Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan SMK
(DetikFinance, 2017). Permasalahan tersebut terjadi akibat arus tenaga
kerja yang terus melaju sedangkan jumlah lahan pekerjaan sangat
terbatas. Keterbatasan jumlah perusahaan tidak sebanding dengan
jumlah lulusan sekolah, menyebabkan tingkat pengangguran terus
melaju. Keadaan ini menjadi pemicu situasi yang mengharuskan untuk
memilih, mempertimbangkan, menaksir, dan memprediksi. Hal ini
memerlukan strategi untuk mempersiapkan diri untuk meraih karier yang
lebih baik.
Dalam rangka menyediakan tenaga kerja siap pakai, Sekolah
Menegah Kejuruan (SMK) sebagai lembaga pendidikan formal yang
diharapkan mampu mempersiapkan sekaligus menjadi jembatan
penghubung antara tenaga kerja dengan dunia kerja, sehingga setelah
lulus mampu terjun langsung ke dunia kerja. Menurut Peraturan
Pemerintah RI (PP RI) no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) pasal 26 ayat (3), tujuan pendidikan SMK adalah
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
2
keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. SMK ditujukan untuk
peserta didik yang menginginkan bekerja dan atau melanjutkan ke
perguruan tinggi. Proses pembelajaran di SMK yang menitikberatkan
pada penerapan teori melalui kegiatan praktikum atau lebih dikenal
dengan sebutan Praktik Kerja Lapangan (PKL) sehingga peserta didik
memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Setelah
melakukan Praktik Kerja Lapang peserta didik dapat dengan jelas
memahami jenis-jenis lapangan pekerjaan serta orientasi masa depan
yang akan dipilih dalam rangka mencapai kematangan karier sesuai
dengan program-program kejuruan yang mengarah kepada jenis-jenis
lapangan kerja.
Namun secara realistis di dalam dunia pekerjaan, SMK belum bisa
menghasilkan lulusan siap pakai. Pengangguran terbuka paling banyak
justru dari SMK (DetikFinance, 2017). Biro Pusat Statistik Jawa Barat
menunjukan keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Barat pada dua
tahun terakhir yang dilihat menurut tingkat pendidikan, lulusan SMK
menduduki tempat tertinggi pada presentase 14,3% bulan Februari tahun
2016 dan menurun di bulan Februari tahun 2017 menjadi 13,57%. Hal ini
menjadi perkembangan yang cukup baik bagi lulusan SMK dengan
adanya penurunan jumlah presentasi lulusan SMK yang tidak bekerja.
3
Tetapi penurunan jumlah presentasi lulusan SMK tersebut masih
menempatkan lulusan SMK pada tempat tertinggi sebagai tingkat
pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan, disusul oleh
lulusan SMP, SMA, Diploma I/II/III, dan Universitas. Untuk memperjelas
data disajikan pada table berikut ini.
Sumber : Berita Resm Statistik (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat) No.
29/05/32Th.XVIII,5 Mei 2017
Gambar 1.1
Penduduk Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Menurut Pendidikan Februari 2016-2017
Berdasarkan gambar 1.1 di atas menjelaskan bahwa tingkat
pengangguran pada lulusan SMK masih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada
data di atas bahwa pada dua tahun terakhir lulusan SMK masih
menempatkan posisi pertama sebagai tingkat pengangguran terbuka
berdasarkan angkatan pendidikan. Namun pada dalam dua tahun
6.05
10.3 8.91
14.3
8.33 8.39 7.69 8.76 8.48
13.57
5.28 4.9
02468
10121416
Februari 2016 Februari 2017
4
terakhir belum adanya pemecahan masalah terkait fenomena yang
berasal dari sekolah kejuruan (Statistik, 2017).
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20
tahun 2003 pasal 3 yang menjelaskan pasal 15 menyatakan bahwa
pendidikan kejuruan adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan
peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan
kejuruan adalah pendidikan yang menghubungkan, menjodohkan,
melatih peserta didik agar memiliki kebiasaan bekerja untuk dapat
memasuki dan berkembang pada dunia kerja (industri), sehingga dapat
dipergunakan untuk memperbaiki hidupnya. Terkait dengan
permasalahan tersebut, SMK ditunjuk sebagai bentuk satuan
penyelenggara dari pendidikan menengah kejuruan, yaitu melatih peserta
didik untuk menguasai keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja
sesuai dengan karaketeristik pendidika kejuruan. Oleh karena itu betapa
pentingnya seorang remaja mampu menyelesaikan tahap perkembangan
secara baik sehingga peserta didik mampu memenuhi tuntutan dalam
mencapai kamandirian secara ekonomi maupun dalam berkarier.
Peserta didik dalam hal ini remaja, untuk mencapai kemandirian
secara ekonomi dan karier yang diinginkan sering mengalami hambatan,
sehingga perlu adanya penanganan dan bimbingan untuk membantu
peserta didik agar mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.
Permasalahan kemandirian ekonomi dan karier memiliki hubungan yang
5
erat dengan kematangan karier. Super (Coertse & Schepers, 2004)
menjelaskan:
“career maturity can be defined as the way in which an individual successfully completes certain career development tasks that are required according to his current developmental phase”. It is seen as the collection of behaviours necessary to identify, choose, plan and execute career goals.”
Kematangan karier dapat didefinisikan sebagai cara seorang
individu berhasil menyelesaikan tugas perkembangan karier tertentu yang
diperlukan sesuai dengan fase perkembangan saat ini. Hal ini terlihat
sebagai kumpulan perilaku yang diperlukan untuk mengidentifikasi,
memilih, merencanakan dan melaksanakan tujuan karier sehingga
dengan adanya bimbingan dan pengawasan melalui proses pendidikan
dengan tujuan setiap peserta didik mampu mencapai kematangan karier
serta dapat memenuhi tugas perkembangannya untuk tujuan karier.
Bagi peserta didik SMK kematangan karier merupakan hal yang
sangat penting, karena pada jenjang tersebut setiap peserta didik harus
memilih karier yang tepat dan mempersiapkan dirinya untuk memasuki
dunia kerja. Mempersiapkan masa depan, terutama karier merupakan
salah satu tugas remaja dalam tahap perkembangannya seperti yang
dikemukakan oleh Crites (Patton & Pater, 2001) bahwa:
“Career Maturity is central to a developmental approach to understanding career behavior and involves an assessment of an individual’s level of career progress in relation to his or her career relevant developmental tasks.”
6
Kematangan karier adalah pusat pendekatan perkembangan untuk
memahami perilaku karier dan melibatkan penilaian tingkat kemajuan
karier seseorang dalam kaitannya dengan tugas perkembangan kariernya
yang relevan. Dengan demikian sangatlah penting bagi peserta didik
untuk mampu mencapai kematangan karier agar setiap peserta didik
dapat mengembangkan dirinya menjadi lebih baik.
Super (Prahesty, 2013) menyatakan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi tercapainya kematangan karier yaitu: 1)
Faktor-biososial, seperti umur dan kecerdasan, 2) Faktor lingkungan,
yaitu tingkat pekerjaan orang tua, sekolah, stimulus budaya dan
kohesivitas keluarga, 3) Keperibadian, meliputi kosep diri, fokus kendali,
bakat khusus, nilai/norma dan tujuan hidup, 4) Faktor vokasional,
kematangan karier individu, tingkat kesesuaian aspirasi dan ekspektasi
karier, 5) Prestasi individu, meliputui prestasi akademik, kebebasan,
partisipasi di sekolah dan luar sekolah. Berdasarkan pendapat super
mengenai fator-faktor yang mempengaruh kematangan karier, faktor
kecerdasan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
perbedaaan kematangan karier peserta didik.
Sebuah studi yang dilakukan di Afrika Selatan oleh Watson dan
van Aarde yang menguji tingkat kematangan karier peserta didik kulit
berwarna, menunjukkan bahwa usia, status sosial ekonomi, kecerdasan
dan gender memiliki pengaruh pada tingkat kematangan karier peserta
7
didik kulit berwarna (Coertse & Schepers, 2004). Selain itu penelitian
menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang positif dan sigifikan antara
kecerdasan intelektual dengan kemampuan mahasiswa kedokteran
Universitas Sam Ratulangi (Jachja, Rinto, Wungouw, & Pangemanan,
2014).
Penelitian sejenis yang dilakukan oleh Coertse & Schepers (2004)
memberikan kesimpulan bahwa, “…the career mature students are more
outgoing, display higher levels ofintelligence…” Kematangan karier
peserta didik yang lebih tinggi, menunjukan tingkat kecerdasan yang
lebih tinggi pula. Dengan demikian, peneliti mengasumsikan berdasarkan
data penelitian tersebut, bahwa dengan tingkat kecerdasan intelektual
yang baik maka akan membentuk kematangan karier yang baik pula
pada peserta didik.
Betz (Coertse & Schepers, 2004) juga menjelaskan bahwa
“The history of career maturity assessment is one marked by a series of debates over (a) the choice of criteria that define career maturity, (b) the associations between measures of career maturity, attitudes and measures of general intelligence and whether career maturity inventories can measure some aspects of intelligence and (c) the questionable reliability and validity of the measures.” Sejarah penilaian kematangan karier ditandai oleh serangkaian
perdebatan mengenai (a) pilihan kriteria yang mendefinisikan
kematangan karier, (b) hubungan antara ukuran kematangan karier, sikap
dan ukuran kecerdasan intelektual dan apakah kematangan karier dapat
8
Mengukur beberapa aspek kecerdasan dan (c) reliabilitas dan validitas
yang dipertanyakan dari tindakan tersebut. Data sejarah terhadap
penilaian kematangan karier di atas memperlihatkan bahwa, pengukuran
terhadap tingkat kematangan karier membutuhkan rangkaian
pertimbangan dan penelitan yang objektif sehingga pada penelitian ini,
peneliti mencoba menganalisa aspek kecerdasan terhadap tingkat
kematanagan karier peserta didik.
Seiring dengan berkembanganya pendidikan dan banyak
penelitian yang mulai melakukan riset terhadap aspek-aspek yang
mempengaruhi kematangan karier, hal ini tentunya menimbulkan banyak
asumsi-asumsi mengenai kematangan karier itu sendiri. Gottfredson
(Coertse & Schepers, 2004) menjelaskan bahwa, “…low intelligence will
have an affect on career choice and thus on career maturity…” Tingkat
kecerdasan yang rendah akan mempengaruhi pada saat melakukan
pemilihan karier dan kematangan kariernya. Tingkat kecerdasan pada
peserta didik SMK tentunya akan bersinggungan dengan prestasi
akademik peserta didik itu sendiri pada saat di Sekolah. Gill (2013)
mengasumsikan bahwa,
“Academic as well profession pursuit necessarily draws on the intellectual talent of the individual. High IQ will naturally lead to higher academic achievement leading to the choice for high profile occupations. Moreover every occupation requires different level of IQ. While making a choice for career, intellectual level of the individual should be kept in mind.”
9
Prestasi akademik sekaligus profesi selalu mengacu pada bakat
intelektual individu. IQ tinggi secara alami akan menghasilkan prestasi
akademis yang lebih tinggi dan mengarah pada pilihan untuk pekerjaan
berprofil tinggi. Apalagi setiap pekerjaan membutuhkan tingkat IQ yang
berbeda. Sementara membuat pilihan untuk karier, tingkat intelektual
individu harus selalu diingat. Berkaitan dengan penelitian yang akan
dilakukan mengenai perbandingan antara tingkat kecerdasan intelektual
(IQ) terhadap kematangan karier pada penelitian ini, tentunya asumsi
tersebut menunjukan bahwa perstasi akademik peserta didik pada saat di
Sekolah mengacu kepada tingkat kecerdasan intelektualnya. Tingkat
kecerdasan intelektual yang tinggi akan memperlihatkan tingkat
kematangan karier yang tinggi pula. Dalam hal ini peserta didik SMK agar
dapat melakukan pemilihan karier yang baik, tentu purlu adanya tindakan
dalam arti penelitian, sehingga peserta didik dapat terus mengembangan
prestasi akademiknya (kecerdasan intelektual) agar mencapai
kematangan karier yang lebih baik dan siap terjun langsung di dunia kerja
atau melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi sesuai
dengan data dari hasil penelitian tentang kamatangan karier peserta didik
itu sendiri.
SMK dipilih sebagai subjek penelitian dikarenakan mayoritas dari
lulusan SMK berorientasi untuk bekerja, peneliti melakukan survei
terhadap beberapa lulusan SMK, dimana peneliti mengukur tingat
10
kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh lulusan SMK sesuai
dengan penjurusan pada saat duduk di bangku sekolah. Hasil yang
didapatkan dari survei tersebut ialah empat dari lima orang lulusan SMK
sama sekali belum bisa memaksimalkan hasil belajar tiga tahun dan
kurangnya kemampuan atau keterampilan yang dimilikinya.
Peneliti juga membandingkan keadaan tersebut dengan nilai yang
tertera pada ijazah, hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan
yang terjadi pada lulusan SMK. Rata-rata nilai yang didapatkan dari
beberapa lulusan SMK yang ditemui mencapai nilai 80 sampai dengan 90
pada nilai Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Nasional baik tertulis maupun
praktik, sehingga penelitian mengenai kematangan karier lebih sesuai
dengan kondisi subjek.
Keadaan yang terjadi pada lulusan SMK khususnya yang terjadi di
daerah Cibinong berdasarkan hasil survei yang dilakukan peneliti
menghasilkan pertanyaan terhadap keadaan yang terjadi, bagaimanakan
lulusan SMK dengan rata-rata nilai mencapai angka 80-90 pada tiap
bidang keahlian yang tertera pada ijazah tidak sesuai dengan
kemampuan dan keterampilah dari lulusan SMK itu sendiri. Selain itu
berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada
guru bimbingan dan konseling dari beberapa SMK di daerah Cibinong,
menyimpulkan penelitian ini akan sangat membantu bagi peserta didik
kelas XII yang dimana mereka harus segera mengambil keputusan untuk
11
proses perkembangan pada tahap selanjutnya karena keadaan yang
terjadi saat ini banyak lulusan SMK dengan nilai akademik yang tinggi
namun masih belum dapat memaksimalkan kemampuan atau skill yang
dimiliki untuk bersaing di dunia kerja (Konseling, 2017)
Penelitian mengenai kematangan karier ini akan dilaksanakan
pada peserta didik kelas XII di SMK Negeri 1 Cibinong karena beberapa
alasan di antaranya; Belum adanya penelitian sejenis yang pernah
dilakukan SMK Negeri 1 Cibinong. Berdasarkan beberapa temuan
penelitian menjelaskan bahwa kecerdasan intelektual menjadi salah satu
faktor penentu terhadap kematangan karier peserta didik, selain itu
terdapat penelitian yang mejelaskan bahwa tingkat kecerdasan
intelektual terkait secara positif dengan kematangan karier (Naidoo,
Bowman, & Gerstein, 1998). Berdasarkan temuan-temuan yang terjadi
penting untuk dilakukannya penelitian agar dapat mengukur perbedaan
kematangan karier peserta didik di SMK Negeri 1 Cibinong secara
objektif dan dapat memberikan informasi mengenai kematangan karier
peserta didik sebagai bekal untuk melanjutkan jenjang pendidikan
ataupun memasuki dunia kerja .
12
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada uraian di atas, peneliti memiliki ketertarikan
terhadap hal apakan yang menjadi penyebab adanya fenomena tersebut.
maka dengan demikian rumusan masalah yang penulis ajukan ialah
sebagai berikut :
1. Faktor apa saja yang mempengaruhi kematangan karier peserta didik
kelas XII di SMK Negeri 1 Cibinong ?
2. Apakah terdapat perbedaan kematangan karier peserta didik SMK
berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual pada peserta didik kelas
XII di SMK Negeri 1 Cibinong ?”
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas peneliti membatasi
permasalahan mengenai “Perbedaan kematangan karier peserta didik
berdasarkan tingkat kecerdasan pada peserta didik kelas XII di SMK
Negeri 1 Cibinong ?”
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang peneliti ajukan pada penelitian ini ialah
apakah terdapat perbedaan kematangan karier peserta didik SMK
berdasarkan kecerdasan intelektual pada peserta didik kelas XII di SMK
Negeri 1 Cibinong.
13
E. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Sebagai bahan memperkaya wawasan mengenai kematangan
karier peserta didik SMK dilihat berdasarkan tingkat kecerdasan
b. Sebagai referensi untuk penelitian di masa mendatang mengenai
tingkat kematangan karier peserta didik SMK berdasarkan
kecerdasan.
2. Kegunaan Praktis
a. Peserta didik
Memberikan pengetahuan mengenai tahap perkembangan pada
dirinya juga memberikan wawasan agar mampu memilih pilihan
karier secara matang. Sehingga setiap peserta didik lulusan SMK
Negeri 1 Cibinong menjadi lebih baik setelah lulus dan siap bersaing
pada tahapan perkembangnnya, baik untuk melanjukan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi atau pun meniti karier dengan bekerja.
b. Guru Bimbingan Konseling.
Memberikan informasi mengenai pemahanan tingkat kecerdasan
dan kematangn karier peserta didik di SMK Negeri 1 Cibinong dan
dapat digunakan untuk mengembangkan layanan dasar bimbingan
konseling khususnya layanan karier.
14
c. Mahasiswa Bimbingan dan Konseling
Memberikan informasi tentang pemahanan tingkat kecerdasan dan
kematangan karier peserta didik serta sebagai bentuk pelaksanaan
akademis dalam mengembangkan riset dan ilmu pengetahuan.
d. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan sebagai bekal untuk menjadi seorang
pendidik, serta dalam rangka penerapan ilmu yang diperoleh
selama kuliah.
15
BAB II
DESKRIPSI TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kematangan Karier
1. Kematangan Karier
a. Definisi Karier
Karier secara umun didefinisikan sebagai suatu pekerjaan untuk
mendapatkan penghasilan. Kamus Besar Bahasa Indonesia
menterjemahkan karier sebagai perkembangan dan kemajuan dalam
kehidupan, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya (KBBI, 2005).
‘‘A career is a chosen pursuit; a profession or occupation. It is the sequence and variety of occupations (paid and unpaid) which one undertakes throughout a lifetime. More broadly, career includes life roles, leisure activities, learning and work.’’
Hall (Gill, 2013) berpendapat bahwa karier adalah pencarian
yang dipilih; Sebuah profesi atau pekerjaan. Hal Ini adalah urutan dan
variasi pekerjaan (dibayar dan tidak dibayar) yang dilakukan
seseorang seumur hidup. Secara lebih luas, karier mencakup peran
hidup, aktivitas santai, belajar dan bekerja. Definisi karier menurut Hall
menjelaskan bahwa peran hidup yaitu aktivitas sehari-hari merupakan
pekerjaan atau karier dalam arti secara luas.
16
“A career is defined as the combination and sequence of roles played by a person during the course of a lifetime. These roles include those of child, pupil or student, leisurite, citizen, worker, spouse, homemaker, parent, and pensioner, positions with associated expectations that are occupied at some time by most people, and other less common roles such as those of criminal, reformer, and lover.”
Super (1980) menjelaskan bahwa karier didefinisikan sebagai
kombinasi dan urutan peran yang dimainkan oleh seseorang selama
masa hidup. Peran ini termasuk anak, murid, pelajar, leisurite, warga
negara, pekerja, pasangan, ibu rumah tangga, orang tua, dan
pensiunan, dengan harapan yang terkait yang diduduki beberapa
waktu oleh kebanyakan orang, dan peran lain yang kurang umum
seperti kejahatan , pembaharu, dan kekasih.
Hastho dan Sugiarto (Kusumaningrum, 2012) para pakar lebih
senang mendefinisikan karier sebagai perjalanan pekerjaan seorang
pegawai di dalam organisasi. Perjalanan ini dimulai sejak ia diterima
sebagai pegawai baru dan berakhir pada saat ia tidak bekerja lagi
dalam organisasi tersebut. Pendapat tersebut menunjukan bahwa
Hastho dan Sugiarto menyimpulkan karier merupakan aktivitas atau
suatu pekerjaan dalam sebuah instansi perusahaan dengan masa
jabatan tertentu atau sampei denan masa pensiun. Triton
menyimpulkan definisi karier berdasarkan beberapa pendapat pakar
sebagai kronologi kegiatan-kegiatan dan perilaku-perilaku yang terkait
17
dengan kerja dan sikap, nilai dan aspirasi-aspirasi seseorang atas
semua pekerjaan atau jabatan baik yang telah maupun yang sedang
dikerjakannya (Kusumaningrum, 2012). Defnisi karier menurut Triton
menjelaskan bahwa karier merupukan kronologi kegiatan sehari-hari
yang berkaitan dengan pekerjaan baik yang telah maupun yang
sedang dikerjakan.
“…a succession of related jobs arranged in a hierarchy of prestige, through which persons move in an ordered, (more or less predictable) sequence…” Wilensky (Osibanjo, 2014) mendefinisikan karier secara
struktural berkaitan dengan pekerjaan yaitu “serangkaian pekerjaan
terkait yang diatur dalam hierarki prestise, di mana orang-orang
bergerak dalam urutan yang teratur, (yang lebih atau kurang dapat
diprediksi).” Wilensky menjelaskan bahwa karier merupakan suatu
aktivitas atau pekerjaan yang sudah diatur pada susunan kerja tertentu
dengan urutan kerja yang teratur.
”Leach and Chakiris (1988) see career in a more deeper perspective, they argue that career is by-product of job and job is activity individuals get into in order to get paid, and job does not lead individuals to anywhere; while career is seen as a continuous and progressive behavior display by individuals moving through a journey (path/ladder) that leads to predicted/known ultimate end.” Leach and Chakiris (Osibanjo, 2014) melihat karier dalam
perspektif yang lebih dalam, mereka berpendapat bahwa karier adalah
hasil sampingan dari pekerjaan dan pekerjaan adalah aktivitas yang
dilakukan orang untuk mendapatkan bayaran, dan pekerjaan tidak
18
mengarahkan individu ke mana saja; Sementara karier dipandang
sebagai tampilan perilaku yang kontinu dan progresif oleh individu
yang bergerak melalui sebuah perjalanan(Jalur / tangga) yang
mengarah ke prediksi / akhir akhir yang diketahui. Definisi karier
menurut Leach and Chakiris menjelaskan perspektif karier dalam
bentuk pekerjaan sekaligus pencapaian dari hasil perkerjaan dengan
demikian karier dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan dengan
jenjang karier tertentu dan pencapaian dari karier itu sendiri.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dipahami bahwa
karier merupakan suatu rangkaian pekerjaan, dan jabatan selama
kehidupan individu yang dipengaruhi psikologis, sosiologis,
pendidikan, fisik, ekonomi, dan faktor-faktor lainnya. Individu bisa saja
memiliki satu pekerjaan sepanjang hidupnya, namun ada pula individu
yang memiliki berbagai macam pekerjaan sepanjang hidupnya sesuai
dengan tahapan dari perkembangan individu tersebut.
b. Definisi Kematangan Karier
Karier didefinisikan sebagai perkembangan dalam rangka
pengalaman kerja seseorang. Crites (Patton & Pater, 2001)
mendefinisikan kematangan karier yaitu:
“…Career Maturity is central to a developmental approach to understanding career behavior and involves an assessment of an individual’s level of career progress in relation to his or her career relevant developmental tasks…”
19
Kematangan karier adalah pusat pendekatan perkembangan
untuk memahami perilaku karier dan melibatkan penilaian tingkat
kemajuan karier seseorang dalam kaitannya dengan tugas
perkembangan kariernya yang relevan. Definisi tersebut menjelaskan
bahwa karier sebagai suatu rangka pekerjaan, jabatan dan kedudukan
yang mengarah pada kehidupan dalam dunia kerja.
“career maturity can be defined as the way in which an individual successfully completes certain career development tasks that are required according to his current developmental phase”. It is seen as the collection of behaviours necessary to identify, choose, plan and execute career goals.”
Super (Coertse & Schepers, 2004) menjelaskan bahwa
kematangan karier sebagai tingkat di mana individu telah menguasai
tugas perkembangan kariernya, baik komponen pengetahuan
maupun sikap, yang sesuai dengan tahap perkembangan karier.
Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh ahli tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa kematangan karier merupakan
keberhasilan individu untuk menjalankan tugas perkembangan karier
sesuai dengan tahap perkembangan yang sedang dijalani, meliputi
pembuatan perencanaan, pengumpulan informasi mengenai
pekerjaan, dan pengambilan keputusan karier yang tepat
berdasarkan pemahaman diri dan pemahaman mengenai karier yang
dipilih.
20
“Career maturity is a constellation of physical, psychological and social characteristics thus belonging to both the domains that of cognitive and affective. It is central to a developmental approach to understanding vocational behavior and involves an assessment of an individual's level of career progress in relation to his or her career-relevant development tasks. It refers, broadly, to the individual's readiness to make informed, age-appropriate career decisions and cope with career development tasks.”
Savickas (Sihiro, 2013) menjelaskan bahwa kematangan karier
adalah konstelasi karakteristik fisik, psikologis dan sosial sehingga
tergolong dalam ranah kognitif dan afektif. Ini penting bagi pendekatan
perkembangan untuk memahami perilaku kejuruan dan melibatkan
penilaian tingkat kemajuan karier seseorang dalam kaitannya dengan
tugas pengembangan kariernya yang relevan. Ini mengacu pada
kesiapan individu untuk membuat keputusan karier yang tepat sesuai
usia dan mengatasi tugas pengembangan karier.
“Career maturity refers to the individual’s readiness to make
informed, age-appropriate career decisions and deal with career
development tasks.”
Savakis (Bozgeyikli, 2009) menjelaskan bahwa kematangan
karier mengacu pada kesiapan individu untuk membuat keputusan
karier yang tepat sesuai usia dan menangani tugas pengembangan
karier. Definisi tersebut menjelaskan bahwa kematangan karier
mengacu pada kesiapan individu untuk mampu mengidentifikasi,
memilih, merencanakan, dan melaksanakan tujuan-tujuan karier yang
21
tersedia bagi individu tertentu sesuai denan tahap perkembangan
kariernya.
Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kematangan karier
merupakan keberhasilan individu untuk menjalankan tugas
perkembangan karier sesuai dengan tahap perkembangan yang
sedang dijalani, meliputi pembuatan perencanaan karier dengan
demikian individu memiliki kepercayaan diri, kemampuan untuk
dapat belajar dari pengalaman, menyadari bahwa dirinya harus
membuat pilihan pendidikan dan pekerjaan, serta mempersiapkan
diri untuk membuat pilihan tersebut. Pengumpulan informasi
mengenai pekerjaan ini menambah pengetahuan tentang jenis-jenis
pekerjaan, cara untuk memperoleh dan sukses dalam pekerjaan
serta peran-peran dalam dunia pekerjaan. dan pengambilan
keputusan karier hal ini Individu memiliki kemandirian, membuat
pilihan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan,
kemampuan untuk menggunakan metode dan prinsip pengambilan
keputusan untuk menyelesaikan masalah termasuk memilih
pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan pemahaman ini peserta didik
dapat memilih karier dengan tepat.
22
c. Aspek dan Dimensi Kematangan Karier
Menurut Super (Sharf, 1992) terdapat lima dimensi dalam
kematangan karier. Kelima dimensi tersebut adalah:
1) Orientasi terhadap pilihan karier (Orientation Vocational Choice):
Salah satu tanda kematangan karier adalah sejauh mana remaja
menyadari kebutuhan untuk memilih pekerjaan dan faktor-faktor
yang masuk ke dalam keputusan ini. Dimensi ini mengarah pada
sikap seseorang yang berfokus dengan pilihannya serta
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki untuk menentukan
kariernya.
2) Informasi dan perencanaan (Information and Planning)
Kriteria lain dari kematangan karier adalah jumlah informasi yang
dapat dipercaya yang harus diambil seseorang untuk diambil
keputusan tentang pekerjaan dan kemudian merencanakan secara
logis dan kronologis untuk masa depan. Dimensi ini mengarah
kepada kemampuan seseorang untuk mengumpulkan informasi
yang berhubungan dengan kariernya sehingga dapat melakukan
perencanaan yang matang mengenai kariernya.
23
3) Konsistensi terhadap prefensi karier (Consistency of Vocational
Preference)
Masih ada indeks kematangan karier lainnya adalah seberapa
konsisten seorang remaja dalam preferensinya terhadap berbagai
pekerjaan dari satu titik waktu ke waktu yang lain.
4) Kristalisasi sifat (Crystallization of traits)
Dalam pengembangan karier yang matang, atribut psikologis
individu yang relevan dengan pengambilan keputusan, misalnya,
pola minat terdiferensialkan, nilai eksplisit, dan kemandirian yang
meningkat, berkembang seiring dengan tugas yang harus
diselesaikan. Dimensi ini menekankan pada pembentukan konsep
mengenai diri terutama yang berhubungan dengan kematangan
minatnya dan realisme pada pekerjaannya.
5) Kearifan dalam pemilihan karier (Wisdom of vocational preference)
Secara umum dikenal sebagai realisme pilihan kejuruan, dimensi
kedewasaan karier ini mencerminkan seberapa dekat keputusan
karier individu yang sesuai dengan berbagai aspek realitas, seperti
kemampuan prasyarat untuk pilihan pekerjaan, minat yang sesuai
untuk bidang karier yang dipilih, dan ketersediaannya sumber
keuangan untuk pelatihan yang relevan. Dimensi ini mengarah pada
kemampuan individu dalam melakukan pemilihan karier secara
24
bijaksana sehingga realistis dengan keadaan dirinya yang sesuai
dengan aktifitas pribadinya.
Crites (Coertse & Schepers, 2004) menciptakan model
pengembangan karier yang komperhensif dengan mengintergrasikan
pendekatan yang berbeda. Crites mengemukakan bahwa tahap
terpenting dalam pengembangan karier adalah tahap pendirian (usia
16 sampai 25 tahun), yang merupakan predicator kesuksesan karier
yang baik. Crites (Coertse & Schepers, 2004) mengemukakan model
kematangan karier terbagi menjadi dua dimesi: dimensi afektif dan
dimensi kognitif.
“The cognitive dimension is represented by career decisionmaking skills, whereas the affective dimension represents attitudes towards career development.”
Dimensi kognitif diwakili oleh keterampilan pengambilan keputusan
karier, sedangkan dimensi afektif mewakili sikap terhadap
pengembangan karier.
Seperti yang didefinisikan sebelumnya, kematangan karier
adalah sejauh mana seorang individu dapat menguasai tugas
pengembangan karier tertentu yang sesuai dengan tahap hidupnya
(Langley, 1996). Hal ini sangat penting untuk mengidentifikasi keadaan
kematangan karier seseorang untuk memberikan panduan karier yang
sesuai. Langley (Coertse & Schepers, 2004) menyoroti aspek
kematangan karier berikut:
25
1) Mendapatkan informasi tentang diri sendiri dan mengubah informasi
tersebut menjadi pengetahuan diri.
2) Memperoleh keterampilan membuat keputusan dan menerapkannya
dalam pengambilan keputusan yang efektif.
3) Mengumpulkan informasi karier dan mengubahnya menjadi
pengetahuan tentang dunia kerja.
4) Mengintegrasikan pengetahuan diri dan pengetahuan tentang dunia
kerja.
5) Menerapkan pengetahuan yang didapat dalam perencanaan karier
d. Tahap Perkembangan Karier
Memandang bahwa karier sebagai jalannya peristiwa-peristiwa
kehidupan, tahapan-tahapan pekerjaan dan peranan kehidupan
lainnya yang keseluruhannya menyatakan tanggung jawab seseorang
pada pekerjaan dalam keseluruhan pola perkembangan dirinya.
Menurut Super (Sharf, 1992) membagi tahap-tahap perkembangan
karier menjadi lima tahap berdasarkat umur, yaitu:
1) Fase petumbuhan (growth), 0 tahun sampai usia 15 tahun.
Dalam fase ini, anak mengembangkan bakat-bakat, minat,
kebutuhan, dan potensi, yang akhirnya dipadukan dalam struktur
konsep diri.
26
2) Fase eksplorasi (exploration) antara umur 15-25 tahun,
yaitu remaja mulai memikirkan beberapa alternatif pekerjaan,
tetapi belum mengambil keputusan yang mengikat.
3) Fase pemantapan (estabilishment), antara umur 25-45 tahun.
Pada fase ini, remaja sudah memilih karier tertentu dan
mendapatkan berbagai pengalaman positif dan negatif dari
pekerjaannya. Dengan pengalaman yang diperoleh, ia bisa
menentukan apakah ia akan terus dengan karier yang telah
dijalaninya atau berubah haluan.
4) Fase pembinaan (maintenence) antara umur 45-65 tahun,
saat seseorang telah mantap dengan pekerjaannya dan
memeliharanya agar dia tekun sampai akhir.
5) Fase kemunduran (decline), +65 tahun, masa sesudah pensiun
atau melepaskan jabatan tertentu. Dalam fase ini seseorang
membebaskan diri dari dunia kerja formal.
Berdasarkan tahap perkembangan karier yang sudah
dipaparkan di atas, peneliti hanya mengikutsertakan peserta didik
SMK kelas XII (exploration) sehingga tugas perkembangan yang
akan diteliti adalah mengenai alternatif pilihan pekerjaan yang sesuai
dengan bidang dan tingkat pekerjaannya dilihat dari kompetensi
dirinya.
27
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruh Perkembangan Karier
Super (Prahesty, 2013) mengklasifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi kematangan karier ke dalam lima kelompok Berikut
ringkasan kelima faktor yang dimaksud tersebut:
1) Faktor bio-sosial, yaitu informasi yang lebih spesifik,
perencanaan, penerimaan, tanggung jawab dalam perencanaan
karier, serta orientasi pilihan karier berhubungan dengan faktor bio-
sosial seperti umur dan kecerdasan.
2) Faktor lingkungan, yaitu indeks kematangan karier individu
berkorelasi dengan tingkat pekerjaan orang tua, kurikulum
sekolah, stimulus budaya dan kohesivitas keluarga.
3) Faktor vokasional, kematangan karier individu berkorelasi positif
dengan aspirasi vokasional, tingkat kesesuaian aspirasi dan
ekspektasi karier.
4) Prestasi individu, meliputi prestasi akademik, kebebasan,
partisipasi di sekolah dan luar sekolah.
Miller (Mubiana, 2010) menjelaskan faktor yang menentukan
kematangan karier terbagi manjadi faktor internal yaitu: usia, jenis
kelamin, tingkat sekolah, kecerdasan mental, bahasa, kematangan
pribadi dan konsep diri dan lokus control. Selain itu juga Miller
menjelaskan faktor lain seperti: interaksi orang tua dan keluarga,
28
tingkat sosial ekonomi, area geografis tempat tinggal, program sekolah
dan bimbingan, dan keterlibatan masyarakat dan budaya sebagai
faktor penentu kedewasaan karier.
…Literature on career development theories has identified a number of correlates of career maturity. Internal determinants like age, gender, school grade, mental intelligence, language, personal maturity and self concept and locus of control have been identified by Miller (2006) as correlates of career maturity. In addition, Miller (2006) postulate parents and family interactions, social-economic level, geographical area of residence, school and guidance Programmes, and community involvement and culture as external determinants of career maturity…
Faktor yang mempengaruhi perkembangan karier pada masa
remaja menurut Seligman (Brown & Lent, 2005) adalah sebagai
berikut:
1) Individu
Faktor individu memiliki pengaruh yang kuat pada
perkembangan karier seseorang. Setiap individu memiliki
kepribadian yang berbeda-beda, seperti karakter, minat, bakat, dan
nilai-nilai dalam diri akan mempengaruhi individu dalam memilih
bidang pekerjaannya. Selain itu, faktor keluarga, teman, guru, dan
pengalaman anak di usia dini ikut mempengaruhi harapan, rencana,
dan pilihan pekerjaannya.
29
2) Pengalaman
Pengalaman seseorang seperti pengalaman kerja, kegiatan
di waktu luang, serta paparan kerja dan gaya hidup. Secara umum,
remaja yang memperoleh pengalaman bekerja memiliki nilai yang
lebih tinggi dan harga diri yang lebih baik daripada mereka yang
tidak memiliki pengalaman bekerja.
3) Latar belakang etnis dan sosio-ekonomi
Faktor ini sangat mempengaruhi remaja dalam memilih
kariernya. Umumnya remaja akan bercermin dengan kondisi sosial
maupun ekonomi mereka sebagai model atau patokan mereka
dalam memilih kariernya di masa depan. Hal ini diperkuat oleh
Schoon dan Parsons dalam Brown dan Lent, yang menemukan
bahwa status sosial ekonomi keluarga berhubungan dengan
pencapaian pekerjaan anaknya nanti ketika dewasa.
4) Gender
Perkembangan karier remaja perempuan berbeda dari
remaja laki-laki yang sedemikian rupa membatasi pilihan pekerjaan
perempuan. Remaja perempuan menunjukkan kematangan karier
yang lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki dan terlihat pilihan
pekerjaan mereka lebih pasti. Remaja perempuan lebih kompleks
dalam memilih suatu pekerjaan.
30
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa
kematangan karier dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu internal
maupun eksternal. Faktor internal diantaranya kecerdasan, usia,
gender, minat, sikap, orientasi motivasi, harga diri, dan strategi
pemecahan masalah. Faktor internal individu merupakan faktor utama
yang dapat mempengaruhi kematangan karier individu. Meskipun
demikian, faktor eksternal individu juga sangat penting, yaitu orang-
orang yang berada disekitar individu juga menjadi faktor yang tidak
dapat diabaikan, faktor eksternal yang mempengaruhi kematangan
karier seorang individu diantaranya teman sebaya, lembaga
pendidikan, status sosial ekonomi dan keluarga serta peran orang tua
yang mampu mempengaruhi seseorang dalam upaya mencapai
kematangan kariernya.
f. Pengukuran Kematangan Karier
Seligman (Crites & Savickas, 1996) Crites menyebutkan
beberapa inventori yang dapat mengukur kematangan karier, salah
satunya ialah Adult Career Concems Inventory (ACCI). Alat ini dibuat
oleh Super, Thompson dan Lindeman, dipublikasikan oleh Consulting
Psychologists Press. ACCI dibuat berdasarkan konsep yang
diperkenalkan oleh Super tentang career adaptability pada dewasa
dan berguna untuk membantu orang-orang pada tahapan
31
perkembangan dewasa dalam memahami, mengatur, memikirkan
kembali dan mengubah karier mereka.
Selanjutnya, Career Development and Inventory (CDI). Alat
yang dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Super
mengenai pola-pola karier, pertama kali dipublikasikan oleh Consulting
Psychologist Press. Alat ini didesain untuk membantu mereka yang
berbeda pada tahap eksplorasi dalam perkembangan kariernya. CDI
mengukur empat dimensi dasar dari kematangan karier, yaitu:
perencanaan, eksplorasi, pembuatan keputusan, dan informasi.
Career Maturity Inventory (CMI). Inventori ini sebenarnya
dikembangkan setelah memperbaiki inventori perkembangan karier
yang disusun oleh Super. CMI yang dibuat oleh Crites ini merupakan
alat ukur yang berakar pada Career Patern Study (CPS) yang
dilakukannya bersama-sama dengan Super. Alat ini disusun oleh John
Crites untuk mengukur kematangan karier dan kemampuan untuk
membuat keputusan karier. Inventori ini dipisahkan dalam dua bagian,
yaitu mengukur career choice competence atau kompetensi terhadap
karier dan career choice attitudes atau sikap terhadap karier.
Kompetensi terhadap karier mengukur penilaian diri, informasi jabatan,
seleksi tujuan, perencanaan, dan pemecahan masalah, sedangkan
sikap terhadap karier terdiri dari keyakinan, keterlibatan, kebebasan,
orientasi, dan kompromi dalam pengambilan keputusan. Kedua bagian
32
tersebut dapat dipakai untuk laki-laki dan perempuan, kelompok
minoritas, atau kelompok khusus.
2. Kecerdasan Intelektual
a. Definisi Kecerdasan
Kecerdasan adalah prihal mengenai cerdas atau kesempurnaan
akal budi manusia. Kata kecerdasan diambil dari akar kata cerdas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Cerdas berarti sempurna
perkembangan akal budi seorang manusia dalam berfikir, mengerti,
tajam pikiran dan sempurna pertumbuhan tubuhnya (KBBI, 2005)
William Stern, menyatakan bahwa sesuatu yang berkaitan
dengan keceradasan merupakan daya yang individu lakukan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-
alat berpikir menurut tujuannya. Orang yang tingkat kecerdasannya
tinggi akan lebih cepat dan tepat dalam menghadapi masalah-masalah
baru bila dibandingkan dengan orang yang kecerdasannya rendah.
Beberapa ahli pada bidang kecerdasan telah banyak memberikan
penjelasan mengenai kecerdasan, berikut ini merupakan definisi
kecerdasan berdasarkan para ahli: Spearman (Gregrory, 2000) (1904,
1923) menjelaskan definisi kecerdasan adalah “a general ability which
involves mainly the eduction of relations and correlates” kecerdasan
merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi suatu
33
peristiwa yang melibatkan edukasi hubungan sebab akibat. Selatjutnya
Binet and Simon (Gregrory, 2000) (1905) mendefinisikan kecerdasan
ialah “the ability to judge well, to understand well, to reason wellI”
maksudnya ialah kemampuan individu untuk menilai, memahai dan
memiliki alasan dalam tindakan yang dilakukannya.
Terman (Gregrory, 2000) (1916) menjelaskan kecerdasan ialah
“the capacity to form concepts and to grasp their significance” yang
artinya kemamuan individu untuk membetuk konsep dan memahami
signifikansi pada suatu keadaan atau peristiwa. Selanjutnya Pintner
(Gregrory, 2000) (1921) menjelaskan definisi kecerdasan ialah “the
ability of the individual to adapt adequately to relatively new situations
in life” yang artinya ialah kemampuan individu untuk beradaptasi
secara memadai terhadap situasi yang relative baru dalam kehidupan.
Di tahun yang sama Thorndike (Gregrory, 2000) (1921) menjelaskan
definisi kecerdasan sebagai “the power of good responses from the
point of view of truth or fact” yang artinya kemampuan atau keuatan
tanggapan yang dimiliki individu baik dari sudut kebenaran maupun
pada sudaut fakta. Selanjutnya Thurstone (Gregrory, 2000) (1921)
menjelaskan mengenai definisi kecerdasan yaitu “the capacity to inhibit
instinctive adjustments, flexibly imagine different responses, and
realize modified instinctive adjustments into overt behavior” yang
artinya kemampuan individu untuk menghambat penyesuaian naluriah,
34
secara fleksibel membayangkan berbagai tanggapan, dan
mewujudkan penyesuaian naluriah yang dimodifikasi menjadi perilaku
yang ditampilkan.
Wechsler (Gregrory, 2000) (1939) menjelaskan definisi
kecerdasan yaitu “the aggregate or global capacity of the individual to
act purposefully to think rationally, and to deal effectively with the
environment” menjelaskan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan
individu dalam dalam bertidak secara rasional dan mampu berada
dalam lingkungan secara efektif dan baik. Setelah itu Humphreys
(Gregrory, 2000) (1971) menjelaskan mengenai definisi kecerdasan
sebagai “the entire repertoire of acquired skills, knowledge, learning
sets, and generalization tendencies considered intellectual in nature
that are available at any one period of time” yang artinya kecerdasan
merupakan kemampuan individu pada segi keterampilan,
pengetahuan dan kecederunagn kepada generalisasi terhadap sesuai
yang bersifat intelektual pada priode tertentu.
Piaget (Gregrory, 2000) (1972) menjelaskan definisi kecerdasan
ialah “a generic term to indicate the superior forms of organization or
equilibrium of cognitive structuring used for adaptation to the physical
and social environment” yang artinya kecerdasan merupakan sebuah
istilah generik untuk menunjukkan bentuk superior organisasi atau
keseimbangan penataan kognitif yang digunakan untuk adaptasi
35
terhadap lingkungan fisik dan sosial. Selanjutnya Sternberg (Gregrory,
2000) (1985, 1986) menjelaskan bahwa kecerdasan merupakan “the
mental capacity to automatize information processing and to emit
contextually appropriate behavior in response to novelty; intelligence
also includes metacomponents, performance components and
knowledge-acquisition components” yang artinya ialah kemampuan
mental untuk mengotomatisasi pemrosesan informasi dan
memancarkan perilaku sesuai konteks dalam menanggapi hal baru;
kecerdasan juga mencakup komponen metakomponen, komponen
kinerja dan komponen pengetahuan-akuisisi.
Eysenck (Gregrory, 2000) (1986): “error-free transmission of in
formation through the cortex” menjelaskan bahwa kecerdasan
merupakan bentuk kebebasan dalam cara berfikir seseorang.
Selanjutanya Gardner (Gregrory, 2000) (1986) menjelaskan
kecerdasan meruakan “the ability or skill to solve problems or to
fashion products which are valued within one or more cultural settings”
yang artinya kecerdasan ialah kemampuan atau keterampilan untuk
memecahkan masalah atau produk fashion yang dinilai dalam satu
atau lebih setting budaya. Ceci (Gregrory, 2000) (1994) menjelaskan
menganai kecerdasan merupakan “multiple innate abilities which serve
as a range of possibilities; these abilities develop (or fail to develop, or
develop and later atrophy) depending upon motivation and exposure to
36
relevant educational experiences” yang artinya kecerdasan merupakan
beberapa kemampuan bawaan yang berfungsi sebagai berbagai
kemungkinan; kemampuan ini berkembang (atau gagal berkembang,
atau berkembang dan kemudian atrofi) bergantung pada motivasi dan
paparan terhadap pengalaman pendidikan yang relevan.
Berdasarkn definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan atau kecerdasan adalah kemampuan
potensial unum untuk belajar dan bertahan hidup, yang dicirikan degan
kemapuan untuk belajar, kemampuan untuk berpikir absrtak, dan
kemampuan memecahkan masalah.
b. Teori Kecerdasan
Kecerdasan merupakan kemampun yang dimiliki setiap individu.
Kecerdsan tersebut dapat diperoleh berdasarkan faktor bawaan
ataupun faktor pendidikan yang dijalani. Dalam hal ini, banyak
perbedaan mengenai teori kecerdasan berdasarkan pendapat para
ahli Pal, Pal & Tourani (2005) menjelaskan teori-teori kecerdasan yang
ada sebagai berikut:
Faculty theory: teori ini merupakan teori tertua mengenai sifat
kecerdasan dan berkembang pada abad ke-18 dan abad ke-19.
Berdasarkan teori ini, pemikiran menengenai kecerdasan terdiri dari
faculty yang berbeda-beda seperti penalaran, ingatan, diskriminasi,
imajinasi, dan lain-lain. Kemampuan ini tidak tergantung satu sama
37
lain dan dapat dikembangkan dengan latihan yang kuat. Nampun pada
kenyataannya mengenai faculty theory ini mendapat kritik dari para
psikolog eksperimental yang menyangkal keberadaan faculty
independen di otak (Pal, A, & Tourani, 2005).
One factor/ UNI factor theory: teori ini menjelaskan mengenai
spesialisasi kecerdasan berdasarkan kemampuan yang ada pada
individu-individu tertentu. Teori ini menjelaskan bahwa kecerdasan
setiap individu memiliki garis yang berbeda-beda kerena kecerdasan
yang dimiliki setiap individu berkorelasi dengan kemampuan diri
sendiri, sehinga setiap individu memiliki tingkat kemampuan yang
berbeda dan akan mendominasi salah satu bidang kecerdasan
tertentu (Pal, A, & Tourani, 2005).
Spearman’s two-factor theory: teori ini dikembangakan pada
tahun 1904 oleh Psikolog Inggris, Charles Spearman. Teori ini
menjelaskan bahwa kemampuan kecerdasan seseorang terdiri dari
dua faktor: faktor unum atau yang dikenal dengan sebutan faktor ‘g’
dan yang lainnya merupakan kelompok kemampuan spesifik atau lebih
dikenal dengan sebutan faktor ‘s’. Faktor ‘g’ adalah kemampuan
bawaan universal, sehingga semakin besar faktor ‘g’ pada seseorang
makan akan berpengaruh besar pula pada kemungkinan kesuksesan
yang diraih. Faktor ‘s’ diperoleh dari lingkungan. Faktor ini memiliki
38
variasi dari aktivitas ke aktivitas pada individu yang sama
(pengalaman) (Pal, A, & Tourani, 2005).
Thorndike’s multifactor theory: Thorndike percaya bahwa tidak
ada kemampuan umum. Setiap aktivitas mental membutuhkan
kumpulan kemampuan yang berbeda. Thorndike juga membedakan
empat atribut kecerdasan berikut ini: (1) Tingkat-mengacu pada tingkat
kesulitan suatu tugas yang bisa dipecahkan. (2) Rentang-mengacu
pada sejumlah tugas pada tingkat kesulitan tertentu. (3) Area-berarti
jumlah total situasi pada setiap tingkat di mana individu dapat
merespons. (4) Kecepatan-adalah kecepatan yang dapat kita gunakan
untuk merespons item (Pal, A, & Tourani, 2005).
Thurstone’s theory : Primary mental abilities/Group factor
theory: teori ini menjelskan bahwa aktivitas kecerdasan bukanlah
ungkapan dari faktor-faktor yang sangat spesifik dan juga bukan
ungkapan utama dari faktor unum yang mencakup semua aktivitas
mental. Teori ini dikembangakan berdasarkan analisis Spearman
bahwa: ‘beberapa’ aktivitas mental memiliki kesamaan sebagai faktor
‘utama’ yang memberi kesatuan psikologis dan fungsional serta
membedakan aktivitas mental lainnya. Aktivitas mental ini kemudian
membentuk sebuah kelompok. Kelompok yang lain memiliki faktor
tersendiri, dan seterusnya. Dengan kata lain, ada sejumlah kelompok
kemampuan mntal, yang masing-masing memiliki faktor utama dan
39
memberikan kelompok kesatuan fungsional juga kekompakan.
Thurstone telah memberikan enam faktor utama mengenai kecerdasan
sebagai berikut: (1) Faktor Jumlah (N) -Mampu melakukan
Perhitungan Numerik dengan cepat dan akurat. (2) Faktor Verbal (V) -
Ditemukan dalam tes yang melibatkan Pemahaman Verbal. (3) Faktor
Ruang Angkasa (S) - Terlibat dalam tugas di mana subjek
memanipulasi benda imajiner di luar angkasa. (4) Memori (M) -
Menangani kemampuan untuk mengingat dengan cepat. (5) Faktor
Keadaan Fasih Dia (W) - Terlibat setiap saat subjek diminta
memikirkan kata-kata terisolasi dengan kecepatan tinggi. (6i) Faktor
Penalaran (R) -Dibahas dalam tugas-tugas yang memerlukan subjek
untuk menemukan aturan atau prinsip yang terlibat dalam serangkaian
atau kelompok huruf. Berdasarkan faktor-faktor ini, Thurstone
membuat tes kecerdasan baru yang dikenal sebagai '' Test of Primer
Mental Abilities (PMA)'' (Pal, A, & Tourani, 2005).
Guilford’s Model of Structure of Intellect: Guilford (Pal, A, &
Tourani, 2005) (1967, 1985, 1988) mengemukakan tiga dimensi
struktur kecerdasan. Menurut Guilford setiap tugas kecerdasan dapat
diklasifikasikan yaitu: (1) content (2) the mental operation ivolved, dan
(3) the product resulting from operation. Guilford kemudian
mengklasifikasikan ‘content’ ke dalam lima kategori, yaitu Visual,
Auditory, Symbolic, Semantic dan Behavioral. Guilford juga
40
mengklasifikasikan ‘the mental operation ivolved’ menjadi lima
kategori, yaitu, Kognisi, Retensi Memori, Rekaman Memori, Produksi
Divergent, Produksi Konvergen dan Evaluasi. Selanjutnya
mengklasifikasikan) ‘the product resulting from operation’ ke dalam
enam kategori, yaitu Unit, Kelas, Hubungan, Sistem, Transformasi dan
Implikasi.
Vernon’s Hierarchical Theory: Deskripsi Vernon tentang tingkat
kecerdasan yang berbeda dapat mengisi kesenjangan antara dua teori
yang ada sebelumnya, Spearman’s two-factor theory, yang tidak
memungkinkan adanya faktor kelompok, dan Thorndike’s multifactor
theory, yang tidak memungkinkan '' G '' faktor. Teori ini menjelaskan
bahwa kecerdasan dapat digambarkan sebagai terdiri dari
kemampuan pada berbagai tingkat generalitas: (1) Tingkat tertinggi:
faktor '' g '' (kecerdasan umum) dengan sumber varians terbesar antar
individu. (2) Tingkat berikutnya: faktor kelompok utama seperti
kemampuan verbal-numerik-pendidikan dan praktis-mekanis-spasial-
fisik. (3) Tingkat berikutnya: faktor kelompok kecil dibagi dari faktor
kelompok utama. (4) Tingkat bawah: '' s '' (spesifik) faktor. Dengan
demikian Vernon menyimpulkan bahwa perbedaan kecerdasan
individu sekitar 60 persen disebabkan oleh faktor genetik, dan ada
beberapa bukti yang melibatkan gen dalam perbedaan kelompok ras
dalam tingkat kemampuan mental rata-rata (Pal, A, & Tourani, 2005).
41
Cattell’s Fluid and Crystallized Theory: teori ini menjelaskan
bahwa aspek kecerdasan adalah kapasitas berdasarkan potensi
genetik. Kecerdasan pada teori ini mengarah pada kapasitas yang
dihasilkan dari pengalaman, pembelajaran dan lingkungan. Dengan
demikia kecerdasan seorang individu didapatkan melalui pengalaman
masa lalu dan pembelajaran untuk masa depan serta faktor
lingkungan dimana individu itu berada (Pal, A, & Tourani, 2005).
Sternberg’s Triarchic Theory: Robert Sternberg (Pal, A, &
Tourani, 2005) (1985) adalah psikolog yang telah membangun teori
kecerdasan menjadi tiga cabang atau triarkis. Tiga tipe tersebut
adalah: (1 )Analytical Intelligence yaitu kemampuan akademis.
Kemampuan ini memungkinkan seseorang memecahkan masalah dan
mendapatkan pengetahuan baru. Keterampilan memecahkan masalah
mencakup pengkodean informasi, menggabungkan dan
membandingkan beberapa informasi dan menghasilkan sebuah solusi.
(2) Creative Intelligence didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengatasi situasi baru dan mendapatkan keuntungan dari
pengalaman. Kemampuan untuk cepat menghubungkan situasi baru
dengan situasi yang akrab (yaitu, untuk merasakan persamaan dan
perbedaan) membentuk adaptasi. Kemampuan ini merupakan hal
yang dicapai dari pengalaman dan memungkinkan seorang individu
mampu mengatasi masalah dengan lebih cepat. (3) Practical
42
Intelligence atau 'street smart' ', kemampuan ini memungkinkan
seseorang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan
mereka.
Anderson’s Theory: Cognitive Development: Anderson
mengemukakan bahwa pembentukan kognitif seseorang akan
disesuaikan secara optimal melalui masalah yang terjadi di lingkungan
mereka. Seorang di harapkan mampu menemukan solusi optimal
dalam memecahkan masalah yang terjadi pada dirinya berdasarkan
hasil pembeljaran dan tanpa bantuan orang lain “pendidik”. Sebuah
'Analisis Rasional', mencoba menganalisa informasi yang ada di
lingkungan, tujuan yang ingin dicapai, dan beberapa asumsi dasar
mengenai penyelesaian masalah, dan menghasilkan perilaku yang
optimal (Pal, A, & Tourani, 2005).
c. Definisi Kecerdasan Intelektual (IQ)
Kecerdasan intelektual (IQ) berkaitan dengan keterampilan
seseorang dalam menghadapi persoalan teknikal dan intelektual.
Menurut David Wechsler (Prastyono, 2015) kecerdasan adalah
kemampuan untuk bertindak secara searah, berpikir secara rasional,
dan menghadapi lingkungan secara efektif. Kecerdasan dalam banyak
teori terdiri dari faktor g (general factor) dan faktor s (specific factor).
Faktor g merupakan penjumalahan dari faktor-faktor s, namun masing-
masing merupakan suatu kekuatan yang memiliki kualitas sendiri.
43
Pandangan umum sering kali menyamakan arti kecerdasan
dengan IQ, namun kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan arti
yang sangat mendasar. IQ (intelligence quotient) adalah skor yang
diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Kecerdasan itu sendiri
merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang yang membentuk
prilaku. Jadi IQ hanya memberikan indikasi taraf kecerdasan
seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara
keseluruhan. Dengan kata lain, IQ menunjukan ukuran atau taraf
kecerdasan, sehingga istilah kecerdasan tidak data disamakan artinya
dengan IQ (Prastyono, 2015).
Menurut Robins dan Judge (Artana, 2014) mengatakan bahwa
kecerdasan intelektual adalah kemampuan yang di butuhkan untuk
melakukan berbagai aktivitas mental berpikir, menalar dan
memecahkan masalah. Serebiakoff (Dwi, 2015) menjelaskan bahwa
Kecerdasan Intelektual (IQ) berkaitan dengan keterampialan
seseorang dalam menghadapi persoalan teknikal dan intelektual.
Kecerdasan adalah faktor yang berbeda antata individu dan
berasosiasi dengan tingkat kemampuan umum yang dipergerakan
dalam melakukan aneka ragam tugas yang berbeda dan banyak
variasinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecerdasan
intelektual (IQ), merupakan salah satu kecerdasan yang berorientasi
44
hal-hal yang bersifat logis dan rasional, obyektif, empiris, prapersonal.
Hasil kerja IQ yang berpusat pada otak kiri adalah hal yang bersifat
pasti, dan bekerja tahap demi tahap dengan alur yang prosedural dan
teratur, sehingga menghasilkan hal-hal yang bersifat realistis dan
sistematis.
d. Pengukuran Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual dapat diukur dengan cukup akurat dan
bisa memberikan gambaran dari kemampuan umum potensi-potensi
yang dimiliki seseorang. Para ahli telah banyak melakukan
pengembangan mengenai tes kecerdasan intelektual berdasarkan
hasil penelitian yang berkaitan dengan kecerdasan intelektual
tersebut. Pengkategorian tes kecerdasan intelektual terbagi menjadi
beberapa jenis yang digolongkan berdasarkan tinggkat usia yaitu
anak-anak, remaja dan dewasa. Berdasarkan jumlah subjek tersebut,
tes kecerdasan dibedakan menjadi Tes Kecerdasan Individual dan Tes
Kecerdasan Kelompok atau Klasikal.
Stanford Binet Intelligence Scale, tes ini dipublikasikan pada
tahun 1960 oleh Terman dan Merrill, staf pengajar di Universitas
Stanford, California, USA. Tes kecerdasan intelektual yang pertama
sekali dipublikasikan adalah Tes Binet-Simon yaitu pada tahun 1905 di
Paris (Prancis). Tes ini disusun oleh Alfred Binet, dibantu oleh
45
Theodore Simon sehinga disebut Tes Binet-Simon. Digunakannya Tes
Binet-Simon pada waktu itu karena dorongan pemerintah Prancis yang
merasa rugi dengan biaya pendidikan anak-anak Sekolah Dasar.
Pemerintah ingin memisahkan pendidikan anak yang cerdas dengan
yang kurang cerdas agar proses belajar di sekolah berjalan lancar. Tes
ini banyak mengalami perkembangan, pada tahun 1905 terbit skala
Binet yang terdiri 30 item dan direvisi pada tahun 1908 bersama
dengan Theodore Simons dengan melaukan beberapa perubahan
diantaranya terdapat pembatasan usia subjek, pengelompokan item
yang diujikan, perluasan proses mental yang diukur dan diterapkannya
konsepsi usia mental. Pada tahun 1911 terbit revisi pertama skala
Binet Simon dengan beberapa perubahan diantaranya penempatan
item dengan sampel lebih repersentatif dan perhitungan usia mental
lebih terperinci (Gregrory, 2000).
Pada tahun 1972 Stanford-Binet Intelligence Scale oleh
Thorndike di kembangkan dengan melakukan restandarisasi sampel
yang lebih repesentatif dengn jumlah responden lebih dari 200.000
orang. Selanjutnya pada tahun 1986 tes ini dikembangkan kembali
oleh Thorndike, Hagen dan Sattler dengan pengembangan tes
menjadi 15 subtest. Tes Stanford Binet adalah tes yang dikelompokan
menurut berbagai tingkat usia (usia II – usia dewasa-superior). Setiap
tingkat usia berisi enam subtes dan terdapat juga tes pengganti yang
46
setara. Tes ini disajikan secara individual. Tes Binet dikembangan
kembali pada tahun 1986 dengan konsep bahwa kecerdasan
intelektual dikelompokan menjadi emat tipe penalaran yang masing-
masing diwakili oleh beberapa tes, yaitu: (1) Penalaran Verbal ; (2)
Penalaran Kuantitatif ; (3) Penalaran Visual Abstrak ; (4) Memori
Jangka Pendek (Widiawati, 2012).
Pada tahun 1930 David Wechsler seorang psikolog psikiatri di
Rumah Sakit Bellevue di New York City, menyusun instrumen
sederhana yang secara virtual mendefinisian pengujian kecerdasan
intelektual dengan sebutan Wechsler Scsles of Intelligence (Gregrory,
2000). Wechsler mendefinisikan kecerdasan intelektual sebagi
“kapasitas agregat atau totalitas tindakan individu untuk bertindak
secara sengaja, berpikir secara rasional dan untuk menangani secara
efektif lingkungannya”. Wechsler juga percaya bahwa untuk
mengetahui kecerdasan intelektual seseorang hanya dapat dilihat
berdasarkan apa yang dapat seseorang itu lakukan saja. Subjek
Wechsler cukup beragam dan sering mengandalakan aoa yang
disebut sebagai “Mental Productions” (Gregrory, 2000).
Tes Wechsler, pada tahun 1939 David Wechsler menerbitkan
skala kecerdasan intelektual untuk orang dewasa, yang disebut
Wechsler-Bellevue Intelligence Scale (WBIS) atau skaa W-B.
Selanjutnya pada tahun 1949, Wechsler membuat juga skala
47
kecerdasan intelektual untuk anak-anak 6-16 tahun 11 bulan, yang
disebut Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC). Kedua jenis
tes dari Wechsler ini berisi dua skala yaitu: (1) Skala Verbal, terdiri dari
Informasi, Comprehesion, Arithmetic, Similiarities, Vocabulary, Digit
Span ; (2) Skala Performance: Picture Arrangement, Block Design,
Object Assembly, Coding Mazes. Setelah itu, Wechsler menbuat skala
Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS), yang ditujukan untuk usia
16-74 tahun. Pada tahun 1955, Wechsler memperluas isi test WISC,
yaitu: (1) Skala Verbal, terdiri dari Informasi, Rentang Angka,
Kosakata, Hitungan, Pemahaman, Kesamaan Praktikan Objek, Simbol
Angka, Dan Kelengkapan Gambar (Widiawati, 2012).
Detroit Test of Learning Aptitude-4 (DTLA-4) pertama kali
dikenalkan pada tahun 1935. Tes ini dirancang untuk disajikan secara
individual dan diarakan untuk anak sekolah berusia 6 sampai dengan
17 tahun. DTLA-4 terdiri 10 subtes yang mendasari 16 komposit,
termasuk didalamnya tingkat kecerdasan intelektual, tingkat optimal,
dan 14 area kecerdasan intelektual. Subjek pada tes ini sebagian
besar ada pula pada Binet- Wechsler (Gregrory, 2000) seperti yang
dijelasakan pada table 2.2.
Kaufman Brief Intelligence Test (K-BIT) diperkenalkan
pertamakali oleh Alan Kaufman pada tahun 1990. Kaufman Brief
Intelligence Test (K-BIT) focus pada pengujian kecerdasan intelektual
48
berdasarkan kemampuan korelasi berdasarkan dua hal yang saling
berhubungan erat. Vocabulary Section dan Matrices Section, pertama
Vocabulary Section terbagi menjadi dua yaitu: expressive vocabulary
dan definitions, sedangkan untuk Matrices Section diharusan
menyelesaikan 2x2 dan 3x3 analogi yang menggunakan figural stimuli.
Kaufman Brief Intelligence Test (K-BIT) digunakan untuk subjek yang
berumur 4-30 tahun dan diadministrasikan 15 sampai dengan 30 menit
(Gregrory, 2000).
Intelligenz Struktur Test (IST) merupakan alat tes kecerdasan
intelektual yang dikembangkan oleh Rudolf Amthaeur di Frankfrurt
Main Jerman pada tahun 1953 dan telah diadaptasi di Indonesia.
Intelligenz Struktur Test (IST) berdasarkan pada teori kecerdasan,
yang menyatakan bahwa kecerdasan intelektual merupakan suatu
gestalt yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan
secara bermakna.
Intelligenz Struktur Test (IST) memuat 9 subtes antara lain
Satzerganzung (SE) yaitu melengkapi kalimat, Wortauswahl (WA)
yaitu melengkapi kata-kata, Analogien (AN) yaitu persamaan kata,
Gemeinsamkeiten (GE) yaitu sifat yang dimiliki bersama,
Rechhenaufgaben (RA) yaitu kemampuan berhitung, Zahlenreihen
(SR) yaitu deret angka, Figurenauswahl (FA) yaitu memilih bentuk,
Wurfelaufgaben (WU) yaitu latihan balok, dan Merkaufgaben (ME)
49
yaitu latihan simbol. Penyajian tes IST ini membutuhkan waktu lebih
kurang 90 menit, dapat dilakukan secara individual maupun klasikal
(Kumolohadi & Suseno, 2012: 80).
Intelligenz Struktur Test (IST) terdiri dari 176 soal yang terbagi
menjadi 9 sub tes. Proses skoring dalam IST adalah memberikan nilai
1 untuk jawaban benar dan nilai 0 untuk jawaban salah pada masing-
masing subtes kecuali pada sub tes GE menggunakan panduan nilai
tersendiri yaitu skor 2, 1 dan 0. Dengan menghitung skor yang
diperoleh pada masing-masing subtes akan diperoleh Skor Kasar
pada setiap sub tes IST. Dengan menjumlahkan skor kasar dari 9 sub
tes akan diperoleh Skor Total. Norma tes IST diperlukan untuk
mengubah skor kasar maupun skor total ke dalam weighted score
yang akan menghasilkan nilai kecerdasan seseorang dalam bentuk
angka dan apabila nilai kecerdasan intelektual ini dibandingkan
dengan norma kelompok akan diketahui kategori kecerdasan
intelektual seseorang tersebut yaitu: (1) Very superior yaitu subyek
yang memperoleh weighted score sebesar 119 keatas; (2) Tinggi yaitu
subyek yang memperoleh weighted score sebesar antara 105 sampai
dengan 118; (3) Cukup yaitu subyek yang memperoleh weighted score
sebesar antara 100 sampai dengan 104; (4) Sedang yaitu subyek
yang memperoleh weighted score sebesar antara 95 sampai dengan
99; (5) Rendah yaitu subyek yang memperoleh weighted score
50
sebesar antara 81 sampai dengan 94; (6) Rendah sekali yaitu subyek
yang memperoleh weighted score sebesar 80 kebawah (Kumolohadi &
Suseno, 2012: 81)
Tes Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah tes kecerdasan
intelektual yang dikembangan oleh lembaga psikologoi Mutiara Madani
Indonesia yang bertempat di Jakarta. Tes ini pertamakali
dipublikasikan pada tahun 2011 dengan penanggung jawab psiklog
yaitu Prof. Dr. Moh. Imamudin, Msc. Terdapat 6 aspek yang diukur
pada tes kecerdasan intelektual ini diantaranya: logika, komperhensif,
analogi, aritmatika, deret angka, dan tiu 5 (orientasi ruang dan bidang).
Tes Kecerdasan Intelektual (IQ) terdiri dari 120 yang terbagi
menjadi 6 subtes. Proses skoring dalam tes ini ialah memberikan nilai
1 untuk jawaban yang benar dan nilai 0 untuk jawab yang salah pada
masing-masing sub tes sedangkan pada aspek tiu 5 menggunakan
penilaian tersendiri yaitu dengan skor 2, 1, dan 0. Dengan menghitung
skor yang diperoleh pada masing-masing subtes akan diperoleh skor
kasar selanjutnya menjumlahkan skor kasar dari 6 subtes akan
diperoleh skor total.
Norma tes kecerdasan intelektual ini diperlukan untuk
mengubah skor kasar maupun skor total kedalam weighted score yang
menghasilkan nilai intelegensi seseorang dalam berbentuk angka.
Selanjutnya apabila nilai intelegensi ini dibandingkan dengan norma
51
kelompok akan diketahui kategori kecerdasan intelektual seseorang
digolongan berdasarkan pengkategoriannya: (1) Very superior yaitu
subyek yang memperoleh weighted score sebesar 130 keatas; (2)
Tinggi yaitu subyek yang memperoleh weighted score sebesar antara
120 sampai dengan 129; (3) Cukup yaitu subyek yang memperoleh
weighted score sebesar antara 110 sampai dengan 119; (4) Sedang
yaitu subyek yang memperoleh weighted score sebesar antara 90
sampai dengan 109; (5) Rendah yaitu subyek yang memperoleh
weighted score sebesar antara 80 sampai dengan 89; (6) Rendah
sekali yaitu subyek yang memperoleh weighted score sebesar 70
kebawah (Data didapatkah berdasarkan komunikasi dengan pihak
terkait).
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian-penelitian yang relevan yang
mendukung penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Coertse &
Schepers yang berjudul “Some Personality and Cognitive Correlates of
Career Maturity” menunjukan hasil penelitian yang menyatakan bahwa,
“The results indicate that the career mature students are more outgoing, display higher levels of intelligence, are emotionally stable, have higher levels of assertiveness, are generally more conscientious andventure some.” Hasil penelitain menunjukan bahwa tingginya tingkat kematangan
karier yang diperlihatkan, menunjukan bahwa tingkat kecerdasannya
52
tinggi, stabil secara emosional, memiliki tingkat kepercayaan diri yang
lebih tinggi, umumnya lebih teliti dan perhatian. Objek penelitian ini ialah
1476 mahasiswa tahun pertama pada salah satu Universitas di Afrika
Selatan (Coertse & Schepers, 2004).
Selanjutnya Sebuah studi yang dilakukan di Afrika Selatan oleh
Watson dan Van Aarde (Coertse & Schepers, 2004) yang menguji tingkat
kematangan karier peserta didik kulit berwarna, menunjukkan bahwa
usia, status sosial ekonomi, kecerdasan dan gender memiliki pengaruh
pada tingkat kematangan karier peserta didik kulit berwarna.
“…A study conducted in South Africa by Watson and van Aarde (1986), examining the career maturity levels of coloured students, indicate that age, socio-economic status, intelligence and gender have an influence on the career maturity levels of coloured students…”
Pada penelitian yang dilakukan oleh Watson dan Van Aarde
memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
kematangan karier seseorang dengan tingkat kecerdasan intelektualnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan berdasarkan penelitian tersebut
bahwa faktor kecerdasan intelektual merupakan salah satu faktor yang
turut mempengaruhi tingkat kematangan karier.
Berkaitan dengan penelitian sejenis dengan penelitian ini banyak
teori yang mendukung dan sama seperti beberapa penelitian di atas,
seperti yang disampaikan oleh, Gottfredson (Coertse & Schepers, 2004)
53
berasumsi bahwa, “…low intelligence will have an affect on career choice
and thus on career maturity…” Tingkat kecerdasan yang rendah akan
mempengaruhi pada saat melakukan pemilihan karier dan kematangan
kariernya.
Coertse & Schepers (2004) memberikan gambaran berdasarkan
hasil penelitin yang telah dilakukan bahwa, “…the career mature students
are more outgoing, display higher levels ofintelligence…” Kematangan
karier peserta didik yang lebih tinggi, menunjukan tingkat kecerdasan
yang lebih tinggi pula. Hubungan antara kematangan karier yang
dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual berkaitan pula dengan asumsi
yang disampaikan oleh T. K. Gill (2013) seorang professor di bidang
Educational Pychology dalam jurnalnya yang menyatakan bahwa,
“Academic as well profession pursuit necessarily draws on the intellectual talent of the individual. High IQ will naturally lead to higher academic achievement leading to the choice for high profile occupations. Moreover every occupation requires different level of IQ. While making a choice for career, intellectual level of the individual should be kept in mind”
Prestasi akademis sekaligus profesi selalu mengacu pada bakat
intelektual individu. IQ tinggi secara alami akan menghasilkan prestasi
akademis yang lebih tinggi dan mengarah pada pilihan untuk pekerjaan
berprofil tinggi. Terlebih lagi setiap pekerjaan membutuhkan tingkat IQ
yang berbeda. Sementara membuat pilihan untuk karier, tingkat
intelektual individu harus selalu diingat. Dengan demikian dapat
54
disimpulkan bahwa faktor kecerdasan intelektual merupakan faktor yang
ikut mempengaruhi kematangan karier peserta didik yang dapat
dikembangkan melalui proses pembelajaran di Sekolah dalam bentuk
perstasi akademik.
Dari beberapa penelitian di atas dan fakta-fakta pendukung
mengenai kematangan karier dan kecerdasan inteketual, dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan intelektual memiliki pengaruh terhadap
kematangan karier. Semakin tinggi skor kecerdasan intelektual maka
semakin tinggi kematangan karier dan semakin rendah skor kecerdasan
intelektual seseorang maka semakin rendah juga kematangan karier
seseorang.
C. Kerangka Berpkir
Peserta didik dalam proses pencapaian kematangan karier yang
baik untuk memenuhi harapan pribadi agar mampu ikut bersaing dalam
dunia kerja atau melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tentu
perlu adanya bimbingan dan pengawasan dari pihak-pihak terkait.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi salah satu lembaga
pendidikan yang diharapkan mampu membentuk peserta didik agar
menjadi individu-individu yang matang dan berkarakter. Namun
kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan yang ada. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik khususnya pada regional Jawa Barat dalam
dua tahun terakhir pada tahun 2016 sampai dengan tahun 2017 masih
55
banyak lulusan SMK yang tidak memiliki kemampuan sebagai lulusan
SMK yang seharusnya.
Data yang diperoleh berdasarkan keeterangan menurut Biro Pusat
Statistik Jawa Barat yakni, keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Jawa
Barat pada dua tahun terakhir yang dilihat menurut tingkat pendidikan,
lulusan SMK menduduki tempat tertinggi pada presentase 14,3% bulan
Februari tahun 2016 dan menurun di bulan Februari tahun 2017 menjadi
13,57%. Hal ini memjadi perkembangan yang cukup baik bagi lulusan
SMK dengan adanya penurunan jumlah presentasi lulusan SMK yang
tidak bekerja. Tetapi penurunan jumlah presentasi lulusan SMK tersebut
masih menempatkan lulusan SMK pada tempat tertinggi sebagai tingkat
pengangguran terbuka berdasarkan tingkat penidikan.
Salah satu program yang dicanangkan lembaga pendidikan SMK
ialah penerapan kurikulum pandidikan yang lebih menitik beratkan pada
program pembelajaran praktik atau sering dikenal oleh umum dengan
sebutan Praktik Kerja Lapangan. Dengan demikian diharapkan lulusan
SMK memiliki kematangan karier yang baik. Kematanga karier yang baik
tentu dipengaruhi banyak faktor, salah satu faktor yang mempengaruhi
peserta didik agar mampu mencapai kematangan karier yang baik ialah
faktor kecerdasan intelektual. Faktor kecerdasan intelektual hanya dapat
diperoleh oleh peserta didik dengan mendapatkan pendidikan yang
berstandard kompetisi dan memenuhi setiap kebutuhan peserta didik.
56
Bagi peserta didik SMK kematangan karier merupakan hal yang
sangat penting, karena pada jenjang tersebut setiap peserta didik harus
memilih karier yang tepat dan mempersiapkan dirinya untuk memasuki
dunia kerja ataupun untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang
lebih tinggi. Super menjelaskan bahwa kematangan karier merupakan
bentuk prilaku seseorang individu untuk mampu menyelesaikan tugas
perkembangan karier tertentu sesuai dengan fase perkembang individu
itu sendiri. Selanjutnya faktor kecerdasan intelektual sebagai aspek yang
mempengaruhi kematanganan karier berkaitan erat dengan hasil
pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik saat di sekolah.
Keadaan yang terjadi pada lulusan SMK khususnya yang terjadi di
daerah Cibinong berdasarkan hasil survei yang dilakukan peneliti
menghasilkan pertanyaan terhadap keadaan yang terjadi, bagaimanakan
lulusan SMK dengan rata-rata nilai mencapai angka 80-90 pada tiap
bidang keahlian yang tertera pada ijazah tidak sesuai dengan
kemampuan dan keterampilah dari lulusan SMK itu sendiri. Selain itu
berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada
guru bimbingan dan konseling dari beberapa SMK di daerah Cibinong,
menyimpulkan penelitian ini akan sangat membantu bagi peserta didik
kelas XII yang dimana mereka harus segera mengambil keputusan untuk
proses perkembangan pada tahap selanjutnya karena keadaan yang
terjadi saat ini banyak lulusan SMK dengan nilai akademik yang tinggi
57
namun masih belum dapat memaksimalkan kemampuan atau skill yang
dimiliki untuk bersaing di dunia kerja (Konseling, 2017)
Dengan demikian perlu adanya penelitian yang berkaitan dengan
kecerdasan intelektual peserta didik, sehingga dapat dijadikan sebagai
tolak ukur untuk tingkat kematangan karier peserta didik pada jenjang
SMK. Proses yang dilalui dengan menggambarkan tingkat perstasi
akademik dari hasil proses pembelajaran yang diukur melalui tes
kecerdasan intelektual IQ, sehingga dengan dasar yang demikian itu dan
dilakukannya pengukuran terhadap aspek yang mempengaruhi
kematangan karier, dapat memberikan penjelasan mengenai tingkat
kematangan karier peserta didik yang dilihat melalui kecerdasan
intelektual. Berdasarkan hal itu, penting untuk diketahui “Apakah terdapat
perbedaan kematangan karier berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual
peseta didik kelas XII di SMK Negeri 1 Cibinong”.
58
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
59
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis penelitian
dalam penelitian yang dilakukan pada peserta didik kelas XII di SMK
Negeri 1 Cibinong dirumuskan sebagai berikut:
1. Tinggi tidaknya kematangan karier peserta didik dipengaruhi oleh
tingkat kecerdasan intelektual.
2. Kematangan karier pada peserta didik dengan IQ Superior lebih tinggi
dibandingkan peserta didik dengan IQ Bright Normal dan Average.
60
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan kematangan karier peserta didik yang dilihat berdasarkan
pengkategorian tingkat kecerdasan intelektual melalui hasil skor tes
kecerdasan intelektual (IQ) yang diselenggarakan oleh pihak sekolah
pada peserta didik kelas XII di SMK Negeri 1 Cibinong.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas XII di SMK Negeri 1
Cibinong yang beralamat di Jalan Kaum Pandak Karadenan, Cibinong,
Kab.Bogor, Jawa Barat. Alasan peneliti memilih SMK sebagai tempat
penelitian adalah karena peserta didik SMK kelas XII yang berusia 16 -
17 tahun masuk dalam tahap perkembangan eksplorasi, dimana mereka
harus mengenal dan mampu membuat keputusan karier, dan sudah
mengetahui apa saja pilihan karier yang nantinya harus mereka pilih dan
putuskan. Kemudian memperoleh informasi yang relevan mengenai
pekerjaan, seperti prospektif mengenai pekerjaan yang mereka pilih,
keadaan di lapangan mengenai pekerjaan tersebut dan sebagainya.
61
Dalam hal ini Sekolah Menengah Kejuruan merupakan lembaga
pendidikan yang lebih mempersiapkan peserta didik yang berada pada
masa remaja untuk mampu terjun langsung ke dunia kerja setelah lulus
dibandingkan dengan peserta didik Sekolah Menengah Atas.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini diselenggarakan di SMK Negeri 1 Cibinong. Waktu
penelitian ini dilaksanakan sekitar 13 bulan, terhitung sejak bulan
Desember tahun 2016 sampai bulan Januari tahun 2018.
Tabel 3.1 Rencana Kegiatan Penelitian
No. Waktu Kegiatan
1 Januari 2017 Pengajuan Judul Penelitian
2 Maret – September 2017
Penyusunan Proposal Penelitian
3 Oktober 2017 Seminar Proposal Penelitian
4 November - Desember 2017
Revisi bab 1-3 dan penyusunan instrumen penelitian
5 Desember 2017 Uji coba instrumen
6 Desember 2017 Pengambilan data dan penyusunan laporan hasil penelitian
7 Febuari 2018 Sidang Skripsi
C. Metode Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka metode
penelitian yang digunakan adalah metode komparatif dengan
pendekatan kuantitatif. Penelitian komparatif adalah penelitian yang
membandingkan tentang benda, orang, dan hal-hal lain dengan cara
62
menganalisis persamaan dan/atau perbedaan yang ada dari
objek/subjek yang diteliti. Tujuan dari penelitian komparatif sendiri
adalah untuk mengetahui hubungan sebab akibat dari sebuah fenomena
(Badrujaman, 2015).
Penelitian ini menggunakan satu variabel, yaitu kematangan
karier, dan menggunakan tiga subjek penelitian, yaitu perbedaan
kecerdsan intelektual peserta didik yang dilihat berdasarkan
penggolongan dari setiap tingkatannya. Penggolongan tersebut yaitu :
(1) Klasifikasi Superior yaitu tingkatan kercerdasan di atas rata-rata
dengan jumlah skor IQ 120-129; (2) Klasifikasi Bright Normal yaitu
tingkatan kecerdasan di atas rata-rata dengan jumlah skor IQ 110-119;
(3) Selanjutnya klasiifikasi Average yaitu tingkatan kecerdasan rata-rata
dengan jumlah skor IQ 90-109.
D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Menurut Sugiyono (Sugiyono, 2010), populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas obyek atau subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Pada penelitian ini, yang
menjadi populasi adalah peserta didik kelas XII di SMK Negeri 1
Cibinong Alasan memilih kelas XII sebagai populasi penelitian karena
63
hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa
kelas XII memiliki masalah dalam bidang karier dan pekerjaan.
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti ialah dengan melihat
fenomena yang terjadi pada lulusan peserta didik SMK, banyaknya
lulusan peserta didik SMK yang tidak bekerja atau bekerja namun bukan
pada bidang keahliannya menjadi salah satu fenomena yang terjadi
pada saat ini. Selain itu peserta didik kelas XII sudah mendapatkan
bimbingan karier sejak kelas X dan disertai dengan skor tes kecerdasan
intelektual (IQ) yang menggambarkan tingkat kecerdasan, gambaran
keperibadian, binat dan bakat, dan juga saran terdahap bidang yang
seharusnya ditekuni.
Tabel 3.2
Populasi Penelitian
Sekolah Klasifikasi Kecerdasan
Intelektual (IQ)
Tingkatan Kecerdasan
Skor IQ Jumlah Peserta Didik
SMK Negeri 1 Cibinong
Superior
Di atas rata-rata
120-129 31
Bright Normal 110-119 127
Average Rata-rata 90-109 541
64
2. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel untuk
menentukan sampel yang akan digunakan dalam sebuah penelitian.
Penarikan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara Insidental
Sampling. Menurut Sugiyono (Sugiyono, 2010) bahwa “Sampling
Insidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu
siapa saja yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti
dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan
ditemui itu cocok sebagai sumber data.”
Sampel pada penelitian ini memiliki beberapa subpopulasi yang
berbeda atau dapat dikatakan heterogen (bervariasi). Subpopulasi pada
penelitian ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu peserta didik yang
memperoleh skor kecerdasan intelektual 120-129 dengan klasifikasi
tingkat kecerdasan superior, selanjutnya peserta didik yang memperoleh
skor kecerdasan intelektual 110-119 dengan klasitikasi tingkat
kecerdasan bright normal dan yang ketiga peserta didik yang
memperolah skor kecerdasan intelektual 90-109 dengan klasifikasi tinkat
kecerdasan average.
Dalam penelitian ini sampel yang digunakan atau diambil adalah
25% dari dari total populasi yang ada terdiri dari tiga kategori yang
berbeda. Jumlah keseluruhan populasi adalah 703 peserta didik dan
akan dijadikan sampel sebanyak 20% menjadi 175 peserta didik.
65
Berdasarkan hal tersebut jumlah dari setiap subpopulasi menjadi:
(1) Peserta didik yang memperoleh skor kecerdasan intelektual 120-129
dengan klasifikasi tingkat kecerdasan superior dengan jumlah 31 peseta
didik akan digunakan sebagai sampel sebanyak 9 orang; (2) Peserta
didik yang memperoleh skor kecerdasan intelektual 110-119 dengan
klasitikasi tingkat kecerdasan bright normal dengan jumlah 127 peserta
didik akan digunakan sebagai sampel sebanyak 31 orang; (3) Peserta
didik yang memperolah skor kecerdasan intelektual 90-109 dengan
klasifikasi tinkat kecerdasan average dengan jumlah 541 peserta didik
akan digunakan sebagai sampel sebanyak 135 orang.
Tabel 3.3
Sampel Penelitian
Populasi Superior
120-129
Bright Normal
110-119
Average
90-109
31 peserta
didik
127 peserta
didik
541 peserta didik
Sampel 15 peserta
didik
31 peserta didik 129 peserta didik
Hal ini dilakukan dengan memperhatikan strata yang ada pada
tiga kelompok dalam populasi sehingga akan menghasilkan sampel
yang representative. Selain itu juga penetuan jumlah sampel pada
penelitian ini diukur berdasarkan pertimbangan dari kegiatan belajar
mengajar dan beberapa program yang sudah ditetapkan oleh pihak
sekolah. Dengan demikian setiap tingkatan kecerdasan intelektual
66
diharapkan mampu mewakili setiap keseluruhan anggota dari tiap
golongan tingkat kecerdasan yang ada.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Definisi Konseptual
a. Kematangan Karier
Kematangan karier adalah kemampuan individu dalam
mengambil keputsan-keputusan yang berhubungan dengan masalah-
masalah karier. Masalah yang dimaksud adalah ketepatan dalam
memilih, kemampuan mengkompromikan antara harapan dengan
realitas kemampuannya. Kemampuan di dalam menyelesaikan
masalah perencanaan dan sikap serta nilai-nilai yang akan dipilih.
Kematngan karier terdiri dari 2 wilayah yaitu kognitf dan afektif.
Wilayah kognitif tersusun atas keterampilan mengambil keputusan
sedangkan wilayah afektif merupakan sikap terhadap proses
pemilihan karier.
b. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan Intelektual berkaitan dengan keterampialan
seseorang dalam menghadapi persoalan teknikal dan intelektual.
Kecerdasan adalah faktor yang berbeda antata individu dan
berasosiasi dengan tingkat kemampuan umum yang dipergerakan
67
dalam melakukan aneka ragam tugas yang berbeda dan banyak
variasinya.
2. Definisi Operasional
a. Kematangan Karier
Kematangan Karier merupakan skor total dari sikap karier dan
kompetensi karier peserta didik SMK yang diukur menggunakan
instrumen CMI. Sikap terhadap karier diartikan sebagai pengatur
respon yang cenderung menggunakan kompetensi yang dimiliki dan
pemilihan tingkah lakunya. Sikap karier terdiri dari (1) ketegasan, (2)
keterlibatan, (3) kebebasan, (4) orientasi, dan (5) kompromi pada
peserta didik yang diukur menggunakan skala Guttman. Kompetensi
pemilihan karier diartikan sebagai pemahaman seseorang dan
kemampuannya dalam memecahkan masalah yang berhubungan
dengan pengambilan keputusan karier terutama yang menggunakan
proses kognisi. Kompetensi karier terdiri dari (1) penilaian diri, (2)
Informasi pekerjaan, (3) langkah-langkah mencapai tujuan, (4)
perencanaan, dan (5) langkah-langkah menyelesaikan maslah. Diukur
dengan menggunakan skala Guttman.
b. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan Intelektual adalah hasil skor yang diperoleh dari
sebuah alat tes kecerdasan yang sudah dilakukang pengujian oleh
68
pihak sekolah. Terdapat 6 aspek yang diukur dalam tes kecerdasan
intelektual tersebut yaitu terdiri dari (1) logika, (2) komprhensif, (3)
analogi, (4) aritmatika, (5) deret angka, dan (6) tiu 5 (orientasi bangun
dan ruang). Pada setiap subtes yang diujikan dalam tes ini memiliki
nilai pada setiap jawaban benar dan salah. Penghitungan jumlah nilai
atau skor kasar maupun skor total dari tes tersebut akan hitung
menggunakan weighted score sehingga skor akhirnya akan berbentuk
angka dan diketahui kategori kecerdasan intelektual seseorang
digolongkan berdasarkan pengkategoriannya.
3. Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioner atau angket yang berbentuk tes. Menurut Sugiyono
(2010), kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
kepada responden untuk dijawabnya.
a. Kematangan Karier
Data tentang kematangan karier dikelompokan menggunakan
CMI (Career Maturity Inventory) dari John Crites, yang telah
dimodifikasi berdasarkan kebutuhan penelitian dan pernah digunakan
oleh Shofa Rosita Almakiyah pada tahun 2005, selanjutnya
diadaptasi ulang oleh Iman Setianto pada tahun 2014, dan oleh
69
Ahmad Faris pada tahun 2015 dalam penelitiannya. Validitas dari
instrumen ini didapatkan item yang valid dengan tingkat kesalahan
0,05. Reliabilitas dari instrumen ini telah dihitung menggunakan SPSS
20.0 for windows dan telah menghapus item yang tidak valid sehingga
didapatkan skor reliabilitas sebesar 0,874. Maka instrumen
kematangan karier dianggap reliabel.
Career Maturity Inventory (CMI) dibagi menjadi dua aspek,
pada bagian pertama yaitu tes sikap karieritem tes berbentuk pilihan
ganda dengan satu jawaban yang benar dan tiga option jawaban
pengecoh. Apabila menjawab benar, maka akan mendapatkan nilai
satu, sebaliknya jika menjawab salah maka mendapat nilai nol. Jadi
bobot nilai setiap item adalah satu. Pada bagian kedua adalah skala
sikap, dengan dua pilihan jawaban Y (Ya) dan T (Tidak). Skala sikap
ini akan mengukur sikap individu terhadap karirnya. Bobot nilai untuk
setiap item adalah satu jika benar dan nol jika salah. Penilaian kedua
bagian tersebut berdasarkan kunci jawaban yang sudah tersedia.
Menurut Sugiyono (Sugiyono, 2010), skala pengukuran
merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk
menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur
sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan
menghasilkan data kuantitatif. Skala yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu skala Guttman. Skala Guttman akan mendapatkan jawaban
70
yang tegas, yaitu ya-tidak, benar-salah, pernah-tidakpernah, positif-
negatif. Pada Career Maturity Inventory (CMI), dimensi kompetensi
dan dimensi sikap yang jumlah keseluruhannya 100 item dengan
masing-masing dimensi berjumlah 50 item diukur menggunakan skala
0-1 dengan jawaban benar-salah.
Adapun sistem pemberian skor ditetapkan dengan kriteria
sebagai berikut:
Tabel 3.4 Kriteria Pemberian Skor Skala Kompetensi dan Skala Sikap
Pilihan Jawaban Skor
Benar 1
Salah 0
b. Kecerdasan Intelektual
Instrumen kecerdasan intelektual dalam penelitian ini,
menggunakan hasil tes IQ yang telah diujikan oleh pihak sekolah.
Instrumen yang digunakan Tes Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah tes
kecerdasan intelektual yang dikembangan oleh lembaga psikologoi
Mutiara Madani Indonesia yang bertempat di Jakarta. Tes ini
pertamakali dipublikasikan pada tahun 2011 dengan penanggung
jawab psiklog yaitu Prof. Dr. Moh. Imamudin, Msc. Terdapat 6 aspek
yang diukur pada tes kecerdasan intelektual ini diantaranya: logika,
71
komperhensif, analogi, aritmatika, deret angka, dan tiu 5 (orientasi
ruang dan bidang).
Tes Kecerdasan Intelektual (IQ) terdiri dari 120 yang terbagi
menjadi 6 subtes. Proses skoring dalam tes ini ialah memberikan nilai
1 untuk jawaban yang benar dan nilai 0 untuk jawab yang salah pada
masing-masing sub tes sedangkan pada aspek tiu 5 menggunakan
penilaian tersendiri yaitu dengan skor 2, 1, dan 0. Dengan menghitung
skor yang diperoleh pada masing-masing subtes akan diperoleh skor
kasar selanjutnya menjumlahkan skor kasar dari 6 subtes akan
diperoleh skor total.
Norma tes kecerdasan intelektual ini diperlukan untuk
mengubah skor kasar maupun skor total kedalam weighted score
yang menghasilkan nilai intelegensi seseorang dalam berbentuk
angka. Selanjutnya apabila nilai intelegensi ini dibandingkan dengan
norma kelompok akan diketahui kategori kecerdasan intelektual
seseorang digolongan berdasarkan pengkategoriannya: (1) Very
superior yaitu subyek yang memperoleh weighted score sebesar 130
keatas; (2) Tinggi yaitu subyek yang memperoleh weighted score
sebesar antara 120 sampai dengan 129; (3) Cukup yaitu subyek yang
memperoleh weighted score sebesar antara 110 sampai dengan 119;
(4) Sedang yaitu subyek yang memperoleh weighted score sebesar
antara 90 sampai dengan 109; (5) Rendah yaitu subyek yang
72
memperoleh weighted score sebesar antara 80 sampai dengan 89;
(6) Rendah sekali yaitu subyek yang memperoleh weighted score
sebesar 70 kebawah.
4. Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen dikembangkan pada penelitian ini berdasarkan
konstruk teori kematangan karier dari Crites, dengan variabel
kematangan karier yang terdiri dari dua dimensi, meliputi sikap pilihan
karier dan kompetensi pilihan karier. Kisi-kisi instrumen selengkapnya
dapat dilihat sebagai berikut:
73
Tabel 3.5
Kisi – Kisi Instrumen Kematangan Karir (CMI) Uji Coba
VARIABEL DIMENSI INDIKATOR NO.ITEM
Crites, Career Maturity
Kompetensi Pilihan Karir (Career Choice Competence)
1. Self-appraisal (“knowing yourself”). Pemahaman diri
1-10
2. Occupational information (“knowing about job”). Pemahaman bidang pekerjaan
11-20
3. Goal Selection Test (“choosing a job”). Memilih bidang pekerjaan
21-30
4. Planning ("looking ahead"). Langkah-langkah untuk mencapai tujuan
31-40
5. Problem Solving ("what should they do). Apa yang harus dilakukan
41-50
Sikap Pilihan Karir (Career Choice Attitude)
1. Involvement in the choice process. Keterlibatan dalam proses pilihan karir
1-10
2. Orientation toward work. Orientasi terhadap pekerjaan
11-20
3. Independence in decision making. Kemandirian dalam pengambilan keputusan
21-30
4. Preference or vocational choice factors. Preferensi atau faktor pilihan pekerjaan
31-40
5. Conceptions of the choice process. Konsepsi proses pilihan, sejauh mana individu memiliki konsep yang akurat tentang membuat pilihan pekerjaan
41-50
5. Hasil Uji Coba Instrumen
a. Pengujian Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat
kesahihan suatu instrumen. Instrumen dikatakan valid apabila dapat
mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Sugiyono,
2010). Uji validitas yang digunakan untuk inventori kematangan karir
74
berupa skor dikotomi atau nominal yaitu 0 dan 1, untuk itu digunakan
rumus korelasi point biserial sebagai berikut (Azwar, 2004):
√
Keterangan:
Mi = Rata – rata skor variabel interval bagi subjek yang mendapat
skor 1 pada variabel dikotomi
M = Rata – rata skor variabel interval bagi seluruh subjek
Sx = Standar deviasi variabel interval bagi seluruh subjek
p = Proporsi subjek yang menjawab betul item tersebut
q = 1- p
Pengukuran terhadap tiap item agar dapat dikatakan valid atau
tidak valik ditentukan jika koefisien korelasinya lebih dari atau sama
dengan r tabel (α = 0,05) (Sugiyono, 2010). Dengan pengambilan
keputusan:
- Jika r ≥ r tabel, maka item pertanyaan valid
- Jika r < r tabel, maka item pertanyaan tidak valid.
Berdasarkan hasil uji coba pada responden yang berjumlah 50
siswa kelas XII di SMKN 1 Cibinong, pada tes kompetensi yang
berjumlah 50 item pertanyaan diperoleh 44 item yang dinyatakan valid
75
dan 6 item dinyatakan tidak valid. Item-item pertanyaan yang
dinyatakan valid dan tidak valid yaitu:
Tabel 3.6 Hasil Validitas Item Skala Kompetensi
Nomor Butir yang Valid
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40,
41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 50 Nomor Butir yang Drop
15, 17, 29, 35, 48, 49
Pada tes skala sikap CMI yang berjumlah 50 item pernyataan
diperoleh 43 item yang dinyatakan valid dan 7 item yang dinyatakan
tidak valid. Item-item pernyataan yang dinyatakan valid dan tidak valid
yaitu:
Tabel 3.7 Hasil Validitas Item Skala Sikap
Nomor Butir yang Valid
1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10,12, 13, 14, 15,
16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26,
27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37,
38, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48,
49, 50 Nomor Butir yang Drop 7, 11, 19, 29, 40, 42
b. Perhitungan Reliabilitas
Reliabilitas (ketetapan) merujuk pada suatu pengertian bahwa
suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpulan data karena instrumen tersebut sudah baik, reliabel
artinya dapat dipercaya, sehingga dapat diandalkan (Arikunto, 2010).
76
Reliabilitas menunjukkan sejauhmana tingkat konsistensi pengukuran
dari suatu responden ke responden lainnya atau dengan kata lain
sejauhmana pertanyaannya dapat dipahami sehingga tidak
menyebabkan perbedaan interpretasi dalam pemahaman pertanyaan
tersebut.
Teknik perhitungan koefisien reliabilitas yang digunakan oleh
peneliti adalah dengan menggunakan ialah rumus Alpha Cronbach.
Rumus Alpha Cronbach digunakan dalam mengukur reliabelitas tes
mengenai sikap atau perilaku. Adapun Rumus Alpha Cronbach
adalah sebagai berikut:
(
)(
∑
)
Keterangan:
r11 = Koefisien reliabilitas instrumen penelitian
k = Jumlah butir pertanyaan
∑σ2b = Jumlah varians butir
σ2t = Varians total
Hasil uji Reliabilitas instrument yang dilakukan oleh peneliti
terhadap peserda didik kelas XII SMKN 1 Cibinong menunjukan nilai
pada instrument kompetensi karier sebesar 0.884 dan pada
instrument sikap karier sebesar 0.884. Hasil ini menujukan bahwa
77
butir pertanyaan pada istrumen kematagan karier memiliki tingat
reliabilitas yang sangat tinggi.
Tabel 3.8 Tabel Interpretasi Nilai r
F. Teknik Analisis Data
1. Analisis Deskriptif
Analisis pada penelitian ini diterapkan untuk memberikan
gambaran atau mendeskripsikan data tentang kematangan karir pesera
didik berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual yang dikatagorikan
menjadi superior, bright normal, average. Analisis perhitungan yang
digunakan peneliti menggunakan ukuran sentral (rerata hitung/mean),
skor terendah, skor tertinggi, dan standar deviasi.
Berdasarkan deskripsi data penelitian dapat dilakukan
pengelompokan yang mengacu pada kriteria kategorisasi. Dalam
penelitian ini diberlakukan norma kategorisasi dengan kriteria: tinggi,
sedang, dan rendah (Azwar, 2009). Pengkategorian tiga jenjang ini
Besarnya Nilai r Interpretasi
Antara 0.800 sampai dengan 1.00
Antara 0.600 sampai dengan 0.799
Antara 0.400 sampai dengan 0.599
Antara 0.200 sampai dengan 0.399
Antara 0.000 sampai dengan 0.199
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
78
merupakan pengkategorisasian minimal yang digunakan dalam
penelitian. Penentuan kategorisasi data dilakukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
(Rendah)
(Sedang)
(Tinggi)
Keterangan: X = Skor total
µ = Mean
= Standar deviasi
Setelah dilakukan kategorisasi, untuk memperjelas hasil yang ada
maka dibuat persentase dengan rumus sebagai berikut
(Mangkuatmodjo, 1997) :
Keterangan: P = Persentase
= Frekuensi
N = Jumlah Responden
2. Analisis Inferensial
Teknik statistik selanjutnya adalah teknik Statistik Kruskal Wallis
yaitu salah satu peralatan statistika non-parametrik dalam kelompok
prosedur untuk sampel independen. Prosedur ini digunakan ketika kita
ingin membandingkan dua variabel yang diukur dari sampel yang tidak
sama (bebas), dimana kelompok yang diperbandingkan lebih dari dua.
79
Syarat dalam menggunakan teknik statistik ini ialah datanya bukan
random tetapi bersifat non-probability sampling atau dalam penelitian ini
sampelnya adalah purposive sampling, sampel yang digunakan sedikit,
bersifat ranking dan berskala ordinal (Singgih, 2010).
Hasil uji lapangan dari penelitian ini akan membandingkan skor
kematangan karier peserta didik dengan tingkat kecerdasan dari tiga
katagori yaitu superior, bright normal dan average berdasarkan
peringkat Kruskal-Wallis dan Median test.
G. Uji Hipotesis
a. Hipotesis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perbedaan
kematangan karier peserta didik berdasarkan tingkat kecerdasan
intelektual. Hipotesis pada penelitian ini adalah “Skor kematangan karier
pada peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual superior lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat kecerdasan intlektual bright normal
dan average.”
b. Hipotesis Statistik
H0 : µ1= µ2= µ3
H1 : µ1 > µ2 > µ3
kriteria tolak H0 jika sig < α, dan terima H0 jika sig > α.
80
c. Analysis Kruskal-Wallis
Statistik Kruskal Wallis adalah teknik statistik yang membandingkan
dua variabel atau lebih yang diukur dari sampel yang tidak sama (bebas).
Pada pengujian menggunakan uji statistik menggunakan analisis statistik
uji kruskal-wallis dengan alpha (α)=0.05 dengan kriteria H0 ditolak jika
sig< α, dan H0 terima jika sig > α, dengan rumus sebagai berikut.
Dimana : N = jumlah sampel
Ri = jumlah peringkat pada kelompok i
ni = jumlah sampel pada kelompok i
81
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Bab ini membahas mengenai hasil penelitian berdasarkan data
yang diperoleh melalui instrumen berupa tes mengenai kematangan
karir peserta didik, yaitu Career Maturity Inventory (CMI) dan hasil tes
Kecerdasan Intelektual. Penelitian ini dilakukan pada peserta didik
kelas XII di SMKN 1 Cibinong dengan katagorisasi berdasarkan skor
dari hasil tes kecerdasan intelektual yaitu peserta didik yang
mendapatkan skor kecerdasan intelektual dengan pedikat superior,
peserta didik yang mendapatkan skor kecerdasan intelektual dengan
pedikat bright normal, peserta didik yang mendapatkan skor
kecerdasan intelektual dengan pedikat Average.
Jumlah keseluruhan populasi peserta didik kelas XII di SMKN 1
Cibinong adalah 703 peserta didik. Pada penelitian ini sampel populasi
yang digunakan adalah 175 responden yang merupakan 25% dari
banyaknya populasi penelitian. Sample populasi yang digunakan
merupakan gabugan dari katagorisasi tingkat kecerdasan intelektual
yaitu 15 orang peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual
superior, 31 orang peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual
bright normal, 129 orang peserta didik dengan tingkat kecerdasan
82
intelektual average. Instrumen terdiri dari dua yaitu instrumen
kematangan karier yang penyebarannya dilakukan oleh peneliti dan tes
kecerdasan yang telah diselenggarakan oleh pihak sekolan dengan
bantuan dari lembaga psikologi.
Hasil dari penelitian ini terdapat perbedaan kematangan karir
antara peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual superior,
bright normal, dan Average tetapi tidak signifikan. Deskipsi pengolahan
data pada penelitian ini dibagi menjadi dua bagian. Deskripsi pertama
deskripsi hasil penelitian berdasarkan data keseluruan. Kedua
berdasarkan dimensi kematangan karir yang terbagi atas tes kompetnsi
karier dan sikap karier, baik pada responden dengan tingkat
kecerdasan intelektual superior, bright normal maupun average.
Prosedur yang digunakan analisis penelitian ini adalah teknik
statistik kruskal wallis yaitu salah satu peralatan statistika non-parametrik
dalam kelompok prosedur untuk sampel independen. Prosedur ini
digunakan ketika kita ingin membandingkan dua variabel yang diukur dari
sampel yang tidak sama (bebas), dimana kelompok yang
diperbandingkan lebih dari dua. Syarat dalam menggunakan teknik
statistic ini ialah datanya bukan random tetapi bersifat non-probability
sampling atau dalam penelitian ini sampelnya adalah purposive sampling,
sampel yang digunakan sedikit, bersifat ranking dan berskala ordinal
(Singgih, 2010).
83
Data yang diperoleh dari hasil penghitungan teknik statistik
kruskal wallis dengan SPSS 22 memperlihatkan nilai sig sebesar 0.06
α = 0,05 yang artinya H0 diterima. Dengan demikian data tersebut
mengambarkan tidak terdapat perbedaan kematangan karier peserta
didik berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual.
1. Data Kematangan Karir Peserta Didik Berdasarkan tingkat
Kecerdasan Intelektual.
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari hasil penyebaran
instrument tehadap 175 peserta didik kelas XII SMKN 1 CIBINONG
mengenai kematangan karier menunjukan bahwa data yang
diperoleh sebagai berikut:
Tabel 4.1
Test Statisticsa,b
kematangan karier
Chi-Square 5.640
df 2
Asymp. Sig. .060
84
Tabel 4.2
Kategorisasi Kematangan Karir Peserta Didik Berdasarkan
tingkat Kecerdasan Intelektual
Berdasarkan tabel 4.2 di atas, diketahui kematangan karir
peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual superior
mayoritas berada pada kategorisasi tinggi dengan persentase
sebesar 46.6 % dari keseleruhan responden. Tingkat kecerdasan
intelektual Bright Normal mayoritas berada pada kategori sedang
dengan jumlah persentase sebesar 64.51 %, begitupula dengan
tingat kecerdasan avarage berada pada kategori sedang dengan
persentase sebesar 72.8 %.
Data diatas menggambarkan bahwa tingkat kematangan karir
peserta didik berada pada kategori sedang dan data di atas
No Tingkat kecerdasan Kategorisasi Jumlah
Responden Persenatase
%
1 Superior
Tinggi ( 62.6)
Sedang ( 45.4 - 62.6)
Rendah ( 45.1)
8 46.60
6 46.60
1 6.80
2 Bright Normal
6 19.35
20 64.51
5 16.12
3 Average
10 7.70
94 72.80
25 19.50
85
menunjukan bahwa tingkat kecerdasan intektual superior cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecerdasan intelektual
bright normal dan average. Untuk lebih jelasnya, hasil tersebut di
deskripsikan melalui diagram berikut:
Gambar 4.1
Kategorisasi Kematangan Karir Peserta Didik berdasarkan tingkat Kecerdasan Intelektual
2. Data Perbedaan Dimensi Kematangan Karier Berdasarkan
Tingkat Kecerdasan Intelektual.
Hasil yang diperoleh berdasarkan penyebaran instrumen pada
responden dengan tingat kecerdasan intelektual superior berjumlah
15 responden, bright normal berjumlah 31 responden, dan average
berjumlah 129 responden didapatkan hasil sebagai berikut.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
Superior Bright Normal Average
46.60 46.60
6.80
19.35
64.51
16.12
7.70
72.80
19.50
86
a. Tingkat Kecerdasan Intelektual Dimensi Kompetensi Karier
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari hasil
penyebaran instrument tehadap seluruh responden yang
digunakan dalam penelittian. Peserta didik dengan tiap tingkat
kecerdasan intelektual pada dimensi kompetensi karier adalah
sebagai berikut
Tabel 4.3 Kategorisasi Kecerdasan Intelektual Dimensi Kompetensi Karier
NO Tingkat Kecerdasan
Intelektual Kategorisasi
jumlah
responden
persentase
%
1
Superior (15
responden)
tinggi (( 34.23)
sedang ( 22.60 s/d
34.23)
renadah ( 22.60)
1 6.6
2 12 80
3 2 13.4
4
Bright Normal (29
responden)
7 22.6
5 21 67.8
6 3 9.6
7 Average (129
responden)
21 16.3
8 83 64.4
9 25 19.3
Berdasarkan tabel 4.2 di atas, diketahui kematangan karir
peserta didik dilihat dari dimensi kompetensi karier yang ditinjau
berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual menjelaskan
87
pengolahan data sebagai berikut, (1) tingkat kecerdasan
intelektual superior mayoritas berada pada kategorisasi sedang
yaitu 12 responden dari 15 responden dari keseluruhan sampel
pada tingkat kecerdasan superior. Tingkat kecerdasan intelektual
Bright Normal mayoritas berada pada kategori sedang yaitu 21
responden dari 31 responden dari keseluruhan sampel pada
tingkat kecerdasan bright normal, begitupula dengan tingat
kecerdasan avarage berada pada kategori sedang yaitu 83
responden dari 129 responden dari keseluruhan sampel pada
tingkat kecerdasan average.
Data diatas menggambarkan bahwa tingkat kematangan
karir peserta didik pada dimensi kompetensi karier berada pada
kategori sedang. Apabila diukur berdasarkan beda rata-rata dari
jumlah sampel responden dari tiap tingkat kecerdasn intelektual,
data di atas menunjukan bahwa tingkat kecerdasan intektual
bright normal cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
kecerdasan intelektual superior dan average.
Untuk lebih jelasnya, hasil tersebut di deskripsikan melalui
diagram berikut:
88
Gambar 4.2
Kategorisasi Kecerdasan Intelektual Dimensi Kompetensi Karier
b. Tingkat Kecerdasan Intelektual Dimensi Sikap Karier
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari hasil
penyebaran instrument tehadap seluruh responden yang
digunakan dalam penelittian. Peserta didik dengan tiap tingkat
kecerdasan intelektual pada dimensi kompetensi karier adalah
sebagai berikut.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
tin
ggi (
36
.84
)
sed
ang
(
26
.35
s/d
36
.84
)
ren
adah
(
26
.35
)
tin
ggi (
(
34
.23
)
sed
ang
(
22
.60
s/d
34
.23
)
ren
adah
(
22
.60
)
tin
ggi (
(
31
.69
)
sed
ang
(
20
.73
s/d
31
.69
)
ren
adah
(
20
.73
)
Superior (15 responden)Bright Normal (29 responden)Average (129 responden)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 12 2 7 21 3
21 83 25
6.6 80 13.4 22.58 67.75 9.67
16.28 64.34 19.38
89
Tabel 4.4
Kategorisasi Kecerdasan Intelektual Dimensi Sikap Karier
Berdasarkan tabel 4.3 di atas, diketahui kematangan karir
peserta didik dilihat dari dimensi kompetensi karier yang ditinjau
berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual menjelaskan
pengolahan data sebagai berikut, (1) tingkat kecerdasan
intelektual superior mayoritas berada pada kategorisasi sedang
yaitu 10 responden dari 15 responden dari keseluruhan sampel
pada tingkat kecerdasan superior. Tingkat kecerdasan intelektual
Bright Normal mayoritas berada pada kategori sedang yaitu 21
responden dari 31 responden dari keseluruhan sampel pada
tingkat kecerdasan bright normal, begitupula dengan tingat
kecerdasan avarage berada pada kategori sedang yaitu 83
NO Tingkat
Kecerdasan Intelektual
Kategorisasi jumlah
responden persentase
%
1
Superior
tinggi (>30.51) sedang (20.06 s/d 30.51)
renadah (<20.06)
1 6.6
2 10 66.6
3 4 26.8
4
Bright Normal
7 22.6
5 21 67.7
6 3 9.7
7
Average
21 16.3
8 83 64.3
9 25 19.4
90
responden dari 129 responden dari keseluruhan sampel pada
tingkat kecerdasan average.
Data diatas menggambarkan bahwa tingkat kematangan
karir peserta didik pada dimensi kompetensi karier berada pada
kategori sedang. Apabila diukur berdasarkan beda rata-rata dari
jumlah sampel responden dari tiap tingkat kecerdasn intelektual,
data di atas menunjukan bahwa tingkat kecerdasan intektual
bright normal cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
kecerdasan intelektual superior dan average.
Gambar 4.3
Kategorisasi Kecerdasan Intelektual Dimensi Sikap Karier
1 10 4 7 21 3
21 83 25
6.6 66.6 26.6 22.5 67.7 9.6
16.2 64.3 19.3
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
tinggi(>30.87)
sedang(20.34
s/d30.87)
renadah(<20.34)
tinggi(>30.51)
sedang(20.06
s/d30.51)
renadah(<20.06)
tinggi(>31.53)
sedang(22.71
s/d31.53)
renadah(<22.71)
Superior BrightNormal
Average
1 2 3 4 5 6 7 8 9
91
B. Pembahasan
Berdasarkan pengujian hipotesis pada penelitian ini dan data
yang diperoleh dari hasil penyeberan instrument menujukan bahwa
terdapat tidak terdapat perbedaan kematangan karier antara peserta
didik dengan tingkat kecerdasan superior, bright normal dan average
pada kelas XII di SMKN 1 Cibinong tetapi hasil yang diperoleh tidak
dapat digeneralisasi kepada keseluruhan populasi yang ada. Hal
tersebut dijalaskan oleh data yang telah dipaparkan di atas.
Kematangan karier peserta didik yang diukur berdasarkan tingkat
kecerdasan intelektual yang terbagi atas tiga kelompok kecerdasan dan
jumlah responden yang berbeda pula. Hasil yang diperoleh bedasarkan
data yang ada menunjukan bahwa peserta didik dengan tingkat
kecerdasan intelektual superior terdapat 15 responden dengan
persentasi sebesar 53,3% termasuk pada kategori tinggi, 40%
termasuk kategori sedang dan 6,7% termasuk kedalam kategori
rendah. Peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual bright
normal terdapat 31 responden dengan persentasi sebesar 19,3%
termasuk pada kategori tinggi 64,5% termasuk kategori sedang dan
16,2% termasuk kedalam kategori rendah. Peserta didik dengan tingkat
kecerdasan intelektual average terdapat 129 responden dengan
persentasi sebesar 7,7% termasuk pada kategori tinggi, 72,8%
92
termasuk kategori sedang dan 19.5% termasuk kedalam kategori
rendah.
Data hasil penelitian berdasarkan dua dimensi yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu kompetensi pilihan karir dan sikap pilihan
karir, didapatkan hasil bahwa peserta didik dengan tingkat kecerdasan
intelektual superior pada dimensi kompetensi karier memiliki jumlah
pesentasi 6,6% pada kategori tinggi, 80% pada ketegori sedang, dan
13,4% pada kategori rendah. Pada dimensi sikap karier memiliki jumlah
pesentasi 6,6% pada kategori tinggi, 66,6% pada ketegori sedang, dan
26,8% pada kategori rendah. Peserta didik dengan tingkat kecerdasan
intelektual bright normal pada dimensi kompetensi karier memiliki
jumlah pesentasi 22,6% pada kategori tinggi, 67,8% pada ketegori
sedang, dan 9,6% pada kategori rendah. Pada dimensi sikap karier
memiliki jumlah pesentasi 22,6% pada kategori tinggi, 67,7% pada
ketegori sedang, dan 9,7% pada kategori rendah. Peserta didik dengan
tingkat kecerdasan intelektual average pada dimensi kompetensi karier
memiliki jumlah pesentasi 16,3% pada kategori tinggi, 64,4% pada
ketegori sedang, dan 15,3% pada kategori rendah. Pada dimensi sikap
karier memiliki jumlah pesentasi 16,3% pada kategori tinggi, 64,3%
pada ketegori sedang, dan 19,4% pada kategori rendah.
Sebagian besar peserta didik yang menjadi responden di SMK
Negeri 1 Cibinong tergolong pada kategorisasi sedang yang artinya
93
peserta didik pada katagori ini memiliki kemampuan yang cukup dalam
memahami perilaku karier dan melibatkan penilaian tingkat kemajuan
karier seseorang dalam kaitannya dengan tugas perkembangan kariernya
yang relevan. Definisi tersebut menjelaskan bahwa karier sebagai suatu
rangka pekerjaan, jabatan dan kedudukan yang mengarah pada
kehidupan dalam dunia kerja (Crites & Savickas, 1996).
Peserta didik yang memiliki kategorisasi kematangan karir yang
tinggi, memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memahami
perilaku karier dan melibatkan penilaian tingkat kemajuan karier
seseorang dalam kaitannya dengan tugas perkembangan kariernya
yang relevan. Peserta didik juga mampu memikirkan cara-cara ataupun
langkah-langkah yang diperlukan untuk memperoleh pekerjaannya.
Selain itu peserta didik juga mampu mengatasi berbagai rintangan yang
dihadapi dalam proses pengambilan keputusan karir. Selanjutnya
peserta didik dalam kategori ini juga memiliki sikap yang aktif dalam
membuat pilihan karir, memiliki orientasi pada kesenangan dalam
sikapnya terhadap pekerjaan, memiliki kemandirian dalam pengambilan
keputusan karir dan memiliki pilihan pekerjaan yang didasari faktor
tertentu (Crites & Savickas, 1996).
Peserta didik yang memiliki kategorisasi kematangan karir yang
rendah sukar dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan
pengambilan keputusan karir. Peserta didik juga kurang memiliki
94
pengetahuan tentang kemampuan diri, minat kejuruan dan konsep diri.
Selain itu peserta didik juga memiliki pengetahuan yang sedikit tentang
dunia kerja. Peserta didik juga tidak mampu mencocokan sifatnya
dengan karakteristik pekerjaan yang diminati. Peserta didik yang
memiliki kematangan karir yang rendah tidak memikirkan cara-cara
ataupun langkah-langkah yang diperlukan untuk memperoleh
pekerjaannya. Selain itu peserta didik tidak mampu mengatasi berbagai
rintangan yang dihadapi dalam proses pengambilan keputusan karir.
Selanjutnya peserta didik dalam kategori ini juga memiliki sikap yang
pasif dalam membuat pilihan karir, tidak berorientasi pada kesenangan
dalam sikapnya terhadap pekerjaan, memerlukan orang lain dalam
pengambilan keputusan karir dan tidak memiliki pilihan pekerjaan yang
didasari faktor tertentu (Crites & Savickas, 1996)
Dari data-data yang diperoleh, kematangan karir merupakan
salah satu permasalahan yang cukup banyak ditemui dikalangan
remaja, terutama peserta didik SMK kelas XII untuk menentukan karir
dimasa depannya. Fakta yang terjadi dilapangan pada saat melakukan
studi pendahuluan juga memperlihatkan bawha banyak para lulusan
SMK yang masih menganggur dan kurangnya kemampuan diri yang
dimiliki oleh peserta didik, hal ini merupakah permasalahan yang
berkaitan dengan kematangan karier peserta didik.
95
Pada proses perkembangan karir anak yang dikemukakan oleh
Ginzberg, siswa SMk termasuk ke dalam fase tentatif selama masa
remaja muda dari umur 11 tahun sampai 17 tahun (Winkel & Hastuti,
2006). Sedangkan Super mengungkapkan bahwa siswa SMP termasuk
pada fase eksplorasi (exploration) dari umur 14 sampai 24 tahun, fase
dimana seseorang memikirkan berbagai alternatif jabatan, tetapi belum
mengambil keputusan yang mengikat (Sharf, 1992).
Dari tahap perkembangan karir anak tersebut, menurut Hurlock
para siswa jenjang menengah pertama harus sudah memahami potensi
yang dimiliki dan tujuan melanjutkan pendidikan mereka selanjutnya.
Mempersiapkan masa depan, terutama karir merupakan salah satu
tugas remaja pada tahap perkembangannya (Elizabeth B, 2001).
Dengan demikian peserta didik SMk sudah dapat menentukan pilihan di
masa depan untuk mencapai kematangan karirnya.
Hasil dari pengolahan data terhadap penelitian ini belum sejalan
dengan pendapat Super (Prahesty, 2013) yang menjalaskan bahwa
kecerdasan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kematangan karier peserta didik. Beberapa penelitian juga menjelaskan
bahwa faktor kecerdasa peserta didik ikut mempengaruhi tingkat
kematangan karier.
Sebuah studi yang dilakukan di Afrika Selatan oleh Watson dan
van Aarde yang menguji tingkat kematangan karier peserta didik kulit
96
berwarna, menunjukkan bahwa usia, status sosial ekonomi, kecerdasan
dan gender memiliki pengaruh pada tingkat kematangan karier peserta
didik kulit berwarna (Coertse & Schepers, 2004). Penelitian sejenis
yang dilakukan oleh Coertse & Schepers (2004) memberikan
kesimpulan bahwa, “…the career mature students are more outgoing,
display higher levels ofintelligence…” Kematangan karier peserta didik
yang lebih tinggi, menunjukan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi pula.
Dengan demikian, peneliti mengasumsikan berdasarkan data penelitian
tersebut dan hasil dari pengolahan data yang telah dilakukan
menjelaskan bahwa dengan tingkat kecerdasan intelektual yang baik
maka akan membentuk kematangan karier yang baik pula pada peserta
didik.
Betz (Coertse & Schepers, 2004) juga menjelaskan bahwa
“The history of career maturity assessment is one marked by a series of debates over (a) the choice of criteria that define career maturity, (b) the associations between measures of career maturity, attitudes and measures of general intelligence and whether career maturity inventories can measure some aspects of intelligence and (c) the questionable reliability and validity of the measures.”
Sejarah penilaian kematangan karier ditandai oleh serangkaian
perdebatan mengenai (a) pilihan kriteria yang mendefinisikan
kematangan karier, (b) hubungan antara ukuran kematangan karier,
sikap dan ukuran kecerdasan intelektual dan apakah kematangan
karier dapat Mengukur beberapa aspek kecerdasan dan (c) reliabilitas
97
dan validitas yang dipertanyakan dari tindakan tersebut. Data sejarah
terhadap penilaian kematangan karier di atas memperlihatkan bahwa,
pengukuran terhadap tingkat kematangan karier membutuhkan
rangkaian pertimbangan dan penelitan yang objektif. Pendapat yang
disampaikan oleh Betz (Coertse & Schepers, 2004) merupakan tolak
ukur yang dilakukan oleh peneliti agar dapat melakukan penelitian
dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu hasil dari penelitian ini
memperlihatkan bahwa ada kemungkian terhadap kematangan karier
peserta didik yang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan intelektual.
Perbadaan tingkat kematangan karier peserta didik dengan tiga
kelompok kecerdasan intelektual yang berbeda dengan hasil tidak ada
perbedaan kematangan karier diduga dikarenakan beberapa faktor
yang ada dilapangan. Pemilihan sampel populasi pada peserta didik
dilakukan dengan menggunakan insidental sampling,karena sampel
yang digunakan ditentukan secara acak dan sembarang sehingga
mengandung bias sampel. Hal ini yang menjadi indikasi terhadap hasil
penelitian yang menjelaskan tidak terdapatnya perbedaan kematangan
karier peserta didik berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual.
Kemungkinan selanjutnya pada saat melakukan pemilihan responden
untuk penelitian ini yang dilakukan oleh guru BK dan penelitin kurang
objektif karena responden dipilih secara acak berdasarkan ketersediaan
waktu dan jam kosong pada saat kegiatan belajar mengajar di sekolah.
98
Responden pada penelitian ini terbagi atas tiga kelompok yaitu
peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual superior, bright
normal dan average. Perbedaan tingkat kecerdasan intelektual yang
terbagi atas tiga kelompok ini juga berindikasi tehadap hasil penelitian
menjadi tidak signifikan dikarenakan pada saat melakukan penyebaran
instrumen kematangan karier peneliti memiliki keterbatasan terhadap
pemilihan jumlah responden yang seharusnya digunakan dalam
penelitian ini.
Berdasarkan pembahasan yang talah dilakukan, hasil penelitian
ini belum menjawab rumusan masalah yang telah diajukan
sebelumnya, yaitu terdapat perbedaan kematangan karier peserta didik
SMK berdasarkan kecerdasan intelektual pada peserta didik kelas XII di
SMK Negeri 1 Cibinong, serta hasil penelitian ini belum dapat
menjawab teori yang telah dipaparkkan pada pembahasan sebelumnya
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan karir
seseorang yaitu faktor kecerdasan.
C. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti telah melakukan berbagai usaha
agar penelitian ini dapat memberikan hasil yang maksimal. Di samping
usaha yang telah dilakukan, disadari betul bahwa dalam penelitian ini
terdapat kelemahan dan keterbatasan penelitian antara lain:
99
1. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi kematangan karir peserta
didik, penelitian ini hanya melihat berdasarkan tingkat kecerdasan
intelektual peserta didik.
2. Data mengenai hasil tes kecerdasan intelektual peserta didik yang di
gunakan pada penelitian ini bukan dilakukan oleh peneliti, namun
menggunakan hasil tes kecerdasan intelektual yang diselenggarakan
oleh pihak sekolah degan bantuan lembaga psikologi.
3. Peneliti tidak mendapatkan informasi secara jelas dan akurat
mengenai teori dasar yang digunakan pada tes kecerdasan
intelektual oleh pihak sekolah, sehingga pada beberapa paparan di
bab-bab sebelumnya masih dirasakan bias oleh peneliti.
4. Keterbatasan ruang dan waktu yang dimiliki oleh peneliti dalam
pemilihan jumlah responden masih belum dapat dikatakan mewakili
kesetaraan populasi karena kegiatan yang teleh dijadwalkan oleh
pihak sekolah kepada responden kelas XII pada penelitian ini.
5. Penelitian ini memiliki lingkup yang terbatas hanya peserta didik
kelas XII di SMK Negeri 1 cibinong. Artinya, hasil penelitian ini tidak
dapat digeneralisasikan kepada peserta didik di sekolah lain.
100
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan kematangan
karier peserta didik berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil hasil penelitian mengenai kematangan karir peserta didik
menmberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan kematangan
karier peserta didik berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual.
Penelitian ini dilakukan pada peserta didik kelas XII di SMKN 1
Cibinong dengan katagorisasi berdasarkan skor dari hasil tes
kecerdasan intelektual yaitu peserta didik yang mendapatkan skor
kecerdasan intelektual dengan pedikat superior, peserta didik yang
mendapatkan skor kecerdasan intelektual dengan pedikat bright
normal, peserta didik yang mendapatkan skor kecerdasan intelektual
dengan pedikat Average menunjukkan bahwa dari total 175 peserta
didik yang menjadi responden yang merupakan 25% dari banyaknya
populasi penelitian. Sample populasi yang digunakan merupakan
gabugan dari katagorisasi tingkat kecerdasan intelektual yaitu 15
orang peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual superior,
31 orang peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual bright
101
normal, 129 orang peserta didik dengan tingkat kecerdasan
intelektual average.
2. Hasil yang diperoleh dari pengolahan data secara keseluruhan
diketahui bahwa kematangan karir peserta didik dengan tingkat
kecerdasan intelektual mayoritas berada pada kategorisasi sedang.
Tingkat kecerdasan intelektual superior mayoritas berada pada
kategori tinggi dan sedang dengan jumlah persentase sebesar 46.6
%. Tingkat kecerdasan intelektual bright normal mayoritas berada
pada kategori sedang dengan jumlah persentase sebesar 64.5 %,
begitupula dengan tingat kecerdasan avarage berada pada kategori
sedang dengan persentase sebesar 72.8 %. Data diatas
menggambarkan bahwa tingkat kematangan karir peserta didik
berada pada kategori sedang dan data di atas menunjukan bahwa
tingkat kecerdasan intektual superior cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat kecerdasan intelektual bright normal
dan average.
3. Hasil yang diperoleh dari peolahan data yang diklasifikasin
berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual memberikan gambaran
bahwa peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual superior
terdapat 15 responden dengan persentasi sebesar 46.6% termasuk
pada kategori tinggi, 46.6% termasuk kategori sedang dan 6.8%
termasuk kedalam kategori rendah. Peserta didik dengan tingkat
102
kecerdasan intelektual bright normal terdapat 31 responden dengan
persentasi sebesar 19.3% termasuk pada kategori tinggi 64.5%
termasuk kategori sedang dan 16.2% termasuk kedalam kategori
rendah. Peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual average
terdapat 129 responden dengan persentasi sebesar 7.7% termasuk
pada kategori tinggi, 72.8% termasuk kategori sedang dan 19.5%
termasuk kedalam kategori rendah.
4. Hasil Hasil yang diperoleh dari peolahan data yang diklasifikasin
berdasarkan dimensi kematangan karier terhadap ketiga kelompok
tingkat kecerdasan intelektual menggambarkan bahwa peserta didik
dengan tingkat kecerdasan intelektual superior pada dimensi
kompetensi karier memiliki jumlah pesentasi 6.6% pada kategori
tinggi, 80% pada ketegori sedang, dan 13.4% pada kategori rendah.
Pada dimensi sikap karier memiliki jumlah pesentasi 6.6% pada
kategori tinggi, 66.6% pada ketegori sedang, dan 26.8% pada
kategori rendah. Peserta didik dengan tingkat kecerdasan intelektual
bright normal pada dimensi kompetensi karier memiliki jumlah
pesentasi 22.6% pada kategori tinggi, 67.8% pada ketegori sedang,
dan 9.6% pada kategori rendah. Pada dimensi sikap karier memiliki
jumlah pesentasi 22.6% pada kategori tinggi, 67.7% pada ketegori
sedang, dan 9.7% pada kategori rendah. Peserta didik dengan
tingkat kecerdasan intelektual average pada dimensi kompetensi
103
karier memiliki jumlah pesentasi 16.3% pada kategori tinggi, 64.4%
pada ketegori sedang, dan 19.3% pada kategori rendah. Pada
dimensi sikap karier memiliki jumlah pesentasi 16.3% pada kategori
tinggi, 64.3% pada ketegori sedang, dan 19.4% pada kategori
rendah.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, terdapat
beberapa hal yang dapat dipelajari dan dikaji bersama mengenai
perbedaan kematangan karier peserta didik bila dilihat berdasarkan
tingkat kecerdasan intelektualnya. Pembahasan penelitian memaparkan
bahwa tidak terdapat perbedaan kematangan karier antara peserta
didik dengan tingkat kecerdasan intelektual superior, bright normal dan
tingkat kecerdasan intelektual average.. Temuan-temuan yang ada
dalam penelitian ini kemudian dapat ditindaklanjuti oleh berbagai pihak,
yaitu:
1. Guru BK perlu mengindentifikasi factor lain yang mempengaruhi
kematangan karier
2. Peneliti perlu lebih baik lagi dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi kematangan karier.
104
C. Saran
Saran-saran yang dapat menjadi pertimbangan berdasarkan
hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peserta didik yang menjadi responden, hasil ini dapat dijadikan
umpan balik mengenai hasil tes kematangan karier yang telah
diperoleh, sehingga mereka dapat melakukan upaya tertentu untuk
menentukan masa depan dan kariernya dengan baik.
2. Jurusan Bimbingan dan Konseling, hasil penelitian ini dapat menjadi
informasi dan referensi mengenai perbedaan kematangan karier
peserta didik yang dilihat berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual.
3. Pihak SMK Negeri 1 Cibinong, sebagai informasi mengenai
kematangan karier yang dimiliki oleh peserta didiknya, dan dapat
ditindaklanjuti dengan lebih membimbing peserta didik dalam
pembelajaran di sekolah.
4. Para peneliti, untuk ditindaklanjuti dalam penelitian-penelitian yang
terkait dengan kematangan karier peserta didik khususnya bila dilihat
berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual.