15
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam dunia Ketenagakerjaan sering muncul berbagai perselisihan, yang umum terjadi adalah perihal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan terkait juga besaran pesangon yang didapat apakah sudah sesuai dengan pengaturan Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Munculnya konflik dalam dunia Ketenagakerjaan dipicu oleh karena adanya pelanggaran pelanggaran terhadap Perundang-Undangan Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sebagaimana pengaturan tersebut menjadi dasar dalam pengaturan hak serta kewajiban daripada Pengusaha dan Pekerja dalam Hubungan Industrial. Tentunya ada sanksi yang diatur di dalamnya sesuai tingkat pelanggaran yang terjadi. Tenaga kerja didefinisikan menurut Pasal 1 angka 2 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan “adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat”. 1 Menurut Pasal 51 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan “Perjanjian Kerja merupakan perjanjian dibuat secara tertulis atau lisan maupun perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan adanya perjanjian kerja maka lahirlah Hubungan Kerja antara Pekerja 1 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Di dalam dunia Ketenagakerjaan sering muncul berbagai perselisihan, yang

umum terjadi adalah perihal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan terkait juga

besaran pesangon yang didapat apakah sudah sesuai dengan pengaturan Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Munculnya konflik dalam

dunia Ketenagakerjaan dipicu oleh karena adanya pelanggaran pelanggaran

terhadap Perundang-Undangan Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja (PK), Peraturan

Perusahaan (PP), dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sebagaimana

pengaturan tersebut menjadi dasar dalam pengaturan hak serta kewajiban daripada

Pengusaha dan Pekerja dalam Hubungan Industrial. Tentunya ada sanksi yang

diatur di dalamnya sesuai tingkat pelanggaran yang terjadi.

Tenaga kerja didefinisikan menurut Pasal 1 angka 2 dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan “adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan sendiri maupun

masyarakat”.1 Menurut Pasal 51 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Ketenagakerjaan “Perjanjian Kerja merupakan perjanjian dibuat secara tertulis

atau lisan maupun perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dengan adanya perjanjian kerja maka lahirlah Hubungan Kerja antara Pekerja

1 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

2

dengan Pengusaha. Hubungan kerja yang terjadi dalam sektor industrial lebih

dikenal dengan istilah hubungan industrial, pengertian hubungan industrial secara

umum adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam

proses produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,

pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945.2 Pengertian lain

dari hubungan industrial adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah

adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh)

mengikatkan diri pada pihak lain (majikan) untuk bekerja dengan mendapatkan

upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh

dengan membayar upah.3 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang

No.13 tahun 2003 mengatur demikian,” Hubungan kerja adalah hubungan antara

pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai

unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Berdasarkan pengertian hubungan kerja

tersebut maka hubungan kerja adalah bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta

setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.4 Menurut Pasal

61 Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian

kerja dapat berakhir apabila :

1. Pekerja meninggal dunia,

2. Jangka waktu kontak kerja telah berakhir,

2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta: 2012, hlm. 65.

4 Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2006) hlm 53.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

3

3. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap,

4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat

menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang

ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah

pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Praktik yang terjadi di lapangan, seringkali pekerja/ buruh tidak

mendapatkan upah yang layak ataupun tidak mendapatkan hak yang harus

diterimanya, ataupun sebaliknya pekerja/buruh yang tidak memenuhi tanggung

jawabnya yang berdampak merugikan pengusaha, sehingga menimbulkan konflik/

perselisihan. Pengertian konflik/ perselisihan lebih dikenal dengan perselisihan

hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat

yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha

dengan pekerja/ buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar

serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan”.5 Pengertian lain dari

perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada

perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian itu ataupun menyalahi

ketentuan hukum.6

5 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial. 6 Ugo & Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sinar Grafika,

Jakarta : 2011, hlm. 27.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

4

Pekerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang

Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain, sedangkan pemberi kerja adalah orang perseorangan,

pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga

kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hubungan antara

pekerja dengan pemberi kerja atau pengusaha secara yuridis pekerja adalah bebas,

karena seorang pekerja/buruh dalam prinsip di Negara Indonesia tidak boleh

diperbudak ataupun diperhamba, namun secara sosiologis pekerja tidak memiliki

kebebasan dimana pekerja terkadang dengan terpaksa menerima hubungan kerja

dengan pengusaha sekalipun memberatkan diri para pekerja itu sendiri. Namun

perubahan di dalam ketentuan ketenagakerjaan terus terjadi, hal tersebut tidak

lepas dari proses panjang sejarah hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Dalam

perkembangan ini pun kemudian, pengaturan hubungan kerja diserahkan

seluruhnya pada perjanjian bebas antara pengusaha dan pekerja. Asas kebebasan

yang dibawa oleh revolusi industri, telah berperan besar dalam menumbuhkan

prinsip kehidupan liberalisme yang sangat bersifat individualistis.7

Pada dasarnya perselisihan antar manusia tidak dapat dihindarkan, karena

manusia merupakan makhuk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia

lainnya, maka dari itu hal demikian adalah wajar jika dalam interaksi tersebut

terjadi perbedaan paham yang berakibat munculnya perselisihan antara satu

dengan yang lainnya.8 Dari perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan

hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak tertutup kemungkinan

akan terjadinya pemutusan hubungan kerja (untuk selanjutnya disebut PHK). PHK

7 Drs. Mohd. Syaufii Syamsuddin, SH,. MH., “Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial,”

Jakarta, Sarana Bhakti Persada, 2004, hlm. 3. 8 Husni, Lalu, Op.cit., hlm. 122.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

5

berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13 tahun 2003 yang

berbunyi, “Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena

suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja/buruh dan pengusaha”.9 Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa

yang tidak diharapkan terjadinya khususnya bagi pekerja/buruh, karena

pemutusan hubungan kerja itu akan memberikan dampak psychologis, economis-

financial, bagi pekerja/buruh dan keluarganya.10

Dalam prosedur PHK dapat dipahami bahwa sebelumnya semua pihak

(Pengusaha, Pekerja/Buruh, serikat pekerja/ serikat buruh) harus melakukan upaya

untuk menghindari terjadinya PHK (Pasal 151 Ayat 1 Undang-Undang

Ketenagakerjaan). Jika kemudian jika tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat

pekerja/serikat buruh mengadakan perundingan (Pasal 151 Ayat 2 Undang-

Undang Ketenagakerjaan). Jika perundingan terjadi maka dibuat persetujuan

bersama. Tetapi jika tidak berhasil, pengusaha akan mengajukan permohonan

penetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan-alasannya kepada Pengadilan

Hubungan Industrial (Pasal 151 Ayat 3 dan 152 Ayat 1) Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jika selama belum ada putusan dari

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka semua pihak tetap

melaksanakan kewajiban masing-masing.11

PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun dari

pekerja/buruh, akan tetapi dalam prakteknya PHK itu sebagian besar datangnya

9 Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

10 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, “Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

Pancasila”, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm.85. 11

Abdul Khakim, S.H., M.Hum., “Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,” PT Citra

aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.186.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

6

dari pihak pengusaha.12

PHK dapat terjadi disebabkan oleh berbagai macam

alasan, antara lain mangkir, perubahan status perusahaan, perusahaan tutup,

perusahaan pailit, atau karena pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat. Hal

tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 Ayat (1) Undang-Undang

No.13 tahun 2003, yang berbunyi: “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan

berat bahwa, pekerja/buruh yang terbukti telah melakukan kesalahan berat.” Jika

dipahami maka maksud ketentuan ini menyatakan bahwa pengusaha dapat

melakukan PHK secara sepihak apabila pekerja/buruh terbukti melakukan

kesalahan berat.

Ketentuan PHK secara sepihak yang ditetapkan oleh pengusaha harus

didukung dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pekerja/buruh tersebut

telah melakukan kesalahan berat. Bukti-bukti tersebut sebagaimana ketentuan

Pasal 158 Ayat (2) Undang-Undang No.13 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa

Pekerja/buruh tertangkap tangan, ada pengakuan dari pekerja/buruh yang

bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang

berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-

kurangnya dua orang saksi.

Berkaitan dengan ketentuan PHK berdasarkan kesalahan berat, Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2004 telah mengeluarkan

Putusan No.012/PUU-I/2003 (selanjutnya disebut Putusan MK) perihal

Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan. Isi amar putusannya menyatakan bahwa, “Pasal 158 dalam

12

Ibid., hlm. 28.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

7

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat”. Maksud dalam Putusan MK ini salah satunya

membatalkan Pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat sebagai alasan

yang dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan PHK karena dinilai telah

melanggar asas praduga tak bersalah. Mahkamah Konstitusi melalui

pertimbangannya menilai PHK yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan

kesalahan berat adalah dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan yang

independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha

yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut

hukum acara yang berlaku.

Atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pada tanggal 7 januari 2005

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran No.SE-

13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji

Materil Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap

Undang–Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut SE

MENAKERTRANS) pada butir 3 huruf a yang menyatakan bahwa, “pengusaha

yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan

berat berdasarkan Pasal 158, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan

hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Hal ini berarti

kesalahan berat yang terdapat pada Pasal 158 dalam Undang-Undang No.13 tahun

2003 adalah diberlakukan kembali atau dapat dijadikan dasar untuk mem-PHK

seorang pekerja/buruh apabila terhadapnya telah ada putusan hakim pidana yang

berkekuatan hukum tetap dari pengadilan dan sebagai bukti hukum yang nantinya

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

8

dapat dijadikan bukti dalam perselisihan PHK yang akan diajukan ke Lembaga

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Dalam Putusan tingkat pertama Nomor: 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG

dan tingkat Kasasi Putusan Nomor: 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015, tentang putusan

perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja antara Heri Purnomo (Pekerja) dengan

PT. Mayora Indah Tbk (Pemberi Kerja), adapun gambaran duduk perkara sebagai

berikut:

Bahwa Penggugat Heri Purnomo telah bekerja ± 12 (dua belas) tahun

sebagai karyawan PT. Mayora Indah Tbk sejak tanggal, 27 Agustus 2002 pada

Bagian Prod.Biscuit-Technical Packing dengan upah sebesar Rp. 2.922.017,- (dua

juta Sembilan ratus dua puluh dua ribu tujuh belas rupiah) / bulan. Kemudian pada

tanggal, 13 Juni 2014 dipanggil oleh Bapak Suwardi selaku Unit Head, untuk

menghadap Bapak Adi Pramono selaku Dept Head terkait permasalahan

Penggugat yaitu " tidak berada ditempat kerja tanpa seijin atasan yang berwenang,

pada tanggal 12 Juni 2014", dan Penggugat telah menyatakan pada tanggal

tersebut tidak berada dilokasi kerja, tetapi berada di tempat lain yang masih dalam

lingkungan Perusahaan. Bahwa Penggugat pada tanggal, 23 s/d 26 Juni 2014

dilarang masuk bekerja oleh Tergugat secara lisan. Pada tanggal 27 Juni 2014,

Penggugat dipanggil oleh Tergugat dan kemudian Tergugat memberikan kembali

hukuman terhadap Penggugat yaitu sanksi Pembebasan Tugas (Skorsing) terkait

ketidakberadaan Penggugat ditempat kerja pada tanggal 12 Juni 2014 melalui

surat Nomor :325/MYR/HRDA/1/2014 tertanggal 21 Juni 2014 yang berlaku

mundur yaitu dari tanggal 23 Juni 2014 s/d 5 juli 2014. pada tanggal 7 Juli 2014

Penggugat masuk bekerja kembali seperti biasa, setelah menjalani Sanksi

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

9

Skorsing tersebut, tetapi pada siang hari Penggugat dipanggil oleh Bapak Adnan

Karim selaku IR & GA Dept. Head dan Penggugat disuruh Pulang. Tanggal 8 dan

9 Juli 2014 Penggugat dilarang masuk bekerja oleh security Tergugat atas perintah

dari Bapak Adnan Karim selaku IR & GA Dept. Head. Kemudian pada tanggal 10

Juli 2014 Tergugat mengirimkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja No.022 /

MYR-CBT / HRD-PHK / VII / 2014 tertanggal 7 Juli 2014 terhadap Penggugat.

Dalam Surat Pemutusan Hubungan Kerja tersebut, Tergugat menyatakan

"Penggugat telah melakukan pelanggaran berat sesuai dengan PKB Pasal 62

Huruf "b" yaitu memberikan keterangan palsu/yang dipalsukan sehingga

merugikan Perusahaan/kepentingan Negara.", kesalahan Penggugat adalah : "

tidak berada ditempat kerja tanpa seijin atasan yang berwenang, pada tanggal 12

Juni 2014. Dalam PKB PT. Mayora Indah Tbk yaitu Pasal 56 Ayat (2) huruf "c"

yang menyatakan : "Pekerja meninggalkan tempat kerja atau bagiannya tanpa

sepengetahuan atau seijin atasan yang berwenang" diberikan sanksi yaitu

TEGURAN LISAN berdasarkan Pasal 56 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT.

Mayora Indah. Tbk, seharusnya permasalahan tersebut sudah selesai dengan telah

dipanggilnya Penggugat dan diberikan teguran lisan pada saat itu.

Menurut Penggugat pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh

Tergugat terhadap Penggugat dengan alasan Penggugat telah memberikan

keterangan palsu/yang dipalsukan yang telah merugikan Tergugat merupakan

suatu delik tindak pidana yang harus diselesaikan terlebih dahulu tentang tindak

pidananya tersebut, seperti diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara

Nomor 012/PUU-1/2003, tanggal 28 Oktober 2004 dan surat edaran Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.13/MEN/SC-HK/l/2005. Bahwa oleh

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

10

karena Pemutusan Hubungan Kerja tersebut melalui surat Nomor 022/MYR-

CBT/HRD-PHK/VII/2014 tertanggal 7 Juli 2014, dikeluarkan tanpa adanya

putusan hakim pidana, maka pemutusan hubungan kerja tersebut adalah tidak sah

dan batal demi hukum. Maka Penggugat meminta untuk dipekerjakan kembali

pada jabatan dan posisi semula serta membayar seluruh upah dan hak yang

seharusnya diterima oleh Penggugat sebesar Rp2.922.017,00 (dua juta sembilan

ratus dua puluh dua ribu tujuh belas rupiah) untuk setiap bulannya sampai dengan

adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Penggugat terbukti bersalah memberikan keterangan palsu atau dipalsukan

atas surat pernyataan yang dibuat Pengugat yang berdasarkan absensi dan data

kamera CCTV pada tanggal 12 Juni 2014 Penggugat masuk dan pulang sesuai

dengan jam kerja, 2. Melakukan keterangan palsu atau yang dipalsukan atas

pencatatan absen masuk pukul 08.10 WIB dan pulang datang kembali absen pukul

16.44 WIB sedangkan Penggugat tidak masuk bekerja. Hal tersebut didukung pula

dengan keterangan saksi mata.

Karena telah terbukti melakukan kesalahan berat sehingga haruslah

diputuskan hubungan kerjanya dengan alasan mendesak” Jo 1603 huruf O 1o

KUH-Pdt menyebutkan : “bagi majikan dianggap sebagai alasan-alasan mendesak

dalam arti Pasal lalu perbuatan-perbuatan sifat atau tingkah laku si buruh yang

demikian hingga karenanya dari pihak majikan tidak sepatutnya dapat diminta

untuk meneruskan perhubungan kerjanya yaitu : “ apabila si buruh pada waktu

menutup persetujuan telah menyesatkan si majikan dengan memperlihatkan surat-

suarat pernyataan yang palsu atau dipalsukan , atau kepada si majikan ini dengan

sengaja telah memberikan keterangan palsu tentang tata cara bagaimana

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

11

perhubungan kerja yang lama telah berakhir ”, dengan demikian Surat Pemutusan

hubungan kerja yang diterbitkan oleh Tergugat kepada Penggugat No.022/MYR-

CBT/HRD-PHK/VII/2014 pada tanggal 7 Juli 2014 secara hukum adalah sah

demi hukum dan haruslah dinyatakan putus hubungan kerja.

Dalam kasus ini putusan memiliki kekuatan hukum tetap karena ada

ketentuan alasan mendesak yang diatur pula dalam Surat Edaran Menakertrans

NO. SE 13/MEN/SJ-RK/I/2005 pada poin ke 4, bahwa: “Dalam hal terdapat

alasan mendesak yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja

dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”

Dalam putusan tingkat pertama dengan tingkat Kasasi dalam kasus ini

memiliki perbedaaan pemberian hak-hak PHK kepada penggugat (pekerja),

meskipun alasan terjadinya PHK adalah sama. Hal tersebut disebabkan oleh

karena dasar pertimbangan yang digunakan oleh Hakim tingkat pertama dan

tingkat Kasasi adalah berbeda. Pada tingkat pertama Majelis Hakim mendasarkan

pada kepatutan dengan penggugat yang telah lama bekerja pada tergugat (12

Tahun). Pada tingkat Kasasi Majels Hakim menggunakan dasar pertimbangan

Pasal 156 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang

mengatur tentang pesangon yang harus diterima bagi pekerja yang di PHK. Lalu

sebenarnya apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan putusan mengenai hak-

hak PHK, sedangkan jika dilihat alasan PHKnya sebenarnya adalah sama. Lalu

apakah alasan mendesak yang diatur dalam Surat Edaran Menakertrans NO. SE

13/MEN/SJ-RK/I/2005 sendiri akan menjadi celah yang dapat digunakan oleh

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

12

para pemberi kerja untuk melakukan PHK dengan alasan kesalahan berat dengan

alasan mendesak, tanpa harus membuktikan kesalahan pidananya.

Atas dasar permasalahan tersebut peneliti kemudian merancang penelitian

dengan judul :

“Analisis Dalam Putusan Tingkat I Nomor 43/PDT.SUS-

PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tentang

Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Kesalahan Berat”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan

masalah yang diajukan yaitu:

Apakah pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat I dan Kasasi pada

putusan No. 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor

656 K/Pdt.Sus-PHI/2015 sudah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang akan penulis teliti, maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Mendapatkan jawaban tentang kesesuaian pertimbangan Majelis Hakim pada

putusan No. 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor 656

K/Pdt.Sus-PHI/2015 tentang PHK karena Kesalahan Berat, dengan ketentuan

yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

13

D. MANFAAT PENELITIAN

Penulisan ini dibuat untuk dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun praktis. Harapan manfaat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan Akademis

Hasil Penulisan yang penulis susun diharapkan dapat menambah

wawasan ilmu pengetahuan Hukum Ketenagakerjaan tentang

implementasi hukum mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK)

karena Pekerja/Buruh melakukan kesalahan berat serta hak-hak yang

harus diterima pekerja/buruh yang dikenai PHK atas kesalahan tersebut

menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi masyarakat, diharapkan dapat menjadi sumbangan

pengetahuan dalam bidang hukum ketenagakerjaan, serta dapat

dipakai sebagai acuan dalam mempelajari mengenai implementasi

hukum dalam kasus pemutusan hubungan kerja kepada pekerja

yang melakukan kesalahan berat dengan melihat contoh kasus.

b. Bagi Praktisi, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi

dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dan memperjelas

mengenai implementasi hukum dalam kasus pemutusan hubungan

kerja kepada pekerja yang melakukan kesalahan berat dengan

melihat contoh kasus.

c. Bagi Peneliti, diharapkan dapat digunakan untuk menambah

pengetahuan serta wawasan di bidang hukum khususnya hukum

ketenagakerjaan.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

14

E. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode penelitian untuk melengkapi dan meyempurnakan penulisan ini

maka, penulis melakukan penelitian guna mendapatkan data yang konkrit agar

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam permasalahan ini metode

penelitian yang digunakan penulis adalah Yuridis Normatif, yaitu dilakukan atau

ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bentuk-bentuk dokumen resmi

atau disebut juga dengan data sekunder. Data diperoleh dengan mengumpulkan

bahan-bahan dari buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang

dibahas, disini dikelompokkan atas :

a. Bahan Hukum Primer yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-

hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua tulisan dan hasil penelitian baik

berupa karya ilmiah sarjana, jurnal hukum, buku-buku, artikel, makalah

serta putusan Nomor 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi

Nomor 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

2. Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka yaitu

dengan mempelajari literatur-literatur yang ada berkaitan dengan permasalahan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH · 2 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3 H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali

15

yang akan dibahas. Selain itu itu untuk melengkapi data juga dilakukan

penelurusan data melalui internet.

3. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data disusun secara sistematis melalui proses editing yaitu

mengolah kembali data yang telah diperoleh dengan memilih data yang sesuai

dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga di dapat suatu kesimpulan akhir

secara umum yang nantinya akan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan

kenyataan yang ada.

4. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis data kualitatif, yaitu

dengan bersumber pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta putusan

Nomor 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor 656

K/Pdt.Sus-PHI/2015.