisi. Temuan ini konsisten dengan penelitian dari Carson et al

(2000). Empati sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali emosi orang lain

merupakan salah satu variabel penting dalam memprediksi kebahagiaan atlet.

Kemampuan ini memiliki Hasil lain selain efektif berinteraksi dan dalam hubungan

7

dengan lainnya oleh atlet. (Bai, Nasser, Sayed Mohammad Niazi. 2014. The

relationship between emotional intelligence and happiness in collegiate champions)

Kecerdasan emosi secara tunggal kinerja orang faktor prediktor terbesar dan

kekuatan yang palingkekuatan untuk kepemimpinan dan keberhasilan telah

diperkenalkan. Athletic kecerdasan emosional tidak hanya di Iran, tapi juga di negara

lain serta metode baru dalam mengelola emosi atlet dan mereka. Kinerja modifikasi

dipertimbangkan. Emosi berdampak pada kinerja atletik oleh kebanyakan

peneliti,pelatih, manajer Athletic dan atlet baik sebelum pertandingan dan atau

selama pertandingan dan setelah pertandingan telah disetujui dan paling atlet

Hubungkan kinerja yang sukses atau kinerja memimpin mereka ke kegagalan faktor

emosional. Latihan psikolog melalui keterampilan mental pelatihan untuk atlet

membantu untuk mengontrol emosi mereka. Karena sebagian besar keterampilan

mental memiliki dasar emosional dan atlet keadaan mental penting. Faktor dan

mempengaruhi pada hasil pertandingan. Terutama Atlet persiapan mental yang diatur

keterampilan dan model teoritis yang. Kinerja juara perbedaan lebih dari waktu

lainnya terkait dengan persiapan ini dan membedakan atlet. (Arzeshmand,

Mansoureh. 2015. A comparative examination of emotional Intelligence among the

Athletes’ Girl, Boy and non- Athletes of Jahrom University)

Atlet (sering pula dieja sebagai atlit; dari bahasa Yunani: athlos yang berarti

"kontes") adalah olahragawan yang berpartisipasi dalam suatu kompetisi olahraga

kompetitif. Dalam beberapa cabang olaharaga tertentu, atlet harus mempunyai

kemampuan fisik yang lebih tinggi dari rata-rata. Seringkali kata ini digunakan untuk

8

merujuk secara spesifik kepada peserta atletik. Atlet beladiri adalah seorang olah

ragawan yang berpartisipasi dan berfokus pada cabang olah raga yaitu bela diri. Bela

Diri adalah sebuah frase yang sering kita dengar. Begitu mendengarnya, asumsi kita

melayang pada Karate, Pencak Silat, Tae Kwon Do, dan lain-lain. Anggapan ini tidak

salah sepenuhnya dan tidak benar pula sepenuhnya.

Ada dua pengertian bela diri, yakni secara sempit dan secara luas. Bela diri

dalam arti sempit adalah seni bertarung yang secara mendasar dibentuk oleh Dharma

Taishi (Tatmo Cawsu), Pendeta Budha Generasi ke-28. Pada tahun 550 Masehi, ia

bepergian ke Cina dari India untuk mengajarkan agama Budha. Di samping itu, ia

juga mengajarkan Indo Kempo (Seni Bertarung Ala India). Hal ini memang penting

diajarkan karena pendeta Budha saat itu sering bepergian dari Cina ke India atau

sebaliknya untuk belajar agama Budha. Jalur Sutra saat itu tidak pernah sepi dari

perampok.

Kemudian seni ini dikembangkan di Kuil Shaolin, yang kemudian disebut

"Kung Fu Shaolin". Seiring perjalanan waktu, seni ini merambah ke berbagai negara

di dunia ini. Di Jepang, adopsi seni ini melahirkan Ju Jitsu, Aikido, Hapkido, Judo,

dan Karate. Di Thailand, Thai Boxing. Di Indonesia, Pencak Silat. Di Korea, Tae

Kwon Do. Bahkan di zaman moderen sekarang ini, seni ini masih melahirkan bela

diri baru seperti Mixed Martial Art dan Shinto Ryu. Bagaimana dengan Bela Diri

Dalam Arti Luas?

9

Pengertiannya di sini lebih luas daripada dalam arti sempit. Mencakup metode

apapun yang digunakan manusia untuk membela dirinya. Tidak masalah bersenjata

atau tidak. Gulat, Tinju, permainan pedang, menembak, dan seni bela diri yang terurai

di atas termasuk bagian di dalam pengertian ini. Walaupun banyak ahli bela diri

Timur yang berpendapat bahwa Gulat dan Tinju tidak termasuk di dalam seni bela

diri, namun dua ini sekarang dikategorikan sebagai seni bela diri. Secara sistematis,

keduanya memenuhi syarat untuk disebut sebagai Seni Bela Diri.

Bela diri adalah sebuah usaha kita untuk melindungi diri kita sendiri dari

serangan manusia atupun yang lainya. Dengan belajar bela diri kita tidak mungkin

lagi di lecehkan ataupun selalu direndahkan oleh orang lain sebab dengan bela diri

juga mampu membuat sikap dan perilaku pun akan berubah ,tergantung akan berubah

kepada positif ataupun negatif tergantung dari bagaimana kita belajar ataupun

perguruan beladiri yang kita ikuti .

Sebaiknya bela diri juga harus digunakan pada hal hal yang baik seperti

menolong orang yang teraniaya, menolong orang yang kesusahan ,menolong keluarga

,yang paling penting kita selalu membela kebenaran.

Pada kenyataanya atlet bela diri sering tidak mampu mengontrol

perbuatannya, bila kontrol diri lemah atlet bela diri akan cenderung dikuasai oleh

emosinya dan tidak berpikir panjang. Kalau sudah begini kenyataanya, maka atlet

10

bela diri tersebut pun akan lebih cenderung untuk bersikap tidak peduli lagi dan

arogan.

Kontrol diri atau kendali diri adalah sikap mengendalikan pikiran dan

tindakan agar tindakan kita sesuai dengan norma-norma yang benar. Kontrol diri

merupakan hal yang penting terutama bagi atlet bela diri. Jika atlet bela diri

memiliki kontrol diri, ia tahu dirinya punya pilihan dan dapat mengontrol

tindakannya. Kontrol diri atau disebut juga kendali diri dapat pula diartikan sebagai

suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Pengendalian tingkah laku mengandung

makna, yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum

memutuskan sesuatu untuk bertindak. Dengan menggunakan berbagai pertimbangan

sebelum bertindak, individu tersebut mencoba untuk mengarahkan diri mereka sesuai

dengan yang mereka kehendaki. Dengan kata lain, semakin tinggi kendali diri yang

dimiliki seseorang semakin intens pengendalian terhadap tingkah laku.

Dengan adanya kontrol diri pada setiap atlet bela diri, setidaknya mereka

dapat menjadi lebih terkontrol dalam perilakunya. Sebab, atlet bela diri dengan

kontrol diri yang dimilikinya tersebut dengan sendirinya pula akan mampu

mengendalikan segala tindakan dan dapat mempertimbangkan manfaat dan tujuanya,

bukan hanya untuk mengutamakan emosinya saja sebagaimana banyak terjadi di

kalangan atlet bela diri. Sifat kontrol adalah factor kemampuan individu dalam

mengontrol kondisi tertentu (jones et al.,2002)

11

Atlet yang memiliki kestabilan emosi dapat mengenali kondisi dan mengenali

emosi yang muncul pada dirinya. Apabila emosi yang muncul dirasa dapat merugikan

dirinya dan diri orang lain, atlet tersebut dapat mengatur emosinya sehingga tidak

sampai keluar menjadi suatu gerakan atau serangan yang merugikan lawannya.

Menurut Salovey, salah satu bentuk kecerdasan emosional adalah dapat mengenali

emosi pada diri sendiri, yang mencakup adanya kesadaran diri, dan mengetahui

perasaan apa yang dirasakan sewaktu perasaan itu terjadi (Goleman, 2002).

Kestabilan emosi terdiri dari dua kata yaitu kestabilan dan emosi. Kestabilan

berarti perihal yang bersifat stabil. Sedangkan emosi menurut Crow yang dikutip oleh

Usman Effendi dan Juhaya S. Praja adalah “suatu keadaan yang bergejolak pada

individu yang berfungsi atau berperan sebagai penyesuaian dari dalam terhadap

lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”. Jadi kestabilan

emosi adalah keadaan emosi seseorang yang stabil dalam menyesuaikan diri dengan

lingkungannya untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan dirinya. Menurut

Najati (2000) bahwa kestabilan emosi adalah tidak berlebih-lebihan dalam

pengungkapan emosi, karena emosi yang diungkapkan secara berlebih-lebihan bisa

membahayakan kesehatan fisik dan psikis manusia.

Atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi pada saat bertanding akan mudah

terpengaruh secara fisik dan mental. Secara mental, atlet yang tidak memiliki

kestabilan emosi akan sangat mudah terpancing emosinya oleh gerakan-gerakan atau

12

serangan yang dilakukan oleh lawannya. Ketika emosinya sudah mulai terpancing,

atlet tersebut akan terpengaruh aspek fisiologisnya. Misalnya, atlet tersebut akan

merasakan ketegangan otot, yang dapat menyebabkan gerakannya menjadi kaku. Hal

ini akhirnya akan mempengaruhi kondisi atlet secara fisik. Gerakan atlet yang tidak

memiliki kestabilan emosi akan menjadi kacau, serangan yang dikeluarkannya sudah

tidak berdasarkan teknik yang telah dipelajari, dan ritme permainan menjadi berubah

dan tidak beraturan

Fenomena tersebut terjadi pada beberapa atlet bela diri yang sia - sia karena

mereka memiliki kemampuan yang mumpuni namun, kurang menjaga emosi akhirya

mengalami kegagalan. Kecerdasan emosional EQ (Emotional Quotient) adalah

kemampuan seseorang untuk menerima, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya

dan orang lain disekitarnya.

Kestabilan emosi yang terbentuk karena adanya pengaruh dari luar diri atlet

dapat dipengaruhi oleh faktor pengalaman, pelatih, kesiapan dalam menghadapi

pertandingan, pendukung, penonton, dan kepercayaan diri. Kepercayaan diri dalam

suatu pertandingan olah raga dapat dipastikan menjadi salah satu faktor penentu

suksesnya seorang atlet. Atlet yang rasa percaya dirinya hilang atau berkurang akan

mengakibatkan penampilannya tidak maksimal karena tampil di bawah

kemampuannya. Seorang pelatih juga sangat berpengaruh dalam menumbuhkan rasa

kepercayaan diri dalam diri atlet. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dibangunnya

13

komunikasi dua arah yang baik antara atlet dengan pelatih agar terjalin pengertian

antar keduanya, sehingga program latihan dan peraturan dapat dijalankan sesuai

dengan yang telah ditetapkan (PB-PBSI, 2006).

Kestabilan emosi yang terbentuk karena faktor dari luar diri atlet sifatnya

dapat dilatih dan dapat berkembang, seiring dengan pengaruh dari keenam faktor di

atas. Berkembangnya kestabilan emosi pada diri atlet tidak secara pasti dapat

dirasakan tahap-tahap perubahannya, terbentuk seiring dengan banyaknya

pengalaman bertanding yang dialami seorang atlet, dan akan dapat dirasakan

manfaatnya secara tidak langsung pada saat atlet tersebut bertanding. Pengalaman

sebagai salah satu komponen yang didapat karena interaksi individu dengan

lingkungan, menurut Lewis akan memberikan pengaruh pada perkembangan emosi

seseorang yang akan mempengaruhi kematangan emosinya. Lewis mengatakan

bahwa pembentukan kematangan emosi terbentuk karena adanya interaksi antara

bawaan (secara natural) dengan lingkungan (Strongman, 2003). Emosi dan

bagaimana cara mengatasi itu adalah bagian dari kepribadian manusia dan

mempengaruhi pada kesehatan mentalnya (Pervin, 1996)

Atlet yang telah memiliki kestabilan emosi akan selalu berusaha untuk

mengawali pertandingannya dengan perasaan yang lebih tenang dan rileks. Atlet

tersebut tahu bagaimana caranya agar dirinya dapat lebih santai dan merasa rileks

ketika bertanding. Salah satu contoh perilaku yang membantu menenangkan diri atlet

14

sebelum bertanding adalah dengan berteriak. Selain membantu menenangkan diri,

berteriak juga dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri dan semangat dalam

diri atlet tersebut. Berteriak merupakan salah satu cara yang dianjurkan oleh seorang

pelatih olah raga bela diri, karena sedikit banyak dapat mengendurkan ketegangan

yang dialami oleh atlet yang sedang bertanding

Atlet yang memiliki kestabilan emosi dapat mengenali kondisi dan mengenali

emosi yang muncul pada dirinya. Apabila emosi yang muncul dirasa dapat merugikan

dirinya dan diri orang lain, atlet tersebut dapat mengatur emosinya sehingga tidak

sampai keluar menjadi suatu gerakan atau serangan yang merugikan lawannya.

Menurut Salovey, salah satu bentuk kecerdasan emosional adalah dapat mengenali

emosi pada diri sendiri, yang mencakup adanya kesadaran diri, dan mengetahui

perasaan apa yang dirasakan sewaktu perasaan itu terjadi (Goleman, 2002).

Kondisi lain yang terdapat pada atlet yang memiliki kestabilan emosi adalah

adanya usaha untuk selalu bermain safe atau aman. Atlet tersebut dapat menyiasati

perasaannya sendiri pada saat bertanding dan dapat mengontrol emosi selama

pertandingan berlangsung sehingga dapat memenangkan pertandingan tanpa

merugikan diri sendiri atau orang lain.

Atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi pada saat bertanding akan mudah

terpengaruh secara fisik dan mental. Secara mental, atlet yang tidak memiliki

kestabilan emosi akan sangat mudah terpancing emosinya oleh gerakan-gerakan atau

15

serangan yang dilakukan oleh lawannya. Ketika emosinya sudah mulai terpancing,

atlet tersebut akan terpengaruh aspek fisiologisnya. Misalnya, atlet tersebut akan

merasakan ketegangan otot, yang dapat menyebabkan gerakannya menjadi kaku. Hal

ini akhirnya akan mempengaruhi kondisi atlet secara fisik. Gerakan atlet yang tidak

memiliki kestabilan emosi akan menjadi kacau, serangan yang dikeluarkannya sudah

tidak berdasarkan teknik yang telah dipelajari, dan ritme permainan menjadi berubah

dan tidak beraturan.

Selain hal-hal yang telah disebutkan, akibat yang akan sangat merugikan

tanpa adanya kestabilan emosi adalah apabila gerakan-gerakan yang dilakukan atlet

tanpa adanya kontrol dapat menciderai dirinya sendiri dan lawannya. Apabila seorang

atlet cidera, atau menciderai lawannya sampai salah satu pihak tidak dapat

melanjutkan pertandingan lagi, maka atlet yang menciderai itu akan dikenakan sanksi

berupa diskualifikasi dan tidak dapat melanjutkan pertandingan. Tentu saja hal

tersebut akan sangat merugikan atlet yang bersangkutan.

Namun demikian adakalanya seorang atlet bela diri yang memiliki kestabilan

emosi, kurang mampu dalam mengontrol dirinya dengan baik. Sebagai contoh,

seorang atlet bela diri memiliki ketenangan dan kesabaran yang tinggi membuat atlet

tersebut tidak sembarangan dalam meluapkan emosinya, dan dapat tenang dalam

menghadapi berbagai lawannya, namun tekanan untuk menang dari pelatihnya dan

16

kondisi terdesak saat pertandingan membuatnya kehilangan kontrol pada dirinya. Hal

tersebut merupakan salah satu pertanda dari kontrol diri yang kurang baik.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis ingin mengadakan

penelitian mengenai “Hubungan Antara Kestabilan Emosi Dengan Kontrol Diri

Pada Atlet Bela Diri Kota Surakarta”

B. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk:

1. Mengetahui hubungan antara kestabilan emosi dengan kontrol diri pada atlet

beladiri.

2. Mengetahui tingkat Kestabilan Emosi.

3. Mengetahui tingkat Kontrol Diri.

4. Mengetahui sumbangan efektif Kestabilan Emosi terhadap Kontrol Diri.

C. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam

ilmu psikologi khususnya teori Psikologi olah raga dalam hubungannya dengan bela

diri.

17

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi atlet beladiri

bahwa kestabilan emosi sangat berpengaruh dalam kontrol dirinya. Selanjutnya

kemampuan melakukan kontrol diri ini akan mempengaruhi keberhasilan seorang

atlet bela diri.