Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pembangunan nasional ditujukan untuk meraih cita-cita perjuangan
kemerdekaan Indonesia yang berbasis mututaraf kehidupan masyarakat
secara keseluruhan. Dalam mengisi cita-cita perjuangan tersebut maka perlu
dilakukan program yang terencana dan terarah untuk melaksanakan proses
pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang
mendasari perjuangan tersebut yakni Pancasila dan Undang- Undang Dasar
1945.
Suatu kenyataan selama ini bahwa pembangunan nasional belum
terlaksana sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan nasional, hal ini
disebabkan oleh berbagai hal yang cukup kompleks terutama aspek penegakan
hukum (law enforcement) yang lemah, masih tumbuh suburnya budaya
korupsi, kolusi, nepotisme, dan lain-lain. Semua kompleksitas masalah itu
berpengaruh besar terhadap tercapainya tujuan nasional.
Pada bidang jasa konstruksi juga tidak kalah penting turut melahirkan
fenomena-fenomena hukum dan sosial, walaupun telah terjadi perubahan
paradigma perangkat hukum, namun dalam praktek masih terlihat nyata belum
terlaksana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Jasa konstruksi
merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya
yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sarana guna
menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Melalui sektor inilah,
1
2
secara fisik kemajuan pembangunan Indonesia dapat dilihat langsung dari
adanya keberadaan gedung-gedung yang tinggi, jembatan, infrastruktur seperti
jalan tol, sarana telekomunikasi, merupakan hal-hal aktual yang menandakan
denyut ekonomi Indonesia tengah berlangsung.1
Pada tahun 1999 pemerintah membuat peraturan perundang-undangan
mengenai jasa konstruksi, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi, diikuti dengan tiga Peraturan Pemerintah sebagai
peraturan pelaksanaanya, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000
tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi.
Melatarbelakangi lahirnya peraturan perundang-undangan tentang jasa
konstruksi tersebut adalah karena berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku selama ini belum berorientasi pada pengembangan jasa
konstruksi sesuai dengan karakteristiknya. Hal ini yang mengakibatkan kurang
berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara
optimal maupun bagi kepentingan masyarakat.2
1
Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Kontruksi & penyelesaian Sengketa Kontruksi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 226
2 Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2003, hlm. 91
3
Sebagai konsekwensi yuridis Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang jasa konstruksi, lahirlah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
(LPJK) yang berfungsi sebagai lembaga penentu dan mempunyai kompetensi
untuk melakukan akreditasi Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Jasa Konstruksi
yang selanjutnya menjadi dasar Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi Jasa
Konstruksi, dimana sebelumnya kewenangan ini adalah sepenuhnya
kewenangan pemerintah yang dikenal dengan Daftar Rekanan Mampu (DRM)
yang diterbitkan oleh Gubernur disetiap Provinsi dengan prosedur dan
persyaratan tertentu.3
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) adalah lembaga yang
didukung oleh pemerintah sebagai satu-satunya lembaga jasa konstruksi
sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi dalam Pasal 31 ayat (3), yang menyatakan:
“Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dalam pelaksanakan pengembangan jasa
konstruksi dilakuakan oleh suatu lembaga yang independen dan
mandiri”4
Hal ini dipertegas lagi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
KMA/416/VI/2002 Tanggal 25 Juni 2002, yang kemudian ditindaklanjuti
dalam Putusan Departemen Hukum dan HAM Nomor. I. 10-462 Tanggal 2
Oktober 2002, yang menetapkan:
3 Zahirman Zabir, Jasa Kontruksi Dalam Hukum Bisnis, Jakarta: Zahirman Zabir &
Associates Advocates & Legal Consultan, 2004, hlm. 4 4
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Kontruksi, Lembaran Negara R.I. Tahun 1999 Nomor 54, dan Tambahan Lembaran Negara
R.I. Nomor 3833
4
“Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai satu-
satunya lembaga jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999”.5
Sedangkan dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa:
(1) Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengikutsertakan
masyarakat Jasa Konstruksi.
(2) Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh
Menteri.
(3) Unsur pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diusulkan dari:
a. asosiasi perusahaan yang terakreditasi;
b. asosiasi profesi yang terakreditasi;
c. institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi kriteria;
dan
d. perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi kriteria.
(4) Selain unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengurus
lembaga dapat diusulkan dari asosiasi terkait rantai pasok
konstruksi yang terakreditasi.
(5) Pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat.
(6) Asosiasi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberikan oleh Menteri kepada yang memenuhi persyaratan:
a. jumlah dan sebaran anggota;
b. pemberdayaan kepada anggota;
c. pemilihan pengurus secara demokratis;
d. sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan
e. pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(7) Penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan oleh
lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dengan
anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber lain yang
sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan dalam
penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan
5 Website kppu.go.id;http://www.kppu.go.id/docs/positioning paper/konstruksi.pdf.
diakses tanggal 29 November 2016
5
negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(9) Ketentuan mengenai penyelenggaraan sebagian kewenangan
Pemerintah Pusat yang mengikutsertakan masyarakat Jasa
Konstruksi dan pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di bentuk dengan
tujuan untuk dapat membina dan mengembangkan kegiatan jasa konstruksi,
untuk mewujudkan tujuan pembentukan Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK) tersebut maka dibentuklah lembaga pengembangan jasa
konstruksi (LPJK) di setiap Daerah yang berkedudukan disetiap daerah yang
berkedudukan di ibukota Propinsi yang bersengketa. lembaga pengembangan
jasa konstruksi Daerah Propinsi yang disingkat menjadi LPJK Daerah disertai
nama Daerah yang bersangkutan.6
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yang memuat tentang bentuk kontrak
kerja yang berbunyi:
(1) Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup:
a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang
memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar
serta dapat dipahami.
b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil
Pelaksanaan pemilihan.
(2) Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen
penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan
kepada pengguna jasa.
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat
mengubah dakumen tersebut secara sepihak sampai dengan
penandatanganan kontrak kerja konstruksi.
6 Ketetapan Musyawarah Nasional LPJK tahun 2008 Nomor:
01/TAP/MUNASUSLPJK/II/2008 tentang Penetapan Dan Pengesahan Anggaran Dasar Dan
Anggaran Rumah Tangga LPJK, Jakarta: 2008, Pasal 3 Anggaran Rumah Tangga LPJK
6
(4) Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan suatu
kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan
kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi
dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Tugas LPJK sendiri diatur dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1999, menyatakan:
“Tugas Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah:
1. Melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa
konstruksi
2. Melakukan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi
3. Melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi
klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian
kerja.
4. Melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi
5. Mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai
ahli di bidang jasa konstruksi”9.
LPJK juga memberikan pelayanan jasa sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (1), (2) dan (2a) Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2010
yang menyatakan:
(1) Lingkup layanan jasa perencanaan pekerjaan konstruksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat terdiri dari:
a. Survey
b. Perencanaan umum, study makro dan study mikro
c. Study kelayakan proyek, industry dan produksi
d. Perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan
e. Penelitian
(2) Lingkup layanan jasa pengawasan pekerjaan kontruksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dapat terdiri dari
jasa:
a. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi
b. Pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu dalam
proses pekerjaan dan hasil pekerjaan konstruksi.
(3) Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
konstruksi dapat dilakukan secara terintegrasi.
Pembangunan yang dilakukan di Indonesia sudah dimulai sejak
sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu pada masa pemerintahan Belanda.
7
Pada saat itu perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi tidak begitu
banyak, hanya sekitar enam perusahaan dan merupakan anak perusahaan
dengan induknya berada di Netherland. Di samping keenam perusahaan
kontraktor Belanda tersebut ada juga beberapa Perusahaan kontraktor kecil
Indonesia yang berfungsi sebagai sub kontraktor dan pemasok.7
Setelah Indonesia merdeka, banyak tenaga bangsa Belanda seperti
tenaga teknik, profesor, guru, direktur perusahaan, dan arsitek, kembali ke
negaranya. Hal ini menyebabkan posisi ini harus diisi oleh orang Indonesia.
Pada periode ini terjadi ketidakstabilan perekonomian Indonesia, tidak tersedia
dana yang cukup untuk perkembangan, kecuali hanya untuk pekerjaan
rehabilitasi dengan bantuan asing.8
Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1965 dilakukanlah
pembenahan dalam program pembangunan maupun pelaksanaannya. Hal ini
dapat dimungkinkan karena adanya kestabilan di bidang politik, ekonomi dan
keuangan. Lembaga pemerintah mulai melaksanakan pembangunan yang
memberikan titik awal kebangkitan jasa konstruksi nasional. Jasa konstruksi
mempunyai peranan penting dan strategis, mengingat jasa konstruksi
menghasilkan produksi akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik
yang berupa sarana maupun prasarana yang berfungsi mendukung
pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi,
sosial, dan budaya untuk mewujudukan masyarakat adil dan makmur yang
merata secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-
7 Artikel yang berjudul “Jasa Konstruksi”, diakses di www.pu.go.id/satminkal/itjen/.../
uu_18_1999.pdf, pada tanggal 29 November 2016 8
Ibid, hlm. 2
8
Undang Dasar 1945. Selain berperan dalam mendukung berbagai bidang
pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan
berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam
penyelenggaran pekerjaan konstruksi.9
Dalam Pasal 1601 KUHPerdata dijelaskan mengenai perjanjian
pemborongan yang mana terdapat dua pihak, yaitu pihak pemborong dan
pihak yang memborongkan. Dalam hal ini, pihak pemborong atau yang
lazimnya disebut sebagai kontraktor adalah pihak yang mengikatkan dirinya
kepada pihak yang memborongkan pekerjaannya untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan yang diinginkan oleh pemilik pekerjaan/proyek. Pemborong
atau kontraktor bisa disamakan dengan orang atau suatu badan hukum atau
badan usaha yang mana mereka dikontrak atau di sewa untuk menjalankan
pekerjaan berdasarkan isi kontrak yang dimenangkannya dari pihak pemilik
pekerjaan. Sedangkan pihak yang memborongkan pekerjaannya adalah pihak
yang mengikatkan dirinya kepada si pemborong untuk dikerjakan
pekerjaannya yang mana pemilik pekerjaan ini berasal dari instansi/lembaga
pemerintahan, badan hukum, badan usaha, ataupun perorangan.10
Bidang usaha kontraktor sebenarnya sangat luas dan setiap kontraktor
memiliki fokus usaha dan spesialisasi di bidangnya masing-masing, salah
satunya kontraktor bidang konstruksi atau dikenal dengan istilah kontraktor
bangunan atau penyedia jasa konstruksi. Adapun perihal mengenai Jasa
9 Rizki Wahyu Sinatria Pianandita, “Penanganan Sengketa pada Kontrak Konstruksi yang
Berdimensi Publik (Tinjauan Hukum Atas Putusan BANI No.283/vii/ARB-BANI/2008)”, Tesis,
Sarjana Hukum, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 28 10
Artikel yang berjudul “Perbedaan Kontraktor dan Pemborong”, diakses di
www.cvemasnapropertindosentosa.blogspot.com pada tanggal 29 November 2016
9
konstruksi dan penyelenggaraannya diatur dalam Undang-undang No. 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun
2010 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yang sekarang telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Selain
itu, untuk pekerjaan konstruksi milik pemerintah secara umum diatur juga
dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang merupakan perubahan kedua dari Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.11
Dalam pelaksanaan jasa konstruksi yang bekerja sama dengan
instansi/lembaga pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) selaku pejabat yang akan bertanggung jawab atas
pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang akan dilakukan dengan penyedia jasa
konstruksi. Ada beberapa tahapan, yang pertama adalah dibuat rencana umum
pengadaan oleh pengguna anggaran, kemudian menetapkan PPK yang
nantinya akan menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan menyusun
rancangan kontrak yang disebut juga sebagai Kontrak Kerja Konstruksi.
Setelah dokumen tersebut selesai, PPK menyerahkannya kepada bagian
keuangan untuk disetujui terlebih dahulu, hal ini terkait dengan ketersediaan
anggaran. Apabila telah mendapat persetujuan, PPK menyerahkannya kepada
panitia Unit Layanan Pengadaan (ULP) untuk melakukan proses pelelangan
dan menetapkan pemenang lelang/tender. Setelah panitia ULP telah
mendapatkan pemenang lelang, panitia ULP menyerahkan kembali kepada
PPK untuk melaksanakan proses selanjutnya, yaitu penandatanganan kontrak
11
Ibid
10
kerja konstruksi dengan penyedia jasa konstruksi yang telah memenangkan
proses lelang.
Rancangan kontrak yang disusun oleh PPK meliputi Syarat-Syarat
Umum Kontrak (SSUK), pelaksanaan kontrak, penyelesaian kontrak,
adendum kontrak, pemutusan kontrak, hak dan kewajiban para pihak, personil
dan/atau peralatan penyedia, pembayaran kepada penyedia, pengawasan mutu,
serta Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK). Semua rancangan ini disusun
berdasarkan Peraturan Kepala LKPP No. 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Pepres No. 70 Tahun 2012 dan Peraturan LKPP No. 6 Tahun 2010
tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Kepala LKPP No. 2 Tahun 2011.
Pada umumnya perjanjian pengadaan barang/jasa yang dibuat dalam
bentuk kontrak kerja konstruksi menggunakan perjanjian baku yang mengikat
antar PPK dan penyedia jasa konstruksi. Klausula-klausula dalam kontrak
tersebut telah dirancang sebelumnya oleh PPK dengan berpedoman pada
Peraturan Kepala LKPP No. 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pepres
No. 70 Tahun 2012 dan Peraturan LKPP No. 6 Tahun 2010 tentang Standar
Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Kepala LKPP No. 2 Tahun 2011 tanpa melibatkan penyedia
jasa konstruksi. Penyedia jasa konstruksi yang telah memenangkan pelelangan
proyek harus menerima klausula-klausula yang telah disiapkan oleh PPK.
Apa yang terkandung dalam kontrak pemerintah pada dasarnya adalah
kemauan sepihak dari pemerintah. Syarat-syarat dalam kontrak telah disiapkan
11
oleh pemerintah melalui perancang yang terampil dan berpengalaman. Pihak
kontraktor atau pemasok hanya mempunyai dua pilihan, setuju atau tidak
setuju. Sama sekali tertutup kemungkinan melakukan penawaran balik.
Kontrak baku yang secara luas digunakan dalam praktek kontrak pemerintah
dengan demikian hanya menyisakan sedikit hak bagi kontraktor, selebihnya
adalah kewajiban yang harus dipatuhi.12
Kontrak baku tersebut menghilangkan hak dari pihak penyedia jasa
konstruksi untuk mengadakan negosiasi pada saat pembentukan kontrak,
sehingga posisi para pihak tidak seimbang. Pihak Penyedia Jasa hanya dapat
memilih antara dua, menerima atau menolak kontrak kerja konstruksi yang
telah dirumuskan oleh PPK terlebih dahulu. Apabila pihak penyedia jasa
konstruksi bersedia menerima kontrak, maka mereka harus menandatangani
kontrak kerja konstruksi itu.
Ketidakseimbangan antara jumlah pekerjaan konstruksi/proyek dan
banyaknya penyedia jasa konstruksi mengakibatkan posisi tawar penyedia jasa
konstruksi menjadi lemah. Banyaknya jumlah Penyedia Jasa Konstruksi
membuat PPK leluasa melakukan pilihan. Adanya kekhawatiran tidak
mendapatkan pekerjaan yang ditenderkan oleh pemilik proyek menyebabkan
penyedia jasa konstruksi mau saja menerima kontrak kerja konstruksi yang
dibuat oleh PPK.
Sebenarnya dalam kontrak kerja kontruksi diberikan kesempatan
kepada pihak penyedia jasa kontruksi untuk melakukan perubahan dalam
12
Yohannes S. Simamora., Hukum Kontrak (Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah di Indonesia), Surabaya: Laksbang Justitia Surabaya, 2006, hlm. 64
12
kontraknya. Hanya saja, perubahan ini dimungkinkan dalam hal-hal tertentu
saja, misalnya cara pembayaran atau jangka waktu penyelesaian pekerjaan,
itupun apabila hal tersebut cukup memungkinkan karena akan kembali
mempertimbangkan kondisi lapangan, apakah memang diperlukan perubahan
jangka waktu penyelesaian pekerjaan.
Adanya kontrak baku ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
dalam kontrak kerja konstruksi tersebut karena ada beberapa klausula yang
dianggap dapat merugikan pihak penyedia jasa konstruksi, salah satunya
masalah pemenuhan prestasi. Pada dasarnya masih ada beberapa hal dalam
klausula-klausula tersebut yang harus betul-betul ditegaskan. Banyak kasus
yang terjadi, dimana penyedia jasa konstruksi dituntut oleh pengguna jasa
karena melakukan wanprestasi. Padahal pada kenyataannya tidak hanya
penyedia jasa konstruksi yang memungkinkan melakukan wanprestasi dalam
pelaksanaan pekerjaannya, bahkan pihak pengguna jasa konstruksi pun tidak
jarang melakukan wanprestasi, misalnya dalam hal keterlambatan pembayaran
prestasi yang telah dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi secara tepat
waktu dan tanpa cacat sedikitpun.
Misalnya ketika penyedia jasa melakukan wanprestasi dalam hal
keterlambatan penyelesaian pekerjaan, maka penyedia jasa akan dikenakan
denda yang mana denda tersebut akan secara otomatis dipotong atau diambil
dari angsuran pembayaran pekerjaan penyedia. Sedangkan yang terjadi
sebaliknya, yaitu apabila pihak PPK selaku pengguna jasa yang terlambat
melakukan pembayaran prestasi terhadap penyedia, pihak penyedia jasa harus
terlebih dahulu mengajukan tagihan disertai perhitungan dan data-data.
13
Namun, pada kenyataannya yang terjadi selama ini adalah belum pernah ada
pihak dari penyedia jasa yang berani menggugat hal tersebut dengan
mengajukan tagihan kepada pihak PPK dikarenakan mereka khawatir hal
tersebut akan berpengaruh ataupun dijadikan sebagai suatu penilaian untuk
mendapatkan dan mengerjakan suatu proyek kedepannya.
Selain itu, terkadang pihak penyedia jasa konstruksi terlambat
menerima pembayaran berdasarkan tahapan penyelesaian pekerjaannya
(termijn) dari pemerintah selaku pengguna jasa dengan alasan sedang tidak
ada dana di kas daerah. Dengan adanya keterlambatan pembayaran ini, tentu
akan mempengaruhi kinerja dari penyedia jasa konstruksi, misalnya dalam hal
waktu penyelesaian pekerjaan yang sedang dikerjakan juga akan ikut
mengalami keterlambatan. Tetapi di satu sisi, ketika penyedia jasa
konstruksinya terlambat menyelesaikan pekerjaannya, penyedia jasa
konstruksi tersebut tetap dikenakan denda keterlambatan, padahal
keterlambatan ini juga terjadi dikarenakan adanya keterlambatan pembayaran
termijn dari pihak pemerintah.
Dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan dikenal dengan istilah
kontrak.”Kontrak disini dikatakan bahwa suatu perjanjian (tertulis) di antara
dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan (hak) dan kewajiban untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. Ciri kontrak yang utama
adalah bahwa dia merupakan suatu tulisan yang memuat perjanjian para pihak,
lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat, serta yang berfungsi
sebagai alat bukti apa adanya (seperangkat) kewajiban.13
13 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta: Penerbit PT
Grasindo, 2001, hlm. 6
14
Selain itu ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah
adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan
bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak,
tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain.
Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah dibuat tanpa
adanya kesepakatan bersama. Dalam kontrak yang baik akan diatur
mekanisme yang efektif dan alat yang ampuh untuk menghadapi dan
mengendalikan berbagai permasalahan dan kesulitan dalam proses
pelaksanaan kegiatan proyek, sehingga terdapat perlindungan terhadap risiko.
Proyek ini yang memberikan tugas yaitu Pemerintah Daerah. Bentuk
mekanisme untuk pemilik, antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Jaminan pelaksanaan (performance bond)
2. Garansi dan pertanggungan (warranty)
3. Pembayaran berdasarkan kemajuan pekerjaan (progress payment)
4. Hak untuk mengadakan inspeksi dan testing
5. Hak mendapatkan laporan berkala
6. Hak melaksanakan penjaminan mutu (quality control).
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan fisik yang berwujud gedung-
gedung pemerintah, jalan raya, pasar, dan sebagainya, pemerintah pada
umumnya tidak mengerjakan sendiri, pemilik proyek biasanya melimpahkan
pekerjaan bangunan tersebut kepada perusahaan jasa kontruksi yang
melibatkan rekanan pemborong atau kontraktor bangunan, konsultan proyek
yang semuanya banyak berperan dalam pembangunan.
15
Ketentuan khusus untuk kontrak Jasa Konsultansi. Dimana
kewenangan anggota konsultan (penyedia jasa) adalah ketentuan yang
mengatur mengenai apabila penyedia jasa yaitu sebuah joint venture yang
beranggotakan lebih dari sebuah penyedia jasa, anggota joint venture tersebut
memberi kuasa kepada salah satu anggota joint venture untuk bertindak dan
mewakili hak-hak dan kewajiban anggota penyedia jasa lainnya terhadap
pengguna jasa.14
Dalam usaha untuk mendapatkan suatu kontrak kontruksi, kontraktor
harus mengikuti tender atau mengajukan penawaran harga kepada owner.
Kontraktor harus menentukan besar mark-up optimum yang tetap akan
memberinya keuntungan tetapi dengan harga akhir yang lebih rendah dari
pesaing lain. Dijelaskan bahwa kontraktor adalah perusahaan-perusahaan yang
bersifat perorangan yang berbadan hukum yang bergerak dalam bidang
pemborongan bangunan. Implikasi/penyimpangan yang sering dilakukan oleh
kontraktor di lapangan:
1. Kontraktor tidak mau melaksanakan pekerjaan tertentu karena item
pekerjaan tidak tercantum dalam Bill of Quantity
2. Kontraktor mengajukan perhitungan perubahan pekerjaan mengacu kepada
volume Bill of Quantity yang ada.
3. Kontraktor melaksanakan pekerjaan di lapangan sesuai volume yang
tercantum dalam BQ.
14
Herry Kamaroesid, Tata Cara Penyusunan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2009, hlm. 17
16
Kontrak dalam proyek konstruksi dikenal sebagai kontrak engineering.
Suatu kontrak adalah dokumen yang memuat persetujuan bersama secara
sukarela, yang mempunyai kekuatan hukum, di mana pihak pertama berjanji
untuk memberikan jasa dan menyediakan material untuk membangun proyek
bagi pihak kedua, sedangkan pihak kedua berjanji akan membayar sejumlah
uang sebagai imbalan untuk jasa dan material yang telah disediakan oleh pihak
pertama. Setiap kontrak harus bersikap adil untuk kedua belah pihak, dan tidak
bermaksud untuk mengambil keuntungan secara sepihak dengan merugikan
orang lain.
Penyelesaian kasus-kasus kegagalan produk konstruksi sering berakhir
dengan suatu ketidakjelasan siapa yang harus bertanggung jawab. Setiap pihak
yang terlibat akan selalu berusaha menghindar dari setiap tanggung jawab. Hal
ini merupakan konsekuensi logis sifat unik proyek konstruksi yang melibatkan
banyak pihak yang bekerja sesuai keahliannya dengan berbagai peran dan
tanggung jawab. Yang pasti bahwa setiap pihak yang terlibat memberikan
konstribusi terhadap pencapaian kinerja produk yang berarti mempunyai
kemungkinan untuk memberi konstribusi terhadap kegagalan bangunan.
Kegagalan bangunan tidak hanya sebatas merugikan pemilik, namun
mempunyai konsekuensi lain seperti perselisihan yang dapat menambah
biaya-biaya dan waktu yang seharusnya tidak perlu. Tuntutan Undang-Undang
No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi yang mensyaratkan kegagalan bangunan
dimasukkan ke dalam kontrak adalah salah satu kemajuan dalam sistem
17
penyelenggaraan konstruksi nasional khususnya untuk memenuhi asas
keadilan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu menyimpan potensi
masalah yang kompleks jika ketersediaan perangkat pendukung bagi
penerapan undang-undang tersebut, khususnya yang berhubungan dengan
masalah kegagalan bangunan tidak segera dipenuhi. Kebutuhan yang berkaitan
dengan sistem penjaminan produk konstruksi yang sesuai dengan
pertumbuhan jasa konstruksi nasional dan kondisi-kondisi sosial budaya
masyarakat di tanah air merupakan hal yang harus dipikirkan dan
dikembangkan untuk memberi dukungan terhadap penerapan undang-undang
tersebut.
Kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi dapat disebabkan oleh
faktor teknis maupun faktor non teknis. Faktor teknis karena adanya
penyimpangan proses pelaksanaan yang tidak memenuhi spesifikasi teknis
yang disepakati dalam kontrak, sedangkan faktor non teknis lebih disebabkan
karena proses pra kontrak (Bidding) maupun tidak kompetennya Badan Usaha,
tenaga kerja, tidak profesionalnya tata kelola manajerial antara pihak-pihak
yang terlibat dalam proyek konstruksi serta lemahnya pengawasan/supervisi.
Kontrol mutu atau pengawasan/supervisi pada saat proses konstruksi sering
kali tidak efektif. Kegagalan konstruksi dapat diketahui setelah proses
konstruksi selesai atau bahkan pada proses perawatan. Apabila deteksi
kegagalan konstruksi terlambat, hal ini akan mengakibatkan penambahan
biaya untuk pekerjaan perbaikan sebesar 6-12% dari biaya konstruksi dan 5%
untuk biaya perawatan. Kegagalan konstruksi hampir 20-40% terjadi dalam
18
tahap proses pelaksanaan dan kegagalan tersebut 54% diakibatkan oleh tenaga
kerja yang tidak terampil dan selebihnya 12% diakibatkan oleh mutu material.
Surat Perjanjian atau Kontrak membagi risiko secara adil sedemikian rupa,
sehingga para pihak bersepakat. Kontrak merupakan proses distribusi risiko
dari Owner/pihak pengguna jasa ke pihak penyedia jasa. Kontrak harus
dipahami dan disadari oleh para pihak agar tidak terjadi permasalahan di
kemudian hari.
Tujuan proyek terdapat 4 target, yaitu biaya ekonomis, kualitas
terpenuhi, waktu tak terlampui dan keselamatan kerja terpenuhi. Apabila salah
satu tujuan proyek tak terpenuhi maka dapat diartikan bahwa proyek tersebut
mengalami kegagalan. Kegagalan konstruksi maupun kegagalan bangunan
merupakan proses panjang dari suatu proses pelaksanaan pekerjaan yang
dilakukan oleh kontraktor karena tidak sesuai dengan kontrak, khususnya RKS
dan Gambar Rencana yang telah ditetapkan. Kegagalan konstruksi dan
kegagalan bangunan disebabkan oleh indikator kinerja proyek yang tidak
tercapai. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas akan dikaji “Rekonstruksi
Jasa Konstruksi Pembangunan Fisik Yang berbasis mutuPelayanan Publik
Berbasis Nilai Keadilan”, diharapkan hasil dari kajian ini dapat memberikan
kontribusi pengetahuan kepada penyelesaian permasalahan di industri
konstruksi.
Akibat kegagalan konstruksi yang dapat menyebabkan tidak berfungsi
baik secara keseluruhan maupun sebagian, sehingga masyarakat tidak dapat
memanfaatkan hasil pembangunan secara maksimal, sehingga hal tersebut
19
mengakibatkan terganggunya pelayanan publik terhadap jasa konstruksi
pembangunan fisik.
Kualitas pelayanan pada sektor publik saat ini menjadi kata kunci
untuk membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Menurut Gaster15
ada tiga argumen bagi pemerintah untuk mempromosikan
kebijakan kualitas dalam pelayanan publiknya. Pertama, kebijakan kualitas
menguat di pemerintahan lokal disebabkan adanya desakan dari eksternal.
Kedua, kebijakan kualitas akan memberikan kontribusi terhadap popularitas
dan keberlangsungan dari pemerintah lokal. Ketiga, Kebijakan kualitas dapat
membawa pemerintah lokal dan masyarakatnya lebih dekat dan fokus pada
konsumen atau citizen sehingga menjadi baseline bagi pelayanan publik dan
nilai-nilai demokratik.
Secara definitif, kualitas pelayanan dimaknai sebagai fitness for
purpose atau fitness use dengan tujuan untuk mempertemukan kenyataan dan
harapan dari konsumen. Haywood-Farmer16
berpendapat bahwa organisasi
pelayanan mempunyai kualitas yang tinggi (high quality), jika ia dapat
mempertemukan preferensi dan harapan konsumen secara konsisten. Elemen
kunci dalam mencapai hasil dari kualitas pelayanan adalah dengan
mengidentifikasi segala sesuatu yang memenuhi persyaratan yang disesuaikan
dengan harapan konsumen. Untuk mampu mencapai kualitas pelayanan yang
tinggi, maka ada tiga atribut dasar yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama,
15 Lucy Gaster, “Quality Service in Local Government: a Bottom-up Approach”. Journal
of Management Development, Vol. 15, No. 2, 1996, hlm. 80-96 16
Abby Ghobadian, “Service Quality: Concepts and Models”. International Journal of
Quality & Reliability Management, Vol. 11, No. 9; 1993, hlm. 43-66
20
fasilitas fisik, proses, dan prosedur pelayanan. Kedua, tingkah laku birokrat
yang ramah dan komunikatif. Ketiga, pertimbangan profesionalisme dalam
memberikan pelayanan.
Menurut Ghobadian,17
ada beberapa tantangan yang muncul dalam
upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, yaitu; lack of visibility,
difficulties in assigning specific accountability, time requered to improve
service quality, and delivery uncertinties. Untuk mengatasi tantangan ini,
maka pemerintah perlu melakukan upaya peningkatan pelayanan publik
dengan memfokuskan diri pada konsumen, memberdayakan front line staff,
melatih dan memberikan motivasi pada staf, serta mempunyai visi yang jelas
tentang kualitas.
Di Indonesia, dengan adanya model demokrasi saat ini telah terjadi
perubahan kualitas pelayanan publik. Pemerintah daerah sebagai representasi
masyarakatnya, secara otonom dapat melayani secara langsung kebutuhan
masyarakatnya. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat,
Pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan perubahan yang menyangkut
responsibilitas personal, isu-isu kualitas, orientasi pada pengguna, orientasi
pada hasil layanan, menjalankan mekanisme pasar, orientasi ke budaya inovasi
dan diversifikasi.18
Mengenai tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan jasa
konstruksi, menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa:
17
Ibid, hlm. 46-47 18
Bambang Supriyono, “Peranan Pemerintahan Daerah dalam Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik”. Jurnal Ilmu Administrasi Publik, Vol.II, No. 2, Maret-Agustus 2002
21
(1) Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas:
a. meningkatnya kemampuan dan kapasitas usaha Jasa Konstruksi
nasional;
b. terciptanya iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa
Konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat, serta
jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa
dan Penyedia Jasa;
c. terselenggaranya Jasa Konstruksi yang sesuai dengan Standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan;
d. meningkatnya kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas
tenaga kerja konstruksi nasional;
e. meningkatnya kualitas penggunaan material dan peralatan
konstruksi serta teknologi konstruksi dalam negeri;
f. meningkatnya partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi; dan
g. tersedianya sistem informasi Jasa Konstruksi.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri, berkoordinasi dengan menteri teknis
terkait.
Yang berbasis mutu pelayanan publik, Pasal 5 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2017 tentang Jasa Kontruksi memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Pusat, yaitu:
(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
a. mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi;
b. mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa Konstruksi;
c. menyelenggarakan registrasi badan usaha Jasa Konstruksi;
d. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi perusahaan Jasa
Konstruksi dan asosiasi yang terkait dengan rantai pasok Jasa
Konstruksi;
e. menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga yang
melaksanakan sertifikasi badan usaha;
f. mengembangkan sistem rantai pasok Jasa Konstruksi;
g. mengembangkan sistem permodalan dan sistem penjaminan
usaha Jasa Konstruksi;
h. memberikan dukungan dan pelindungan bagi pelaku usaha Jasa
Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa Konstruksi
internasional;
i. mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha Jasa
Konstruksi;
j. menyelenggarakan penerbitan izin perwakilan badan usaha
asing dan Izin Usaha dalam rangka penanaman modal asing;
22
k. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi
asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi besar;
l. menyelenggarakan pengembangan layanan usaha Jasa
Konstruksi;
m. mengumpulkan dan mengembangkan sistem informasi yang
terkait dengan pasar Jasa Konstruksi di negara yang potensial
untuk pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional;
n. mengembangkan sistem kemitraan antara usaha Jasa
Konstruksi nasional dan internasional;
o. menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam pasar Jasa
Konstruksi;
p. mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi nasional;
q. memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha Jasa
Konstruksi nasional yang mengakses pasar Jasa Konstruksi
internasional; dan
r. menyelenggarakan registrasi pengalaman badan usaha.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
a. mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin
kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa;
c. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa
penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar pengadilan; dan
d. mengembangkan sistem kinerja Penyedia Jasa dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
a. mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan,
dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan,
Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam
penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan
usaha Jasa Konstruksi;
c. menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan
d. menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi
Kegagalan Bangunan.
(4) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
a. mengembangkan standar kompetensi kerja dan pelatihan Jasa
Konstruksi;
b. memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja
konstruksi nasional;
c. menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi
strategis dan percontohan;
23
d. mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja
konstruksi;
e. menetapkan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja
konstruksi;
f. menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi,
pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja
konstruksi;
g. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi
bagi lembaga sertifikasi profesi;
h. menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi;
i. menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional tenaga
kerja konstruksi serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja
di bidang konstruksi;
j. menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja konstruksi asing;
dan
k. membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan
tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan
lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi
atau lembaga pendidikan dan pelatihan.
(5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf e, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
a. mengembangkan standar material dan peralatan konstruksi,
serta inovasi teknologi konstruksi;
b. mengembangkan skema kerja sama antara institusi penelitian
dan pengembangan dan seluruh pemangku kepentingan Jasa
Konstruksi;
c. menetapkan pengembangan teknologi prioritas;
d. memublikasikan material dan peralatan konstruksi serta
teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh pemangku
kepentingan, baik nasional maupun internasional;
e. menetapkan dan meningkatkan penggunaan standar mutu
material dan peralatan sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia;
f. melindungi kekayaan intelektual atas material dan peralatan
konstruksi serta teknologi konstruksi hasil penelitian dan
pengembangan dalam negeri; dan
g. membangun sistem rantai pasok material, peralatan, dan
teknologi konstruksi.
(6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf f, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
a. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan
bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan Jasa
Konstruksi;
b. meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa
Konstruksi;
c. memfasilitasi penyelenggaraan forum Jasa Konstruksi sebagai
media aspirasi masyarakat Jasa Konstruksi;
24
d. memberikan dukungan pembiayaan terhadap penyelenggaraan
Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan
e. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan
bertanggung jawab dalam Usaha Penyediaan Bangunan.
(7) Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf
d dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan
negara.
(8) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf g, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
a. mengembangkan sistem informasi Jasa Konstruksi nasional;
dan
b. mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi nasional
dan internasional.
Sedangkan untuk kewenangan Pemerintah Daerah baik Provinsi
maupun Kabupaten Kota diatur dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Jasa Konstuksi, yaitu:
Pasal 7
Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi pada sub-urusan Jasa
Konstruksi meliputi:
a. penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi; dan
b. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah
provinsi
Pasal 8
Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota pada suburusan Jasa
Konstruksi meliputi:
a. penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi;
b. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah
kabupaten/kota;
c. penerbitan Izin Usaha nasional kualifikasi kecil, menengah, dan
besar; dan
d. pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan tertib
pemanfaatan Jasa Konstruksi.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut guna penyusunan Disertasi dimana fokus pelaku tindak
pidana adalah orang dewasa dengan mengambil judul: “REKONSTRUKSI
25
HUKUM JASA KONSTRUKSI PEMBANGUNAN FISIK YANG
BERBASIS MUTU PELAYANAN PUBLIK”.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah sebagai mana yang
dijelaskan di atas, maka permasalahan yang muncul yang perlu diteliti adalah
sebagai berikut:
1. Apakah pelaksanaan konstruksi pembangunan fisik sudah berjalan secara
optimal?
2. Faktor-faktor yang menyebabkan perlu adanya rekonstruksi hukum
terhadap pelaksanaan jasa konstruksi pembangunan fisik yang berbasis
mutu pelayanan publik?
3. Bagaimanakah rekonstruksi hukum jasa konstruksi pelaksanaan
pembangunan fisik yang berbasis mutu pelayanan publik?
C. TUJUAN PENELITIAN DISERTASI
Berdasarkan fokus studi dan permasalahan dalam penelitian ini, maka
tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah untuk :
1. Untuk menganalisis pelaksanaan konstruksi pembangunan fisik sudah
berjalan secara optimal.
2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan perlu adanya
rekonstruksi hukum terhadap pelaksanaan jasa konstruksi pembangunan
fisik yang berbasis mutu pelayanan publik.
26
3. Untuk menganalisis rekonstruksi hukum jasa konstruksi pelaksanaan pembangunan fisik yang berbasis mutu pelayanan publik .
D. KEGUNAAN PENELITIAN DISERTASI
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kontribusi teoritis berupa pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
pengembangan ilmu hukum tentang Undang-Undang Jasa Konstruksi,
serta diharapkan dapat menambah referensi bagi penelitian-penelitian
dimasa yang akan datang. Disamping itu, penelitian ini kiranya dapat
mendorong lebih banyak lagi penelitian-penelitian hukum yang selama ini
kurang mendapat perhatian dari kalangan akademisi maupun praktisi
hukum.
2. Kontribusi praktis dari penelitian ini diharapkan hasilnya dapat
memberikan masukan yang bersifat korektif dan evaluatif bagi pembaca
dalam upaya peningkatan mutu pembangunan fisik yang terjadi.
Disamping itu, hasil penelitian juga kiranya dapat menjadi masukan bagi
Pemerintah untuk menyusun langkah strategis mengenai
pertanggungjawaban yang ada pada kegiatan jasa konstruksi pembangunan
fisik.
E. KERANGKA PEMIKIRAN DISERTASI
Adapun yang dimaksud dengan rekonstruksi hukum pembangunan
oleh penulis dalam disertasi ini adalah merekonstruksi peraturan perundang-
27
undangan yang berlaku yang mengatur tentang hukum jasa konstruksi
pembangunan fisik yang tadinya menurut penulis belum mencerminkan nilai-
nilai keadilan menjadi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
hukum jasa konstruksi pembangunan yang berbasis mutupelayanan publik
yang berdasarkan nilai-nilai keadilaan. Hal ini karena peraturan perundang-
undangan yang berlaku termasuk Kompilasi Hukum Islam saat ini yang
mengatur tentang hukum jasa konstruksi pembangunan untuk meningkatkan
mutu pelayanan publik dirasa sudah tidak adil lagi, karena sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan saat ini, oleh karena itu perlu dilakukan
rekontruksi hukum sehingga dalam menyelesaian masalah peningkatan mutu
pelayanan publik dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan.
Kata rekonstruksi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
mengembalikan sebagai semula atau penyusunan (penggambaran) kembali.19
Kata rekontruksi berasal dari bahasa Inggris “Recontruction” yang berari
pengembalian seperti semula atau penyusunan (penggambaran) kembali.
Secara istilah rekontruksi adalah perumusan atau penyusunan kembali suatu
konsep dikembalikan kepada asalnya.20
Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan
konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana
disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan
sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa. (PP No. 29/2000
19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
kedua, Cetakan ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 829. 20
Lihat pengertian rekontruksi dalam http://www.artikata.com/arti-347397-
rekontruksi.php/ . diakses tgl tanggal 29 November 2016.
28
Pasal 31 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Kegagalan merupakan
akumulasi dari berbagai faktor. Oyfer menyatakan “construction defects” di
Amerika disebabkan oleh faktor manusia (54%), desain (17%), perawatan
(15%), material (12%), dan hal tak terduga (2%). Sementara itu, penyebab
potensial untuk kegagalan konstruksi secara umum disebabkan oleh: site
selection and site developments errors, programing deficienciess, construction
errors, material deficienciesand perational errors. Di samping faktor
penyebab kegagalan konstruksi dimana terkait fase fase proses pelaksanaan
konstruksi (life cycle product) faktor alam juga merupakan salah satu
penyebab kegagalan konstruksi yang paling sulit diperkirakan. Hal ini
dikarenakan data atau rekaman tentang perilaku yang tersedia tidak akurat
atau karakter dari alam yang sekarang kecenderungannya bukan merupakan
akibat tunggal, tetapi merupakan akibat dari resultante kesalahan-kesalahan
(multiple sources) yang dibuat masing masing pihak yang terlibat dalam
proyek konstruksi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
penyebab kegagalan konstruksi merupakan resultante kesalahan-kesalahan
(multiple sources) yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek
konstruksi baik yang bersifat teknis maupun non teknis.
Pada Pasal 11 Undang-Undang RI No. 18 Tahun 1999 dijelaskan
tentang tanggung jawab dari perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan
pengawas konstruksi terhadap hasil pekerjaannya. Tanggung jawab tersebut
dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah keilmuan, kepatuhan, dan
kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap
29
mengutamakan kepentingan umum. Tanggung jawab dapat ditempuh melalui
mekanisme pertanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yaitu:
1. Pasal 26 Undang-Undang RI No. 18 Tahun 1999 dipaparkan mengenai
ketentuan kegagalan bangunan sebagai berikut:
a. Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan
perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut menimbulkan
kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi
wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan
ganti rugi.
b. Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan
pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian
bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab
sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.
2. Bab V bagian ketiga tentang penilaian kegagalan pembangungn Pasal 36
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
a. Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih
penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya serta
bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif,
yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak
diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan.
b. Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih, dan
disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa.
30
c. Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila
kegagalan bangunan mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan
gangguan pada keselamatan umum, termasuk memberikan pendapat
dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang
dibentuk dan disepakati oleh para pihak.
3. Pasal 63 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
Penyedia Jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) yang disebabkan kesalahan
Penyedia Jasa.
4. Sanksi atau hukuman mengenai kegagalan bangunan ini dapat ditinjau dari
Undang-Undang RI No. 18 Tahun 1999 dalam Pasal 43.
a. Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang
tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan
pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling
lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
b. Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah
ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau
kegagalan bangunan dikenakan pidaba paling lama 5 (lima) tahun
penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari
nilai kontrak.
c. Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan
konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain
31
yang melaksanakan pekrjaan konstruksi melakukan penyimpangan
terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan
pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling
lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
5. Sanksi menurut Pasal 98 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi, dinyatakan bahwa Penyedia Jasa yang tidak memenuhi
kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki Kegagalan Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e. pembekuan izin; dan/atau
f. pencabutan izin.
Berikut disajikan alur kerangka pemikiran dari disertasi ini yang
tergambar di bawah ini.
32
KERANGKA UMUM / ALUR PIKIR PENELITIAN DISERTASI
SISTEM
HUKU
M
BARAT
SISTEM
HUKUM
ADAT/ISLAM
STUDI
HUKU
M
KRITIS
HUKUM
PIDANA
MATERIIL
SISTEM
PERADILAN
PIDANA
HUKUM
PIDANA
FORMIL
PENDEKATAN
YURIDIS
EMPIRIS
JASA KONSTRUKSI
PEMBANGUNAN
FISIK
MUTU PELAYANAN
PUBLIK
MUTU PELAYANAN
PUBLIK
KEADILAN
HUKUM
MASY
REKONSTRUKSI HUKUM JASA
KONSTRUKSI PEMBANGUNAN
FISIK YANG BERBASIS
MUTUPELAYANAN PUBLIK
KEADILAN
HUKUM
MASY
PRAKTIS :
Memberikan masukan
yang bersifat korektif
dan evaluatif bagi
pembaca dalam upaya
peningkatan mutu
pembangunan fisik
yang terjadi.
Disamping itu, hasil
penelitian juga kiranya
dapat menjadi masukan
bagi Pemerintah untuk
menyusun langkah
strategis mengenai
pertanggungjawaban
yang ada pada kegiatan
jasa konstruksi
pembangunan fisik
KONTRIBUSI
TEORITIS : Pengembangan ilmu
pengetahuan,
khususnya
pengembangan ilmu hukum tentang Undang-
Undang Jasa
Konstruksi, serta diharapkan dapat
menambah referensi
bagi penelitian- penelitian dimasa yang
akan datang. Disamping
itu, penelitian ini kiranya dapat
mendorong lebih
banyak lagi penelitian- penelitian hukum yang
selama ini kurang
mendapat perhatian dari kalangan akademisi
maupun praktisi hukum
33
F. Kerangka Konseptual Disertasi
1. Pengertian Kebijakan Publik
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan
untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu
kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita
gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan
biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan
yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan
publik. Oleh karena itu, kita memerlukan batasan atau konsep kebijakan
publik yang lebih tepat.
Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa
yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy) dalam literatur
ilmu politik. Masing-masing definisi tersebut memberi penekanan yang
berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli
mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara di sisi yang lain,
pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya juga akan
menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan.
Misalnya, apakah kebijakan dilihat sebagai rangkaian keputusan yang
dibuat oleh pemerintah atau sebagai tindakan-tindakan yang dampaknya
dapat diramalkan.
Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh
Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik
34
dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya”.21
Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung
pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud
dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Batasan lain tentang
kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye22
yang mengatakan
bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Walaupun batasan yang diberikan
oleh Thomas R. Dye ini agak tepat, namun batasan ini tidak cukup
memberi pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan oleh
pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
pemerintah. Di samping itu, konsep ini bisa mencakup tindakan-tindakan
seperti pengangkatan pegawai baru atau pemberian lisensi. Suatu tindakan
yang sebenarnya berada di luar domain kebijakan publik.
Seorang pakar ilmu politik lain, Richard Rose23
menyarankan
bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang
sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi
mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan sendiri.
Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun definisi ini berguna karena
kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan, dan bukan sekedar
suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Akhirnya marilah kita
mendiskusikan definisi yang diberikan oleh Carl Friedrich. Ia memandang
21 Robert Eyestone, The Threads of Policy: A Study in Policy Leadership, Indianapolis:
Bobbs Merril, 1971, hlm. 18 22
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliff, 1975, hlm. 1
23 Richard Rose, Policy Making in Great Britain, London: Mac Millan, 1969, hlm. 79
35
kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang
memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam
rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau
suatu maksud tertentu. Definisi yang diberikan oleh Carl Friedrich ini
menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami
sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh
kelompok maupun oleh individu. Selain itu, gagasan bahwa kebijakan
mencakup perilaku yang mempunyai maksud layak mendapatkan
perhatian dan sekaligus harus dilihat sebagai bagian definisi kebijakan
publik yang penting, sekalipun maksud atau tujuan dari tindakan-tindakan
pemerintah yang dikemukakan dalam definisi ini mungkin tidak selalu
mudah dipahami.
Namun demikian, satu hal yang harus diingat dalam
mendefinisikan kebijakan adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap
harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan
daripada apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan
tertentu. Hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang
mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga definisi
kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi
kurang memadai. Oleh karena itu, definisi mengenai kebijakan publik akan
lebih tepat bila definisi tersebut mencakup pula arah tindakan atau apa
36
yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan.
Berdasarkan pada pertimbangan seperti ini, maka definisi kebijakan publik
yang ditawarkan James Anderson lebih tepat dibandingkan dengan
definisi-definisi kebijakan publik yang lain. Menurut James E. Anderson24
kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu
masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena
memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan
pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga
membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara
berbagai alternatif yang ada.
Sementara itu, Amir Santoso25
dengan mengkomparasi berbagai
definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh minat dalam
bidang kebijakan publik menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan
mengenai kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori.
Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan
tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung
menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai
kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir Santoso berangkat dari
para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan.
24 James E. Anderson, Public Policy Making, New York: Holt, Rienhart and Winston,
1979, hlm. 4 25
Amir Santoso, Analisis Kebijakan Publik: Suatu Pengantar, Jurnal Ilmu Politik 3,
Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 4-5
37
Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi ke dalam dua
kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-
keputusan pemeirntah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud
tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki
akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam
kubu yang pertama melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungan,
yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan
kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat
dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah serangkaian instruksi
dari pada pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang
menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.26
Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari
rangkaian keputusan dan tindakan. Kubu kedua ini diwakili oleh Presman
dan Wildavsky yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu
hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal da akibat-akibat yang
bisa diramalkan.27
Tentu saja masih banyak kategori dan definisi yang dapat
dikemukakan menyangkut kebijakan publik. Masing-masing definisi
tersebut memuaskan untuk menjelaskan satu aspek namun besar
kemungkinan gagal dalam menjelaskan aspek yang lain. Oleh karena itu,
preposisi yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan
26
Ibid 27
Ibid
38
yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-
pejabat pemerintah harus mendapat perhatian sebaik-baiknya agar kita bisa
membedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain,
seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Kebijakan
tersebut akan dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan
pemerintah, seperti misalnya kelompok-kelompok penekan maupun
kelompok-kelompok kepentingan.
Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian
menjadi ciri khusus dari kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh David
Easton28
sebagai penguasa dalam suatu sistem politik yaitu para sesepuh
tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif,
administrator, penasihat, raja, dan semacamnya. Menurut Easton, mereka
ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam
suatu sistem politik, diakui oleh sebagian terbesar anggota sistem politik,
mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil
tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang
panjang oleh sebagian terbesar anggota sistem politik selama mereka
bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan.
Menurut Anderson,29
konsep kebijakan publik ini kemudian
mempunyai beberapa implikasi, yakni, pertama, titik perhatian kita dalam
membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan
28
James F. Anderson, 1979, Op. Cit, hlm.
3 29
Ibid, hlm. 3-4
39
bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam
sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan
direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kedua,
kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-
pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang
tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk
menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-
keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa
yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan,
mengendalikan inflasi atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan
apa yang diinginkan oleh pemerintah. JIka lembaga legislatif menetapkan
undang-undang tersebut sehingga tidak ada perubahan yang timbul dalam
perilaku ekonomi, maka hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan publik
mengenai kasus ini sebenarnya merupakan salah satu dari nonregulasi
upah. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat
positif atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk
tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah
tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan
oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan
dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang
memerlukan keterlibatan pemerintah.
Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk
tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun
40
khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai
konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-
kelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik
didasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif. Anggota-anggota
masyarakat menerima secara sah bahwa pajak harus dibayar dan undang-
undang perkawinan harus dipatuhi. Pelanggaran terhadap kebijakan ini
berarti menghadapi risiko denda, hukuman kurungan atau dikenakan
secara sah oleh sanksi-sanksi lainnya. Dengan demikian, kebijakan publik
mempunyai sifat “paksaan” yang secara potensial sah dilakukan. Sifat
memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang diambil oleh organisasi-
organisasi swasta, hal ini berarti bahwa kebijakan publik menurut ketaatan
yang luas dari masyarakat. Sifat yang terakhir inilah yang membedakan
kebijakan publik dengan kebijakan lainnya.
2. Implementasi Kebijakan Publik
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy
makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam
implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok
atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya
policy makers untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar
bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.
Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik
diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut
41
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang
membawa dampak pada warga negaranya. Dalam literatur administrasi
negara klasik, politik dan administrasi dipisahkan. Politik, menurut Frank
Goodnow yang menulis pada tahun 1900, berhubungan dengan penetapan
kebijakan yang akan dilakukan oleh negara. Ini berhubungan dengan nilai
keadilan dan penentuan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan
oleh pemerintah. Sedangkan administrasi, di pihak lain, berhubungan
dengan implementasi apa yang akan dilakukan oleh negara. Administrasi
berhubungan dengan pertanyaan fakta, bukan yang seharusnya.
Konsekuensi dari pendapat di atas, administrasi memfokuskan perhatian
pada mencari cara yang efisien, one best way untuk mengimplementasikan
kebijakan publik.30
Namun, dalam praktik badan-badan pemerintah sering menghadapi
pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari undang-undang yang terlalu
makro dan mendua (ambiguous), sehingga memaksa mereka untuk
membuat diskresi, untuk memutus apa yang seharusnya dilakukan dan apa
yang seharusnya tidak dilakukan.
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk
memengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats”
untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran
(target group). Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya
melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementator, misalnya
30
Ibid, hlm. 23-24
42
kebijakan komite sekolah untuk mengubah metode pengajaran guru di
kelas. Sebaliknya, untuk kebijakan makro, misalnya kebijakan
pengurangan kemiskinan di pedesaan, maka usaha-usaha implementasi
akan melibatkan berbagai institusi, seperti birokrasi kabupaten, kecamatan,
pemerintah desa. Mengenai keterlibatan berbagai aktor dalam
implementasi, Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin menulis sebagai
berikut:
Implementation process involve many important actors holding
diffuse and competing goals and expectations who work within a
contexts of an increasingly large and complex mix of government
programs that require participation from numerous layers and
units of government and who are affected by powerfull factors
beyond their control.31
Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh
banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan
proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks,
baik variabel yang individual maupun variabel organisasional dan masing-
masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak
variabel atau faktor dan masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama lain. Untuk memperkaya pemahaman kita tentang
berbagai variabel yang terlibat di dalam implementasi, maka akan
dielaborasi beberapa teori implementasi, seperti dari George C. Edwards
III (1980), Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel A. Mazmanian dan Paul
31 Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin, Bureaucracy and Policy Implementation,
Homewood Illinois: The Dorsey Press, 1986, hlm. 11
43
A. Sabatier (1983), Van Meter dan Van Horn (1975) dan Cheema dan
Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999).32
a. Teori George C. Edwards III (1980)
Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat variabel, yakni (1) komunikasi, (2)
sumberdaya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi. Keempat variabel
tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.
1) Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang
menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada
kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi
distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan
tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok
sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok
sasaran. Keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di
Indonesia, sebagai contoh, salah satu penyebabnya adalah karena
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara
intensif melakukan sosialisasi tujuan dan manfaat program KB
terhadap pasangan usia subur (PUS) melalui berbagai media.
2) Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas
dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya
32
Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Konsep Teori dan Aplikasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 89
44
untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif.
Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni
kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumber daya
adalah faktor yang penting untuk implementasi kebijakan agar
efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas
menjadi dokumen saja.
3) Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan
dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki
sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan,
maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
Berbagai pengalaman pembangunan di negara-negara
Dunia Ketiga menunjukkan bahwa tingkat komitmen dan kejujuran
aparat rendah. Berbagai kasus korupsi yang muncul di negara-
negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia adalah contoh konkrit dari
rendahnya komitmen dan kejujuran aparat dalam
mengimplementasikan program-program pembangunan.
4) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
45
implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang
penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang
standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya
menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
b. Teori Merilee S. Grindle (1980)
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle33
dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of
policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).
Variabel isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauh mana kepentingan
kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2)
jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh,
masyarakat di wilayah slum areas lebih suka menerima program air
bersih atau perlistrikan daripada menerima program kredit sepeda
motor; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku
kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada
program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan beras
kepada kelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program
33
Merilee S. Grindle, Politics and policy Implementation in the Third World, Oxford:
Oxford University Press, 1980, hlm. 98
46
sudah tepat. Mislanya, ketika BKKBN memiliki program peningkatan
kesejahteraan keluarga dengan memberikan bantuan dana kepada
keluarga pra sejahtera, banyak orang menanyakan apakah letak
program ini sudah tepat berada di BKKBN; (5) apakah sebuah
kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6)
apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1)
seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh
para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2)
karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat
kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
c. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variabel
yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik
dari masalah (tractability of the problems); (2) karakteristik
kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure
implementation); (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables
affectiong implementation).
d. Teori Donald S. Van Mater dan Carl E. Van Horn (1975)
Menurut Meter dan Horn, ada lima variabel yang memengaruhi
kinerja implementasi, yakni (1) standar dan sasaran kebijakan; (2)
sumber daya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas;
(4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan
politik.
47
1) Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus
direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan
terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara
para agen implementasi.
2) Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya
baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber
daya non manusia (non human resources). Dalam berbagai kasus
program pemerintah, seperti Program Jaring Pengaman Sosial
(JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena
keterbatasan kualitas aparat pelaksana.
3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi
sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi
lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi
bagi keberhasilan suatu program.
4) Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen
pelaksana adalah mencakup struktur birokrask, norma-norma dan
pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya
itu akan memengaruhi implementasi suatu program.
5) Kondisi sosial, politik dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumber
daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan. Sejauh mana kelompok-kelompok
kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak;
48
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah
elite politik mendukung implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga
hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap
kebijakan yang akan memengaruhi kemauannya untuk
melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya
terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni
preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
e. Teori G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (1983)
Ada empat kelopok variabel yang dapat memengaruhi kinerja
dan dampak suatu program, yakni: (a) Kondisi lingkungan; (b)
hubungan antar organisasi; (c) sumber daya organisasi untuk
implementasi program; (d) karakteristik dan kemampuan agen
pelaksana.
f. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)
Dalam pandangan Weimer dan Vining ada tiga kelompok
variabel besar yang dapat memengaruhi keberhasilan implementasi
suatu program, yakni: (1) logika kebijakan; (2) lingkungan tempat
kebijakan dioperasikan, dan (3) kemampuan implementor kebijakan.
Logika dari suatu kebijakan. Ini dimaksudkan agar suatu
kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat
dukungan teoritis. Kita dapat berpikir bahwa logika dari suatu
kebijakan seperti halnya hubungan logis dari suatu hipotesis. Contoh:
49
kebijakan atau program dari pemerintah kabupaten untuk
meningkatkan mutu pelajaran scinence di Sekolah Menengah Tingkat
Atas (SMA) melalui pemberian bantuan dana. Kebijakan ini akan
berhasil apabila didukung hipotesis sebagai berikut: pertama, ada
SMU cukup berprestasi di kabupaten dan mau melamar untuk
menggunakan dana untuk program tersebut; kedua, ada proses seleksi
untuk memilih SMU yang ikut dijadikan sasaran program; ketiga, dana
yang telah dikucurkan benar-benar digunakan untuk tujuan yang telah
ditetapkan; keempat, hasil yang dicapai dapat dibuktikan secara valid,
dan kelima, dinas pendidikan kabupaten mampu mengenali bahwa
pengalaman yang telah berhasil dapat diterapkan di SMU lain. Ini
berarti bahwa isi dari suatu kebijkan atau program harus mencakup
berbagai aspek yang dapat memungkinkan kebijaksanaan atau program
tersebut dapat diimplementasikan pada tataran praktis.
Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan
memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Yang
dimaksud lingkungan ini mencakup lingkungan sosial, politik,
ekonomi, hankam dan fisik atau geografis. Suatu kebijakan dapat
berhasil diimplementasikan di suatu daerah tertentu, tetapi ternyata
gagal diimplementasikan di daerah lain, karena kondisi lingkungan
yang berbeda. Sebagai contoh, untuk saat ini belum semua Sekolah
Menengah Tingkat Pertama (SMP) dan SMU dapat
mengimplementasikan program “Kurikulum Berbasis Kompetensi”
50
sebagaimana dicanangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini
disebabkan kondisi sekolah yang sangat bervariasi.
Kemampuan implementor. Keberhasilan suatu kebijakan dapat
dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan ketrampilan dari para
implementor kebijakan. Untuk kasus implementasi program kurikulum
berbasis kompetensi di SMP dan SMU, maka kualitas, komitmen dan
jumlah guru yang memadai memberikan sumbangan yang signifikan
bagi keberhasilan program tersebut, karena merekalah implementor
dari program tersebut.
Permasalahan implementasi kebijakan atau program tidak
sesederhana yang dibayangkan oleh berbagai pihak, bahkan untuk
keperluan studi kebijakan terutama sebagai bahan analisis ataupun
evaluasi terhadap proses formulasi hingga implementasi program
sungguh merupakan aktifitas ilmiah yang sangat berat dan
’melelahkan’, sehingga tingkat kesulitannyapun sangat tinggi dan
kompleks, kiranya tidak berlebihan bila Budi Winarno34
mengatakan
bahwa dalam studi kebijakan, kompleksitas kebijakan terletak pada
proses implementasi itu sendiri. Masalah-masalah implementasi sangat
kompleks dan para sarjana seringkali dihambat oleh pertimbangan-
pertimbangan metodologi. Bila dihubungkan dengan studi perumusan
kebijakan, maka analisis tentang proses implementasi menimbulkan
masalah batas kajian yang sungguh-sungguh. Salah satu kesulitan yang
34
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo,
2002, hlm. 105
51
sering muncul adalah dalam upaya membatasi aktor-aktor yang
relevan. Di samping itu untuk melengkapi studi implementasi
membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya.
3. Pelayanan Publik
Di Indonesia, konsepsi pelayanan administrasi pemerintahan
seringkali dipergunakan secara bersama-sama atau dipakai sebagai
sinonim dari konsepsi pelayanan perijinan dan pelayanan umum, serta
pelayanan publik. Keempat istilah tersebut dipakai sebagai terjemahan dari
public service. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen-dokumen pemerintah
sebagaimana dipakai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Administrasi pemerintahan memang disejajarkan, dipakai secara
silih berganti dan dipergunakan sebagai sinonim dari pelayanan perijinan,
yang merupakan terjemahan dari administrative service. Sedangkan
pelayanan umum, lebih sesuai jika dipakai untuk menerjemahkan konsep
public service. Istilah pelayanan umum ini dapat disejajarkan atau
dipadankan dengan istilah pelayanan publik.35
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81
Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan
pelayanan umum sebagai:
Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha
35 Ratminto dan Atik Septi W, Manajemen Pelayanan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005, hlm. 4
52
Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang
dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Mengikuti definisi tersebut di atas, pelayanan publik atau
pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan,
baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik dan pada prinsipnya
menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di
Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan
perijinan dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan yang
pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, baik dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bentuk produk
pelayanannya adalah ijin atau warkat.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi
pemerintahan atau perijinan tersebut mungkin dilakukan sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat, misalnya upaya Kantor Pertanahan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah
dengan menerbitkan akta tanah, pelayanan penyediaan air bersih,
53
pelayanan transportasi, pelayanan penyediaan listrik dan lain-lain.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi
pemerintahan atau pelayanan perijinan juga mungkin diselenggarakan
sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Misalnya karena
adanya ketentuan peraturan perundangan bahwa setiap pengendara harus
memiliki Surat Ijin Mengemudi, maka diselenggarakan pelayanan
pengadaan SIM.
Sebagaimana telah dijelaskan pelayanan publik atau pelayanan
umum dapat diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam
bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di
Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha
Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian pelayanan publik atau pelayanan umum
sangat terkait dengan upaya penyediaan barang publik atau jasa publik.
Beberapa pengertian dasar yang dituliskan di dalam Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 adalah
sebagai berikut:
a. Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan
54
b. Penyelenggara pelayanan publik adalah Instansi Pemerintah
c. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi satuan
kerja/satuan organisasi Kementrian, Departemen, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi
Negara dan Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah
termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Hukum Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah
d. Unit penyelenggara pelayanan publik adalah unit kerja pada Instansi
Pemerintah yang secara langsung memberikan pelayanan kepada
penerima pelayanan publik
e. Pemberi pelayanan publik adalah pejabat/pegawai instansi pemerintah
yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
f. Penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi
pemerintah dan badan hukum
g. Biaya pelayanan publik adalah segala biaya (dengan nama atau sebutan
apapun) sebagai imbalan jasa atas pemberian pelayanan publik yang
besaran dan tata cara pembayaran ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
h. Indeks Kepuasan Masyarakat adalah tingkat kepuasan masyarakat
dalam memperoleh pelayanan yang diperoleh dari penyelenggara atau
pemberi pelayanan sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat.
Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 menyatakan bahwa
hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada
55
masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah
sebagai abdi masyarakat.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi
pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas
pelayanan sebagai berikut: (Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003)
a. Transparansi
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c. Kondisional
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan
efektifitas.
d. Partisipatif
Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan
masyarakat.
e. Kesamaan Hak
Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama,
golongan, gender dan status ekonomi.
56
f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 membedakan jenis
pelayanan menjadi empat kelompok. Adapun empat kelompok tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Kelompok Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang
menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh
publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi,
kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya.
Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte
Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor,
Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.
b. Kelompok pelayanan barang, yaitu pelayanan yang menghasikan
berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya
jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya
c. Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan
berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya
pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos
dan sebagainya.
Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan
menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, pelayanan bagi
57
penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita, pelayanan khusus,
biro jasa pelayanan, tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan
penyelenggaraan, penyelesaian pengaduan sengketa, serta evaluasi kinerja
penyelenggaraan pelayanan publik. Kesemuanya itu akan dijelaskan di
dalam sub bab-sub bab di bawah ini.
a. Prinsip pelayanan publik
Di dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 disebutkan
bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip
sebagai berikut:
1) Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami
dan mudah dilaksanakan
2) Kejelasan
Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal:
a) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;
b) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/
persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;
c) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3) Kepastian waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun
waktu yang telah ditentukan.
58
4) Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
5) Keamanan
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan
kepastian hukum
6) Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang
ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan
penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan
publik.
7) Kelengkapan sarana dan prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan
pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana
teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).
8) Kemudahan akses
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah
dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.
9) Kedisiplinan, kesopananan dan keramahan
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun,
ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
10) Kenyamanan
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang
tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat
59
serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti
parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
b. Standar pelayanan publik
Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki
standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya
kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan
ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang
wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Menurut
Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003, standar pelayanan,
sekurang-kurangnya meliputi:
1) Prosedur pelayanan
Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima
pelayanan termasuk pengaduan.
2) Waktu penyelesaian
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan
permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk
pengaduan.
3) Biaya pelayanan
Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam
proses pemberian pelayanan.
4) Produk pelayanan
Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
60
5) Sarana dan prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh
penyelenggara pelayanan publik.
6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan
tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan
perilaku yang dibutuhkan.
c. Pola penyelenggaraan pelayanan publik
Dalam kaitannya dengan pola pelayanan, Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 menyatakan
adanya empat pola pelayanan, yaitu:
1) Fungsional
Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan,
sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.
2) Terpusat
Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara
pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara
pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.
3) Terpadu
Pola penyelenggaraan pelayanan publik terpadu dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a) Terpadu satu atap
Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu
tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak
61
mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa
pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat dengan
masyarakat tidak perlu disatuatapkan.
b) Terpadu satu pintu
Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu
tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki
keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.
4) Gugus tugas
Petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam
bentuk tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan
lokasi pemberian pelayanan tertentu. Selain pola pelayanan
sebagaimana yang telah disebutkan tersebut di atas, instansi yang
melakukan pelayanan publik dapat mengembangkan pola
penyelenggaraan pelayanannya sendiri dalam rangka upaya
menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan pelayanan
publik. Pengembangan pola penyelenggaraan pelayanan publik
dimaksud mengikuti prinsip-prinsip sebagaimana ditetapkan dalam
pedoman ini.
d. Biaya pelayanan publik
Di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 63 Tahun 2003 diamanatkan agar penetapan besaran biaya
pelayanan publik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat;
62
2) Nilai/harga yang berlaku atas barang dan atau jasa;
3) Rincian biaya harus jelas untuk jenis pelayanan publik yang
memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran
dan pengajuan;
4) Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan memperhatikan
prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita
Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 juga mengatur bahwa
penyelenggara pelayanan wajib mengupayakan tersedianya sarana dan
prasarana yang diperlukan serta memberikan akses khusus berupa
kemudahan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita
hamil dan balita.
f. Pelayanan khusus
Penyelenggaraan jenis pelayanan publik tertentu seperti pelayanan
transportasi, kesehatan, dimungkinkan untuk memberikan
penyelenggaraan pelayanan khusus, dengan ketentuan seimbang
dengan biaya yang dikeluarkan sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, seperti ruang perawatan VIP di rumah
sakit, dan gerbong eksekutif kereta api sesuai dengan Keputusan
MENPAN Nomor 63 Tahun 2003.
g. Biro jasa pelayanan
Dalam kaitannya dengan keberadaan biro jasa pelayanan, Keputusan
MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 menegaskan bahwa pengurusan
63
pelayanan publik pada dasarnya dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Namun dengan pertimbangan tertentu dan sebagai wujud partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik tertentu
dimungkinkan adanya biro jasa untuk membantu penyelenggaraan
pelayanan publik. Status biro jasa tersebut harus jelas, memiliki izin
usaha dari instansi yang berwenang dan dalam menyelenggarakan
kegiatan pelayanannya harus berkoordinasi dengan penyelenggara
pelayanan yang bersangkutan, terutama dalam hal yang menyangkut
persyaratan, tarif jasa dan waktu pelayanan, sepanjang tidak
mengganggu fungsi penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagai
contoh, biro jasa perjalanan angkutan udara, laut dan darat.
h. Tingkat kepuasan masyarakat
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh
tingkat kepuasan penerima pelayanan. Kepuasan penerima pelayanan
memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan
diharapkan. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan tingkat kepuasan
masyarakat, Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003
mengamanatkan agar setiap penyelenggara pelayanan secara berkala
melakukan survei indeks kepuasan masyarakat.
i. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik
Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan melalui
beberapa cara sebagai berikut:
1) Pengawasan melekat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan
langsung, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
64
2) Pengawasan fungsional yaitu pengawasan yang dilakukan oleh
aparat pengawasan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
3) Pengawasan masyarakat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat, berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang
penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.
j. Penyelesaian pengaduan
Setiap pimpinan unit penyelengara pelayanan publik wajib
menyelesaikan setiap laporan atau pengaduan masyarakat mengenai
ketidakpuasan dalam pemberian pelayanan sesuai dengan
kewenangannya. Untuk menampung pengaduan masyarakat tersebut,
unit pelayanan menyediakan loket/kotak pengaduan. Dalam
menyelesaikan pengaduan masyarakat, pimpinan unit penyelenggara
pelayanan publik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Prioritas penyelesaian pengaduan;
2) Penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan;
3) Prosedur penyelesaian pengaduan;
4) Rekomendasi penyelesaian pengaduan;
5) Pemantauan dan evaluasi penyelesaian pengaduan;
6) Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada
pimpinan;
65
7) Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada yang
mengadukan;
8) Dokumentasi penyelesaian pengaduan.
k. Penyelesaian sengketa
Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit penyelenggara
pelayanan publik yang bersangkutan dan terjadi sengketa, maka
Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 mengatur bahwa
penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur hukum.
Dalam kaitannya dengan evaluasi kinerja penyelenggaraan
pelayanan publik, Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003
menyatakan bahwa pimpinan penyelenggara pelayanan publik secara
berkala mengadakan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan
di lingkungan secara berkelanjutan dan hasilnya secara berkala dilaporkan
kepada pimpinan tertinggi penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara
pelayanan publik yang kinerjanya dinilai baik perlu diberikan penghargaan
untuk memberikan motivasi agar lebih meningkatkan pelayanan.
Sedangkan penyelenggara pelayanan publik yang kinerjanya dinilai belum
sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, perlu terus melakukan
upaya peningkatan. Dalam melakukan evaluasi kinerja pelayanan publik
harus menggunakan indikator yang jelas dan terukur sesuai ketentuan yang
berlaku.
66
G. METODE PENELITIAN DISERTASI
1. Paradigma Penelitian
Penulis dalam penelitian ini menggunakan paradigma positivisme,
suatu paradigma yang memandang bahwa ilmu hukum itu hanya berurusan
dengan peraturan perundang-undangan semata. Hukum sebagai sesuatu
yang harus diterapkan, dan lebih cenderung untuk tidak mempersoalkan
nilai keadilan dan kegunaannya bagi masyarakat. Kajian hukum dan
penegakannya hanya berkisar tentang apa yang benar dan yang tidak
benar, apa yang salah dan yang tidak salah dan bentuk-bentuk lain yang
lebih bersifat preskripstif.
Hans Kelsen, Teori hukum murni adalah teori hukum positip. Ia
merupakan teori tentang hukum positif umum, bahkan tentang tatanan
hukum khusus, ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran
tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu, namun ia
menyajikan teori penafsiran.
Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui
dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa
itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada,
ia merupakan ilmu hukum (yurisprudensi); bukan politik hukum.
Ia disebut teori hukum “murni “lantaran ia hanya menjelaskan
hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal
yang tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya
adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing. Inilah landasan
67
metodologis dari teori itu, doktrin positivisme teori hukum Hans Kelsen
terkenal dengan 2 Teori yaitu pertama teori hukum murni, hukum bebas
dari kepentingan politik, ekonomi, sosial, moral, bebas dari semua
kepentingan, kedua teori hukum jenjang atau piramit, norma-norma
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma diatasnya.
H.L.A.Hart, membedakan arti dari “positivisme” seperti yang
banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yakni: pertama,
anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia; kedua,
anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral
atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada, ketiga, anggapan bahwa
analisis (studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: (a) layak
dilanjutkan; (b) harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis
mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang-undang dari penelitian-
penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial
lainnya, dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral atau
sebaliknya; keempat, anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem
logis tertutup, artinya, putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan
dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah
ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial,
kebijaksanaan, norma-norma moral; kelima, anggapan bahwa penilaian-
penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya
dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional,
petunjuk, atau bukti.
68
Metodologi; hermeneutis dan dialektis.Sifat variabel dan personal
(intramental) dari konstruksi sosial menunjukan bahwa konstruksi
individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi
antara dan di antara peneliti dengan para responden. Beragam konstruksi
ini di interpretasikan menggunakan teknik-teknik hermenetik konvensional
dan dikomparasikan serta diperbandingkan melalui pertukaran dialektis.
Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan sebuah konstruksi consensus
yang lebih matang dan canggih daripada semua konstruksi sebelumnya
(termasuk, tentu saja, konstruksi etika peneliti).36
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara
menelaah dan meng-interpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan
dengan pembuktian perkara pidana. Adapun pendekatan yuridis empiris
dilakukan dengan penelitian lapangan yang ditujukan pada penerapan
hukum acara pidana dalam perkara pidana.
a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori,
konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula
dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-
36 Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research,
diterjemahkan oleh Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009, hlm 137
69
buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.
b. Pendekatan yuridis empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan
yang ada dalam praktek di lapangan. Pendekatan ini dikenal pula
dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung
ke lapangan. Pendekatan yuridis empiris ini dilakukan untuk
mendapatkan data primer yang dilakukan dengan melakukan
wawancara dengan subjek penelitian serta melakukan observasi untuk
lebih mendapatkan data akurat yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Sumber Data
Di dalam, sumber utamanya adalah bahan hukum yang dikaitkan
dengan fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum empiris yang
dikaji adalah bukanhanya bahan hukum saja akan tetapi di tambah dengan
pendapat para ahli. Penulisan disertasi ini menggunakan data primer, yaitu
data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara,
observasi maupun laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi yang
kemudian diolah oleh peneliti, dan data sekunder, yaitu data yang di ambil
dari bahan pustaka yang terdiri dari 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu
bahan hukum primer,sekunder dan tersier. Untuk lebih jelasnya penulis
akan mengemukakan sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999,
tentang Jasa Konstruksi
70
2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025,
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPENAS).
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
4) Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 28 Tahun 2000,
Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000,
tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi
6) Peraturan Pemerintah Repubik Indinesia Nomor 30 Tahun 2000,
Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
7) Peraturan Pemerintah Repubik Indinesia Nomor 4 Tahun 2010,
Tentang Perubahan Atas PP Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha
Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
8) Peraturan Pemerintah Repubik Indinesia Nomor 92 Tahun 2010,
Tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 28 Tahun 2000 Tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
9) Peraturan Pemerintah Repubik Indinesia Nomor 4 Tahun 2010,
Tentang Perubahan Atas PP Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha
Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
10) Peraturan presiden Republik Indonesia tentang pengadaan
barang/jasa pemerintah antara lain sebagai berikut :
a) Perpres RI No. 18 Tahun 2000
b) Perpres RI No. 80 Tahun 2003
71
c) Perpres RI No. 54 Tahun 2010
d) Perpres RI No. 35 Tahun 2011
e) Perpres RI No. 172 Tahun 2014
f) Perpres RI No. 4 Tahun 2015
b. Bahan Hukum Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara langsung dari
penelitian lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang
diteliti, yakni dilakukannya wawancara.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang menguatkan penjelasan dari bahan hukum
primer dan sekunder yaitu berupa kamus hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan
wawancara yang mendalam dengan para key informan yang sudah
ditentukan peneliti berdasarkan karakteristik penelitian. Lincoln dan Guba
mengemukakan maksud wawancara, yaitu mengkonstruksikan mengenai
orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,
kepedulian, dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan
demikian sebagai yang dialami masa lalu, memverifikasi, mengubah dan
memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain37
.
Responden yang akan diwawancarai antara lain pihak kontraktor
dan Dinas Pekerjaan Umum. Sementara pengumpulan data sekunder,
37
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010, hlm. 148
72
dilakukan dengan studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkain usaha
untuk memperoleh data dengan cara membaca, menelaah,
mengklasifikasikan dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan
hukum yang berupa peraturan-peraturan, literatur yang ada relevansinya
dengan permasalahan yang dikemukakan.38
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data terhadap data primer, peneliti menggunakan
teknis analisis data tipe Strauss dan J. Corbin39
, yaitu dengan menganalisis
data sejak peneliti berada dilapangan (field). Selanjutnya peneliti
melakukan penyusunan, pengkatagorian data dalam pola/thema. Setelah
data divalidasi, peneliti melakukan rekonstruksi dan analisis secara
induktif kualitatif untuk dapat menjawab permasalahan. Data akan
dianalisis menggunakan model interaktif yang dikemukakan oleh Mattew
B. Miles and A. Michael Huberman40
yang meliputi 3 (tiga) kegiatan,
yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi.
6. Teknik Validasi Data
Teknik validasi data bertujuan untuk mengetahui sejauhmana
keabsahan data yang telah diperoleh dalam penelitian. Teknik yang
digunakan adalah triangulasi pada sumber, yakni (1) melakukan
38
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normaif, Suatu Pengantar
Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 25 39
A. Stauss and J. Corbin Busir, Qualitative Research: Grounded Theory Prosedure and
Technique, Lindon Sage Publication, 1990, hlm. 19 40
Mattew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 22
73
perbandingan antara data yang diperoleh dari hasil observasi dengan data
yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan; (2) melakukan
perbandingan antara persepsi, pandangan dan pendapat umum dengan
persepsi, pandangan dan pendapat peneliti; (3) melakukan perbandingan
antara hasil wawancara dengan dokumen-dokumen hasil kajian pustaka.
Setelah proses triangulasi dilakukan, barulah peneliti menentukan data
yang dinilai sah untuk digunakan sebagai bahan penelitian.
H. SISTEMATIKA PENELITIAN DISERTASI
Penyusunan dan pembahasan disertasi ini dibagi dalam 6 (enam) bab,
yaitu Bab I merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang
Permasalahan, Permasalahan, Tujuan Penelitan Disertasi, Kegunaan Penelitian
Disertasi, Kerangka Pemikiran, Kerangka Konseptual Disertasi, Metode
Penelitian, Sistematika Penulisan dan Orisinalitas Penelitian.
Bab II berisi telaah mengenai Kajian Pustaka, yang berisi Kajian
Pustaka dan Kerangka Teori. Untuk Kajian Pustaka berisi kebijakan publik,
pelayanan publik, good governance dan jasa konstruksi. Sedangkan untuk
Kerangka Teori berisi Teori Keadilan, Teori Negara Hukum, Teori Pelayanan
Publik, Teori Birokrasi, Teori Bekerjanya Hukum, Teori Hukum Progresif,
Teori Hukum Pembangunan, Teori Umum Perjanjian, Teori Pertanggung
Jwaban Hukum dan Teori Penegakan Hukum.
Bab III berisi telaah mengenai pelaksanaan konstruksi pembangunan
fisik sudah berjalan secara optimal.
74
Bab IV berisi telaah mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perlu
adanya rekonstruksi hukum terhadap pelaksanaan jasa konstruksi
pembangunan fisik yang berbasis mutupelayanan publik.
Bab V berisi telaah mengenai rekonstruksi hukum jasa konstruksi
pelaksanaan pembangunan fisik yang berbasis mutupelayanan publik dapat
diterapkan secara adil.
Bab VI yang merupakan bab Penutup rangkaian telaah dalam disertasi
ini. Bab ini berisi simpulan serta saran terhadap hasil analisis yang dilakukan.
Simpulan merupakan intisari dari pembahasan permasalahan yang diajukan
dalam disertasi, sedangkan saran merupakan bentuk kristalisasi pemikiran
promovendus sebagai usulan terhadap simpulan yang ada.
I. ORISINALITAS/ KEASLIAN PENELITIAN
Dalam rangka mengetahui orisinalitas dari penelitian ini, maka penulis
melakukan penelusuran disertasi sebagaimana terjabarkan di bawah ini.
Berdasarkan hasil penelusuran tersebut belum ditemukan uraian khusus
tentang rekonstruksi hukum jasa konstruksi pembangunan fisik yang berbasis
mutupelayanan publik.
NO
PENELITI
JUDUL
PENELITIAN
VARIABEL PEMBANDING
Penelitian Terdahulu
Penelitian Sekarang
1. Aji Prasetyanti
(2014) Jaminan Kepastian
Hukum Dalam
Penyelesaian
Sengketa Bidang
Jasa Konstruksi Di
Indonesia Melalui
- kepastian hukum dalam
proses beracara di BANI
dan pelaksanaan Putusan
BANI serta mengetahui
kendala yuridis- teknis
- peraturan perundangan
- Penyelesaian dengan
menggunakan
pendekatan metode
yuridis empiris dan
yuridis normatif
- Rekonstruksi hukum
75
BANI (Khususnya
Sumber Dana
Pemerintah Dan
BUMN)
jasa konstruksi dan
peraturan mengenai
penyelesaian sengketa
melalui Badan Arbitrase
Nasional Indonesia
(BANI)
melalui undang-undang
jasa konstruksi, Perpres
RI, PP Republik
Indonesia dan landasan
teori-teori hukum
2. Kurnia Arry Soelaksono, Prof.
Dr. RM.
Soedikno
Mertokusumo,
SH, dan Mustafa,
SH, MS
(2014)
Penyelesaian Perselisihan Melalui
Arbitrase Atas
Sengketa Perjanjian
jasa konstruksi
Membahas penyelesaian perselisihan melalui
arbitrase atas sengketa perjanjian jasa konstruksi
- Penyelesaian dengan menggunakan
pendekatan metode
yuridis empiris dan
yuridis normatif
- Rekonstruksi hukum
melalui undang-undang
jasa konstruksi, Perpres
RI, PP Republik
Indonesia dan landasan
teori-teori hukum 3. Adhi Satya
Pratama; Pitaya,
SH., M. Hum
Pelaksanaan Pemberian Ganti
Rugi Dan
Kompensasi Dalam
Hubungan Pengguna
jasa Dan Penyedia
jasa Pada Kontrak
jasa konstruksi
Proyek infrastruktur
Di Pt Adhi Karya
(Persero) Tbk
Membahas pelaksanaan pemberian ganti rugi dan
kompensasi dalam
hubungan pengguna jasa
dan penyedia jasa pada
kontrak jasa konstruksi
proyek infrastruktur di PT
Adhi Karya (Persero) Tbk.
- Penyelesaian dengan menggunakan
pendekatan metode
yuridis empiris dan
yuridis normatif
- Rekonstruksi hukum
melalui undang-undang
jasa konstruksi, Perpres
RI, PP Republik
Indonesia dan landasan
teori-teori hukum 4 Iwan Erar Joesoef
(2011) Model Kerjasama Pemerintah dan
Swasta: Studi
Penerapan Kontrak
Build Operate
Transfer Dalam
Perjanjian
Pengusahaan Jalan
Tol di Indonesia
Membahas model kerjasama pemerintah dan
swasta: studi penerapan
kontrak build operate
transfer dalam perjanjian
pengusahaan jalan tol di
Indonesia dan kendala yang
dihadapi.
- Penyelesaian dengan menggunakan
pendekatan metode
yuridis empiris dan
yuridis normatif
- Rekonstruksi hukum
melalui undang-undang
jasa konstruksi, Perpres
RI, PP Republik
Indonesia dan landasan
teori-teori hukum
Dalam penelitian ini berusaha lebih fokus untuk menemukan applied
teori baru yang belum ada dengan tujuan untuk merekonstruksi hukum formal
dalam rangka rekonstruksi hukum jasa konstruksi pembangunan fisik yang
berbasis mutupelayanan publik. Maka dengan demikian penelitian ini adalah
merupakan penelitian yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan,
yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk dilakukan kritikan-
76
kritikan yang bersifat membangun dengan tema dan permasalahan dalam
penelitian ini.