22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan kesehatan baik jasmani maupun rohani. Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Dengan demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup, harga terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan halal. Setiap orang berhak atas makanan dan bahan makanan yang sehat dan halal. Hal tersebut harus dilindungi oleh pemerintah dan wajib dipenuhi oleh semua produsen dengan tidak menjual makanan atau minuman yang tidak layak dikonsumsi. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, selanjutnya disebut Undang-Undang Pangan, setiap makanan atau bahan makanan harus terjamin keamanannya sebelum disantap oleh konsumen. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pangan tersebut menyebutkan: “Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan”.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000722/uii-skripsi-05410067... · BAB I PENDAHULUAN A. Latar ... Oleh karena itu, sesungguhnya setiap

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat

ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang

cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan

aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan

kesehatan baik jasmani maupun rohani. Keamanan pangan merupakan salah

satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari.

Dengan demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah

yang cukup, harga terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu

sehat, aman, dan halal.

Setiap orang berhak atas makanan dan bahan makanan yang sehat dan

halal. Hal tersebut harus dilindungi oleh pemerintah dan wajib dipenuhi oleh

semua produsen dengan tidak menjual makanan atau minuman yang tidak

layak dikonsumsi. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996,

selanjutnya disebut Undang-Undang Pangan, setiap makanan atau bahan

makanan harus terjamin keamanannya sebelum disantap oleh konsumen. Pasal

10 ayat (1) Undang-Undang Pangan tersebut menyebutkan: “Setiap orang

yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa

pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau

melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan”.

2

Oleh karena itu, sesungguhnya setiap warga Negara berhak atas

perlindungan hukum yang wajib diberikan oleh Negara. Salah satu

perlindungan yang wajib diberikan oleh Negara adalah perlindungan

konsumen, agar masyarakat tidak mengkonsumsi atau menggunakan produk

barang dan/atau jasa (pangan) yang dapat membahayakan keselamatan dan

kesehatan. Az. Nasution berpendapat bahwa perlindungan konsumen

merupakan masalah manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua

bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan

konsumen adalah merealisasikan hubungan berbagai dimensi yang satu sama

lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen,

pengusaha dan pemerintah (hubungan tripartit).1

Perlindungan konsumen merupakan hal yang masih dianggap baru di

Indonesia. Hal ini telah menjadikan kedudukan konsumen berada pada posisi

yang sangat lemah karena banyak di antara konsumen yang belum mengetahui

tentang hak-hak yang seharusnya didapatkan, akibatnya banyak dari para

konsumen di Indonesia mudah percaya akan informasi yang dikeluarkan oleh

pelaku usaha

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 42 Tahun

1999), selanjutnya disebut UUPK, maka diharapkan dapat mendidik

masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan

kewajiban-kewajibannya sebagai konsumen dan mengerti tentang hak dan

1 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1995, hlm. 19.

3

kewajiban serta tanggung jawab pelaku usaha. Selain itu, Undang-Undang ini

juga turut memberikan andil untuk memberikan pengetahuan, kesadaran,

kepedulian, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta

menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Persoalan perlindungan konsumen bukan hanya pada pencarian siapa yang

bersalah dan apa hukumannya, melainkan juga mengenai pendidikan terhadap

konsumen dan penyadaran kepada semua pihak tentang perlunya keselamatan

dan keamanan di dalam berkonsumsi. Dengan demikian, orang akan terhindar

dari kemungkinan kerugian, seperti cacat, terkena penyakit, bahkan meninggal

atau dari kerugian yang menimpa harta bendanya.

Selama ini banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan

oleh pelaku usaha bertentangan dengan UUPK, namun pihak penegak hukum

masih ragu melakukan tindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan

kegiatannya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UUPK,

sehingga Undang-Undang ini dirasakan tidak efektif dimana masyarakat atau

konsumen seolah-olah tidak terlindungi atas hak-haknya sebagai konsumen

seperti yang telah diamanatkan dalam UUPK tersebut.2

Teknologi pengolahan pangan dewasa ini berkembang cukup pesat,

termasuk di Indonesia. Untuk memperoleh produk pangan olahan yang bercita

rasa lezat, berpenampilan menarik, tahan lama, mudah dalam pengangkutan

dan pendistribusiannya digunakan berbagai bahan pendukung yang lazim

disebut bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan

2 Fachry Agusta, Diskriminasi Implementasi Perlindungan Konsumen Produk Makanandan Minuman terdapat dalam http\\www.ylk batam.com, 5 Juni 2008.

4

atau “campuran bahan” yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan

baku pangan, tetapi lebih kepada sesuatu yang ditambahkan ke dalam pangan

untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna,

pengawet, pemanis buatan, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan

pengental.3 Penggunaan BTP di dalam produksi pangan antara lain ditujukan

untuk: (1) mengawetkan makanan; (2) membentuk makanan menjadi lebih

baik, renyah dan lebih enak di mulut; (3) memberikan warna dan aroma yang

lebih menarik, sehingga menambah selera; (4) meningkatkan kualitas pangan;

dan (5) menghemat biaya.

Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produksi pangan yang tidak

mempunyai risiko terhadap kesehatan manusia diijinkan untuk digunakan dan

mutunya harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Di samping tentunya

memperhatikan penggunaan bahan tambahan pangan itu secukupnya sesuai

dengan cara produksi yang baik atau sesuai dengan maksud penggunaannya,

penggunaan bahan tambahan pangan dilakukan hanya bila benar-benar

diperlukan pada pengelolaan makanan yang bersangkutan. Misalnya, untuk

memperoleh bentuk, konsistensi, rasa, rupa yang menarik dan tidak bertujuan

menutupi mutu yang rendah, menyembunyikan cara pengelolaan dan bahan

baku yang salah atau untuk mengelabui konsumen.

Bahan tambahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan

dinyatakan sebagai bahan berbahaya bila digunakan dalam pangan. Tetapi

pada kenyataannya, masih banyak produsen pangan (khususnya industri

3 Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

5

rumah tangga) menggunakan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan

tambahan pangan, salah satunya penggunaan zat pewarna tekstil (Rhodamin

B) pada makanan. Hal ini mengacu pada data Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta berdasarkan uji keamanan pangan tahun 2008, diketahui ada

beberapa makanan yang positif mengandung rhodamin B, yaitu pada camilan

manis laris (SP.709/12.01/02), lanting Ny.Wanti (SP.371/11.11/99), krupuk

slondok, jenang tape, alen-alen warna, kue bengawan solo, bolu emprit,

kolang kaling, arum manis, mi lidi (snack ringan), dan makanan tersebut

banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional, salah satunya yang banyak

terdapat di Pasar Beringharjo Yogyakarta.4

Berkembangnya industri tekstil di Indonesia menyebabkan zat pewarna

tekstil menjadi murah dan disalahgunakan pemanfaatannya oleh kalangan

produsen makanan. Di lain pihak, konsumen memiliki kemampuan yang

terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang

dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai

makanan dan sulit untuk menghindari risiko dari produk-produk makanan

yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Akhirnya, konsumen

dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produk-produk makanan

tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. Hal

ini juga menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan

konsumen dengan memanfaatkan kelemahan pihak konsumen demi

memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

4 Data dari Uji Keamanan Pangan Tahun 2008 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.

6

Apabila makanan positif mengandung zat pewarna dilarang, seperti

rhodamin B tetap beredar di pasaran akan sangat merugikan konsumen, karena

dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang

menyebabkan penyakit-penyakit seperti kanker dan tumor pada organ tubuh

manusia. Di sinilah terlihat bahwa hak-hak konsumen, yaitu hak atas

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan

jasa, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UUPK (dalam hal ini hak

konsumen untuk mendapatkan pangan yang aman bagi kesehatan, keamanan

dan keselamatannya), tidak dipenuhi oleh pelaku usaha (produsen pangan),

dengan kata lain produsen pangan telah melanggar hak orang lain. Di samping

itu, produsen telah bertindak yang bertentangan dengan hukum, yaitu tidak

melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan perihal memproduksi dan mengedarkan pangan yang

baik bagi kesehatan. Kewajiban produsen, antara lain adalah kewajiban

berhati-hati (duty of care) dalam berproduksi dan mengedarkan makanan.

Pada kasus-kasus yang merugikan konsumen, ketidakpahaman konsumen

dalam menempuh upaya hukum menambah semakin lemahnya posisi

konsumen dalam mempertahankan hak-haknya. Konsumen cenderung pasif

dalam melakukan upaya hukum, bahkan cenderung tidak mengerti bagaimana

mereka melakukan upaya hukum untuk mendapatkan hak-haknya.

Melihat betapa pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

berbagai permasalahan yang terjadi dan bagaimanakah mencari

penyelesaiannya, maka penulis berminat untuk meneliti dan menuangkannya

7

dalam bentuk skripsi dengan mengambil judul “Perlindungan Hukum Bagi

Konsumen Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Yang

Berbahaya (Studi Kasus Zat Pewarna di Pasar Beringharjo)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas,

maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penggunaan

zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan yang

berbahaya di Pasar Beringharjo?

2. Bagaimanakah upaya hukum dari konsumen yang dirugikan akibat

penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan

yang berbahaya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan

yang berbahaya di Pasar Beringharjo.

2. Untuk mengetahui upaya hukum dari konsumen yang dirugikan akibat

penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan

yang berbahaya.

8

D. Tinjauan Pustaka

Hukum senantiasa berkembang dinamis, hukum yang baik adalah hukum

sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) di masyarakat atau

merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dan bertujuan untuk

menjadi dasar memelihara ketertiban, keadilan, dan kesejahteran dalam

masyarakat. Hukum juga berfungsi mengabdi kepada masyarakat, dalam hal

ini mengatur tata tertib, menjaga agar perilaku masyarakat sesuai dengan

peraturan hukum, sehingga kepentingan-kepentingannya dilindungi hukum.

Jika perkembangan kepentingan masyarakat bertambah, maka harus diikuti

pula dengan perkembangan hukum, sehingga kebutuhan akan hukum dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara sejalan dengan perkembangan

pembangunan.5

Terlebih lagi dalam era globalisasi, maka hukum harus dapat mendukung

tumbuhnya dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam

barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan

kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa

mengakibatkan kerugian pada konsumen. Kerugian-kerugian yang diderita

konsumen merupakan akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha

terhadap konsumen.

5 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk.Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 31.

9

Menghindari agar konsumen tidak tertipu dan menyebabkan kerugian pada

konsumen akibat tindakan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku usaha

(produsen), maka diperlukan suatu perlindungan hukum. Oleh karena itu,

dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang ada, permasalahan

yang berkaitan dengan konsumen dan pelaku usaha telah diatur dalam UUPK.

Peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk memberikan

perlindungan hukum kepada konsumen. UUPK memberikan pengertian

perlindungan konsumen pada Pasal 1 angka 1 yaitu: “Segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen”.

Pentingnya hukum perlindungan konsumen juga disadari, karena setiap

konsumen selalu memerlukan produk barang dan/atau jasa (pangan) yang

aman bagi keselamatan dan kesehatan serta jiwa manusia. Untuk menjamin

hal-hal tersebut, maka diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang

menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia

yang harus dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur dan

bertanggungjawab.6

Perlindungan hukum bagi konsumen berdimensi banyak, salah satunya

adalah perlindungan hukum bila dikaitkan dengan keseluruhan individu dalam

masyarakat yang secara sendiri sebagai konsumen. Dengan demikian,

merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat dihindarkan bagi Negara untuk

6 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Ctk. Pertama, DiaditMedia, Jakarta, 2001, hlm. 16.

10

selalu berupaya memberikan perlindungan kepada konsumen.7

Hukum perlindungan konsumen timbul akibat adanya posisi konsumen

yang sangat lemah, kelemahan konsumen itu adalah lemah dari segi

pendidikan, kemampuan ekonomis atau daya tawar (bargaining position), dan

juga dari segi organisasi.8 Konsumen sering berada dalam posisi yang tidak

menguntungkan dalam hubungannya dengan para penyedia barang atau jasa

konsumen akibat kelemahan konsumen tersebut. Dilihat dari aspek hukum,

lemahnya posisi konsumen terjadi tidak hanya dari aspek materi (substansi)

hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum.9

Miskinnya hukum Indonesia berkenaan dengan perlindungan pada

kepentingan konsumen ini, tidak jarang konsumen yang dirugikan tanpa

kesalahan pada pihaknya dalam berhubungan dengan penyedia barang atau

jasa, hampir dapat dikatakan “tidak mampu” menuntut ganti rugi dan atau

menegakkan hak-haknya.

Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),

faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah:

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya;

2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat

belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan

kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya;

7 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniati, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama,CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 68.

8 Az. Nasution, Konsumen … Op.Cit., hlm. 83.9 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Ctk. Kedua, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1999, hlm. 85.

11

3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang

mempunyai kemauan menuntut hak-haknya;

4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan;

5. Posisi konsumen yang lemah.10

Pengaturan terhadap perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi

landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan

konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya

pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran dari

pelaku usaha yang pada dasarnya mereka berprinsip untuk mendapatkan

keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal yang seminim mungkin.

Prinsip ini sangat potensial untuk merugikan kepentingan konsumen baik

secara langsung maupun tidak langsung. Adapun pengaturan perlindungan

konsumen dilakukan dengan:

1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;

2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan

seluruh pelaku usaha pada umumnya;

3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang

menipu dan menyesatkan; dan

10 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Laporan Akhir Penelitian PerlindunganKonsumen Atas Kelalaian Produsen, sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan dalam: HukumKonsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, hlm. 15.

12

5. Memadukan penyelengaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan

konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.11

Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia

tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan haknya, tetapi juga

adanya persepsi yang salah di kalangan sebagian besar produsen bahwa

perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap

produsen. Persepsi yang keliru di kalangan pengusaha ini akan dengan mudah

diluruskan apabila disadari beberapa pertimbangan berikut ini:

1. Bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling

membutuhkan, usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik

bila konsumen berada pada posisi yang tidak sehat akibat banyaknya

produk yang cacat;

2. Bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan

kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja,

tetapi juga akan merugikan produsen yang jujur dan bertanggungjawab;

3. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi

produsen yang bertanggungjawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan

merugikan kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui

penindakan terhadap produsen yang melakukuan kecurangan dalam

melakukan kegiatan usahanya;

4. Bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakaian

produk cacat telah diperhitungkan sebagai kompensasi produksi, tetapi

11 Sofyan Lubis, Quo Vadis Perlindungan Konsumen, terdapat dalamhttp:\\www.articlewisdom.com, 06 Juli 2008, 17.42.

13

ditanggung bersama oleh seluruh konsumen yang memakai produk yang

tidak cacat.12

Bertolak dari keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap hak

konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh

sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang

simultan dan komprehensif, sehingga terjadi persaingan yang jujur yang

secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen.

Antara konsumen dan pelaku usaha memungkinkan terjadinya hubungan

hukum, misalnya saja hubungan hukum dalam perjanjian jual-beli. Hubungan

hukum antara pelaku usaha dan konsumen sering terjadi hanya sebatas

kesepakatan lisan mengenai “harga” dan “barang/jasa” tanpa diikuti atau

ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani

oleh para pihak yang bersangkutan. Padahal, jika ada salah satu pihak

melakukan wanprestasi ataupun melakukan perbuatan melawan hukum, maka

dengan adanya bentuk perjanjian tertulis tersebut dapat digunakan sebagai alat

bukti yang kuat (bukti otentik) untuk melakukan penuntutan ganti rugi, yang

semuanya itu merupakan tujuan untuk melindungi para pihak

Ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata,

suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis, kecuali

untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya

formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu. Di dalam ketentuan Pasal 1320

KUH Perdata secara tegas dikatakan bahwa perjanjian adalah sah jika :

12 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, SinarGarafika, Jakarta, 2008, hlm. 12.

14

1. Dibuat berdasarkan kata sepakat dari para pihak: tanpa adanya paksaan,

kekhilafan, maupun penipuan;

2. Dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum;

3. Memiliki objek perjanjian yang jelas;

4. Didasarkan pada suatu klausula yang halal.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ditegaskan lagi bahwa setiap

perjanjian yang telah dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang

membuatnya sebagai undang-undang diantara mereka. Persetujuan tersebut

tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan oleh salah satu pihak dalam

perjanjian, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara bersama oleh

kedua belah pihak atau berdasarkan alasan yang dianggap cukup oleh Undang-

Undang. Artinya, selama terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai

“harga” yang harus dibayar oleh konsumen dan “barang dan/atau jasa” yang

wajib disediakan oleh pelaku usaha, maka perjanjian telah mengikat, baik

untuk konsumen maupun untuk pelaku usaha, kecuali terdapat suatu paksaan,

kekhilafan maupun penipuan atas diri konsumen.

Ditinjau dari segi hukum perdata hubungan antara konsumen dan pelaku

usaha dalam arti luas yaitu sebagai penghasil maupun penjual barang adalah

merupakan suatu perikatan. Buku III KUH Perdata tentang perikatan, Pasal

1233 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik

karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”, sedangkan Pasal 1234

KUH Perdata menyebutkan “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”, apabila

15

penjual dalam melakukan transaksi jual beli tidak melaksanakan prestasinya

maka dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Menurut Subekti, yang

dimaksud dengan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang

atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal

dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.13

Sehubungan dengan perjanjian jual beli, maka menurut pasal 1457 KUH

perdata, jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang

lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Di dalam hubungan jual

beli, kepada kedua belah pihak dibebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban,

sebagaiman diatur dalam Pasal 1513 - Pasal 1518 KUH Perdata untuk pembeli

dan Pasal 1474 - Pasal 1512 KUH Perdata untuk penjual.

Kewajiban utama penjual menurut Pasal 1473 dan Pasal 1474 KUH

Perdata terdiri atas:

1. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada

pembeli. Menyerahkan barang artinya memindahkan penguasaan atas

barang yang dijual dari tangan penjual kepada pembeli. Penyerahan dapat

dilakukan bersamaan dengan pembayaran dari pembeli, atau dalam waktu

yang hampir sama, tetapi selalu terbuka kemungkinan untuk melakukan

penyerahan pada waktu yang berbeda dengan saat tercapainya

kesepakatan;

13 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata ,Ctk. Pertama, PT Intermasa, Jakarta, 2001, hlm122.

16

2. Kewajiban penjual untuk memberi pertanggungan atau jaminan.

Menanggung di sini adalah kewajiban penjual untuk memberi jaminan atas

kenikmatan tenteram dan jaminan dari cacat tersembunyi (hidden defects).

Konsumen dapat melakukan upaya perlindungan apabila mengalami

kerugian akibat tidak dipenuhinya apa yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha,

maka konsumen yang menjadi korban dapat melakukan upaya hukum untuk

menuntut hak-haknya. Tuntutan konsumen atas kerugian yang dideritanya

diatur dalam Pasal 7 UUPK mengenai kewajiban pelaku usaha untuk

memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

Tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap produsen secara hukum

perdata dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni:14

1. Kerugian transaksi, yaitu kerugian yang timbul dari jual beli barang yang

tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi;

2. Kerugian produk, ialah kerugian yang langsung atau tidak langsung

diderita akibat dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko

produksi akibat dari perbuatan melawan hukum

Selanjutnya setiap pengaduan konsumen terhadap kerugian yang

dideritanya dari pelaku usaha/produsen dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara

yang disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) UUPK:

14 Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen DalamPerwujudan Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 19.

17

1. Gugatan kepada pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas

menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di luar

pengadilan, dalam hal ini melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK);

2. Gugatan kepada pelaku usaha melalui pengadilan umum.

Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh, apabila upaya

tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak

yang bersengketa (Pasal 45 ayat (4) UUPK).

Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara

konsiliasi, mediasi atau arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan

persetujuan para pihak yang bersangkutan. Setiap konsumen yang dirugikan

dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha baik secara individual

maupun secara kelompok. Berdasarkan Pasal 46 UUPK, gugatan konsumen

atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama,

oleh seorang konsumen atau ahli warisnya. Kedua, sekelompok konsumen

yang mempunyai kepentingan yang sama (class action). Ketiga, oleh lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) atau pemerintah

dan/atau instansi terkait (legal standing). Pemerintah dalam kapasitasnya

sebagai penggugat, dalam pasal ini sifatnya sangat limitatif, artinya gugatan

baru bisa diajukan pemerintah bila mengakibatkan kerugian yang besar dan

korban yang tidak sedikit. Adapun penyelesaian melalui pengadilan ditempuh

18

dengan menggunakan ketentuan hukum acara perdata, sebagaimana

penyelesaian kasus-kasus perdata pada umumnya.

Memperhatikan berbagai cara yang dapat ditempuh dalam penyelesaian

gugatan konsumen terhadap kerugian produk, maka konsumen dapat memilih

berbagai pilihan hukum dalam membela haknya dengan mempergunakan cara

mana yang akan dipakai. Dengan demikian, maka konsumen yang selama ini

selalu dalam posisi lemah, baik secara ekonomi, maupun pengetahuannya,

akan dapat lebih mantap dalam membela haknya.

E. Metode Penelitian

1. Objek Penelitian

Obyek dari penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi konsumen

tehadap penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan

pangan yang berbahaya di Pasar Beringharjo dan upaya hukum dari

konsumen yang dirugikan akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang

sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya.

2. Subjek Penelitian

a. Konsumen

b. Pelaku Usaha (Penjual)

c. Kepala Balai Besar POM Yogyakarta

d. Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta

19

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari

subjek penelitian.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan

(library research) yang terdiri atas:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat

yang terdiri dari :

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

b) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

d) Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 722/Menkes/Per/IX/88

tentang Bahan Tambahan Makanan

e) Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 239/Menkes/Per/V/85

tentang Zat Warna Tertentu Yang Dinyatakan Sebagai Bahan

Berbahaya

f) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-

20

buku literatur, makalah, hasil penelitian terdahulu, artikel dan

karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan cara:

a. Wawancara (interview), yaitu pengumpulan data dengan menggunakan

tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian guna

memperoleh jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

b. Studi Kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dengan cara menelusuri

dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur

yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

5. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis permasalahan dalam

penelitian ini dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-

undangan yang berlaku.

6. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan cara deskriptif

kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan

dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan

penelitian.

21

b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan.

c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan

dasar dalam mengambil kesimpulan.

F. Sistematika Pembahasan

Guna memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini, berikut disajikan

sistematika penulisan dari skripsi ini yang terbagi ke dalam 4 (empat) bab dan

masing-masing bab terbagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun masing-

masing bab dan sub bab tersebut adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang merupakan

bekal awal bagi penulis dalam melakukan penelitian. Selanjutnya pada bab ini

juga diuraikan tentang metode penelitian yang merupakan panduan bagi

penulis dalam melakukan penelitian guna penyusunan skripsi dan sistematika

pembahasan.

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pada bab ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan hukum

perlindungan konsumen. Adapun uraian pada bab ini meliputi pengertian

perlindungan konsumen, asas, tujuan, dan norma perlindungan konsumen,

prinsip-prinsip perlindungan konsumen, landasan hukum perlindungan

konsumen, pengertian konsumen, hak dan kewajiban konsumen, pengertian

22

pelaku usaha (produsen), hak dan kewajiban pelaku usaha (produsen),

tanggung jawab pelaku usaha (produsen), serta penyelesaian sengketa

konsumen.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP

PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN YANG

BERBAHAYA

Pada bab ini disajikan hasil penelitian dan sekaligus dilakukan

pembahasan terhadap perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya. Adapun uraian dan

pembahasan pada bab ini meliputi perlindungan hukum bagi konsumen

tehadap penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan

pangan yang berbahaya di Pasar Beringharjo dan upaya hukum dari konsumen

yang dirugikan akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan

tambahan pangan yang berbahaya.

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap

permasalahan dalam penelitian ini dan sekaligus disampaikan saran yang

merupakan rekomendasi dan sumbangan pemikiran dari penulis untuk

mengatasi permasalahan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya.