Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Angka kematian ibu, bayi dan balita saat ini menjadi wacana yang terus
berkembang di masyarakat kita. Sedikitnya 18.000 ibu meninggal setiap tahun di
Indonesia karena kehamilan atau persalinan. Hal itu berarti setiap setengah jam
seorang perempuan meninggal karena kehamilan atau persalinan. Tingginya
angka kematian ibu tersebut menempatkan Indonesia pada urutan teratas di
ASEAN. (diakses pada selasa tanggal 1 maret 2011, pukul 20.00 wib
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1062485736,79038,).
Kematian ibu, bayi, dan balita merupakan masalah besar di negara
berkembang seperti Indonesia. Data penelitian world bank atau bank dunia tahun
2008 menunjukkan angka kematian ibu saat melahirkan di Indonesia mengalami
peningkatan. Direktur Women Research Institute, Sita Ari Purnami, Selasa (12/08
) mengatakan angka kematian ibu saat melahirkan dari 302/100 ribu ibu
melahirkan menjadi 420/100 ribu ibu melahirkan. (diakses pada selasa tanggal 1
maret 2011, pukul 20.00 wib http://trijayafmplg.wordpress.com/2008/08/12/word-
bank-angka-kematian-ibu-di-indonesia-meningkat/).
Angka kematian ibu di Indonesia bahkan lebih tinggi dari Vietnam. Angka
kematian ibu di negara tetangga tercatat 95 per 100.000 kelahiran hidup. Negara
anggota ASEAN lainnya, Malaysia tercatat 30 per 100.000 dan Singapura 9 per
100.000. Hal ini sangat memprihatinkan karena Millinium Development Goals
2
(MDGs) menargetkan 125/100 ribu ibu melahirkan dan ditargetkan tercapai pada
tahun 2015. (diakses pada selasa tanggal 1 maret 2011, pukul 20.00 wib
http://trijayafmplg.wordpress.com/2008/08/12/word-bank-angka-kematian-ibu-di-
indonesia-meningkat/).
Adapun sebagian besar kematian ibu, bayi, dan balita disebabkan oleh
penyebab langsung, yaitu pendarahan, infeksi, eklamsia, persalinan lama, dan
abortus komplikasi abortus. Disamping itu, kematian ibu juga dilatarbelakangi
oleh rendahnya tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan kedudukan dan peran
perempuan, faktor sosial budaya serta faktor transportasi, yang kesemuanya
berpengaruh pada munculnya dua keadaan yang tidak menguntungkan, yaitu: (1)
Tiga Terlambat (terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan,
terlambat mencapai fasilitas kesehatan, dan terlambat mendapatkan pelayanan di
fasilitas kesehatan); (2) Empat terlalu (terlalu mudah melahirkan, terlalu sering
melahirkan, terlalu rapat jarak melahirkan, dan terlalu tua untuk melahirkan).
(sumber: buku pedoman kesehatan keluarga 2009: 1).
Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta juga mengalami hal yang sama mengenai masalah kematian ibu, bayi,
dan balita. Adapun data jumlah kematian ibu, bayi dan balita dinas kesehatan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2007-2009 sebagai berikut:
3
DATA JUMLAH KEMATIAN IBU, BAYI DAN BALITA DINAS
KESEHATAN PROVINSI DIY 2007 – 2010
(Sumber: Data jumlah kematian ibu, bayi, dan balita di provinsi DIY, 4 Desember
2010).
Tahun
Kabupaten
Jumlah
Kematian Ibu
Melahirkan
Kematian Bayi Kematian Anak Balita
2007 KOTA 4 15 8 BANTUL 6 98 5
KULON PROGO 6 107 12 GUNUNG KIDUL 7 45 0
SLEMAN 11 52 58 2008 KOTA 1 28 8
BANTUL 18 170 105 KULON PROGO 4 71 16
GUNUNG KIDUL 7 58 8 SLEMAN 11 49 6
2009 KOTA 3 33 5 BANTUL 19 142 86
KULON PROGO 10 95 14 GUNUNG KIDUL 7 58 1
SLEMAN 9 54 0 2010 KOTA 7 67 5
BANTUL 10 120 21 KULON PROGO 4 65 15
GUNUNG KIDUL 6 53 8 SLEMAN 13 67 5
4
Data tersebut menunjukkan bahwa empat kabupaten di Daerah Istimewa
Yogyakarta yaitu Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul mengalami
kenaikan kematian ibu, bayi, dan balita sementara untuk Yogyakarta, dapat
menunjukkan penurunan terhadap kematian ibu, bayi dan balita. Dari data tersebut
peneliti tertarik untuk mencari tahu bagaimana Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
dapat menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan balita.
Kota Yogyakarta melalui Dinas Kesehatan dituntut agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara keseluruhan. Adapun
pelayanan kesehatan yang diberikan yaitu mulai dari tenaga sarana pelayanan
kesehatan (dokter, perawat dan bidan, nutrisianis, rekam medis, sanitarian),
fasilitas kesehatan (dokter spesialis, dokter umum, dan dokter gigi), rumah sakit,
pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), pos pelayanan terpadu (posyandu), dan
segala macam obat-obatan. (wawancara dengan Kepala Seksi Kesga dan Gizi
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, 23 Desember 2010).
Agar dapat menekan jumlah kematian ibu, bayi, dan balita di Kota
Yogyakarta, perlu adanya perhatian khusus yang harus diberikan terhadap
peningkatan kesehatan ibu termasuk juga kepada bayi baru lahir. Perhatian
tersebut diwujudkan dengan melaksanakan berbagai upaya percepatan penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI). Pada tahun 2000 Kementerian Kesehatan telah
mencanangkan Strategi Making Pregnancy Safer (MPS) yang merupakan strategi
terfokus dalam penyediaan dan pemantapan pelayanan kesehatan. Namun sejauh
ini angka kematian ibu belum mencapai target sasaran rencana pembangunan
jangka menengah bidang kesehatan (RPJMN-BK). Kemudia pada tahun 2007
5
Kementerian Kesehatan melakukan upaya trobosan untuk percepatan penurunan
AKI di seluruh Indonesia, yaitu dengan Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K). (Pedoman Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi dengan Stiker, 2009: 2).
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)
dengan stikerisasi merupakan “upaya terobosan” dalam penurunan percepatan
angka kematian ibu, bayi, dan balita. Stiker diharapkan menjadi media pesan
antara Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, ibu hamil, tenaga kesehatan, dan
seluruh elemen masyarakat. Sehingga antara elemen-elemen terkait terjadi
hubungan yang baik dengan satu tujuan, yaitu menurunnya angka kematian ibu,
bayi, dan balita (wawancara dengan Kepala Seksi Kesga dan Gizi Dinas
Kesehatan Kota Yogyakarta, 30 November 2010).
Upaya percepatan penurunan angka kematian tersebut dilakukan melalui
kegiatan peningkatan akses dan kualitas layanan yang sekaligus merupakan
kegiatan yang membangun potensi masyarakat, khususnya menyangkut
kepedulian masyarakat untuk persiapan dan tindakan dalam menyelamatkan ibu
dan bayi baru lahir. Sehingga mencapai Millenium Development Goals (MDG’s)
terutama dalam hal penurunan AKI yang telah terintegrasi sebagai satu kegiatan
dari Desa Siaga (Pedoman Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi dengan Stiker, 2009: 3).
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)
diharapkan mampu mendorong ibu hamil untuk lebih aktif bertanya kepada Bidan
atau tenaga kesehatan dan pendamping ibu hamil mengenai kesehatan dirinya dan
6
janin yang ada di dalam kandungannya. Selain itu dengan adanya perencanaan
persalinan yang matang diharapkan adanya kejelasan dimana akan melahirkan,
kapan waktu untuk melahirkan, dengan alat transportasi apa, siapa pendonor
setelah melahirkan, serta bagaimana biaya persalinan sudah tidak menjadi beban
pikiran lagi.
Pengalaman lapangan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta selama ini
diketahui bahwa kemampuan dalam berkomunikasi merupakan kunci
keberhasilan untuk dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap bidan
atau tenaga kesehatan, pendamping ibu hamil, dan ahli kesehatan lainnya. Bidan
diharapkan berperan aktif sebagai fasilitator yang dapat membangun komunikasi
persuasive sehingga nantinya akan timbul kepercayaan masyarakat terhadap
Bidan atau tenaga kesehatan dan pendamping ibu hamil. Dengan kepercayaan
yang baik dari masyarakat, maka diharapkan dapat meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap upaya peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
(wawancara dengan Kepala Seksi Kesga dan Gizi Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta, 4 November 2010).
Secara efektif dari tahun 2008-2010 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
mengenalkan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
(P4K) kepada masyarakat dengan berbagai cara. Mulai dari sosialisasi P4K di
puskesmas dengan tenaga kesehatan sebagai sasarannya, sosialisasi kepada
masyarakat kepada ibu hamil dan suami, pembentuk kader pendamping ibu hamil,
dan melakukan promosi ke berbagai media, antara lain media cetak, elektronik,
7
dan media cyber. dilakukan kepada seluruh lapisan masyarakat melalui sosialisasi
program.
Sosialisasi dilakukan dengan tujuan untuk memberikan keterampilan pada
individu, mengembangkan kemampuan berkomunikasi, mengendalikan fungsi
organik melalui latihan mawas diri yang tepat, dan untuk menanamkan nilai dan
kepercayaan pokok pada diri seseorang. Sehingga muncul kebisaan yang nantinya
membantu individu dalam berinteraksi dengan masyarakat. Sosialisasi yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dibagi menjadi dua, yaitu
sosialisasi yang bertempat di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan bidan
atau tenaga kesehatan dan kader pendamping sebagai pesertanya. Dan yang ke
dua yaitu sosialisasi yang bertempat di puskesmas dengan ibu hamil dan suami
sebagai pesertanya (wawancara dengan Kepala Seksi Kesga dan Gizi Dinas
Kesehatan Kota Yogyakarta, 16 Maret 2011)
Promosi tidak saja berfungsi sebagai alat komunikasi antara perusahaan
dan konsumen, melainkan juga sebagai alat untuk mempengaruhi konsumen
dalam kegiatan pembelian barang maupun jasa. Tujuan dilakukannya promosi
adalah ingin mencapai target atau sasaran, baik itu jangka pendek, jangka
menengah, maupun jangka panjang. Promosi dalam Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yaitu tidak hanya sekedar
mengenalkan P4K kepada masyarakat, tetapi juga untuk mempengaruhi
masyarakat sehingga dapat berperilaku sesuai dengan Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Sehingga masyarakat tidak
sekedar mengetahui program tersebut tetapi mau menjalankan program tersebut
8
sehingga tercapainya target Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, yaitu menurunnya
angka kematian ibu, bayi, dan balita di Kota Yogyakarta. Untuk menjalankan
promosi tersebut, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menggunakan beberapa
media, yaitu face to face melalui sosialisasi dan bermedia melalui buku KIA,
stiker, leaflet, banner, radio, dan televisi (wawancara dengan Kepala Seksi Kesga
dan Gizi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, 16 Maret 2011)
Berkaitan dengan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi DIY
pada 4 Desember 2010, dan dengan adanya promosi kesehatan yang dilakukan
oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melalui berbagai media maka muncullah
pertanyaan dari peneliti yaitu bagaimana strategi promosi kesehatan Dinas
Kesehatan Kota Yogyakarta dalam upaya menurunkan angka kematan ibu, bayi,
dan balita dengan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
(P4K).
Strategi promosi kesehatan dipilih dengan alasan karena ingin merubah
perilaku masyarakat dengan P4K sebagai produknya. Sehingga nantinya dapat
mencapai target dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, yaitu menurunnya angka
kematian ibu, bayi, dan balita. Selanjutnya penelitian ini dilakukan di Dinas
Kesehatan Kota Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut :
9
Bagaimana Strategi promosi kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
dalam upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan balita dengan Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana Strategi promosi kesehatan Dinas Kesehatan
Kota Yogyakarta dalam upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan
balita dengan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi.
2. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K).
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada kajian
komunikasi, dalam hal ini kaitannya dengan strategi promosi kesehatan
dengan segala unsur-unsur yang ada di dalamnya.
2. Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dapat menjadi sarana
pengembangan strategi bagi organisasi tentang pelaksanaan promosi,
khususnya bagi Dinas Kesehatan di Kota Yogyakarta sehingga jauh lebih
baik dalam merencanakan stategi promosi dari sebelumnya.
10
E. Kerangka Teori
1. Promosi Kesehatan
a. Pengertian Promosi Kesehatan
Menurut WHO (1947), kesehatan secara luas tidak hanya meliputi aspek
medis, tetapi juga aspek mental dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang
bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan (Maulana, 2009: 4).
Menurut UU Kesehatan No. 23 tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Tidak hanya terbatas dari gangguan sacara fisik, mental, dan sosial, tetapi kesehatan dipandang sebagai alat atau sarana untuk hidup secara produktif (Maulana, 2009: 5).
Ottawa Charter (1986) dalam bukunya Hari D. J. Maulana (2009)
“Promosi Kesehatan”, mengatakan promosi kesehatan merupakan proses
pemberdayaan atau memandirikan masyarakat agar dapat memelihara dan
meningkatkan kesehatannya (Maulana, 2009: 12).
WHO mengatakan promosi kesehatan merupakan suatu proses yang
bertujuan memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan
meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan
diri sendiri (self empowerment). Promosi kesehatan tidak hanya meningkatkan
“kesadaran” dan “kemauan” seperti yang dikonotasikan dalam pendidikan
kesehatan (Maulana, 2009: 19).
Menurut Green & Ottoson (1998) dalam bukunya Hari D. J. Maulana
(2009), mengatakan bahwa promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai
dukungan menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan, dan peraturan
11
perundang-undangan untuk perubahan perilaku yang menguntungkan kesehatan
(Maulana, 2009: 19).
Henrik L. Blum (1974) dalam bukunya Hari D. J. Maulana (2009),
menggambarkan ada empat faktor yang mempengaruhi kesehatan. Adapun faktor
tersebut meliputi:
a) Faktor lingkungan (Environment), mencakup lingkungan fisik, sosial,
budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.
b) Faktor perilaku (Behavior)
c) Faktor pelayanan kesehatan (Health Service), mencakup pencegahan,
pengobatan, dan rehabilitasi.
d) Faktor keturunan (Heredity)
Faktor tersebut disamping berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga
saling berpengaruh satu sama lain. Status kesehatan akan optimal jika keempat
faktor tersebut secara bersama-sama dalam kondisi optimal pula. Jika satu faktor
terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan bergeser ke arah bawah
optimal. Dengan kata lain, intervensi dalam upaya memelihara dan meningkatkan
kesehatan harus ditujukan pada keempat faktor tersebut (Maulana, 2009: 8).
Secara definisi, istilah promosi kesehatan dalam ilmu kesehatan
masyarakat (health promotion) mempunyai dua pengertian. Pengertian promosi
kesehatan yang pertama adalah promosi kesehatan sebagai bagian dari tingkat
pencegahan penyakit. Ada lima tingkat pencegahan penyakit dalam perspektif
kesehatan masyarakat, yaitu:
12
a) Health promotion (peningkatan/ promosi kesehatan)
b) Specific protection (perlindungan khusus melalui imunisasi)
c) Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan pengobatan
segera)
d) Disability limitation (membatasi atau mengurangi terjadinya kecacatan)
e) Rehabilitation (pemulihan)
Adapun dalam hal ini promosi kesehatan adalah peningkatan kesehatan.
Sedangkan pengertian ke dua, promosi kesehatan diartikan sebagai upaya
memasarkan, menyebarluaskan, mengenalkan atau “menjual” kesehatan. Dalam
artian promosi kesehatan adalah memasarkan, membeli (menerima perilaku
kesehatan) atau mengenal pesan-pesan kesehatan. Yang nanti akhirnya
masyarakat mau berperilaku hidup sehat.
Dari pengertian di atas, maka dapat kita ketahui bahwa promosi kesehatan
tidak dapat berdiri sendiri. Menurut Maulana (2009) ada beberapa komponen
promosi kesehatan yang tidak dapat kita pisahkan, komponen tersebut yaitu:
a) Pendidikan kesehatan (health education)
Menurut Tones dalam De Leeuw (1989), pendidikan kesehatan berfungsi
membangkitkan keinsyafan dalam masyarakat tentang aspek-aspek kerugian
kesehatan lingkungan dan sumber-sumber sosial penyakit, yang secara ideal
diikuti dengan keterlibatan masyarakat dengan giat. Pendidikan kesehatan
berusaha membantu orang mengontrol kesehatan mereka sendiri dengan
memengaruhi, memungkinkan, dan menguatkan keputusan atau tindakan sesuai
dengan nilai dan tujuan mereka sendiri.
13
b) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE).
Promosi kesehatan mencakup kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.
Hal itu dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat, tentu diperlukan jalur
komunikasi yang selanjutnya diisi dengan penyampaian dan dimantapkan dengan
edukasi. Kunci keberhasilan program promosi kesehatan terletak pada strategi
komunikasi kesehatan yang diambil (Notoatmodjo 2005: 45).
c) Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan merupakan kegiatan pendidikan kesehatan yang
dilakukan dengan menyebarluaskan pesan. Dengan demikian, masyarakat tidak
hanya sadar , tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan melakukan anjuran yang
berhubungan dengan kesehatan (Azwar, 1983) yang dikutip oleh Maulana (2009:
137). Sehingga dengan demikian, petugas penyuluhan kesehatan harus menguasai
ilmu komunikasi dan menguasai pemahaman yang lengkap tentang pesan yang
akan disampaikan. Penyuluhan kesehatan bertujuan mengubah perilaku kurang
sehat menjadi sehat. Perilaku baru yang berbentuk, biasanya hanya terbatas pada
pemahaman sasaran (aspek kognitif), sedangkan perubahan sikap dan tingkah laku
merupakan tujuan tidak langsung.
d) Pemasaran Sosial Kesehatan
Seiring dengan perubahan kebijakan pembangunan kesehatan di Indonesia,
pemasaran social (social marketing) telah banyak dipergunakan dalam berbagai
keperluan program kesehatan, yang merupakan salah satu bentuk operasional dari
14
komunikasi kesehatan. Pemasaran sosial adalah suatu proses untuk membuat
rancangan, implementasi, dan pengawasan program yang bertujuan meningkatkan
penerimaan gagasan sosial atau perilaku pada suatu kelompok sasaran. Sementara
pemasaran dalam kontek promosi kesehatan adalah keterampilan menajemen
dalam mengidentifikasi kesempatan-kesempatan untuk memenuhi permintaan
konsumen atau klien sehingga memberikan perlindungan maksimal dan atau
perbaikan dalam kesehatan mereka (Ewles dan Simnett, 1994) yang dikutip oleh
Maulana (2009: 120).
Menurut Departemen Kesehatan RI (Notoatmodjo, 2005), pengembangan
kegiatan pemasaran sosial terdiri atas empat belas langkah berikut: riset formatif
(dilakukan untuk menentukan format strategi kegiatan), penyusunan strategi
(strategi mencakup berbagai kelompok sasaran primer, skunder, tersier), uji coba
strategi (dalam pelaksanaannya, mungkin saran belum cukup meyakinkan pada
tahap ini, petugas lapangan dapat bekerja sama untuk menemukan cara
melakukannya sampai sasaran sepenuhnya puas dan setuju untuk
melaksanakannya), menulis arah kreatif dan media (arahan ini akan
menyimpulkan tujuan dan maksud kegiatan, gambaran rinci data ekonomi, sosial,
dan geografis daerah kegiatan serta daftar kelompok sasaran), menentukan
konsultan kreatif dan konsultan media (jika digunakan media massa, maka perlu
perencanaan yang matang, alokasi waktu, dan pemantauan), menyusun pesan dan
bahan serta rencana media (pada bagian ini penyajian rancangan lengkap tentang
pesan dan bentuk semua bahan cetak, naskah untuk radio spot dan cerita untuk TV
atau film), menguji bahan dan pesan (uji coba dilakukan untuk memastikan bahwa
15
pesannya jelas, tidak membingungkan, dapat dimengerti, dipercaya, sejalan
dengan budaya, secara emosional merangsang, dan bebas dari hal-hal negatif),
memperbaiki bahan, penyempurnaan program, memproduksi bahan, pengumpulan
data dasar dan evaluasi, orientasi dan pelatihan, melaksanakan kegiatan
(pelaksanaan kegiatan promosi dan hubungan masyarakat langsung sebaiknya
dilaksanakan pada saat pencanangan, misalnya pencanangan program tertentu
oleh kepala daerah yang dihadiri para pelaksana, instansi, media yang terlibat),
memantau dan memperbaiki (pemantauan sebaiknya dilakukan setiap 3, 6, 12
bulan, kegiatan pemantauan lebih dalam dilakukan untuk menjajaki evektifitas
pesan yang disampaikan). Ada beberapa faktor dalam penentu keberhasilan sosial,
antara lain: menajemen, konsumen, kelompok sasaran, identitas, manfaat, biaya,
ketersediaan, saluran komunikasi, pemantauan dan perbaikan, evaluasi (Maulana,
2009: 125-132).
e) Mobilisasi sosial
Promosi kesehatan juga mengandung pengertian mobilisasi sosial, karena
dalam promosi kesehatan diperlukan adanya advokasi kebijakan. Sehingga
kebijakan yang sudah ada dapat memberikan dukungan bagi pengembangan
perilaku dan lingkungan sehat. Hal ini merupakan “low enforcement” yang dapat
“memaksa” atau memobilitasi masyarakat untuk berbuat atau tidak berbuat sama
sekali (Maulana, 2009: 12-15).
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan kesehatan, KIE,
penyuluhan kesehatan, pemasaran sosial, dan mobilisasi sosial merupakan
komponen. Dalam pengertian yang lebih luas, idealnya setiap kegiatan atau
16
program yang bertujuan memandirikan masyarakat harus memasukkan
pertimbangan-pertimbangan kesehatan di dalamnya, dan promosi kesehatan
sebagai “payung” yang merangkum kegiatan atau program tersebut.
Hari D. J Maulana 2009 mengatakan ada beberapa tujuan promosi
kesehatan, yaitu peningkatan pengetahuan atau sikap masyarakat, peningkatan
perilaku masyarakat, dan peningkatan status masyarakat. Agar tujuan dapat
dicapai dan dijalankan sesuai keinginan, penetapan tujuan harus memenuhi syarat,
yaitu specific, measurable, appropriate, reasonable, time bound, dan dinyatakan
dalam bentuk performance, bukan effort (Maulana, 2009: 116).
Tujuan promosi kesehatan terdiri atas tiga tingkatan (Green, 1991), yaitu
tujuan program, tujuan pendidikan, dan tujuan perilaku.
Tujuan program (program objective), tujuan program merupakan refleksi
dari fase sosial dan epidemiologi, berupa pernyataan tentang apa yang akan
dicapai dalam periode tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan. Tujuan
ini harus mencakup who will in how much of what by when. Tujuan program juga
sering disebut sebagai tujuan jangka panjang (contohnya: mortalitas akibat
kecelakaan kerja pada pekerja menurunnya 50% setelah promosi kesehatan
berjalan lima tahun).
Tujuan penelitian (educational objective), merupakan pendidikan atau
pembelajaran yang harus dicapai agar tercapainya perilaku yang diinginkan.
Tujuan pendidikan tersebut juga tujuan jangka menengah (contohnya: cakupan
angka kunjungan ke klinik perusahaan meningkat 75% setelah promosi kesehatan
berjalan tiga tahun).
17
Tujuan perilaku (behavioral objective), merupakan tujuan jangka pendek
yang merupakan gambaran perilaku yang akan dicapai dalam mengatasi masalah
kesehatan. Tujuan perilaku berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan
(contohnya: pengetahuan pekerja tentang tanda-tanda bahaya di tempat kerja
meningkat 60% setelah promosi kesehatan berjalan enam bulan), (Maulana, 2009:
116).
b. Sasaran & Ruang Lingkup Promosi Kesehatan
Maulana (2009: 21) dalam bukunya “Promosi Kesehatan” menjelaskan
sasaran promosi kesehatan perlu dikenali secara khusus, rinci, dan jelas agar
promosi kesehatan lebih efektif. Adapun sasaran dari adanya promosi kesehatan
adalah:
a) Individu/ keluarga
b) Masyarakat
c) Pemerintah/ lintas sektor/ politisi/ swasta,
d) Petugas atau pelaksana program
Sehubungan dengan hal itu, promosi kesehatan dihubungkan dengan
beberapa tatanan, antara lain tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja, tatanan
institusi kesehatan, tatanan tempat-tempat umum. Agar lebih spesifik menurut
Maulana (2009: 22), sasaran kesehatan dibagi menjadi tiga, yaitu:
a) Sasaran primer, adalah sasaran yang mempunyai masalah, yang diharapkan
mau berperilaku sesuai harapan dan memperoleh manfaat paling besar dari
perubahan perilaku tersebut.
18
b) Sasaran sekunder, adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh
atau disegani oleh sasaran primer. Sasaran sekunder diharapkan mampu
mendukung pesan-pesan yang disampaikan kepada sasaran primer.
c) Sasaran tersier, adalah para pengambil kebijakan, penyandang dana, pihak-
pihak yang berpengaruh di berbagai tingkat (pusat, provinsi, kabupaten,
kecamatan, dan desa/ kelurahan).
Selain membutuhkan sasaran yang jelas, maka promosi kesehatan juga
harus mempunyai ruang lingkup. Sehingga semua berjalan dengan jelas.
Berdasarkan Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa, Canada
tahun 1986, dalam bukunya maulana (2009: 24-25) promosi kesehatan
dikelompokkan menjadi lima area, yaitu:
a) Kebijakan pembangunan berwawasan kesehatan (health public policy)
Kegiatan ditujukan pada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan.
Hal ini berarti setiap kebijakan pembangunan dalam bidang apa pun harus
mempertimbangkan dampak kesehatan bagi masyarakat.
b) Mengembangkan jaring kemitraan dan lingkungan yang mendukung (create
partnership and supportive environment)
Kegiatan ini bertujuan mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana
yang mendukung terhadap kesehatan. Kegiatan ini ditujukan kepada pemimpin
organisasi masyarakat, serta pengelola tempat-tempat umum, dan diharapkan
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan nonfisik yang mendukung atau kondusif terhadap kesehatan
masyarakat.
19
c) Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health service)
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemberi dan penerima pelayanan. Orientasi pelayanan diarahkan
dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek (melibatkan masyarakat dalam
pelayanan kesehatan) yang dapat memelihara dan meningkatkan kualitas
kesehatannya sendiri. Hal tersebut berarti pelayanan kesehatan lebih diarahkan
pada pemberdayaan masyarakat.
d) Meningkatkan keterampilan individu (increase individual skills)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat, yang terdiri atas
kelompok, keluarga, dan individu. Kesehatan masyarakat terwujud apabila
kesehatan kelompok, keluarga, dan individu terwujud. Oleh sebab itu,
peningkatan keterampilan anggota masyarakat atau individu sangat penting untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat memelihara serta
meningkatkan kualitas kesehatannya.
e) Mamperkuat kegiatan masyarakat (strengthen community action)
Derajat kesehatan masyarakat akan terwujud secara efektif, jika unsur-
unsur yang terdapat di masyarakat tersebut bergerak bersama-sama. Memperkuat
kegiatan masyarakat berarti memberikan bantuan terhadap kegiatan yang sudah
berjalan di masyarakat, sehingga lebih dapat berkembang.
Menurut Ewles dan Simnett (1994) dalam bukunya Maulana (2009: 43-
45), ada lima pendekatan promosi kesehatan, yaitu:
20
a) Pendekatan Medik
Pendekatan ini mempunyai tujuan yaitu membebaskan dari penyakit dan
kecacatan yang didefinisikan secara medik, seperti penyakit feksi, kanker, dan
jantung. Pendekatan ini melihat intervensi kedokteran untuk mencegah atau
meringankan kesakitan. Pendekatan ini memberikan arti penting terhadap
tindakan pencegahan medik, dan merupakan tanggung jawab profesi kedokteran,
membuat kepastian bahwa pasien patuh pada prosedur yang dianjurkan.
b) Pendekatan Perubahan Perilaku
Pendekatan ini bertujuan mengubah sikap dan perilaku individual
masyarakat, sehingga mereka mengadopsi gaya hidup sehat. Pendekatan ini
meyakinkan kita bahwa gaya hidup sehat merupakan hal penting bagi klien.
c) Pendekatan Pendidikan
Pendekatan ini bertujuan memberikan informasi dan memastikan
pengetahuan dan pemahaman tentang perilaku kesehatan, dan membuat keputusan
yang ditetapkan atas dasar informasi yang ada.
d) Pendidikan Berpusat pada Klien
Tujuan dari pendekatan ini adalah bekerja dengan klien agar dapat
membantu mereka mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan,
dan membuat keputusan dan pilihan mereka sendiri sesuai kepentingan dan nilai
mereka.
e) Pendekatan Perubahan sosial
Pendekatan ini pada prinsipnya mengubah masyarakat, bukan pada
perilaku setiap individu. Orang-orang yang menerapkan pendekatan ini
21
memberikan nilai penting bagi hak demokrasi mereka mengubah masyarakat,
memiliki komitmen pada penempatan kesehatan dalam agenda politik diberbagai
tingkat.
c. Komunikasi Kesehatan
Komunikasi merupakan proses kompleks (verbal dan nonverbal) yang
melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi
dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya (Perry dan Potter, 2005).
Komunikasi mengacu tidak hanya pada isi, tetapi juga perasaan dan emosi ketika
individu menyampaikan hubungan.
Seorang ahli komunikasi dari Amerika, Wilbur Schramm (1995) yang
dikutip oleh Prodjosaputro (1978) dan Machfoedz, dkk (2005), menyebutkan
bahwa di dalam komunikasi diperlukan diperlukan sedikitnya tiga unsur, yaitu
(source), berita atau pesan (massage) dan sasaran (destination). Akan tetapi
pendapat lain menyatakan bahwa pembagian yang paling banyak dianut adalah
pembagian berdasarkan empat unsur, yaitu sumber, pesan, media, dan sasaran.
Terdapat pula pendapat bahwa komunikasi terbagi menjadi enam unsur, yakni
sumber, pesan, media, sasaran, umpan balik dan akibat. Tidak ada perbedaan
mendasar di antara beberapa pendapat tersebut, tetapi justru dipandang saling
melengkapi (Maulana, 2009: 94).
a) Sumber adalah pengirim berita atau komunikator. Sumber dapar berasal dari
perorangan, kelompok, dan atau institusi serta organisasi tertentu.
22
b) Pesan adalah rangsangan (stimulus) yang disampaikan sumber kepada
sasarannya. Penyampaian pesan dapat berbentuk simbol bahasa, baik lisan
maupun tulisan, yang disebut komunikasi verbal atau dalam bentuk simbol-
simbol tertentu.
c) Media adalah saluran atau alat yang dipakai sumber untuk menyampaikan
pesan kepada sasaran. Jenis dan bentuk media sangat bervariasi dari media
tradisional sampai pada media elektronik yang modern.
d) Sasaran atau penerima adalah penerima pesan. Seperti sumber, penerima
pesan dapat berupa perorangan, kelompok, dan atau institusi serta organisasi
tertentu.
e) Umpan balik adalah reaksi sasaran terhadap pesan yang disampaikan sumber.
Komunikasi dapat berjalan baik atau tidak ditentukan oleh umpan balik atau
reaksi sasaran.
f) Akibat adalah hasil dari komunikasi, yakni terjadi perubahan pada diri
sasaran.
d. Promosi Kesehatan dan Perilaku
Menurut Efendi dan Makhfudli (2009: 101), promosi kesehatan adalah
upaya memberdayakan perorangan, kelompok, dan masyarakat, agar memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan pengetahuan,
kemauan, dan kemampuan serta mengembangkan iklim yang mendukung,
dilakukan dari, oleh, dan untuk masyarakat sesuai dengan faktor budaya setempat.
Yang ingin dicapai melalui pendekatan ini adalah meningkatkan kesadaran,
23
kemauan, dan keterampilan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (DepKes RI,
2006).
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, system pelayanan kesehatan,
makanan dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2005:120).
Menurut Benyamin Bloom (1908), dalam Notoatmodjo (2003: 101-104)
membagi perilaku manusia menjadi tiga domain (ranah), yaitu kognitif
(cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam
perkembangannya teori bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan, yaitu:
a) Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengideraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Ada enam tingkatan dalam domain ini, yaitu:
1) Tahu (know), diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah
dipelajari. Tahu merupakan suatu tingkatan pengetahuan yang peling
rendah.
2) Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan didapat
menginterpretasikan materi secara benar.
3) Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real).
24
4) Analisis (analysis), suatu kemampuan untuk menjabarkan materi dari
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu
struktur suatu organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (synthesis), menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
6) Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justification atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini
didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
criteria yang telah ada.
b) Sikap (attitude)
Sikap merupakan tindakan atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Adapun tingkatan dari sikap, menurut
Notoatmodjo (2003), yaitu:
1) Menerima (receiving), diartikan bahwa seseorang mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan.
2) Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
3) Menghargai (velluing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan sesuatu masalah.
4) Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilih dengan segala resiko. Ini merupakan sikap yang paling
tinggi.
25
c) Tindakan Praktek atau (practice)
Praktik mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:
1) Persepsi (perception), mengenal dan memilih beberapa objek berkaitan
dengan tindakan yang akan diambil. Ini merupakan praktek tingkat
pertama.
2) Respon terpimpin (guided response), melakukan sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar dan sesuai dengan contoh. Ini adalah indikator tingkat
kedua.
3) Mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan
sesuatu dengan benar secara otomatis.
4) Adopsi (adaption), merupakan suatu praktek atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik.
2. Strategi Promosi Kesehatan
Strategi adalah cara bagaimana mencapai atau mewujudkan visi dan misi
promosi kesehatan tersebut secara berhasil guna. Berdasarkan rumusan WHO
(1994), strategi promosi kesehatan secara global ini terdiri dari 3 hal, yaitu:
a. Advokasi
Menurut John Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk
mempengaruhi kebijakan publik, melalui bermacam-macam bentuk komunikasi
persuasif. Dengan kata lain advokasi adalah upaya atau proses untuk memperoleh
komitmen, yang dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi yang
akurat dan tepat (Notoatmodjo, 2005: 32).
26
Sementara menurut Efendi & Makhfudli (2009), advokasi yaitu
pendekatan pimpinan dengan tujuan untuk mengembangkan kebijakan publik
yang berwawasan kesehatan. Hasil yang diharapkan adalah kebijakan dan
peraturan-peraturan yang mendukung untuk mempengaruhi terciptanya perilaku
hidup bersih dan sehat, serta adanya dukungan dana dan sumber daya lainnya
(Efendi & Makhfudli 2009: 114).
Effendi & Makhfudli (2009), menambahkan bahwa bentuk kegiatan yang
dapat dilakukan antara lain, pendekatan perorangan. Pendekatan tersebut seperti
melalui lobi, dialog, negosiasi, debat, petisi, mobilisasi, seminar, dan lain-lain
(Efendi & Makhfudli 2009: 114).
Tujuan dari adanya advokasi ada dua, yaitu umum dan khusus.
1) Tujuan umum: diperolehnya komitmen dan dukungan dalam upaya
kesehatan, baik berupa kebijakan, tenaga, dana, sarana, kemudahan, keikut
sertaan dalam kegiatan, maupun berbagai bentuk lainnya sesuai keadaan
dan usaha.
2) Tujuan Khusus:
a) Adanya pemahaman/ pengenalan/ kesadaran.
b) Adanya ketertarikan/ peminatan/ tidak penolakan.
c) Adanya kemauan/ kepedulian/ kesanggupan (untuk membantu/
menerima).
d) Adanya tindakan/ perbuatan/ kegiatan nyata (yang diperlukan).
e) Adanya kelanjutan kegiatan (kesinambungan kegiatan).
27
b. Bina suasana
Kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat,
baik tokoh masyarakat formal atau pun informal. Tujuan utamanya adalah para
tokoh masyarakat, yang berfungsi sebagai jembatan antara sektor kesehatan
sebagai pelaksana program kesehatan dengan masyarakat sebagai penerima
program kesehatan. Bentuk dari kegiatannya antara lain: pelatihan para tokoh
masyarakat, seminar, lokakarya, serta penyuluhan (Notoatmodjo, 2005: 33).
Menurut Effendi & Makhfudli (2009), bina suasana yaitu penciptaan
situasi yang kondusif untuk memberdayakan perilaku hidup bersih dan sehat.
Perilaku hidup bersih dan sehat dapat tercipta dan berkembang jika lingkungan
mendukung hal ini. Dalam konteks ini lingkungan mencakup lingkungan fisik,
sosial budaya, ekonomi, dan politik (Efendi & Makhfudli 2009: 115).
c. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah strategi promosi kesehatan yang
ditujukan kepada masyarakat secara langsung (Notoatmodjo, 2005: 33).
Menurut Effendi & Makhfudli (2009), pemberdayaan masyarakat yaitu
gerakan dari, oleh dan untuk masyarakat mengenali dan memelihara masalah
kesehatan sendiri, serta untuk memelihara, meningkatkan, dan melindungi
kesehatannya (Efendi & Makhfudli 2009: 115).
Tujuannya yang ingin dicapai yaitu agar terwujudnya kemampuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Bentuk
dari pemberdayaan masyarakat antara lain: pelayanan kesehatan gratis, pemberian
28
obat gratis, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk
koperasi dan pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga
(Efendi & Makhfudli 2009: 115).
Maulana (2009: 85) membagi tujuan pemberdayaan menjadi dua, yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pemberdayaan masyarakat yaitu
masyarakat mampu mengenali, memelihara, melindungi dan meningkatkan
kualitas kesehatannya, termasuk jika sakit dapat memperoleh pelayanan kesehatan
tanpa mengalami kesulitan dalam pembiayaannya.
Tujuan khusus pemberdayaan masyarakat yaitu memahami dan menyadari
pentingnya kesehatan, memiliki keterampilan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatannya, memiliki kemudahan untuk menjaga kesehatan diri
dan lingkunganya, berupaya bersama (bergotong-royong) menjaga dan
meningkatkan kesehatan lingkungannya.
Prinsip dari pemberdayaan masyarakat yaitu menumbuhkembangkan
potensi masyarakat, menumbuhkan kontribusi masyarakat dalam upaya kesehatan,
mengembangkan kegiatan kegotong-royongan di masyarakat, promosi pendidikan
dan pelatihan dengan sebanyak mungkin menggunakan dan memanfaatkan
potensi setempat, upaya dilakukan secara kemitraan dengan berbagai pihak,
desentralisasi (sesuai dengan keadaan dan kebudayaan setempat).
F. Metodelogi Penelitian
Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan dalam penelitian ini, perlu
adanya seuatu metodelogi penelitian. Hal ini dilakukan agar keabsahan dari
29
penelitian dapat dijamin dan dapat dipertanggung jawabkan keabsahan hasil
penelitian yang dilakukan.
Meskipun tidak dipungkiri bahwa suatu metodelogi penelitian juga
memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun tidak berarti sebuah pendekatan
menjadi tidak sah atau tidak penting untuk digunakan. Sebab, persoalannya lebih
terletak pada bagaimana menggunakan dan menempatkan sebuah pendekatan
(dengan keunggulan dan kelemahan yang melekat padanya) dalam studi lapangan
masalah yang relevan ditelaah menurut logika pendekatan tersebut.
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif dengan studi kasus. Jalaludin rahmat dalam bukunya Metode Penelitian
Komunikasi (1993: 24) mendefinisikan penelitian deskriptif yaitu:
Deskriptif adalah penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengklasifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan mendiskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang akan diteliti. Penelitian deskriptif hanya memaparkan situasi atau peristiwa, tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesa dan membuat prediksi. Soehartono (1995: 36), penelitian deskriptif mempunyai tujuan untuk
memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok orang
tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau
lebih. Sementara menurut Suryabrata 1998: 18), tujuan dari penelitian deskriptif
yaitu untuk membuat perencanaan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
Menurut Burhan Bungin, dalam bukunya Analisis Data Penelitian
Kualitatif (2003) mendeskripsikan studi kasus sebagai berikut:
30
Studi kasus menghantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil seperti penghimpunan, kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi studi kasus, dalam khazanah metodelogi dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komperhensif, intens, rinci, dan mendalam, serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian (Bungin, 2003: 19). Sudah jelas dalam definisi studi kasus tersebut, bahwa seorang peneliti
dapat melakukan penelitian secara mendalam, karena peneliti dapat langsung
melihat kondisi dari apa yang menjadi objek penelitiannya.
Menurut Robert Yin (1996) dalam bukunya Burhan Bungin (2003: 20),
menyebutkan bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki
fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena
dan konteks tidak tampak dengan tegas dan dimana multi sumber bukti
dimanfaatkan. Selanjutnya Yin juga mengemukakan bahwa secara umum studi
kasus merupakan strategi yang lebih cocok atau paling sesuai dengan jenis
pertanyaan penelitian dengan tipe pertanyaan “how” (bagaimana) atau “why”
(mengapa).
Peneliti dalam penelitian ini memaparkan dengan jelas bagaimana Strategi
promosi kesehatan P4K Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam upaya menekan
kematian ibu, bayi, dan balita.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi atau tempat dalam penelitian ini yaitu di Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta bagian kesehatan keluarga (kesga) dan gizi, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yang beralamat di jalan Kenari No. 56 kompleks Balaikota, Timoho.
31
Telpon: (0274) 515868, 515869. Kode Pos: 55165. Websait:
www.jogjakota.go.id. Email internet: [email protected]. Sedangkan
untuk waktunya, penelitian ini dimulai sejak November 2010.
3. Informan Penelitian
Informan adalah seseorang yang benar-benar mengetahui suatu persoalan
atau permasalahan tertentu yang darinya dapat diperoleh informasi yang jelas,
akurat, dan terpercaya baik berupa pernyataan, keterangan, atau data-data yang
dapat membantu dalam memahami persoalan atau permasalahan tersebut. Dalam
penelitian ini, teknik pengambilan informan yang digunakan peneliti yaitu dengan
purposive sampling. Teknik pengambilan informan ini didasarkan pada
kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui
informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi
sumber data yang baik.
Kriteria informan dalam penelitian ini adalah: orang-orang yang terlibat
langsung dalam Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
(P4K), setidaknya satu tahu setelah P4K berjalan, orang yang mempunyai
pengetahuan lebih tentang kesehatan, khususnya kesehatan ibu hamil, dan orang-
orang yang mempunyai penyaruh dalam pelaksanaan P4K. Orang-orang tersebut
adalah:
1) Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
a) Seksi Kesehatan Keluarga (kesga) dan Gizi, Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta. Ibu Yudiria Amelia.
32
b) Seksi Promosi dan Pengembangan, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Bapak Feri Edi Sunantyo.
Pengambilan informan dari pihak Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta di
atas, karena kedua informan tersebut merupakan orang-orang yang berkompeten
dalam bidangnya. Seksi Kesga dan Gizi berkompeten dalam kesehatan keluarga
dan gizi, selain itu seksi kesga dan gizi adalah perancang, penggerak dan
penyelenggara Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
(P4K) di Kota Yogyakarta. Sementara untuk seksi promosi dan pengembangan,
karena informan tersebut yang mengurusi segala promosi yang ada di dalam
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
2) Bidan Puskesmas
Bidan puskesmas di wilayah Kota Yogyakarta dipilih sebagai informan,
karena bidan merupakan pelaksana P4K di bawah Dinas Kesehatan, selain itu
bidan juga berhadapan langsung dengan ibu hamil. Bidan yang menjadi informan
dalam penelitian ini adalah bidan yang bekerja di puskesmas pada saat P4K
berlangsung yaitu tahun 2008-2010.
3) Kader Pendamping Ibu Hamil
Seperti halnya bidan, kader pendamping juga pelaksana P4K yang
ditugaskan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta sebagai pemantau kesehatan ibu
hamil. Kader pendamping dalam penelitian ini adalah kader pendamping pada
saat P4K berlangsung, yaitu tahun 2008-2010.
33
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam studi kasus, terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan data. Dalam penelitian ini akan menggunakan teknik antara lain:
a. Wawancara
Wawancara menurut Deddy Mulyana (2002: 180) adalah bentuk
komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh
informasi dari seorang yang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu. Moleong, (2000: 135), wawancara mendalam adalah
teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan
suatu tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk mendapat berbagai informasi
menyangkut masalah yang diajukan dalam penelitian. Percakapan dalam
wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
wawancara mendalam (open ended interview). Dengan wawancara mendalam
diharapkan nantinya peneliti lebih mengetahui secara jelas menyangkut
bagaimana strategi Strategi promosi kesehatan P4K Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta dalam upaya menekan kematian ibu, bayi, dan balita.
b. Studi Kepustakaan (Dokumentasi)
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung
ditujukan kepada subyek penelitian. Dokumentasi yang diteliti dapat berbagai
macam, tidak hanya berupa dokumen resmi. Menurut Soehartono (1995: 70)
dokumen dapat dibedakan menjadi dokumen primer dan dokumen skunder.
34
Dokumen primer yaitu dokumen yang ditulis langsung oleh orang yang langsung
mengalami suatu peristiwa. Dokumen skunder yaitu jika peristiwanya dilaporkan
kepada orang lain, yang selanjutnya ditulis oleh orang lain pula.
Yin (2000: 104), dokumentasi adalah peneliti menyelidiki benda-benda
tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen/ arsip, peraturan-peraturan, notulen
rapat, catatan harian, kliping dan artikel-artikel yang muncul di media massa.
Dokumentasi dalam penelitian ini adalah buku-buku dan arsip yang berkaitan
mengenai penjelasan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K), buku-buku dinas kesehatan yang dapat membantu peneliti
dalam penelitian ini.
5. Teknik Analisa Data
Menurut Lexy J. Maleong (2005: 103), analisis data merupakan proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis
kerja seperti yang disarankan oleh data.
Menurut Miles dan Huberman menyatakan bahwa terdapat dua model
pokok dalam melaksanakan analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu model
analisis jalinan dan model analisis interaktif (Sutopo, 2002:94). Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan model analisis interaktif. Dalam bentuk ini, peneliti
tetap melakukan proses reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan dengan
verifikasi saat proses pengumpulan data, selama proses pengumpulan data
35
berlangsung. Setelah pengumpulan data berakhir, peneliti kemudian melanjutkan
proses reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan dengan verifikasi.
6. Uji Validitas Data
Agar data yang diperoleh memiliki nilai keabsahan yang dapat dipercaya
validitasnya, maka dibutuhkan suatu teknik. Penelitian ini dalam pelaksanaanya
menggunakan trianggulasi sumber data. Burhan Bungin (2003: 203) dalam
bukunya “Analisis Data Penelitian Kualitatif” mengatakan:
Teknik trianggulasi lebih mengutamakan efektivitas proses dan hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, trianggulasi dapat dilakukan dengan menguji apakah proses dan hasil metode yang digunakan sudah berjalan dengan baik. Seperti (1) Umpamanya peneliti menggunakan wawancara mendalam dan observasi partisipasi untuk mengumpulkan data. Pastikan apakah setiap hari telah terhimpun catatan harian wawancara dengan informasi serta catatan harian observasi. (2) Setelah itu dilakukan uji silang terhadap materi catatan harian untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara catatan harian wawancara dan catatan harian observasi. (3) Hasil konfirmasi itu perlu diuji lagi dengan informasi sebelumnya karena bisa jadi hasil konfirmasi bertentangan dengan informasi sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan trianggulasi tersebut, trianggulasi sumber data
yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu membandingkan data hasil pengamatan
dengan data hasil wawancara, membandingkan data wawancara dengan isi dari
dokumentasi dan membandingkan dokumentasi dengan data-data lain yang
berkaitan dengan penelitian ini.