Upload
vuonglien
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
19
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemberdayaan selalu diawali oleh terjadinya suatu masalah yang perlu
untuk segera dicari solusinya agar masalah tersebut tidak berdampak buruk
secara lebih luas. Permasalahan yang terjadi bisa berupa masalah fisik: jalan
rusak, jembatan rawan roboh, permasalahan ekonomi dan lingkungan (Ferry F
Kawur, 2007). Masalah lingkungan yang cukup menonjol akhir-akhir ini adalah
masalah: banjir, tanah longsor, kekeringan serta kerusakan hutan. Salah satu
solusi untuk mengatasi permasalahan kerusakan hutan adalah perlunya
diterapkan sertifikasi ekolabel dalam pengelolaan hutan, baik pada hutan alam,
hutan tanaman maupun pada hutan rakyat.
Hutan rakyat kini perannya semakin besar bagi pemenuhan bahan baku
kayu nasional ataupun untuk tujuan ekspor. Kayu rakyat mampu memberikan
kontribusi bagi penurunan defisit kebutuhan kayu yang dihadapi oleh dunia
kehutanan saat ini. Menurut data di BRIK ( Badan Revitalisasi Industri
Kehutanan ) tahun 2004 sampai tahun 2006 untuk prosentase produk kayu
olahan 38 - 40% menggunakan kayu rakyat (BRIK, 2007). Sementara pada
tahun 2011 telah terbangun Hutan Rakyat lebih dari 3,5 juta hektar, dengan
potensi standing stock kayu mencapai 125 juta m3 per tahun, potensi siap panen
lebih dari 20 juta m3 per tahun, serta mampu menyerap tenaga kerja hingga 17,5
juta orang. Sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut
tiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta
hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis
ditebang (Dirjen BPDAS-PS, 2011).
Sejarah kemunculan sertifikasi ekolabel hutan berawal dari keprihatinan
akan semakin rusaknya hutan di dunia. Dekade 1980 s.d. 1990-an, kampanye
dan aksi–aksi boikot terhadap perdagangan kayu-kayu tropis marak dilakukan
oleh pemerhati lingkungan. Upaya boikot tersebut tidak terlalu membawa hasil
yang menggembirakan, karena selain tersandung ketentuan WTO, juga karena
kebutuhan perdagangan kayu dan turunannya adalah tuntutan kebutuhan pasar.
Situasi ini mendorong munculnya inisiatif untuk menggunakan sistem sertifikasi
20
ekolabel hutan (forest certification ecolabelling system) yang berorientasi pasar
dan sukarela ( LEI, 2004).
Dengan demikian, maka sertifikasi ekolabel hutan bisa dipahami sebagai
alat dan sekaligus proses yang bisa menunjukkan kepada para pihak (konsumen,
pegiat lingkungan, pemerintah, buyer, dan para pihak lain) bahwa suatu hutan
terkelola dengan standar atau prinsip-prinsip keberlanjutan. Biasanya proses
penilaian sertifikasi untuk mendapatkan sertifikat ekolabel dilakukan oleh pihak
ketiga (bukan dari produsen, buyer, konsumen, atau pemerintah).
Penelitian mengenai sertifikasi hutan telah banyak dilakukan namun
belum banyak yang mengkhususkan pada sertifikasi hutan rakyat, terutama di
Indonesia. Simula et al. (2005) telah melakukan studi mengenai Benefit Cost
Ratio sertifikasi hutan di Brazil, Malaysia dan Indonesia namun studi kasus
tersebut dilakukan hanya di hutan alam yang dikelola oleh swasta. Dalam
pengertian yang lain, sertifikasi hutan mempunyai dua wajah yang tidak dapat
dipisahkan, karena pertama, sebagai upaya untuk mendorong pengelolaan hutan
secara lestari dan kedua, membuka peluang terjadinya interaksi atau transaksi
positif antara pasar (pembeli) dengan Unit Manajemen (UM) sebagai produsen
kayu. Untuk itu sertifikasi ekolabel hutan hanya diterapkan pada kawasan
hutan produksi. Adapun hasil konkret yang diperoleh dari sertifikasi ekolabel
hutan adalah pengakuan publik, pemerintah, dan pelaku pasar atas kinerja
pengelolaan hutan secara lestari baik dari sisi: produksi, ekologi, dan sosial.
Saat ini kebutuhan sertifikasi ekolabel hutan kian meningkat. Tidak saja
karena meningkatnya tuntutan konsumen akan produk-produk ” hijau ”, tetapi
sertifikasi ekolabel memampukan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan
hutan memperbaiki kinerja dan proses pengelolaan hutan mereka (Didik
Suharjito, 2000). Kian berkurangnya pasokan kayu akibat tingginya laju
kerusakan hutan (deforestry) semakin mempertegas perlunya mengelola hutan
secara lestari (Sustainable Forest Manajemen) agar diperoleh pasokan hasil
kayu secara berkelanjutan. .
Di Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur, telah terbentuk Kelompok
Tani Hutan Rakyat (KTHR) sebagai satuan Pengelola Hutan, yang bernama
Forest Management Unit (FMU) atau KTHR Lawu Manunggal. KTHR Lawu
21
Manunggal merupakan gabungan KTHR dari 5 desa di Kecamatan Panekan dan
Kecamatan Sidorejo mengelola hutan seluas 940,161 ha. Kelahiran KTHR
berawal dari keprihatinan makin rusaknya hutan rakyat pada wilayah Gunung
Lawu sisi timur karena penebangan kayu tidak terkendali yang dikawatirkan
menimbulkan tingginya laju erosi, tanah longsor dan berkurangnya debit mata
air, sedangkan bagi hutan rakyat yang telah baik tidak dijaga akan fungsi dan
kelestariannya. Terhadap keberhasilan pengelolaan hutan selama ini maka
KTHR ini bermaksud untuk mendapatkan sertifikat ekolabel dalam pengelolaan
hutannya dari Lembaga Sertifikasi (LS) yang kredibel, menurut Sistem
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) dari
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Namun, tidaklah mudah untuk
mendapatkan sertifikat ekolabel tersebut dan dibutuhkan pemberdayaan bagi
organisasi, pengurus dan anggotanya untuk melakukan upaya pengelolaan
hutan secara lestari serta penyiapan-penyiapan dokumen untuk kelola produksi,
ekologi dan sosial. agar layak mendapatkan sertifikat ekolabel dalam
pengelolaan hutannya.
B. Rumusan Masalah
1. Kondisi kelembagaan KTHR kurang aktif dan tidak memiliki dokumen
administrasi secara baik, bagaimana kondisi awal kelompok tani hutan
sebelum dilakukan pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel?
2. Hutan rakyat rentan terhadap penebangan kayu secara tidak terkendali,
bagaimana kondisi seharusnya KTHR bisa memenuhi kriteria dan indikator
hingga mendapatkan sertifikat ekolabel menurut standar LEI ?
3. Kondisi hutan rakyat yang telah terkelola baik tidak akan berkelanjutan,
bagaimana model pemberdayaan KTHR Lawu Manunggal sampai
mendapatkan sertifikat ekolabel untuk menjaga kelestarian hutannya ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan menganalisis kondisi awal KTHR Lawu Manunggal dari
sisi kelambagaan, dokumen dan administrasinya sebelum dilakukan
pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel.
22
2. Mengidentifikasi kriteria dan indikator aspek produksi, ekologi dan sosial
yang dibutuhkan agar KTHR Lawu Manunggal bisa mendapatkan sertifikat
ekolabel menurut standar LEI.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis model pemberdayaan KTHR Lawu
Manunggal sampai mendapatkan sertifikat ekolabel.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1. Bagi petani hutan dan kelompok tani hutan. Dapat mengetahui tentang
bagaimana penyiapan organisasi, dokumen apa yang dibutuhkan serta
tahapan apa yang mesti dilakukan apabila ingin mendapatkan sertifikat
ekolabel dalam pengelolaan hutan.
2. Bagi industri kayu dan konsumen hijau. Dapat mengetahui proses dan
adanya unit manajemen pengelola hutan yang menyediakan bahan kayu dari
hutan yang telah dikelola secara lestari.
3. Bagi ilmu pengetahuan. Memberikan masukan tentang model dan strategi
implemetasi pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari
4. Bagi pemerintah dapat memberikan masukan dalam merumuskan dan
menyempurnakan kebijakan dalam penataan dan pengelolaan sumber daya
hutan, sedangkan bagi pemerintah daerah dapat menjadi masukan dalam
menyusun strategi dan perencanaan dalam perluasan pengelolaan hutan
rakyat secara lestari dalam rangka pembangunan sosial, ekonomi dan
lingkungan secara berkelanjutan.
23
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Dasar Pemberdayaan
Untuk memahami konsep pemberdayaan (empowerment) secara tepat
dan jernih memerlukan upaya pemahaman latar belakang kontekstual yang
melahirkannya. Konsep tersebut telah begitu meluas diterima dan
dipergunakan, mungkin dengan pengertian dan persepsi yang berbeda satu
dengan yang lain. Penerimaan dan pemakaian konsep tersebut secara
kritikal tentunya meminta kita mengadakan telaah yang sifatnya mendasar.
Kenneth (1995), pemberdayaan sering disebut sebagai konstruksi secara
psikologis untuk membimbing masyarakat dan relatif sedikit orang yang
memahami tentang hal ini.
Konsep empowerment dipandang sebagai bagian atau sejiwa dengan
aliran-aliran paruh kedua abad 20 yang banyak dikenal sebagai aliran
Posmodernisme dengan titik berat sikap dan orientasinya adalah anti sistem,
anti struktur dan anti determinisme. Memahami gerakan pemikiran baru
tersebut akan sejalan dengan menelaah lahirnya Eropa Modern sebagai
reaksi terhadap pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya
(abad pertengahan). Pemberdayaan Masyarakat adalah sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. KKoonnsseepp iinnii
mmeenncceerrmmiinnkkaann ppaarraaddiiggmmaa ppeemmbbaanngguunnaann yyaanngg bbeerrssiiffaatt:: ((11)) PPeeooppllee CCeenntteerreedd,,
((22)) PPaarrttiicciippaattoorryy,, ((33)) EEmmppoowweerriinngg ddaann ((44)) SSuussttaaiinnaabbllee ((CChhaammbbeerrss,, 11999955))..
PPeemmbbeerrddaayyaaaann aaddaallaahh uuppaayyaa uunnttuukk mmeennggeemmbbaannggkkaann ppootteennssii ddaann ddaayyaa
mmaassyyaarraakkaatt ddeennggaann mmeennddoorroonngg ddaann mmeemmbbaannggkkiittkkaann kkeessaaddaarraann aakkaann ppootteennssii
yyaanngg ddiimmiilliikkiinnyyaa sseerrttaa bbeerruuppaayyaa uunnttuukk mmeennggeemmbbaannggkkaannnnyyaa.. Pemberdayaan
bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga
pranata-pranatanya. Misal: menawarkan nilai-nilai budaya, seperti: kerja
keras, hemat, keterbukaan, dan tanggungjawab (Isbandi.2001).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah
sebuah proses dan tujuan. Seebbaaggaaii pprroosseess,, ppeemmbbeerrddaayyaaaann aaddaallaahh
sseerraannggkkaaiiaann kkeeggiiaattaann uunnttuukk mmeemmppeerrkkuuaatt kkeebbeerrddaayyaaaann kkeelloommppookk ddaallaamm
mmaassyyaarraakkaatt,, tteerrmmaassuukk iinnddiivviidduu--iinnddiivviidduu yyaanngg mmeennggaallaammii mmaassaallaahh
24
kkeetteerrttiinnggggaallaann,, kkeemmiisskkiinnaann,, kkeebbooddoohhaann ddaann llaaiinn--llaaiinn.. SSeebbaaggaaii ttuujjuuaann,, mmaakkaa
ppeemmbbeerrddaayyaaaann mmeennuunnjjuukk ppaaddaa kkeeaaddaaaann aattaauu hhaassiill yyaanngg iinnggiinn ddiiccaappaaii oolleehh
sseebbuuaahh ppeerruubbaahhaann ssoossiiaall:: yyaaiittuu mmaassyyaarraakkaatt yyaanngg bbeerrddaayyaa,, mmeemmiilliikkii
kkeekkuuaassaaaann aattaauu mmeemmppuunnyyaaii ppeennggeettaahhuuaann ddaann kkeemmaammppuuaann ddaallaamm mmeemmeennuuhhii
kkeebbuuttuuhhaann hhiidduuppnnyyaa bbaaiikk yyaanngg bbeerrssiiffaatt ffiissiikk,, eekkoonnoommii,, ssoossiiaall mmaauuppuunn
lliinnggkkuunnggaann.. PPeennggeerrttiiaann ppeemmbbeerrddaayyaaaann sseebbaaggaaii ttuujjuuaann sseerriinnggkkaallii ddiigguunnaakkaann
sseebbaaggaaii iinnddiikkaattoorr kkeebbeerrhhaassiillaann ppeemmbbeerrddaayyaaaann sseebbaaggaaii sseebbuuaahh pprroosseess..
22.. PPeennddeekkaattaann ddaann SSttrraatteeggii PPeemmbbeerrddaayyaaaann KKeelloommppookk
Soetomo (2006), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni
kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya
menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau
penguasaan klien atau target group, atas:
1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan
dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat
tinggal, pekerjaan.
2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras
dengan aspirasi dan keinginannya.
33)) IIddee aattaauu ggaaggaassaann:: kkeemmaammppuuaann mmeennggeekksspprreessiikkaann ddaann mmeennyyuummbbaannggkkaann
ggaaggaassaann ddaallaamm ssuuaattuu ffoorruumm aattaauu ddiisskkuussii sseeccaarraa bbeebbaass ddaann ttaannppaa tteekkaannaann..
44)) LLeemmbbaaggaa--lleemmbbaaggaa:: kkeemmaammppuuaann mmeennjjaannggkkaauu,, mmeenngggguunnaakkaann ddaann
mmeemmppeennggaarruuhhii pprraannaattaa--pprraannaattaa mmaassyyaarraakkaatt,, sseeppeerrttii lleemmbbaaggaa
kkeesseejjaahhtteerraaaann ssoossiiaall,, ppeennddiiddiikkaann,, kkeesseehhaattaann..
55)) SSuummbbeerr--ssuummbbeerr:: kkeemmaammppuuaann mmeemmoobbiilliissaassii ssuummbbeerr--ssuummbbeerr ffoorrmmaall,,
iinnffoorrmmaall ddaann ssuummbbeerrddaayyaa aallaamm llaaiinnnnyyaa..
66)) AAkkttiivviittaass eekkoonnoommii:: kkeemmaammppuuaann mmeemmaannffaaaattkkaann ddaann mmeennggeelloollaa
mmeekkaanniissmmee pprroodduukkssii,, ddiissttrriibbuussii,, ddaann ppeerrttuukkaarraann bbaarraanngg sseerrttaa jjaassaa..
PPeennddeekkaattaann ddaallaamm ppeellaakkssaannaaaann pprroosseess ddaann ppeennccaappaaiiaann ttuujjuuaann
ppeemmbbeerrddaayyaaaann ddii aattaass ddiiccaappaaii mmeellaalluuii ppeenneerraappaann ppeennddeekkaattaann ppeemmbbeerrddaayyaaaann..
AArryy ((22000011)) mmeennyyaattaakkaann,, bbaahhwwaa pprroosseess ppeemmbbeerrddaayyaaaann uummuummnnyyaa ddiillaakkuukkaann
sseeccaarraa kkoolleekkttiiff.. MMeennuurruuttnnyyaa,, ttiiddaakk aaddaa lliitteerraattuurr yyaanngg mmeennyyaattaakkaann bbaahhwwaa
pprroosseess ppeemmbbeerrddaayyaaaann tteerrjjaaddii ddaallaamm rreellaassii ssaattuu--llaawwaann--ssaattuu.. MMeesskkiippuunn
25
ppeemmbbeerrddaayyaaaann sseeppeerrttii iinnii ddaappaatt mmeenniinnggkkaattkkaann rraassaa ppeerrccaayyaa ddiirrii ddaann
kkeemmaammppuuaann ddiirrii kklliieenn aattaauu ttaarrggeett ggrroouupp,, hhaall iinnii bbuukkaannllaahh ssttrraatteeggii uuttaammaa
ppeemmbbeerrddaayyaaaann..
NNaammuunn ddeemmiikkiiaann,, ttiiddaakk sseemmuuaa iinntteerrvveennssii ddaappaatt ddiillaakkuukkaann mmeellaalluuii
kkoolleekkttiivviittaass.. DDaallaamm bbeebbeerraappaa ssiittuuaassii,, ssttrraatteeggii ppeemmbbeerrddaayyaaaann ddaappaatt ssaajjaa
ddiillaakkuukkaann sseeccaarraa iinnddiivviidduuaall;; mmeesskkiippuunn ppaaddaa ggiilliirraannnnyyaa ssttrraatteeggii iinnii ppuunn tteettaapp
bbeerrkkaaiittaann ddeennggaann kkoolleekkttiivviittaass,, ddaallaamm aarrttii mmeennggkkaaiittkkaann kklliieenn ddeennggaann ssuummbbeerr
aattaauu ssiisstteemm llaaiinn ddii lluuaarr ddiirriinnyyaa.. MMaassiihh mmeennuurruutt AArryy,, ppeemmbbeerrddaayyaaaann ddaappaatt
ddiillaakkuukkaann mmeellaalluuii ttiiggaa ppeennddeekkaattaann:: mmiikkrroo,, mmeezzzzoo,, ddaann mmaakkrroo..
11)) PPeennddeekkaattaann MMiikkrroo.. PPeemmbbeerrddaayyaaaann ddiillaakkuukkaann tteerrhhaaddaapp kklliieenn sseeccaarraa
iinnddiivviidduu mmeellaalluuii bbiimmbbiinnggaann,, kkoonnsseelliinngg,, ssttrreessss mmaannaaggeemmeenntt,, ccrriissiiss
iinntteerrvveennttiioonn.. TTuujjuuaann uuttaammaannyyaa aaddaallaahh mmeemmbbiimmbbiinngg aattaauu mmeellaattiihh kklliieenn
ddaallaamm mmeennjjaallaannkkaann ttuuggaass--ttuuggaass kkeehhiidduuppaannnnyyaa.. MMooddeell iinnii sseerriinngg ddiisseebbuutt
sseebbaaggaaii PPeennddeekkaattaann yyaanngg BBeerrppuussaatt ppaaddaa TTuuggaass ((ttaasskk cceenntteerreedd aapppprrooaacchh))..
22)) PPeennddeekkaattaann MMeezzzzoo.. PPeemmbbeerrddaayyaaaann ddiillaakkuukkaann tteerrhhaaddaapp sseekkeelloommppookk kklliieenn,,
mmiissaallnnyyaa kkeelloommppookk ttaannii.. PPeemmbbeerrddaayyaaaann ddiillaakkuukkaann ddeennggaann mmeenngggguunnaakkaann
kkeelloommppookk sseebbaaggaaii mmeeddiiaa iinntteerrvveennssii.. PPeennddiiddiikkaann ddaann ppeellaattiihhaann,, ddiinnaammiikkaa
kkeelloommppookk,, bbiiaassaannyyaa ddiigguunnaakkaann sseebbaaggaaii ssttrraatteeggii ddaallaamm mmeenniinnggkkaattkkaann
kkeessaaddaarraann,, ppeennggeettaahhuuaann,, kkeetteerraammppiillaann ddaann ssiikkaapp--ssiikkaapp kklliieenn aaggaarr
mmeemmiilliikkii kkeemmaammppuuaann mmeemmeeccaahhkkaann ppeerrmmaassaallaahhaann yyaanngg ddiihhaaddaappiinnyyaa..
33)) PPeennddeekkaattaann MMaakkrroo.. PPeennddeekkaattaann iinnii ddiisseebbuutt jjuuggaa sseebbaaggaaii SSttrraatteeggii SSiisstteemm
BBeessaarr ((llaarrggee--ssyysstteemm ssttrraatteeggyy)),, kkaarreennaa ssaassaarraann ppeerruubbaahhaann ddiiaarraahhkkaann ppaaddaa
ssiisstteemm lliinnggkkuunnggaann yyaanngg lleebbiihh lluuaass.. PPeerruummuussaann kkeebbiijjaakkaann,, ppeerreennccaannaaaann
ssoossiiaall,, kkaammppaannyyee,, aakkssii ssoossiiaall,, lloobbbbyyiinngg,, ppeennggoorrggaanniissaassiiaann mmaassyyaarraakkaatt,,
mmaannaajjeemmeenn kkoonnfflliikk,, aaddaallaahh bbeebbeerraappaa ssttrraatteeggii ddaallaamm ppeennddeekkaattaann iinnii..
PPeennddeekkaattaann iinnii mmeemmaannddaanngg kklliieenn sseebbaaggaaii oorraanngg yyaanngg mmeemmiilliikkii
kkoommppeetteennssii uunnttuukk mmeemmaahhaammii ssiittuuaassii--ssiittuuaassii mmeerreekkaa sseennddiirrii,, ddaann uunnttuukk
mmeemmiilliihh sseerrttaa mmeenneennttuukkaann ssttrraatteeggii yyaanngg tteeppaatt uunnttuukk bbeerrttiinnddaakk..
Menurut PERSEPSI (2010), sebuah lembaga yang aktif dalam
pemberdayaan masyarakat bahwa terkait dengan program pertanian
berkelanjutan, terdapat tiga strategi penting yang diterapkan dalam
26
melakukan pendampingan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat.
Strategi yang diterapkan mencakup:
1) Penyiapan Sosial. Strategi ini dimaksudkan untuk mengembangkan
hubungan sosial antar kelompok masyarakat, baik antara kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya maupun antara
kelompok masyarakat dengan stake holder dan para pengambil
kebijakan. Untuk itu perlu dilakukan kajian awal melalui teknik
pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dengan maksud untuk
mengetahui potensi, masalah dan harapan masyarakat.
2) Pemecahan masalah secara terpadu. Terpadu yang dimaksud dari aspek
yang didekati, metode yang dikembangkan serta institusi yang terlibat.
Aspek yang didekati diantaranya Sumber Daya Manusia (SDM),
lingkungan (sumberdaya alam), ekonomi, sosial budaya dan lain-lain.
Metode pemecahan masalah yang dikembangkan saling berkait dan
mendukung serta mengarah pada keswadayaan dan berkelanjutan .
Aspek sumberdaya manusia lebih menekankan pada proses belajar bagi
petani atau komunitas yang didampingi untuk dapat mengambil
keputusan secara mandiri apa yang terbaik terhadap usahatani yang akan
dilakukan.
3) Pendekatan kelompok secara hamparan dan satuan keluarga. Pendekatan
kelompok secara hamparan dimaksudkan untuk memudahkan
pengorganisasian dalam proses belajar melalui sekolah lapang dan
menciptakan kawasan yang aman secara ekologis. Sedangkan pendekatan
dalam satuan kelurga dimaksudkan bahwa partisipan (kelompok
dampingan) program adalah semua anggota dalam keluarga tersebut.
Karena pengembangan pertanian berkelanjutan harus memperoleh
penggarapan sejak tingkat paradigma sampai tataran praktis dan harus
memperoleh kesamaan pandang pada lingkup keluarga.
Dari ketiga strategi tersebut, untuk mengarah pada suatu perubahan status
sosial ekonomi petani menuju pertanian berkelanjutan, maka dalam
pelaksanaan program akan bertumpu pada pada 5 unsur yang saling
27
mendukung dan berkait. Unsur dimaksud yaitu unsur: ekologi, teknologi,
ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan.
1) Unsur Ekologi, menekankan kegiatan untuk menjamin kelestarian
ekosistem yang bermutu, mengoptimalkan keanekaragaman hayati pada
agroekosistem dan mengoptimalkan proses alami dalam penyuburan
tanah, penggunaan air dan pengendalian hama, penyakit.
2) Unsur Teknologi, mengutamakan penggunaan teknologi yang diterapkan
kepada petani bersifat mudah, murah, tepat guna, memaksimalkan
penggunaan sumber daya lokal dan meminimalkan masukan dari luar.
3) Unsur Ekonomi, menjamin kebutuhan usaha tani dan kebutuhan ekonomi
rumah tangga serta memungkinkan pengembangan skala usaha dan
deversifikasi.
4) Unsur Sosial Budaya, bagaimana dalam pelaksanaan kegiatan tidak
menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi, diterima masyarakat ( petani )
dan memperhatikan wawasan gender.
5) Unsur Pemberdayaan, unsur ini menjadi strategis di dalam pelaksanaan
kegiatan karena berkait erat dengan keberlanjutan program. Termasuk di
dalamnya yaitu: peningkatan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan dan
kesadaran petani, penguatan institusi, keswadayaan dan jaringan petani
serta partisipasi kader.
3. Pengertian Hutan Rakyat
Hutan rakyat dalam pengertian menurut Undang-undang Nomer.41
tahun 1999 tentang kehutanan adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang
dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan
negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak
milik atau tanah negara. Dari sudut pandang pemerintah mengatakan bahwa
keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena ada dukungan progam
penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan.
Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia
yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh
masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi
28
secara alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis
(Darusman, 1995).
Pendapat lain (Suryohadikusumo, 2004) menyatakan bahwa pada
prinsipnya pengertian hutan rakyat adalah status hak milik (hutan milik) di
luar kawasan hutan dengan penanaman pohon-pohonan secara intensif juga
penanaman tanaman yang lebih dikenal tumpangsari. Hutan Rakyat
merupakan salah satu kegiatan perhutanan sosial yang dilaksanakan pada
tanah yang dibebani (hak milik/hutan rakyat) yang ditanami secara intensif
oleh masyarakat baik perorangan atau kelompok yang berupa tanaman
kayu-kayuan.Program hutan rakyat merupakan salah satu alternatif dalam
rangka mewujdkan pengelolaan hutan rakyat lestari.
4. Sertifikasi Ekolabel Hutan sebagai Insentif dan Promosi
Relevansi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBM)
sebagai domain sertifikasi tidak melulu harus dipandang dari sisi peluang
pasar yang ada bagi produk-produk yang berasal dari PHBM atau dilihat
dari potensi kerusakan ekologis yang ditimbulkannya, yang menempatkan
sertifikasi dalam posisi defensif untuk menjaga gawang terakhir dari
penurunan derajat kelestarian fungsi hutan (LEI, 2004). Berangkat dari
berbagai studi yang telah dirujuk, menunjukkan bahwa model PHBM dalam
banyak hal lebih menunjukkan keunggulannya dalam memelihara
kelestarian hutan, maka sertifikasi seharusnya dapat ditempatkan dalam
posisi: pertama, untuk mendorong lebih jauh lagi model pengelolaan hutan
ini diterima secara luas, dan kedua, untuk lebih memberdayakan masyarakat
itu sendiri dalam mengelola hutan yang sudah ada bahkan membangun
hutan baru dari lahan-lahan tandus menjadi lahan hutan yang lebih
produktif. David L. Spittlehouse (2003), dalam konteks perubahan iklim
maka pengelolaan hutan lestari adalah merupakan langkah strategis dalam
adaptasi di bidang kehutanan.
Kebutuhan untuk memposisikan sertifikasi PHBM sebagai insentif
langsung bagi inisiatif-inisiatif masyarakat dalam mengelola hutan jadi lebih
diperlukan karena pada kenyataannya praktek PHBM di satu sisi telah
29
banyak memperlihatkan keunggulannya dalam soal memelihara kelestarian
hutan, tetapi disisi lain sangat lemah dalam hal dukungan kebijakan publik
(Suntana, AS. 2004) . Karena itu, sistem sertifikasi PHBM semestinya dapat
mendorong terjadinya perubahan orientasi kebijakan publik kehutanan.
5. Tujuan , Manfaat dan Keutamaan Sertifikasi Ekolabel pada Hutan
Rakyat
1) Tujuan
Menanggapi produksi kayu yang tidak berkelanjutan pada konsesi
di hutan tropis program sertifikasi sukarela skama Forest Stewardship
Council (FSC) diperkenalkan untuk meningkatkan kinerja lingkungan,
sosial dan ekonomi atas praktek pengelolaan hutan yang ada (Daniela et
all, 2015). Namun masih menurut skema dari LEI, terdapat beberapa
sistem sertifikasi ekolabel hutan yang berkembang secara internasional
maupun yang ada di Indonesia, namun secara umum dapat disimpulkan
terdapat 2 tujuan utama yaitu: (1) untuk memberikan insentif pasar
maupun non pasar yang mendorong peningkatan kualitas pengelolaan
hutan secara lestari dan berkelanjutan, (2) untuk meningkatkan akses
pasar. Tujuan ini disebut tujuan perdagangan atau trade objektif.
Selain tujuan diatas tujuan sertifikasi hutan adalah untuk
memberikan informasi mengenai keberlanjutan dan kelestarian dari
pengelolaan hutan tempat kayu dihasilkan. Sehingga konsumen dapat
mempertimbangkan keputusan untuk membeli produk kayu dari hutan
yang dikelola secara lestari atau tidak, atau bahkan dari hasil illegal
logging.
2) Manfaat
Sertifikasi bisa memberi manfaat kepada banyak pihak, terutama kepada
pihak berikut:
a) Pengelola dan pemilik hutan. Dengan sertifikasi memungkinkan
memperoleh pangsa pasar produk bersertifikat, harga yang baik, dan
citra positif. Temasuk dorongan untuk terus memperbaiki dan
mempertahankan ukuran kinerja dan proses manajemen mereka.
30
b) Industri pengolah dan pengencer. Sertifikasi menyediakan
mekanisme untuk memastikan bahwa asal-usul kayu yang
diperolehnya secara resmi dan berasal dari hutan yang terkelola
dengan baik.
c) Pemerintah. Karena sertifikasi sebagai salah satu alat untuk
mendorong keberlanjutan pengelolaan hutan, maka tugas dan fungsi
pemerintah bisa terbantu dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan
hutan dan ini penting bagi citra pemerintahan suatu negara dalam
pengelolaan hutan maupun keanekaraman hayatinya.
d) Penanam modal dan lembaga derma. Sertifikasi bisa menunjukkan
kepada pihak penanam modal dan lembaga derma bahwa uangnya
bisa memberi konstribusi kepada usaha atau program yang
memenuhi standar lingkungan dan sosial. (Sistem Sertifikasi
PHBML, LEI 2004).
3) Keutamaan
Dalam pengalaman penerapan sertifikasi ekolabel hutan untuk
mendorong pengelolaan hutan rakyat secara lestari, sekurangnya
terdapat 5 keutamaan yang dapat diperoleh :
a) Mendorong pengelolaan hutan yang lestari.
b) Memberikan penghargaan dan memperkuat inisiatif-inisiatif
pengelolaan hutan oleh rakyat.
c) Mendorong pembangunan hutan di luar kawasan hutan tetap.
d) Mendorong sifat keadilan dan sistem sosial yang lebih baik di
dalam pengelolaan hutan.
e) Mendorong perdagangan produk hutan yang lestari secara ekologis
dan sosial.
66.. PPeennggeelloollaaaann HHuuttaann BBeerrbbaassiiss MMaassyyaarraakkaatt LLeessttaarrii ((PPHHBBMMLL)),, sseebbaaggaaii
SSiisstteemm SSeerrttiiffiikkaassii EEkkoollaabbeell HHuuttaann
Indonesia merupakan salah satu di antara negara di dunia yang
mempunyai sumber daya hutan alam tropis yang besar dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi. Tekanan terhadap kelestarian hutan
31
tropis di dunia semakin meningkat akibat tingginya permintaan atas produk-
produk hasil hutan, sementara luas hutan tropis semakin berkurang. Situasi
ini mendorong munculnya paradigma pengelolaan sumberdaya hutan yang
lestari (sustainable forest management/SFM) (LEI, 2002). Implementasi
SFM tidak hanya dituntut pada kawasan hutan alam tropis, namun merebak
pada kawasan hutan lainnya, seperti hutan tanaman maupun hutan yang
dikelola oleh masyarakat. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Lembaga
Ekolabel Indonesia (LEI) telah mengembangkan sistem sertifikasi
pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML).
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) adalah sistem
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu
komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat, atau lahan milik
(individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah
tangga dan masyarakat, diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk
subsistensi. Ciri utamanya adalah adanya pengaruh sistem sosial setempat
yang cukup kuat di dalam struktur pengambilan keputusan manajerial.
Dalam satu praktek PHBML, orientasi usahanya dari dua macam,
yaitu sebagian bersifat subsiten dan sebagian lain bersifat komersial.
Orientasi usaha komersial umumnya ditujukan untuk jenis-jenis produk
utama, sedangkan orientasi usaha subsisten ditujukan untuk jenis-jenis
produk yang lainnya (Harjanto, 2000).
77.. KKeebbiijjaakkaann PPeennggeelloollaaaann HHuuttaann SSeeccaarraa LLeessttaarrii
Dalam Undang Undang No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan pada
Pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan
dengan: (1) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi
konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; dan (2)
meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; dan (3) meningkatkan
kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat
secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
32
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan
terhadap akibat perubahan eksternal; dan menjamin distribusi manfaat
yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Namun secara khusus terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan
secara lestari diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) Nomor: P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-Ii/2014 tentang
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi
Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Hutan hak
adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah
yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak
atas tanah. Hutan hak disebut pula sebagai hutan rakyat.
Dalam Permen LHK tersebut pada Pasal 4, bahwa pemilik hutan
rakyat yang diperuntukkan untuk produksi, maka wajib untuk mendapatkan
Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) atau sertifikat
ekolabel yang menjelaskan bahwa hasil kayu yang dipanen dipastikan
diperoleh dari hutan yang telah dikelola secara lestari. Sertifikat pengelolaan
hutan secara lestari dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang bersifat
independen setelah menerima permohonan dan melakukan penilaian
dokumen ajuan serta verifikasi lapang. Dengan demikian bahwa bagi
pengelola dan pemilik hutan bahwa pengelolaan hutan untuk kesejahteraan
Sosial, Ekonomi dan Lingkungan (SOSEKLING) dengan pengelolaan
secara lestari adalah merupakan suatu keharusan.
B. Penelitian Terdahulu dan Relevan
Penelitian tentang pemberdayaan masyarakat terkait dengan pengelolaan
hutan telah dilakukan beberapa peneliti terdahulu, namun terdapat beberapa
perbedaan pada daerah, karakteristik, tujuan ataupun fokus penelitian. Beberapa
penelitian dimaksud sebagimana tersaji pada tabel berikut.
33
Tabel 1. Penelitian terdahulu dan relevan
No Judul dan Peneliti Tahun Lokasi Metode Fokus Penelitian
1 Pengelolaan Hutan
Lestari dan Sertifikasi
Ekolabel.
Purwanto
2008 Kabupaten
Wonogiri
Diskriptif
Kualitatif
Untuk mengetahui
pengaruh sertifikasi
ekolabel terhadap
tataniaga dan kenaikan
harga kayu rakyat
2 Efektifitas Sistem
Sertifikasi
Pengelolaan Hutan di
Hutan rakyat.
Erlinda Daniyati
2009 Kabupaten
Wonogiri
dan Kulon
Progo
Diskriptif
Kualitatif
Membandingkan
efektifitas dalam
pengelolaan hutan rakyat
antara yang sudah
bersertifikat ekolabel di
Kabupaten
Wonogiri dengan yang
belum bersertifikat di
Kabupaten Kulon Progo
3 Pemberdayaan
Masyarakat Sekitar
Hutan dalam
Meningkatkan
Partisipasi
Pengelolaan Hutan
Lindung .
Gunawan Ade.
2011 Kabupaten
Cianjur
Diskriptif
Kualitatif
Untuk mengetahui
faktor-faktor yang dapat
meningkatkan partisipasi
masyarakat serta
mengidentifikasi
kebutuhan
pendampingan dalam
rangka pemberdayaan
masyarakat di sekitar
hutan lindung Gunung
Simpang, di Cibuluh
4 Pemberdayaan
Masyarakat di Sekitar
Balai Taman Nasional
Gunung Palung
Kecamatan Sukadana.
Yudi Dwi Septiyanto
2012 Kabupaten
Kayong
Utara
Diskriptif
Kualitatif
Untuk mengetahui
kapasitas masyarakat
sekitar Taman nasional
dalam rangka menyusun
strategi pemberdayaan
masyarakat.
5 Strategi
Pemberdayaan
Masyarakat
Kelompok Tani Hutan
Ngudi Makmur di
Sekitar Kawasan
Taman Nasional
Gunung Merapi.
I.Putu Garjita
2014 Kabupaten
Boyolali
Diskriptif
Kualitatif
Bermaksud
mengidentifikasi dan
menyusun strategi
pemberdayaan
masyarakat dalam rangka
meningkatkan
pendapatan masyarakat
yang terorganisir pada
kelompok tani Ngudi
Makmur .
34
Beberapa penelitian tersebut menekankan sejauhmana efektifitas antara
hutan rakyat yang telah bersertifikat ekolabel dan yang belum bersertifikat serta
mengidentifikasi strategi dan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan
lindung dan taman nasional. Pertanyaannya bagaimana model pemberdayaan
kelompok tani hutan rakyat sampai bisa mendapatkan sertifikat ekolabel belum
diungkap dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
C. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini meliputi : (1) mengetahui dan menganalisis kondisi awal
KTHR Lawu Manunggal dari sisi kelambagaan dan administrasinya sebelum
dilakukan pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel. (2)
mengidentifikasi kriteria dan indikator yang dibutuhkan agar KTHR Lawu
Manunggal bisa mendapatkan sertifikat ekolabel menurut standar LEI dan (3)
untuk mengetahui dan menganalisis model pemberdayaan KTHR Lawu
Manunggal sampai mendapatkan sertifikat ekolabel. .
Berdasarkan penelusuran literatur, penelitian ini dilandaskan pada teori:
(1) konsep dasar pemberdayaan masyarakat, (2) pendekatan dan strategi
pemberdayaan kelompok, dan (3) tentang sertifikasi ekolabel hutan sebagai
insentif dan promosi. Menurut Glasser dan Stauss (1980:31) dalam Moleong
(2000:37), landasan teori dapat disajikan dalam dua bentuk : a) seperangkat
proporsi dan b) diskusi teoritis yang memanfaatkan ketegori konseptual dan
kawasannya. Dalam penelitian ini dipilih bentuk yang kedua.
Pemberdayaan Masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan
ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. KKoonnsseepp iinnii mmeenncceerrmmiinnkkaann
ppaarraaddiiggmmaa ppeemmbbaanngguunnaann yyaanngg bbeerrssiiffaatt:: ((11)) PPeeooppllee CCeenntteerreedd,, ((22)) PPaarrttiicciippaattoorryy,,
((33)) EEmmppoowweerriinngg ddaann ((44)) SSuussttaaiinnaabbllee ((CChhaammbbeerrss,, 11999955)).. PPemberdayaan
memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah.
PPeennddeekkaattaann ddaallaamm ppeellaakkssaannaaaann pprroosseess ddaann ppeennccaappaaiiaann ttuujjuuaann
ppeemmbbeerrddaayyaaaann ddii aattaass ddiiccaappaaii mmeellaalluuii ppeenneerraappaann ppeennddeekkaattaann ppeemmbbeerrddaayyaaaann..
AArryy ((22000011)) mmeennyyaattaakkaann,, bbaahhwwaa pprroosseess ppeemmbbeerrddaayyaaaann uummuummnnyyaa ddiillaakkuukkaann
sseeccaarraa kkoolleekkttiiff.. MMeennuurruuttnnyyaa,, ttiiddaakk aaddaa lliitteerraattuurr yyaanngg mmeennyyaattaakkaann bbaahhwwaa pprroosseess
ppeemmbbeerrddaayyaaaann tteerrjjaaddii ddaallaamm rreellaassii ssaattuu--llaawwaann--ssaattuu.. MMeesskkiippuunn ppeemmbbeerrddaayyaaaann
35
sseeppeerrttii iinnii ddaappaatt mmeenniinnggkkaattkkaann rraassaa ppeerrccaayyaa ddiirrii ddaann kkeemmaammppuuaann ddiirrii kklliieenn aattaauu
ttaarrggeett ggrroouupp,, hhaall iinnii bbuukkaannllaahh ssttrraatteeggii uuttaammaa ppeemmbbeerrddaayyaaaann..
Sementara menurut PERSEPSI, 2010 untuk mengarah pada suatu
perubahan status sosial ekonomi petani kearah pertanian berkelanjutan, maka
dalam pelaksanaan kegiatan harus bertumpu pada lima unsur yang saling
mendukung dan berkait. Unsur dimaksud yaitu unsur: ekologi, teknologi,
ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan.
Dalam sistem sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat
lestari/PHBML (LEI, 2002:29). Sertifikasi hutan adalah bagian dari sistem pasar
yang bersifat insentif, mendorong terjadinya perubahan dalam hal: pengelolaan
hutan lestari, memberikan penghargaan dan memperkuat inisiatif pengelolaan
hutan oleh masyarakat, perluasan hutan di luar kawasan dan terjadinya
perdagangan hasil hutan rakyat yang lebih berkeadilan.
Adapun sistem sertifikasi ekolabel hutan yang berkembang secara
internasional maupun yang ada di Indonesia, secara umum dapat disimpulkan
bertujuan : (1) untuk memberikan insentif pasar maupun non pasar yang
mendorong peningkatan kualitas pengelolaan hutan secara lestari dan
berkelanjutan dan (2) untuk meningkatkan akses pasar. Tujuan ini disebut tujuan
perdagangan atau trade objective. Selain itu tujuan sertifikasi hutan adalah untuk
memberikan informasi mengenai keberlanjutan dan kelestarian dari pengelolaan
hutan tempat kayu dihasilkan. Sehingga konsumen dapat mempertimbangkan
keputusan untuk membeli produk kayu dari hutan yang dikelola secara lestari
atau tidak (LEI. 2004).
Teori lain yang dipergunakan sebagai landasan dalam penelitian ini
adalah teori kelembagaan. Teori kelembagaan yang dipilih yaitu teori
kelembagaan Kartodiharjo (1995) dimana kelembagaan terdiri struktur, kognitif,
normatif dan regulatif serta aktifitas yang memberikan stabilitas dan makna bagi
pelaku sosial. Sisi lain bahwa kewajiban mengelola hutan secara lestari untuk
kesejahteraan sosial, ekonomi dan lingkungan (SOSEKLING) adalah
merupakan perintah regulasi sebagaimana tertuang dalam UU 41 Tahun 1999,
tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
No. P 95/Menhut-II/2014, tentang Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
36
Verifikasi Legalitas kayu. Dengan demikian kerangka pemikiran penelitian ini
secara skematik di jelaskan pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
D. Hipotesis
1. Kondisi awal kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Lawu
Manunggal belum memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan sertifikat
ekolabel
2. Untuk mendapatkan sertifikat ekolabel belum teridentifikasi syarat-syarat
yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi kriteria dan indikator untuk
kelestarian aspek ; produksi, ekologi, dan sosial.
3. KTHR Lawu Manunggal mengalami kesulitan untuk mendapatkan sertifikat
ekolabel apabila tidak dilakukan pemberdayaan.
PERMASALAHAN
SOSIAL, EKONOMI
DAN LINGKUNGAN
� Faktor eksternal (masalah
lingkungan, tuntutan
produk hijau, citra yang
baik )
� Faktor internal (kebutuhan
ekonomi, pemasaran,
produksi lestari)
KEPUTUSAN KTHR
MENUJU SERTFIFIKASI
EKOLABEL
KEBIJAKAN PEMERINTAH
Identifikasi
Kondisi Awal
(Potret)
Kelompok Tani
Hutan Rakyat
(KTHR)
Kondisi Ideal
Kelembagaan
KTHR Dan
Syarat –Syarat
Mendapatkan
Sertifikat
Ekolabel
Gap Analisis
(Kesenjangan)
Pemberdayaan yang
dilakukan ?
Pemberdayaan
KTHR Lawu
Manunggal
Temuan:
� Kesimpulan � Rekomendasi
� Model Pemberdayaan Ekolabel
37
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Kelompok Tani Hutan Rakyat
(KTHR) sebagai satuan Pengelola Hutan, yang bernama Forest Management
Unit (FMU) Lawu Manunggal. FMU Lawu Manunggal yang merupakan
gabungan KTHR dari 5 desa yakni: (1) Desa Sukowidi, (2) Desa Tapak, dan
(3) Desa Sumberdodol, Kecamatan Panekan serta (4) Desa Sumber Sawit, dan
(5) Desa Sido Mulyo, Kecamatan Sidorejo di Kabupaten Magetan, Provinsi
Jawa Timur.
B. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, dimulai bulan Nopember 2015
sampai dengan bulan Januari 2016, sejak pengambilan data, analisis sampai
dengan penyusunan laporan penelitian.
C. Tata Laksana Penelitian
1. Metode yang digunakan
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif
kualitatif. Metode penelitian menguraikan secara teknis tentang metode-
metode yang dipergunakan dalam penelitian. Metode berarti penyelidikan
berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menurut Ary (1982) metode
penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan
analisis data yang diperlukan guna menjawab persoalan penelitian.
a. Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara, FGD dan observasi, adapun data
sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi diantaranya data statistik
Kecamatan Panekan dan Kecamatan Sidorejo dalam angka, monografi
desa, dokumen - dokumen KTHR Lawu Manunggal kepada lembaga
38
sertifikasi, data-data lain yang relevan yang ada di Dinas HUTBUN
serta hasil kajian – kajian lain yang pernah dilakukan dan relevan.
b. Responden
Pemilihan responden dalam wawancara dan FGD menggunakan
metode sampel terpilih (purposive sampling), dimana dalam
penentuannya menggunakan cara bola salju bergulir ( snow ball effect).
Dari metode ini diperoleh responden yang mampu merepresentasikan
dari obyek informasi yang digali. Berbagai temuan dari hasil wawancara
dan studi dokumentasi tersebut, selanjutnya dianalisis dan
direkronstruksi dalam laporan hasil penelitian sekaligus ditarik
kesimpulan dan saran. Sebagai responden dalam penelitian ini adalah:
pengurus dan anggota KTHR Lawu Manunggal, perangkat desa, tokoh
masyarakat pendamping lapang dari PERSEPSI, petugas dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan serta pihak lain yang
terkait dengan pengembangan kelompok hutan rakyat.
c. Alur Pengumpulan Data
Untuk mengetahui kondisi awal KTHR maka peneliti melakukan
pemetaan atau identifikasi dengan cara wawancara dan FGD kepada
anggota kelompok tani, pengurus, perangkat desa dan Penyuluh
Kehutanan Lapang (PKL) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Magetan.
Untuk mengetahui kondisi seharusnya yang mesti dipenuhi agar
KTHR dapat mengajukan sertifikasi ekolabel maka dilakukan
wawancara kepada pengurus KTHR dan lembaga pendamping dari
PERSEPSI dan dinas HUTBUN Kabupaten Magetan, serta studi
dokumentasi terkait dengan sistem sertifikasi PHBML dari Lembaga
Ekolabel Indonesia (LEI) dan dokumentasi ajuan kepada lembaga
sertifikasi yang ada di kelompok maupun yang ada di lembaga
pendamping.
Terkait untuk mengetahui proses pemberdayaan KTHR Lawu
Manunggal sebagai unit pengelola hutan lestari yang memperoleh
39
sertifikat ekolabel pengelolaan lestari untuk hutan rakyat, peneliti
melakukan wawancara atau FGD dengan pengurus dan anggota KTHR.
Untuk kepentingan cross check bagaimana proses pemberdayaan yang
dilakukan, peneliti juga mewancarai kepada pendamping yakni dari
Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial
(PERSEPSI), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan
serta perangkat desa dan kecamatan. Data sekunder lain yang dibutuhkan
oleh peneliti adalah dokumen tentang organisasi KTHR seperti profil
KTHR Lawu Manunggal, struktur organisasi, daftar kepengurusan,
kegiatan yang dilakukan, Kabupaten Magetan dalam angka dan lain-lain.
Telaah terhadap masing-masing dokumen yang ada selanjutnya
akan dilihat dari tujuan dokumen diperlukan, manfaat adanya dokumen
serta bagaimana proses penyususunan dokumen tersebut. Langkah
selanjutnya peneliti akan mengelompokkan masing-masing dokumen
(kodefikasi) untuk memudahkan pemahaman bagi orang/pihak luar
apabila bermaksud ingin mengetahui jenis dan isi dokumen atau bahkan
ingin mengembangkan sertifikasi ekolabel hutan rakyat pada wilayah
lain.
2. Pengolahan Data dan Analisis
Untuk kategori penelitian kualitatif (qualitatif field research),
keputusan untuk melakukan analisis data dimulai pada saat memulai
observasi. Teknik analisisnya dimulai dengan mencoba atau berusaha
melihat sesuatu dan merepresentasikan berdasarkan pandangan responden
(Hutapea dan Suwondo, 1989). Namun untuk sampai pada tahap ini data-
data yang diperoleh perlu diuji keabsahan/validitasnya (Azwar, 2000).
Untuk menguji validitas data dalam kajian ini digunakan teknik
trianggulasi dengan cara; pertama, membandingkan hasil pengamatan
dengan hasil wawancara; kedua, membandingkan keadaan dengan
perspektif informan kunci yang satu dengan lainnnya, ketiga;
membandingkan hasil wawancara dengan data hasil perekaman data,
40
seperti dokumen, hasil–hasil penelitian dan kisah-kisah sejarah yang
memiliki keterkaitan dengan objek penelitian (Moleong, 1999).
Langkah berikutnya, hasil dari data primer maupun sekunder diolah
dengan pendekatan kualitatif, mereduksi data, menyajikan data yang telah
tersusun, membuat hasil-hasil temuan lapang dalam bentuk tema-tema
yang saling berkaitan satu sama lainnya, kemudian menarik kesimpulan.
3. Alur Penelitian
Berikut adalah alur penelitian yang dilakukan.
Alur Penelitian
Temuan Lapang (Data Primer ) Data Statistik(Data Sekunder)
Klusterisasi Menurut Aspek
(Kondisi Awal, Ideal, Kesenjangan)
Pemberdayaan
Menuju Sertifikasi Ekolabel
Kesimpulan dan Rekomendasi
Gambar 2. Alur Penelitian
41