14
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang selama ini tinggal di dalam dan sekitar hutan bukanlah tanpa sebab. Sejarah panjang penyingkiran telah menempatkan mereka pada tanah yang saat ini ditempati. Sejak zaman perbudakan, yang memperluas perburuan hingga menjangkau sebagian Sulawesi. Perburuan budak yang semakin meluas membuat mereka yang awalnya tinggal di dataran rendah dan lembah, kemudian berimigrasi secara besar-besaran menuju dataran tinggi pegunungan (Li, 2001; Reid, 20011: 128- 130). Masuknya misionaris agama Kristen awal abad 20, khususnya ke wilayah pegunungan Sulawesi, kembali menggiring penduduk ke dataran rendah setelah sebelumnya disematkan identitas agama baru (Li, 2001: 124-128; Aditjondro 1979: 119). Ternyata, upaya menurunkan para penduduk dari pegunungan merupakan bentuk akumulasi sumber daya bagi kepentingan kolonial (Li, 2012: 129-133). Semenjak menjadi negara Indonesia, upaya penyingkiran petani pegunungan masih belum juga berakhir. Gejolak yang terjadi akibat ketidakpuasan para pejuang yang awalnya bahu membahu mengusir penjajah berujung pada kudeta. kelompok-kelompok yang melakukan kudeta ini merasa memiliki peran penting namun saat lahir negara Indonesia merasa terabaikan. Kudeta yang dilakukan membutuhkan sumber daya alam dan manusia untuk memuluskan perjuangan dimaksud. Upaya yang dilakukan adalah dengan menaklukkan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan negara, seperti wilayah pegunungan. Wilayah yang telah ditaklukkan ini kemudian dijadikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

  • Upload
    ngotu

  • View
    220

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orang Sulawesi yang selama ini tinggal di dalam dan sekitar hutan bukanlah

tanpa sebab. Sejarah panjang penyingkiran telah menempatkan mereka pada tanah yang

saat ini ditempati. Sejak zaman perbudakan, yang memperluas perburuan hingga

menjangkau sebagian Sulawesi. Perburuan budak yang semakin meluas membuat

mereka yang awalnya tinggal di dataran rendah dan lembah, kemudian berimigrasi

secara besar-besaran menuju dataran tinggi pegunungan (Li, 2001; Reid, 20011: 128-

130).

Masuknya misionaris agama Kristen awal abad 20, khususnya ke wilayah

pegunungan Sulawesi, kembali menggiring penduduk ke dataran rendah setelah

sebelumnya disematkan identitas agama baru (Li, 2001: 124-128; Aditjondro 1979:

119). Ternyata, upaya menurunkan para penduduk dari pegunungan merupakan bentuk

akumulasi sumber daya bagi kepentingan kolonial (Li, 2012: 129-133). Semenjak

menjadi negara Indonesia, upaya penyingkiran petani pegunungan masih belum juga

berakhir. Gejolak yang terjadi akibat ketidakpuasan para pejuang yang awalnya bahu

membahu mengusir penjajah berujung pada kudeta. kelompok-kelompok yang

melakukan kudeta ini merasa memiliki peran penting namun saat lahir negara Indonesia

merasa terabaikan. Kudeta yang dilakukan membutuhkan sumber daya alam dan

manusia untuk memuluskan perjuangan dimaksud. Upaya yang dilakukan adalah

dengan menaklukkan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan negara, seperti

wilayah pegunungan. Wilayah yang telah ditaklukkan ini kemudian dijadikan sebagai

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

2

lokasi strategis untuk perang gerilya. Akibatnya, memaksa sebagian petani pegunungan

menjadi manusia pengembara di hutan untuk menghindari pengejaran dan pembunuhan.

Setelah pengembaraan yang panjang dan kudeta dapat diberantas oleh negara,

bukan berarti, penyingkiran terhadap petani pegunungan berakhir, negara melaui

program resettlement1-nya kembali menyingkirkan mereka. Program resettlement

setelah dikaji kembali tidak lebih dari wajah hegemoni (Gramsci, 2013) rezim negara

yang merampas manusia dari sumber produksinya (Li, 2012: 146-152). Celakanya,

sebelum mereka disingkirkan terlebih dahulu dikambing hitamkan atas kerusakan hutan

oleh rezim negara (Kusworo, 2000). Setelah dengan terpaksa mengikuti kemauan

pemerintah yang sebelumnya membujuk bahwa tanah yang akan mereka tempati lebih

baik dari tanah yang mereka tempati namun, kenyataannya tidak demikian. Ternyata,

tempat yang telah mereka tinggalkan justru dipatok oleh rezim untuk kepentingan

proyek konservasi yang didanai oleh Bank Dunia (D’Andrea, 2013: 94-95: 108).

Agenda konservasi, salah satunya terkait dengan wacana perubahan iklim.

Hadirnya wacana perubahan iklim dengan berbagai skema di dunia akhir-akhir

ini, secara langsung mengusik kembali keberadaan dan akses atas sumber produksi

manusia yang tinggal dan hidup di dalam atau sekitar hutan. Agenda penyelamatan

bumi dalam proses perundingannya berujung pada tukar guling perdagangan karbon

(Steni, 2010: 23-29). Negara maju terdesak untuk menurunkan emisi karbon yang

berdampak pada pertumbuhan ekonominya (Uliyah dan Cahyadi, 2011). Negara

1 Program pemindahan masyarakat pegunungan dari dataran tinggi pegunungan ke dataran rendahdengan sebelumnya di beri identitas sebagai “masyarakat terasing”. Program ini di kelola olehDirektorat Tata Guna Tanah di bawah pertimbangan Direktorat Jenderal Agraria di bawah naunganDepartemen Dalam Negeri sebagai pelaksanaan UUPA No. 5 Tahun 1960 Pasal 14-15. Di SulawesiTengah, program ini dilaksanakan oleh Dinasa Sosial dengan nama Proyek PKMT (PemukimanKembali Masyarakat Terasing) (lihat dokumen Fatwa Tata Guna Tanah tahun anggaran 1985/1986 dilokasi tanah Desa Kaduwaa-Wanga).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

3

berkembang tidak harus menurunkan emisi tetapi diwajibkan untuk ikut serta dalam

agenda perubahan iklim (Steni, 2010). Agenda menyelamatkan bumi atas dampak

perubahan iklim dalam proses wacananya justru “melenceng” ke agenda penyelamatan

ekonomi negara industri yang selama ini dianggap bertanggung jawab atas perubahan

iklim. Di sisi lain, menurut Harvey (2009: 107) dan Scheba (Tanpa Tahun: 5-7), bahwa

negara berkembang yang dinaungi rezim neoliberal melihat ini sebagai kesempatan

mendapat keuntungan. Artinya, rezim pemerintah menyediakan ruang sebebas-bebasnya

bagi pasar bergerak di wilayah kekuasaan secara politik dan yuridis. Lebih lajut

menurut Harvey (2009: 107-145), yang memungkinkan kedua kepentingan dapat saling

bertemu, yaitu; proyek “cuci tangan” negara industri dan kepentingan rezim neoliberal

adalah melalui mekanisme pasar. Pasar dalam logika neoliberlisme memahami bahwa

peran negara sebaik-baiknya mempermulus jalannya mekanisme pasar. Jadi,

neoliberalisasi di negara-negara pembangunan berlangsung dengan cara memfasilitasi

kompetisi antar firma, korporasi dan entitas terirorial serta menerima aturan-aturan

perdagangan bebas dan mendasarkan diri pada pasar ekspor yang terbuka. Namun,

negara-negara itu juga melakukan intervensi aktif dengan membangun infrastruktur-

infrastruktur bagi terciptanya suatu iklim bisnis yang bagus. Jadi, neoliberalisasi

membuka kesempatan bagi negara berkembang untuk meningkatkan posisi mereka

dalam kompetisi internasional karena neoliberalisasi memungkinkan terbangunnya

struktur intervensi negara yang baru. Namun, pada saat yang bersamaan, neoliberalisasi

memunculkan kondisi-kondisi bagi terciptanya formasi kelas elit, dan begitu kekuatan

kelas elit menguat, ada tendensi kelas elit itu akan membebaskan diri dari

ketergantungannya pada kekuasaan negara dan akan mengarahkan kekuasaan negara itu

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

4

agar searah dengan jalur neoliberal. Sasaran empuk adalah privatisasi tanah atau hutan

baik oleh pemerintah maupun rakyat melalui aktivisme dengan menyematkan mereka

identitas baru, sebagai masyarakat adat. Dengan disematkan identitas sebagai

masyarakat adat, oleh elit, bukan berarti nasib petani menjadi lebih baik. Yang terjadi

adalah kian rumit karena selain disingkirkan, ada petani yang dieksklusifkan.

Hutan di Provinsi Sulawesi Tengah meliputi daerah seluas 4,4 juta ha, yang

mewakili sekitar 64 persen dari total luas wilayah provinsi dan sekitar 800.000 orang

tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang merupakan 33 persen dari jumlah

penduduk di provinsi tersebut (Suzanna, 2012: 11). Hutan di Sulawesi Tengah

merupakan hutan terbaik di pulau Sulawesi. Selain itu, juga dihuni oleh beragam spesies

baik flora maupun faunanya. D’Andrea (2013: 7) menuliskan:

“[...]. Antara dua puluh lima dan tiga juta tahun lalu, benturan geologis antaralempeng Asia dan Australia menciptakan bentuk aneh pulau Sulawesi denganpuncak-puncak gunung api dan lembah-lembahnya yang curam. Diapit olehlaut dalam, Sulawesi menjadi salah satu tempat di dunia yang memilikiendemik mahluk hidup paling kaya ragamnya. Para konservasionis menyatakansebanyak 98 persen mamalia dan 27 persen unggas merupakan binatangendemik di Sulawesi”.

Lebih lanjut D’Andrea (2013: 8) mengutip karya Alfred Russell Wallace (2000)

darimengenai penelitiannya di sulawesi sekitar tahun 1850-an:

“Terletak di tengah-tengah gugusan kepulauan ini dan rapat dikelilingi pulau-pulau yang kaya dengan bentuk kehidupan yang beraneka ragam, pulau inimenghasilkan suatu keanekaragaman yang tiap mahluknya begitumengagumkan. Meskipun jumlahnya masing-masing spesies hanya sedikit,ragamnya sangatlah kaya, dan banyak diantaranya begitu cantik dan hanyaada satu-satunya di muka bumi. [...] Sulawesi mempersembahkan suatu contohyang sangat mencengangkan bagi mereka yang tertarik untuk mempelajaripenyebaran binatang [...] yang menampakkan semua perubahan yangberlangsung di muka bumi”.

Sejak wacana perubahan iklim berhembus melalui REDD+ di Kota Palu yang

menjadi Ibu Kota Sulawesi Tengah di penghujung akhir tahun 2010. Meskipun Kota

Palu memiliki suhu yang sangat panas karena dilalui garis khatulistiwa, tiba-tiba bak

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

5

“gula” dihampiri oleh “semut-semut” dari mana saja. Bukan karena keindahan kotanya,

pemandangannya, atau adanya bencana, tetapi, karena hutannya seakan memiliki

“manis gula” sehingga mampu menyedot perhatian para “semut” untuk

menghampirinya. UN-REDD Programme Indonesia menetapkan Sulawesi Tengah

sebagai provinsi percontohan REDD+. Pilihan tersebut didasari sejumlah pertimbangan,

antara lain (1) tutupan hutan yang masih luas meskipun pengundulan terus terjadi; (2)

sebab-sebab pengundulan hutan yang relatif mudah dikenali; (3) kepadatan karbon

masih cukup tinggi; (4) komitmen politik PemerintahProvinsi; (5) REDD+ di daerah

tersebut bisa bermanfaat banyak bagi warga; dan (6) belum adanya inisiatif REDD+ di

daerah tersebut (Suzanna, 2012: 9).

Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam presentasinya pada G-20 di

Pittsburgh menyatakan komitmen Indonesia bersedia menurunkan emisi karbon hingga

26% dan jika mendapat pendanaan dari negera-negara internasional barkomitmen akan

menurunkan emisi karbon hingga 41 persen (Strategi Nasional REDD+, 2010: 3)

Kemudian direspon oleh Gubernur Sulawesi Tengah melalui pidatonya pada konfrensi

Durban tahun 2011 yang menyatakan bahwa Sulawesi Tengah siap berpartisipasi dan

berkomitmen dalam upaya dunia untuk mengurangi emisi karbon 3 persen (Susilo

Bambang Yudoyono, 2009: 1).

Tesis ini memfokuskan penyingkiran petani pegunungan Sulawesi melalui kisah

orang Dodolo yang mengembara ke hampir separuh hutan Sulawesi hingga menetap di

Desa Dodolo Sulawesi Tengah saat ini. Proses penyingkiran juga diwarnai gejolak-

gejolak yang terjadi di dataran tinggi Sulawesi. Proses ini, dirangkai dengan masa

kekinian dimana kepentingan keterwakilan aktor melalui aktivisme identitas masyarakat

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

6

adat dengan masuknya wacana REDD+ di Sulawesi Tengah yang telah menyingkirkan

sebagian petani sekaligus mengeksklusifkan petani lainnya. Khusus data lapangan, saya

batasi sampai di akhir bulan Juni tahun 2012, terhitung sejak bulan Januari saya tiba di

Sulawesi Tengah.

B. Kajian Pustaka

Anna Lowenhaupt Tsing; Friction: An Ethnography of Global Connection.

Istilah friction yang digunakan oleh Tsing mengambarkan metafora atas pergesekan

dari roda yang bergerak dan bergesekan dengan permukaan jalan, sehingga

menghasilkan gerakan, aksi dan efek panas serta cahaya (Tsing, 2005: 5). Pergesekan

yang digambarkan oleh Tsing berdampak luar biasa pada kerusakan lingkungan alam di

Kalimantan Selatan, terutama di masa Orde Baru melalaui perusahaan anak-anak

Soeharto penguasa Indonesia saat itu. Lebih lanjut menurutnya, respon atas

ketidakadilan melaui aktivisme yang bersatu di bawah slogan pemberdayaan

masyarakat lokal, dan atau masyarakat adat, melalui sistem komunikasi lintas batas saat

melakukan protes. Dengan menunjukkan faktor penting aktor yang mengadvokasi

lingkungan. Bagaimana budaya orang-orang yang “terisolasi” di dalam hutan menjadi

bahan perbincangan nasional dan transnasional. Oleh Tsing ditunjukan melalaui

pergesekan antara masyarakat adat dayak meratus dengan, perusahaan, negara dan dunia

luar dalam bingkai aktivisme. Claudia Francesca D’Andrea (2013); Kopi, Adat dan

Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, melalui study

kasus dinamika pengakuan orang Katu oleh taman nasional. Orang Katu mengunakan

adat sebagai siasat atas perjuangan mereka, termasuk membuat klaim teritorialisasi

tandingan (peta wilayah adat) atas teritorialisasi negara. Lebih lanjut, Darmanto dan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

7

Abidah B. Setyowati (2012) dalam karyanya Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,

Kekuasaan, dan Politik Ekologi mengambarkan orang Mentawai bukanlah orang-orang

kalah. Orang Mentawai mampu beradaptasi dengan perubahan, serta memproduksi

wacana masyarakat adat untuk mendapat keuntungan tanpa merobah konsep tersebut.

Orang Mentawai digambarkan sebagai manusia yang aktif, strategis dan adaptif atas

desakan kekuasaan atasnya.

Sementara itu, kajian mengenai REDD+ sebelumnya telah dilakukan oleh Des

Christy (2013). Ia mengungkapkan polemik penolakan sosialisasi FPIC REDD+ oleh

petani di Desa Hano (nama desa disamarkan) Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi

Tengah. Penolakan terjadi karena sebelum sosialisasi diadakan, terlebih dahulu terjadi

pemasangan tapal batas kawasan Kesatuan Pemangku Hutan Dampelas Tinombo (KPH

DT) oleh pegawai Dinas Kehutanan. Des Christy yakin bahwa nantinya KPH DT

diperuntukkan untuk program REDD+. Bentuk protes terjadi karena perbedaan

pandangan mengenai hutan, antara penduduk Desa Hano dan Dinas Kehutanan.

Sehingga, lebih lanjut menurutnya sosialisasi, pemasangan patok KPH DT, dan uji coba

FPIC REDD+ dapat dilihat sebagai bentuk pengarahan perilaku demi membentuk suatu

keadaan yang sedemikian teratur untuk mempersiapkan REDD+. Menurutnya, hutan

yang diperdebatkan oleh penduduk Desa Hano dan Dinas Kehutanan. Bagi petani Desa

Hano, hutan adalah kebun tempat mereka menanam tanaman komoditi, sedang bagi

pemerintah Dinas Kehutanan, hutan dipersiapkan menjadi KPH untuk kepentingan

program REDD+.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

8

Dalam karyanya The Will to Improve: Perencanaan,Kekuasaan dan

Pembangunan (2012) Tania Li mengkritik upaya para wali 2 yang menyusun kebijakan

atas masyarakat di pegunungan Sulawesi Tengah. Ia menjelaskan, sejak jaman kolonial

hingga awal reformasi, program-program yang di awali oleh niat baik untuk merubah

diterapkan pada masyarakat. Akan tetapi, upaya baik untuk merubah tersebut justru

membuat masyarakat pegunungan tidak menjadi lebih baik. Dengan cerdas Tania Li,

mengambarkan bahwa yang diuntungkan dari proses niat baik untuk merubah tersebut

adalah mereka yang mengklaim diri atau organisasinya sebagai wali dari masyarakat.

Artinya, adalah aktor yang mewakili kepentingan masyarakat pegunungan.

Sumbangsi saya dalam tesis ini, menunjukkan bagaimana proses penyingkiran

petani pegunungan Sulawesi Tengah dari sumber produksi mereka, yakni hutan yang

dihubungkan dengan siasat masyarakat adat yang digunakan aktivis dengan masuknya

agenda “cuci tangan” negara industri yang bernaung dalam bingkai wacana perubahan

iklim melalui kebijakan rezim neoliberal. Saya menelusuri kepentingan-kepentingan

aktor, institusi maupun rezim dibalik penyingkiran petani pegunungan Sulawesi.

C. Pertanyaan Penelitian

Penyingkiran petani pegunungan Sulawesi melalui kisah orang Dodolo serta

aktivisme masyarakat adat yang diusung oleh AMAN dalam bingkai wacana perubahan

iklim melalui skema REDD+, memunculkan pertanyaan; Pertama, mengapa indentitas

masyarakat adat disematkan pada orang Dodolo? Kedua, mengapa aktivisme

masyarakat adat dalam wacana REDD+ justru menyingkirkan sekaligus

mengekslusifkan petani? ketiga, bagaimana proses penyingkiran orang Dodolo?

2 Istilah ini digunakan oleh Li merujuk pada agen atau aktor yang berhasrat untuk memperbaiki keadaandan nasib para petani di pegunungan Sulawesi Tengah. Mereka yang dimaksud wali, adalah:pemerintah, aktivis, konsultan pemberdayaan dan lain sebagainya.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

9

D. Kerangka Pemikiran

Penyingkiran adalah proses yang dialami oleh petani sehingga mereka

menyingkirkan diri atau disingkirkan dari sumber produksinya. Penyingkiran petani

terjadi melalui dua proses. Pertama, dengan cara paksa disertai kekerasan. Kedua,

dengan cara halus penuh tipu muslihat.

Penyingkiran dengan cara halus penuh tipu muslihat seperti yang dilakukan oleh

rezim pemerintah dalam hal ini oleh Dinas Sosial. Dinas Sosial melalui kebijakannya,

yang memisahkan orang Dodolo dari sumber produksinya dengan janji dan iming-iming

bahwa sumber produksi baru yang akan dituju lebih baik, dan ternyata tidak demikian.

Saya hubungkan pada masa kekinian, penyingkiran dengan cara halus penuh tipu

muslihat dilakukan dengan cara-cara modern yang tampak manusiawi serta semakin

kompleks baik aktor maupun wujudnya. Wacana program didesain seakan akan adalah

sebuah niat mulia sehingga, semua mahluk perlu berperan untuk menciptakan

kehidupan yang lebih baik yang selaras dengan alam. Program yang lahir mengunakan

teknologi canggih dan ilmu pengetahuan modern serta bahasa ilmiah yang teramat sulit

dipahami oleh petani. Program ini saya tunjukkan melalui wacana persiapan REDD+

baik yang bersifat global maupun lokal di Sulawesi Tengah. REDD+ adalah bentuk

proyek “cuci-tangan” negara industri. Dimana, melalui REDD+ yang dinaungi oleh

Protocol Kyoto memberi ruang bagi negara yang mendesain ekonomi dan perilaku

manusianya bergantung pada industri tetap membiarkan industrialisasi tidak ditekan

atau dihentikan, tetapi membuat proyek penurunan emisi karbon di negara lain melalui

mekanisme pasar. Sasaran proyek ini adalah hutan dimana petani hidup dan

menghidupi.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

10

Penyingkiran dengan cara-cara paksa disertai kekerasan saya tunjukkan melalui

gejolak DI/TII dan PERMESTA yang memaksa petani pegunungan terpisah dari sumber

produksi, menjadi pelarian di hutan untuk menemukan sumber produksi baru yang aman

tanpa gangguan. Selama proses pelarian hingga hingga menemukan sumber produksi

baru, petani pegunungan beradaptasi dengan alam dan mahluk hidup lainnya, yang

tampak dari perubahan corak produksi-nya (mode of production). Undang Fadjar (2009:

12) menjelaskan yang dimaksud dengan corak produksi mengutip pandangan Shanin

(1990), menuliskan:

“Secara umum, corak produksi merepresentasikan “cara” yang ditempuhmasyarakat dalam melakukan proses produksi (ways of production) gunamenyediakan produk untuk memenuhi kebutuhan material. Dengan demikian,corak produksi akan mempengaruhi keseluruhan ciri hidup sebuah masyarakat.[...]Bahwa corak produksi terdiri dari : 1) kekuatan/daya produksi (force ofproduction) yang akan mempengaruhi “produktivitas”, dan 2) hubungan sosialproduksi (relation of production) yang akan membentuk posisi superior danposisi sub-ordinat sehingga hubungan sosial tersebut akan membentuk struktursosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Selain itu, Shanin (1990) jugamenjelaskan bahwa antara kekuatan produksi dan hubungan sosial produksisaling tergantung (interdependence).

Penyingkiran sebelumnya telah dikonsepkan oleh Derek Hall dkk (2011) dalam

karyanya Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Berangkat dari dua

pandangan mengenai penyingkiran (exclusion). Pertama disingkirkan dari suatu

wilayah kemudian, yang memiliki kekuatan menyingkirkan memberi tanda batas

(patok) atas wilayah tersebut agar, yang disingkirkan tidak memiliki akses untuk masuk

kembali. Kedua, petani dibuat seolah-olah memiliki akses atas lahan (hutan) di dalam

kawasan konservasi, disertai berbagai larangan dan aturan. Sehingga perlahan-lahan

mereka dikondisikan memilih untuk menyingkirkan diri (Hall dkk, 2011: 4). Kedua

proses penyingkiran atau double exclusion dapat dialami oleh petani (Hall dkk, 2011: 7-

8).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

11

Menurut Derek Hall dkk (2011: 4-5) terdapat empat kekuatan (power) yang saling

berinteraksi sehingga terjadi penyingkiran (exclusion) terhadap pemilik lahan (hutan).

Kekuatan penyingkiran tidak serta merta hadir secara acak, tetapi dibentuk oleh relasi

kuasa. Empat kekuatan penyingkiran tersebut adalah, peraturan (regulation), pasar

(market), legitimasi (legitimation), dan paksaan (force). Dimana, peraturan (regulation)

adalah aturan-aturan dan undang-undang yang keabsahannya diakui oleh negara. Selain

itu, terdapat juga aturan-aturan dan hukum yang berlaku pada masyarakat.Yang tidak

tertulis, tidak formal, dan mengatur hubungan manusia dengan tanah (hutan)-nya.

Paksaan (force) adalah kekuatan yang tidak hanya dimiliki oleh negara melalui alatnya,

semacam militer. Tetapi, juga dimiliki oleh komunitas atau etnik yang tampak melalui

kekerasan terhadap sesamanya, dan memiliki kekuatan untuk menyingkirkan. Pasar

(market) adalah kekuatan yang menyingkirkan melalui kegiatan ekonomi yang

terbangun atas relasi manusia dan tanah (hutan). Dimana pasar berkuasa menentukan

harga, jenis komoditi yang ditanam oleh petani dan usaha-usaha pertanian. Selanjutnya

adalah legitimasi (legitimation) yakni relasi pemaknaan yang terbangun antara manusia

dan tanah (hutan), membentuk paham-paham dan nilai-nilai serta moral untuk menilai

relasi tersebut benar atau salah, layak atau tidak dan baik atau buruk, dan memiliki

kekuatan untuk menyingkirkan. Seperti, alih-alih pembangunan disertai pemberadaban

yang pada kenyataannya setelah menjadi praktik justru menyingkirkan pemilik lahan

(hutan).

Wacana persiapan sebelum REDD+ diimplementasikan bersentuhan dengan

aktivisme yang berjejaring secara nasional maupun internasional. Aktivisme ini

mengusung gerakan identitas masyarakat adat dan atau indigenous people dimana petani

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

12

seperti orang Dodolo kemudian disematkan sebagai masyarakat adat. Saya menelusuri

kembali apa itu adat serta wacana gerakan identitas masyarakat adat. Kemudian,

mengkonsepkan adat sebagai praktik bagi masyarakat. Menurut saya, adat dalam

praktiknya bagi masyarakat adalah konsensus yang keputusannya bersifatnya dinamis

dimana hal terpenting adalah orang duduk bermusyawarah. Jadi, kita tidak akan pernah

menemukan aturan, sanksi atau kesepakatan apapun yang sifatnya statis dan terus

bertahan atas nama adat. Karena unsur terpenting dari adat bukanlah hasilnya tapi,

bagaimana orang duduk bersama, bermusyawarah untuk menemukan kesepakatan

bersama atas persoalan mereka yang dihadapi.

Secara sadar atau tidak, proses aktivisme telah mengokohkan para aktivis

sebagai elit diantara petani. Termasuk aktivis yang mengusung gerakan masyarakat

adat. Dalam tesis ini, saya menemukan bahwa resep mengunakan identitas masyarakat

adat yang digunakan oleh aktivis dalam wacana REDD+ di Sulawesi Tengah,

berpotensi menyingkirkan petani sekaligus mengeksklusifkan petani lainnya. Untuk

memahami siasat aktivisme identitas masyarakat adat serta kepentingan AMAN

Sulteng, saya mengunakan konsep artikulasi Stuart Hall yang digunakan Oleh Tania M.

Li dan Claudia Francesca D'Andrea. Menurut Tania Li (2001) seperti yang dikutip oleh

Noer Fauzi (2005: 128-129) dalam karyanya Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat

Dunia Ketiga menuliskan:

Wacana masyarakat adat muncul dari pandangan-pandangan dan hubungan-hubungan baru yang membentuk kesempatan, namun tanpa jaminan. Terdapatpotensi untuk membangunnya suatu gerakan sosial yang luas dimana para aktiviskota dan rakyat pedesaan mulai mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yangsama. Ada juga resiko-resiko. Dalam rumusan Hall, artikulasi adalah suatuproses penyederhanaan dan pembuatan pagar serta hubungan. Bentuk-bentukyang terwujud telah ditentukan sebelumnya oleh struktur-struktur dan posisi-posisi yang objektif, melainkan muncul melalui proses aksi dan imajinasi yangdibentuk oleh “permainan sejarah, budaya dan kuasa yang berkesinambungan”.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

13

D’Andrea (2013: 64) dalam karyanya Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi

dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah mendefinisikan

artikulasi:

“Artikulasi dapat mendefinisikan konstelasi luas dari kepentingan bersama atauberbagai kepentingan yang saling mengisi dan memobilisasi kekuatan sosial,bahkan melewati spektrum yang luas, namun yang penting adalah efek materialdari artikulasi tersebut. Tidaklah jelas, bagaimana sebenarnya identitas itusendiri dapat diartikulasikan. Artikulasi dari identitas adat adalah koneksi padasaat waktu tertentu dari kepentingan dan narasi identitas dengan kondisimaterial dari aktor tertentu dalam konteks ekonomi politik tertentu”.

E. Metode Penelitian

Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian

yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Sistem makna ini merupakan kebudayaan

mereka: etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan. Kebudayaan, merujuk

pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan

pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial (Spradley, 1997: 5). Hal yang

memudahkan saya untuk mendapatkan informasi, ialah masuk ke rumah penduduk di

mana mereka berkumpul menghabiskan waktu setelah selesai bekerja sepanjang untuk

menikmati saguer 3. Selama penelitian di desa, saya menetap di dua rumah penduduk.

Pertama, di desa tetangga Desa Dodolo, yaitu desa Wanga. Selama sebulan dan bulan

berikutnya di rumah Sekretaris Desa Dodolo. Hal ini saya maksudkan untuk memahami

tanggapan penduduk Napu yang merasa Desa Dodolo adalah wilayah mereka.

Memahami peran dan intervensi pengaturan para aktor, saya mengikuti AMAN

Sulteng dan pertemuan-pertemuan persiapan hingga kesiapan REDD+ berlangsung di

Sulawesi Tengah. Proses persiapan di tahun 2011 REDD+ saya ikuti hanya sekedar

3 Salah satu minuman tradisional beralkohol, terbuat dari pohon nira dengan penyedap rasa akar salahsatu pohon di hutan. Orang Dodolo menyebut akar kayu, torode.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang Sulawesi yang

14

saja, melaui beberapa pertemuan dengan beberapa LSM, juga beberapa kesempatan saat

mereka melakukan sosialisasi di desa. Dalam proses kesiapan tahun 2012 saya

mengikuti hampir setiap agenda pertemuan di antara penyusun kebijakan, laporan-

laporan atau modul (membaca dengan seksama laporan atau modul yang mereka susun

serta memberikan analisis). Termasuk saat mereka melakukan sosialisasi di beberapa

desa, baik melaui agenda REDD+, maupun agenda AMAN Sulteng. Metodologi ini

untuk menelusuri intervensi kepengaturan (asal-usulnya, diagnosa dan resepnnya, serta

pembentukan arena oleh unsur-unsur yang disingkirkan dari perencanaan) dan analisa

mengenai apa yang terjadi bila intervensi tersebut bersilang-sengkarut dengan proses-

proses yang hendak mereka atur dan perbaiki (Li, 2012: 52).